LK (Dr. Bambang W2)

PENDAHULUAN

  Psoriasis merupakan penyakit kulit inflamasi dengan peningkatan proliferasi epidermal, biasanya ditandai oleh plak eritematosa dengan berbagai ukuran, berbentuk bulat, 1 sirkumskripta yang ditutupi skuama lamelar putih keabu-abuan atau putih keperakan. Tempat predileksinya adalah kulit kepala, kuku, permukaan ekstensor ekstremitas, siku, lutut, 1,2 umbilicus, dan regio sakral. Terdapat berbagai bentuk klinis psoriasis, diantaranya psoriasis vulgaris, psoriasis gutata, psoriasis inversa atau fleksural, psoriasis eksudativa, seboriasis, 3 psoriasis pustulosa, dan eritroderma psoriatik. Psoriasis inversa adalah psoriasis yang 3 mempunyai predileksi pada daerah fleksor atau daerah lipatan. Untuk daerah intertriginosa, kelembaban dan maserasi mencegah terjadinya skuama yang bertumpuk, sehingga lebih 2 tipis dan tidak kering.

  Insidens psoriasis menurut Cholis dkk. (1996-1998), dari 6 – 10 rumah sakit di 4 Indonesia bervariasi antara 0,62% - 0,92%, sedangkan Ekarini dkk (1995 –1998) melaporkan 5 di RSDK terdapat 0,85% kasus psoriasis. Psoriasis pada anak tidak banyak ditemukan dan jarang pada usia di bawah 3 tahun. Djajadilaga dkk di RSCM Jakarta melaporkan psoriasis anak sebesar 0,44% dari seluruh pasien baru di poliklinik kulit anak dan 7,95% dari seluruh 6 pasien psoriasis selama kurun waktu 5 tahun.

  Etiologi psoriasis belum jelas, namun beberapa penelitian menerangkan bahwa etiologi tertuju pada proliferasi epidermis, deferensiasi, perubahan inflamasi, serta pembuluh darah dermis. Ada beberapa faktor predisposisi, antara lain faktor genetik, endogen, dan 1,2 pencetus eksogen.

  Patogenesis psoriasis telah berubah secara dramatis lebih dari satu dekade yang lalu. Awalnya diasumsikan bahwa proliferasi keratinosit yang menyertai deferensiasi epidermal abnormal merupakan penyebab utama psoriasis, tetapi sekarang telah ditemukan bahwa hiperplasia merupakan reaksi terhadap aktivasi sistem imun kulit yang diperantarai (+) (+) 7 oleh limfosit T, CD8 , CD4 yang berakumulasi pada daerah lesi. Gambaran klinis psoriasis memperlihatkan 4 gambaran yang menonjol : 1. Lesi dengan batas tegas; 2. Permukaan lesi terdiri atas skuama keperakan yang tidak melekat erat; 3. Dibawah skuama tampak kulit yang mengkilat dan eritema homogen; 4. Terdapat 1 tanda Auspitz. Ada beberapa modalitas terapi untuk mengobati psoriasis meliputi terapi topikal, 1 sistemik, fototerapi, terapi kombinasi, dan terapi rotasi. Laporan kasus ini bertujuan mengemukakan satu kasus psoriasis inversa pada anak yang sangat jarang dan agar lebih memahami penyakit psoriasis serta penatalaksanaanya.

KASUS

  Seorang anak laki-laki, umur 5 tahun berdomisili di Semarang berobat ke poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr Kariadi Semarang dengan keluhan utama timbul bercak merah di selangkangan.

  Enam bulan sebelumnya, timbul bercak merah di selangkangan kanan dan kiri yang kadang terasa gatal. Pasien kemudian dibawa berobat ke poli Kulit dan Kelamin RSUD Kodia Semarang dan diobati dengan krim; desolex lesi menghilang namun timbul lagi. Dua bulan kemudian bercak merah timbul lagi sehingga pasien dibawa berobat ke RSUD Kodia

