BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes 2.1.1 Definisi Diabetes - Analisa Tingkat Kepuasan Pasien Diabetes Melitus Terhadap Pelayanan Kesehatan di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes
2.1.1 Definisi Diabetes
Diabetes melitus, atau hanya diabetes, adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak lagi mampu untuk memproduksi insulin, atau ketika tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang disintesis oleh pankreas, yang berperan untuk membantu glukosa untuk masuk ke dalam sel-sel tubuh dari aliran darah. Semua makanan karbohidrat dipecah menjadi glukosa dalam darah.
Ketidakmampuan untuk memproduksi insulin atau menggunakannya secara efektif menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia). Kondisi ini dalam jangka panjang bisa merusakkan tubuh dan menyebabkan kegagalan organ dan jaringan (IDF, 2013)
2.1.2 Klasifikasi Etiologis Diabetes Mellitus
Tabel 2.1 Klasifikasi etiologis Diabete MellitusTipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut Autoimun
- Idiopatik -
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistansi insulin desertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
- Tipe lain
Defek genetik fungsi beta Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati -
Karena obat atau zat kimia
- Infeksi -
Sebab imunologi yang jarang
- Sindrom genetik lain yang
- berkaitan dengan DM
Diabetes melitus gestasional Sumber : PERKENI, 2011
2.1.3 Diagnosis Diabetes
Menurut PERKENI (2011), Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes. Keluhan klasik DM ada seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain pula berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara: 1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL atau 2. glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah
- – pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL. Diagnosis GDPT pula ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100
- – 125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL.
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan wawktu makan terakhir ATAU
2. Gejala klasik DM
- Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam ATAU 3.
Kadar gula plasma 2 jam TTGO ≥200mg/dL TTGO yang dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air Sumber : Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2, 2011.
2.1.4 Pengertian Prediabetes
Seorang dalam fase prediabetes mempunyai kadar gula darah yang lebih tinggi dari normal tapi tidak mencapai tahap diagnosa diabetes. Dalam kata lain, kadar gula darahnya di antara batas normal dan batas di mana kita katakan seseorang itu mengalami diabetes. Apabila tidak dilakukan perubahan gaya hidup kepada yang lebih sehat maka sekitar 15
- – 30% dari golongan prediabetes ini akan menjadi golongan diabetik dalam jangka waktu 5 tahun ke depan (Centers for Disease Control and Prevention). Menurut Caballero (2007), prediabetes adalah satu kondisi di mana tubuh menjadi resistan terhadap efek insulin yang kemudian menyebabkan glukosa tidak ditranspor keluar dari aliran darah seperti normal. Hal ini apabila berlanjutan akan meningkatkan risiko seseorang mendapatkan penyakit jantung, stroke dan juga diabetes tipe 2.
- – 99 – 125 OGTT (mg/dL) <140 140 >200
- – 199 Sumber : Caballero, 2007
2.1.5 Pencegahan Diabetes Tipe-2
Kemungkinan golongan prediabetes menderita diabetes tipe 2 ke depan adalah 5
- – 15 kali lipat lebih besar daripada golongan dengan kadar glukosa darah normal. Seseorang yang mengambil langkah untuk mencegah diabetes tipe 2 juga mencegah kemungkinan terjadi komplikasi diabetes seperti penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal, gangguan visual, kerusakan saraf, dan masalah kesehatan lainnya. Adalah penting untuk mengetahui awal jika seseorang itu menderita prediabetes atau diabetes tipe 2, karena penanganan dini dapat mencegah komplikasi serius tadi (Center for Disease Control and Prevention).
Upaya mencegah ini sejajar dengan Pencegahan Primer dari diabetes tipe-
2 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Tipe 2 (2011). Pencegahan primer ini ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat diabetes dan juga kelompok intoleransi glukosa. Menurut sumber yang sama, faktor risiko diabetes dibagi dua yaitu yang tidak bisa domodifikasi dan yang bisa dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
- Ras dan etnik
- Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes)
- Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan diabetes
- Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah menderita Diabetes Gestasional -
Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
- Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m²)
- Kurangnya aktivitas fisik
- Hipertensi (> 140/90mmHg)
- Dislipidemia (HDL <35mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL)
- Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan diabetes tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
- Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
- Penderita sindrom metabolic memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung coroner (PJK), atau Peripheral Arterial Disease (PAD)
Menurut konsensus tersebut lagi intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya diabetes. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of Health and Human Services (DHHS) dan The American Diabetes Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan intoleransi glukosa adalah TGT dan GDPT. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan dengan pmeriksaan OGTT setelah puasa 8 jam. Diagnosis intoleransi glukosa ditegakkan apabila hasil tes glukosa darah menunjukkan salah satu dari tersebut di bawah ini
Glukosa darah puasa antara 100 – 125mg/dL
- Glukosa darah 2 jam setelah muatan glukosa (OGTT) antara 140 –
- 199mg/dL.
Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi antara lain : 1.
Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena diabetes tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5
- – 10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.
2. Diet sehat.
a.
Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.
b.
Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal.
c.
Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan.
d.
Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.
3. Latihan jasmani a.
Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.
b.
Latihan jasmani yang dianjurkan: i.
Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobic sedang (mencapat 50
- – 70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat (mencapat denyut jantung >70% maksimal) Latihan jasmani dibagi menjadi 3
- – 4 kali aktivitas/minggu 4.
Menghentikan merokok. Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya intolerasi glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2. Sebagian besar penderita intoleransi glukosa dapat diperbaiki dengan perubahan gaya hidup, menurunkan berat badan, mengonsumsi diet sehat serta melakukan latihan jasmani yang cukup dan teratur. Hasil penelitian Diabetes Prevention Program menunjukkan bahwa perubahan gaya hidup lebih efektif untuk mencegah munculnya diabetes tiper 2 dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan. Penurunan berat badan sebesar 5
- – 10% disertai dengan latihan jasmani teratur mampu mengurangi risiko timbulnya diabetes tipe 2 sebesar 58%. Sedangkan penggunaan obat (seperti metformin, tiazolidindion, acarbose) hanya mampu menurunkan risiko sebesar 31% dan penggunaan berbagai obat tersebut untuk penanganan intoleransi glukosa masih menjadi kontroversi. Bila disertai dengan obesitas, hipertensi, dan dislipidemia, dilakukan pengedalian berat badan, tekanan darah dan profil lemak sehingga tercapai sasaran yang ditetapkan.
Selain itu, penyuluhan juga ditujukan kepada perencanaan kebijakan kesehatan agar memahami dampak sosioekonomi penyakit ini dan pentingnya penyediaan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan primer.
Pencegahan sekunder pula adalah upaya mencegah timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Pencegahan sekunder dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyuluhan tetap memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menujuk perilaku yang sehat. Contoh penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada penyangdang diabetes. Selain pengobatan terhadap kadar glukosa darah yang tnggi, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet juga penting dalam usaha menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada pasien diabetes.
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok peyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin. Sebagai contoh, aspirin dosis rendah dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Upaya ini memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antara disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
2.1.6 Pengelolaan Diabetes Tipe-2
Penatalaksaan DM dilakukan atas dasar 4 pilar yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat (ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria), insulin dapat segera diberikan.
Gambar 2.2 Algoritma pengelolaan DM Tipe-2 tanpa disertai dekompensasi.Sumber : Konsensus Pencegahan dan Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2011.
2.2 Puskesmas
Puskesmas atau Pusat Kesehatan Masyarakat berperan sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang merupakan bagian dari upaya kesehatan Sistem Kesehatan Nasional (Sistem Kesehatan Nasional, 2009). Pelayanan kesehatan strata pertama berarti pelayanan yang mendayagunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dasar yang ditujukan kepada masyarakat. Selain itu, Puskesmas juga berperan sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau sebagian wilayah kecamatan. Dengan kata lain, Puskesmas menjadi tempat rujukan primer masyarakat di suatu kecamatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar.
Visi dari Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat 2010. Misi dari Puskesmas antara lain :
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya.
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya. Tujuan adanya Puskesmas ada untuk mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas.
Menurut Sistem Kesehatan Nasional (2009), pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh penduduk meningkat dari 15,1% pada tahun 1996 menjadi 33,7% pada tahun 2006. Begitupula kunjungan baru (contact rate) ke fasilitas pelayanan kesehatan meningkat dari 34,4% pada tahun 2005 menjadi 41,8% pada tahun 2007. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Puskesmas kini memainkan peran yang makin besar terhadap masyarakat.
Gambar 2.3 Rasio Puskesmas Terhadap 100.000 Penduduk Tahun 2004 - 2009Sumber : Pusdasure, Kemenkes RI Peningkatan jumlah Puskesmas di Provinsi Sumatera Utara dari 503 buah pada tahun 2010 kepada 550 buah pada tahun 2012 membuktikan upaya Sistem
3,3 3,4 3,5 3,6 3,7 3,8 3,9 2004 2005 2006 2007 2008 2009 p e r
1 .0 p e n d u d u k Kesehatan Nasional dalam mencapai matlamat terwujudnya Indonesia Sehat 2010. Rasio Puskesmas terhadap jumlah penduduk yang juga bertambah dari 3,48 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 menjadi 3,80 per 100.000 penduduk pada tahun 2009 mengindikasi peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Tabel 2.3 Jumlah Puskesmas di Provinsi Sumatera Utara pada Tahun 2010-2012.Tahun 2010 2011 2012 Jumlah Puskesmas 504 542 550
Sumber : Depkes RI 2010-2012
2.3 Mutu Pelayanan
2.3.1 Pengertian Mutu
Juran (2002) mengatakan bahwa definisi kualitas bisa dibagi dua. Definisi kualitas yang pertama yaitu fitur-fitur produk yang memenuhi kebutuhan pelanggan yang kemudian memberikan kepuasan pelanggan. Dalam pengertian ini, makna kualitas berorientasi pada pendapatan atau income. Tujuan kualitas tinggi tersebut adalah untuk memberikan kepuasan pelanggan yang lebih besar dan untuk meningkatkan pendapatan. Tinggi kualitas dalam pengertian ini akan meningkatkan biaya.
