Aspek Hukum Pelanggaran Kontrak Secara Material

BAB II
PERJANJIAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

A. Sistem Hukum Perjanjian di Indonesia
1.

Pengertian dan Unsur-Unsur Perjanjian
Berdasarkan pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu perjanjian adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.”38
Menurut Ahmadi Miru, pengertian perjanjian yang dikemukakan diatas
sebenarnya kurang tepat karena pengertian tersebut hanya mencakup perjanjian
sepihak (satu orang mengikatkan dirinya kepada satu orang lain atau lebih).
Sedangkan perjanjian pada umumnya adalah perjanjian yang membebani
kewajiban bagi kedua belah pihak atau yang sering disebut perjanjian dua pihak.
Oleh karena itu, seharusnya pengertian perjanjian mengakomodasi perjanjian
sepihak maupun perjanjian dua pihak.39
Secara garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:40
a. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan
akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak,

misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru;

38

Indonesia (Burgelijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblaad
Nomor 23 Tahun 1847, Pasal 1313.
39
Ahmadi Miru (1), Hukum Perdata Materiil dan Formil, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2013), hlm. 274.
40
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 42.

17
Universitas Sumatera Utara

18

b. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksudkan dalam buku III
KUH Perdata. Misalnya, perjanjian bernama.

R. Subekti mendefinisikan perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji
untuk melakukan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.41
Sebenarnya, sebuah perjanjian adalah suatu kontrak, yang mana melalui
kontrak tersebut para pihak hendak mencapai tujuannya masing-masing melalui
suatu skema pertukaran pelaksanaan hak dan kewajiban: “Kontrak-kontrak
merupakan cara untuk memasuki suatu kesepakatan sehingga kedua belah pihak
memperoleh apa yang mereka kehendaki.” 42
Perjanjian juga dapat didefinisikan sebagai sebuah pertemuan antara dua
atau lebih pikiran yang datang bersama-sama di penyampaian sebuah pendapat
dalam proporsi yang berbeda antara pihaknya. 43
Sementara pengertian kontrak atau dalam Bahasa Inggris dikenal dengan
contract, adalah “suatu kesepakatan di antara dua orang atau lebih orang yang
menciptakan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal khusus.
Suatu tulisan yang mengandung kesepakatan dari para pihak, dengan ketentuanketentuan dan syarat-syarat yang berlaku didalamnya, berfungsi sebagai bukti dari
kewajiban itu.” Jadi, kontrak adalah suatu perjanjian tertulis di antara dua pihak

41

H. U. Adil, op. cit., hlm. 18.

Jacob D. Lynch, “Reasons to End or Terminate Contract”, diakses dari
http://contracts.lawyers.com/contracts-basics/reasons-to-end-or-terminate-contracts.html,
pada
tanggal 4 Maret 2017, pukul 17:42 WIB.
43
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary.
42

Universitas Sumatera Utara

19

atau lebih pihak yang menciptakan hak dan kewajiban (timbal-balik) untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal khusus. 44
Berdasarkan pengertian perjanjian yang sangat luas yang terdapat dalam
pasal 1313 KUH Perdata, maka kontrak dapat juga menjadi bagian dari perjanjian.
Yang menjadi pembeda antara kontrak dengan perjanjian adalah dari sisi sifat dan
bentuknya, dimana kontrak lebih bersifat untuk bisnis dan berbentuk tertulis. Di
dalam kontrak, para pihak memiliki sebuah hubungan hukum yang lebih
mengikat, maksudnya adalah antara para pihak yang satu dengan yang lainnya

saling mengikatkan dirinya dalam kontrak tersebut, pihak yang satu dapat
menuntut sesuatu kepada pihak yang lain, dan pihak yang dituntut berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan tersebut.45
Dalam perjanjian juga terdapat unsur-unsur yang membangun perjanjian
tersebut. Unsur dalam sebuah perjanjian dibutuhkan untuk mengetahui apakah
yang dihadapi adalah sebuah perjanjian atau bukan serta memiliki akibat hukum
atau tidak. Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia)
dan bagian bukan inti (naturalia dan accidentalia).46
Unsur essensialia adalah unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat
erat berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian (pasal 1320 KUH Perdata) dan
unsur ini digunakan untuk mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk
mengetahui jenis perjanjiannya. 47 Di sisi lain, unsur essensialia juga menjadi

44

Budiono Kusumohamidjojo, Perbandingan Hukum Kontrak (Comparative Contract
Law), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2015), hlm. 8.
45
H. U. Adil, op. cit., hlm. 18.
46

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 46.
47
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

20

bagian pokok dalam suatu perjanjian, sebab apabila perjanjian tidak memiliki
bagian pokok, perjanjian tersebut dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat. 48
Kemudian, unsur naturalia adalah unsur yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai peraturan yang bersifat mengatur.49 Bagian ini lazimnya ada
atau dapat disebut sebagai sifaat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam
melekat pada perjanjian.50 Misalnya, dalam perjanjian jual beli, unsur
naturalianya terletak pada kewajiban penjual untuk menjamin adanya cacat
tersembunyi.
Sedangkan unsur accidentalia adalah bagian tambahan dalam sebuah
perjanjian, yang mana tambahan tersebut dinyatakan atau ditetapkan sebagai
peraturan yang mengikat para pihak atau sebagai undang-undang yang harus
dilaksanakan karena bagian tambahan tersebut tidak diatur dalam undangundang.51 Unsur accidentalia ini dalam sebuah perjanjian harus tegas

diperjanjikan.52 Misalnya, pemilihan tempat kedudukan.
Menurut Abdulkadir Muhammad, unsur-unsur perjanjian juga dapat
diuraikan sebagai berikut:53
a. Adanya pihak-pihak
Pihak yang dimaksud adalah subjek perjanjian yang paling sedikit
terdiri dari dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang
atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan
undang-undang.
48

Firman Floranta Adonara, op. cit., hlm. 111.
Ibid.
50
Handri Raharjo, op. cit.
51
Firman Floranta Adonara, op. cit., hlm. 112.
52
Handri Raharjo, op. cit.
53
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya, 1992), hlm. 78.

