MEMBANGUN KARAKTER UNGGULAN KEBUTUHAN BE (1)

MEMBANGUN KARAKTER UNGGULAN : KEBUTUHAN BERPRESTASI, DAYA JUANG DAN
DISIPLIN DIRI UNTUK MENCAPAI KESUKSESAN
By : Iffah Budiningsih*
ABSTRACT
The objective of the research is to obtain information about correlation between need achievement, fighting
spirit, self-discipline with succesfullness (learning result succesfullness). The subject of the research is the second
year student of SMKN Business Management Groups, Accountancy Programmed in DKI Jakarta. Total respondent
are 153 students, by using ‘cluster random sampling’ method from 3630 students as available population. The three
independen variables as mentioned above are measured by using non-test instrument and learning successful is
measured by using test instrument.
The findings are as follow : (1) There is a positive correlation between need achievement and
successfullnesl; (2) there is a positive correlation between fighting spirit and successfullness; (3) there is a
positive correlation between self discipline and successfullness; (4) there is a positive correlation between need
achievement, fighting spirit
and self discipline simultaneously
with successfullness (learning result
successfullness).
Based on the result of research, successfullness could be enhanced by increasing need achievement, fighting
spirit and self discipline individually or simultaneously. Self-discipline is a character that has a sensivitas/most high
sensitivity to increased success compared to the needs of achievements and fighting spirit.
Key words : needs of achievement, fighting spirit, self-discipline, succesfullness

___________________________
*
Dosen Pascasarjana MTP UIA Jakarta

I.

PENDAHULUAN

Indeks pembangunan manusia (IPM) atau kualitas sumber daya manusia (SDM) Pada saat ini di tingkat
dunia Indonesias menduduki di atas peringkat 100 dan di tingkat ASEAN menempati posisi dibawah Singapura,
Malaysia, Thailand, Filipina, Brunai Darusalam. Pembangunan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi
penyumbang nomor dua dari tiga faktor penentu IPM, penyumbang terbesar adalah dunia kesehatan, sedangkan
penyumbang paling kecil adalah pendapatan nasional kotor. Kita menyadari bahwa pendidikan merupakan modal
dasar untuk menyiapkan SDM yang berkualitas dan kita menyakini bahwa instrumen yang paling mendasar untuk
mencapai kemajuan bangsa adalah ’pendidikan’. Pada umumnya kita menerima sebagai suatu ’axioma’, suatu
kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa ’pendidikan’ adalah ’kunci kemajuan bangsa’. Manusiamanusia yang terdidik, kreatif, terampil dan menguasai IPTEK adalah penggerak utama kemajuan bangsa, namun
perlu diimbangi dengan pendidikan moral atau nilai-nilai/etika, yang mana moral atau nilai-nilai tersebut berfungsi
sebagai ‘katalisator’ yang membantu dalam pengambilan keputusan atas pilihan tindakan dalam pemanfaatan IPTEK
(Rusnak, 1998 : 2). Nilai-nilai akan menjadi acuan dalam pembentukan karakter seseorang yang akan
mempengaruhi tindakannya atau perilakunya. Pendidikan yang baik bukan hanya mengacu pada penguasaan ilmu

dan teknologi saja, tetapi juga bagaimana moral, tingkah , laku dan etika menjadi unsur utama dalam pendidikan
guna melahirkan generasi-generasi yang memiliki karakter positif.
Pendidikan adalah membangun jiwa, membangun jiwa tidak saja dalam arti membangun kemampuan
teknis tetapi juga membangun moral/nilai-nilai positif (karakter posistif), ke dua hal tersebut penting jika ingin
tetap ”survive” dan pembekalan keduanya kepada generasi penerus hendaknya harus seimbang, karena dengan
menguasai ke dua hal tersebut secara seimbang, maka tidak saja kualitas kehidupan manusia akan lebih meningkat,
tetapi juga akan terhindar dari kehancuran. Tanpa adanya landasan moral/nilai-nilai positif, maka penerapan ilmu
pengetahuan/IPTEK cenderung dipergunakan hal-hal yang bersifat destruktif, seperti : peperangan ,
penyalahgunaan Narkoba dll yang berdampak dapat merubah hakekat manusia dan kemanusisan, seperti pada kasus
revolusi genetika (kloning). Adanya kecenderungan bahwa manusia berusaha untuk selalu menyalahgunakan

1

penggunaan IPTEK, karena itu peranan ’moral/nilai-nilai’ (agama) menjadi sangat penting, yaitu berfungsi sebagai
penuntun dan pengendali dalam penerapan IPTEK, yang semata-mata hanya untuk tujuan kemaslahatan
umat manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Sebagaimana dikatakan oleh ilmuwan Albert Einstein, bahwa ”ilmu pengetahuan tanpa moral (agama) adalah
buta” dan ”moral (agama) tanpa ilmu pengetahuan akan lumpuh ”. Moral (agama) selalu mengajarkan nilai-nilai
yang akan menjadi acuan dalam menerapkan ilmu pengetahuan/IPTEK, karena nilai-nilai agama merupakan
”katalisator” yang akan membantu dalam pengambilan keputusan atas pilihan tindakan yang akan dilakukan

manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas
kehidupannya. Pendidikan moral/agama/nilai-nilai positif pada umumnya pembekalannya masih di lakukan oleh
keluarga dan lingkungannya. Nilai-nilai yang dimiliki seseorang akan menjadi acuan dalam pembentukan
karakternya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi tindakannya atau perilakunya. Karakter adalah nilai-nilai
positif yang melekat pada diri manusia yang diperoleh melalui proses pembiasaan yang panjang (memerlukan
waktu) yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan. Pendidikan karakter tidak saja
menjadi tanggung jawab orang tua, sekolah, tetapi juga menjadi tanggung jawab semua lembaga pendidikan di mana
siswa dipresentasikan. Tidak akan ada masa depan yang lebih baik (kemajuan) bagi suatu tanpa membangun dan
menguatkan karakter bangsa itu. Hal senada dikemukakan Theodore Roosevelt : To educate a person in mind and
not in morals is to educate a manace to society (mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak tanpa diimbangi
dengan pendidikan moral adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat). Hasil penelitian Daniel Goleman,
bahwa kecerdasan otak atau IQ hanya menyumbangkan 20 % bagi tercapainya kesuksesan hidup seseorang, sedang
80 % nya diisi oleh kekuatan lain.
Karakter positif akan dimiliki seseorang melalui proses yang panjang yang melekat dalam kehidupan seharihari yaitu melalui pembiasaan terus menerus. Sebagaimana ungkapan : ‘taburlah gagasan, tuailah perbuatan,
taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan, taburlah kebiasaan, tuilah karakter dan taburlah karakter, tuailah
kesuksesan”. Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membiasakan
nilai-nilai kebaikan di dalam kehidupan anak sejak dini; dan implementasi yang efektif dari pendidikan karakter
adalah melalui ‘keteladanan’. Dari sekian banyak karakter unggulan, tiga diantaranya yaitu : kebutuhan berprestasi,
daya juang dan disiplin diri merupakan karakter yang diduga paling banyak memberikan kontribusi dalam mencapai
kesuksesan. Sebagaimana hasil penelitian di Havard University Amerika Serikat (2000), ternyata kesuksesan

