Dari Luar ke Dalam Layar lalu ke Luar La
Dari Luar ke Dalam Layar, lalu ke Luar Layar
Pengantar kuratorial Di Luar Ruang Suaka Hukuman1
Manshur Zikri
Kritikus dan anggota Forum Lenteng
aya pribadi menyetujui pandangan‐pandangan yang menganggap bahwa cerpen Franz
Kafka yang ditulis pertama kali tahun 1914, In The Penal Colony, adalah alegori dari
detik‐detik keruntuhan sistem hukum lama yang serba fisik, ritualistik, dan gigantik. Di
akhir cerita itu, kita seolah dihadapkan pada suatu keadaan baru yang belum (dan sangat
mungkin akan sulit) diuraikan; Kafka agaknya menawarkan sebuah pertanyaan tentang
bagaimana kita mengandaikan diri kita di tengah situasi yang serba tak terdefinisi dan tak
tersentuh—tetapi secara nyata hadir sebagai suatu rutinitas keseharian baru—di saat kuasa‐
kuasa terpusat membelah diri menjadi pecahan‐pecahan pengetahuan dan bahasa yang
memungkinkan produksi‐produksi difusional berupa kontrol alam bawah sadar.
Sebagaimana Deleuze menambahkan catatan untuk pandangan teoretik Foucault, bahwa
Masyarakat Disiplin (Disciplinary Societies) telah bertransformasi menjadi Masyarakat Kontrol
(Societies of Control), inilah saatnya kita harus mengakui pandangan Deleuze tentang
bagaimana ritus‐ritus berpembatas (‘sites of confinement’) telah menjadi “dunia tanpa
dinding” (‘infinite world’), tetapi justru sedang melipatgandakan “energi pemenjaraan”
(‘panoptic energy’) dalam bentuk tergaibnya; era analog digeser oleh era digital yang
mengakumulasi sengkarut sirkulasi komunikasi hingga ke alur terumitnya. Aparatus
teknologis pun kini melompat dalam jarak yang tak pernah terbayangkan oleh kita
sebelumnya.
Namun, satu hal: konon, menurut Manovich (1995), kita belum juga beranjak dari dunia layar
(the era of the screen).
Layar, kiranya, adalah kandidat yang paling mungkin menjadi “penjara abadi” (‘imperishable
enclosure’)2 di kehidupan manusia. Ketimbang berbicara tentang sistem hukum dan
S
1
Versi bahasa Inggris dari artikel ini adalah bagian dari Katalog Out of In The Penal Colony yang
diterbitkan oleh Forum Lenteng tahun 2017, sebagai pengantar kuratorial untuk karya seni
performans dari Otty Widasari, Prashasti W. Putri, Hanif Alghifary, dan Ragil Dwi Putra (yang
tergabung ke dalam tim 69 Performance Club).
2
“Penjara Abadi” adalah istilah dari saya sendiri untuk mengabstraksikan keadaan faktual yang
perdebatannya “diprovokasi” oleh Lev Manovich ketika ia menjelaskan “arkeologi layar komputer”
(lihat Lev Manovich, 1995, An Archeology of a Computer Screen). Menurutnya, kultur layar sudah
ada bahkan jauh sebelum kamera dan teknologi layar ditemukan, termasuk sejak era lukisan gua.
1
penghukuman lewat bahasa deskriptif yang naïve, upaya untuk mendisrupsi kemapanan
sistem kontrol tanpa akhir itu barangkali akan membuahkan inspirasi‐inspirasi yang lebih
menyegarkan lewat refleksi estetik atas elemen‐elemen yang membangun konsep
“aparatus”—jejala yang dibangun, muncul dari, dan berada dalam sebuah hubungan
kekuasaan dan jaringan/rezim pengetahuan.
Di Luar Ruang Suaka Hukuman (atau Out of in The Penal Colony, 2017) adalah proyek seni
performans yang digagas oleh Forum Lenteng, yang menjadi bagian dari 69 Performance
Club—sebuah platform yang mendorong studi kolaboratif berkelanjutan tentang
performativitas, yang diinisiasi oleh organisasi tersebut sejak awal tahun 2016 dengan
melibatkan sejumlah seniman di Indonesia. Karya performans yang diniatkan sebagai
presentasi khusus ini mencoba mengambil inspirasi dari cerpen Kafka itu dalam rangka
meluaskan kajian Forum Lenteng sendiri tentang situasi media dan seni pada masa sekarang.