Definisi kedua dari kualitas menurut Juran berarti kebebasan dari kekurangan, atau kebebasan dari kesalahan yang memerlukan pengulangan kerja (rework) atau yang menghasilkan kegagalan lapangan, ketidakpuasan pelanggan, tuntutan pelanggan dan sebagainya. Dalam pengertian ini, arti kualitas berorientasi pada biaya, di mana kualitas yang lebih tinggi akan mengurangkan biaya.
Crosby (1986) mengdefinisikan mutu sebagai derajat kemampuan suatu produk atau jasa untuk memenuhi kepuasan pemakai dan penghasilnya (Evans dan Lindsay, 2007).
2.3.2 Mutu pelayanan
Mutu atau kualitas pelayanan didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan pelanggan terhadap pelayanan dengan persepsi pelayanan yang diterima olehnya. Ini berarti apabila harapan pelanggan lebih tinggi dari prestasi pelayanan, kualitas pelayanan adalah tidak begitu baik dan akan terjadi ketidakpuasan pelanggan terhadap pelayanan tersebut. Mutu pelayanan terdiri dari 5 dimensi : bukti fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (empathy), (Parasuraman, Zeithaml dan Berry, 1985).
2.4 Kepuasan Pelanggan
Menurut Hill dan Alexander (2006), kepuasan pelanggan merupakan ukuran seberapa hasil produk total suatu organisasi atau perusahaan terlaksana dalam hubungannya dengan harapan pelanggan. Kotler (2000) mengdefinisikan kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang disebabkan dari perbandingan kinerja produk yang dirasakan dengan harapannya.
Dehghan (2006) mengemukakan bahwa suatu konstruksi hubungan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan dapat dibuat. Dehghan menduga bahwa kepuasan pelanggan juga dipengaruhi lima faktor berikut : a.
Inti produk layanan b.
Unsur manusia dalam pelayanan c. Sistematisasi pelayanan (unsur non manusia) d.
Bukti fisik pelayanan e. Tanggung jawab sosial
Dehghan (2006) dan Negi (2009) berpendapat bahwa mutu pelayanan mendahului kepuasan pelanggan. Parasuraman, Zeithml dan Berry (1985) menyarankan bahwa bila kualitas pelayanan yang dirasakan tinggi, kepuasan pelanggan meningkat. Kenyataan ini sejalan dengan kenyataan Saravana dan Rao (2007) dan Lee (2000) yang mengakui bahwa kepuasan pelanggan tergantung pada tingkat kualitas layanan yang disediakan oleh penyedia layanan (Daniel dan Berinyuy, 2010).
Bagan 2.4.1 Kerangka Pemikiran Mutu Pelayanan dan Kepuasan Pelanggan.Bukti fisik (Tangibles) Keandalan (Reliability)
Daya Tanggap (Responsiveness) Jaminan (Assurance)
Empati (Empathy) Harapan terhadap pelayanan Kinerja pelayanan
Mutu Pelayanan Kepuasan Pelanggan
Sumber : Daniel dan Berinyuy (2010)
2.5 Gap Model
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) telah mengembangkan suatu model konsep dari kualitas pelayanan di mana mereka menemukan 5 kesenjangan atau gap yang bisa mempengaruhi evaluasi pelanggan terhadap kualitas pelayanan.
Bagan 2.5.1 Model Kualitas Pelayanan ( Service Quality Model)Sumber : Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985)
Gap 1 : Kesenjangan antara harapan konsumen dengan persepsi manajemen terhadap harapan konsumen.
- yang suatu pelayanan harus memiliki dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen dan tingkat kinerja yang dibutuhkan untuk memberi pelayanan kualitas tinggi.
Penyedia pelayanan tidak mungkin selalu mengerti apa
Gap 2 : Kesenjangan antara persepsi manajemen dengan spesifikasi kualitas pelayanan.