seseorang dalam menjalani kehidupannya tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis
atau hard skill saja (hanya 20 %), tetapi oleh kemampuan ‘mengelola diri dan orang lain’ atau soft skill (mencapai 80
%).
Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan berbagai strategi yang
sesuai untuk
menumbuhkan/membentuk, dan menguatkan karakter positif siswa seperti : kebutuhan berprestasi, daya juang dan
disiplin diri sebagai karakter unggulan untuk mencapai sukses dalam menjalani kehidupannya. Dalam penelitian ini
makna kesuksesan dipresentasikan melalui variabel kesuksesan belajar.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dan dalam rangka upaya penanaman, pembentukan,
maupun penguatan karakter positif yang dapat dilakukan sekolah (guru), orang tua atau pendidik lainnya , seperti :
kebutuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri, maka permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut : (1) apakah terdapat hubungan antara kebutuhan berprestasi dengan kesuksesan (2) apakah terdapat
hubungan antara daya juang dengan kesuksesan ? (3) apakah terdapat hubungan antara disiplin diri dengan
kesuksesan ? (4) apakah terdapat hubungan antara kebutuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri secara
bersama dengan kesuksesan ?
II.

KAJIAN TEORETIK

1.


Kesusksesan
Kesuksesan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesuksesan dalam bidang apa saja , termasuk sukses
dalam belajar, bekerja, membina rumah tangga, berbisnis dll. Kesuksesan memberikan makna keberhasilan atas
upaya-upaya manusia secara maksimal dalam aktivitasnya sehingga memberikan kepuasaan dalam dirinya.
Aktivitas dalam hal ini dapat merupakan aktivitas bekerja, belajar, olah raga, membina keluarga dll. Dalam
penelitian ini sebagai sampel kajian adalah kesuksesan dalam belajar karena respondennya adalah para siswa .
Kesuksessan dalam belajar dapat diukur dengan pendekatan ‘hasil belajar’ yang merupakan output dari aktivitas
belajar dan siapapun mempunyai keingingan sukses belajarnya ketika sedang dalam proses belajarnya, maka akan
mengharapkan sukses atau berhasil mencapai nilai yang maksimal. Para ahli psikologi kognitif, mengemukakan

2

bahwa hasil akhir belajar adalah perubahan dalam pengetahuan; untuk itu mereka berpendapat bahwa belajar adalah
suatu aktivitas internal mental seperti : berpikir, mengingat, dll (Woolfolk, 1993 :196). Sedangkan para penganut
paham belajar perilaku mengemukakan bahwa hasil
belajar
adalah
perubahan dalam perilaku
dan

menekankan pada efek dari kejadian-kejadian di luar internal individu siswa itu sendiri (Woolfolk, 1993 : 196197). Apa yang sedang terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar tidak dapat diketahui secara langsung hanya
dengan mengamati orang tersebut, bahkan hasil belajar dari orang yang telah belajar tidak dapat dilihat secara
langsung, tanpa orang tersebut melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah diperolehnya.
Berdasarkan perilaku yang dapat disaksikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang dikatakan telah belajar jika
orang tersebut dapat menampakkan hasil belajarnya, yaitu dapat diamati (observable) untuk hasil belajar psikomotor
atau perilaku, sikap/nilai dan dapat diukur (measurable) untuk hasil belajar kognitif.
Peranan pengalaman kiranya sangat penting, karena tanpa siswa mengalami sesuatu, maka tidak terjadi
proses belajar yang menghasilkan hasil belajar tertentu. Pengalaman yang dimaksud adalah berkaitan dengan
terjadinya interaksi aktif antara siswa dengan lingkungannya sebagai sumber informasi. Pengalaman berfungsi
sebagai transformator dari proses belajar, sehingga belajar merupakan proses bagaimana pengetahuan diciptakan
melalui transformasi pengalaman (Kolb, 1984 : 38). Tujuan belajar dapat dikelompokkan ke dalam tiga katagori
atau kawasan, yaitu: kawasan kognitif, psikomotor dan sikap (Kemp, 1977 : 24). Selanjutnya tujuan belajar
berkaitan dengan hasil belajar kognitif mencakup dua dimensi, yaitu (1) dimensi pengetahuan yang meliputi :
pengetahuan faktual, konsep, prosedural dan metakognitif dan (2) proses kognitif yang meliputi : ingatan
pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi dan kreasi (Anderson & Krathwohl, 2001 : 27-31).
Kesuksesan Belajar tidak sama dengan unjuk kerja (performance), hasil belajar menyangkut perolehan suatu
pengetahuan, keterampilan atau sikap sedangkan unjuk kerja menyangkut penggunaan pengetahuan, keterampilan
dan sikap yang didemonstrasikan yang dapat menunjukkan bahwa seseorang memang telah menguasainya sesuai
dengan ‘standar’ yang telah ditentukan sebagai hasil belajarnya (Davies, 1981 : 246). Berkaitan dengan hasil
belajar harus dapat diukur dan dapat dilihat, maka diperlukan suatu alat evaluasi hasil belajar yaitu dengan

menggunakan instrumen non tes dan tes. Instrumen tes sering digunakan untuk mengukur hasil belajar kognitif,
sedangkan hasil belajar psikomotor atau sikap sering digunakan instrumen non tes. Penilaian hasil belajar pada
umumnya merupakan penilaian terminal yang dapat digunakan untuk menentukan kedudukan individu setelah
menyelesaikan latihan atau pendidikan tertentu (Semiawan, 1997 : 85). Hasil belajar yang diukur dalam penelitian
ini menyangkut hasil belajar kognitif yang meliputi dimensi pengetahuan yang hanya mencakup : pengetahuan
konsep dan pro-sedural; sedangkan untuk dimensi proses kognitif hanya mencakup : aspek ingatan, pemahaman,
dan penerapan.
Dari uraian di atas, maka kesuksesan belajar dapat dirumuskan sebagai unjuk kerja seseorang yang sedang
belajar yang diperoleh melalui pengalaman yang dapat diukur di bidang kognitif yang mencakup dimensi
pengetahuan (ingatan, pemahaman, dan penerapan) berkaitan dengan materi pelajaran yang diajarkan; kesuksesan
belajar tersebut dapat digunakan untuk menentukan kedudukan siswa setelah selesai mengikuti proses
pembelajaran.
2.

Kebutuhan Berprestasi

Kebutuhan merupakan awal timbulnya suatu perilaku, untuk sampai dapat menimbulkan perilaku tertentu,
diperlukan suatu dorongan (motivasi) yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku tersebut. Ketika suatu
kebutuhan yang kuat berada dalam diri seseorang, maka efeknya adalah orang tersebut akan berusaha memotivasi
diri (memberikan dorongan terhadap dirinya) untuk menggunakan tingkah lakunya me-ngarah pada pemuasan

kebutuhan tersebut (McClelland dalam Gibson dkk, 1996 : 200). Kebutuhan untuk berprestasi barangkali
merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dipelajari, pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat atau suatu
negara didasari oleh tingginya tingkat kebutuhan berprestasi yang inheren/mendalam pada populasi penduduknya,
dan kemunduran ekonomi suatu bangsa dapat diperbaiki secara dramatis dengan merangsang kebutu-han berprestasi
penduduknya (McClelland dalam Gibson dkk, 1996 : 201). Kebutuhan untuk berprestasi kiranya sangat
diperlukan dalam rangka memperbaiki suatu kondisi perekonomian yang mundur atau untuk meningkatkan
pertumbuhan perekonomian, dan dalam era globalisasi yang penuh persaingan diperlukan kebutuhan berprestasi
yang tinggi pada setiap penduduknya, sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas dan berdaya
saing tinggi.

