Dalam lintasan sejarah perkembanan konsep

Dalam lintasan sejarah, psikologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang lahir dan
berkembang dari peradaban Barat yang berlandasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa.
Ketika menelaah dimensi religius dan spiritual, ia hanya menghasilkan interpretasi yang
mengandung kekosongan. Untuk mengisi kekosongan itu, kemunculan dan sekaligus
pengembangan Psikologi Islam yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam menjadi
semacam kebutuhan.
Sebagai ilmu, Islam dijadikan pula sebagai suatu pandangan hidup. Sifat utama dari
ideology islam adalah bahwa ia tidak menerima suatu pertentangan dan pemisahan antara
hidup kerohanian dengan hidup keduniawian. Ruang lingkup meliputi seluruh bidang
kehidupan manusia termasuk dalam bertingkah laku dan dalam proses mental manusia.
Menurut Acmad Mubarak desain kejiwaan manusia diciptakan Tuhan dengan sangat
sempurna berisi kapasitas-kapasitas kejiwaan, seperti berfikir, merasa dan berkehendak. Jiwa
merupakan sistem (disebut sistem nafsani) yang terdiri dari subsistem ‘aql, qalb, bashirat,
syahwat, dan hawa. Aql merupakan problem solving capacity, yang bisa berfikir dan
membedakan yang buruk dan baik. Akal bisa mememukan kebenaran tetapi tidak bisa
menentukanya, oleh karma itu kebenaran aql sifatnya relative. Qalb (hati) merupakan perdana
mentri dari dari sistem nafsani. Dialah yang memimpin kerja manusia. Ia bisa memahami
realita, ketika akal mengalami kesulitan, sesuatu yang tidak rasional masih bisa dipahami
oleh qalbu berimplikasi kepada pahala dan dosa. Apa yang sudah dilupakan oleh qalb masuk
kedalam memori nafs (alam bawah sadar) dan apa yang sudah dilupakan terkadang muncul
dalam mimpi sesuai dengan namanya, qalb sering tidak konsisen. Bashirat, adalah pandangan

mata batin sebagai pandangan dari mata kepala.
Berbeda dengan qalb yang tidak konsisten kepada kebenaran dan kejujuran. Ia tidak
bisa diajak kompromi untuk menyimpang dari kebenaran. Bashirat disebut juga nurani, dari
kata nur dalam bahasa indonesia menjadi hati nurani. Menurut konsep tasawuf, bashirat
adalah cahaya ketuhanan yang ada dalam hati, nurun yaqdzifuhulloh fil al-qalb, intropeksi,
tangis kesadaran, religiositas, good spot, bersumber dari sini. Syahwat adalah motif kepada
tingkah laku, semua manusia memiliki shahwat terhadap lawan jenis, bangga terhadap anakanak menyukai barang berharga, kendaraan bagus, ternak dan kebun. Manusia juga memiliki
hawa, hawa adalah sesuatu yang kebanyakan bersumber cenderung tidak baik, misalkan:
perilaku kejahatan, marah, frustasi sombong,korupsi dll. Karakteristik hawa adalah ingin
segera menikmati apa yang diinginkan tampa peduli kepada nilai-nilai moralitas.

Al-Ghazaly sangat mementingkan ilmu jiwa dan memandangnya sebagai jalan untuk
mengenal Allah. Teori-teori al-Ghazaly tentang jiwa senada dengan teori Ibnu Sina dan alFarabi. Ia membagi ilmu jiwa menjadi dua bagian. Pertama, ilmu jiwa yang mengkaji tentang
daya hewan, daya jiwa manusia, daya penggerak, dan daya jiwa sensorik. Kedua, ilmu jiwa
yang mengkaji tentang pengolahan jiwa, terapi dan perbaikan akhlak.
Berdasarkan kekuatan emosi dan syahwat yang menguasai manusia Al-Ghazaly
membagi sifat manusia menjadi empat. Keempat sifat ini merupakan potensi yang dimiliki
manusia secara alami (instink) dan dapat dikembangkan dan dikendalikan melalui proses
belajar.
Seiring perkembangan ilmu psikologi hadirlah Psikologi Islam yang menawarkan

