Hubungan Mekanisme Koping Individu dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus (DM)

(1)

HUBUNGAN MEKANISME KOPING INDIVIDU DENGAN

TINGKAT KEPATUHAN PENDERITA

DIABETES MELITUS (DM)

TESIS

OLEH

YUNI RAMADHANI

127046029 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN MEKANISME KOPING INDIVIDU DENGAN

TINGKAT KEPATUHAN PENDERITA

DIABETES MELITUS (DM)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) Dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUNI RAMADHANI

127046029 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

Telah Diuji

Pada Tanggal: 12 September 2014

PANITIA PENGUJI

Ketua : Drs. Heru Santosa, MS., PhD Anggota : 1. Mula Tarigan, S.Kp., M.Kes

: 2. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si., Psikolog : 3. Yesi Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep


(5)

(6)

Judul : Hubungan Mekanisme Koping Individu dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus (DM)

Nama : Yuni Ramadhani

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah Tahun : 2014

ABSTRAK

Diabetes dan stres merupakan dua hal yang saling berkaitan, karena stres yang terjadi pada penderita diabetes dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah, kadar glukosa darah yang tinggi secara terus menerus akan menyebabkan komplikasi diabetes, oleh sebab itu kemampuan untuk mengatasi stres memiliki efek positif pada kesejahteraan emosional kondisi fisik penderita diabetes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jenis mekanisme koping individu (berorientasi pada situasi, emosi, pencegahan, agama, eksistensi dan restrukturisasi) dengan tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes melitus. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dengan menggunakan

chi-square, sampel penelitian sebanyak 100 orang penderita diabetes melitus yang berkunjung ke poli endokrin RSUD Dr.Pirngadi Medan dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Hasil penelitian ditemukan bahwa berdasarkan enam jenis mekanisme koping terdapat satu jenis mekanisme koping yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan penderita diabetes melitus yaitu mekanisme koping berorientasi pada


(7)

situasi yaitu (p < 0,05). Bagi lahan praktek keperawatan untuk meningkatkan koping individu yang adaptif dan meningkatkan kepatuhan dengan memberikan intervensi seperti self efficacy dengan melakukan pendidikan tersturktur, memfasilitasi untuk memberikan dukungan sosial untuk mencegah terjadinya koping individu yang maladaptif.


(8)

Thesis Title : Correlation Between Individual Coping Mechanism and The Level of Compliance in Diabetes Mellitus Patients

Name : Yuni Ramadhani Study Program : Master Of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing Year : 2014

ABSTRACT

Diabetes and stress are related to each other, stress in diabetes patients can increase blood glucose, and sustained high blood glucose can cause complicatin. Therefore, the ability to cope with stress has a positive effect on the emotional well-being of the physical condition of diabetics.The objective of the research was to find out the correlation between the kinds of individual coping mechanism (oriented on situation, emotion, prevention, religion, existence, and restructuring) and the level of compliance in diabetes mellitus medical process. The research used cross sectional design and used chi square. The sample were 100 diabetes mellitus patients who visited the endocrine polyclinic of RSUD Dr. Pirngadi, Medan. Taken by using purposive sampling technique.

The Results of the research are found that based on the six types of coping mechanisms, there is one type of coping mechanism associated with the level of compliance with diabetes mellitus is a coping mechanism that is oriented on the


(9)

situation (p <0.05). For the benefit of area to nursing practice to enhance individual adaptive coping and improve compliance by providing interventions such as self-efficacy by conducting of structured education, facilitates to provide social support to prevent maladaptive coping individuals


(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Hubungan Mekanisme Koping Individu dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus”, disusun utuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak dr. Dedi Ardinanta, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengikuti pendidikan Magister Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Setiawan, SKp, MNS, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Heru Santosa, MS, Ph.D, selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat sejak awal penyusunan hingga selesainya tesis ini.

4. Bapak Mula Tarigan, SKp, M.Kes, selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat sejak awal penyusunan hingga selesainya tesis ini.


(11)

5. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog, selaku penguji I yang telah memberikan kritik dan saran demi sempurnanya tesis ini.

6. Ibu Ns. Yesi Ariani, S.Kep, M.Kep, selaku penguji II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan kritik dan saran demi sempurnanya tesis ini.

7. Bapak / Ibu dosen pengajar dan seluruh staf administrasi di Program Studi Ilmu Magister Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh keluarga terutama orang tua tercinta, serta adik-adik ku (Eki dan Ayu). Demikian teruntuk Mahyanuddin yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

9. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan II 2012/2014 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan untuk menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwasanya tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan membutuhkan masukan yang sangat bermanfaat untuk kesempurnaannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bidang keperawatan.

Medan, 12 September 2014


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Yuni Ramadhani

Tempat/ Tanggal Lahir : Tanjung Kasau/02 Juni 1984

Alamat : Jl. Setia Luhur gg. Suplir no. 6

Email :

Riwayat Pendidikan :

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 0100216 1996

SLTP SLTP Negeri 1 Indrapura 1999

SLTA SLTA Negeri 1 Indrapura 2002

Sarjana (S1) PSIK FK Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yoyakarta

2008 Ners PSIK FK Kedoketaran Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta

2009 Magister Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara

2014

Riwayat Pekerjaan:

1. Bekerja sebagai staf dosen di STIKes Putra Abadi Langkat mulai 23 April 2009 sampai dengan 30 Oktober 2010.

2. Bekerja sebagai staf dosen d STIKes Flora mulai 10 Nopember 2010 sampai dengan sekarang .


(13)

Kegiatan Akademik Selama Studi :

Peserta pada acara “Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan & Workshop analisis data dengn Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012, Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership Menyonsong Asean Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU.

Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE “ The Aplication of Nursing Advanced Reseach and Clinical Practice”, 1-2 April 1-2013, Hotel Garuda Plaza Medan, Sumatera Utara.

Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic, 24 November 2014, Fakultas Keperawatan, USU.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1. Tujuan Umum ... 6

1.3.2. Tujuan Khusus ... 6

1.4.Hipotesa ... 6

1.5.Manfaat Peneltian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Koping ... 8

2.1.1. Pengertian Koping ... 8

2.1.2. Mekanisme Koping ... 8

2.1.3. Jenis-jenis Mekanisme Koping ... 10

2.1.4. Mekanisme Koping Penderita Diabetes ... 17

2.2. Diabetes Melitus ... 18

2.2.1 Pengertian Diabetes ... 18

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus ... 18

2.2.3 Gejala gejala Diabetes Melitus ... 21

2.2.4 Komplikasi Diabetes Melitus ... 22

2.2.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus... 25

2.2.6 Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus ... 31

2.2.7 Usaha Meningkatkan Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus ... 35

2.3. Teori Keperawatan Callista Roy ... 39

2.4. Kerangka Konsep Penelitian... 43

BAB III. METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Jenis Penelitian ... 44

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44


(15)

3.3.1. Populasi ... 44

3.3.2. Sampel ... 45

3.4 Metode Pengumpulan Data... 46

3.5 Variabel dan Definisi Operasional... 48

3.6 Metode Pengukuran ... 49

3.7 Metode Analisa Data ... 53

3.8 Pertimbangan Etik ... 54

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 55

4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 55

4.2.Karakteristik Responden... 57

4.3.Analisa Univariat ... 58

4.4.Analisa Bivariat ... 59

BAB V. PEMBAHASAN ... 64

5.1.Jenis Mekanisme Koping Penderita Diabetes Melitus ... 64

5.2.Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus... 65

5.3.Hubungan Jenis Mekanisme Koping Individu Berorientasi pada Situasi Dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus di Ruang Poli Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 67

5.4.Hubungan Jenis Mekanisme Koping Individu Berorientasi pada Emosi Dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus di Ruang Poli Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 69

5.5.Hubungan Jenis Mekanisme Koping Individu Berorientasi pada Eksistensi dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus ... 70

5.6.Hubungan Jenis Mekanisme Koping Individu Berorientasi pada Agama dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus di Ruang Poli Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 71

5.7.Hubungan Jenis Mekanisme Koping Individu Berorientasi pada Pencegahan dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus di Ruang Poli Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 73

5.8.Hubungan Jenis Mekanisme Koping Individu Berorientasi pada Restrukturisasi dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus di Ruang Poli Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 75

5.9.Kelemahan Penelitian ... 76

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 77

6.1.Simpulan ... 77

6.2.Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA………....79


(16)

DAFTAR TABEL

Nama Tabel Halaman

Tabel.2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu Dan Puasa Sebagai Patokan

Penyaring DM………... 30

Tabel 3.1. Variabel dan Devinisi Operasional……….... 48

Tabel 3.2. Kisi-Kisi Kuesioner Mekanisme Koping………... 51

Tabel 3.3. Kisi-Kisi Kuesioner Tingkat Kepatuhan Diabetes

Melitus………... 53

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik penderita diabetes melitus di Ruang Poli Endokrin RSUD Dr.

Pirngadi Medan (n=100)………... 57

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Penderita Diabetes Melitus Berdasarkan Jenis Mekanisme Koping Individu di Ruang Poli Endokrin

RSUP Dr. Pirngadi Medan (n=100)……….. 58

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus di Ruang Poli Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan

(n=100)……… 59

Tabel 4.4 Hubungan Jenis Mekanisme Koping Individu (Berorientasi pada situasi, emosi, pencegahan, agama, dan restrukturisasi) dengan Tingkat Kepatuhan penderita Diabetes Melitus


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nama Gambar Halaman

Gambar 2.1. Model Konsep Adaptasi Roy……… 41

Gambar 2.2. Kerangka Teori………. 42


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nama Lampiran Halaman

Lampiran1: Instrumen Penelitian………. a. Izin penggunaan Instrumen Penelitian………. b. Lembar persetujuan Menjadi Responden………. c. Instrumen Mekanisme Koping Individu……….. d. Instrumen Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus…..

