BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Payudara - Korelasi Ekspresi MicroRNA-155 dengan Grade Histopatologi pada Jaringan Kanker Payudara Tipe Duktal

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kanker Payudara
Tumor merupakan penyakit genetik yang kompleks, melibatkan kelainan

struktural dan kelainan ekspresi gen (coding dan noncoding). Selama hampir tiga
dekade, perubahan protein yang mengkode onkogen dan/ atau tumour-suppressor
genes dianggap sebagai penyebab tumorigenesis (Calin, et.al., 2006). Tumor
ganas adalah sekelompok sel-sel kanker yang dapat tumbuh dan berkembang pada
jaringan dan/ atau menyebar ke daerah lain dari tubuh. Kanker payudara
merupakan keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan
penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara (DEPKES RI, 2009).
Kebanyakan kanker payudara dimulai pada sel-sel yang melapisi saluran (ductal
cancers). Beberapa dimulai pada sel-sel yang melapisi lobulus (lobular cancers),
sementara sejumlah kecil dimulai pada jaringan lain. Penyakit ini terjadi hampir
seluruhnya pada perempuan, tetapi pria bisa juga terkena (American Cancer
Society, 2013).


2.1.1

Epidemiologi
Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit

kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health
Estimates, WHO (2013), kanker payudara merupakan kanker yang paling umum
pada perempuan baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Kanker

9
Universitas Sumatera Utara

10

payudara merupakan kanker kedua yang paling tinggi insidennya pada perempuan
di seluruh dunia setelah kanker rahim dan sekitar 7%-10% dari semua tumor
ganas.
Tingkat insiden sangat bervariasi di seluruh dunia mulai dari 19,3 per
100.000 perempuan di Afrika Timur hingga 89,7 per 100.000 perempuan di Eropa
Barat. Di sebagian besar negara sedang berkembang tingkat insiden di bawah 40

per 100.000 perempuan. Tingkat insiden terendah ditemukan di sebagian besar
negara-negara Afrika, akan tetapi angka kejadian kanker payudara di daerah
tersebut juga meningkat. Meskipun kanker payudara dianggap penyakit di negara
maju, akan tetapi hampir 50% kasus kanker payudara dan 58% kematian terjadi di
negara-negara sedang berkembang (WHO, 2013).
Sekitar 1 dari 8 perempuan memiliki risiko seumur hidup terkena kanker
payudara invasif (Mandal, 2013). Di Australia, pada tahun 2009 insidensi kanker
payudara sekitar 27,4% dari semua kasus baru kanker pada perempuan, dimana
sekitar 13.668 kasus baru kanker payudara pada perempuan dan 110 kasus baru
pada laki-laki (Australian Government, 2013). Di Inggris, pada tahun 2010 ada
sekitar 49.961 kasus baru kanker payudara, 157 kasus baru kanker payudara untuk
setiap 100.000 perempuan (Mandal, 2013). Pada perempuan di Amerika Serikat,
tahun 2011, diperkirakan 230.480 kasus baru kanker payudara invasif dan 57.650
kasus baru kanker payudara non-invasif/ insitu (Mandal, 2013).
Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia.
Tingkat insidensi yang lebih tinggi terlihat pada perempuan lebih tua, terkait
dengan status hormonal. Di Inggris 48% kasus kanker payudara perempuan

Universitas Sumatera Utara


11

didiagnosis pada kelompok usia 50-69 tahun (Mandal, 2013). Hal ini sejalan
dengan angka kejadian kanker payudara di Australia, dimana pada tahun 2009,
51,4% kasus kanker payudara perempuan didiagnosis pada kelompok usia 50-69
tahun, 25,8% pada kelompok usia 70 tahun ke atas, dan sisanya 22,9% pada
kelompok usia lebih muda dari 50 tahun (Australian Government, 2013).
Tingkat kelangsungan hidup penderita kanker payudara sangat bervariasi
di seluruh dunia, mulai dari 80% atau lebih di Amerika Utara, Swedia dan Jepang,
hingga sekitar 60% di negara-negara berpenghasilan menengah, dan di bawah
40% pada negara-negara berpenghasilan rendah (WHO, 2013). Tingkat
kelangsungan hidup relatif setelah terdiagnosis kanker payudara pada perempuan
telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Antara periode 1982-1987 dan
2006-2010, kelangsungan hidup lima tahun relatif meningkat dari 72% menjadi
89,4% pada perempuan Australia (Australian Government, 2013). Tingkat
kelangsungan hidup yang rendah di negara-negara sedang berkembang terutama
disebabkan oleh karena kurangnya program deteksi dini, sehingga lebih tinggi
proporsi perempuan dengan kanker payudara stadium lanjut, serta kurangnya
fasilitas diagnostik dan pengobatan yang memadai (WHO, 2013).
Diperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari 508.000 perempuan