3

Kebutuhan berprestasi dapat didefinisikan sebagai perilaku ke arah persaingan dengan keunggulan yang
standar; dan dicirikan dengan empat karakteristik bagi seseorang yang mempunyai kebutuhan berprestasi
tinggi, yaitu : (1) keinginan kuat untuk memikul tangung jawab; (2) kecenderungan menetapkan tujuan prestasi
dengan tingkat kesulitan yang moderat/rasional dan selalu memperhitungkan resiko; (3) keinginan mendapatkan
umpan balik yang konkret dari perbuatannya; (4) selalu berkeinginan untuk menyelesaikan tugas (McClelland,
dalam Steers dkk, 1996 : 18-19). Kebutuhan berprestasi dibangun oleh beberapa faktor : (1) keinginan
mendapat restu/penghargaan dari keahlian; (2) keinginan untuk menghasilkan uang; (3) keinginan untuk sukses
sebagaimana layaknya; (4) keinginan mendapat respek/perhatian dari kawan-kawannya; (5) keinginan untuk

bersaing dan menang; (6) keinginan untuk bekerja keras (Jackson dkk, 2000:1).
Suatu kebutuhan termasuk kebutuhan berprestasi selalu muncul demi mengejar suatu nilai atau dengan tujuan
untuk menghasilkan sesuatu keadaan akhir yang diinginkan dan oleh karena itu nilai harus dijadikan bagian dari
dorongan dalam mencapai suatu prestasi. Perilaku seseorang untuk mencapai sesuatu yang diinginkan
dikarenakan ada suatu harapan yang mempunyai nilai; dan munculnya harapan seringkali didasarkan pada
pengalaman-pengalaman masa lampau dalam situasi yang dibandingkan (Rotter dalam Hjelle dan Ziegler, 1992 :
374-375). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa apabila pada masa-masa lampau perilaku yang sama dari
seseorang menghasilkan suatu keberhasilan atau prestasi, maka bila orang tersebut dihadapkan pada situasi
yang mirip atau sama, maka orang tersebut akan berpikir, membandingkan dan akhirnya cenderung berperilaku
sama dalam meraih keberhasilan yang diinginkan. Demikian pula sebaliknya bila seseorang dihadapkan pada situasi
yang sama atau mirip dengan kegagalan, maka orang tersebut akan cenderung menghindari perilaku tersebut.
Faktor-faktor lingkungan seperti lingkungan rumah di mana para siswa bertempat tinggal sangat
menentukan tinggi rendahnya tingkat kebutuhan berprestasi; seperti : kebudayaan, lingkungan sosialnya, nomor urut
anak, pekerjaan orang tua, perhatian orang tua dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak seorang manager dan
anak orang kaya mempunyai kebutuhan berprestasi yang tinggi dari pada anak dari seorang ayah dengan
pekerjaan rutin, (Byrne dan Kelley, 2001 : 1). Orang yang mempunyai kebutuhan berprestasi tinggi mempunyai
karakteristik antara lain : (1) memilih untuk menghindari tujuan prestasi yang mudah atau sulit, mereka
cenderung memilih tujuan yang moderat yang menurut mereka kiranya mampu untuk diraih; (2) memilih
umpan balik yang bersifat langsung dan mereka dapat diandalkan bagaimana berprestasi; (3) menyukai tanggung
jawab pada pemecahan masalah (Gibson dkk, 1996, 202-203).

Berdasarkan uraian di atas, maka kebutuhan berprestasi dapat dirumuskan sebagai suatu keingingan atau
kecenderungan untuk berperilaku meraih sukses berkaitan dengan harapan yang mempunyai nilai yang merupakan
daya penggerak ke arah perilaku meraih sukses atas dasar keyakinan kuat akan kemampuannya, yang dapat
dicirikan antara lain dengan : adanya keinginan memikul tanggung jawab, keinginan memperoleh umpan balik cepat
dan nyata, keinginan memilih teman kerja yang mempunyai komitmen atau kinerja yang sama, kecenderungan
menyelesaikan
tugas
secara cepat,
kecenderungan menetapkan tujuan yang rasional, kecenderungan
mengutamakan kualitas penampilan atau kinerja; yang mana hal-hal tersebut dapat digunakan untuk mengukur
tingkat pro-duktivitas seseorang.
3.

Daya Juang

Seseorang dalam hidupnya secara konstan akan ditantang dengan krisis psikososial, yaitu seseorang yang
berhasil memecahkan satu krisis, maka ia akan menghadapi krisis berikutnya, hal tersebut merupakan asumsi
heterostatis sebagai hakikat manusia untuk tumbuh dan berkonfrontasi dengan berbagai tantangan yang berbeda
pada setiap tahap perkemba-ngannya (Erikson dalam Hjelle dan Ziegler, 1992 : 208). Akhirnya perlu disadari
adanya suatu kenyataan bahwa kesulitan merupakan bagian dari kehidupan manusia dan terdapat di mana-mana,

nyata dan tidak terelakan; namun kesulitan tersebut tidak perlu sampai menghancurkan semangat juang manusia
dalam menjalani kehidupan. Kesulitan tidak menciptakan halangan untuk tidak diatasi, semua kesulitan adalah
tantangan, tantangan adalah peluang dan semua peluang hen-daknya bisa diraih. Untuk itu perlunya suatu
perjuangan secara kontinyu guna memahami dunia nyata, dan dalam hal ini semangat berjuang atau daya juang
akan semakin penting sejalan dengan peningkatan kesulitan dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi pejabat
pemerintah, manager perusahaan, wirausaha, guru, orang tua, murid dan siapapun juga akan menghadapi kesulitan
dalam kehidupannya.
Tingkat respon seorang pengusaha dalam menghadapi kesulitan, diindikasikan sebagai salah satu penentu
kesuksesan atau kegagalan di samping kecerdasan dan tingkat emosi (Stoltz, 1997 : 7). Hasil penelitian tersebut