83 84 85 86 87

Lampiran II : Biodata Expert………... a. Biodata Expert Content Validity ……….

88 89

Lampiran III : Izin Penelitian………..

a. Uji Validiti ………..

b. Surat Persetujuan Komite Etik Pelaksanaan Penelitian………. c. Surat Izin Uji Validitas dan Reliabilitas dari Dekan Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara……… d. Surat Izin Penelitian dari Dekan Fakultas Keperawatan

Sumatera Utara………. e. Surat Izin Penelitian dari RSUD Dr. Pirngadi Medan……….. f. Surat Pemberitahuan Selesai Penelitian dari RSUD Dr.

Pirngadi Medan………

93 94 95 96 97

98 99


(19)

Judul : Hubungan Mekanisme Koping Individu dengan Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus (DM)

Nama : Yuni Ramadhani

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah Tahun : 2014

ABSTRAK

Diabetes dan stres merupakan dua hal yang saling berkaitan, karena stres yang terjadi pada penderita diabetes dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah, kadar glukosa darah yang tinggi secara terus menerus akan menyebabkan komplikasi diabetes, oleh sebab itu kemampuan untuk mengatasi stres memiliki efek positif pada kesejahteraan emosional kondisi fisik penderita diabetes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jenis mekanisme koping individu (berorientasi pada situasi, emosi, pencegahan, agama, eksistensi dan restrukturisasi) dengan tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes melitus. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, dengan menggunakan

chi-square, sampel penelitian sebanyak 100 orang penderita diabetes melitus yang berkunjung ke poli endokrin RSUD Dr.Pirngadi Medan dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Hasil penelitian ditemukan bahwa berdasarkan enam jenis mekanisme koping terdapat satu jenis mekanisme koping yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan penderita diabetes melitus yaitu mekanisme koping berorientasi pada


(20)

situasi yaitu (p < 0,05). Bagi lahan praktek keperawatan untuk meningkatkan koping individu yang adaptif dan meningkatkan kepatuhan dengan memberikan intervensi seperti self efficacy dengan melakukan pendidikan tersturktur, memfasilitasi untuk memberikan dukungan sosial untuk mencegah terjadinya koping individu yang maladaptif.


(21)

Thesis Title : Correlation Between Individual Coping Mechanism and The Level of Compliance in Diabetes Mellitus Patients

Name : Yuni Ramadhani Study Program : Master Of Nursing

Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing Year : 2014

ABSTRACT

Diabetes and stress are related to each other, stress in diabetes patients can increase blood glucose, and sustained high blood glucose can cause complicatin. Therefore, the ability to cope with stress has a positive effect on the emotional well-being of the physical condition of diabetics.The objective of the research was to find out the correlation between the kinds of individual coping mechanism (oriented on situation, emotion, prevention, religion, existence, and restructuring) and the level of compliance in diabetes mellitus medical process. The research used cross sectional design and used chi square. The sample were 100 diabetes mellitus patients who visited the endocrine polyclinic of RSUD Dr. Pirngadi, Medan. Taken by using purposive sampling technique.

The Results of the research are found that based on the six types of coping mechanisms, there is one type of coping mechanism associated with the level of compliance with diabetes mellitus is a coping mechanism that is oriented on the


(22)

situation (p <0.05). For the benefit of area to nursing practice to enhance individual adaptive coping and improve compliance by providing interventions such as self-efficacy by conducting of structured education, facilitates to provide social support to prevent maladaptive coping individuals


(23)

BAB 1

LATAR BELAKANG

1.1.Latar Belakang

Menurut American Diabetes Association (2005), Diabetes melitus (DM) atau sering disebut penyakit gula merupakan sekelompok penyakit metabolik yang berhubungan dengan terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemik) yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. DM merupakan masalah kesehatan masyarakat, seiring meningkatnya kesejahteraan kehidupan masyarakat di Indonesia, maka semakin meningkat pula berbagai penyakit degeneratif. Salah satu penyakit degeneratif yang potensial adalah diabetes melitus (Soegondo, et al., 2009).

Prevalensi penyakit DM terus meningkat setiap tahunya, hal ini disebabkan adanya perubahan gaya hidup (Soegondo, et al., 2009). International Diabetes Federation (IDF) memprediksikan kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030. Indonesia menempati peringkat ke empat setelah Amerika Serikat, Cina dan India. Diprediksikan diagnosa penyakit DM akan meningkat tiap tahunnya, diestimasikan diderita sebanyak 18,2 juta jiwa terutama DM tipe 2 yang disebabkan karena faktor usia dan obesitas atau kegemukan (Lemone & Burke, 2008). Data prevalensi penderita DM di Indonesia tahun 1991 sebesar 5,7%, pada tahun 2001 mengalami peningkatan sebesar 13,5% dan diperkirakan terus meningkat pada tahun 2025 menjadi 300 juta penderita DM (Waspadji, et al., 2007). Laporan Departemen Kesehatan pada tahun 2007 dalam Perkeni (2011)


(24)

ditunjukan bahwa prevalensi DM di daerah urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai 11,1% (Perkeni, 2011).

Komplikasi merupakan masalah yang serius yang dikhawatirkan penderita diabetes, mencegah masyarakat sehat tidak memiliki faktor risiko, bila sudah ada faktor risiko agar tidak menjadi penderita diabetes melitus dan yang sudah menderita diabetes agar tidak muncul komplikasi, bila sudah menjadi komplikasi diupayakan dapat dikendalikan untuk mempertahankan kehidupan (Soegondo, et al., 2009). Hampir 60-70% penderita diabetes mengalami komplikasi, salah satunya adalah gangguan neuropati. Risiko meningkat karena faktor usia dan lamanya menderita diabetes, komplikasi sering muncul pada penderita diabetes minimal selama 2-5 tahun yang disebakan gula darah yang tidak terkontrol,

hyperlipidemia, hipertensi dan kelebihan berat badan (Lemone & Burke, 2008). Mengingat DM merupakan suatu keadaan penyakit yang bersifat kronik dan disertai dengan komplikasi kronik. Sebagian besar penderita diabetes seringkali timbul dengan tanpa gejala klinis, yang menyebabkan penderita berobat secara tidak teratur. Walaupun penderita berobat secara teratur, penyakit diabetes tidak dapat disembuhkan dan hal ini menyebabkan penderita bosan atau jenuh (Waspadji, et al., 2007). Pencegahan terhadap komplikasi penderita diabetes sangat penting, karena sifatnya menahun, jika muncul komplikasi maka biaya yang dibutuhkan sangat mahal dan berdampak pada psikologis penderita (Soegondo et al., 2009).


(25)

Kondisi kronik penyakit diabetes memiliki dampak risiko yang besar terhadap kehidupan individu, terutama pada pasangan mereka, keluarga dan hubungan sosial lainnya. Adapun dampak psikologis dari diabetes melitus telah dirasakan oleh penderita sejak penderita didiagnosis oleh dokter. Penderita mulai mengalami gangguan psikis diantaranya stres pada dirinya yang berhubungan dengan penatalaksanaan DM yang harus dijalani. Diabetes dan stres merupakan dua hal yang saling berkaitan. Stres pada penderita diabetes dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah yang tinggi secara terus menerus akan menyebabkan komplikasi diabetes. Oleh sebab itu kemampuan untuk mengatasi stres memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan emosional kondisi fisik penderita diabetes (Dunning, 2003).

Masalah stres penderita diabetes berkaitan erat dengan strategi pemecahan masalah yang dilakukan penderita diabetes. Koping yang dilakukan oleh penderita diabetes merupakan usaha pasif atau aktif dalam menghadapi situasi yang dirasakan merupakan sebagai penyebab stres (Iwasaki, 2006). Dalam penelitian D'arrigo (2000) dikatakan bahwa strategi koping yang dilakukan oleh penderita diabetes berpengaruh terhadap kondisi stres penderita diabetes, yakni apabila penderita diabetes mempunyai penyesuaian yang baik dengan strategi kopingnya, maka individu tersebut berhasil mengatasi masalah yang dihadapi dan begitu pula sebaliknya.

Dalam penelitian Malacara (2011) dikatakan bahwa untuk membantu penderita diabetes, maka dimulai dengan mempertahankan strategi koping, seperti dengan cara memodifikasi gaya hidup, petugas pelayanan kesehatan agar untuk


(26)

bersikap empati dan memahami tentang strategi koping yang digunakan oleh penderita diabetes, sehingga penderita dapat memanfaatkan strategi koping yang adaptif. Selain itu, pendidikan diabetes untuk anggota keluarga akan membantu mereka memberikan pentingnya dukungan keluarga untuk kelanjutan hidup bagi penderita diabetes.

Stres yang dialami penderita, baik fisik maupun psikis berhubungan dengan penyakitnya, secara tidak disadari penderita harus beradaptasi terhadap pola diet ketat, cemas terhadap munculnya komplikasi akibat penyakitnya, selain itu penderita harus menjalani olah raga secara teratur untuk mempertahan kadar glukosa darah dalam batas normal, sehingga kekhawatiran ini akan memperberat stres pada penderita diabetes (Soegondo, et al., 2009). Menurut Weinger (2005) bahwa banyak penderita mengalami kesulitan untuk melakukan kontrol diri terhadap penatalaksanaan diabetes, sehingga mengakibatkan kontrol gula darah buruk atau mengalami masalah psikologis.

