Masalah Pengakuan Recognition dalam Huku

Masalah Pengakuan (Recognition) dalam Hukum Internasional
Kalaulah kita menilik ke belakang, sudah menjadi tabiat manusia
sebagai makhluk sosial yang senang hidup berkelompok berdasarkan
suku, adat atau agama yang selanjutnya dari kelompok kelompok kecil
tersebut semakin besar sehingga terbentuklah suatu negara. Hal ini
mengingat kebutuhan vital akan adanya kekuasaan (pemerintah) yang
melindungi sebuah komunitas tersebut serta menjaga keadilan bagi
seluruh anggotanya.
Dalam dunia modern seperti saat ini menjadi sesuatu yang mustahil
akan terjadinya negara atau pemerintahan baru kecuali dengan cara
memisahkan diri, atau melebur menjadi suatu negara yang baru. Pada
saat inilah negara atau pemerintahan baru baik secara pemisahan
atau peleburan membutuhkan bukti akan berdirinya suatu negara atau
pemerintahan baru yang sering di sebut sebagai pengakuan atas
negara atau pemerintahan baru, yang selanjutnya menjadi teori baru
dalam hal pembentukan negara.
Pengakuan terhadap suatu negara atau bangsa muncul pasca Perang
Dunia I, yaitu ketika kelompok perjuangan dari suatu wilayah yang
masih dikuasai berusaha memerdekakan diri dan membangun suatu
bangsa. Kemunculannya teori pengakuan juga memberikan dorongan
kepada bangsa-bangsa terjajah untuk memperjuangkan haknya.

Eksistensi suatu Negara juga berkenaan dengan kemampuannya
menyelenggarakan hubungan internasional, meskipun kepastian batas
wilayah belum ditentukan.
Meskipun teori ini masih dalam perdebatan bagi ahli hukum akan
kewajiban penerapan pengakuan dalam pendirian suatu negara atau
pemerintahan baru, namun hal ini sangat unik untuk di kaji sebagai
teori baru yang seakan menjadi kebiasaan internasional yang tak
tertinggalkan.
Menurut Dr. Mohammed Hafeed Ghanem; Pengakuan terhadap negara
atau pemerintahan baru adalah suatu ikrar dari negara (anggota
komunitas internasional) terhadap negara atau pemerintahan baru
yang memenuhi unsur terbentuknya negara dan bermaksud untuk
menjalankan hubungan dengan negara tersebut sebagai subyek
hukum internasional.
Dalam prakteknya, pengakuan terhadap negara atau pemerintahan
baru merupakan aktifitas politik untuk mengakui adanya fakta tentang
kedaulatan pemerintahan negara tertentu yang termasuk di dalamnya
konsekuensi yang di timbulkan dari pengakuan tersebut.

Sifat Pengakuan Terhadap Negara Baru

Menurut J.G.Starke, dalam bukunya terdapat dua teori mengenai
Hakekat dan Fungsi dari “Pengakuan”, yaitu:
1. Teori konstitutif (Constitutive Theory)
Pada pengusung teori ini berpendapat bahwa negara atau
pemerintahan baru meskipun memenuhi semua persyaratan
terbentuknya negara seperti rakyat, wilayah dan pemeritahan tetapi
tidak bisa di anggap sebagai subjek hukum internasional jika tidak
mendapatkan pengakuan dari negara lain yang selanjutnya tidak akan
bisa menjalankan katifitasnya sebagai subjek hukum internasional.
Terpenuhinya unsur berdirinya negara hanya bisa menunjukkan
keberadaan negara secara materi, tetapi tidak menunjukkan
keberadaanya secara juridis, sehingga fungsi negara hanya terbatas
kepada pemberian hak asasi sebagai kelompok biasa bukan sebagai
subyek hukum internasional serta hal yang timbul karenaya sebagai
subjek hukum internasional baik dari segi hak dan kewajiban.
Teori ini sejalan dengan "teori kehendak" (an-nadhoriyyah alirâdiyyah), yang berlandaskan kepada keinginan berbagai negara
untuk patuh kepada hukum tersebut. Maka ketika hukum internasional
bersumber kepada keinginan negara-negara yang membentuknya
maka sudah selayaknya bagi negara-negara subjek hukum
internasional menentukan siapa saja yang berhak bergabung dalam