meninggal pada tahun 2011 disebabkan oleh kanker payudara (WHO, 2013),
karena kebanyakan perempuan dengan kanker payudara didiagnosis pada stadium
penyakit lanjut, dikarenakan gejala awal yang tidak khas (Zhao, et.al., 2012). Pada
tahun 2010, kanker payudara merupakan penyebab utama kedua kematian terkait
kanker pada perempuan Australia, dimana sekitar 15,3% dari semua kematian

Universitas Sumatera Utara

12

akibat kanker pada perempuan. Terdapat 2.864 kematian akibat kanker payudara
yaitu 2.840 perempuan dan 24 laki-laki (Australian Government, 2013). Pada
tahun 2011, sekitar 39.520 perempuan di Amerika Serikat meninggal akibat
kanker payudara (Mandal, 2013).
Di Indonesia, berdasarkan data rekam medis RS Kanker Dharmais tahun
2010, kanker payudara menempati urutan pertama dari segi jumlah pasien yang
datang berobat. Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, prevalensi kanker
payudara pada periode Januari-Desember 2009 adalah 275 kasus. Kanker
payudara ditemukan pada 0,36% pria dan 99,64% wanita. Golongan umur yang
paling banyak ditemukan adalah antara 40-49 tahun yaitu sebanyak 37,82%,

sedangkan yang paling sedikit adalah umur antara 70-79 tahun yaitu sebanyak
2,55%. Jenis histopatologi kanker payudara yang paling banyak ditemukan adalah
invasive ductal carcinoma mamae dengan persentase kasus sebesar 60,37%.
Berdasarkan stadium kanker payudara, stadium yang paling banyak terjadi adalah
stadium IIIb sebanyak 37,82% dan yang paling sedikit ditemukan adalah stadium
II dengan persentase sebanyak 1,09%. Sementara itu, di RSUP. H. Adam Malik
Medan, berdasarkan data rekam medis pada tahun 2012, ada sebanyak 200 pasien
baru yang terdiagnosis kanker payudara yang datang berobat ke bagian bedah
onkologi RSUP. H. Adam Malik.
Di Indonesia, hampir 70% penderita kanker ditemukan pada stadium yang
sudah lanjut, dimana sebagian besar pasien kanker payudara yang berobat ke RS/
dokter (>50%) sudah dalam keadaan stadium lanjut. Setiap tahunnya 100 kasus
baru terjadi diantara 100.000 penduduk. Meningkatnya pengguna rokok,

Universitas Sumatera Utara

13

konsumsi alkohol, kegemukan atau obesitas dan kurangnya aktifitas fisik/
olahraga juga berperan dalam peningkatan angka kejadian kanker di Indonesia.

Berdasarkan kelompok umur, semakin tua usia maka risiko terkena penyakit
kanker semakin tinggi, mencapai puncaknya pada usia 35 sampai 44 tahun,
kemudian secara perlahan risikonya akan menurun dan akan terjadi peningkatan
kembali pada usia >65 tahun. Menurut jenis kelamin, risiko penyakit kanker lebih
tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Oemiati, dkk., 2011).

2.1.2

Faktor risiko
Sulit untuk mengetahui berapa besar peran dari faktor risiko menyebabkan

munculnya kanker payudara. Ada perempuan yang memiliki satu atau lebih faktor
risiko tetapi tidak terkena kanker payudara, sementara ada perempuan tidak
memiliki faktor risiko yang jelas (selain karena faktor jenis kelamin dan usia)
tetapi terkena kanker payudara (American Cancer Society, 2013).
Beberapa faktor risiko kanker payudara antara lain:

2.1.2.1 Jenis kelamin
Perempuan lebih berisiko 100 kali terkena kanker payudara dibandingkan
pria. Hal ini disebabkan karena pria hanya memiliki sedikit hormon estrogen dan

progesteron dibandingkan perempuan, yang dapat memicu berkembangnya kanker
payudara (Ostad and Parsa, 2011).