Saya mengamini beberapa pemikir yang cenderung tidak berniat untuk mendefinisikan
“aparatus” secara terang‐terangan, lurus, dan tegas—sebagaimana yang dipercayai oleh
Agamben bahwa “…terminology is the poetic moment of thought” (Agamben, 2006, “What Is
an Apparatus?”). Alasannya tentu saja karena adanya beragam kompleksitas (baik yang
terkandung di dalam maupun yang terhubung dari luar) istilah itu. Sejalan dengan itu, saya
kira Di Luar Ruang Suaka Hukuman dikembangkan sebagai proyek seni performans yang
bukan dalam rangka menanggapi secara ilustratif, apalagi eksplanatoris, cerpen In The Penal
Colony. Akan tetapi, mengacu kepada beberapa poin dari cerita itu—yang oleh para
senimannya dianggap paling signifikan membentuk impresi kita mengenai sebuah
sistem/mekanisme pengaturan (‘a kind of regulatory mechanism or system’)—yang telah
dipilih sebagai materi yang kemudian diinterpretasi ke dalam bentuk performans, saya
berpendapat bahwa karya ini lebih sebagai upaya untuk mendeklamasikan artikulasi‐
artikulasi puitik tentang perubahan‐perubahan yang sedang berlangsung pada masa
sekarang—yaitu, era modulasi dan serba‐berlayar ini—di mana praktik multikorporasi lintas
wilayah akibat globalisasi, digitalisasi, dan ekspansi jaringan dunia maya adalah keadaan
faktual yang membangun situasi multi‐kontrol‐diri masyarakat dunia.
Deklamasi atas hal itu pada karya ini, sebagaimana dapat dilihat kemudian, dipertunjukkan
melalui suatu dramaturgi teknologis yang mencoba merefleksikan posisi tubuh manusia (i.e.
Sekarang ini, “layar” barangkali adalah entitas kontemporer yang tak akan pernah bisa lepas dari
kehidupan kita sehari‐hari; hanya karena interaksi dengan layar, interaksi antarmanusia pun bisa
tereduksi hingga ke situasi yang cukup mengkhawatirkan—kita seakan‐akan terpenjara dan
teralienasi dari kawajaran‐kewajaran atau bahkan hakikat kemanusiaan. Layar secara tidak langsung
“mengontrol” alam bawah sadar manusia Tentunya, gagasan ini tidak serta merta membuat kita
memilih kata ‘prison’ sebagai diksi dalam bahasa Inggris. Saya merasa kata ‘enclosure’ lebih tepat
karena kata tersebut secara kultural membawa narasi‐narasi historis yang berhubungan dengan
bagaimana “teknologi itu kemudian berkembang” hingga ke titik tercanggihnya pada masa sekarang
(dan mungkin terus ke masa depan).
2
para performer) di dalam situasi riil‐nya sekaligus keterhubungannya dengan realitas citraan
(atau dunia representasional), yang mana citraan‐citraan itu pada masa sekarang telah dapat
ditransmisikan secara langsung lewat suatu sirkuit elektronis yang diatur sedemikian rupa
sehingga membuka kemungkinan tentang komposisi bahasa artistik yang secara sadar
melibatkan perangkat‐perangkat media saat ini—yang bisa dibilang, merupakan aparatus
kontemporer—sebagai bagian utama dari langgam bahasa ataupun gaya ungkapnya.
Para seniman yang menciptakan karya ini, yaitu Otty Widasari, Prashasti Wilujeng Putri, Ragil
Dwi Putra, dan Hanif Alghifary—keempatnya adalah partisipan 69 Performance Club—
dengan sengaja mengimprovisasi terjemahan mereka sendiri mengenai konsep aparatus, baik
yang mengacu kepada gagasan‐gagasan yang terkembang di era lama (analog; fisik) dan yang
terbangun di era [media] baru (digital; tak dapat disentuh), serta hubungan timbal balik di
antara keduanya.