Kepatuhan merupakan tingkat kataatan penderita diabetes melitus terhadap intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang telah ditetapkan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter (WHO, 2003). Berdasarkan hasil penelitian DiMatteo (2005) bahwa tingkat ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan pada beberapa penyakit kronis yang terbesar dijumpai pada penderita diabetes melitus, hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman dan faktor psikologis yang disebabkan karena penyakitnya.

Menurut Safren, et al., (2008) bahwa hampir 95% perawatan diri penderita diabetes adalah dengan patuh terhadap penatalaksanaan diabetes, ketidakpatuhan


(27)

dapat menyebabkan buruknya kontrol gula darah, dan dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Ketidakpatuhan penderita terhadap penatalaksanaan diabetes merupakan ancaman besar bagi penderita, terutama dalam hal kesejahteraan kesehatan dan peningkatan biaya perawatan, lebih dari 40% penderita mempertahankan kesalahpahaman terhadap penyakit, lupa terhadap proses pengobatan, atau mengabaikan masalah kesehatan (DiMatteo, 2005). Berdasarkan penelitian Pretorius, (2010) ditemukan 39% penderita diabetes dengan tingkat kepatuhan baik, yang berarti sebagian besar penderita diabetes dengan ketidakpatuhan. Oleh karena itu mereka membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan dalam hal perubahan perilaku terhadap persepsi proses penyakit

Ketidakpatuhan terhadap obat dapat menyebabkan beberapa dampak negatif terhadap penderita, yaitu menimbulkan efek samping obat yang merugikan kondisi kesehatan penderita diabetes melitus, memperberat biaya pengobatan, dan selain itu juga dapat menimbulkan resistensi terhadap beberapa obat yang jika tidak dikonsumsi secara teratur harus diulang dari awal (Malacara, 2011). Pada penderita diabetes melitus lebih dituntun dalam hal kesabaran dan membutuhkan penyesuaian waktu yang cukup lama dan harus didukung dengan kepatuhan terhadap penatalaksanaan. Tuntutan-tuntutan tersebut akan mengganggu fisik maupun psikologis penderita, jika psikologis terganggu atau stres dapat menghambat proses penatalaksanaan DM (Soegondo, et al., 2009).


(28)

1.2.Perumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara jenis mekanisme koping individu (berorientasi pada situasi, emosi, pencegahan, agama, eksistensi dan restrukturisasi) dengan tingkat kepatuhan penatalaksanaan penderita diabetes melitus.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menguji hubungan jenis mekanisme koping individu (berorientasi pada situasi, emosi, pencegahan, agama eksistensi dan restrukturisasi) dengan tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes melitus.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mendapatkan gambaran jenis mekanisme koping individu (berorientasi pada situasi, emosi, pencegahan, agama, eksistensi dan restrukturisasi)

b. Mendapatkan gambaran tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes melitus pada penderita DM.

1.4. Hipotesis

Ada hubungan jenis mekanisme koping individu (berorientasi pada situasi, emosi, pencegahan, agama, eksistensi dan restrukturisasi dengan tingkat kepatuhan penatalaksanaan penderita diabetes mellitus.


(29)

1.5. Manfaat Penelitian a. Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dalam hal ini untuk meningkatkan kinerja perawat di rumah sakit dalam memberikan edukasi pada penderita diabetes untuk memanfaatkan mekanisme koping yang adaptif.

b. Bagi Penelitian Keperawatan

Diharapkan dengan penulisan ini dapat menambah bahasan tentang masalah mekanisme koping penderita diabetes dalam menghadapi kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes melitus

c. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian berikutnya.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Koping

2.1.1.Pengertian Koping

Koping merupakan suatu tindakan mengubah kognitif dan usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Koping membutuhkan usaha yang diperoleh lewat proses belajar. Koping dipandang sebagai usaha untuk menguasai situasi tertekan, namun bukan secara keseluruhaan (Lazarus dan Folkman, 1984).

2.1.2.Mekanisme Koping

Mekanisme koping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk menanggulangi stres yang dihadapi (Stuart & Laria, 2005). Menurut Keliat (1999) mekanis koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan dan respon terhadap situasi yang mengancam. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) bahwa mekanisme koping merupakan suatu perubahan yang konstan dari usaha kognitif dan tingkah laku untuk menata tuntutan internal maupun eksternal yang dinilai sebagai yang membebani atau melebihi sumber daya individu.

Menurut Kelliat (1999), mekanisme koping ada dua, yaitu koping adaptif dan maladaptif. Mekanisme koping adaptif adalah suatu usaha yang dilakukan individu


(31)

dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stresor atau tekanan yang bersifat positif, rasional dan konstruktif. Sementara, mekanisme koping maladaptif suatu usaha yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah akibat adanya stresor atau tekanan yang bersifat negatif, merugikan, destruktif dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

Koping dapat dikaji dari berbagi aspek, diantaranya adalah aspek fisiologis dan psikologis. Reaksi fisiologis yakni tanda dan gejala atau manifestasi tubuh terhadap stres, seperti : pupil melebar, keringat meningkat, denyut nadi meningkat, kulit dingin, tekanan darah meningkat, mulut kering, gula darah meningkat, frekuensi dan kedalaman pernafasan meningkat, reaksi fisiologis merupakan indikasi klien dalam keadaan stres.

Reaksi psikososial dapat dikaji dari berbagai reaksi pasien yang terkait dengan aspek psikososial yakni reaksi orientasi tugas dan mekanisme pertahanan diri. Reaksi orientasi tugas yakni berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhui tuntutan dari situasi stres secara realistis dapat berupa konstruktif dan destruktif, seperti perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan, perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber ancaman baik secara fisik atau psikologis, dan perilaku kompromi digunakan untuk merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang. Sementara, mekanisme pertahanan diri sering disebut sebagai pertahanan mental, adapun contoh mekanisme pertahanan diri seperti; (a). Kompensasi merupakan proses dimana seseorang memperbaiki penurunan citra diri dengan tegas menonjolkan


(32)

kelebihan yang dimiliki dirinya; (b). Denial/ menyangkal, merupakan perilaku penolakan terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan; (c). Displacement, mengalihkan emosi yang semula ditujukan pada seseorang atau benda lain yang biasanya netral atau sedikit mengancam dirinya; (d). Identifikasi merupakan proses dimana seseorang menjadi orang yang dikagumi, berupaya dengan meniru perilaku, pikiran dan selera orang tersebut; (e). Intelektualisasi merupakan menggunakan logika berlebihan untuk menghindari pengalaman yang menggangu perasaannya, dan (f). Supresi merupakan menekan konflik, implus-implus yang tidak dapat diterima secara sadar. Individu tidak memikirkan hal-hal yang kurang menyenangkan bagi dirinya.

2.1.3.Jenis Mekanisme Koping.

Usaha yang dilakukan dalam mengatasi stres dengan mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan. Koping ini ditujukan untuk mengurangi demands dari situasi yang penuh dengan stres.

a) Problem focused coping : (1) Confrontatif coping : mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan pengambilan resiko; (2). Seeking social support : Usaha untuk mendapat kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain; (3). Planful problem solving : Usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara hati-hati, bertahap dan analitis.


(33)

b) Emotional Focused Coping, Usaha mengatasi stres dengan mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang ditimbulkan oleh sesuatu yang dianggap penuh tekanan. Emotional focused coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stres. Strategi yang digunakan (1). Self-control : Usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapai situasi yang menekan; (2). Distancing : Usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, menghindari seolah-olah tidak terjadi permasalahan, menciptakan pandangan yang positif. (3). Positive reaprisial

: Usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya bersipat religius. (4). Acepting responsibility : Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk menjadi lebih baik. (5).

Escape/avoidance : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut dan menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok dan obat-obatan.

Menurut Wong, Reker dan Peacock (2006), ada enam (6) jenis–jenis mekanisme koping yang dilakukan oleh individu adalah

a. Berorientasi pada situasi

Melibatkan strategi yang berfokus pada pemecahan masalah yang ada dengan mengubah situasi, baik dengan usaha sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Seperti, bergantung pada tindakan atau bantuan langsung seseorang untuk


(34)

memecahkan suatu masalah, mengubah situasi yang ada dengan bantuan orang lain untuk memecahkan masalah, dan melibatkan praktisi sosial.

Kemampuan sosial dan dukungan sosial merupakan bagian dari koping berorientasi pada situasi yang merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat yang meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional yang diberikan kepada individu dari dukungan orang tua, keluarga, teman dan lingkungan masyarakat sekitarnya (Lazarus, dan Folman, 1984).

