Perbudakan Dalam Lintasan Sejarah perbudakan

PERBUDAKAN DALAM LINTASAN SEJARAH
(STUDI KASUS PERKEBUNAN)
Diskripsi masalah perburuhan dan masyarakat di sektor perkebunan
lintasan tiga jaman perkembangan perkebunan di Indonesia.

dalam

ZAMAN KOLONIAL
1. Penguasaan teritori (Penyediaan Lahan). Kolaborasi antara Modal eks VOC
dan Tentara Belanda dengan cara penaklukan Raja-raja Lokal. Lahirlah konsesi
antara raja dengan pemodal penguasaan lahan untuk jangka waktu 99 tahun
dan pengenalan budaya “modern” yg kemudian diadopsi menjadi praktek
kehidupan istana. Proses selanjutnya mengalami benturan dengan budaya
(masayakat lokal). Dampaknya menjauhkan Raja dengan masyarakatnya
melahirkan kooptasi modal menjadi kuat. Praktek ini menjadi bahan legitimasi
dan kekuasaan bagi pemodal untuk menjalankan praktek ponale sangtie
sebagai gambaran bagaimana
praktek modal
sebagai “Negara dalam
Negara”. Bahkan Kompeni memiliki tentara tersendiri untuk mengamankan
kepentinganya salah satu bentuknya adalah pemburuan para budak (buruh yang

melarikan diri dari camp-camp perkebunan).
2. Penghancuran Budaya : pertama, petani dengan budaya kolektifnya punah,
selain itu terjadi benturan budaya pertanian subsistensi dengan pertanian
komoditas. Dan ini situasi yang dimanfaatkan oleh para tuan besar untuk
membenturkan antara petani dan para budak. Bahkan para tuan kebon merekut
masyarakat sekitar untuk memburu para budak yang lari dari camp-camp
perkebunan. Umumnya pelarian ini dilatarbelakangi oleh perlawanan terhadap
kondisi para budak lalu diperhadapkan dengan masyarakat sekitar perkebunan
yang direkrut oleh “tentara” tuan kebun memburu para budak. Tidak jarang
budak dieksekusi langsung oleh tentara pemburu budak. Kemudian kebijakan
kebun juga melarang rakyat untuk menanam tananman tembakau yang
merupakan tanaman asli yg sudah berlangsung lama. Kemudian muncul
Pemberontakan oleh 7 kesultanan Langkat dilatarbelakangi oleh situasi buruk
yang dialami oleh buruh dan masyarakat petani oleh perlakuan Tuan kebon dan
raja Deli.
kedua,
Pembiakan Hiburan-hiburan malam yang didalamnya
bernuansa perjudian, alcohol dan pelacuran untuk melumpuhkan pikiran kritis
para budak yang terjerat kejenuhan. Hal ini mengakibatkan budak
menghabiskan pendapatanya di tempat hiburan sehingga mengakibatkan

uangnya habis
dan menjadi ketergantungan akhirnya melanggengkan
perbudakan. Bagi masyarakat sekitar awalnya sangat terganggu dengan
keadaan ini, namun lama kelamaan oleh kuatnya hegemoni tuan kebun akhirnya
mereka menjadi bagian dari tradisi tersebut (akulturasi budaya kaum marginal);
Ketika, terbentuknya perkampungan baru yang berada diluar perkebunan dan
tidak berada dalam perkampungan asli yang sudah terbentuk. Perkampungan
baru pada umumnya dibuka oleh budak yang lari dari perkebunan dan masuk
kehutan dan kemudian orang-orang yang memilih tinggal diperkampungan
tersebut setelah selesai masa kontrak. Kondisi semacam ini tidak jarang
menghadapi benturan dengan masyarakat asli terkait dengan penguasaan lahan
(tanah).