49

Universitas Sumatera Utara

21

b. Adanya persetujuan
Persetujuan yang dimaksud adalah persetujuan yang dilakukan antara
pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan.
c. Adanya tujuan
Dalam sebuah perjanjian, hendaknya terdapat sebuah tujuan yang jelas
dari adanya sebuah perjanjian. Dalam hal ini, tujuan yang dimaksud
adalah tujuan dari pihak-pihak yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan perundang-undangan yang berlaku.
d. Adanya prestasi
Dalam hal ini, perjanjian harus memuat sebuah persetujuan bahwa
harus ada sesuatu yang dilakukan (prestasi) yang harus dilakukan oleh
pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian.
e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan
Perjanjian dapat berbentuk lisan atau tertulis. Hal ini sesuai dengan

ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan
bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan
bukti yang kuat.
f. Ada syarat-syarat tertentu
Perjanjian harus memenuhi syarat menurut undang-undang, agar suatu
perjanjian menjadi sah.

Universitas Sumatera Utara

22

Sementara menurut Salim H. S. unsur-unsur yang tercantum dalam
perjanjian dapat dikemukakan sebagai berikut:54
a. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundangundangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum
perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul,
tumbuh, dan hidup dalam masyarakat.
b. Adanya subjek hukum

Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban dalam sebuah
peristiwa hukum. Yang menjadi subjek hukum dalam sebuah perjanjian
adalah kreditur dan debitur.
c. Adanya prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur.
Prestasi dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan
tidak berbuat sesuatu.
d. Adanya kata sepakat
Di dalam pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya
perjanjian, yang salah satunya adalah kata sepakat (konsensus).
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para
pihak.
54

Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara

23


e. Adanya akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat
hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban dari para
pihak yang mengikatkan dirinya pada sebuah perjanjian.
2.

Sumber Hukum Perjanjian di Indonesia
Hukum perjanjian sudah lama sekali ada di Indonesia. Paling tidak sumber

hukum yang tertulis sudah ada dalam KUH Dagang dan KUH Perdata, yang mulai
diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi.
Bahkan sumber-sumber hukum perjanjian yang sangat tradisional sudah terlebih
dahulu ada, baik dalam hukum adat (seperti hukum kontrak/perjanjian adat), atau
hukum jual beli dagang secara sederhana yang mengatur interaksi jual beli rakyat
Indonesia dengan para saudagar asing kala itu, seperti saudagar-saudagar dari
Portugis, Belanda, Arab, Hindustan, dan lain-lain.55
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
sumber hukum materiil dan sumber hukum formal. Sumber hukum materiil ialah
tempat dari mana materi hukum itu diambil, yang merupakan faktor yang

membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial, kekuatan politik,
situasi sosial ekonomi, tradisi, hasil penelitian ilmiah, perkembangan nasional dan
keadaan geografis. Sedangkan sumber hukum formal adalah tempat diperolehnya
kekuatan hukum tersebut, hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hukum formal tersebut berlaku. Yang diakui umum

55

Munir Fuady (1), op. cit., hlm. 3-4.

Universitas Sumatera Utara

24

sebagai sumber hukum formal adalah undang-undang, perjanjian internasional,
yurisprudensi dan kebiasaan.56
Dalam skala nasional, dasar-dasar dari hukum perjanjian terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena itu, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata merupakan sumber utama dari suatu perjanjian.57 Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian diatur dalam Bab II dan Bab V
sampai dengan Bab XVIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.58
Namun, terdapat beberapa sumber hukum lain yang dapat digunakan sebagai
sumber hukum perjanjian, yaitu:59
a. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk
jenis perjanjian tertentu atau mengatur aspek tertentu dari sebuah
perjanjian.
b. Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara
yang berkenaan dengan perjanjian.
c. Perjanjian internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral, yang
mengatur tentang aspek bisnis internasional.
d. Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari.
e. Doktrin atau pendapat ahli yang telah dianut secara meluas.
f. Hukum adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut dengan
perjanjian-perjanjian tradisional bagi masyarakat pedesaan.

56

Salim H. S., op. cit., hlm. 14.
Ibid., hlm. 10.
58
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 51
59
Munir Fuady (1), op. cit.
57

Universitas Sumatera Utara

25

3.