The Man, Decipher, The Wound, dan The Script adalah empat kata kunci yang mengandung
gagasan dan semangat untuk mendekonstruksi sistem regulatoris. Di satu sisi, keempat kata
kunci ini adalah tapal‐tapal batas yang menunjukkan bagaimana mekanisme regulatoris
bekerja; jampi‐jampi yang mengantarkan imajinasi tentang kekudusan hukum dan
penghukuman, tentang aparatus yang—mengadopsi kalimat Agamben—melepaskan segala
hal (termasuk kita, manusia) dari kewaran‐kewajaran profan dan menempatkannya ke
lingkungan yang terpisah (terisolasi).
Di sisi yang lain, jika kita menyetujui pandangan Agamben bahwa hal‐hal yang telah
dipisahkan lewat suatu aktivitas ritual semacam itu (termasuk, menurut saya, adalah
peristiwa penjatuhan vonis, ataupun penerapan kontrol dan disiplin oleh para penguasa
terhadap pihak‐pihak yang didominasi oleh mereka) dapat dipulihkan dan dikembalikan ke
ruang wajarnya melalui suatu aksi penggunaan atau penciptaan kontra‐aparatus—yakni,
Profanation (‘hujatan atas yang suci’), dalam istilah Agamben—maka, deklamasi berulang‐
ulang dari keempat kata kunci tersebut yang dilakukan oleh para seniman dengan
memanfaatkan distrosi‐distorsi elektronis dalam performans ini—turut serta di dalamnya
ialah [re]produksi langsung dari gambar dan suara yang dihasilkan melalui gerak konstan
tubuh mereka sendiri, bahkan diperluas efeknya dengan teknologi internet—tidak lain adalah
tindakan performatif konkret yang dilakukan secara intens dalam rangka mengganggu
kemapanan sistem kontrol dari aparatus itu sendiri. Sebagaimana Kafka yang melalui
cerpennya mencoba mengalegorisasikan sejauh apa suatu sistem hukum, penghukuman, dan
pengaturan mampu bertahan, Di Luar Ruang Suaka Hukuman adalah artikulasi subjektif para
performernya dalam rangka niat yang sama. Bahwa, imajinasi tentang keruntuhan sistem
yang kini ada, dan kedatangan sebuah era dengan sistem yang baru, barangkali, perlu
diandaikan lewat suatu teror yang puitik.
3
Namun sepertinya, pengandaian‐pengandaian yang demikian, yakni imajinasi tentang
penggeseran suatu mekanisme lama oleh mekanisme yang baru, selalu akan tetap menuntut
keseimbangan. Dalam pandangan yang ekstrem, sebagaimana tergambarkan dalam cerpen
Kafka, kiranya peruntuhan mesin ritual yang gigantik itu (masih) membutuhkan suatu martir
yang secara sadar mengamini kesezamanan sang aparatus—dan hal ini mengindikasikan
bahwa “kejatuhan” sebuah aparatus akan tetap terjadi dengan mengikuti sifat dan karakter
elemen‐elemen yang membangunnya.
Jikalau Kafka menganggap penghancuran yang fisik membutuhkan pengorbanan fisik pula
dalam peristiwa yang sakral—The Officer yang dengan detail mengorasikan kemegahan sang
mesin (aparatus), lantas menyerahkan tubuhnya sebagai subjek penghukuman terakhir untuk
sang mesin sebelum menuju kehancurannya—para seniman performans Di Luar Ruang Suaka
Hukuman adalah subjek‐subjek yang merayakan kelindan teknologi media masa kini.
Mengikuti sifat dan karakter aparatus kontemporer, maka bukan lagi fisik, tapi mereka
memilih untuk “memerangkapkan” citra tubuh mereka ke dalam layar—entitas yang menjadi
“aparatus abadi” kita itu—dengan maksud untuk mendorong ke titik terjauh imajinasi mereka
sendiri tentang bahasa media yang lebih eksperimental, jikalau bukan tentang dunia media
(atau aparatus‐aparatus) yang lebih baru.