komunitas subjek hukum internasional.
2. Teori Deklaratoir (Declaratory Theory)
Para pengusung teori ini berpendapat bahwa pengakuan tidak
berpengaruh dalam penbentukan negara atau pemerintahan baru
selama terpenuhi semua unsur negara yang meliputi warga, wilayah
dan pemerintahan, hanya saja pengakuan berfungsi sebagai kegiatan
yuridis dari negara lain untuk penerimaan negara atau pemerintahan
baru tersebut dalam pergulatan internasional dalam masyarakat
internasional.
Berdasarkan penjelasan teori tersebut meskipun pada hakikatnya
pengakuan bukan unsur pembentuk dari suatu negara, yang melainkan
hanya pernyataan dalam hubungan internasioanal tetapi hal itu
penting dengan alasan sebagi berikuit:
1. Adanya kekhawatiran akan kelangsungan hidupnya (negara atau
pemerintahan baru) baik dari dalam negri (kudeta) atau intervensi dari

luar negeri
2. Ketentuan hukum alam yang tidak dapat di pungkiri bahwa negara
tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan negara lain, ketergantungan
itu terletak terutama dalam penyelesaian masalah sosial&budaya,

politik, pertahanan, keamanan dan ekonomi negara.
Karena adanya perbedaan pendapat yang bertolak belakang itulah
lantas lahir teori yang mencoba memberikan jalan tengah. Teori ini
disebut "Teori Pemisah", karena menurut teori ini, harus dipisahkan
antara kepribadian hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan
kewajiban dari pribadi hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi
hukum, suatu negara tidak memerlukan pengakuan. Namun, agar
pribadi hukum itu dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam
hukum internasional maka diperlukan pengakuan oleh negara-negara
lain.
Dalam konfrensi hukum internasional di Brussel pada tahun 1936,
menetapkan bahwa “adanya negara atau pemerintahan baru dengan
segala apa yang ikut bersamanya dari konsekuensi yang timbul
darinya tidak berpengaruh dengan penolakan pengakuan dari suatu
negra atau lebih”. Maka dari itu pengakuan atas negara atau
pemerintahan baru bersifat pernyataan saja bukan suatu pembentuk
negara itu sendiri dan berlaku surut atas kejadian yang timbul.
Macam-macam Pengakuan
Ada dua macam atau jenis pengakuan, yaitu :
1. Pengakuan de Facto

2. Pengakuan de Jure
Pengakuan de facto, secara sederhana dapat diartikan sebagai
pengakuan terhadap suatu fakta. Maksudnya, pengakuan ini diberikan
jika faktanya suatu negara itu memang ada. Oleh karena itu, bertahan
atau tidaknya pengakuan ini tergantung pada fakta itu sendiri, apa
fakta itu (yakni negara yang diberi pengakuan tadi) bisa bertahan atau
tidak. Dengan demikian, pengakuan ini bersifat sementara. Lebih
lanjut, karena sifatnya hanya memberikan pengakuan terhadap suatu
fakta maka pengakuan ini tidak perlu mempersoalkan sah atau
tidaknya pihak yang diakui itu. Sebab, bilamana negara yang diakui
(atau fakta itu) ternyata tidak bisa bertahan, maka pengakuan ini pun
akan berakhir dengan sendirinya.
Berbeda dengan pengakuan de facto yang bersifat sementara,
pengakuan de jure adalah pengakuan yang bersifat permanen.

Pengakuan ini diberikan apabila negara yang akan memberikan
pengakuan itu sudah yakin betul bahwa suatu negara yang baru lahir
itu akan bisa bertahan. Oleh karena itu, biasanya suatu negara akan
memberikan pengakuan de facto terlebih dahulu baru kemudian de
jure. Namun tidak selalu harus demikian. Sebab bisa saja suatu

negara, tanpa melalui pemberian pengakuan de facto, langsung
memberikan pengakuan de jure. Biasanya pengakuan de jure akan
diberikan apabila;
1. Penguasa di negara (baru) itu benar-benar menguasai (secara
formal maupun substansial) wilayah dan rakyat yang berada di bawah
kekuasaannya;
2. Rakyat di negara itu, sebagian besar, mengakui dan menerima
penguasa (baru) itu;
3. Ada kesediaan dari pihak yang akan diakui itu untuk menghormati
hukum internasional.
Bentuk Pengakuan
Dalam hukum internasional tidak di syaratkan bentuk khusus dalam
pengakuan atas negara atau pemerintahan baru, bisa secara terangterangan (tegas) atau tersirat, bisa juga secara pribadi dan
berkelompok, namun ada bentuk lain dari pengakuan yang masih
menimbulkan perdebatan di antara para ahli hukum, yaitu 'pengakuan
bersyarat', sebuah pemberian pengakuan atas negara atau
pemerintahan baru dengan syarat tertentu yang di ajukan oleh pihak
yang memberikan pengakuan. Lebih jelasnya sebagai berikut;
1. Pengakuan secara terang-terangan (tegas) expressed recognition,
yang terjadi jika terdapat perjanjian antara negara yang mengakui dan