pembahasan tentang konsep manusia yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya
dikendalikan oleh masa lalu tetapi juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya
dikendalikan lingkungan tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia memiliki
potensi baik tetapi juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam psikologi Islam
adalah bio-sosio-psikis-spiritual, artinya Islam mengakui keterbatasan aspek biologis
(fisiologis), mengakui peran serta lingkungan (sosiokultural), mengakui keunggulan potensi
dan juga memerankan aspek spiritual (Tuhan) dalam kehidupan manusia.
Manusia mempunyai 2 (dua) unsur yaitu jasmaniah (materi) dan rohaniah (non
materi) yang secara umum dapat dijelaskan melalui konsep bio-sosio-psikis-spiritual yang
dalam perkembangan psikologi barat tidak diakui keberadaannya. Perilaku manusia terbentuk
oleh hasil kolaborasi semua unsur, tidak ada reduksi antar unsur sehingga pemahaman
tentang manusia dapat menemukan titik temu yang utuh.
Islam menawarkan konsep manusia melalui pemahaman agama (wahyu Tuhan).
Memahami manusia tidak dapat dilepaskan dari konsep ruh (daya ikat pencipta dan
makhluknya), hati (qalbu) sebagai pengendali perilaku manusia, nafs yang menjadi wadah
potensi manusia (baik-buruk) serta akal sebagai tempat nalar dan daya pemahaman tentang
pilihan perilaku. Memahami manusia tidak hanya terbatas pada observable area tetapi juga
yang unobservable area dan unconceivable area (tidak dapat dipikirkan atau dirasakan).
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004), kajian psikologi Islami
diantaranya meliputi jiwa (nafs) dengan memperhatikan badan atau tubuh, dengan kata lain

antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan

unitas. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan
hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi
Islami melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan
pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi Islami bermaksud
menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata tuhan tentang manusia. Psikologi Islami
menyadari adanya kompleksitas dalam diri manusia di mana hanya sang penciptalah yang
mampu memahami dan mengurai kompleksitas itu.
Oleh karenanya, psikologi Islami sangat memperhatikan apa yang tuhan katakan
tentang manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata
mendasarkan diri kita pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita fahami dari dalildalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan tuhan. Kajian tentang diri manusia
banyak disebut-sebut Allah dalam Al-Quran:






      

      
 
53. Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?" (Qs. Fushshilat, 41:53).

Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa di alam semesta maupun dalam diri manusia terdapat
sesuatu yang menunjukan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan
sesuatu itu adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia. Apabila
rahasia-rahasia tersebut disingkap manusia, maka jadilah manusia sebagai mahluk yang
berpengetahuan, mahluk yang berilmu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia ada kompleksitas yang
bisa dijadikan lahan kajian. Dalam berbagai ayat banyak disebutkan istilah-istilah yang


berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti nafs, ruh, aql, qalb, fitrah, fujura, taqwa, fuad
dan sebagainya. Istilah nafs, termasuk kata yang paling sering disebut-sebut oleh Al-Quran,
yaitu sebanyak lebih dari 300 kali.
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004) ada beberapa hal yang harus
menjadi catatan, yang pertama bahwa kajian mengenai manusia bukanlah kajian yang berdiri
sendiri, tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-Hashimi, 1991), yang kedua
adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Quran
(ayat kauniyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan dan merefleksikan kejadiankejadian di alam semesta (ayat kauliyah) dengan akal pikiran, indra dan intuisi.
Catatan terakhir kita harus membedakan kebenaran Al-Quran dan kebenaran
penafsiran Al-Quran. Secara mutlak Al-Quran adalah benar, tetapi penafsiran atasnya
mungkin saja bias. Oleh karena itu rumusan tentang apa dan siapa manusia yang didasarkan
pada Al-Quran juga mungkin mengandung bias, kerena bias dalam penafsirannya. Kalau
perbedaan penafsiran itu terjadi, maka tugas kita adalah mengembalikannya pada Al-Quran,
Al-Quran tidak pernah salah dalam memandang siapa manusia, yang salah adalah penafsiran
atasnya.
Apabila dilihat dari konteks pemahamannya, maka dapat dikatakan konsep unsurunsur dalam diri manusia sangatlah abstrak seperi halnya konsep id-ego-super ego milik
Freud dan archetyp-archetyp milik Carl Gustav Jung, sehingga tidak perlu diperdebatkan
dalam kajian psikologi. Keberanian menawarkan konsep lain yang sejalan dengan
pembahasan perilaku manusia merupakan entry point dalam membangun pondasi keilmuan
yang baru.

