Pengaruh Penambahan Kolesterol terhadap Kandungan Steroida Kalus Solanum Wrightii Benth dan Solanum Indicum L. Repository - UNAIR REPOSITORY

  SKRIPSI AGNES ELM Y IDAJ ATI P E N G A R U H P E N A M B A H A N K O L E S TE R O L TE R H A D A P K A N D U N G A N S TE R O I D A K A L U S S O L A N U M W R I G H TI I B E N TH D A N S O L A N U M

  I N D I C U M L M 1 L i K. "UNIVi~>£; i *-.3 AikLANGGA' S U I

  1 ‘V l i j \

   Y /da, r

  FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA S U R A B A Y A 1 9 9 1

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

P E N G A R U H P f N A M B A H A N K O L E S TE R O L

T E R H A D A P K A N D U N G A N S TE R O I D A

  

K A L U S S O L A N U M W R I G H TI I B E N T H D A N S O L A N U M I N D I C U M L

  SKRIPSI DIBUAT UNTUK MEMENUHI SYARAT MENCAPAI GELAR SARJANA FARMASI PADA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA 1991 oleh

  AGNES ELMY IDAJATI 058610798 dieetujui oleh pembimbing

  DR.MULJA HADI SANTOSA

  INDRAYANTO KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang

  Dalam menyelesaikan skripsi ini saya mendapat bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah saya menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

  Maha Esa atas segala karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi syarat dalam mencapai gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  • Dr.Mulja Hadi Santosa dan Dr.Gunawan Indrayanto yang telah memberikan bimbingan, saran, pengarahan dan dorongan selama penelitian hingga selesainya skripsi ini
  • Ketua Jurusan Biologi Farmasi Universitas Airlangga beserta staf dan karyawan
  • Kepala Laboratorium Bioteknologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga beserta staf dan kary>P.T. New Interbat yang telah memberikan bantuan pembuatan spektra kromatografi gas
  • Laboratorium Dasar Bersama Universitas Airlangga yang telah memberikan fasilitas untuk menggunakan G
  • Rekan-rekan mahasiswa yang telah ikut membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  Tidak lupa tjuga saya sampaikan banyak terimakasih kepada kedua orangtua dan adik-adik saya yang tercinta atas dukungan moral maupun material sehingga skripsi ini selesai dengan baik.

  Skripsi ini disusun dalam keterbatasan waktu, fasilitas dan kemampuan saya, tentu saja terdapat banyak kekurangan sehingga skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian, saya berharap semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dunia kefarmasian.

  Surabaya, Januari 1991 Penyusun ii

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR ISI halaman KATA PENGANTAR ................................ i

  DAFTAR ISI .................................... iii DAFTAR TABEL .................................. vi

  DAFTAR GAMBAR ................................. vii DAFTAR LAMPIRAN ............................... xv DAFTAR SINGKATAN .............................. >:vi BAB I . PENDAHULUAN ..............................

  1 1. Latar belakang masalah ...............

  1 2. Tujuan penelitian .....................

  1 II. TINJAUAN PUSTAKA .........................

  5 1. Tinjauan tentang S o l a n s wrightii Benth ..

  5 1.1. Tanaman Solanum wi g h t it Benth ...

  5 1.2. KaluB Solarium wrightii Benth ....

  5 2. Tinjauan tentang Solarvum. indicxxm L ....

  7 2.1. Tanaman Solanxim indicum L .......

  7 2.2. Kalue Solanxim iridicxim L .........

  7

  3. Tinjauan tentang kultur jaringan tanaman

  9 3.1. Kultur jaringan tanaman .........

  9

  3.2. Penerapan metode kultur jaringan tanaman untuk produksi metabolit eekunder .........................

  10

  3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan metabolit sekunder dalam kultur jaringan tanaman .........

  11

  iii

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  4. Tinjauan tentang steroida ............ ..... 12