Perjanjian Sebagai Bagian Dari Hukum Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang mana hukum

perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang
memiliki sistem terbuka dan bagian yang lain dari hukum harta kekayaan adalah
hukum benda yang mempunyai sistem tertutup.Sistem terbuka memiliki
pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan sebuah perjanjian untuk
memiliki perikatan dengan pihak lain.60
Perikatan itu sendiri memiliki arti sebagai suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu hendak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk menuntut tuntutan itu.61
Sementara suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara
dua orang tersebut yang dinamakan sebagai perikatan.62
Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Dapat dikatakan seperti itu, karena dalam
sebuah peristiwa hukum yang terjadi dalam pembuatan perjanjian, timbullah suatu
hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian merupakan

60

Firman Floranta Adonara, op. cit., hlm. 1.
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), hlm. 1.
62
Ibid.
61

Universitas Sumatera Utara

26

sumber utama dari lahirnya sebuah perikatan, namun terdapat juga sumbersumber lain yang dapat melahirkan sebuah perikatan, yaitu undang-undang.63
Perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah
suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa yang nyata. Perikatan yang lahir dari
perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang
membuatnya. Dengan kata lain, apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian,
maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum.
Yang mana sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang
telah mereka lakukan, dan tali perikatan ini putus apabila janji-janji tersebut telah
dipenuhi.64
4.

Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Sebuah perjanjian dapat juga digolongkan berdasarkan namanya.

Penggolongan perjanjian berdasarkan namanya tercantum dalam pasal 1319 KUH
Perdata dam artikel 1355 NBW. Dalam pasal 1319 KUH Perdata dan artikel 1355
NBW, penggolongan perjanjian berdasarkan namanya hanya dibedakan menjadi 2
(dua) macam, yaitu perjanjian nominaat (bernama) dan perjanjian innominaat
(tidak bernama).65
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri,
perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang
berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.66 Perjanjian bernama
adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUH Perdata. 67 Contoh
63

Subekti, op. cit.
Ibid., hlm. 3.
65
Salim H. S., op. cit., hlm. 28
66
Mariam Darus Badrulzaman (1), Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2011)
64

hlm. 19
67

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 61

Universitas Sumatera Utara

27

perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab
V-XVIII KUH Perdata, seperti perjanjian jual-beli, perjanjian tukar-menukar,
perjanjian sewa-menyewa, perjanjian persekutuan, perjanjian pemberian kuasa,
perjanjian untung-untungan, dan lain-lain.
Sementara diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama,
yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat
di masyarakat.68 Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh
dan hidup dalam masyarakat karena adanya asas kebebasan berkontrak dan
perjanjian jenis ini belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan.69
Dari definisi perjanjian tidak bernama, dapat dilihat ada beberapa unsurunsur yang terdapat dalam perjanjian tidak bernama, yaitu:70
a. Perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata.
b. Perjanjian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
c. Perjanjian yang timbul berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
Karena perjanjian tidak bernama didasarkan pada asas kebebasan
berkontrak, maka sistem pengaturan hukum perjanjian tidak bernama adalah
dengan menggunakan sistem terbuka/open system. Jika dilihat dari aspek
pengaturannya, maka perjanjian tidak bernama digolongkan menjadi 3 jenis,
yaitu:71

68

Mariam Darus Badrulzaman (1), op. cit.
Salim H. S., op. cit.
70
Handri Raharjo, op. cit.
71
Ibid.
69

Universitas Sumatera Utara

28

a. Perjanjian tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan
dalam bentuk undang-undang atau telah diatur dalam pasal-pasal
tersendiri. Misalnya, kontrak production sharing yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
b. Perjanjian tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah.
Misalnya, kontrak tentang waralaba/franchise yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
c. Perjanjian tidak bernama yang belum diatur atau belum ada undangundangnya di Indonesia. Misalnya, kontrak rahim atau surrogate
mother.
Namun, Vollmar mengemukakan perjanjian jenis ketiga yang terletak
antara perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian
campuran. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang tidak hanya diliputi oleh
ajaran umum (tentang perjanjian) sebagaimana yang terdapat dalam titel I, II, dan
IV, karena kekhilafan, titel yang terakhir ini (titel IV) tidak disebut khusus oleh
pasal 1335 NBW, tetapi terdapat hal mana juga ada ketentuan-ketentuan khusus
untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum. Contoh perjanjian campuran
adalah pengusaha sewa rumah penginapan menyewakan kamar-kamar (sewamenyewa), tetapi juga menyediakan makanan (jual-beli), dan menyediakan
pelayanan (perjanjian untuk melakukan jasa-jasa).72
Di sisi lain, perbedaan dari perjanjian nominaat dan perjanjian innominaat
dapat dilihat dari sifatnya, yaitu bahwa perjanjian nominaat bersifat umum,
sedangkan perjanjian innominaat bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam
72

Salim H.S., op. cit.

Universitas Sumatera Utara

29

peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga disini asas lex specialis
derogate legi generale berlaku.73

B. Asas-Asas Hukum Perjanjian di Indonesia
1.

Pengertian dan Fungsi Asas Dalam Hukum
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dapat ditemukan tiga

pengertian asas, yang diuraikan sebagai berikut:74
a. Dasar, alas, pedoman: misalnya, batu yang baik untuk alas rumah.
b. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir
(berpendapat dan sebagainya; misalnya: bertentangan dengan asas-asas
hukum pidana; pada asasnya saya setuju dengan usul saudara).
c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya;
misalnya, membicarakan asas dan tujuan).
Sementara menurut Sudarsono dalam bukunya yang berjudul Kamus
Hukum, asas dapat diartikan sebagai sebuah hukum dasar, atau dasar (sesuatu
yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), atau sebagai sebuah dasar citacita (perkumpulan atau organisasi).75Asas hukum yang dimaksudkan disini ialah
asas yang dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtbeginselen. Asas-asas
hukum tersebut membentuk isi kaidah hukum yang dibentuk atau dirumuskan