Karena kita masih akan tetap berada di bawah “kungkungan gaib” dunia layar itu, yang berarti
mekanisme regulasi masih akan tetap eksis hingga waktu yang tak dapat diduga ujungnya,
peristiwa‐peristiwa ritualistik kiranya bisa didapuk dan sekaligus diempang lewat permainan
bahasa seni—dalam konteks karya ini, ialah seni performans. Atau setidaknya, dengan cara
menguatkan kesadaran kita tentang bagaimana subjektifikasi (‘peng‐identitas‐an’—dalam
pengertian saya) itu diproduksi dan ditentukan definisinya oleh aparatus kekuasaan.
Di Luar Ruang Suaka Hukuman adalah bagian dari upaya para seniman tersebut untuk
mencari kemungkinan baru bagi cara pandang kita terhadap dunia yang “divonis” sebagai era
layar ini. Bagaimana kita kemudian—subjek yang berusaha melepas belenggu aturan demi
aturan yang ada—jika tak lagi berada di bawah “kuasa” layar? ***
Referensi:
Agamben, G. (2009). What Is an Apparatus?. Dalam G. Agamben, What Is an Apparatus?
and Other Essays (D. Kishik, & S. Pedatella, Penerjemah., hal. 1‐24). Stanford,
California: Standford University Press.
Deleuze, G. (1992). “Postscript on the Societies of Control”. October , 59 (Winter), 3‐7.
Hildebrand‐Nilshon, M., Motzkau, J., Papadopoulos, D. (2001). Reintegrating sense into
subjectification. Dalam J. R. Morss, N. Stephenson, H. van Rappard, (Editor),
Theoretical issues in psychology. Boston: Kluwer Academic Publishers.
4
Kafka, F. (2003, October). In the Penal Colony (terj. Ian Johnston). Diperoleh tanggal 8
November 2017, dari situs web The Kafka Project:
http://www.kafka.org/index.php?aid=167
Manovich, L. (1995). An Archeology of a Computer Screen. Diperoleh tanggal 8 November
2017, dari situs web Lev Manovich: http://manovich.net/content/04‐projects/011‐
archeology‐of‐a‐computer‐screen/09_article_1995.pdf
5
Pengantar kuratorial Di Luar Ruang Suaka Hukuman1
Manshur Zikri
Kritikus dan anggota Forum Lenteng
aya pribadi menyetujui pandangan‐pandangan yang menganggap bahwa cerpen Franz
Kafka yang ditulis pertama kali tahun 1914, In The Penal Colony, adalah alegori dari
detik‐detik keruntuhan sistem hukum lama yang serba fisik, ritualistik, dan gigantik. Di
akhir cerita itu, kita seolah dihadapkan pada suatu keadaan baru yang belum (dan sangat
mungkin akan sulit) diuraikan; Kafka agaknya menawarkan sebuah pertanyaan tentang
bagaimana kita mengandaikan diri kita di tengah situasi yang serba tak terdefinisi dan tak
tersentuh—tetapi secara nyata hadir sebagai suatu rutinitas keseharian baru—di saat kuasa‐
kuasa terpusat membelah diri menjadi pecahan‐pecahan pengetahuan dan bahasa yang
memungkinkan produksi‐produksi difusional berupa kontrol alam bawah sadar.
Sebagaimana Deleuze menambahkan catatan untuk pandangan teoretik Foucault, bahwa
Masyarakat Disiplin (Disciplinary Societies) telah bertransformasi menjadi Masyarakat Kontrol
(Societies of Control), inilah saatnya kita harus mengakui pandangan Deleuze tentang
bagaimana ritus‐ritus berpembatas (‘sites of confinement’) telah menjadi “dunia tanpa
dinding” (‘infinite world’), tetapi justru sedang melipatgandakan “energi pemenjaraan”
(‘panoptic energy’) dalam bentuk tergaibnya; era analog digeser oleh era digital yang
mengakumulasi sengkarut sirkulasi komunikasi hingga ke alur terumitnya. Aparatus
teknologis pun kini melompat dalam jarak yang tak pernah terbayangkan oleh kita
sebelumnya.
Namun, satu hal: konon, menurut Manovich (1995), kita belum juga beranjak dari dunia layar
(the era of the screen).