  5. Tinjauan tentang solasodina .......... ..... 13

  5.1. Sifat fisikokimia solasodina .... ..... 13

  5.2. Biosintesis solasodina .......... ..... 14 . Tinjauan tentang sterol .............. ..... 14

  6

  7. Ekstraksi dan analisis steroida ...... ..... 16 7.1. Ekstraksi dan preparasi sampel ...

  16

  7.2. Analisis dengan Kromatografi Lapisan Tipis (KLT) ...................... ..... 17

  7.3. Analisis dengan Kromatografi Gas (GC) ............................. ..... 18

  7.3.1. Mekanisme kerja .......... ..... 18

  7.3.2. Pemilihan fase diam ...... ..... 19 7.4. Analisis steroida dengan GC-MS ...

  20 III. BAHAN, ALAT DAN METODE PENELITIAN ....... ..... 22

  1. Bahan-bahan yang digunakan ........... ..... 22

  1.1. Bahan kimia ........................... 22

  1.2. Kalus ............................ ..... 22

  1.3. Media ............................ .....22

  2. Alat-alat yang digunakan ............. ..... 23'

  3. Metode penelitian ..........................24

  3.1. Tahapan penelitian .............. .....24

  3.2. Cara kerja ............................24

  3.2.1. Pembuatan media .......... ..... 24

  3.2.2. Penanaman dan perbanyakan kalus ..........................25

  3.2.3. Pengamatan makroskopis kalus

  25

  3.2.4. Panen, pengamatan dan pengeringan kalus ........ .....26

  3.2.5. Ekstraksi kalus .......... .....26

  3.2.6. Ekstraksi media .......... .....28 iv

  3.2.7. Analisis kualitatip dengan KLT ............................28

  35

  VII. SARAN-SARAN .............................. .....85 RINGKASAN ................................ ..... 8 6 DAFTAR PUSTAKA ........................... .....89 LAMP I RAN ................................. .....95 v

  V I . KESIMPULAN ............................... .....84

  V. PEMBAHASAN ............................... .....76

  4. Analisis media dengan KLT ............ .....36

  35

  3.3. Analisis kualitatip dengan GC-MS

  35 3.2. Analisis kualitatip dengan GC ....

  3.2.8. Analisis kualitatip dengan GC

  3. Identifikasi steroida dari kalus ..... .....31 3.1. Analisis kualitatip dengan KLT ...

  2. Pengamatan makroskopis kalus ......... .....31

  31

  1. Pengamatan Indeksi Pertumbuhan ( IP )

  IV. HASIL PENELITIAN ......................... .....31

  3.2.9. Analisis kualitatip dengan GC-MS ..........................29

  28

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR TA3EL Tabel

  1. Hasil Perhitungan Indsks Pertumbuhan (IP) kalus Solanum wrightii Benth ..........

  2. Hasil Perhitungan Indeks Pertumbuhan (IP) kalus Solanum indicum L, ................

  3. Hasil pengamatan makroskopis kalus Solanum wrightii Benth .........................

  4. Hasil pengamatan makroskopis kalus So Ianum

  indicum L ..............................

  5. Hasil perhitungan prosentase relatip area kurva kromatogram total ion komponen fitosterol kalus Solanxim wrightii Benth dengan penambahan kolesterol0 ppm CSW^).

  300 ppm ( SWjj), 500 PPm(SW ), 700 ppm ( SW^ ) , dan 900 ppn»' ( SW^ ) ..........

  6. Hasil perhitungan prosentase relatiparea kurva kromatogrem total ion komponen fitosterol kalus Solanum indicum I. dengan

  .penambahan kolesterol 0 ppm (SIj)f 300 ppin- (SlT l ), 50 0 ppm ( ^ T11 700 ppm

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR GAMBAR Gambar halaman 1. Foto kalus Solanum wrightii Benth ........

  6 2. Foto kalus Solanvm indicum L .............

  8 3. Struktur inti steroid .....................

  12 4. Struktur molekul Solasodina ..............

  13 5. Struktur dari fitosterol .................

  15

  6 . Histogram profil kecepatan pertumbuhan

  kalus Solanum. wightii Benth pada media SW dengan penambahan berbagai konsentrasi kolesterol ................................

  32

  7. Histogram profil kecepatan pertumbuhan kalus Solanum indicum L pada media SI dengan penambahan berbagai konsentrasi kolesterol ................................

  33 . Profil kromatogram KLT fraksi total

  8

  hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm

  wightii Benth pada lempeng Kieselgel 60

  F dengan fase gerak kloroform :

  9 5 4

  metanol = 9 : 1 dan penampak bercak dragendorf ................................

  37

  9. Profil kromatogram KLT fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm

  wrightii Benth pada lempeng Kieselgel 60

  ^254 dengan fase gerak kloroform : metanol = 9 : 1 dan penampak bercak anisaldehida-sulfat .......................

  38 vi i

  10. Profil kromatogram KLT fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus S o l a n s inrficwi L pada lempeng Kieselgel 60 F 2 5 4 dengan fase gerak kloroforrn : metanol = 9

  : 1 dan penampak bercak dragendorf .......

  40

  11. Profil kromatogram KLT fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solan'um

  indicum L pada lempeng Kieselgel 60 ^254

  dengan fase gerak kloroforrn : metanol = 9 :

  

1 dan penampak bercak

anisaldehida-sulfat .......................

  41

  12. Profil kromatogram KLT fraksi hidrolisat serbuk kering kalus Solanxim. wrightii Benth pada lempeng Kieselgel 60 ^254 dengan fase gerak kloroforrn : metanol =

  9 : 1 dan penampak bercak dragendorf .....

  43

  13. Profil kromatogram KLT fraksi hidrolisat serbuk kering kalue Solanxim. wrightii Benth pada lempeng Kieselgel 60 ^254 dengan fase gerak kloroforrn : metanol = 9 : 1 dan penampak bercak anisaldehida-suifat .......................