negara baru akan pengakuan telah berdirinya negara baru tersebut
dan kemerdekaanya. Atau adanya hubungan diplomasi antara
keduanya.
2. Pengakuan secara tersirat (diam-diam) implied recognition, terjadi
jika adanya tindakan-tindakan anatara dua negara tersebut yang dapat
di simpulkan adanya pengakuan darinya. Hal yang dapat di katakan
sebagai pengakuan tersirat seperti halnya; Pembukaan hubungan
diplomatis, Kunjungan kenegaraan resmi atau perjanjian politik antara
negara yang mengakui dan diakui.
3. Pengakuan secara pribadi yaitu sebuah pengakuan yang keluar dari
suatu negara dengan sendirinya atas berdirinya suatu negara atau
pemerintahan baru baik secara terang-terangan ataupun secara

tersirat.
4. Pengakuan terhadap negara secara bersamaan yaitu dengan
membuat konferensi yang terdiri dari berbagai negara untuk mengakui
kedaulatan negara baru secara bersamaan.
5. Pengakuan bersyarat adalah pengakuan di mana negara yang
mengakui memberikan syarat khusus berbentuk kewajiban-kewajiban
tertentu yang harus dipenuhi negara yang diakui sebagai syarat dari

pengakuan tersebut. Ketika pengakuan bersyarat telah di sepakati dari
dua belah pihak, maka kewajiban yang dikenakan haruslah di jalankan.
Jika terjadi syarat yang ditentukan tidak terlaksana, negara yang
memberikan pengakuan dapat memutuskan hubungan diplomatik
sebagai sangsi dari tidak terpenuhinya syarat tersebut, hanya saja
negara yang mengakui tidak dapat menarik kembali pengakuanya
yang telah dibuat.
Untuk melihat contoh kongkrit dari pengakuan bersyarat yaitu;
a. Ketika AS mengakui kemerdekaan Bolivia pada tahun 1917 ketika itu
AS mensyaratkan bahwa Bolivia berjanji tidak akan menasionalisasikan
PMA (Penanaman Modal Asing) AS di Bolivia.
b. Kongres Berlin 1928 yang mana memberi pengakuan terhadap
Serbia dan Montenegro dengan syarat pemerintah Serbia maupun
Montenegro tidak memberlakukan larangan agama atau tidak boleh
memaksakan penyimpangan agama terhadap warga negaranya.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, apakah penerimaan anggota
organisasi internasional atas suatu negara baru dapat di jadikan
sebagai bentuk pengakuan atas berdirinya suatu negara baru?
Paha Ahli Hukum seperti Charles Rousseau, Kelsen dan George Shell
berpendapat bahwa pengakuan organisasi internasional adalah bukti

berdirinya negara baru atas semua negara anggota organisasi
tersebut, baik yang mengakuinya ataupun tidak, hal ini di sebabakan
bahwa piagam organisasi internasional memberikan konsekuensi akan
adanya hak dan kewajiban yang sama antar anggota yang
mewujudkan adanya perbuatan tolong menolong antar anggota.
Meskipun tidak menjadi kewajiban bagi anggota negara yang menolak
pengakuan atas negara tersebut untuk mengadakan hubungan
diplomasi antar mereka.
Tetapi kebanyakan ahli hukum internasional menolak pendapat
tersebut, hal tersebut di berlandaskan bahwa pengakuan atas negara
baru adalah perbuatan keridloan yang timbul dari dalam negara itu

sendiri sebagai bentuk dari kebebasan berpendapat atas kedaulatan
yang dimilikinya. Tetapi hal ini berlainan jika penerimaan anggota
organisasi internasional tersebut di lakukan dengan perkumpulan
seluruh negara anggota organisasi internasional tersebut, maka jika
tidak ada sanggahan atau protes atas negara baru tersebut dalam
organisasi itu dapat di katakan sebagai penerimaan yang tersirat.
Kebebasan Negara Dalam Menentukan Berkaitan Dengakn
Pengakuan Atas Negara Baru