73

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 63.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/.
75
Sudarsono, op. cit., hlm. 37.
74

Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Universitas Sumatera Utara

30

oleh pihak-pihak yang berwenang melakukan kegiatan tersebut. Tanpa adanya
asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum akan kehilangan kekuatan mengikatnya.76
Tentang batasan pengertian asas hukum, ada berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh beberapa ahli seperti berikut:77
a. Menurut Bellefroid, asas hukum adalah norma yang dijabarkan dari
hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari
aturan-aturan yang lebih umum tersebut. Asas hukum umum itu lebih
kepada pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.
b. Menurut P. Scholten, asas hukum ialah kecenderungan-kecenderungan
yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum
merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya, sebagai
pembawaan yang umum akan tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
c. Menurut Eikema Hommes, asas hukum bukanlah norma-norma hukum
konkrit, tetapi ia adalah sebagai dasar-dasar pikiran umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Asas hukum adalah dasardasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
d. Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah unsur yang penting dan
pokok dari peraturan hukum. Asas hukum adalah jantungnya peraturan
hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya
perautran hukum atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan hukum.
Satjipto Rahardjo selanjutnya mengatakan bahwa pada akhirnya

76
77

M. L. Tobing, Sekitar Pengantar Hukum, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 18.
J. B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenhallindo, 2001), hlm. 87.

Universitas Sumatera Utara

31

peraturan-peraturan hukum itu harus dapat dikembalikan kepada asasasas tersebut.
Menurut GBHN (TAP MPR No. II/1993) pembaharuan hukum harus
berorientasi pada sebuah sistem hukum, yang merupakan keseluruhan tata tertib
hukum yang didukung oleh sejumlah asas. Asas-asas tersebut satu sama lain
berfungsi sebagai pendukung bagunan hukum, menciptakan harmonisasi,
keseimbangan, mencegah adanya tumpang tindih dan yang terpenting adalah
untuk menciptakan kepastian hukum di dalam keseluruhan tata tertib hukum
tersebut.78
Penggunaan asas hukum sangatlah penting bagi seluruh elemen subjek
hukum, khususnya bagi:79
a. Pengundang-undang, karena asas bertugas memberi garis-garis besar
dalam pembentukan hukum.
b. Hakim, karena asas memberi bahan yang amat berguna dalam
penafsiran undang-undang secara analogis.
c. Ilmu hukum, sebab asas-asas hukum merupakan hasil peningkata
berbagai peraturan-peraturan hukum dari tingkatan-tingkatan yang
rendah.
Dan sama halnya dengan asas hukum pada umumnya, asas dalam hukum
perjanjian maknanya hanya dapat ditentukan setelah kita memahami posisinya

78
79

Mariam Darus Badrulzaman (1), op. cit., hlm. 2.
M. L. Tobing, op. cit., hlm. 19.

Universitas Sumatera Utara

32

dalam kaitan yang terpadu dengan asas-asas hukum perjanjian, yang secara
menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar, tiang, fondasi dari hukum perjanjian.80
2.

Asas-Asas Hukum Perjanjian di Indonesia
Di dalam hukum perjanjian ada di kenal lima asas penting, yaitu asas

kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sun servanda (asas
kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian.81 Kelima asas itu
disajikan berikut ini.
Asas Hukum
Perjanjian
Indonesia

Kebebasan
Berkontrak

Konsensualisme

Pacta Sun
Servanda

Itikad Baik

Kepribadian

Bagan I: Asas Hukum Perjanjian Indonesia

a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa
para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat
atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk
mengatur sendiri isi kontrak tersebut.82 Ada beberapa hal yang
dijaminkan oleh adanya asas kebebasan berkontrak ini yang meliputi,
seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa

80

Ibid.
Salim H. S., op. cit., hlm. 9.
82
Munir Fuady (1), op. cit., hlm. 12.
81

Universitas Sumatera Utara

33

yang akan diperjanjikan, dan bebas pula menentukan bentuk
perjanjiannya.83
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya
paham individualisme yang secara embryonal lahir dalam zaman
Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat
dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de
Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau. Menurut paham
individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang
dikehendakinya, yang dalam hukum perjanjian diwujudkan dengan asas
kebebasan berkontrak.84
Dalam perkembangannya asas ini tidak lagi bersifat mutlak, melainkan
sudah bersifat relatif (kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab),
dan asas ini jugalah yang belakangan menyebabkan hukum perjanjian
bersistem terbuka. Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak yang
bertanggung jawab adalah bahwa setiap perjanjian harus dibuat dengan
tanpa melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.85
Dan melalui cara ini, terjadi yang namanya pemasyarakatan
(vermastchappelijking) hukum perjanjian.86
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat
penting dalam hukum perjanjian, karena asas kebebasan berkontrak
merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam

83

Abdul Rasyid Saliman, op. cit., hlm. 50.
Salim H. S., op. cit., hlm. 9.
85
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 44.
86
Salim H. S., op. cit.
84