Mekanisme koping adaptif sesuai dengan situasi, masalah dan stres yang terjadi. Koping penderita diabetes dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah penerimaan penderita terhadap penyakitnya, pengalaman keluarga terhadap perawatan anggota dengan penyakit diabetes, dan persepsi penderita terhadap penatalaksanaan penyakitnya (Malacara, et al., 2011). Pada individu yang optimis, akan lebih berfokus pada pemecahan masalah dalam menghadapi stres, berfokus pada strategi koping yang adaptif, invidivu tidak menyalahkan diri sendiri, tidak lari dari masalah dan tidak berfokus pada hal-hal yang negatif (Wrosch & Scheier, 2003).

b. Berorientasi pada Pencegahan

Berorientasi pada pencegahan merupakan perbaikan dari dalam diri atau usaha yang dilakukan dengan meningkatkan kemampuan diri untuk menjadi lebih siap terhadap permasalahan yang ada di masa depan, dan perbaikan dari luar diri. Usaha yang dilakukan seseorang untuk memperbaiki kondisi atau jaringan untuk menjadi lebih siap.


(35)

Kemampuan memecahkan masalah berdasarkan koping berorientasi pada pencegahan merupakan kemampuan individu untuk mencari sumber informasi, mengidentifikasi masalah yang bertujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan dan kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang akan dicapai, dan akhirnya melakukan rencana dengan tindakan yang tepat (Lazarus, dan Folman, 1984).

c. Berorientasi pada Agama

Berfokus pada Tuhan untuk menyelasaikan suatu permasalahan baik yang ada maupun yang belum terjadi. Seperti, menyelesaikan masalah dengan mendekatkan diri pada Tuhan dan mencari solusi dengan bantuan pemuka agama.

Pada saat mengalami stres, individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya, dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialami penderita khususnya jika penyakit tersebut membutuhkan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum pasti.

Menurut Mcsherry (2006) bahwa kebutuhan religius merupakan syarat yang utama dalam diri individu, jika seorang individu mampu mengidentifikasi dan memenuhi persyaratan, maka dapat bermakna dalam kehidupan serta harapan dalam hidup juga tidak terancam. Oleh karena itu, setiap masalah yang timbul akan dikaitkan dengan religius, hidup keagamaan memberikan kekuatan jiwa bagi setiap individu dalam mengahadapi cobaan hidup, dan menimbulkan sikap rela menerima kenyataan bahwa Tuhan menakdirkannya (Hamid, 2008).


(36)

Menurut Jake Lawson dalam Rohmah & Wahyuni (2012) bahwa penderita diabetes yang berusaha realistis mengenai apa yang dapat atau tidak dapat dilakukan, berusaha untuk realistis mengenai apa yang menjadi atau tidak menjadi tugas atau tanggung jawab untuk diperbaiki, dirubah, atau dikontrol. Menyerahkan kepercayaan kepada Tuhan, dan meyakini bahwa Tuhan lebih kuat dan dapat mengontrol apa yang tidak dapat dikontrol oleh manusia.

d. Berorientasi pada Eksistensi

Berorientasi pada eksistensi merupakan penerimaan yang berarti menerima dengan rasional dan filosofis. Makna eksistensial yang berarti menemukan makna atau tujuan (Wong, Reker & Peacock, 2006). Menurut Smith (2000) eksistensi merupakan suatu kondisi dimana individu dengan kemampuannya dapat menemukan makna dalam kehidupannya. Makna merupakan pemenuhan atas nilai-nilai batiniah yang utama dalam menjalankan kehidupan, adapun nilai-nilai yang dimaksud adalah sikap menghormati sesama dan bekerja sama secara harmonis demi kebaikan bersama.

e. Berorientasi pada Restrukturisasi

Berorientasi pada kognitif restrukturisasi merupakan perubahan perhatian seseorang dan sikap dalam menanggapi masalah sesuai dengan pikiran yang ada dan restrukturisasi perilaku yaitu perubahan perilaku seseorang dalam menanggapi masalah atau situasi yang tidak dapat diubah atau sesuai perilaku sendiri.

Sikap penderita diabetes melitus tehadap penyakit yang dideritanya dapat meningkat cukup berarti setelah pemberian intervensi pendidikan kesehatan yang


(37)

berpengaruh pada program untuk menjalankan terapi diet. Penderita diabetes melitus pada saat berinteraksi dengan orang lain selalu ada mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku terhadap dirinya. Pandangan dan perasaan seseorang sangat dipengaruhi oleh ingatannya pada masa lalu, tentang apa yang diketahui dan kesannya terhadap apa yang sedang dihadapi saat ini. Pengalaman seseorang pada masa lalu membawa sikap dan perilaku terbuka dan tertutup terhadap dorongan diri orang lain.

Berdasarkan hasil penelitian Kosti (2012) bahwa pendidikan positif yang diberikan pada penderita diabetes akan mempengaruhi hasil dari penyakit. Bahkan, melalui pendidikan penderita dapat: a) mengoptimalkan kontrol metabolik termasuk self-monitoring glukosa darah atau urin, praktek diet, penggunaan obat, b) meringankan gejala penyakit atau dapat mengurangi keadaan darurat dan pemburukan penyakit terkait, c) mencegah dan menangani komplikasi seperti komplikasi mikro dan makro-vaskular, d) menerapkan sikap yang lebih positif terhadap penyakit, dan e) menjaga hubungan dokter-pasien dan rencana perawatan termasuk followup.. Sebaliknya, kegagalan mengikuti pendidikan maka penderita bertanggung jawab atas dirinya untuk melakukan perawatan ulang, komplikasi penyakit dan kualitas hidup yang buruk. Dalam hal ini penderita tidak mematuhi modifikasi gaya hidup yang disarankan oleh para profesional keperawatan atau tidak mematuhi pedoman medis yang dianjurkan.


(38)

f. Berorientasi pada Emosi

Berorientasi pada emosi yaitu berfokus pada peraturan reaksi emosional seseorang tanpa mengubah situasi atau memecahkan masalah, seperti menjauhkan diri dari salah satu masalah yang ada dengan penolakan, berfikir bijak untuk menjauhkan keinginan atau fantasi yang realistis, ekspresi mengungkapkan perasaan untuk melepaskan ketegangan, menyalahkan perilaku diri sendiri untuk setiap masalah, mencari dukungan sosial atau mencari bantuan orang lain dan aktif melakukan suatu kegiatan/latihan untuk mencapai pengurangan dari ketegangan (Wong, Reker, &Peacock, 2006).

Menurut Stuart dan Laria (2005) jenis–jenis mekanisme koping yang berpusat pada emosi adalah (1). Denial/menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada dirinya. (2). Rasionalisasi yakni menggunakan alasan yang dapat diterima oleh orang lain untuk menutupi ketidaknyamanan dirinya. Dengan rasionalisasi individu tidak membenarkan yang kita lakukan, tetapi juga sudah merasa selayaknya berbuat demikian secara adil. (3). Kompensasi yakni menunjukkan tingkah laku dengan menutupi ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, karena frustasi dalam suatu bidang maka mencari kepuasaan secara berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi muncul karena adanya perasaan tidak mampu. (4). Represi yakni dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatan dan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan. (5). Sublimasi yakni mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau kemampuan dengan sikap positif. (6). Identifikasi yakni meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku orang lain,


(39)

(7). Regresi yakni sikap seseorang yang kembali kemasa lalu atau bersikap seperti anak kecil, (8). Proyeksi yakni menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau melampiaskan masalahnya keorang lain, (9). Konversi yakni mentransfer reaksi psikologis ke gejala fisik.

2.1.4.Mekanisme Koping Pada Penderita Diabetes

Menurut ADA dalam Fisher et al., (2009) bahwa manajemen diri penderita diabetes salah satunya adalah masalah psikososial karena kesejahteraan emosional mempengaruhi tingkat kepatuhan yang positif terhadap penyakit diabetes. Dimana ketika ketidakpatuhan penderita diabetes terhadap penatalaksanaan diabetes dapat menyebabkan masalah psikososial seperti stres, depresi, dan gangguan kognitif.

Berdasarkan hasil penelitian Pretorius (2010) bahwa koping adaptif maupun maladaptif merupakan salah satu faktor prediktor terhadap kepatuhan penatalaksanaan diabetes bagi penderita diabetes dalam meningkatkan kualitas hidup, oleh sebab itu penderita diabetes meningkatkan keyakinan dan pandangan optimis terhadap penyakitnya. Sedangkan menurut Malacara (2011) bahwa stres yang muncul pada penderita diabetes disebabkan penolakan terhadap penggunaan mekanisme koping pada awal-awal terdiagnosis penyakit diabetes, pada penderita diabetes dapat menghambat kepatuhan penderita terhadap penatalaksanaan diabetes, yang menyebabkan penderita diabetes beresiko terhadap komplikasi.

Asumsi peneliti berdasarkan uraian diatas bahwa pemecahahan masalah merupakan salah satu usaha yang terdapat pada diri penderita diabetes melitus yang memiliki peranan penting dalam penanganan masalah stres akibat dari penyakit yang


(40)

dideritanya. Stres yang muncul pada penderita diabetes melitus tidak teratasi, maka menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat, dan bila glukosa darah terus meningkat dapat menyebabkan komplikasi.

2.2. Diabetes Melitus

2.2.1.Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia). Kadar glukosa darah tinggi disebabkan jumlah hormon insulin kurang atau jumlah insulin cukup bahkan kadang– kadang lebih, tetapi kurang efektif (Waspadji et al., 2007).

Diabetes merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai dengan kenaikan kadar glukosa darah (hiperglikemik). Pada penderita diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini dapat menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmolar nekrotik (Smeltzer & Bare, 2002).