- ini muncul ketika perusahaan
Kesenjangan mengidentifikasi apa yang konsumen inginkan, tetapi tidak punya sarana untuk mencapai harapan konsumen. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesenjangan ini
- termasuk keterbatasan sumber daya, kondisi perekonomian dan ketidakpedulian manajemen. Hal ini dapat mempengaruhi pelayanan persepsi kualitas konsumen.
Gap 3 : Kesenjangan antara spesifikasi pelayanan dengan penyampaian pelayanan.
- pelayanan dengan baik dan melayani konsumen dengan baik dan benar tapi ini tidak berarti kinerja kualitas pelayanan pelayanan tinggi terjamin. Karyawan memainkan peran penting dalam menjamin kualitas persepsi pelayanan yang baik. Hal ini mempengaruhi peberian layanan yang berdampak pada cara konsumen merasakan kualitas pelayanan.
Perusahaan bisa memiliki pedoman untuk melakukan
Gap 4 : Kesenjangan antara penyampaian pelayanan dengan komunikasi eksternal.
- konsumen dari layanan dan juga persepsi konsumen terhadap layanan yang disampaikan.
Komunikasi eksternal dapat mempengaruhi harapan Gap 5 : Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan dengan layanan yang dirasakan.
- Ditemukan bahwa kunci untuk memastikan kualitas pelayanan yang baik adalah mencapai atau melebihi apa yang konsumen harapkan dari layanan.
Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1988) kemudiannya mengembangkan model SERVQUAL, suatu kerangka bertujuan untuk evaluasi persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan.
2.6 SERVQUAL
SERVQUAL adalah sebuah kerangka yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry pada tahun 1988 yang bertujuan untuk mengevaluasi kualitas pelayanan bagi mana-mana industri jasa. Pengukuran kualitas pelayanan dari SERVQUAL dilakukan berdasarkan 5 dimensi kualitas pelayanan yang telah diidentifikasi yaitu bukti fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (empathy). Kelima dimensi tersebut bisa dinilai melalui beberapa hal seperti berikut :
Bukti fisik (Tangibles) : Fasilitas fisik, peralatan, penampilan staf, dll. Keandalan (Reliability) : Kemampuan untuk menunaikan pelayanan seperti yang dijanjikan secara akurat Daya tanggap (Responsiveness)
: Suatu kebijakan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat serta informasi yang jelas pada pasien
Jaminan (Assurance) : Kemampuan staf untuk menimbulkan rasa percaya dan keyakinan pelanggan Empati (Empathy) : Perhatian yang tulus kepada pelanggan yang bersifat individual atau pribadi yang berupaya dalam memahami keinginan pasien Kelima dimensi SERVQUAL apabila digunakan dalam sebuah pelayanan kesehatan dapat diinterpretasi sebagai berikut:
Tabel 2.4 Definisi dimensi SERVQUAL pada pelayanan kesehatanNo. Dimensi SERVQUAL Definisi pada pelayanan kesehatan
1 Bukti fisik Ketersediaan peralatan medis (Tangibles) Kebersihan dan ketenangan ruangan pasien Pilihan menu dan porsi Perabot yang tersedia di ruangan pasien Ketersediaan listrik untuk darurat Laboratorium patologi Kinerja karyawan
2 Keandalan Kecepatan layanan (Reliability) Kecepatan pendaftaran Akurasi pengobatan
3 Daya Tanggap Kecepatan respon terhadap keluhan (Responsiveness) Kepedulian kepada pasien Keinginan untuk membantu
4 Jaminan (Assurance) Keprihatinan terhadap pasien Sikap perawat terhadap pasien Keamanan kamar
5 Empati (Empathy) Kemudahan komunikasi Perhatian dan kesabaran dari perawat Sumber : Amjeriya dan Malviya, 2012
Metode SERVQUAL pada asalnya terdiri dari 22 item atau pertanyaaan berhubungan tentang harapan pelanggan terhadap pelbagai aspek kualitas pelayanan dan persepsi pelanggan terhadap pelayanan yang mereka terima dari penyedia pelayanan. Penilaian kedua hal tersebut dilakukan menggunakan skala
Likert . Perbedaan antara harapan dan persepsi pelanggan terhadap pelayanan
disebut sebagai gap yang merupakan determinan terhadap persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan. Lima dimensi yang sama digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan dan juga kepuasan pelanggan karena keduanya berhubungan erat (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1988). Pendekatan metode SERVQUAL mengukur Gap 5 dengan mengintegrasikan kedua konstruksi (kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan) atas dasar di mana disarankan bahwa persepsi kualitas pelayanan akan membawa kepada kepuasan (Negi, 2009) dalam (Daniel dan Berinyuy, 2010).
Bagan 2.6.1 Mengukur Kualitas Pelayanan menggunakan metode SERVQUAL.Sumber : Daniel dan Berinyuy, 2010.