  44

  14. Profil kromatogram KLT fraksi hidrolisat serbuk kering kalus Solanxim wrightii Benth pada lempeng Kieselgel 60 F254 dengan fase gerak kloroforrn : etil asetat = 9 : 1 dan penampak bercak anisaldehida-sulfat ....................... 4 5 vi. ii

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  15. Profil kromatogram KLT fraksi hidrolisat serbuk kering kalus Solanxim indicxtm L pada lempeng Kieselgel 60 ^254 ^en£an fase gerak kloroforrn : metanol = 9 : 1 dan penampak bercak dragendorf ...........

  47

  16. Profil kromatogram KLT fraksi hidrolisat serbuk kering kalus Soiarvum indicvm L pada lempeng Kieselgel 60 ^254 dengan fase gerak kloroforrn : metanol = 9 : 1 dan penampak bercak anisaldehida-sulfat ...

  48

  17. Profil kromatogram KLT fraksi hidrolisat serbuk kering kalus Solanum. Lndic'u/?*, L pada lempeng Kieselgel 60 $254 dengan fase gerak kloroforrn : etil asetat = 9:1 dan penampak bercak anisaldehida-sulfat ...

  49

  18. Profil kromatogram KLT ekstrak kloroforrn dari serbuk kering Solanxim wrightii Benth pada lempeng Kieselgel 60 F254 den®an fase gerak kloroforrn : eti asetat = 9 : 1 serta penampak bercak anisaldehida-sulfat ..

  51

  19. Profil kromatogram KLT ekstrak kloroforrn dari serbuk kering kalus Solanum indicxim L pada lempeng Kieselgel 60 ^254 denSan fase gerak kloroforrn : etil asetat = 9:1 serta penampak bercak anisaldehida-sulfat ..

  53

  20. Profil kromatogram GC pembanding solasodina ................................ 5 5 ix

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  21. Profil kromatogram GC fraksi hidrolisat dari serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media SW^ ......................

  56

  22. Profil kromatogram GC fraksi hidrolisat dari serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media S W ^ j (tanpa "spiking") ..

  57

  23. Profil kromatogram GC fraksi hidrolisat dari serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media (dengan "spiking) ..

  58

  24. Profil kromatogram KLT dari media percobaan kalus Solanum wrigfxtii Benth ( I ) dan Solanum indicum L ( II ) pada lempeng Kieselgel 60 ^254 dengan fase gerak kloroform : etil asetat = 9 : 1 dan penampak bercak anisaldehida-sulfat ......

  59

  25. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS pembanding fitosterol (campuran kolesterol, kampesterol, stigmasterol dan sitosterol) ...............................

  60

  26. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS pembanding fitosterol (campuran kolesterol, kampesterol, stigmasterol dan sitosterol) ...............................

  60

  27. Spektra massa hasil analisis GC-MS pembanding kolesterol .....................

  61

  28. Spektra massa hasil analisis GC-MS pembanding kampesterol ....................

  61

  29. Spektra massa hasil analisis GC-MS pembanding stigmasterol ...................

  62 x

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  30. Spektra massa hasil analisis GC-MS pembanding sitosterol ....................

  62

  31. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus SoLan-u?

  7 i wrightii Benth pada media SW^ .................................

  63

  32. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media SWj .......................................

  63

  33. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm. wrightii Benth pada media ................................

  64

  34. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm. wrightii Benth pada media SW jj ......................................

  64

  35. Spektra massa kolesterol (BM : 386) dari fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm wrightii Benth pada media SWIX ......................................

  65

  36. Spektra massa kampesterol (BM : 400) dari fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm wrightii Benth pada media SWI]; ......................................

  65

  37. Spektra massa stigmasterol (BM : 412) dari fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm wrightii Benth pada media ................................ 6 6 xi

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  38. Spektra massa sitosterol (BM : 414) dari fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media

  SWI T ................................................................................. 6 6

  39. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada^

  • j jj ...............................

  67 media SW-

  40. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media SWi n .....................................

  67

  41. Kromatogram total ion hasil. analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media ................................

  6 8

  42. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media SWI V . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

  68

  43. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum wrightii Benth pada media SW^ .................................

  69

  44. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solamim wrightii Benth pada media SWV .......................................

  69 xii

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  45. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum. indicvm L pada media

  SIj .......................................

  70

  46. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solan-um indicum L pada media SIj ....

  70 47. Kromatogram total ion hasil analisis

  GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum indicvm L pada media

  SIn ......................................................

  71 48.

  Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum. indicum L pada media SIjj ...

  71

  49. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanum indicum L pada media

  S I 111 ...........................................

  72 50.

  Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering

  • kalus Solanvm indicvm L pada media SIjjj

  72 51. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm indicvm L pada media SIIV ......................................

  7 3

  52. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm indicvm L pada media SI^V ...

  73 xiii

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  53. Kromatogram total ion hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Solanvm indicvm L pada media

  S I V .............................................................................................

  74

  54. Kromatogram massa hasil analisis GC-MS fraksi total hidrolisat serbuk kering kalus Sola-nxon indicum. L pada media SI^ ....