Universitas Sumatera Utara

14

2.1.2.2 Usia
Risiko terkena kanker payudara meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Risiko terkena kanker payudara terus meningkat setelah usia 30 tahun
sampai rentang usia 45-50 (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Sekitar 1 dari
8 kanker payudara invasif ditemukan pada perempuan berusia lebih muda dari 45
tahun, sementara sekitar 2 dari 3 kanker payudara invasif ditemukan pada
perempuan usia 55 tahun atau lebih (American Cancer Society, 2013).

2.1.2.3 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara merupakan faktor
risiko utama (Kumar, 2007; Ostad and Parsa, 2011). Mereka yang memiliki
riwayat keluarga penderita kanker payudara dua kali lipat berisiko terkena kanker
payudara. Sekitar 15% perempuan yang mendapat kanker payudara memiliki

anggota keluarga yang juga menderita kanker payudara. Sekitar 5-10 % dari
kanker payudara dikaitkan dengan mutasi gen (perubahan abnormal) diturunkan
dari ibu atau ayah (Mandal, 2013). Memiliki satu kerabat tingkat pertama (ibu,
saudara perempuan, atau anak perempuan) dengan kanker payudara membuat
seorang perempuan memiliki risiko dua kali lipat terkena kanker payudara.
Memiliki 2 kerabat tingkat pertama dengan kanker payudara meningkatkan risiko
sekitar 3 kali lipat (Loman, et.al., 2003). Secara keseluruhan, kurang dari 15%
perempuan penderita kanker payudara memiliki anggota keluarga yang menderita
kanker payudara juga. Ini berarti bahwa sebagian besar (>85%) perempuan yang

Universitas Sumatera Utara

15

terkena kanker payudara tidak memiliki riwayat keluarga penderita kanker
payudara (American Cancer Society, 2013).

2.1.2.4 Riwayat pribadi kanker payudara
Faktor risiko utama terkena kanker payudara primer adalah adanya riwayat
pribadi kanker sebelumnya pada sisi payudara yang lain. Seorang perempuan

dengan kanker pada satu sisi payudara memiliki 3-4 kali lipat peningkatan risiko
berkembangnya kanker baru pada payudara yang lain atau sisi lain dari payudara
yang sama (Armstrong, et.al., 2000). Hal ini berbeda dengan kondisi kekambuhan
(recurrence).

2.1.2.5 Ras dan etnis
Perbedaan etnis merupakan faktor lain yang mempengaruhi prevalensi
kanker payudara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, kanker payudara lebih
umum terjadi pada orang kulit putih. Perbedaan ini kemungkinan besar
disebabkan oleh faktor gaya hidup dan kondisi sosial. Wanita yang memiliki
pendidikan, pekerjaan dan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki risiko yang
lebih besar terkena kanker payudara, dikarenakan pola reproduksi mereka,
termasuk kehamilan pertama. Perbedaan etnis dalam hal subtipe reseptor estrogen
dan progesteron juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi terjadinya
kanker payudara. Dalam Study kohort multietnis, dilaporkan berbagai status
estrogen reseptor (ER)/progesteron reseptor (PR) termasuk ER-/PR-, ER+/PR+,

Universitas Sumatera Utara

16


ER-/PR+ dan ER+/PR- bervariasi secara signifikan di seluruh kelompok ras/ etnis
bahkan dalam stadium tumor yang sama (Ostad and Parsa, 2011).

2.1.2.6 Jaringan payudara yang padat
Payudara terdiri dari jaringan lemak, jaringan fibrosa, dan jaringan
kelenjar. Seseorang dikatakan memiliki jaringan payudara yang padat (seperti
yang terlihat pada mammogram) ketika mereka memiliki lebih banyak jaringan
kelenjar dan fibrosa serta jaringan lemak yang lebih sedikit. Perempuan dengan
jaringan payudara yang padat memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker
payudara dibandingkan perempuan dengan payudara kurang padat. Sayangnya,
jaringan payudara yang padat juga bisa membuat mammogram kurang akurat.
Sejumlah faktor dapat mempengaruhi kepadatan payudara, seperti usia, status
menopause, penggunaan obat-obatan (seperti terapi hormon menopause),
kehamilan, dan genetik (American Cancer Society, 2013).