Negara mempunyai kebebasan mutlak dalam menentukan
pendapatnya terkait atas pengakuan negara baru, masalah pengakuan
adalah masalah individu tiap negara berdasarkan atas keadaan yang
ada pada negara baru tersebut terkait dengan telah di penuhinya
semua unsur terbentuknya negara, serta dengan mempertimbangkan
maslahat negara lama, juga keadaan sosial maupun politik masyarakat
tersebut.
Dalam hal ini tidak ada jangka waktu tertentu terkait dengan
pengakuan atas negara baru, dengan cacatan bahwa negara atau
pemerintahan baru tersebut telah memenuhi syarat berdirinya negara
yang tiga itu (rakyat, wilayah dan pemerintahan). Karena
pengakuan yang terburu-buru atas kemerdekaan negara dapat di
katakan sebagi intervensi dalam pengaturan rumah tangga orang lain.
Hal ini sebaliknya jika melambatkan pengakuan atas negara dapat di
katakan sebagai pelecehan kebebasan berpendapat atas hak yang
telah di berikan kepada tiap negara.
Pengakuan atas negara atau pemerintahan baru yang timbul
dari revolusi atau perang
Dalam hal ini tidak menjadi suatu masalah bagi suatu negara untuk
mengakui kemerdekaan negara atau pemerintahan baru yang timbul

secara damai, akan tetapi jika negara atau pemerintahan baru itu
timbul akibat revolusi atau perang maka pengakuan negara dapat
menjadi masalah.
Topik pengakuan atas pemberontakan dan keadaan perang sebenarnya
telah lama terlupakan, baru muncul algi ketika terjadinya perang
saudara Spanyol tahun 1936-1938.
Pengakuan atas pemberontakan atau keadaan perang bisa dari Negara
tempat pemberontakan itu sendiri atau negara lian. Kaitanya dengan
pengakuan terhadap pemberontakan dalam negeri tersebut jika
pengakuan muncul dari negara itu sendiri maka bagi negara yang
bersangkutan haruslah memperlakukan para pemberontak tersebut

seperti tawanan perang bukan sebagai penjahat, serta tidak
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan pemberontak terhadap
warga asing yang berada dalam wilayahnya.
Tetapi jika pengakuan atas pemberontakan datang dari negara lain
maka wajib baginya bersikap netral atas pemberontakan tersebut,
serta tidak ikut campur tangan yang lebih dalam. Serta kewajiban para
pemberontak untuk melindungi warga negara yang mengakui
pemberontakan tersebut. Tetapi pengakuan atas pemberontakan tidak
samapai pada pengakuan atas perang saudara seperti hak yang di
berikan dala rangka perang untuk lawatan, pemeriksaan atau
penguasaan laut, akan tetapi jika pemberontakan itu menyebabkan
penyerangan (sengaja/tidak) terhadap kapal negara yang mengakui
pemberontakan tersebut maka pemberontak tersebut di perlakukan
bukan seperti perlakuan terhadap bajak laut.
Hal pengakuan ini dilandasi atas dasar kemanusiaan semata, agar para
pemberontak tidak diperlakukan sebagai penjahat biasa, tetapi selain
itu juga diperbolehkan bolehkan bagi pemerintah yang berkuasa untuk
menumpas pemberontakan tersebut.
Selain itu ada juga pengakuan atas pemberontak sebagai pihak
berperang, hal ini berbeda dengan sebelumnya karena dalam pihak
pemberontak telah menerima pengakuan sebagai pihak berperang
yang bukan lagi di anggap perang saudara, maka dari itu jika para
pemberontak mendapatkan pengakuan sebagai pihak berperang maka
hukum yang di pakai adalah hukum perang yang telah diakui dalam
undang-undang internasional. Hal ini yang masih di permasalahkan di
Majelis Umum PBB tentang pelaksanaan hukum perang, karena
sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa perang sangatlah dikutuk
dalam piagam PBB, maka kebanyakan para ahli hukum lebih
cenderung untuk di adakan mufakat damai bukan secara perang.
Dalam Prakteknya di Inggris pengakuan atas pihak-pihak berperang
secara tegas dinyatakan oleh Law of Officer 1867, Menurut syaratsyarat dalam pernyataan ini, deklarasi oleh pihak pemberontak bahwa
mereka telah membentuk "pemerintah sementara" saja belum cukup
untuk pengakuan atas pihak yang berperang. Tetapi harus pula di
perhatikan lama pemberontakan tersebut juga jumlah, ketertiban dan
kedisiplinan pasukan pemeberontakan tersebut serta kemampuan
"pemerintah" yang baru terbentuk mampu menyelenggarakan
hubungan-hubungan dengan negara asing.
Selain dua pengakuan tersebut, akhir-akhir ini muncul suatu
pengakuan terhadap suatu Pergerakan Kemerdekaan Nasional, yaitu
sutu pergerakan yang yang menginginkan pencaipain hak mereka