2.2.2. Klasifikasi Diabetes Melitus

Berdasarkan sebab yang mendasari terjadinya penyakit diabetes, maka diabetes dibagi menjadi beberapa golongan atau tipe. Dengan mengetahui tipe-tipe diabetes,


(41)

diharapkan penderita dapat memahami penatalaksanaan diabetes. Adapun tipe-tipe diabetes diantaranya adalah :

a. Diabetes Melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolut insulin. Tipe diabetes ini disebut sebagai diabetes melitus dependen insulin (NIDDM) hal ini karena individu harus mendapat insulin pengganti. Diabetes tipe 1 biasanya ditemui pada individu yang tidak obesitas dan usia kurang dari 30 tahun. Penyebab diabetes tipe 1 terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau langerhans. Biasanya individu cenderung memiliki faktor genetik yang disebabkan karena adanya faktor pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses autoimun.

Karakteristik diabetes tipe 1 adalah kadar glukosa normal sebelum penyakit muncul. Pada saat diagonosa ditegakkan, pankreas tidak atau sedikit mengeluarkan insulin dan lebih 80% sel beta pankreas telah dihancurkan. Kadar glukosa darah meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk ke sel.

b. Diabetes tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 disebabkan karena intensitivitas seluler terhadap insulin yang menyebabkan hiperglikemia. Selain itu terjadi defek sekresi insulin ketidakmampuan pankreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal. Meskipun kadar insulin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal, jumlah insulin tetap rendah sehingga kadar glukosa plasma meningkat. Insulin tetap dihasilkan oleh sel–sel beta pankreas,


(42)

maka diabetes tipe 2 disebut diabetes tidak tergantung insulin NIDDM (non insulin dependent diabetes mellitus). Penyebab diabetes tipe 2 berkaitan dengan obesitas, diperkirakan bahwa terdapat sifat genetik yang menyebabkan pankreas mengeluarkan insulin yang berbeda, atau meyebabkan reseptor insulin atau perantara kedua tidak dapat berespon secara adekuat terhadap insulin.

Rangsangan berkepanjangan atas reseptor–reseptor tersebut dapat menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang terdapat di sel tubuh. Penurunan ini disebut downregulation. Individu yang menderita diabetes tipe 2 menghasilkan autoantibodi insulin yang berikatan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin ke reseptor, tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa karir.

Karakteristik diabetes tipe 2 tetap menghasilkan insulin, tetapi sering terjadi keterlamabatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang dihasilkan. Hal ini cenderung parah seiring dengan pertambahan usia pasien. Selain itu, sel–sel tubuh terutama sel otot dan adipose memperlihatkan resistensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah, akibatnya pembawa glukosa yang ada didalam sel tidak adekuat untuk digunakan oleh sel. Sel kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis yang selanjutnya akan meningkatkan kadar glokosa darah serta menstimulasi penguraian simpanan trigliserida, protein dan glikogen untuk menghasilkan bahan bakar alternatif, sehingga meningkatkan zat– zat didalam darah.

c. Diabetes Gestasional

Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes. Penyebab diabetes gestasional berkaitan dengan


(43)

peningkatan kebutuhan energi, kadar estrogen serta hormon pertumbuhan yang terus menerus tinggi selama kehamilan. Hormon pertumbuhan dan estrogen menstimulasi pelepasan insulin yang berlebihan mengakibatkan penurunan responsivitas seluler. Hormon pertumbuhan juga memiliki beberapa efek anti-insulin.

Diabetes gestasional dapat menimbulkan efek negatif pada kehamilan dengan meningkatkan risiko malformasi kongenental, lahir mati, dan bayi bertubuh besar untuk masa kehamilan, yang dapat menyebabkan masalah selama persalinan. Hasil obstetrik yang baik tergantung pada pengendalian glikemik maternal yang baik serta berat badan sebelum kehamilan. Wanita yang mengalami diabetes gestasional ditangani dengan pengaturan diet, pemberian insulin, atau keduanya sesuai dengan kebutuhan.

2.2.3. Gejala – Gejala Diabetes Melitus

Langkah–langkah untuk menegakan diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa umumnya bila ada keluhan khas diabetes seperti poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM, hasil pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl digunakan sebagai patokan diagnosis DM. Keluhan lain yang ditemukan pada penderita diabetes adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup untuk


(44)

menegakkan diagnosis DM, diperlukan kepastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau dari hasi tes toleransi glukosa darah oral (TTGO) kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl (Soegondo, et al., 2009).

Tabel. 2.1. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring DM

Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar

glukosa darah sewaktu (mg/dl)

Plasma vena <100 100 – 199 ≥200

Darah Kapiler <90 90 – 199 ≥200

Kadar glukosa

darah puasa (mg.dl)

Plasma vena <100 100 – 125 ≥126

Darah Kapiler <90 90 – 99 ≥100

2.2.4. Komplikasi Diabetes Melitus

Hiperglikemia pada penderita diabetes menyebabkan berbagai komplikasi yang dapat melibatkan semua sistem tubuh, komplikasi yang dapat terjadi pada penderita diabetes, diantaranya adalah :


(45)

a. Komplikasi Akut

Tiga komplikasi akut diabetes yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek, ketiga komplikasi tersebut adalah

1) Hipoglikemia

Hipoglikemia (glukosa darah yang abnormal atau rendah), terjadi jika glukosa darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berlebihan (Smeltzer & Bare, 2002).

2) Ketoasidosis Diabetik

Ketoasidosis merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari perjalanan penyakit diabetes. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Tiga gambaran klinis pada diabetes ketoasidosis adalah dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Ketosis dan asidosis merupakan ciri khas diabetes ketoasidosis menimbulkan gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, dan nyeri abdomen. Napas pasien berbau aseton (bau manis seperti buah) sebagai akibat dari meningkatnya kadar badan aseton. Selain itu, hiperventilasi menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis untuk melawan efek dari pembentukan badan keton.


(46)

3) Koma Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis

Koma hiperglikemik hiperosmolar non ketosis merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran (Smeltzer & Bare, 2002). Walaupun tidak rentan mengalami ketosis, penderita diabetes tipe 2 dapat mengalami hiperglikemia berat dengan kadar glukosa darah lebih dari 300 mg/dl. Kadar hiperglikemia ini menyebabkan osmolalitas plasma, yang dalam keadaan normal dikontrol ketat pada rentang 275–295 mOsmL/L, jika meningkat melebihi 310 mOsm/L menyebabkan pengeluaran urin yang berlebihan, rasa haus yang hebat, defisit kalium yang parah, dan pada sekitar 15 sampai 20% pasien mengalami koma dan kematian (Corwin, 2009).

b. Komplikasi Kronis

1. Makroangiopati terdiri dari (1). Pembuluh darah jantung, (2). Pembuluh darah tepi, Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul, (3). Pembuluh darah otak

2. Mikroangiopati terdiri dari (1). Retinopati diabetik : Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati, (2). Nefropati diabetik : Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko nefropati


(47)

dan pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati.

3. Neuropati yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari (Perkeni, 2006).

2.2.5. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya berbagi penyulit menahun, seperti penyakit serobro vaskuler, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah tungkai, ginjal dan saraf. Jika kadar glukosa dapat selalu dikendalikan maka penyakit menahun dapat dicegah atau dihambat. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha untuk memperbaiki kelainan metabolik yang terjadi pada diabetes (Waspadji et al., 2009).

Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM menurut Perkeni (2006), yaitu :


(48)

a. Diet

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut karbohidrat 45-60%, protein 10-12% dan lemak 20-25%. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan idaman. Untuk kepentingan klinik praktis dan untuk penentuan jumlah kalori dengan menggunakan rumus Broca yaitu : BB idaman = (TB-100)-10%. Berat badan kurang :<90% BB idaman, Berat badan normal : 90-110% BB idaman, Berat badan lebih : 110-120 BB idaman, dan Gemuk : > 120% BB idaman.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta 2-3 porsi (makanan ringan 10-15%). Pembagian porsi tersebut disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya (Soegondo, et al., 2007). Kepatuhan jangka panjang terhadap perencanaan makan merupakan salah satu aspek yang menimbulkan tantangan dalam penatalaksanaan diabetes. Bagi pasien obesitas, tindakan membatasi kalori yang moderat lebih realistis. Bagi pasien yang yang berat badannya sudah turun, upaya untuk mempertahankan berat badan sering lebih sulit. Untuk membantu pasien ini dalam mengikutsertakan kebiasaan diet yang baru ke dalam hidupnya, maka


(49)

keikutsertakan kebiasaan diet yang baru dalam terapi perilaku, dukungan kelompok dan penyuluhan gizi yang berkelanjutan sangat dianjurkan (Smeltzer & Bare, 2002).

Pola hidup sehat pada penderita diabetes melitus perlu dijaga dalam (a) perencanaan makan dengan menjaga asupan makan yang seimbang yaitu diet diabetes melitus untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencegah komplikasi akut dan kronik dengan memperhatikan 3 J yaitu jumlah kalori yang dibutuhkan, jadwal makan yang harus diikuti dan jenis makanan yang harus diperhatikan, mengkonsumsi aneka ragam makanan agar terpenuhi kecukupan sumber zat tenaga (beras, jagung, tepung), zat pembangun (kacang-kacangan, tempe, tahu) dan zat pengatur (sayuran dan buah-buahan). Selain itu membatasi konsumsi lemak, minyak dan santan yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit jantung koroner (Soegondo, et al., 2009).

b. Olah raga

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardivaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga (Smeltzer & Bare, 2002).