Universitas Sumatera Utara

34

menentukan perjanjian. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan
perjanjian yang dijaminkan oleh asas kebebasan berkontrak, yang
pertama adalah bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian
atau tidak, yang kedua adalah bebas menentukan dengan siapa ia akan
melakukan perjanjian, yang ketiga adalah bebas menentukan isi atau
klausul perjanjian, yang keempat adalah bebas menentukan isi
perjanjian, dan yang kelima adalah para pihak memiliki kebebasankebebasan lainnya

yang tidak

bertentangan

dengan

peraturan

perundang-undangan.87
b. Asas Konsensualisme
Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat (Pasal 1320
KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata).88 Dengan kata lain, asas
konsensualisme adalah asas yang mengajarkan bahwa perjanjian itu
telah terjadi jika telah ada konsensus (kesepakatan) antara pihak-pihak
yang mengadakan kontrak.89 Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya
kesepakatan oleh para pihak, maka akan melahirkan hak dan kewajiban
bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah
bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi perjanjian tersebut.90
Pada dasarnya, asas konsensualisme berlaku bukan hanya pada
perjanjian tertulis, karena lazimnya perjanjian itu sudah sah dalam arti
87

Ahmadi Miru (2), Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2017), hlm. 4.
88
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 44.
89
Abdul Rasyid Saliman, op. cit.
90
Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

35

sudah mengikat, apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal
pokok dari perjanjian. Namun, terhadap beberapa jenis perjanjian ada
pengecualian bahwa harus perjanjian yang tertulis yang bersifat sah dan
mengikat atau yang biasa dikenal dengan istilah perjanjian formal,
contohnya yaitu untuk perjanjian penghibahan jika mengenai benda tak
bergerak harus dilakukan dengan akta notaris, perjanjian perdamaian
harus diadakan secara tertulis, dan lain sebagainya. 91
Asas konsensualisme muncul diilhami oleh hukum Romawi dan hukum
Jerman. Namun, dalam hukum Jerman asas konsensualisme tidak
dikenal secara langsung, tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil
(perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata) dan perjanjian
formal (perjanjian yagn telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan
contractusinnominat, yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila
memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.92
c. Asas Pacta Sun Servanda
Istilah “pacta sun servanda” memiliki arti “janji itu mengikat”.93 Setiap
orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjajian
tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang.94 Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338

91

Subekti, op. cit., hlm. 15-16.
Salim H. S., op. cit., hlm. 10.
93
Munir Fuady (1), op. cit., hlm. 12.
94
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 45.
92

Universitas Sumatera Utara

36

ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.95
Asas pacta sun servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja,
dimana dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu
perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan
dengan sumpah, yang bermakna setiap perjanjian yang diadakan oleh
kedua pihak merupakan perbuatan yang sacral dan dikaitkan dengan
unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sun
servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan
dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya, yang membuat
perjanjian menjadi bersifat nudus pactum, yaitu sudah cukup dengan
sepakat saja.96
d. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata bahwa para pihak, yaitu debitur dan kreditur harus
melaksanakan

substansi

kontrak

berdasarkan

kepercayaan

atau

keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.97 Sementara
itu, Arrest H. R. di negeri Belanda memberikan peranan tertinggi
terhadap itikad baik dalam tahap praperjanjian, begitu pentingnya itikad
baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian
antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu
95

Ahmadi Miru, op. cit., hlm. 5.
Salim H. S., op. cit., hlm. 10.
97
Ibid.
96

Universitas Sumatera Utara

37

hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan
khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu
harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar
dari pihak lain.98
Asas itikad baik sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik
nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad baik nisbi, orang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.
Sementara dalam itikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal
sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.99
e. Asas Kepribadian
Asas kepribadian atau personalitas adalah sebuah asas yang
mengajarkan bahwa tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian
kecuali untuk dirinya sendiri, seperti yang dikatakan dalam Pasal 1315
KUH Perdata dan Pasal 1340 KUH Perdata. Sementara terdapat
pengecualian dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang mengatakan bahwa
perjanjian dapat dibuat untuk kepentingan pihak ketiga. 100 Pasal 1317
KUH Perdata tersebut mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat
mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu
syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUH Perdata,
tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh
98

Ahmadi Miru, op. cit., hlm. 5.
Salim H. S., op. cit., hlm. 11.
100
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 45.
99

Universitas Sumatera Utara

38

hak dari padanya. Perbedaan keduanya adalah bahwa Pasal 1317 KUH
Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318
KUH Perdata, ruang lingkupnya yang luas.101
Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional pada tanggal 17-19
Desember 1985, telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan
nasional, yaitu:102
a. Asas kepercayaan, yaitu asas yang mengadung pengertian bahwa setiap
orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi
yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
b. Asas persamaan hukum, yaitu asas yang mengajarkan bahwa subjek
hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan
kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan
antara satu sama lain, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit,
agama ataupun ras.
c. Asas keseimbangan, yaitu asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
d. Asas kepastian hukum, yakni asas yang menjamin bahwa perjanjian
sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum, yang
101
102

Salim H. S., op. cit., hlm. 11
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

39

terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undangundang bagi yang membuatnya.
e. Asas moral, yakni asas yang terikat dalam perjanjian wajar, yaitu suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntu hak baginya
untuk menggugat prestasi dari pihak debitur, yang mana perbuatan
hukum yang dilakukan pada sebuah perikatan menurut asas ini adalah
didasarkan pada moral sebagai panggilan hati nuraninya.
f. Asas kepatutan, yakni asas yang tertuang dalam Pasal 1339 KUH
perdata, yang berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
g. Asas kebiasaan, yaitu asas yang mengajarkan bahwa suatu perjanjian
tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi
juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
h. Asas perlindungan (protection), mengandung pengertian bahwa antara
debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum.