3. Pengusaaan
buruh : pertama, pendekatan kekerasan lewat peraturan
sepihak atau ponale sanktie dan intrumen kekerasan seperti centeng, mandor
dan asisten. Rekruitmen
aparat keamanan didasarkan kemampuan
menghadapi dan menjalankan kekerasan bagi buruh sebagai sok terapi
perlawanan-perlawanan

yang
muncul.
Ponale
sanktie
dalam
perkembanganya diperbaharui menjadi ordonansi kuli yang merupakan advokasi
tentang keadaan buruk kondisi perkebunan oleh Parlemen Belanda. Realitasnya
hasil advokasi dalam bentuk ordonansi itu tidak memberikan perbaikan terhadap
budak (buruh)
justru sebaliknya ordonansi kuli dijadikan “legalitas” bagi
perkebunan untuk meningkatkan praktek perbudakan yang lebih massif karena
berlindung dibalik “peraturan”. Jadi pada hakekatnya ordonansi kuli semakin
ampuh menghadapi perlawanan budak karena hegemoni kekuasaan pemodal
semakin kuat terhadap budaknya; Kedua, devide et impera praktek memberi
rangsangan dalam bentuk posisi yang mau jadi informan untuk kepentingan
perkebunan melarang pribumi selain Cina untuk berdangan disekitar dan di
dalam perkebunan; perbedaan perlakukan berdasarkan ras seperti suku cina,
jawa dan keling.
4.


Sistem kerja : pertama, berdasarkan kontrak 3 tahunan dan bisa
diperpanjang dan mundur, Jam kerja 10 sampai 12 jam. Awalnya system kerja
demikian menghadapi perlawanan (resistensi) dari para budak, namun karena
perlawanan dihadapi dengan kekerasan oleh para tuan kebun tidak jarang
menggunakan kekerasan fisik (cambukan, dan hukumam gantung)
dan
biasanya
ditempat-tempat
yang
mengadakan
perlawanan
keamanan
ditingkatkan sembari melakukan isolasi pemukiman orang yang melakukan
perlawanan; Kedua, Upah relative besar untuk makan dan kebutuhan seharihari 1/3 dari gaji sedangkan sisanya 2/3 untuk keperluan lain. Besaran upah bagi
tuan kebun dirancang sebagai “klep pengaman” dimana kelebihan upah diambil
lagi melalui mekanisme “hiburan” yang diselenggarakan oleh tuan kebun.

ZAMAN ORDE LAMA
1. Nasionalisasi- pengembalian penguasan teritori (tanah) dari modal ke Negara;
bentuknya adalah nasionalisasi perkebunan asing menjadi PNV, PTP kemudian

PTPN. Mengalami pertarungan antara kelompok partai komunis-militer-nasionalis
didukung oleh kelompok kelompok agama. Prakteknya perusahaan perkebunan
ada yg kembali ke Negara lewat PNV/PTP PTPN ada juga yang menjadi
Perusahaan Ali-Baba contoh PT Goodyear menjadi PT Hapini lalu menajdi PT SMA
di Labuhan batu.
2. Pertarungan ideology antara aktivis kiri dan kanan. Aktivis kiri mengusung
ideology berdasarkan kelas dan ideology kanan bersarkan atas nasionalis dan
agama. Berkembanglah serikat buruh
berdasarkan ideology kepartaian.
Kekuatan serikat buruh yang beraliran komunis cukup kuat di beberapa daerah
seperti labuhan batu partai komunis lewat serikat buruh menguasai parlemen
dan eksekutifnya. Di tingkat petani didaerah-daerah yang bukan perkebunan
dapat berkembang. Gerakan-gerakan petani didaerah perkebunan sudah mulai
berkembang seperti BPRPI, Kasus Bandar Betsi, Silungkang di Sumatera barat.
3. Pendekatan kekerasan melalui perangkat undang -undang sangat signifikan
berkurang
kearah
undang-undang
yang
memihak

pada

kepentingan/perlindungan kepada buruh. Beberapa undang-undang lahir dari
kebangkitan kaum buruh antara lain; Undang-undang No 23 tahun 1948 tentang
pengawasan perburuhan; undang-undang no 12 tahun 1948 tentang kecelakaan
kerja dan UU No 21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antara serikat
buruh dengan majikan; UU No 18 tahun 1958 tentang ratifikasi persetujuan ILO
No 98 mengenai berlakunya dasar-dasar dari hak berorganisasi dan hak
berunding bersama; dan UU
No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian
perselisihan perburuhan. Khususnya di industry perkebunan lahirlah aturan
tentang perikatan antara buruh yg diwakili oleh serikat buruh dengan
perusahaan yg pada intinya perusahaan harus
memenuhi jaminan
mendapatkan pekerjaan dan kesejahteraan buruh. Bentuk kepastianya adalah
Syarat Kerja Umum (SKU> dan
mengenal masa pension; kesejahteraan
bentuknya adalah Catu 15, upah layak, tunjangan, rumah layak, klinik
kesehatan, tunjangan transportasi.
4. Aparat-parat

perkebunan tetap ada, namun telah bergeser kearah fungsi
pengawasan produksi
bersama serikat buruh, bukan lagi pada tampilan
kekerasan. Karena mandor dan Centeng sudah menjadi bagian dari serikat
buruh.
ORDE BARU /REFORMASI
1. Penguasaan teritori kembali ke jaman Kolonial. Mulai kebijakan politik sampai
kebijakan ekonomi diarahkan untuk kepentingan modal dalam rangka penguasaan
alat-alat produksi terutama tanah dan tanaga kerja.