  74 xiv

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR LAMPIRAN lampiran halaman

  1. Komposisi kimiawi media Murashige dan Skoog .....................................

  95

  2. Konsentrasi kolesterol yang ditambahkan dalam media SW dan SI .....................

  96 3. Skema pembuatan media MS ..................

  97 4. Skema ekstraksi cara I ....................

  98 5. Skema ekstraksi cara II ...................

  99 . Berbagai produk dari kolesterol .......... 100

  6

  7. Biosintesis Squalen ....................... 101 . Biosintesis kolesterol dari squalen ...... 102

  8

  9. Biosintesis solasodina dari kolesterol ... 103

  10. Contoh perhitungan relatip area kurva kromatogram total ion ..................... 104 xv

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  DAFTAR SINGKATAN : 2,4 - dichlorophenoxy Acetic Acid

  2,4-D GA : Gibberelic Acid

  GC : Gas Chromatography GC-MS : Gas Chromatography-Mass Spectroscopy

  KJT : Kultur Jaringan Tanaman KLT : Kromatografi Lapisan Tipis

  Media MS : Media menurut Murashige dan Skoog

  MS : Mass Spectra

  NAA : Naphthalene Acetic Acid

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  BAB I PENDAHULUAN

  1. Latar belakang masalah Sebagai bahan baku obat-obat hormon steroid saat ini, dipakai. steroida sapogenin fitosterol, kolesterol dan steroida alkaloid ( 1 ). Solasodina sebagai steroida alkaloid, memiliki jalur semi sintesa yang lebih pendek untuk menjadi hormon steroid, dibandingkan golongan sterol (

  2 ).

  Solasodina diperoleh dari tanaman Solanum sp dengan cara ekstraksi, isolasi kemudian dimurnikan. Karena meningkatnya permintaan produksi hormon steroid, maka permintaan bahan dasar alami juga meningkat.

  Selain usaha untuk mencari tanaman baru sebagai sumber bahan dasar yang lebih baik, juga ditempuh usaha melalui bioteknologi. Saat ini, bioteknologi diunggulkan sebagai teknologi mutakhir yang mampu memberi jawaban pada berbagai tantangan yang dihadapi oleh umat manusia, antara lain dalam produksi pangan dan obat-obatan ( 3 ).

  Tehnik kultur jaringan tanaman adalah bagian dari bioteknologi. Melalui tehnik ini, mampu dihasilkan tanaman yang tahan penyakit dan serangan hama serta

  1

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  2 lebih tinggi produksinya. Studi tentang bioeintesis bahan kimia alami tertentu pada sel tanaman juga akan lebih mudah dilakukan. Agar diperoleh sistem kultur jaringan tanaman yang optimal untuk produksi solasodina, dilakukan usaha manipulasi sistem yang berkaitan dengan biosintesis solasodina.

  Chandler dan Dodds melaporkan bahwa pada kultur kalus Solanum laciniatum dapat dideteksi adanya solasodina dan kadar solasodina yang terbentuk dapat t ditingkatkan dengan cara menginduksi organogenesis ( 4 ).

  Dari hasil penelitian Emke dan Eilert, diketahui bahwa pada kultur kalus Solanum. dulcamara, terdapat hubungan antara solasodina yang terbentuk, diferensiasi sel dan kadar klorofil ( 5 ).

  Pada kultur kalus Solanum eleagnifolium juga dapat dideteksi adanya solasodina. Kalus ini ditumbuhkan dari berbagai eksplan. Kadar solasodina yang dicapai oleh kalus dari berbagai eksplan, hampir sama meskipun kultur kalus tersebut mempunyai kecepatan pembentukan solasodina yang berbeda ( ).

  6 Tschesche dan Brennecke' melaporkan bahwa

  biosintesis solasodina melalui kolesterol. Reaksi yang terjadi adalah hidroksilasi C^gkemudian aminasi ^26' Selanjutnya terjadi fungsionalisasi ^22 ^an

  3 hidroksilasi pada posiei 16 ft. Akhirnya terjadi pembentukan cincin E dan F ( 7 ).

  Atipayakul dan Jatisatienr melakukan penambahan kolesterol dengan berbagai konsentrasi sebagai prekursor biosintesis solasodina, pada kultur kalus

  Solanum I ar \ n t a i wt. TernyaUi dari berbbgul konaen t.rn« 1

  kolesterol yang ditambahkan, produksi solasodina terus meningkat dengan meningkatnya konsentrasi kolesterol, begitu sebaliknya (

  8 ).