Layar, kiranya, adalah kandidat yang paling mungkin menjadi “penjara abadi” (‘imperishable
enclosure’)2 di kehidupan manusia. Ketimbang berbicara tentang sistem hukum dan
S
1
Versi bahasa Inggris dari artikel ini adalah bagian dari Katalog Out of In The Penal Colony yang
diterbitkan oleh Forum Lenteng tahun 2017, sebagai pengantar kuratorial untuk karya seni
performans dari Otty Widasari, Prashasti W. Putri, Hanif Alghifary, dan Ragil Dwi Putra (yang
tergabung ke dalam tim 69 Performance Club).
2
“Penjara Abadi” adalah istilah dari saya sendiri untuk mengabstraksikan keadaan faktual yang
perdebatannya “diprovokasi” oleh Lev Manovich ketika ia menjelaskan “arkeologi layar komputer”
(lihat Lev Manovich, 1995, An Archeology of a Computer Screen). Menurutnya, kultur layar sudah
ada bahkan jauh sebelum kamera dan teknologi layar ditemukan, termasuk sejak era lukisan gua.
1
penghukuman lewat bahasa deskriptif yang naïve, upaya untuk mendisrupsi kemapanan
sistem kontrol tanpa akhir itu barangkali akan membuahkan inspirasi‐inspirasi yang lebih
menyegarkan lewat refleksi estetik atas elemen‐elemen yang membangun konsep
“aparatus”—jejala yang dibangun, muncul dari, dan berada dalam sebuah hubungan
kekuasaan dan jaringan/rezim pengetahuan.
Di Luar Ruang Suaka Hukuman (atau Out of in The Penal Colony, 2017) adalah proyek seni
performans yang digagas oleh Forum Lenteng, yang menjadi bagian dari 69 Performance
Club—sebuah platform yang mendorong studi kolaboratif berkelanjutan tentang
performativitas, yang diinisiasi oleh organisasi tersebut sejak awal tahun 2016 dengan
melibatkan sejumlah seniman di Indonesia. Karya performans yang diniatkan sebagai
presentasi khusus ini mencoba mengambil inspirasi dari cerpen Kafka itu dalam rangka
meluaskan kajian Forum Lenteng sendiri tentang situasi media dan seni pada masa sekarang.
Saya mengamini beberapa pemikir yang cenderung tidak berniat untuk mendefinisikan
“aparatus” secara terang‐terangan, lurus, dan tegas—sebagaimana yang dipercayai oleh
Agamben bahwa “…terminology is the poetic moment of thought” (Agamben, 2006, “What Is
an Apparatus?”). Alasannya tentu saja karena adanya beragam kompleksitas (baik yang
terkandung di dalam maupun yang terhubung dari luar) istilah itu. Sejalan dengan itu, saya
kira Di Luar Ruang Suaka Hukuman dikembangkan sebagai proyek seni performans yang
bukan dalam rangka menanggapi secara ilustratif, apalagi eksplanatoris, cerpen In The Penal
Colony. Akan tetapi, mengacu kepada beberapa poin dari cerita itu—yang oleh para
senimannya dianggap paling signifikan membentuk impresi kita mengenai sebuah
sistem/mekanisme pengaturan (‘a kind of regulatory mechanism or system’)—yang telah
dipilih sebagai materi yang kemudian diinterpretasi ke dalam bentuk performans, saya
berpendapat bahwa karya ini lebih sebagai upaya untuk mendeklamasikan artikulasi‐
artikulasi puitik tentang perubahan‐perubahan yang sedang berlangsung pada masa
sekarang—yaitu, era modulasi dan serba‐berlayar ini—di mana praktik multikorporasi lintas
wilayah akibat globalisasi, digitalisasi, dan ekspansi jaringan dunia maya adalah keadaan
faktual yang membangun situasi multi‐kontrol‐diri masyarakat dunia.
Deklamasi atas hal itu pada karya ini, sebagaimana dapat dilihat kemudian, dipertunjukkan
melalui suatu dramaturgi teknologis yang mencoba merefleksikan posisi tubuh manusia (i.e.
