penagihan pajak dengan surat paksa (1)

RESUME
PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG PAJAK
Disusun untuk Memenuhi Tugas dari Ibu Dessanti Putri Sekti, MSA,. Ak sebagai Dosen
Pengampu Mata Kuliah Laboratorium Perpajakan III Kelas A

Disusun Oleh:

Lidya M. F. Sinaga

(135030400111034)

Arizka Novandita H.

(135030400111039)

Hariswando Saragih

(135030401111083)

Petronella C. Habeahan


(135030401111086)

Istyarini Risma Noviani

(135030401111110)

PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

PENAGIHAN PAJAK DAN UTANG PAJAK

A.

PENGERTIAN PENAGIHAN PAJAK
Pengertian penagihan menurut beberapa ahli, adalah sebagai berikut:
1.


Menurut Rochmat Soemitro (1988:67), penagihan ialah perbuatan yang dilakukan
oleh Direktorat Jendral Pajak, karena Wajib Pajak tidak mematuhi ketentuan
undang-undang pajak, khususnya mengenai pembayaran pajak.

2.

Menurut Moeljo Hadi (1995:2), penagihan adalah serangkaian tindakan dari
aparatur Direktorat Jendral Pajak, berhubung Wajib Pajak tidak melunasi baik
sebagian/seluruh kewajiban perpajakan yang terutang menurut undang-undang
perpajakan yang berlaku.
Sedangkan penagihan pajak menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19

Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah sebagai berikut:
“Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan
seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.”
Serangkaian tindakan dalam penagihan pajak dilakukan secara berurutan sesuai
prosedur dan jangka waktu yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan

perpajakan hingga Wajib Pajak melunasi utang pajaknya beserta biaya penagihannya.
Dengan kata lain, apabila dalam serangkaian tindakan penagihan Wajib Pajak telah
melunasi utang pajaknya dan biaya penagihannya pada suatu titik tindakan penagihan
tertentu, maka tindakan penagihan tidak akan dilanjutkan ke tindakan penagihan
selanjutnya. Hal tersebut berarti serangkaian tindakan penagihan pajak akan berhenti.

B.

DASAR HUKUM PENAGIHAN PAJAK
Dasar hukum penagihan pajak adalah Undang-Undang KUP dan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.

Undang-Undang KUP secara khusus mengenai penagihan pajak dalam BAB IV
yang terdiri dari Pasal 18 sampai dengan Pasal 24.
C.

DASAR PENAGIHAN PAJAK
Pasal 18 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur,
bahwa dasar penagihan berupa Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang meenyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
1.

Surat Tagihan Pajak
Surat Tagihan Pajak merupakan surat yang oleh Direktorat Jendral Pajak
digunakan untuk menagih seluruh sanksi administrasi baik berupa bunga, denda,
maupun kenaikan pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar merupakan surat yang diterbitkan oleh
Direktorat Jendral Pajak mengenai ketetapan besaran jumlah pajak terutang yang
masih harus dibayar oleh Wajib Pajak.

3.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan surat yang hampir
sama dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, namun hanya diterbitkan
apabila petugas pajak menemukan adanya data tambahan atau baru mengenai
penghasilan Wajib Pajak lainnya.

4.

Surat Keputusan Pembetulan
Surat Keputusan Pembetulan merupakan surat yang diterbitkan oleh Direkorat
Jendral Pajak atas permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak
terhadap surat ketetapan, surat keputusan, maupun surat tagihan pajak yang
diterima Wajib Pajak.

5.

Surat Keputusan Keberatan
Surat Keputusan Keberatan merupakan surat yang diterbitkan oleh Direktorat
Jendral Pajak atas permohonan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak atas
surat ketetapan pajak yang diterima Wajib Pajak.


6.

Putusan Banding
Putusan Banding merupakan putusan Pengadilan Pajak atas permohonan banding
yang diajukan oleh Wajib Pajak atas suatu Surat Keputusan Keberatan.

7.

Putusan Peninjauan Kembali
Putusan Peninjauan Kembali merupakan putusan Mahkamah Agung atas
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atas Putusan
Pengadilan Pajak.
Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak atau keputusan di atas terdapat satu kesamaan

yaitu adanya jumlah pajak yang masih harus dibayar. Jumlah yang masih harus dibayar
tersebut ditetapkan jatuh tempo pembayarannya. Jika sampai dengan tanggal jatuh
temponya jumlah pajak yang masih harus dibayar tersebuut tidak dibayar oleh
penanggung pajak, maka akan menjadi tunggakan pajak. Tunggakan pajak inilah yang
menjadi dasar penagihan pajak.
Adapun tanggal jatuh tempo pelunasan pajak atas dasar penagihan pajak tersebut,

yaitu:


Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat keputusan pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan peninjauan kembali yang mana
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan/diputuskan.



Apabila wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, maka jangka waktu
pelunasan jumlah pajak yang disengketakan tertangguh sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan surat keputusan keberatan.



Apabila Wajib Pajak mengajukan banding atas suatu surat keputusan keberatan,
maka jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan

sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

D.