untuk menentukan perilaku mereka sebagai negara yang berdaulat,
hal ini terjadi pada negara yang berada dalam jajahan ataupun dalam
penguasaan negara lain, seperti halnya palestina yang berada di
bawah penguasaan Israel, maka pelaksanaan hubungan bisa saja
berjalan dengan negra lain bukan sebgai negara yang berdaulat
melainkan hanya sebagai organisasi pergerakan sebagai wakil dari
rakyat yang ada di bawahnya saja.
Pengakuan Atas Pemerintahan
Antara pengakuan terhadap negara dan pengakuan terhadap
pemerintahan;
Pengakuan terhadap negara berarti bahwa negara yang mengakui
mengganggap bahwa negara baru tersebut sebagai subjek hukum
internasional, lain halnya jika pengakuan hanya terhadap
pemerintahan yang tidak lain hanyalah pekerjaan politik semata yang
tidak bisa menjadikan negara tersebut sebagai subjek hukum
inernasional.
Terkait dengan hal pengakuan atas pemerintahan ini tidak ada
pengaruhnya terhadap pengakuan negara tersebut sebagai subjek
hukum internasional, maka dari itu, jika suatu negara tidak mengakui
sistem pemerintahan atas negara tertentu tidak menimbulkan dampak
bagi negara itu dalam hal internasional kecuali dari dua negara
tersebut.
Kedudukan Negara Yang Tidak Diakui Negara Lain
Sesuai dengan hukum kebiasaan Internasonal bahwa bagi negara yang
baru dapat menjalankan perbuatan internasional baik dengan negara
yang mengakui kedaulatanya ataupun tidak, hanya saja jika terhadap
negara yang tidak mengakuinya hanya terbatas pada sebagian hasil
juridis yang timbul akibat timbulnya negara atau pemerintahan baru
meskipun belum mengakui kedaulatan negara tersebut. Begitu halnya
dalam hal organisasi internasional, jika terdapat negara baru yang
menjadi anggota organisasi tersebut, maka tidak menghalangi
hubungan antara negara anggota organisasi tersebut meskipun
sebagian dari negara anggota yang lain belum mengakui kedaulatan
atau kemerdekaan negara atau pemerintahan baru tersebut.
Pencabutan Pengakuan Atas Negara atau Pemerintahan Baru
Dalam hal pencabuatan pengakuan atas negara atau pemerintahan
baru, para ahli hkum berbeda pendapan, hal tersebut di latar belakangi
atas perbedaan yang pertama yaitu apakah pengakuan itu bersifat

membentuk ataukah hanya sebatas pernyataan saja. Bagi para
pengusung teori pertama (teori konstitutif) berpendapat bahwa
pengakuan adalah hak individu atas keberadaan negara atau
pemerintahan baru sesuai dengan keinginan negara tersebut dan
dapat menarik pengakuanya.
Sedangkan para pengusung pendapat kedua (teori deklaratoir) yang
menyatakan bahwa pengakuan hanya bersifat pernyataan saja bukan
membentuk negara berpendapat bahwa pengakuan yang telah di
bentuk tidak dapat di tarik ulang, hal tersebut di karenakan bahwa
negara sudah ada dengan terpenuhinya unsur yang tiga sebagai suatu
negara, dan pengakuan hanya sebagai pelengkap saja. Tetapi hal ini
bisa berubah jika terjadi keadaan khusus yang mengharuskan
pencabutan pengakuan tersebut, seperti halnya jika perbuatan negara
baru tersebut bertentangan dengan kewajiban negara beradab atau
dengan tegas menyatakan ketidak patuhanya dengan hukum
internasional.
Namun perlu di perhatikan bahwa pencabuatan pengakuan haruslah
secara terang-terangan, tidak dapat dikatangan pencabutan
pengakuan kalau di lakukan secara tersirat atau sembunyi-sembunyi.
Hukum Yang Timbul Dari Adanya Pengakuan Internasional
Pengakuan menimbulkan akibat-akibat konsekuensi hukum yang
menyangkut hak-hak, kekuasaan-kekuasaan dan previlige-previlige
dari Negara atau pemerintah yang diakui baik menurut Hukum
Internasional maupun menurut hukum nasional negara yang memberi
pengakuan. Juga apabila masalah pengakuan timbul karena pengujian,
meskipun sifatnya incidental, oleh pengadilan-pengadilan nasional,
maka persoalan-persoalan pembuktian, penafsiran hukum dan
prosedur perlu diperhatikan.
Dalam hal ini penting dipertimbangkan batas-batas antara hukum
iternasional dan hukum nasional. Pengakuan memberikan kepada
negara yang diakui suatu status baik menurut hukum nasional. Dalam
sub pembahasan ini, kita akan pertama-tama akan membahas status
menurut hukum nasional, dan untuk selanjutnya akan dikaji hukum
dan praktek yang biasa diterapkan oleh pengadikan-pengadilan AngloAmerika.
Kapasitas dari suatu Negara atau pemerintah selalu diakui dapat
dilihat dari segi negative, dengan cara mengetahui kelemahankelemahan dari suatu Negara atau pemerintah yang tidak diakui
adalah antara lain sebagai berikut :