2.1.2.7 Memiliki penyakit payudara yang bersifat jinak
Perempuan dengan penyakit payudara yang bersifat jinak memiliki
peningkatan risiko terkena kanker payudara (Kumar, 2007). Risiko ini bervariasi,
sesuai dengan gambaran subkategori histopatologis nya (Terry and Rohan, 2002).


Universitas Sumatera Utara

17

Penyakit payudara yang bersifat jinak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
(American Cancer Society, 2013)

a.

Lesi non-proliferasi
Kondisi ini tidak berhubungan dengan pertumbuhan jaringan payudara
yang berlebih. Kondisi payudara jenis ini tampaknya tidak mempengaruhi
risiko kanker payudara, atau jika berpengaruh, maka pengaruhnya sangat
kecil. Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
fibrosis dan/ atau simpel kista (penyakit fibrokistik), hiperplasia ringan,
adenosis non-sklerosis, ductal ectasia, tumor phyllodes jinak, papilloma
tunggal, fat necrosis, fibrosis periduktal, metaplasia skuamosa dan
apokrin, kalsifikasi terkait epitel dan tumor jinak lainnya (lipoma,
hamartoma, hemangioma, neurofibroma, adenomyoepthelioma). Mastitis
(infeksi payudara) tidak meningkatkan risiko kanker payudara.

b.

Lesi proliferatif non-atipia
Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di
dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara. Kondisi meningkatkan
risiko seorang perempuan terkena kanker payudara sekitar 1½-2 kali lebih
tinggi dari normal (Kumar, 2007). Kondisi payudara yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain hiperplasia duktal (non-atypia), fibroadenoma,
adenosis sklerosis, beberapa papiloma (papillomatosis), bekas luka radial.

Universitas Sumatera Utara

18

c.

Lesi proliferatif atipia
Kondisi ini menunjukkan adanya pertumbuhan berlebihan dari sel-sel di
dalam saluran atau lobulus dari jaringan payudara, dengan beberapa sel
tidak lagi normal. Kondisi ini memberikan efek yang lebih kuat pada
risiko kanker payudara 3½ - 5 kali lebih tinggi dari normal (Kumar, 2007).
Kondisi payudara yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
hiperplasia duktus atipikal (Atypical ductal hyperplasia/ ADH) dan
hiperplasia lobular atipikal (Atypical lobular hyperplasia/ ALH).
Perempuan dengan riwayat keluarga kanker payudara dengan hiperplasia
atau hiperplasia atipikal memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker
payudara.

Selain kondisi di atas, kondisi Lobular carcinoma in situ (LCIS) juga
merupakan faktor risiko kanker payudara. Pada kondisi LCIS, sel-sel yang terlihat
seperti sel-sel kanker tumbuh di lobulus kelenjar penghasil susu dari payudara,
tetapi tidak tumbuh pada dinding lobulus. LCIS (juga disebut lobular neoplasia)
kadang-kadang dikelompokkan dengan ductal carcinoma in situ (DCIS) sebagai
kanker payudara non-invasif, tetapi berbeda dari DCIS tidak menjadi kanker
invasif meskipun tidak diobati. Perempuan dengan kondisi ini memiliki 7-12 kali
lipat peningkatan risiko kanker payudara yang invasif. Dengan alasan ini,
perempuan dengan LCIS harus melakukan mammografi reguler (Kumar, 2007;
American Cancer Society, 2013).

Universitas Sumatera Utara

19

2.1.2.8 Periode menstruasi
Perempuan yang memiliki siklus menstruasi lebih banyak, karena mereka
mulai menstruasi lebih awal (55 tahun), memiliki risiko yang lebih tinggi terkena kanker payudara
(Kumar, 2007; DEPKES RI, 2009). Peningkatan risiko mungkin karena paparan
seumur hidup lebih lama terhadap hormon estrogen dan progesteron
(Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003; Ostad and Parsa, 2011).