4

menyimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai tingkat respon positif tinggi terhadap kesulitan (Adversity
Quotient tinggi) , maka orang tersebut akan merespon setiap kesulitan yang dihadapi secara positif dan sanggup
untuk tetap bertahan dalam situasi kesulitan appun. Respon terhadap kesulitan mempunyai empat dimensi, yaitu :
(1) kontrol (control); (2) asal-usul dan kepemilikan (origin dan ownership); (3) jangkauan (reach); (4) ketahanan
(endurance); dan menurutnya untuk mengukur keempat dimensi tersebut digunakan indikator : respon terhadap
kejadian-kejadian, asal-usul dari kesulitan (dari diri sendiri atau di luar dirinya), kepemilikan atau pengakuan
terhadap akibat-akibat kesulitan, kemampuan membatasi masalah/kesulitan, dan lamanya merasakan kesulitan yang
dihadapinya (Stoltz dalam O’Neill, 2000 : 8-9). Salah satu karakteristik yang terdapat pada orang yang mempunyai
kecerdasan untuk sukses adalah kegigihannya, dan orang yang sukses tahu kapan mereka harus menggunakan
kegigihannya. Dalam jalur karier tertentu, kecenderungan untuk bersikap gigih sangat diperlukan, karena
kesuksesan mungkin baru muncul setelah kegagalan-kegagalan dan kefrustasian terjadi. Kegigihan tidak saja
terbatas pada keputusan tentang karier, ia juga muncul pada area-area kehidupan lain; seperti : seorang
pemuda yang berusaha secara terus-menerus mendekati seorang gadis yang dicintainya, walaupun berkalikali
ditolak; dan bila ia seorang yang gigih maka ia akan tahu kapan berhenti untuk memperjuangkannya.
Sikap tidak berdaya yang dimiliki seseorang bisa saja merupakan hal yang dipelajari sejak anak-anak.
Banyak orang tua secara tidak sadar telah mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tidak berdaya, misalnya seorang
ayah yang melakukan apa saja bagi anaknya secara tidak sengaja akan mengajarkan ketidak-berdayaan pada
anaknya dengan tidak pernah membiarkan anaknya untuk berbuat sesuatu yang mungkin merupakan pengalaman
atau belajar dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa respon
seseorang terhadap kesulitan dibentuk lewat pengaruh-pengaruh dari orang tua, guru, teman sebaya dan orangorang yang mempunyai peran penting selama masa kanak-kanak (Dweck, dalam Stoltz, 1997 : 35). Orang-orang
yang merespon kesulitan dengan sifat tahan banting, pengendalian tantangan dan komitmen, akan tetap ulet dalam
menghadapi kesulitan (Oullette dalam Stoltz, 1997 : 70). Temuan tersebut memberikan implikasi bahwa
seseorang dalam menghadapi kesulitan harus yakin bahwa setiap kesulitan dapat diatasi sehingga manusia tidak
boleh putus asa. Pada akhirnya perlu disadari bahwa kesulitan atau permasalahan yang dihadapi manusia
merupakan sesuatu yang memang ada di sekitar kehidupan dan untuk mengatasi kesulitan tersebut diperlukan suatu
karakter yang terlatih dan bukan merupakan karakter yang dibawa sejak lahir (bawaan). Setiap kesulitan
dapat dipelajari, diatasi dan untuk mengatasinya perlu adanya proses pembelajaran. Untuk Itu, agar dapat
mencapai sukses dalam menjalani kehidupan, maka setiap orang perlu mempunyai daya juang/semangat juang
tinggi yang setiap saat siap untuk menghadapi kesulitan dan mengatasinya.
Berdasarkan berbagai uraian dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian daya
juang adalah kecenderungan seseorang merespon secara positif dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan yang
menghambat pencapaian tujuan dan berusaha bertahan dalam kondisi kesulitan apapun sebelum tujuannya
tercapai; yang dapat diukur dengan cara mengetahui kecenderungan dalam mengontrol/mengendalikan kesulitan,
pengakuan asal-usul kesulitan dan akibat-akibat kesulitan, kecenderungan membatasi kesulitan, dan lamanya
merasakan kesulitan yang dihadapi; di mana hal tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan atau memperbaiki
segi-segi kesuksesan.
4.

Disiplin Diri

Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya menjadi patuh terhadap peraturan-peraturan yang mengikatnya
baik di rumah, di sekolah atau di mana saja ketika anak berada. Salah satu karakteristik anak adalah adanya
ketidak-teraturan yang menunjukkan bahwa disposisinya belum stabil, yaitu ditandai dengan ketidakstabilan dan
keingintahuan yang mudah berubah/berpindah mendominasi karakteristik anak (Durkheim, 1990 : 94). Beberapa
karakteristik yang menonjol pada anak-anak antara lain : tidak mengekang keinginannya dan selalu ingin dipuaskan
sepenuhnya, tidak membatasi keinginannya, tidak akan berusaha menyesuaikan dengan konsep-konsep yang
dimiliki orang dewasa. Anak sebagai manusia mempunyai predisposisi dasar, yaitu dua karakteristik yang melekat
pada kodrat anak manusia yang mencakup : (1) sebagai makhluk yang mempunyai sifat penganut kebiasaan; (2)
sebagai makhluk yang mempunyai sifat mudah menerima pengaruh, khususnya keterbukaannya terhadap pengaruh
perintah (Durkheim, 1990 : 97). Dua predisposisi dasar yang terdapat pada anak manusia tersebut, kiranya
memberikan peluang bagi para orang tua, guru dll untuk mewujudkan suatu pembentukan moral dan perilaku
yang baik melalui pengaruh-pengaruh positif yang dapat disetujui anak, tanpa bantuan berbagai pengaruh tersebut,
maka pembentukan moral dan perilaku yang baik pada anak tidak akan dapat tercapai secara optimal.