  Pada kultur kalus Solanum. wrightii Benth yang ditumbuhkan dalam Laboratorium Bioteknologi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, tidak terdeteksi adanya solasodina, senyawa spesifik tanaman asalnya ( 9 ). Begitu pula dengan kultur kalus Solanvm indicvm L

  ( 10 ). Sarwetini melaporkan bahwa penambahan buah pisang ambon menbah pada kultur kalus Solanvm wrightii Benth dapat rnenyebabkan warna kalus menjadi hijau, dan ini diduga ada hubungannya dengan terbentuknya solasodina ( 11 ). Penelitian ini dilanjutkan oleh Ratna ( 12 ) dan Anik ( 13 ) pada kultur kalus Solanvm

  wrightii Benth dan Solaniwi indicvm L. Mereka

  menginduksi pembentukan solasodina dengan meningkatkan kadar klorofilnya. Ternyata pada kedua kultur kalus itupun tidak terdeteksi adanya solasodina, senyawa spesifik tanaman Solanum sp.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  4 Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka perlu dicoba penambahan kolesterol pada kultur kalus Solarium wrightii Benth dan Solanum indicum L, untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan terutama terhadap kandungan steroidanya. Dalam penelitian ini, empat macam konsentrasi kolesterol ditambahkan dalam media kultur kalus Solanum wrightii Benth dan Solanum

  indicum L. Analisis steroidanya dilakukan dengan KLT, GC dan GC-MS.

2. T u j u a n p e n e l i t i a n

  Mengetahui pengaruh penambahan beberapa

  Solanum

  konsentrasi kolesterol pada kultur kalus

  wrightii indicum

  Benth dan Solanum L terhadap kandungan steroidanya.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  1. Tinjauan tentang Sclaniun. xurightii Benth

  1.1. Tanaman SolcLnvm wrightii Benth

  Solanxtm wrightii Benth atau disebut juga Solarium. grandiflor-um. beraeal dari Peru dan banyak

  ditanam di Jawa sebagai tanaman hias ( 14 ) . Solanwn

  wrightii Benth mengandung solasodina yang relatif tinggi pada bagian buahnya, yaitu + 3,5 % ( 15 ).

  Sistematika Solanvm. wrightii- Benth menurut Lawrence ( 16 ) adalah sebagai berikut :

  Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae

  Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Solanales

  Suku : Solanaceae Marga : Solanum Jenis : Solanum wrightii Benth

  1.2. Kalus SclctnxuTL wrightii Benth Kalue Solanum wrightii Benth yang ada di

  Laboratorium Bioteknologi Fakultas Farmasi Univereitas Airlangga pertamakali ditumbuhkan oleh

  Andayani pada tahun 1987 ( 9 ). Kandungan eteroida

  5

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  6 dalam kalus Solnnum wrightii Benth adalah golongan sterol yang terdiri dari empat komponen ( 17 ). Sarwetini mencoba menambahkan buah pisang ambon mentah agar warna kalus menjadi hijau ( 1 1 ). Pada tahun 1989 dilakukan isolaoi protoplae kalus Solam/wi

  wrightii Benth dan porcobaan fueinya dengan kalufi

  Soian-u™. mamnvDsxwi. Ratna mencoba menginduksi pembentukan solasodina dengan meningkatkan kadar klorofil ( 12 ). Dalam percobaan induksi ini tidak terdeteksj. adanya solasodina.

  I***

  Gambar 1. l<‘oto kalut*: Sot.amm wrightii Benth x^ada media MS dorian pt^Kimbahan Kinotin 2 ppm dan NAA 0,5 ppm

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  7

2. T i n j a u a n t e n t a n g Solanxim indicxim L

2.1. T a n a m a n L

  Solanxim indicxtm

  Solanxmi indicxtm L merupakan tanaman yang banyak ditanam untuk diambil buahnya dan banyak terdapat di pulau Davao, Mindanau, Rocky bluffs, India, Cina dan

  Melayu ( 18 ). Solanxim indicxtm L mengandung solasodina pada bagian akar, buah dan daunnya, yaitu 0,32 % berat kering pada bagian daun dan 0,2-1 %

  , 8 berat kering pada bagian buahnya ( 19 ).

  Sistematika Solanxim indicum L menurut Lawrence (16) adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae

  Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Solanales Suku : Solanaceae

  Marga : Solanum Jenis : Solari/uT^ indicxxm L

  2.2. )Calus Solaixxim indicxtm L Kalus Solanxon indicxtm L yang ada di

  Laboratorium Bioteknologi Fakultas Farmasi Universitas Airlangga pertamakali ditumbuhkan pada tahun 1987 oleh Purwanto. Kalus Solanxim indicxim L mengandung steroida golongan sterol. Ekstrak

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  8 petroleum eter serbuk kering dari kalus Solanxim

  indicxim L mempanyai efek antifertilitas terhadap

  sejumlah mencit ( 20 ). Pada tahun 1969, dilakukan penelitian pengaruh suinber nitrogen terhadap kecepatan pertumbuhan dan profil kandungan steroida kaluc Solanxufi indicxan L. Pada tahun yang sama, Anik mencoba men^induksi pembentukan solasodina dengan meninfjkatkan kadar klorofil, tetapi tidak terdeteksi adanya solasodina ( 13 ).

  m

  Gambar 2. Koto kalus Solanum indicum L pada media MS dengan penambahan Kineitn 2 ppm, 2,4 D 0,5 ppm dan GAg 0,5 ppm

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  9

3. T i n j a u a n t e n t a n g k u l t u r j a r i n g a n t a n a m a n

3.1. K u l t u r J a r i n g a n t a n a m a n

  Sel tumbuhan merupakan eatuan biologis terkecil yang mampu melakukan aktivitas metabolieme, reproduksi dan tumbuh. Berdasarkan teori totipotensi, seinua eel tumbuhan mengandung semua informasi genetik yang sama, sehingga apabila sel tumbuhan ditanam pada media yang seeuai, mampu tumbuh menjadi tanaman baru ( 2 1 ).