C. Perjanjian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
1.

Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUH Perdata berbunyi:103
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
103

Indonesia (Burgelijk Wetboek), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblaad
Nomor 23 Tahun 1847, Pasal 1320.

Universitas Sumatera Utara

40

4. suatu sebab yang tidak terlarang.”
Mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian dalam pasal 1320 KUH Perdata,
Subekti mengatakan bahwa syarat pertama dan syarat kedua, dinamakan syarat
subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat-syarat objektif,
karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.104
Syarat yang pertama terdapat pada pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus
para pihak. Kesepakatan yang dimaksud adalah persesuaian pernyataan kehendak
antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. 105 Jadi, kesepakatan itu penting
diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Ada beberapa unsur-unsur
kesepakatan, yaituofferte (penawaran) yang merupakan pernyataan penawaran
dari pihak yang menawarkan, dan acceptasi (penerimaan) yang merupakan
pernyataan dari pihak yang menerima penawaran.106
Dengan kata lain, syarat kesepakatan yang memuat adanya kesesuaian
pendapat antara para pihak mengenai hal-hal yang diatur dalam perjanjian
diharuskan dalam sebuah perjanjian agar perjanjian tersebut dianggap sah di mata
hukum.107 Dalam melihat kapan terjadinya sebuah kesepakatan, terdapat beberapa
teori mengenai hal tersebut, yaitu:108

104

Subekti, op. cit., hlm. 17.
Salim H. S., op. cit., hlm. 33.
106
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 47.
107
Munir Fuady (1), op. cit., hlm. 15.
108
Handri Raharjo, op. cit.
105

Universitas Sumatera Utara

41

a. Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak
pihak yang menerima tawaran menyatakan ahwa ia menerima
penawaran itu.
b. Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat
kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima
tawaran.
c. Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan
seharusnya mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima.
d. Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak
yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Kesepakatan merupakan penentu terjadi atau lahirnya sebuah perjanjian.
Akan tetapi, walaupun telah terjadi kesepakatan antara para pihak yang
melahirkan perjanjian, masih terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang
telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang disebut dengan cacat
kehendak sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan
oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut.109
Syarat yang kedua adalah orang yang membuat perjanjian haruslah cakap
bertindak didalam hukum. Artinya orang tersebut memiliki kewenangan untuk
melakukan suatu perbuatan hukum, baik untuk kepentingannya sendiri, maupun
untuk orang lain yang diwakilinya. Pada asasnya setiap subjek hukum cakapuntuk

109

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

42

melakukan perbuatan hukum, kecuali mereka yang belum dewasa dan di bawah
pengampuan.110
Dalam hal ini harus dibedakan kecakapan antara ketidakcakapan karena
belum dewasa dan dibawah pengampuan, dengan orang-orang yang karena
jabatannya didiskualifikasikan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.
Misalnya seorang hakim dilarang untuk melakukan jual beli atas barang yang
sedang dalam sengketa di pengadilan, di mana dia bertindak sebagai hakim. Jika
diskualifikasi itu dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, bukan
dapat dibatalkan. Demikian pula kecakapan dalam pasal 1330 KUH Perdata harus
dibedakan dengan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang
bersifat kepemilikan.111
Kecakapan bertindak adalah kecakapa atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Sementara perbuatan hukum itu sendiri adalah perbuatan yang
akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian
haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang
cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang
sudah dewasa, ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah
kawin. Orang yang tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum
memiliki klasifikasi sebagai berikut:112
a. anak di bawah umur (minderjarigheid),

110

Ahmadi Miru (1), op. cit., hlm. 293.
Ibid.
112
Salim H. S., op. cit., hlm. 34.
111

Universitas Sumatera Utara

43

b. orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
c. istri (pasal 1330 KUH Perdata). Akan tetapi dalam perkembangannya
istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur
dalam pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
Syarat ketiga yang terdapat dalam pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata adalah
adanya suatu pokok persoalan tertentu. Dalam suatu perjanjian, objek perjanjian
haruslah jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat
berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal
tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang,
keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.113
Suatu objek perjanjian dalam KUH Perdata dimuat dalam pasal 1332
sampai dengan pasal 1334. Objek perjanjian dalam pasal tersebut dapat
dikategorikan menjadi:114
a. Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis
dan dapat dihitung.
b. Objek yang dapat diperdagangkan, namun untuk barang-barang yang
dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek
perjanjian.
Dalam hal menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat
dipergunakan berbagai cara seperti menghitung, menimbang, mengukur, atau
menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan dengan jelas

113
114

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 30.
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 56.

Universitas Sumatera Utara

44

apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak. Sama halnya dengan untuk
menentukan tentang hal tidak melakukan sesuatu, juga harus ditentukan dengan
jelas dalam perjanjian.115
Syarat keempat untuk memenuhi sahnya sebuah perjanjian adalah suatu
sebab yang tidak terlarang atau suatu sebab yang halal. Sebab yang dimaksud
adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian
(pasal 1337 KUH Perdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Yang mana apabila syarat ini tidak
dipenuhi, maka suatu perjanjian dapat dikatakan batal demi hukum.116
Menurut Sudikno Mertokusumo, dengan melakukan penafsiran secara a
contrario, maka pengertian sebab yang halal adalah sebab yang tidak
bertentangan atau sesuai dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum. Sementara definisi causa atau sebab dari Wirjono Prodjodikoro mencakup
pengertian sebab yang halal dan sebab yang palsu dalam pasal 1335 KUH
Perdata. Karena suatu perjanjian yang isinya halal mungkin saja tujuannya adalah
untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang.117
2.