5

Peranan orang tua (ibu) sangatlah besar dalam menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik pada anak,
seperti halnya : menggosok gigi, cuci tangan sebelum makan, cuci kaki sebelum tidur dll. Apabila kebiasaankebiasaan seperti di atas terus menerus ditanamkan, maka lama kelamaan akan terbentuk kedisiplinan anak terhadap
perilaku-perilaku tersebut dan melalui penanaman kebiasaan, maka kedisiplinan anak dapat ditanamkan, karena
kedisiplinan merupakan produk dari kebiasaan (Markum, 2000 : 4). Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang
cukup efektif dalam menanamkan disiplin pada diri anak. Suatu hal yang sangat esensial dalam disiplin adalah
‘menghormati peraturan’, di mana hal terse-but jarang atau kurang dikembangkan dalam lingkungan keluarga
pada saat ini. Keluarga khususnya pada saat ini merupakan kelompok kecil di mana orang yang satu dengan yang
lain saling mengenal dengan baik dan saling berhubungan sangat erat, karena itu hubungan mereka sering tidak
tunduk pada peraturan-peraturan umum, tetapi sebaliknya mereka biasa memiliki suasana kebebasan yang
menyenangkan yang membuat mereka menolak setiap peraturan yang ketat, mereka lebih sering saling
menyesuaikan diri dari pada terjadi perbedaan pribadi; sehingga pendidikan disiplin dalam keluarga tidak dapat
diandalkan seratus persen. Sekolah dapat mengajarkan pada anak-anak untuk belajar menghormati peraturan, seperti
: masuk sekolah pada jam tujuh pagi tepat tidak boleh terlambat, tidak boleh membuat onar, harus mengerjakan
pekerjaan rumah dll. Pembiasaan menghormati peraturan sebagaimana di atas tidak akan dipenuhi secara sempurna
dalam keluarga dan harus dibebankan pada sekolah. Beberapa kewajiban siswa sebagai warga sekolah akan
membentuk disiplin sekolah, melalui sekolah kiranya dapat ditanamkan dan dikuatkan semangat disiplin pada diri
anak sehingga pada akhirnya akan terjadi pembentukan karakter ’disiplin diri’ pada anak tersebut.
Disiplin pada hakikatnya merupakan kemampuan mengendalikan diri dalam bentuk tidak melakukan
sesuatu tindakan yang tidak sesuai dan bertentangan de-ngan peratutan yang telah ditetapkan, dan dalam
kehidupan sehari-hari disiplin dikenal dengan disiplin diri, disiplin belajar dan disiplin kerja (Soedijarto, 1993 :
63). Mengajarkan anak tentang disiplin tidak lain mengajarkan bagaimana berperilaku agar sesuai dengan
standar kelompok sosial di mana anak berada, apakah di rumah, di sekolah, di tempat bermain dll. Peran guru
dan orang tua adalah untuk menuntun dan membimbing agar anak atau siswa mempunyai perilaku yang dapat
diterima oleh kelompok sosialnya melalui proses belajar sambil mengerjakan (learning by doing).
Ketika anak-anak mulai menginjak sekolah atau mulai memasuki lingkungan yang lebih luas bergaul dengan
banyak orang yang berbeda, maka anak akan menemukan bahwa dalam situasi di mana kebiasaan-kebiasaan
yang sederhana di rumah mungkin tidak berfungsi lagi, sehingga mereka memerlukan petunjuk untuk membangun
kebiasaan-kebiasaan yang diinginkan kelompok sosial barunya. Dengan demikian belajar disiplin diri tidak ada kata
berhenti, tetapi tetap terus dilakukan sepanjang seseorang masih bersosialisasi dengan orang lain, agar selalu
dapat diterima dalam kelompok sosial manapun. Secara umum disiplin mencakup empat unsur yaitu : (1)
peraturan sebagai pedoman perilaku; (2) konsistensi dalam penerapan peraturan, (3) hukuman untuk
pelanggaran peraturan; (4) penghargaan untuk perilaku yang baik (Hurlock, 1993 : 84). Ketiadaan disiplin pada
seseorang akan mengakibatkan kebingungan dan menjadi sumber penderitaan bagi mereka yang harus hidup
dalam suatu kelompok sosial yang mempunyai aturan tertentu. Kiranya cukup mudah dimengerti mengapa
kebutuhan/ keinginan akan keteraturan, kesinambungan hanya dapat dihasilkan oleh peradaban masyarakat yang
cukup maju atau penduduknya telah mempunyai disiplin diri yang tinggi. Penghargaan terhadap perilaku baik tidak
perlu berupa materi, tetapi dapat berupa non materi yaitu : melalui pujian, senyuman, tepukan di pundak, ucapan
selamat dll. Aspek dari penghargaan meliputi : (1) pemberian hadiah materi; (2) pemberian promotion/kenaikan
peringkat; (3) pemberian pengakuan, pujian atau kepercayaan (Beck, 1990 : 348). Pengulangan perilaku yang
baik juga merupakan suatu penguatan, tiadanya penghargaan akan melemahkan keinginan untuk mengulang
perilaku yang baik. Manfaat dari disiplin diri, antara lain : (1) memberi anak rasa aman dengan dipahaminya apa
yang boleh dan apa yang tidak boleh; (2) membantu anak menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat
perilaku yang salah; (3) anak akan belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian; (4) berfungsi
sebagai motivasi atau pendorong untuk memenuhi apa yang diinginkan; (5) disiplin dapat membantu
mengembangkan hati nurani (Hurlock, 1993 : 83).
Berdasarkan uraian dan penjelasan tentang disiplin sebagaimana di atas, maka pengertian disiplin diri
adalah kecenderungan untuk melakukan pengendalian diri ter-hadap perilaku-perilaku yang tidak disetujui
kelompok sosialnya berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh kelompok sosial tersebut; yang dapat
diukur dengan adanya kecenderungan menjadikan peraturan sebagai pedoman perilaku (memberikan rasa aman,
menghindari rasa bersalah, membantu dalam pergaulan), kecenderungan konsisten dalam penerapan peraturan
(menjadi kebiasaan hidup), kecenderungan komitmen terhadap pemberian penghargaan (pemberian hadiah, pujian,

6

pengakuan, kepercayaan) dan hukuman (pemberian nilai buruk, teguran, tugas tambahan, penundaan atas hakhaknya); di mana hal-hal tersebut dapat digunakan untuk membangun karakter, seperti kebiasaan belajar/bekerja
efisien, perilaku yang sesuai, perhatian terhadap orang lain, hidup secara
tertib, pengen-dalian terhadap
rangsangan dan emosi orang lain dll.
Dari uraian tersebut maka rumusan hipotesis penelitian (1)Terdapat hubungan positif antara kebutuhan
berprestasi dengan kesuksesan (belajar); (2) Terdapat hubungan positif antara daya juang dengan kesuksesan
(belajar); (3) Terdapat hubungan positif antara disiplin diri dengan kesuksesan (belajar); (4) Terdapat hubungan
positif antara kebutuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri secara bersama-sama dengan kesuksesan (belajar).
III.

METODOLOGI PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data secara empirik tentang : (1) hubungan antara kebutuhan
berprestasi, daya juang, dan disiplin diri baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan kesuksesan (belajar);
(2) mencari model prediksi hubungan antara kebutuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri terhadap kesuksesan
(belajar) baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Penelitian dilakukan di SMKN kelompok Bisnis Manajemen program Akuntansi di wilayah DKI Jakarta.
Sampel penelitian berjumlah 153 siswa yang diambil dengan teknik cluster random sampling dari 363 siswa klas II
program akuntansi yang tersebar pada 33 SMKN kelompok Bisnis Manajemen, DKI Jakarta. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode survei, data penelitian dianalisis dengan analisis regresi dan korelasi. Analisis regresi
digunakan untuk menentukan model hubungan antara kesuksesan (Y) dengan kebutuhan berprestasi (X1), daya
juang (X2) dan disiplin diri (X3), baik secara sendiri-sendiri (regresi sederhana) maupun secara bersama-sama
(regresi jamak); sedangkan analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui kuat tidaknya hubungan antara variabelvariabel tersebut. Konstelasi masalah penelitian digambarkan sebagai berikut :

X1
X2

Y

X3

Keterangan :
X1
= Kebutuhan Berprestasi
X2
= Daya Juang
X3
= Disiplin diri
Y
= Kesuksesan (Belajar)
IV.

HASIL PENELITIAN

A.

PENGUJIAN HIPOTESIS

1.