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai CRIPE (continous, rhythmical, interval,


(50)

progressive, endurance training). Sedapat mungkin mencapai sasaran 75-85% denyut nadi maksimal, disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyertanya, olahraga yang disarankan adalah olah raga ringan seperti berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan cepat selama 20 menit dan olahraga berat misalnya jogging (Soegondo, et al., 2007).

c. Farmakologi

Pada diabetes tipe 1, tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin, dengan demikian insulin eksogenus harus diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada diabetes tipe 2, insulin diberikan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari, karena dosis insulin yang diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa dalam darah, maka pemantauan glukosa darah yang akurat sangat penting. Pemantauan mandiri kadar glukosa darah telah menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin.

d. Perawatan Kaki

Masalah kaki pada penderita diabetes melitus merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes, kaki diabetes yang tidak dirawat dengan benar, lebih mudah mengalami luka dan cepat berkembang menjadi ulkus, dan dapat


(51)

menyebabkan ganggren dan amputasi. Dari semua amputasi tungkai bawah, 40-70% berkaitan dengan perawatan kaki pada penderita diabetes (Waspadji, et al, 2007).

Menurut Soegondo, et al., (2009) bahwa perawatan kaki yang perlu dilakukan pada penderita diabetes melitus, terdiri dari pemeriksaan kaki sehari-hari dan perawatan kaki sesehari-hari-sehari-hari, yaitu

1) Pemeriksaan kaki sehari-hari yakni periksa bagian atas atau punggung, telapak, sisi-sisi kaki dan sela-sela jari. Untuk melihat telapak kaki, tekuk kaki (bila sulit, gunakan cermin atau minta bantuan orang lain untuk melihat bagian bawah kaki) dan untuk memeriksa kaki yaitu periksa ada kulit retak atau melepuh dan periksa ada luka dan tanda infeksi seperti bengkak, kemerahan, hangat, nyeri, darah atau cairan lain yang keluar dari darah. 2) Perawatan kaki sehari-hari yakni (1). Bersihkan kaki setiap hari pada waktu

mandi dengan air bersih dan sabun mandi, bila perlu gosok kaki dengan sikat lembut dan bersih, terutama sela jari kaki ketiga-keempat dan keempat-kelima; (2). Berikan pelembab pada daerah kaki yang kering agar kulit tidak menjadi retak, tetapi jangan berikan pelembab pada sela-sela jari, karena akan menjadi lembab dan menimbulkan tumbuhnya jamur; (4). Gunting kuku kaki mengikuti bentuk normal jari kaki, tidak terlalu pendek atau dekat dengan kulit, kemudian kikir kuku agar tidak tajam. Bila kuku keras dan sulit dipotong, maka rendam kaki dengan air hangat (37º) selama 5 menit, bersihkan dengan sikat kuku. Bersihkan kuku setiap hari pada waktu mandi; (5). Gunakan sepatu atau sandal untuk melindungi kaki agar tidak terjadi luka, jangan gunakan sandal jepit


(52)

karena dapat menyebabkan luka disela jari pertama dan kedua. Syarat sepatu untuk kaki penderita diabetes adalah ukuran sepatu lebih dalam, panjang sepatu ½ inchi lebih panjang dari jari-jari kaki terpanjang saat berdiri, ujung sepatu lebih lebar, tinggi tumit kurang dari 2 inchi, bagian bawah sepatu tidak kasar dan licin, terbuat dari bahan karet dan ruang dalam sepatu longgar, sesuai bentuk kaki; (6). Periksa sepatu sebelum dipakai, ada kerikil atau benda-benda tajam seperti jarum atau duri. Lepas sepatu setiap 4-6 jam, serta gerakan pergelangan dan jari-jari kaki agar sirkulasi darah tetap baik terutama pada pemakaian sepatu baru.

e. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Pemantauan kendali glikemik pada penderita diabetes merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan DM. hasil pemantauan digunakan untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai penyesuaian diet, olah raga, dan obat-obatan untuk mencapai kadar glukosa darah senormal mungkin, terhindar dari keadaan hiperglikemia dan hipoglikemia (Waspadji, et al., 2007).

Pemantauan glukosa darah mandiri saat ini telah dilakukan lebih dari 40% penderita diabetes, indikasi dilakukan PGDM pada kondisi (a). mencapai dan memelihara kendali glikemi; (b). mencegah dan mendeteksi hipoglikemia; (c). mencegah hiperglikemia berat; (d). menyesuaikan dengan perubahan gaya hidup: memberikan informasi kepada penderita DM mengenai kendali glikemik, sehingga penderita dapat menyesuaikan diet dan pengobatan; (e). menentukan kebutuhan untuk memulai terapi insulin pada penderita DM (Soegondo, et al., 2009 ).


(53)

Memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan diantara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti

hypoglycemic (Perkeni, 2006).

2.2.6. Tingkat Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus

Kepatuhan atau adherence merupakan sejauh mana penderita mampu mengikuti pengobatan (WHO, 2001). Menurut Sackett (1997) dalam Niven (2013) kepatuhan merupakan sejauh mana perilaku penderita sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Kepatuhan didefinisikan sebagai Aktif, sukarela, dan kolaboratif keterlibatan penderita dalam program pengobatan untuk menghasilkan hasil terapi. Ketidakpatuhan merupakan penderita tidak mengikuti instruksi tujuan pengobatan, karena penderita melupakan begitu saja atau penderita salah memahami instruksi yang diberikan oleh petugas kesehatan (Delamarte, 2006).

Kepatuhan terhadap penatalaksanaan mencerminkan perilaku penderita dalam mempertahankan kesehatan, seperti mencari pengobatan, modifikasi gaya hidup, pengelolaan diri terhadap diabetes, menepati jadwal konsultasi ke dokter, menjaga diet yang sehat, dan cukup melakukan aktivitas fisik (WHO, 2003). Kepatuhan pengobatan merupakan perilaku perawatan diri yang dominan bagi penderita diabetes,


(54)

baik diabetes tipe 1 maupun diabetes tipe 2 yang dapat meningkatkan resiko komplikasi yang serius seperti penyakit jantung, retinopati, neuropati, dan nefropati (Safren, et al., 2008).

Indikator kompleksitas dari suatu penatalaksanaan diabetes adalah frekuensi pengobatan yang harus dilakukan oleh penderita, misalnya frekuensi minum obat dalam sehari dimana penderita akan lebih patuh pada dosis yang diberikan satu kali sehari daripada dosis yang diberikan lebih sering, misalnya tiga kali sehari. Lamanya penyakit akan memberikan efek negatif terhadap kepatuhan penderita. Makin lama penderita mengidap penyakit diabetes, makin kecil penderita tersebut patuh pada penatalaksanaan diabetes (BPOM, 2006 ).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pederita terhadap penatalaksanaan diabetes yaitu akses kesehatan, dukungan pelayanan kesehatan terhadap penanganan mereka, dan stigma positif penderita terhadap penyakitnya (WHO, 2001). Kepatuhan perawatan terhadap diabetes melitus dalam hal ini penderita harus melaksanakan program perawatan diabetes melitus seperti melakukan hidup sehat, melakukan pengobatan secara rutin, aturan pengobatan yang ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan dan rekomendasi hasil instruksi (Delamarte, 2006).

Indikator tingkat kepatuhan penderita diabetes, jika mereka melaksanakan penatalaksanaan diabetes seperti pemakaian insulin : tidak mengurangi dosis dan tidak terlalu banyak pemberian dosis insulin, tidak menunda waktu makan dan kontrol gula darah secara mandiri. Diet : makan cemilan diantara jam makan malam dan tidur malam dan tidak merubah diet. Dalam hal pendidikan kesehatan : untuk


(55)

mengikuti anjuran dari tenaga kesehatan seperti pola makan teratur, pemberian insulin dengan tepat, latihan aktivitas 30-60 menit seperti jalan kaki, joging dan yoga, kontrol glukosa darah secara rutin dan perawatan kaki. Penatalaksanaan diabetes yang terakhir adalah latihan fisik : melakukan olah raga 3-5x/minggu dan menjaga berat badan ideal (Smetlzer & Bare, 2002).

Masalah tingkat kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes pada penderita diabetes sering terjadi, hal ini disebabkan penderita diabetes frustasi terhadap perubahan pola hidup dan kesulitan untuk mengontrol glukosa darah (Delamarta, 2006). Individu gagal dalam melaksanakan kepatuhan disebabkan karena kepribadian mereka yang tidak mau bekerjasama, faktor budaya yang mempengaruhi mereka sehingga tingkah laku mereka kurang kondusif untuk mematuhi pengobatan (DiMatteo, 2005).

Berbagai jenis metode telah dipelajari untuk meningkatkan aspek kepatuhan penderita terhadap rekomendasi penatalaksanaan diabetes. Banyak intervensi digunakan yang telah diterapkan secara umum untuk penderita diabetes tanpa membeda-bedakan, tetapi dari penderita diabetes dalam jumlah sedikit keberhasilan sering tercapai (DiMatteo, 2005). Berdasarkan hasil penelitian Pretorius (2010) bahwa 50% dari penderita diabetes tidak patuh terhadap penatalaksanaan diabetes hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan yang rendah, biaya pengobatan, instruksi yang tidak jelas terhadap pengobatan, stigma negatif terhadap penyakitnya dan stres ketika dirinya didiagnosis menderita diabetes.