Konsep unsur manusia dalam Islam diambil dari wahyu Tuhan tidak dapat diragukan
kebenarannya. Tuhan adalah pencipta manusia yang tentunya sangat mengetahui hasil
ciptaannya, sehingga acuan yang paling tepat untuk memahami manusia adalah dari kitab
suci yang diturunkan oleh Tuhan meskipun dalam aplikasinya terdapat pola penafsiran yang
berbeda.
Psikologi Islam menawarkan konsep tentang perluasan bidang kajian dan metode
yang dipergunakan untuk mencari kebenaran meskipun tetap berlandaskan pada wahyu
Tuhan (agama). Metode pencarian kebenaran tidak hanya mempergunakan indra yang
memiliki banyak keterbatasan, tetapi juga mempergunakan potensi non-indrawi yang

berwujud intuisi yang nilai kebenarannya sama-sama relatif dan wahyu yang kebenarannya
tak terbantahkan.
Metode ilmiah dalam membangun teori psikologi tetap dipergunakan untuk
memberikan peluang potensi inderawi, misalnya dengan penelitian eksperimen, uji teori
dengan menggunakan logika ilmiah (rasionalisasi). Metode yang lain yang juga perlu
mendapat tempat adalah intuisi untuk memahami realitas empirik dan non-empirik yang tidak
dapat dijangkau oleh indra dan akal pikiran. Metode intuisi mempergunakan potensi hati
(qalbu) sebagai alat menjawab permasalahan yang terjadi dan merupakan metode
penyempurna dari keterbatasan rasio. Fritjof Schuon mengatakan bahwa rasionalisme itu
keliru bukan karena ia berupaya untuk mengekspresikan realitas secara rasional sejauh itu

memungkinkan, tetapi karena ia berupaya merangkul seluruh realitas ke dalam alam rasio.
Disamping itu metode keyakinan dan otoritas juga bisa digunakan untuk membangun
sebuah teori dalam ilmu psikologi. Hal ini merupakan salah satu aspek pemahaman dan
ketundukan terhadap kebenaran kitab suci sebagai wahyu dari pencipta manusia serta
pengakuan kita terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menafsirkan ilmu
psikologi melalui ilmu agama. Kedua metode ini perlu mendapat pengakuan untuk
mengembangkan teori psikologi yang mencoba memahami manusia secara lebih
komprehensif baik dari aspek materi maupun non materi.
Dalam perjalanannya psikologi islam cukup berkembang. Di Indonesia sendiri sudah
diresmikan pada tahun 1994 dalam Simposium Nasional Psikologi Islami I ditandai pula
dengan terbitnya buku-buku psikologi islami yang dinilai menandai perkembangan psikologi
islami di Indonesia. Namun hingga saat ini telah menunjukkan perkembangan yang sangat
pesat. Untuk itu, prospek Psikologi Islam ke depan menjadi tanggung jawab kita bersama
seperti ilmuan psikologi, praktisi, peneliti, institusi dan peminat psikologi Islam untuk
menciptakan gerakan yang memperjuangkan tegaknya Psikologi Islam sebagai disiplin ilmu
yang kokoh, baik di Indonesia maupun dunia internasional.