Hubungan antara Kebutuhan Berprestasi (X1) dengan Kesuksesan (Y)

7

Analisis data regresi sederhana hubungan antara kebutuhan berprestasi (X1) dengan kesuksesan (Y)
menghasilkan model hubungan Ŷ = 0,541 + 0,119 X1. Uji keberartian persamaan regresi dan kelinieran model
persamaan tersebut dengan menggunakan analisis varians sebagaimana disajikan pada Tabel 1. berikut ini :
Tabel 1. Analisis Varians Regresi Linier Sederhana Ŷ = 0,541 + 0,119 X1
F table
Sumber Varians

Dk

JK

RJK

F hitung

Total
Regresi
Sisa
Tuna Cocok
Galat

152
1
151
24
127

736,99
70,11
666,89
127,39
539,50

70,11
4,42
5,31
4,25

15,87**

3,84

1,25ns

1,61

α=
0,05

α=
0,01
6,63
1,95

Keterangan :
** = sangat signifikan
ns = tidak signifikan = regresi linier
dk = derajat kebebasan
JK = jumlah kuadrat
RJK = rata-rata jumlah kuadrat
Hasil analisis varians (ANAVA) sebagaimana Tabel 1. dapat disimpulkan bahwa model regresi Ŷ = 0,541
+ 0,119 X1 adalah ‘sangat signifikan dan linier’, hal tersebut memberikan makna bahwa setiap
peningkatan/penurunan 10 satuan (skor) kebutuhan berprestasi, akan diikuti dengan peningkatan/penurunan
kesuksesan (hasil belajar) sebesar 1,19 satuan (skor) pada konstanta 0,541. Kekuatan hubungan antara kedua
variabel tersebut ditunjukkan oleh besarnya koefisien korelasi (r y1) yaitu sebesar 0,308, dan hasil uji keberartian
koefisien korelasi dengan uji t didapat hasil t hitung > t tabel baik untuk α = 0,05 maupun α = 0,01, hal ini berarti
hubungan kebutuhan berprestasi dengan kesuksesan (hasil belajar) adalah ‘positif dan sangat signifikan’. Koefisien
determinasi (ry12) sebesar 0,095, hal ini menunjukkan bahwa 9,5 % variasi kesuksesan (hasil belajar) dapat
dijelaskan oleh kebutuhan berprestasi melalui persamaan Ŷ= 0,541+ 0,119 X1. Apabila variabel daya juang dan
disiplin diri dikendalikan (konstan), maka melalui analisis korelasi parsial diperoleh kesimpulan sebagaimana
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rangkuman Pengujian Koefisien Korelasi Parsial Hubungan antara
Kebutuhan Berprestasi (X1) dengan Kesuksesan (Y)
t table
Koefisien Korelasi
ry1

= 0,3080

thitung
3,98**

α = 0,05
1,65

α = 0,01
2,33

ry1.2 = 0,1827

2,28*

1,65

2,33

ry1.3 = 0,1757

2,19*

1,65

2,33

ry1.23 = 0,1212

1,49ns

1,65

2,33

Keterangan :
**
= sangat signifikan
*
= signifikan
ns = tidak signifikan
ry1 = koefisien korelasi antara X1 dg Y
ry1.2 = koefisien korelasi parsial X1 dg Y, jika X2 dikontrol
ry1.3 = koefisien korelasi parsial X1 dg Y, jika X3 dikontrol

8

Dari Tabel 2. di atas dapat disimpulkan bahwa korelasi parsial antara kebutuhan berprestasi dengan
kesuksesan (hasil belajar) adalah ‘positif dan signifikan’ pada α : 0,05 jika daya juang dan disiplin diri
dikontrol secara sendiri-sendiri, sedangkan jika keduanya dikontrol secara bersama-sama korelasi parsialnya
tidak signifikan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap peningkatan kebutuhan berprestasi
dapat meningkatkan atau memperbaiki kesuksesan.
2.

Hubungan antara Daya Juang (X2) dengan Kesuksesan (Y)
Analisis regresi sederhana hubungan antara daya juang (X2) dengan Kesuksesan
(Y)
menghasilkan
model hubungan Ŷ= - 2,725 + 0,123 X2. Uji keberartian persamaan regresi dan kelinieran model persamaan
tersebut dengan menggunakan analisis varians sebagaimana disajikan pada Tabel 3.sbb :
Tabel 3. Analisis Varians Regresi Linier Sederhana Ŷ = - 2,725 + 0,123 X2
Sumber Varians
Total
Regresi
Sisa
Tuna Cocok
Galat

DK
152
1
151

JK
736,99
91,70
645,30

RJK
91,70
4,27

F hitung
-

α = 0,05
-

1,46**

3,84

1,32ns

1,61

F table
α = 0,01
6,63

5,34
27
124

144,28
501,02

4,04

1,95

Keterangan :
** = sangat signifikan
ns = tidak signifikan = regresi linier
dk = derajat kebebasan
JK = jumlah kuadrat
RJK = rata-rata jumlah kuadrat
Hasil analisis varians (ANAVA) sebagaimana Tabel 3. dapat disimpulkan bahwa model regresi Ŷ = -2,725
+ 0,123 X2 adalah ‘sangat signifikan dan linier’, hal tersebut memberikan makna bahwa setiap
peningkatan/penurunan 10 satuan (skor) daya juang, akan diikuti dengan peningkatan/penurunan kesuksesan (hasil
belajar) sebesar 1,23 satuan
pada konstanta - 2,725. Kekuatan hubungan antara kedua variabel tersebut
ditunjukkan oleh besarnya koefisien korelasi (ry2) yaitu sebesar 0,353, dan hasil uji keberartian koefisien korelasi
dengan uji t didapat hasil t hitung > t tabel baik untuk α = 0,05 maupun α = 0,01 (Tabel 8), hal ini berarti bahwa
hubungan daya juang dengan kesuksesan (hasil belajar) adalah ‘positif dan sangat signifikan’. Koefisien determinasi
(ry22) sebesar 0,1246, hal ini menunjukkan bahwa 12,46 % variasi kesuksesan /hasil belajar dapat dijelaskan oleh
daya juang melalui persamaan Ŷ = - 2,725 + 0,123 X2. Apabila variabel kebutuhan berprestasi dan disiplin diri
dikendalikan (konstan), maka melalui analisis korelasi parsial diperoleh kesimpulan sebagaimana disajikan pada
Tabel 4. berikut ini :
Tabel 4. Rangkuman Pengujian Koefisien Korelasi Parsial Hubungan antara
Daya Juang (X2) dengan Kesuksesan (Y)
Koefisien Korelasi
t hitung
ry2 = 0,3530
4,64**
ry2.1 = 0,2543
3,22**
ry2.3 = 0,2169
2,72**
ry2.13 = 0,1764
2,18*
Keterangan :
** = sangat signifikan
* = signifikan
ry2 = koefisien korelasi antara X2 dg Y

t table
α = 0,05
1,65
1,65
1,65
1,65

α = 0,01
2,33
2,33
2,33
2,33

9

ry2.1 = koefisien korelasi parsial X2 dg Y, jika X1 dikontrol
ry2.3 = koefisien korelasi parsial X2 dg Y, jika X3 dikontrol
ry2.13 = koefisien korelasi parsial X2 dg Y, jika X1 dan X3
dikontrol
Dari Tabel 4. di atas dapat disimpulkan bahwa korelasi parsial antara daya juang dengan kesuksesan (hasil
belajar) adalah ‘positif dan sangat signifikan’ jika kebutuhan berprestasi maupun disiplin diri dikontrol secara
sendiri-sendiri, sedangkan jika keduanya dikontrol secara bersama-sama, maka korelasi parsialnya signifikan pada α
= 0,05. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap peningkatan daya juang dapat meningkatkan
atau memperbaiki kesuksesan.
3.