2.1.2.9 Paritas, riwayat reproduksi, dan riwayat menyusui
Jumlah paritas yang banyak (multipara) erat kaitannya dengan penurunan
risiko kanker payudara (Tryggvadottir, et.al., 2003; Wrensch, et.al., 2003).
Perempuan yang tidak memiliki anak atau kelahiran hidup anak pertama setelah
usia 30 tahun memiliki risiko kanker payudara yang lebih tinggi (Kumar, 2007;
Ostad and Parsa, 2011). Kehamilan beberapa kali dan hamil pada usia muda
mengurangi risiko kanker payudara. Sebaliknya usia kehamilan penuh pertama
yang lebih tua mempunyai risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Ostad and
Parsa, 2011). Kehamilan mengurangi jumlah siklus menstruasi selama hidup,
yang mungkin menjadi alasan untuk efek ini (American Cancer Society, 2013).
Beberapa studi menunjukkan bahwa menyusui dapat menurunkan risiko
kanker payudara, terutama jika dilanjutkan selama 1½-2 tahun, dikarenakan
berkurangnya jumlah total siklus menstruasi (Tryggvadottir, et.al., 2003;
Wrensch, et.al., 2003).

Universitas Sumatera Utara

20

2.1.2.10 Kontrasepsi
Hormon estrogen eksogen, baik dalam bentuk kontrasepsi oral kombinasi
(Combined Oral Contraception/ COC) atau terapi sulih hormon (Hormone
Replacement Therapy/ HRT), juga mengakibatkan peningkatan risiko kanker
payudara, namun hal ini tergantung pada durasi paparan dan apakah hormon
estrogen yang digunakan dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk kombinasi
dengan progesteron (Wrensch, et.al., 2003)..
Data tentang efek kontrasepsi oral pada risiko terjadinya kanker payudara
masih kontroversial. Beberapa studi menunjukkan peningkatan risiko kanker
payudara pada pengguna kontrasepsi oral jangka panjang (>7 tahun) (DEPKES
RI, 2009), sedangkan pada beberapa penelitian lain, tidak ada terlihat perbedaan
yang signifikan. Penggunaan terapi hormon postmenopause jangka panjang
dikaitkan dengan risiko lebih tinggi terkena kanker payudara (Kumar, 2007).
Sebaliknya, terapi hormon jangka pendek tampaknya tidak meningkatkan risiko
kanker payudara secara signifikan (Ostad and Parsa, 2011). Pada sebuah studi
yang dilakukan di Oxford yang meneliti 52.705 wanita yang menggunakan HRT ≥
5 tahun menunjukkan 3-9 kasus kanker payudara/ 1000 wanita yang
menggunakan HRT selama 10 tahun dan 5-20 kasus kanker payudara/ 1000
wanita yang menggunakan HRT selama 15 tahun (Connor and Stuenkel, 2001).
Terapi hormon estrogen (sering dikombinasikan dengan progesteron) telah
digunakan selama bertahun-tahun untuk

membantu meringankan

gejala

menopause dan membantu mencegah osteoporosis. Terapi hormon estrogen tuggal
setelah menopause tidak meningkatkan risiko kanker payudara, akan tetapi

Universitas Sumatera Utara

21

menggunakan terapi kombinasi hormon (estrogen-progesteron) setelah menopause
meningkatkan risiko kanker payudara. Hal ini juga dapat meningkatkan
kemungkinan kematian akibat kanker payudara. Peningkatan risiko dapat dilihat
hanya dalam 2 tahun penggunaan. Risiko kanker payudara akan kembali seperti
populasi umum setelah 5-10 tahun menghentikan penggunaan terapi kombinasi
hormon (Connor and Stuenkel, 2001; Kumar, 2007).

2.1.2.11 Peminum alkohol
Penggunaan alkohol juga terkait dengan peningkatan risiko kanker
payudara (DEPKES RI, 2009). Data epidemiologis telah mengidentifikasi
konsumsi alkohol kronis sebagai faktor risiko yang signifikan untuk kanker.
Dibuktikan bahwa asetaldehida bertanggung jawab pada proses karsinogenesis
terkait alkohol. Asetaldehida merupakan karsinogenik dan mutagenik, berikatan
dengan DNA dan protein, merusak folat dan menyebabkan hiperproliferasi
sekunder (Poschl and Seitz, 2004).
Dibandingkan

dengan

yang

tidak

peminum,

perempuan

yang

mengkonsumsi minuman beralkohol dengan rutin lebih dari 3 kali sehari memiliki
risiko 3,6 kali terkena kanker payudara dibandingkan dengan perempuan yang
tidak mengkonsumsi alkohol (Wrensch, et.al., 2003).