  Kultur jaringan tanaman didefinisikan sebagai bagian atau jaringan tanaman yang telah dipisahkan dari tanaman asalnya dan ditumbuhkan dalam keadaan steril pada suatu medium artifisial dan sel-selnya mampu tumbuh dan mengadakan pembelahan-pembelahan.

  Kultur yang dihasilkan dapat berupa kultur organ tertentu yang telah terdefferensiasi dan sel-sel meristematik yang belum terdeffrensiasi atau disebut kultur kalus ( 22 ).

  Beberapa keuntungan kultur jaringan tanaman antara lain ( 23 ),

  • tidak terpengaruh oleh letak geografis, iklim, hama dan penyakit tanaman
  • kondisi dapat dikontrol, sehingga dapat dihasilkan produk tertentu sesuai dengan keinginan

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  10 tidak dibutuhkan lahan pertanian yang luas

  • waktu yang diperlukan untuk pembudidayaan dapat dipersingkat

  Sedangkan kekurangannya adalah :

  • sel yang tumbuh heterogen
  • kondisi media dan lingkungan harus steril
  • bahan pembuat media mahal

  Khusus di bidang farmasi dan biokimia, sistem kultur jaringan tanaman dapat dipakai untuk ( 24 ) :

  • Perkembangbiakan tanaman obat secara cepat dan seragam
  • Studi jalur biosintesis senyawa kimia tertentu
  • Biotransformasi senyawa kimia tert
  • Mencari senyawa kimia baru dengan aktivita© tertentu
  • Isolasi senyawa kimia tertentu, seperti enzim-enzim senyawa intermediat yang sukar diperoleh dari tanaman yang ditanam secara konvensional

  

3.2. P e n e r a p a n m e t o d e k u l t u r j a r i n g a n t a n a m a n untuk

produksi m e t a b o l i t s e k u n d e r

  Kultur jaringan tanaman mungkin memproduksi senyawa-senyawa yang identik dengan tanaman asal, senyawa yang sama sekali berbeda dari tanaman asal,

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  1.1 bahkan kadang-kadang tidak mampu memproduksi senyawa spesifik dari tanaman asalnya. Hal ini karena adanya kondisi lingkungan yang sangat berbeda bila sel-sel tanaman ditumbuhkan secara in vitro dibandingkan dengan di alain. Kadar metabolit sekunder yang dihasilkan dapat sama, lebih besar maupun lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar pada tanaman asalnya ( 25 ).

  Beberapa kriteria yang harus dipenuhi, supaya produksi metabolit ' sekunder dengan metode kultur jaringan tanaman mempunyai nilai ekonomis ( 26 ) :

  • konsentrasi produk harus lebih besar dari tanaman asalnya
  • bahan dasar tanaman untuk isolasi sukar diperoleh
  • untuk produksi senyawa kimia yang sukar sekali diperoleh pada tanaman asalnya, seperti intermediat biosintesis, enzim-enzim tert
  • produk biotransformasi dari bahan dasar relatif lebih murah dan proses transformasi tidak dapat dilakukan secara kimia atau mikroorganisme

  

3.3. F a k t o r - f a k t o r yang m e m p e n g a r u h i p e m b e n t u k a n

m e t a b o l i t s e k u n d e r d a l a m k u l t u r j a r i n g a n t a n a m a n

  Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan metabolit sekunder dalam kultur jaringan tanaman,

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  12 " U N I V E R S H A S A i K L A N G O A * P E R f 'U i s l A K A A N M

  1 L ] K S U R A B A Y A

  antara lain : cahaya, prekursor, nutrien, hormon pertumbuhan, pH, elisitor, adanya penambahan ekstrak yeast, konsentrasi oksigen, karbondioksida, etilen ( 27 ).

  Pemberian prekursor termasuk salah satu cara manipulasi pembentukan metabolit sekunder ( 2 0 ). Penambahan suatu prekursor dalam media kultur dapat meningkatkan produk ( 29 ).

4. T i n j a u a n t e n t a n g s t e r o i d a

  Steroida merupakan suatu produk alam yang cukup luas kegunaannya dalam bidang pengobatan, antara lain kardiotonik, anti inflamaei, prekursor vitamin D dan senyawa anabolik ( 30 ).