a. Negara itu tidak dapat berperkara di pengadilan-pengadilan negara
yang belum mengakuinya.
b. Dengan alasan prinsip yang sama, tindakan-tindakan dari suatu
negara atau pemerintah yang belum diakui pada umumnya tidak akan
berakibat hukum di pengadilan-pengadilan negara yang tidak
mengakuinya sebagaimana yang biasa diberikan menurut aturanaturan “komitas”.
c. Perwakilannya tidak dapat menuntut imunitas dari proses peradilan.
d. Harta kekayaan yang menjadi hak suatu negara yang
pemerintahnya tidak diakui sesungguhnya dapat dimiliki oleh wakilwakil dari rezim yang telah digulingkan.
Pengakuan mengubah kelemahan-kelemahan ini menjadi negara atau
pemerintah yang berdaulat yang berstatus penuh. Selanjutnya negara
atau pemerintah yang baru diakui akan;
-- hak untuk mengajukan perkara dimuka pengadilan-pengadilan negra
yang mengakuinya.
-- Dapat memperoleh pengukuhan atas tindakan-tindakan legislative
dan eksekutif baik di masa lalu maupun di masa mendatang oleh
pengadilan-pengadilan negara yang mengakui.
-- menuntut imunitas dari peradilan berkenaan dengan harta kekayaan
dan perwakilan-perwakilan diplomatik.
-- Berhak untuk meminta menerima hak milik atau untuk menjual harta
kekayaan yan berada di dalam yuridiksi suatu Negara yang mengakui
yang sebelumnya menjadi milik dari pemerintah terdahulu.
Menurut Hukum Internasional, status Negara atau pemerintah yang
diakui secara De Jure membawa hak-hak istimewa penuh keanggotaan
dalam masyarakat internasional. Dengan demikian negara tersebut
memperoleh kapasitas untuk menjalin hubungan hubungan diplomatik
dengan negara-negara lain dan untuk membentuk traktat-traktat
dengan negara-negara tersebut. Juga negara-negara lain tersebut
tunduk pada berbagi kewajiban menurut hukum internasional dalam
hubungannya dengan negara atau pemerintah yang baru diakui, yang
pada gilirannya menimbulkan kewajiban-kewajiban yang sama secara
timbal balik. Oleh karena itu, maka sejak saat pengakuan tersebut,
kedua belah pihak memikul beban hak dan kewajiban hukum
internasional

Penutup
Meskipun masih menjadi perdebatan sampai saat ini, namun teori
pengakuan tetaplah menjadi Kebiasaan Internasioanal yang tak bisa di
elakkan, kita lihat saja nasib Palestina yang sudah diakui oleh banyak
negara, khususnya negara yang mayoritas penduduknya muslim,
namun tetap saja belum mendapatkan kedaulatan yang tetap di mata
dunia. Lain halnya seperti Israel yang banyak dari negara menolak
akan kedaulatanya, namun secara De Jure telah menjadi anggota tetap
PBB dan dapat melakukan berbagai kegiatan internasioanal sebagai
negara berdaulat.
Kalau lah kita menilik lebih dalam, teori pengakuan hanyalah masalah
kepentingan politik semata yang belum jelas syarat dan aturanya,
selain itu juga, tidak adanya kewajiban untuk memberikan pendapat
atas suatu pengakuan memperkuat akan politisasi pengakuan itu
sendiri.