2.1.2.12 Kelebihan berat badan atau obesitas
Kelebihan berat badan atau obesitas setelah menopause meningkatkan
risiko kanker payudara (DEPKES RI, 2009). Sebelum menopause ovarium

Universitas Sumatera Utara

22

menghasilkan hormon estrogen yang paling banyak, dan jaringan lemak
menghasilkan hormon estrogen dalam jumlah kecil. Setelah menopause (ketika
ovarium berhenti mensekresikan estrogen), sebagian besar dari estrogen
perempuan berasal dari jaringan lemak, sehingga memiliki lebih banyak jaringan
lemak setelah menopause dapat meningkatkan risiko kanker payudara
(McTiernan, et.al., 2003).

2.1.2.13 Kurangnya aktivitas fisik
Aktifitas fisik mengurangi risiko kanker payudara. Aktivitas fisik dapat
memodulasi kadar hormon reproduksi wanita dan mempengaruhi karakteristik
menstruasi. Selain itu, wanita yang aktif lebih mudah menjadi ramping, yang
berhubungan dengan rendahnya risiko kanker payudara pascamenopause (Lee,
et.al., 2001). Dalam sebuah penelitian Women's Health Initiative, jalan cepat
sedikitnya selama 1,25-2,5 jam per minggu akan mengurangi risiko kanker
payudara sebesar 18% (American Cancer Society, 2013).

2.1.2.14 Bahan kimia di lingkungan
Senyawa pada lingkungan yang memiliki sifat seperti estrogen seperti zat
yang ditemukan pada plastik, kosmetik tertentu dan produk perawatan pribadi,
pestisida (seperti DDT), dan PCB (polychlorinated biphenyls), dapat tertimbun di
jaringan adiposa, mempengaruhi risiko kanker payudara. Beberapa studi
menunjukkan bahwa paparan bahan kimia tersebut akan meningkatkan risiko
terkena kanker payudara, akan tetapi data yang ada masih kontroversial, sehingga

Universitas Sumatera Utara

23

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lebih spesifik efek senyawa
tersebut atau sejenisnya terhadap kesehatan (Ostad and Parsa, 2011).

2.1.2.15 Asap rokok
Penelitian eksperimental telah menunjukkan bahwa asap tembakau
mengandung potensi karsinogen pada payudara manusia (termasuk hidrokarbon
polisiklik/ PAH, 2 amina aromatik, dan N-nitrosamin). Karsinogen yang
ditemukan dalam asap tembakau tersebut dapat melewati membran alveolar dan
masuk ke dalam aliran darah, yang kemudian dapat diangkut ke payudara melalui
lipoprotein plasma. Karena bersifat lipofilik, karsinogen yang terkait tembakau
tersebut dapat disimpan dalam jaringan adiposa payudara dan kemudian
dimetabolisme dan diaktivasi oleh sel epitel payudara (American Cancer Society,
2013; Terry and Rohan, 2002).
Temuan adanya mutasi gen p53 dalam jaringan payudara perokok
mendukung secara biologis adanya hubungan positif antara merokok dan kanker
payudara, seperti halnya deteksi aktifitas karsinogenik dalam cairan payudara.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi mutasi
gen p53 yang lebih tinggi ditemukan dalam jaringan payudara perokok
dibandingkan dengan bukan perokok, yang secara biologis membuktikan adanya
hubungan positif antara merokok dan risiko kanker payudara. Peningkatan risiko
kanker payudara dapat terjadi bila merokok untuk jangka waktu yang lama,
merokok saat hamil, dan perokok pasif. (Terry and Rohan, 2002).

Universitas Sumatera Utara

24

Pada tahun 2009, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker
menyimpulkan bahwa perempuan yang memiliki kebiasaan merokok ≥ 30 tahun
memiliki risiko terkena kanker payudara 2,4 kali dibandingkan dengan perempuan
yang tidak merokok (Wrensch, et.al., 2003).

2.1.3

Penyebab
Faktor

genetik

berkontribusi

terhadap

insiden

kanker

payudara.

Diperkirakan sekitar 5% dari semua kasus kanker payudara dan sekitar 25% dari
kasus yang terkait genetik didiagnosis pada usia muda (