  Senyawa steroida mempunyai inti siklopentanoperhidrofenantren. Rumus bangun dari inti steroida ditunjukkan pada gambar 3.

  Gambar 3. Struktur inti steroid

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  13 Semua golongan steroida dianggap turunan dari inti tersebut yang mengalami substitusi, oksidasi atau dehidrogenasi ( 29 ) .

5. T i n j a u a n t e n t a n g s o l a s o d i n a

  5.1. Si fat fisikokimia solasodina ( 30 ) Dalam tanaman Solanum sp, solasodina terikat dalam bentuk glikosidanya dengan gula (glDkosa, galaktosa dan rhamnosa). Solasodina sebagai aglikon dari solasonin, soladamin, solaradixina, dan lainnya. Solasodina mempunyai rumus molekul

  C ^ H ^ O ^ N , dengan bobot molekul 413,62. Solasodina larut bebas dalam benzena, piridina kloroform. Larut dalam alkohol, metanol dan aseton, sedikit larut dalam air serta praktis tidak larut dalam eter. Kristal solasodina berbentuk heksagonal dengan titik lebur °“ ° C .

  2 0 0 2 0 2

  Gambar 4. Struktur molekul Solasodina

  14

  Jalur biosintesis solasodina berawal dari asam asetat sampai squalen. Squalen dengan konformasi SWSWg akan menuju ke kolesterol. Sedangkan konformasi SSSWg akan menjadi senyawa-senyawa triterpen. Biosintesis solasodina dari kolesterol terlihat pada lampiran 5,6,7.

  Kolesterol (gambar 5 ) adalah salah satu tipe dari sterol alam dan sebagai suatu sub group dari steroida yang mempunyai karakteristik pada panjang rantai samping C ^ .

  Penelitian beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kolesterol mempunyai fungsi yang sangat penting dalam tanaman, seperti pada hewan. Kolesterol merupakan prekursor, bahan awal untuk biosintesis dari semua jenis steroida ( 29 ). Jaringan tanaman tidak hanya mengandung sterol bebas, tetapi juga glikosida sterin dan ester sterin. Hanya sterol bebas yang mempunyai aktivitas menstabilkan membran. Contoh sterol yang lain adalah sitosterol, kampesterol, stigmasterol (gambar 5 ).

  Kolesterol mempunyai sifat fisikokimia sebagai berikut ( 30 ) :

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

5.2. B i o s i n t e s i s s o l a s o d i n a

6. T i n j a u a n t e n t a n g sterol

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  15 pemerian kristal berwarna putih atau kekuningan, berbentuk serpihan atau kristal lempeng, tidak berasa titik lebur 148, 5°C kelarutan praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalm alkohol dan alkohol panas, 1 : 2,8 eter, 1 : 4,5 kloroforrn, 1 : 1,5 benzena, petroleum eter dan piridin berat molekul 386,64

  R kolesterol kampesterol sitosterol. stigmasterol Gambar 5. Struktur dari fitosterol( 31).

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  16

7. E k s t r a k s i d a n a n a l i s i s s t e r o i d a

7.1. E k s t r a k s i d a n p r e p a r a s i sampel

  Ekstraksi dan preparasi sampel sangat tergantung pada jenis sampel, polaritas dari kandungan yang dimaksud, apakah polar, semipolar atau non polar dan juga tergantung pada kandungan lain misalnya mengandung lemak atau tidak ( 32 ) . Bila sampel hanya mengandung Bteroida Bapogenin atau steroida alkaloid dan tidak mengandung lemak, dapat digunakan cara seperti yang dikemukakan oleh Carle

  ( 3 3 ), yaitu serbuk bahan kering dihidrolisis dengan metanol-HCl, ekstrak yang diperoleh dinetralkan dengan ammonia, disaring dan residu dikeringkan. Terakhir diekstraksi dengan kloroform. Untuk sampel yang berlemak dan hanya mengandung sterol tanpa ada jenis steroida lain, digunakan cara dari Helmbold ( 34 ), yaitu sampel disokletasi dengan petroleum eter 40-60 selama 4B jam, kemudian disabunkan dan bahan yang tidak tersabunkan diekstrakBi dengan eter. Bila bahan mengandung steroida polar, semi polar dan non polar, bisa dipilih cara seperti yang dikemukakan oleh

  Indrayanto ( 35 ). Serbuk bahan kering diekstraksi dengan petroleum eter 40-60 selama 3x2 jam (kalau perlu disabunkan), lalu residu diekstraksi

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  17 dengan aseton (untuk menarik steroida semi polar) dan akhirnya residu diperlakukan seperti Carle di atas (untuk menarik steroida sapogenin dan steroida alkaloid).

7.2. A n a l i s i s d e n g a n K r o m a t o g r a f i L a p i s a n T i p i s CKLT)

  Analisis dengan KLT membutuhkan jumlah cuplikan sedikit, waktu lebih cepat dan memberikan pemisahan yang cukup baik.