JENIS TINDAKAN PENAGIHAN PAJAK
Secara umum, terdapat 2 (dua) jenis tindakan penagihan pajak, yaitu penagihan
pajak pasif dan penagihan pajak aktif. Penagihan pajak pasif merupakan tindakan
penagihan pajak oleh petugas pajak atas tagihan pajak yang terutang berdasarkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, dan Putusan
Banding yang mengakibatkan pajak yang kurang dibayar. Jangka waktu penagihan pajak
pasif akan berakhir pada saat diterbitkannya surat paksa. Sedangkan penagihan pajak
aktif merupakan tindakan penagihan pajak oleh petugas pajak atas tagihan pajak beserta
bunga penagihannya pada saat diterbitkannya surat paksa hingga kewajiban pajak dan
bunga Wajib Pajak dilunasi.

E.

PENGERTIAN UTANG PAJAK
Berdasarkan UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

sebagaimana telah diubah dengan UU No 19 Tahun 2000 pasal 1 angka 8, utang pajak
adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda
atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya
berdasarkan ketentuan peralihan perundang-undanagan perpajakan. Surat Ketetapan
Pajak tersebut dapat meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan. Sedangkan surat sejenisnya dapat berupa Surat Tagihan
Pajak atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa “Negara mempunyai
hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak.” Artinya
kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu
atas barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Pembayaran
kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi. Hak mendahulu utang

pajak meliputi pokok pajak, sanksi administtrasi berupa bunga, denda, kenaikan dan
biaya penagihan pajak. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak
mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a.

Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman unttuk melelang
suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;


b.

Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud dan/atau

c.

Biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.

F.

TIMBULNYA UTANG PAJAK
Utang pajak dapat timbul berdasarkan hukum formil maupun materiil undangundang perpajakan.
1.

Dengan hukum materiil, utang pajak timbul setelah peraturan pajak diterbitkan.
Sebagai contoh, Wajib Pajak memiliki utang pajak yang dibayar setiap bulan
berdasarkan pasal 25 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
penghasilan yang diperolehnya yang melebihi batas penghasilan tidak kena pajak.


2.

Sedangkan dengan hukum formil, utang pajak timbul setelah Wajib Pajak
mendapatkan tagihan pajak yang dapat berupa Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, dan Putusan Banding
yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar bertambah.

G.

BUNGA PENAGIHAN
Pada prinsipnya Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan, kecuali dasar penagihan pajak tersebut
diterbitkan untuk Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu. Bagi kedua
kelompok Wajib Pajak tersebut, jangka waktu pelunasan dapat diperpanjang menjadi

paling lama 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan ayat (3a) Undang-Undang KUP.
Apabila Wajib Pajak membayar dasar penagihan melebihi jangka waktu yang
telah ditentukan maka Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP menyatakan
bahwa:
”Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh
tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak,
dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.”
Penjelasan dari Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang KUP antara lain menyatakan
bahwa:
“Ayat ini mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga berdasarkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo
pelunasan atau terlambat dibayar.”
Contoh penghitungan sanksi bunga penagihan:
a. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan batas akhir
pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6
November 2008 Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008 diterbitkan Surat
Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar

= Rp10.000.000,00

Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan

= Rp 6.000.000,00(-)

Kurang dibayar

= Rp 4.000.000,00

Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00)

= Rp 80.000,00

b. Dalam hal terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana tersebut pada
huruf a, Wajib Pajak membayar Rp10.000.000,00 pada tanggal 3 Desember 2008 dan
pada tanggal 5 Desember 2008 diterbitkan Surat Tagihan Pajak, sanksi administrasi
berupa bunga dihitung sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar

= Rp10.000.000,00

Dibayar setelah jatuh tempo pelunasan

= Rp10.000.000,00

Kurang dibayar

= Rp 0,00

Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp10.000.000,00)

H.

= Rp 200.000,00

JURUSITA PAJAK
Jurusita Pajak menurut Pasal 1 angka 6 UU PPSP pelaksana tindakan penagihan
pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa,
penyitaan dan penyanderaan adalah pelaksana tindakan penagihan pajak. Kedudukan
Jurusita adalah jabatan struktural dan bertanggung jawab atas kegiatan penagihan pajak
yang ditugaskan kepadanya oleh atasan langsung. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk
dapat diangkat menjadi Jurusita Pajak adalah adanya kemampuan fisik, mental dan
profesional.
Tugas tindakan penagihan pajak membutuhkan kemampuan-kemampuan tertentu
yang unik dan kreatif. Selain standar prosedur operasi yang harus dilalui juga dibutuhkan
kreativitas untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya. Kemampuan bernegosiasi, persuasif
dan kemampuan untuk memaksa diperlukan dalam kegiatan penagihan. Mengingat
bahwa tujuan penagihan adalah dilunasinya tunggakan pajak oleh Penanggung Pajak, dan
kegiatan penagihan berisi serangkaian tindakan maka Jurusita pajak harus dapat
menentukan tindakan-tindakan yang harus ditempuh agar tunggakan utang pajak dilunasi
oleh Penanggung Pajak.
Tindakan penagihan pajak akan lebih efektif jika tidak semua rangkaian kegiatan
penagihan harus dilalui, walaupun tetap harus mengikuti prosedur yang berlaku. Jika
jurusita secara persuasif dapat meyakinkan Penanggung Pajak untukmelunasi utang pajak

sampai dengan penyampaian Surat Paksa maka hal ini akanlebih baik dibandingkan jika
harus melakukan penyitaan, lelang barang sitaan dan tindakan yang lain.
I.

PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS
Dalam rangka menghindari kemungkinan terjadinya upaya penghindaran dari
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak atas pelunasan utang pajak dalam kondisi tertentu,
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa mengatur mengenai tindakan
Penagihan Seketika dan Sekaligus. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Pasal 1 angka (4) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa
dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang
dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa
Pajak, dan Tahun Pajak.
Penagihan Seketika dan Sekaligus diatur dalam Pasal 20 UU KUP, Pasal 6
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 24/PMK.03/2008 tanggal 2 Februari 2008. Penagihan Seketika dan Sekaligus
artinya adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada
Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi
seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak. Dalam kondisi
normal, Penagihan dilaksanakan setelah jatuh tempo pembayaran, didahului dengan
penerbitan Surat Teguran, dilanjutkan tindakan penagihan lainnya, namun dalam hal
terjadi hal-hal sebagai berikut:
a.

Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu;

b.

Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

c.

terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha,
atau menggabungkan usaha, atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan

perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan
bentuk lainnya;
d.

badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau

e.

terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh Pihak ketiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan, maka pejabat segera menerbitkan Surat Perintah
Penagihan Seketika dan Sekaligus.
Penyampaian Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dilaksanakan

secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. Dalam hal diketahui oleh
Jurusita Pajak bahwa barang milik Penanggung Pajak akan disita oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan, atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usahanya, memekarkan usaha, memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau
dikuasainya, Jurusita Pajak segera melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus
dengan melaksanakan penyitaan terhadap sebagian besar barang milik Penanggung Pajak
setelah Surat Paksa diberitahukan. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa menjelaskan mengenai frase tanda-tanda dalam
rumusan di atas adalah petunjuk yang kuat bahwa Penanggung Pajak mengurangi atau
menjual/memindahtangankan barang-barangnya sehingga tidak ada barang yang akan
disita.
J.

SANKSI PIDANA DAN ASPEK HUKUM DALAM PENAGIHAN PAJAK
Dalam hal penagihan pajak maka orang yang sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan
Jurusita pajak dalam melaksanakan pidana diancam dengan sanksi pidana.
Dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPSP diatur bahwa Penanggung Pajak dilarang

untuk:
a.

memindahkan

hak,

memindahtangankan,

menyewakan,

meminjamkan,

menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
b.

membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu;

c.

membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan
untuk pelunasan utang tertentu; dan atau

d.

merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara
Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
Dengan beralihnya barang yang disita dari Penanggung Pajak kepada Pejabat

maka terhadap pelanggaran pidana tersebut akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana
dimuat dalam Pasal 41A ayat (1) UU PPSP. Sanksi pidana yang dikenakan terhadap
Penanggung Pajak adalah berupa pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Jurusita pajak yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan Pasal 23
ayat (1) UU PPSP tersebut di atas harus segera memberitahukan hal ini kepada Pejabat
untuk kemudian melaporkan telah terjadinya pelanggaran tersebut kepada penyidik
POLRI untuk segera ditindaklanjuti.
Dalam Pasal 25 ayat (2) UU PPSP diatur bahwa barang yang disita berupa uang
tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat
berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari
penjualan secara lelang. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat (3) UU PPSP ditegaskan bahwa
barang yang telah disita tersebut akan digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak
dan utang pajak dengan cara:
a.

uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;

b.

deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah
atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;

c.

obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek
dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;

d.

obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa
efek segera dijual oleh Pejabat;

e.

piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari
Penanggung Pajak kepada Pejabat;

f.

penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akta persetujuan pengalihan
hak menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.

Selanjutnya dalam Pasal 41A ayat (3) UU PPSP diatur bahwa menjelaskan sanksi
terhadap orang yang sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut Undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan tindakan dalam melaksanakan Undang-Undang yang dilakukan oleh
Jurusita pajak dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua)
minggu dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

DAFTAR PUSTAKA
(http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-penagihan-pajak-seketika-dan.html)
Hadi, Moeljo. 1995. Dasar-Dasar Penagihan Pajak. Jakarta Utara: PT RajaGrafindo Persada.
Komara, Ahmad. 2012. Cara Mudah Memahami Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Jakarta: Bee Media Indonesia.
Kurniawan, Pasca dkk. 2006. Penagihan Pajak di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing
Soemitro, Rochmat. 1988. Azas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: PT Eresco.
TP, Handayanto. 2011. Bahan Ajar Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta:
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun 2012.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Zuraida, Ida dkk. 2011. Penagihan Pajak: Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Bogor: Ghalia
Indonesia
Zuraida, Ida. 2010. Penagihan dan Sengketa Pajak. Jakarta: Pusdiklat Pajak.