Prestasi dan Wanprestasi
Berdasarkan pasal 1234 KUH Perdata yang mengatakan “Tiap-tiap

perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak
berbuat sesuatu.” Dengan demikian, suatu perikatan melahirkan kewajiban yang
harus dilakukan oleh si berutang dan melahirkan hak kepada si berpiutang untuk

115

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 30.
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 57-58.
117
Ahmadi Miru (1), op. cit., hlm. 300.

116

Universitas Sumatera Utara

45

menuntut pelaksanaan kewajiban tersebut. Kewajiban yang dilakukan oleh si
berutang inilah yang disebut dengan prestasi. Prestasi dalam perjanjian yang
bersifat sepihak mengakibatkan prestasi yang merupakan kewajiban yang hanya
ada pada satu pihak tanpa diperlukan kewajiban pihak yang lainnya. Dalam
perjanjian yang bersifat timbal balik, maka prestasi merupakan kewajiban yang
harus saling dipenuhi oleh para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut
kepada satu pihak lainnya.118
Dengan kata lain, prestasi merupakan kewajiban yang perlu dipenuhi para
pihak dalam suatu perjanjian. Dan prestasi sebagai bentuk pelaksanaan dari
sebuah perjanjian dapat berbentuk benda, tenaga atau keahlian dan tidak berbuat
sesuatu. Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya.
Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan
kenikmatannya saja, sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus
dilakukan oleh pihak-pihak yang “menjual” tenaga atau keahliannya. Adapun
prestasi yang tidak berbuat seuatu adalah menuntut sikap pasif salah satu pihak
atau para pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang
diperjanjikan.119
Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan
dalam perjanjian, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh
kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang. Oleh karena itu, prestasi yang harus
dilakukan oleh para pihak telah ditentukan dalam perjanjian atau diharuskan oleh

118
119

Ibid., hlm. 303.
Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 68-69.

Universitas Sumatera Utara

46

kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang, tidak dilakukannya prestasi tersebut
berarti telah terjadi ingkar janji atau disebut wanprestasi.120
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi
buruk. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitor dapat berupa empat
macam, yaitu tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya,
melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan,
melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlampat, dan melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 121
Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenalan sanksi berupa ganti
rugi, pembatalan perjanjian, peralihak risiko, maupun membayar biaya perkara.
Sebagai contoh seorang debitor dituduh melakukan perbuatan melawan hukum,
lalai atau secara sengaja tidak melaksanakan prestasi sesuai yang telah disepakati
dalam perjanjian. Jika terbukti, maka debitor harus mengganti kerugian yang
meliputi ganti rugi, bunga dan biaya perkaranya. Namun, debitor bisa saja
membela diri dengan alasan keadaan memaksa (overmacht/force majeure),
kelalaian kreditor sendiri atau kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi. Untuk hal yang demikian debitor tidak harus mengganti kerugian. Oleh
karena itu, sebaiknya dalam setiap perjanjian harus dicantumkan dengan jelas
mengenai risiko, wanprestasi dan keadaan memaksa.122

120

Ibid., hlm. 70.
Subekti, op. cit., hlm. 45.
122
Abdul Rasyid Saliman, op. cit., hlm. 52-53.
121

Universitas Sumatera Utara

47

3.

Penafsiran Perjanjian
Penafsiran perjanjian diatur di dalam pasal 1342 KUH Perdata sampai

dengan pasal 1351 KUH Perdata. Penafsiran perjanjian merupakan salah satu
metode penemuan hukum (cara untuk menemukan hukumnya). Penafsiran
perjanjian diperlukan karena dalam sebuah perjanjian sering ditemui kata-kata
yang tidak jelas atau perjanjian yang hanya mengatur mengenai pokok-pokok
permasalahannya saja, sehingga diperlukan suatu bentuk penafsiran untuk
mengetahui maksud yang ingin dicapai oleh semua pihak dalam membuat
perjanjian.123
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa isi perjanjian dibedakan
menjadi dua macam, yaitu kata-katanya jelas dan kata-katanya tidak jelas,
sehingga menimbulkan bermacam-macam penafsiran. Di dalam pasal 1342 KUH
Perdata disebutkan bahwa apabila kata-kata dalam suatu perjanjian tidak jelas,
tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Ini
berarti bahwa para pihak haruslah melaksanakan isi perjanjian tersebut dengan
itikad baik. Apabila kata-katanya tidak jelas, maka dapat dilakukan penafsiran
terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang memperhatikan beberapa
aspek berikut ini:124
a. Jika kata-kata yang terdapat dalam perjanjian memberikan berbagai
penafsiran maka harus diselidiki maksud para pihak yang membuat
perjanjian (pasal 1343 KUH Perdata).

123
124

Handri Raharjo, op. cit., hlm. 59.
Salim H. S., op. cit., hlm. 44-45.