Sekarang ini, “layar” barangkali adalah entitas kontemporer yang tak akan pernah bisa lepas dari
kehidupan kita sehari‐hari; hanya karena interaksi dengan layar, interaksi antarmanusia pun bisa
tereduksi hingga ke situasi yang cukup mengkhawatirkan—kita seakan‐akan terpenjara dan
teralienasi dari kawajaran‐kewajaran atau bahkan hakikat kemanusiaan. Layar secara tidak langsung
“mengontrol” alam bawah sadar manusia Tentunya, gagasan ini tidak serta merta membuat kita
memilih kata ‘prison’ sebagai diksi dalam bahasa Inggris. Saya merasa kata ‘enclosure’ lebih tepat
karena kata tersebut secara kultural membawa narasi‐narasi historis yang berhubungan dengan
bagaimana “teknologi itu kemudian berkembang” hingga ke titik tercanggihnya pada masa sekarang
(dan mungkin terus ke masa depan).
2
para performer) di dalam situasi riil‐nya sekaligus keterhubungannya dengan realitas citraan
(atau dunia representasional), yang mana citraan‐citraan itu pada masa sekarang telah dapat
ditransmisikan secara langsung lewat suatu sirkuit elektronis yang diatur sedemikian rupa
sehingga membuka kemungkinan tentang komposisi bahasa artistik yang secara sadar
melibatkan perangkat‐perangkat media saat ini—yang bisa dibilang, merupakan aparatus
kontemporer—sebagai bagian utama dari langgam bahasa ataupun gaya ungkapnya.
Para seniman yang menciptakan karya ini, yaitu Otty Widasari, Prashasti Wilujeng Putri, Ragil
Dwi Putra, dan Hanif Alghifary—keempatnya adalah partisipan 69 Performance Club—
dengan sengaja mengimprovisasi terjemahan mereka sendiri mengenai konsep aparatus, baik
yang mengacu kepada gagasan‐gagasan yang terkembang di era lama (analog; fisik) dan yang
terbangun di era [media] baru (digital; tak dapat disentuh), serta hubungan timbal balik di
antara keduanya.
The Man, Decipher, The Wound, dan The Script adalah empat kata kunci yang mengandung
gagasan dan semangat untuk mendekonstruksi sistem regulatoris. Di satu sisi, keempat kata
kunci ini adalah tapal‐tapal batas yang menunjukkan bagaimana mekanisme regulatoris
bekerja; jampi‐jampi yang mengantarkan imajinasi tentang kekudusan hukum dan
penghukuman, tentang aparatus yang—mengadopsi kalimat Agamben—melepaskan segala
hal (termasuk kita, manusia) dari kewaran‐kewajaran profan dan menempatkannya ke
lingkungan yang terpisah (terisolasi).
Di sisi yang lain, jika kita menyetujui pandangan Agamben bahwa hal‐hal yang telah
dipisahkan lewat suatu aktivitas ritual semacam itu (termasuk, menurut saya, adalah
peristiwa penjatuhan vonis, ataupun penerapan kontrol dan disiplin oleh para penguasa
terhadap pihak‐pihak yang didominasi oleh mereka) dapat dipulihkan dan dikembalikan ke
ruang wajarnya melalui suatu aksi penggunaan atau penciptaan kontra‐aparatus—yakni,
Profanation (‘hujatan atas yang suci’), dalam istilah Agamben—maka, deklamasi berulang‐
ulang dari keempat kata kunci tersebut yang dilakukan oleh para seniman dengan
memanfaatkan distrosi‐distorsi elektronis dalam performans ini—turut serta di dalamnya
ialah [re]produksi langsung dari gambar dan suara yang dihasilkan melalui gerak konstan
tubuh mereka sendiri, bahkan diperluas efeknya dengan teknologi internet—tidak lain adalah
tindakan performatif konkret yang dilakukan secara intens dalam rangka mengganggu
kemapanan sistem kontrol dari aparatus itu sendiri. Sebagaimana Kafka yang melalui
cerpennya mencoba mengalegorisasikan sejauh apa suatu sistem hukum, penghukuman, dan
pengaturan mampu bertahan, Di Luar Ruang Suaka Hukuman adalah artikulasi subjektif para
performernya dalam rangka niat yang sama. Bahwa, imajinasi tentang keruntuhan sistem
yang kini ada, dan kedatangan sebuah era dengan sistem yang baru, barangkali, perlu
diandaikan lewat suatu teror yang puitik.