(56)

Stres pada penderita diabetes disebabkan karena mereka menyangkal atau tidak menerima ketika mengetahui dirinya terdiagnosis diabetes melitus, dan sulit untuk penderita menjalani kehidupan sebagai penyandang diabetes, bahkan ada beberapa penderita diabetes yang memerlukan waktu lama untuk menerima dirinya sebagai penderita diabetes, sehingga mereka menolak untuk menjalani terapi diabetes, dan menyebabkan kadar glukosa darah tidak terkendali (Soegondo, et al., 2009). Stresor penyebab stres pada penderita diabetes terkait dengan tiga aspek penatalaksanaan diabetes yaitu tinggi tingkat ketidakpatuhan penderita dalam menjalani diet dan katakutan penderita akan jarum suntik insulin dan monitor glukosa darah sendiri (Delamarte, 2006).

Ketika stresor penyebab stres pada penderita diabetes adalah penyakitnya, maka penderita diabetes harus mampu menghilangkan kondisi yang mereka alami, sehingga mereka membutuhkan cara untuk membuat kondisi mereka dapat dikelola. Koping merupakan proses yang komplek dimana stresor penyebab stres yang terjadi pada penderita diabetes harus segera diatasi dan berpengaruh pada metabolisme dan psikososial (Fisher, 2009).

Kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes merupakan komponen penting untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi diabetes, kepatuhan yang dianjurkan untuk penderita diabetes diantaranya adalah penggunaan obat seperti insulin dan oral hipoglikemik, diet sehat dan olah raga, self monitoring glukosa darah, dan perawatan kaki. Stres yang terjadi pada penderita diabetes berkaitan dengan ketidakpatuhan penderita dalam penatalaksanaan diabetes (Gonzales, 2008).


(57)

Mekanisme koping adaptif pada penderita diabetes berperan penting terhadap upaya meningkatkan kepatuhan penderita terhadap penatalaksanaan diabetes, kontrol glikemik dan komplikasi makroangiopati (Turan, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Hidayat (2013) bahwa menggunakan koping yang adaptif dapat mengurangi terjadinya stres, tetapi tidak semua individu mampu menggunakan koping yang adaptif dalam menghadapi stres. Pada penderita diabetes dengan menggunakan koping yang adaptif berdampak pada kepatuhan penderita dalam menjalani penatalaksanaan diabetes.

Berdasarkan hasil penelitian Malacara, et al., (2011) bahwa koping adaptif dapat meningkatkan kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes, dimana penderita berusaha untuk mencari dukungan baik keluarga maupun sosial, dan mematuhi penatalaksanaan diabetes melitus. Sedangan penderita diabetes yang menghindari penggunaan koping dapat menghambat kepatuhan terhadap penatalaksanaan diabetes, terutama terjadi diawal diagnosis diabetes.

2.2.7.Usaha Meningkatkan Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus a. Pendidikan

Menurut Stein (1986) dalam Niven (2013) bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan atau usaha manusia dalam meningkatkan kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan penyempurnaan kehidupan manusia dengan mengembangkan potensi kehidupannya. Domain pendidikan dapat diukur:


(58)

(a). Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan (knowledge).

Pengetahuan penderita yang rendah tentang pengobatan dapat menimbulkan kesadaran yang rendah yang akan berdampak dan berpengaruh pada penderita dalam mengikuti cara pengobatan, kedisiplinan pemeriksaan yang akibatnya dapat terjadi komplikasi berlanjut. Upaya pendidikan kesehatan pada penderita diabetes melitus dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakit yang dideritanya, pendidikan kesehatan yang efektif pada penderita diabetes melitus merupakan dasar dari kontrol metabolisme yang baik, dimana dapat meningkatkan hasil klinis dengan jalan meningkatkan pengertian dan kemampuan pengelolaan penyakit diabetes melitus.

Pengetahuan diet diabetes melitus merupakan pengetahuan penderita diabetes melitus mengenai diet diabetes melitus yang terdiri dari kebutuhan kalori, daftar bahan makanan pengganti, pola diet dan olah raga. Dengan penderita melitus mempunyai pengetahuan diet diabetes melitus maka dapat memperbaiki keadaan sesuai dengan penyakit yang dideritanya.

(b). Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude). Kepatuhan penderita diabetes melitus dalam melaksanakan program penatalaksanaan DM dapat ditingkatkan dengan mengikuti cara sehat yang berkaitan dengan nasehat, aturan pengobatan yang ditetapkan, mengikuti jadwal pemeriksaan dan rekomendasi hasil penyelidikan.

b. Perubahan Model Terapi

Masalah kepatuhan penatalaksaan diabetes sering terjadi pada penderita diabetes, menyebabkan kontrol glukosa darah sulit dicapai, ketidakpatuhan penderita


(59)

terhadap penatalaksanaan diabetes dapat menyebabkan resiko terjadinya komplikasi (WHO, 2001). Ketepatan dalam memberikan informasi secara jelas tentang program–program pengobatan secara sederhana, sehingga penderita dapat mematuhi komponen-komponen program pengobatan secara jelas dan kompleks. Contoh pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien, seperti membuat instruksi yang jelas dan mudah dipahami oleh penderita diabetes melitus, memberikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan informasi yang lain, dan ketika pelayanan kesehatan memberikan informasi medis dengan menggunakan bahasa umum (non medis) (Niven, 2013).

c. Meningkatkan Interaksi Profesional Kesehatan dengan Pasien

Pemberian pelayanan untuk diabetes bervariasi, dari perawatan secara intensif yang diberikan oleh tim kesehatan, sehingga penderita diabetes akan menerima multidisiplin perawatan rawat jalan dari pelayanan kesehatan primer. Akan tetapi, masalah biaya pelayanan merupakan hambatan yang besar bagi penderita yang mendapat pelayanan rawat jalan dari klinik umum. Selain itu, kesulitan untuk mendapatkan akses pelayanan juga berhubungan dengan buruknya kontrol metabolik (BPOM, 2006).

Meningkatnya interaksi tenaga kesehatan melalui komunikasi dengan penderita, merupakan suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada penderita setelah memperoleh informasi. Penderita membutuhkan penjelasan tentang kondisinya, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.


(60)

Informasi yang diperoleh penderita dapat membantu untuk lebih memahami kondisi mereka dan tindakan pengobatan yang sedang mereka jalani (Niven, 2013).

Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan adalah tim pelayanan kesehatan dengan penderita, oleh sebab itu tim pelayanan kesehatan memiliki kemampuan untuk meningkatkan pengetahuan penderita, mempermudah penderita untuk mengakses pelayanan kesehatan, dan menerapkan protokol intervensi yang mendukung self management (WHO, 2001). Salah satu penyebab ketidakpatuhan individu terhadap penatalaksanaan diabetes adalah komunikasi verbal yang tidak efektif antara penderita dengan petugas kesehatan, seperti petugas kesehatan sering menyampaikan informasi dengan istilah yang tidak dapat dipahami oleh penderita. Perbedaan bahasa, tingkat pendidikan, latar belakang budaya atau kelas sosial, penyampaian informasi yang tidak lengkap juga dapat menyebabkan masalah komunikasi antara penderita dengan petugas kesehatan (DiMatteo, 2005).

Berdasakan hasil penelitian BPOM, (2006) dinyatakan bahwa hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan penderita dalam menjalani penatalasanaan diabetes adalah

a. Penderita memerlukan dukungan, bukan untuk disalahkan

b. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan jangka panjang adalah tidak tercapainya tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan

c. Peningkatan kepatuhan penderita dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat.


(61)

d. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas suatu sistem kesehatan.

e. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan secara efektif suatu penyakit kronis

f. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai tantangan baru

g. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah ketidakpatuhan

2.3. Teori Keperawatan Callista Roy

Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem yang terbuka dan adaptif yang akan berespon terhadap kejadian atau perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan, respon yang ditimbulkan berupa adaptif maupun maldaptif, sesuai dengan mekanisme koping yang digunakan dalam menghadapi stresor. Roy menjelaskan bahwa manusia dapat digambarkan secara holistik (bio, psiko, sosial) sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol, proses

feedback dan output.

1) Input (Stimulus), manusia sebagai suatu sistem dapat menyesuaikan diri dengan menerima masukan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri.

2) Mekanisme koping, tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan


(62)

diri. Ada dua (2) macam mekanisme koping yaitu (a). mekanisme koping bawaan, yaitu ditentukan oleh sifat genetik yang dimiliki. (b). mekanisme koping yang dipelajari, yaitu dikembangkan melalui strategi pembelajaran atau pengalaman-pengalaman yang ditemui selama menjalani kehidupan. Ada dua (2) respon adaptasi yaitu (a). respon adaptif adalah keseluruhan yang meningkatkan integritas dalam batasan yang sesuai dengan tujuan “human system”. (b). respon maladaptif yaitu segala sesuatu yang tidak memberikan konstribusi yang sesuai dengan tujuan “human system

3) Output, respon-respon yang adaptif mempertahankan atau meningkatkan integritas, sedangkan respon maladaptif dapat mengganggu integritas. Melalui proses feedback, respon-respon itu selanjutnya akan menjadi input (masukan) kembali pada manusia sebagai sistem. Koping yang tidak konstruktif atau tidak efektif berdampak terhadap respon sakit (maladaptif). Jika pasien masuk zona maladaptif maka pasien mempunyai masalah keperawatan adaptasi.