Universitas Sumatera Utara

48

b. Jika suatu janji memberikan berbagai penafsiran maka harus diselidiki
pengertian yang memungkinkan perjanjian itu dapat dilaksanakan
(pasal 1344 KUH Perdata).
c. Jika kata-kata dalam perjanjian diberikan dua macam pengertian maka
harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian
(pasal 1345 KUH Perdata). Apabila terjadi keragu-raguan, maka harus
ditafsirkan menurut kebiasaan dalam negeri atau di tempat dibuatnya
perjanjian tersebut (pasal 1346 KUH Perdata).
d. Jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang
yang meminta diperjanjikan sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang
yang mengikatkan dirinya untuk itu (pasal 1349 KUH Perdata).
Berdasarkan hal tersebut, penafsiran perjanjian dalam hukum kontrak
memiliki tempat yang sangat penting untuk diperhatikan.Adapun cara penafsiran
perjanjian menurut Ahmadi Miru adalah sebagai berikut:125
a. Penafsiran atas rumusan perjanjian tersebut disesuaikan dengan maksud
para pihak, jadi walaupun kalimat dalam perjanjian tersebut dirumuskan
tidak begitu jelasm namun maksud dari para pihak ketika merumuskan
perjanjian yang dijadikan landasan dalam penafsiran kontrak tersebut.
b. Penafsiran perjanjian tersebut diarahkan kepada kemungkinan dapat
terlaksananya perjanjian tersebut. Jadi kalau suatu perjanjian bermakna
ganda, maka harus ditafsirkan kea rah bagaimana perjanjian itu dapat

125

Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 70-74.

Universitas Sumatera Utara

49

terlaksana daripada kalau ditafsirkan kepada kemungkinan penafsiran
lainnya yang menyebabkan kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan.
c. Penafsiran perjanjian tersebut kearah yang paling selaras dengan sifat
perjanjian.
d. Penafsiran perjanjian diarahkan kepada kebiasaan setempat. Jadi kalau
suatu kalimat yang tidak jelas bahkan tidak diatur secara tegas, harus
ditafsirkan sesuai dengan kebiasaan setempat.
e. Penafsiran diarahkan pada hal-hal yang selamanya dicantumkan dalam
perjanjian, walaupun hal itu tidak secara tegas diperjanjikan.
f. Penafsiran diarahkan kepada suatu kesatuan perjanjian atau setiap
klausul perjanjian harus ditafsirkan dalam rangka kontrak seluruhnya.
Maksudnya, dalam suatu perjanjian tidak dapat dibagi-bagi cara
penafsiran antara satu kata dengan kata lainnya, melainkan harus
ditafsirkan secara keseluruhan dalam suatu keutuhan perjanjian.
g. Penafsiran diarahkan kepada kerugian bagi orang yang meminta
ditetapkannya suatu hak dan atas keuntungan orang yang mengikatkan
dirinya. Maksudnya, kalau dalam perjanjian itu terdapat keragu-raguan
tentang maksud perjanjian, perjanjian itu diarahkan untuk mengurangi
hak pihak yang satu yang berarti pula mengurangi kewajiban pihak
lainnya.
h. Penafsiran diarahkan untuk membatasi suatu kontrak hanya terhadap
hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh para pihak pada waktu

Universitas Sumatera Utara

50

membuat perjanjian, walaupun kata-kata dalam perjanjian tersebut
cakupannya lebih luas dari maksud para pihak tersebut.
4.

Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak

yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak debitur dan kreditur tentang sesuatu hal.
Sesuatu hal disini bisa berarti segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh kedua
pihak, bisa jual beli, utang piutang, sewa-menyewa, dan lain-lain.126
Dalam KUH Perdata tidak diatur secara khusus tentang berakhirnya suatu
perjanjian, tetapi yang diatur dalam bab IV buku III KUH Perdata hanya hapusnya
perikatan-perikatan. walaupun demikian, ketentuan tentang hapusnya perikatan
tersebut juga merupakan ketentuan tentang hapusnya perjanjian karena perikatan
yang dimaksud dalam bab IV buku III KUH Perdata tersebut adalah perikatan
pada umumnya.127
Mengenai hapusnya sebuah perjanjian, dalam KUH Perdata diatur dalam
pasal 1381, yang meliputi:
a. Pembayaran
Mengenai pembayaran diatur dalam pasal 1382 KUH Perdata sampai
dengan pasal 1403 KUH Perdata. Pembayaran yang dimaksud disini
adalah pelunasan utang (uang, jasa, barang) atau tindakan pemenuhan
prestasi oleh debitor kepada kreditor.128 Pembayaran yang terjadi disini
haruslah pembayaran yang dilakukan secara sukarela, dalam arti bahwa
126

Salim H. S., op. cit., hlm. 163.
Ahmadi Miru (2), op. cit., hlm. 87.
128
Handri Raharjo, op. cit., hlm. 96.

127

Universitas Sumatera Utara

51

pembayaran bukan saja dengan bentuk pembeli yang membayar harga
pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan “membayar” jika ia
menyerahkan atau “melever” barang yang dijualnya secara sukarela. 129
Namun, bila dilihat ke dalam lingkup yang lebih sempit, pembayaran
yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah pembayaran yang
dipergunakan dalam percakapan sehari-hari yang harus dilakukan
dengan uang. Pembayaran yang dimaksudkan disini adalah segala
bentuk pemenuhan prestasi oleh salah satu pihak yang terikat dalam
perjanjian.130
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan
(konsinyasi)
Yang disebut dengan berakhirnya sebuah perjanjian karena konsinyasi
adalah apabila se