Hubungan antara Disiplin Diri (X3) dengan Kesuksesan (Y)

Analisis data regresi sederhana hubungan antara disiplin diri (X3) dengan kesuksesan/hasil belajar (Y)
menghasilkan model hubungan Ŷ= - 1,33 + 0,132 X3 . Uji keberartian persamaan regresi dan kelinieran model
persamaan tersebut dengan menggunakan analisis varians sebagaimana disajikan pada Tabel 5. berikut ini :
Tabel 5. Analisis Varians Regresi Sederhana Ŷ = - 1,331 + 0,132 X3
Sumber
Varians
Total
Regresi
Sisa
Tuna Cocok
Galat

Dk

JK

RJK

152
1
151

736,99
98,41
638,58

98,41
4,23

27
124

161,22
477,37

5,97
3,85

F hitung
-

-

F table
α = 0,05
α=
0,01
-

23,27**

3,84

1,55ns

1,61

6,6
3
1,95

Keterangan :
** = sangat signifikan
ns = tidak signifikan = regresi linier
dk = derajat kebebasan
JK = jumlah kuadrat
RJK = rata-rata jumlah kuadrat
Hasil analisis varians (ANAVA) sebagaimana Tabel 5. dapat disimpulkan bahwa model regresi Ŷ = 1,331 + 0,132 X3 adalah ‘sangat signifikan dan linier’, hal tersebut memberikan makna bahwa setiap
peningkatan/penurunan 10 satuan (skor) disiplin diri, akan diikuti dengan peningkatan/ penurunan kesuksesan (hasil
belajar) sebesar 1,32 satuan (skor) pada konstanta - 1,331. Kekuatan hubungan antara antara kedua variabel tersebut
ditunjukkan oleh besarnya koefisien korelasi (ry3) yaitu sebesar 0,365, dan hasil uji keberartian koefisien korelasi
dengan uji t didapat hasil t hitung > t tabel baik untuk α = 0,05 maupun α = 0,01, hal ini berarti bahwa hubungan
disiplin diri dengan kesuksesan (hasil belajar) adalah ‘positif dan sangat signifikan’. Koefisien determinasi (r y32)
sebesar 0,133 hal ini menunjukkan bahwa 13,30 % variasi kesuksesan (hasil belajar) dapat dijelaskan oleh disiplin
diri melalui persamaan Ŷ = - 1,331 + 0,132 X3. Apabila variabel kebutuhan berprestasi dan daya juang dikendalikan
(konstan), maka melalui analisis korelasi parsial diperoleh kesimpulan sebagaimana disajikan pada Tabel 6. berikut
ini :
Tabel 6. Rangkuman Pengujian Koefisien Korelasi Parsial Hubungan antara
Disiplin Diri (X3) dengan Kesuksesan (Y)
Koefisien Korelasi

t hitung

t table
α = 0,05

α = 0,01

10

ry3 = 0,3650

4,82**

1,65

2,33

ry3.1 = 0,2683

3,41**

1,65

2,33

ry3.2 = 0,2387

3,10**

1,65

2,33

ry3.12 = 0,1968

2,45**

1,65

2,33

Keterangan :
**
= sangat signifikan
ry3 = koefisien korelasi antara X3 dg Y
ry3.1 = koefisien korelasi parsial X3 dg Y, jika X1 dikontrol
ry3.2 = koefisien korelasi parsial X3 dg Y, jika X2 dikontrol
ry3.12 = koefisien korelasi parsial X3 dg Y, jika X1 dan X2 dikontrol

Dari Tabel 6. di atas dapat disimpulkan bahwa korelasi parsial antara disiplin diri dengan kesuksesan (hasil
belajar) adalah ‘positif dan sangat signifikan’ baik jika kebutuhan berprestasi dan disiplin diri dikontrol secara
sendiri-sendiri maupun jika keduanya dikontrol secara bersama-sama. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dikatakan bahwa setiap peningkatan disiplin diri dapat meningkatkan atau memperbaiki kesuksesan.
4.

Hubungan antara Kebutuhan Ber-prestasi (X1), Daya Juang (X2) dan Disiplin Diri (X3) dengan
Kesuksesan (Y)

Analisis data regresi jamak hubungan antara kebutuhan berprestasi (X1), daya juang (X2) dan disiplin diri
(X3) dengan kesuksesan/hasil belajar (Y) menghasilkan model hubungan Ŷ = - 7,452 + 0,049 X1 + 0,067 X2 +
0,078 X3. Uji keberartian persamaan regresi linier jamak tersebut dengan menggunakan analisis varians (ANAVA)
sebagaimana disajikan pada Tabel 7. berikut ini :

Tabel 7. Analisis Varians Regresi Linier Jamak Ŷ = - 7,452 + 0,049 X1 + 0,067 X2 + 0,078 X3
F tabel
Sumber Varians
Total

Dk
15
2
3
149

Regresi
Sisa
Keterangan :
** = sangat signifikan
dk = derajat kebebasan
JK = jumlah kuadrat
RJK = rata-rata jumlah kuadrat

JK

RJK

736,99

-

137,39
599,60

45,80
4,02

F hitung
11,38**

α=
0,05
2,60

α=
0,01
3,78

Hasil analisis varians (ANAVA) sebagaimana Tabel 7. dapat disimpulkan bahwa model regresi linier jamak
Ŷ = - 7,452 + 0,049 X1 + 0,067 X2 + 0,078 X3 adalah ‘sangat signifikan, hal tersebut memberikan makna bahwa
setiap peningkatan/penurunan 10 satuan (skor) kebutuhan berprestasi, 10 satuan (skor) daya juang dan 10 satuan
(skor) disiplin diri, maka akan diikuti dengan peningkatan/penurunan kesuksesan/hasil belajar sebesar 0,49 + 0,67 +
0,78 = 1,94 atau dibulatkan menjadi 2,0 satuan (skor) pada konstanta - 7,452. Kekuatan hubungan antara kebutuhan
berprestasi, daya juang dan disiplin diri secara bersama-sama dengan hasil belajar akuntansi ditunjukkan oleh

11

besarnya koefisien korelasi (Ry.123) yaitu sebesar 0,432, dan hasil uji keberartian koefisien korelasi dengan uji F
didapat hasil F hitung > F tabel baik untuk α = 0,05 maupun α = 0,01, hal ini berarti bahwa korelasi antara
kebutuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri secara bersama-sama dengan kesuksesan/hasil belajar ‘positif dan
sangat signifikan’. Koefisien determinasi (R y.1232) sebesar 0,186 hal ini menunjukkan bahwa 18,60 % variasi
kesuksesan/hasil belajar dapat dijelaskan oleh variabel kebubuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri
melalui persamaan Ŷ = - 7,452 + 0,049 X1 + 0,067 X2 + 0,078 X3.
Tabel 8.

Pengujian Koefisien Korelasi Hubungan antara Kebutuhan Berprestasi (X1),
Daya Juang (X2) dan Disiplin Diri (X3) dengan Kesuksesan/Hasil Beajar (Y)

Koefisien

F hitung

Korelasi
Ry.123 = 0,432

F tabel
α = 0,05

α = 0,01

2,60

3,78

11,36**

Keterangan :
**

= sangat signifikan

Berdasarkan uraian di atas dapat dika-takan bahwa setiap peningkatan kebutuhan berprestasi, daya juang dan
disiplin diri siswa secara bersama-sama akan berdampak pada peningkatan kesuksesan.
V.