  Semarang kembali dan dikatakan sakit berengen dan tetap diberi krim desolex . Setiap diolesi krim desolex bercak menipis dan menghilang namun apabila obat habis bercak merah akan segera timbul lagi. Merasa tidak membaik dan mulai timbul bercak merah di ketiak kanan dan kiri pasien dibawa berobat ke RSDK. Dua minggu sebelum berobat ke RSDK didiagnosis kandidiasis intertriginosa, diberi krim ketomed dioleskan 2x sehari selama 2 minggu dan dianjurkan untuk control bila belum sembuh . Penderita kontrol karena bercak merah tidak membaik

  Penderita sering mengeluh sakit tenggorokan dan banyak gigi berlubang dan tidak ada anggota keluarga yang sakit serupa. Ayah adalah pegawai swasta dan ibu bidan di RSDK dengan sosial ekonomi cukup. Pasien adalah anak ke 2 dari 2 bersaudara.

  Hasil pemeriksaan status generalis, tampak keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan dermatologik, pada lipat paha kanan kiri, ketiak kanan dan kiri tampak kelainan kulit berupa papul dan plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama putih keperakan dengan lesi satelit, tanda Auspitz, dan fenomena tetesan lilin positif

Sebelum terapi (hari ke 1)

  Beberapa diagnosis banding yang dibuat adalah psoriasis inversa, dermatitis seboroik, kandidiasis kutis intertriginosa dengan diagnosis kerja sementara Psoriasis inversa.

  Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin : Hb:12,0 g%, leukosit :9.210 /ml, LED :18/34 mm, hitung jenis :3/-/2/52/39/4. Urin rutin : warna kuning jernih, Bj 1.025 pH 6,0 protein (-) reduksi (-), sedimen epitel 3-5, lekosit 3-5, eritrosit (-), kristal(-), silinder (-). Feses rutin : warna kuning, konsistensi lembek, eritrosit(-) lekosit (-) telur cacing (-). Hasil pemeriksaaan kerokan kulit lipat paha dan ketiak kanan dan kiri dengan KOH 10%: Spora (-), Pseudohifa (-). Pemeriksaan ASTO (kuantitatif) : Negatif. Hasil pemeriksaan histopatologi biopsi kulit menunjukkan hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, elongatio rete ridge, disertai hiperemi papila dermis disertai sebukan limfosit, histiosit. Gambaran tersebut menyokong diagnosis psoriasis. Tidak tampak tanda ganas.

  Hasil konsultasi gigi dan mulut didapatkan: gigi 5.5 dan 8.6 hiperemi pulpa. Saran konservasi 5.5 dan 8.6. Tindakan penambalan 5.5 dan 8.6. Hasil konsultasi THT didapatkan tonsilitis kronis dan disarankan untuk mendapat eritromisin 4 x 250 selama 7 hari. Ditegakkan diagnosis pasien ini adalah psoriasis inversa.

  Kami berikan terapi Eritomisin oral 4 x 250mg selama 7 hari, clorpheniramin maleat 3x ½ tablet bila gatal. Topikal diberikan krim hidrokortison 2,5% ditambah LCD 3%, As. salisilat 3% dan, Vas. album dioleskan 2x sehari.

  Hasil pemeriksaan Histopatologi

  Pengamatan hari ke 7 bercak merah sudah menghilang. Pemeriksaan dermatologis pada lipat paha kanan dan kiri, ketiak kanan dan kiri tampak kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi. Diagnosis saat itu hipopigmentasi pasca inflamasi (psoriasis) dan diobati dengan urea 10% cream 2x sehari.

  Dalam terapi (hari ke 7)

  Pengamatan hari ke-37 bercak merah tidak timbul lagi. Pemeriksaan dermatologis pada lipat paha kanan dan kiri, ketiak kanan dan kiri, tampak kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi. Terapi krim urea diteruskan

  Kunjungan rumah kurang lebih 1 tahun pasca terapi mendapatkan dari anamnesis bercak merah tidak pernah timbul lagi. Pemeriksaan dermatologis pada lipat paha kanan dan kiri, ketiak kanan dan kiri, tidak ditemukan kelainan.