3
Namun sepertinya, pengandaian‐pengandaian yang demikian, yakni imajinasi tentang
penggeseran suatu mekanisme lama oleh mekanisme yang baru, selalu akan tetap menuntut
keseimbangan. Dalam pandangan yang ekstrem, sebagaimana tergambarkan dalam cerpen
Kafka, kiranya peruntuhan mesin ritual yang gigantik itu (masih) membutuhkan suatu martir
yang secara sadar mengamini kesezamanan sang aparatus—dan hal ini mengindikasikan
bahwa “kejatuhan” sebuah aparatus akan tetap terjadi dengan mengikuti sifat dan karakter
elemen‐elemen yang membangunnya.
Jikalau Kafka menganggap penghancuran yang fisik membutuhkan pengorbanan fisik pula
dalam peristiwa yang sakral—The Officer yang dengan detail mengorasikan kemegahan sang
mesin (aparatus), lantas menyerahkan tubuhnya sebagai subjek penghukuman terakhir untuk
sang mesin sebelum menuju kehancurannya—para seniman performans Di Luar Ruang Suaka
Hukuman adalah subjek‐subjek yang merayakan kelindan teknologi media masa kini.
Mengikuti sifat dan karakter aparatus kontemporer, maka bukan lagi fisik, tapi mereka
memilih untuk “memerangkapkan” citra tubuh mereka ke dalam layar—entitas yang menjadi
“aparatus abadi” kita itu—dengan maksud untuk mendorong ke titik terjauh imajinasi mereka
sendiri tentang bahasa media yang lebih eksperimental, jikalau bukan tentang dunia media
(atau aparatus‐aparatus) yang lebih baru.
Karena kita masih akan tetap berada di bawah “kungkungan gaib” dunia layar itu, yang berarti
mekanisme regulasi masih akan tetap eksis hingga waktu yang tak dapat diduga ujungnya,
peristiwa‐peristiwa ritualistik kiranya bisa didapuk dan sekaligus diempang lewat permainan
bahasa seni—dalam konteks karya ini, ialah seni performans. Atau setidaknya, dengan cara
menguatkan kesadaran kita tentang bagaimana subjektifikasi (‘peng‐identitas‐an’—dalam
pengertian saya) itu diproduksi dan ditentukan definisinya oleh aparatus kekuasaan.
Di Luar Ruang Suaka Hukuman adalah bagian dari upaya para seniman tersebut untuk
mencari kemungkinan baru bagi cara pandang kita terhadap dunia yang “divonis” sebagai era
layar ini. Bagaimana kita kemudian—subjek yang berusaha melepas belenggu aturan demi
aturan yang ada—jika tak lagi berada di bawah “kuasa” layar? ***
Referensi:
Agamben, G. (2009). What Is an Apparatus?. Dalam G. Agamben, What Is an Apparatus?
and Other Essays (D. Kishik, & S. Pedatella, Penerjemah., hal. 1‐24). Stanford,
California: Standford University Press.
Deleuze, G. (1992). “Postscript on the Societies of Control”. October , 59 (Winter), 3‐7.
Hildebrand‐Nilshon, M., Motzkau, J., Papadopoulos, D. (2001). Reintegrating sense into
subjectification. Dalam J. R. Morss, N. Stephenson, H. van Rappard, (Editor),
Theoretical issues in psychology. Boston: Kluwer Academic Publishers.
4
Kafka, F. (2003, October). In the Penal Colony (terj. Ian Johnston). Diperoleh tanggal 8
November 2017, dari situs web The Kafka Project:
http://www.kafka.org/index.php?aid=167
Manovich, L. (1995). An Archeology of a Computer Screen. Diperoleh tanggal 8 November
2017, dari situs web Lev Manovich: http://manovich.net/content/04‐projects/011‐
archeology‐of‐a‐computer‐screen/09_article_1995.pdf
5