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

1.

Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dari penelitian/ studi korelasional antara variabel bebas kebutuhan berprestasi, daya
juang dan disiplin diri dengan variabel terikat kesuksesan adalah :
a.
Semakin tinggi tingkat kebutuhan berprestasi seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kesuksesannya;
b.
Semakin tinggi tingkat daya juang seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kesuksesannya;
c.
Semakin tinggi tingkat disiplin diri seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kesuksesannya;
d.
Semakin tinggi tingkat kebutuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri seseorang secara bersama-sama,
maka semakin tinggi pula tingkat kesuksesannya;
e.
Karakter yang utama untuk mencapai kesuksesan adalah ‘disiplin diri’ kemudian disusul ‘daya juang’ dan’
kebutuhan berprestasi’ (disiplin diri sebagai faktor utama dalam mencapai kesuksesan); disiplin diri
merupakan karakter yang mempunyai sensivitas/kepekaan paling tinggi terhadap peningkatan kesuksesan
dibandingkan dengan daya juang dan kebutuhan berprestasi.
2.

Implikasi

a.

Perlu perhatian dan penanganan yang proporsional terhadap upaya-upaya pengembangan karakter positif para
siswa/mahasiswa, seperti : kebutuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri melalui pendidikan karakter di
sekolah/kampus, di mana pendidikan karakter tersebut merupakan hal yang melekat dan terintegrasi secara
alami dengan kegiatan pembelajaran, materi apapun yang diajarkan guru/dosen di dalamnya terkandung
upaya pendidikan karakter positif seperti : kebutuhan berprestasi, daya juang, disiplin diri dll;
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa disiplin diri dan daya juang merupakan karakter yang mempunyai
tingkat kepekaan atau sensivitas perubahan yang relatif lebih tinggi terhadap peningkatan kesuksesan
dibandingkan dengan kebutuhan berprestasi;
Pendidikan karakter di sekolah akan efektif jika mendapat dukungan dari lingkungan manajemen
sekolah/kampus maupun lingkungan masyarakat (orang tua murid), seperti : kemampuan menciptakan
kondisi belajar yang nyaman dan menyenangkan tidak saja mencakup adanya kebersihan dan ketertiban,
tetapi juga dapat mencegah perilaku yang mengganggu atau menimbulkan masalah, untuk itu perlu
penerapan sistem ‘hukuman’ dan ‘penghargaan' yang konsisten, kontinyu serta mendidik atau bersifat
memberikan penguatan terhadap perilaku positif; adanya model atau contoh keteladanan dalam penerapan
karakter/nilai-nilai positif dari para guru/dosen, manajemen sekolah atau orang tua dalam keseharian
aktivitasnya; juga perlu dukungan administratif dari sekolah yang didukung para orang tua terhadap upaya-

b.
c.

12

upaya pengembangan karakter positif seperti ‘laporan evaluasi diri’ tentang berbagai implementasi karakter
positif para siswa/mahasiswa.
3.

Saran

a.

Pendidikan karakter (character building) hendaknya dimulai dari lingkungan rumah/keluarga, yang mana
merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama, karena membentuk karakter positif pada anak akan
lebih mudah melalui pembiasaan pada anak ketika usia dini, yaitu ketika masih berada pada lingkungan
keluarga/rumah; sedangkan lembaga sekolah adalah berfungsi lebih banyak sebagai arena penguatan,
implementasi dan klarifikasi perilaku positif bagi anak menjelang persiapan aktualisasi peran di masa
mendatang;
Hendaknya para pendidik (dosen, guru, orang tua) menyadari bahwa pendidikan karakter positif (seperti :
kebutuhan berprestasi, daya juang dan disiplin diri) merupakan bagian yang melekat dan terintegrasi secara
alami dengan proses pembelajaran; dan pendidikan karakter bukan merupakan suatu materi pelajaran
tersendiri, tetapi merupakan bagian yang melekat dari setiap materi pelajaran. Apapun materi yang diajarkan
secara alami terkandung di dalamnya pendidikan karakter/nilai-nilai. Upaya pembentukan atau
pengembangan karakter positif siswa akan lebih efektif dilakukan jika melalui praktek yang diintegrasikan
dengan substansi materi pelajaran, di mana di dalamnya terkandung juga praktek nilai-nilai/karakter positif.
Pendidikan karakter tidak untuk dibicarakan atau didiskusikan; untuk itu perlunya kesadaran dan kemauan
yang ikhlas dari para dosen/guru untuk melakukan hal-hal tersebut di atas;
Disiplin diri merupakan karakter yang mempunyai sensivitas/kepekaan paling tinggi terhadap peningkatan
kesuksesan, dibanding daya juang dan kebutuhan berprestasi. Untuk itu perlu dikembangkan slogan “Tiada
Hari Tanpa Disiplin Diri” baik di lingkungan sekolah/kampus, di rumah maupun di lingkungan sosial
lainnya; dan secara nasional perlu digalakan ‘gerakan disiplin diri’, mengingat pada saat ini ‘krisis disiplin
diri’ telah banyak melanda para generasi muda Indonesia. Kurangnya disiplin atau ketiadaan disiplin akan
menjadi awal segala permasalahan termasuk maraknya perilaku korupsi yang saat ini melanda semua
sektor kehidupan bangsa Indonesia. Keteraturan dan kesinambungan dalam pelaksanaan pembangunan
hanya akan dapat dicapai oleh masyarakat yang mempunyai disiplin diri tinggi.

b.

c.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anderson, Lorin W. & David R. Krathwohl (ed). A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing, A Revision of
Bloom’s Taxonomy of Educational Objectices. New York : Longman Inc., 2001), pp. 27 – 31.
Anderson, Lorin W. & David R. Krathwohl (ed). A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing, A Revision of
Bloom’s Taxonomy of Educational Objectices. New York : Longman Inc., 2001), pp. 27 – 31.
Beck, Robert C. (ed.). Motivation - Theories and Principles. New Jersey : Prentice-Hall Inc., 1990.
Bernard. Harold W., Mental Health in The Classroom. New York : McGraw-Hill Book Company, 1970.
Chatterjee, Samprit & Betram Price. Regression Analysis by Example. New York : John Wiley & Sons, 1977.
Davies, Ivor K. Instructional Technique. New York : McGraw-Hill Book Company, 1981.
Durkheim, Emile. Pendidikan Moral. Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Erlangga.
1990.
Gage, N. L. & David C. Berliner. Educational Psychology. Boston : Houghton Mifflin Co., 1984
Gagne, Robert M. The Condition of Learning. New York : Holt Rinehart and Winston Inc., 1977.
Gibson James L., John M. Ivancevich & James H. Donnelly. Organisasi : Perilaku, Struktrur Dan Proses. Jakarta :
Bina Aksara, 1996.
Good, Thomas L. & Brophy, Jere E. Educational Psychology. New York : Longman, 1990.
Gronlund, Norman E. & Robert L. Linn. Measurement a