4) Subsistem Regulator dan Kognator, subsistem regulator merupakan gambaran respon yang berkaitan dengan perubahan pada sistem saraf, kimia tubuh, dan organ endokrin yang merupakan mekanisme kerja utama yang berespon dan beradaptasi terhadap lingkungan. Sedangkan subsistem kognator merupakan gambaran respon yang kaitannya dengan perubahan kognitif dan emosi, termasuk didalamnya persepsi, proses informasi, pembelajaran, membuat alasan dan emosional. Respon-respon subsitem tersebut dapat dilihat pada


(63)

empat perubahan yang ada pada manusia sebagai sistem adaptif yaitu : fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.

Umpan Balik

Gambar 2.1. Model Konsep Adaptasi Roy

Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa manusia sebagai adaptif yang selalu mendapatkan input sebagai proses kontrol. Proses kontrol merupakan mekanisme koping yang terdiri dari regulator dan kognator, yang akan menghasil respon koping adaptif.

Input Proses

Kontrol

Efektor Out Put

-Stimuli

-Level Adaptasi

Respon - Adaptif - Inefektif Mekanisme

Koping Regulator Kognator

- Fungsi fisiologis

- Konsep diri

- Fungsi peran


(64)

Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini menggunakan teori mekanisme koping yang dikembangkan oleh Wong, Reker & Peacocok (2006) disebut COAP (Coping Orientation and Prototypes) terdiri dari 6 (enam) aspek yaitu situasi, pencegahan, agama, eksistensi, restrukturisasi dan emosi. COAP merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur usaha koping individu, dengan menggunakan 6 (enam) aspek orientasi. COAP telah digunakan dalam penelitian (Antonovsky, 1992) untuk membedakan koping mahasiswa dalam menghadapi pengangguran dan paparan HIV/AIDS, dalam studi lain COAP digunakan dalam penelitian Marcoen (2000) dalam Wong (2006) tentang penggunaan koping diusia tua menemukan bahwa para peserta memanfaatkan koping yang berorientasi pada eksistensi diri dan keagamaan.

Penyakit Diabetes Melitus Kepatuhan : − Exercise − Farmakologi − Perawatan Kaki − Pemantauan glukosa darah mandiri Adaptif Maladaptif Mekanisme koping

(Wong, Reker, & Peacock, 2006) :

− Berorientasi Situasi − Berorientasi Pencegahan − Berorientasi Agama − Berorientasi Eksistensi − Berorientasi Restrukturisasi − Berorientasi Emosi Patuh Tidak Patuh


(65)

2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian ini gambaran dari sintesa teori mekanisme koping individu terhadap tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes pada penderita diabetes melitus. Mekanisme koping individu dalam penelitian ini merupakan variabel independent dan tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes sebagai variabel dependent. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan terdapat hubungan antara mekanisme koping individu terhadap tingkat kepatuhan penatalaksanaan diatebetes pada pasien diabetes mellitus.

Keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.3. yaitu:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Mekanisme Koping Individu (Wong,

Reker dan Peacock, 2006) - Berorientasi pada situasi - Berorientasi pada pencegahan - Berorientasi pada emosi - Berorientasi pada agama - Berorientasi pada eksistensi - Berorientasi pada restrukturisasi

Tingkat Kepatuhan Penatalaksanaan Penderita DM


(66)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian kuantitatif, dengan studi pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dalam satu waktu (Pollit & Hungler, 1990). Pada penelitian ini, peneliti mencari hubungan antara mekanisme koping individu dan tingkat kepatuhan penatalaksanaan pasien diabetes melitus dengan cara memberikan kuesioner.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di ruang poliklinik endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan, alasan memilih ruang poliklinik endokrin karena RSUD Dr. Pirngadi memiliki jumlah sampel yang representatif, selain itu merupakan rumah sakit rujukan dan juga rumah sakit pendidikan. Waktu pengambilan data penelitian dilakukan pada tanggal 15 Juli sampai dengan 6 Agustus 2014.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2012).


(67)

Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh penderita diabetes melitus yang berobat rawat jalan di RSUD Dr. Pirngadi Medan berjumlah 923 orang, berdasarkan data yang diperoleh dari bulan Agustus s/d Desember 2013.

3.3.2. Sampel

Pengambilan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus (Lameshow, 1997):

�= Z ²ⁱ

/2 p(1p)N d2(N1) + Z ²/2 p(1p)

Keterangan :

n

N : Besar sampel

Z ²ⁱ−∝/2 : Nilai Z dari derajat kemaknaan P : Proporsi pada populasi

N : Besar populasi d2 : Derajat kesalahan

Maka diperoleh besar sampel :

� = (1,96)

2x0,5x(10,5)x923 (0,1)2(9231) + (1,96)x0,5x(10,5)

� = (3,8416) 0,5�( 0,5 )x923

( 0,01 )∗(922) + (3,8416)∗0,5∗(0,5) � = 923

9,22 n = 100


(68)

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 100 penderita diabetes melitus yang berkunjung ke poli penyakit dalam (endokrin) RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penentuan sampel dengan menggunakan teknik purposive sample yaitu dengan cara memilih responden yang sasuai dengan kriteria inklusi antara lain penderita diabetes melitus yang terdiagnosis kurang dari 1 (satu) tahun, usia lebih dari 30 tahun, bisa berbahasa Indonesia dan bersedia menjadi responden.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan kuesioner yang akan dibagikan kepada responden dan selama pengumpulan data peneliti didampingi dua orang asisten penelitian dengan syarat berlatar belakang perawat dengan pendidikan DIII Keperawatan, adapun data yang yang akan dikumpulkan pada penelitian ini adalah

3.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data. Data primer dikumpulkan oleh peneliti dengan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk mengukur mekanisme koping individu dan tingkat kepatuhan penatalaksanaan diabetes.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang mendukung data primer, diperoleh melalui berbagai sumber data yang telah ada. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari rekam medis RSUD Dr. Pirngadi Medan.


(69)

3.4.3. Prosedur Pengumpulan Data

a. Cara pengumpulan data dalam penelitian, dalam melakukan penelitian dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan etika penelitian yaitu

ethical clearance oleh komite etik penelitian kesehatan fakultas keperawatan Universitas Sumatera Utara, pelaksanaan penelitian dilakukan oleh peneliti setelah mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan izin dari RSUD Dr. Pirngadi Medan.

b. Sebelum penelitian dilakukan, peneliti menetapkan 2 orang asisten penelitian dan menjelaskan kepada 2 orang asisten tentang kuesioner penelitian, tujuan penelitian, cara pengumpulan data dan cara mengisi kuesioner yang akan dibagikan kepada responden sehingga peneliti dan asisten penelitian mempunyai persepsi yang sama

c. Peneliti dan asisten penelitian memilih calon responden yang sesuai dengan kriteria inklusi di poli endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan pada saat responden menunggu panggilan untuk berkonsultasi ke dokter. Kemudian peneliti dan asisten penelitian mendatangi calon responden, dan mengklarifikasi berapa lama responden menderita penyakit diabetes mellitus, jika sesuai dengan kriteria inklusi dan bersedia menjadi responden penelitian maka responden dijadikan sampel dalam penelitian. d. Menjelaskan kepada responden tentang tujuan, manfaat dan prosedur

pengisian lembar kuesioner dan meminta responden untuk mengisi lembar

informed consent. Setelah responden setuju maka peneliti membagikan kuesioner dan meminta responden untuk mengisi kuesionernya dengan


(70)

lengkap. Pengisian kuesioner tiap responden dilakukan selama 15-30 menit.

e. Peneliti dan asisten penelitian memeriksa kembali kuesioner yang telah diisi oleh responden untuk mengantisipasi jika masih ada pernyataan yang belum diisi oleh responden.

3.5.Variabel dan Definisi Operasional Tabel 3.1. Variabel dan Devinisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Instrumen Skala Hasil Ukur

1 Mekanisme koping individu :

Berorientasi pada situasi

Usaha yang dilakukan penderita diabetes dalam menyelesaikan masalah dengan mengubah situasi yang dilakukan diri sendiri maupun bantuan orang lain

Kuesioner Ordinal Adaptif 34-55

Maladaptif 11-33

Berorientasi pada emosi

Respon penderita diabetes terhadap penyakit diabetes tanpa mengubah situasi atau menolak masalah yang ada.

Adaptif 52-85 Maladaptif 17-51 Berorientasi pada pencegahan

Usaha penderita diabetes terhadap stresor yang muncul dengan meningkatkan kemampuan diri mencari informasi untuk solusi yang tepat Adaptif 34-55 Maladaptif 11-33 Berorientasi pada agama

Respon penderita diabetes melitus untuk mengatsi stressor yang disebabkan oleh penyakit diabetes dengan mendekatkan diri pada Tuhan

Adaptif 25-40 Maladaptif 8-24 Berorientasi pada eksistensi

Respon penderita diabetes melitus terhadap stressor akibat penyakit diabetes dengan menerima situasi yang berkaitan dengan penyakit diabetes Adaptif 28-45 Maladaptif 9-27 Berorientasi pada restrukturisasi

Usaha yang dilakukan penderita diabetes dalam menyelesaikan masalah dengan meningkatkan kemampuan kognitif Adaptif 35-55 Maladaptif 11-34 2 Tingkat

kepatuhan penatalaksanaan diabetes

Kemampuan pasien diabetes melitus dalam memenuhi penatalaksanaan penyakit diabetes melitus yaitu diet, olah raga, farmakologi dan

Kuesioner Ordinal −Patuh 73-116 −Tidak patuh


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)