  Sebagai parameter untuk menentukan letak bercak pada kromatogram KLT adalah harga Rf yaitu haail bagi jarak bercak dari titik awal dengan jarak yang ditempuh oleh eluen dari titik awal ( 3 6 ). Faktor-faktor yang mempengaruhi harga antara lain :

  • struktur kimia dari senyawa yang akan dipisahkan
  • sifat dari penyerap dan derajat aktifita>ketebalan dan kerataan dari penyerap
  • kemurnian eluen atau ketepatan perbandingan eluen bila digunakan dalam bentuk campuran
  • derajat kejenuhan dari bejana
  • tehnik eluasi ; menurun, menaik, horisontal atau melingkar
  • jumlah cuplikan yang digunakan ; cuplikan yang berlebihan menyebabkan penyebaran bercak membentuk

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  18 ekor (tailing) yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam perhitungan

  • suhu pemisahan Selain letak bercak (Rf)> dari kromatogram KLT bisa dilihat spesifikasi jumlah bercak dengan masing-masing warnanya.

7.3. A n a l i s i s d e n g a n K r o m a t o g r a f i Gas C G O

7.3.1. M e k a n i s m e kerja

  Pada kromatografi gas, mekanisme kerja yang mendasari terjadinya pemisahan adalah proses partisi. Pada Bistem ini dikenal parameter K yaitu koefisien partisi/distribusi yang dinyatakan dengan persamaan :

  Ca K = --------

  Cm C» = konsentrasi solut dalam fase diam Cm = konsentrasi solut dalam fase gerak Harga K adalah spesifik untuk masing-masing senyawa (suatu solut tertentu dalam sistem tertentu akan mempunyai harga K yang tertentu). Dari persamaan kesetimbangan dinamis ini fraksi waktu yang dialami solut dalam fase diam ekivalen

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  19 dengan fraksi solut yang berada dalam fase gerak.

  V» Sehingga K = ------- = k' yang disebut faktor Vrr. kapasitas yaitu merupakan perbandingan jumlah molekul solut dalam fase diam dan fase gerak.

  Sebagai parameter digunakan waktu retensi (tR ) yaitu waktu yang diperlukan solut untuk mencapai jarak sepanjang kolom. Untuk suatu sistem kromatografi tertentu harga tR hanya dipengaruhi oleh harga K.

  Dalam praktek, parameter yang diamati adalah waktu retensi relatif yang diperoleh dengan membandingkan harga t^ dari komponen yang satu dengan yang lain atau pembanding.

  7. 3..2. P e m i l i h a n f a s e d i a m

  Menurut Willard ( 36 ), fase diam harus memenuhi syarat : menghasilkan harga K yang berbeda-beda untuk setiap komponen ; melarutkan komponen yang dipisahkan ; tekanan uap yang dihasilkan pada suhu analisis tidak berpengaruh dan bersifat termostabil serta inert.

  Untuk analisis steroida alami dapat digunakan fase diam selektif maupun non selektif ( 37 ). Fase diam non selektif yang banyak digunakan oleh

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  20 para peneliti adalah polimer-polimer dari metil siloksan seperti SE-30, OV-1 dan OV-lOl ( 38 ), sedangkan fase diam yang selektif misalnya QF-l dan OV-17 ( 37 ).

  Analisis dengan kolom kapiler lebih dianjurkan karena akan memberikan hasil pemisahan yang lebih baik daripada kolom “packed column"

  ( 32 ).Namun penggunaan kolom logam sangat tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan degradasi.

  Untuk analisis steroida nabati kadang-kadang perlu dilakukan derivatiBasi. Tujuan dari derivatisasi antara lain untuk mempercepat penguapan, memperoleh senyawa yang stabil, memperoleh pemisahan yang sempurna dan untuk identifikasi ( 36 ). Cara derivatisasi yang umum dilakukan adalah dengan sililasi, asetilasi, trifluoroasetilasi dan oksimasi ( 38 ).

7.4. A n a l i s i s s t e r o i d a d e n g a n G C - M S

  Penggunaan GC-MS di bidang farmasi, untuk mengidentifikasi obat atau metabolit dalam cairan tubuh dan senyawa-senyawa kimia dari bahan alam. Dalam analieie dengan GC-MS, esapat diperoleh profil kromatogram dan spektra massa suat molekul tertentu.

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  21 Dengan spektra massa, dapat dianalisis struktur molekul .

  Dalam GC-MS fase gerak membawa uap solut melalui kolom kromatografi, pada tekanan, kecepatan alir dan temperatur yang ditentukan oleh sifat

  • senyawa yang dianalisis. Uap molekul yang menghasilkan puncak pada GC dimasukkan sumber ion, selanjutnya mengalami ionisasi dan proses pemecahan. Dengan bantuan alat pengukur, maka jumlah ion positip yang meninggalkan sumber ion dapat diukur, ( 39 ).

  

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

  BAB III BAHAN, ALAT DAN METODE PENELITIAN 1 . 1 . B a h a n K i m i a