  Kunjungan rumah 1 tahun pasca terapi

DISKUSI

  Diagnosis psoriasis inversa pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan histopatologi Pasien adalah anak laki laki usia 5 tahun, tanpa riwayat psoriasis dalam keluarga. 1,2,5,8

  Menurut kepustakaan insidens psoriasis pada laki-laki dan perempuan sama banyak, 6,9 usia awitan berkisar antara 1 bulan sampai dengan 15 tahun, dengan rerata usia 8,1 tahun. 1,2,9 Pada sepertiga kasus ditemukan paling sedikit satu anggota keluarga menderita psoriasis.

  Penyebab psoriasis pada pasien ini belum jelas. Penelitian mengenai etiologi psoriasis hingga saat ini masih terus berlangsung. Presentasi antigen atau super antigen oleh (+) MHC kelas II ke limfosit T helper CD4 pada epidermis, akan menginduksi pelepasan sitokin dari APC dan limfosit T. Sitokin kemudian menstimulasi proliferasi keratinosit dan ekspresi molekul permukaan sel endotel. Selanjutnya terjadi infiltrasi lekosit termasuk limfosit T (+) memori CD4 ke daerah lesi. Aktivasi limfosit sistemik diikuti oleh akumulasi setempat (+) (+) limfosit CD4 yang teraktivasi, penarikan limfosit CD4 non spesifik dan monosit ke arah (+) lesi, dan akhirnya terjadi aktivasi limfosit CD8 intradermal yang menyebabkan kerusakan 7 sel.

  Pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada ketiak dan lipat paha berupa papul dan plak eritematosa dengan skuama putih keperakan disertai “lesi satelit” dengan tanda Auspitz serta fenomena tetesan lilin positif. Sesuai kepustakaan bahwa psoriasis ditandai adanya papul atau plak eritematosa berbatas tegas yang tertutup skuama tebal berlapis-lapis seperti perak yang apabila skuama diangkat lapis demi lapis akan memberikan gambaran titik-titik 2,9 perdarahan yang disebut tanda Auspitz. Tempat predileksi yang khas adalah pada kulit 1-3 kepala, kuku, permukaan ekstensor ekstremitas siku, lutut, umbilicus, dan regio sakral. Meskipun demikian dapat juga terjadi pada daerah aksila, perineum, lipat paha, dada bagian 2,9 tengah serta umbilikus, yang disebut sebagai psoriasis inversa atau psoriasis fleksura. Khusus untuk daerah intertriginosa, kelembaban dan maserasi mencegah terjadinya skuama yang bertumpuk, sehingga lebih tipis dan tidak kering. Pada lesi yang kronik kadang kadang mudah teriritasi dan dapat timbul lesi satelit atau lesi baru pada daerah sekitarnya yang 2,9 diduga akibat fenomena Kobner

  Pemeriksaan histopatologik didapatkan parakeratosis, hiperkeratosis, akantosis,

elongatio rete ridge, disertai hiperemia dan sebukan limfosit, histiosit di papila dermis.

Menurut kepustakaan gambaran histopatologik psoriasis berupa parakeratosis, sering dengan hiperkeratosis, akantosis, pemanjangan rete ridge, pemanjangan papila dermis disertai mikroabses Munro di epidermis, dermis sembab dengan sebukan sel limfosit dan 1,3,10 monosit.