Lahirnya UU No 1 tentang Penanaman Modal Asing yang memungkinkan
modal asing menguasai lahan perkebunan.
Intruksi Presiden tentang kerjasama pengembangan Perkebunan Inti Rakyat
(PIR) yg intinya dukungan/insentif perbankan bagi pemodal dalam upaya
membuka perkebunan.

UU No.18/2004 tentang Perkebunan yang memungkinkan kumulatif
penguasaan lahan atas nama Hak Guna Usaha sampai 95 tahun;

pelibatan aparat keamanan dalam pengamanan perkebunan dan aset
perkebunan disertai pasal-pasal kriminalisasi.
 Permentan No.26/2007 tentang Izin Usaha Perkebunan merubah
ketentuan luas izin lokasi usaha perkebunan kelapa sawit dari hanya
20,000 ha (2003) menjadi 100,000 ha setiap provinsi di seluruh
Indonesia.
 Permentan No.14/2009 yang mengizinkan dan mengatur teknis
pemanfaatan terbatas lahan gambut kedalaman 3 meter untuk
budidaya kelapa sawit berpotensi mengancam lebih dari 11 juta ha
lahan gambut atau setengah dari 21 juta ha gambut diseluruh
Indonesia. Inpres No.1/2006 dan Kepres No.10 memicu pemanfaatan
CPO sebagai biodiesel.
1. Penghancuran Budaya masuk lewat program PIR yg disinergikan dengan
program transmigrasi.
PIR salah satu intrumen pemerintah
menghancurkan kepemilikan adat atas tanah baik melalui PIR Lokal
maupun PIR Trans. Penghancuran hutan dan Lingkungan hidup


kebebasan membuka lahan perkebunan di lahan gambut dan hutan

lindung serta mangrove.
2. Pendekatan kekerasan terhadap buruh semakin berkembang intrumen
kekerasan dan
pelembagaan intrumen kekerasan itu sendiri untuk
kepentingan perkebunan.
Intrumenya antara lain : Pam swakarsa,
Informan, Centeng bentukan perusahaan sedangkan satpam, hansip
dikoordinasikan oleh Perwira Pengamanan (PAPAM). Pamswakarsa dimulai
sejak tahun 2005 ditengah maraknya konfik-konflik tanah antara
masyarakat dengan perkebunan.
3. Pada masa awal Orde Baru terjadi degradasi keberpihakan Undang-undang kepada
buruh antara lain ; pertama, UU PMA tahun 1967 pola hubungan majikan-buruh

ke arah liberalisasi pasar tenaga kerja. Kemudian kekuatan modal
menggeser hubungan kerja buruh-majikan bersifat kolektif berbasis
kesejahteraan tadi kembali ke hubungan kerja eksploitatif. (Contoh kasus
optimalisasi penggunaan buruh harian lepas); kedua, perubahan Sistem
pengupahan diperkebunan dari system pengupahan berbasis natura
(Catu) ke system pengupahan berbasis kebutuhan minimal dalam bentuk
monoterisasi upah (UMP); ketiga, reduksi system keselamatan dan

kesehatan kerja (K-3) dari tekanan pada tindakan preventif kearah
tindakan pengobatan dan rehabilitasi; keempat, kuatnya hegemoni
Negara dalam mengontrol serikat buruh melalui penyatuan serikat buruh
(uniform). SPSI merupakan satu-satunya serikat yang diakui oleh
pemerintah. Praktek tersebut diindoktrinasi dalam konsep “Hubungan
Industrial Pancasila”.
4. Kondisi tersebut diterukan dalam masa pasca orde baru melalui Undang Undang

No 13 tentang ketenagakerjaa. Undang Undang No 2 tahun 24 tentang
Penyelesaian Perselisihan hubungan industrial yang memperhadapkan
buruh dengan pengusaha tanpa perlindungan Negara.