  Diagnosis banding dengan dermatitis seboroik pada pasien ini dapat disingkirkan karena penyakit ini merupakan penyakit kulit inflamasi superfisial dan bersifat kronik dengan predileksi pada kulit kepala, alis mata, kelopak mata, lipatan nasolabial, bibir, telinga, daerah sternum, umbilikus, aksila, bawah payu dara, inguinal, dan bokong. Pada dermatitis seboroik terdapat keluhan gatal, skuama tipis berminyak, dan tidak mengkilat. Sedangkan pada psoriasis keluhan gatal kadang kadang, skuama lebih tebal, kering, keputihan, dan mengkilat. 2 Pada psoriasis didapatkan tanda Auspitz positif sedangkan pada dermatitis seboroik negatif. Diagnosis banding dengan kandidiasis kutis intertriginosa dapat disingkirkan karena pada kandidiasis gatal merupakan keluhan utama, dengan gambaran klinis plak eritematosa disertai maserasi, pseudomembran, dan lesi satelit. Pemeriksaan KOH 10% akan ditemukan 11 budding cell dan pseudohifa. Pada penderita ini pemeriksaan KOH 10% negatif. Terapi psoriasis meliputi terapi topikal, injeksi triamsinolon, fototerapi, terapi sistemik, 2,10 terapi kombinasi, dan terapi rotasi. Terapi topikal yang dapat diberikan terdiri atas 2,4,12 kortikosteroid, antralin, tar, analog vitamin D3, tazaroten, takrolimus, emolien, dan urea. Fototerapi terdiri atas fotokemoterapi (PUVA) dan fototerapi (UVB). Terapi sistemik antara 12 lain dengan metotreksat, siklosporin, asitretin, mikofenolat mofetil. Terapi kombinasi bertujuan untuk mempercepat pembersihan lesi, mengurangi efek samping, dan mengurangi dosis terapi. Contoh terapi kombinasi adalah kortikosteroid topikal dengan UVB dan PUVA, 1,12 retinoid dengan PUVA. Terapi rotasi untuk psoriasis yang berat dilakukan dengan cara penggantian obat sesuai jadual dan respons individu terhadap faktor resiko, dosis kumulatif, 1,12 dan lama terapi. Pada kasus ini terapi dengan kortikosteroid topikal dikombinasi dengan LCD(Liquor Carbonis Detergens) dan asam salisilat selama 1 minggu memberi respons sangat baik sehingga dilanjutkan dengan krim Urea 10%. Prognosis psoriasis masih belum dapat diduga. Psoriasis dapat timbul kembali jika ada faktor pencetus. Meskipun 1,2 penyakit ini sulit sembuh total tetapi jarang membahayakan kehidupan. Prognosis pasien ini quo ad vitam ad bonam, quo ad sanam dubia dan quo ad kosmetikam ad bonam.

  DAFTAR PUSTAKA

  1. Cristophers E, Mrowietz U. Psoriasis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Austen KF, Wollf K, Goldsmith LA, Katz SI, editor. Fitzpatrick’s Dermatologi in general medicine. Edisi ke-6. New York: Mc Graw Hill, 2003: 407-27

  2. Odom RB, James WD, Berger TG. Seborrhoic Dermatitis, Psoriasis, Recalcitrant Palmoplantar Eruption, Pustular Dermatitis, and Erytroderma. Dalam : Andrew’s diseases of the skin. Edisi ke-9. Philadelphia: WB Saunders Co. 2000 : 214-53.

  3. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ketiga. Jakarta BP FKUI, 2001: 173-85

  4. Cholis M, dkk. Insiden psoriasis di berbagai rumah sakit di Indonesia. Simposium Psoriasis Prakonas PERDOSKI IX. Surabaya. 1999: 1-16

  5. Ekarini D, Hadi S, Budiastuti A, Indrayanti S. Psoriasis di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Kumpulan naskah

ilmiah Kongres Nasional PERDOSKI IX Jilid I. Surabaya : Airlangga University Press, 1999 : 45-7.

  6. Djajadilaga SW, Sugito TL, Boediardja SA. Childhood psoriasis. MDVI 1997; 24/2 : 49-52.

  7. Ortonne JP. Recent Development. Dalam: The Understanding Of Pathogenesis Of Psoriasis. Br J Dermatol, 1999; 140(Suppl. 54): 1-7.

  8. Bondi EE, Jegasothy BV, Lazarus GS. Papulosquamous Lesion. Dermatologi diagnosis an therapy.

  London: Prentice Hall Inc. 1991 : 28-35 9. Hurwitz S. Papulosquamous and related disorder. Dalam: Clinical pediatric dermatology. Edisi ke 2. Philadelphia : WB Saunders Co. 1993: 105-30.

  10. Gibson EL, Perry HO. Papulosquamous eruption and exsfoliative dermatitis. Dalam: Moscella SL, Hurley HJ, editor. Dermatology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB. Saunders, 1992: 607-47.

  11. Ramali RM, Werdani S. Kandidiasis kutan dan mukokutan. Dalam: Budimulja U, dkk editor.

  Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: BP FKUI, 2001: 55-65.

  12. Feldman S. Advance in Psoriasis Treatment. Dermatology on line Journal Vol. 6 Number 1