Aspek Hukum Kontrak Karya Dalam Investasi Pertambangan Umum

(1)

ASPEK HUKUM KONTRAK KARYA DALAM INVESTASI PERTAMBANGAN UMUM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh: DEWI 070200001

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ASPEK HUKUM KONTRAK KARYA DALAM INVESTASI PERTAMBANGAN UMUM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH DEWI 070200001

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 (Windha, S.H., M.H.)

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum) (Prof.

NIP. 195905111986011001 NIP. 197302202002121001 Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tak pernah meninggalkan, mengecewakan, dan yang telah memberikan pengharapan dan semangat serta kekuatan yang baru ketika hampir putus asa sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulisan skripsi yang berjudul: ASPEK HUKUM KONTRAK KARYA DALAM INVESTASI PERTAMBANGAN UMUM adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis sadar akan ketidaksempurnaan hasil penulisan skripsi ini sehingga berharap agar semua pihak dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, Ang Tjin Khue dan Tjoe Mie Tjhin, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sehingga penulis bisa memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Satu ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada adik tercinta penulis, Deny, yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini. Mudah-mudahan penulis dapat membahagiakan dan membanggakan keluarga tercinta.

Tak lupa juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(4)

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing I. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat berarti atas penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

6. Ibu Windha, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, dan Dosen Hukum Ekonomi, yang selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat berarti atas penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi dan Dosen Hukum Ekonomi. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan atas penyelesaian skripsi ini.


(5)

8. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum selaku Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan selama mengikuti perkuliahan di Hukum Ekonomi. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat berarti atas penyelesaian skripsi ini. Bagi penulis, beliau adalah figur yang tekun dalam mendidik mahasiswa. Penulis merasa salut atas dedikasi beliau dalam mengasuh beberapa mata kuliah hukum ekonomi yang pernah penulis ikuti. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran, bimbingan, dan duku ngan yang sangat berarti dan bermanfaat hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

9. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H., selaku Guru Besar dan Dosen Hukum Ekonomi.

10. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum, selaku Dosen Hukum Ekonomi. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat berarti atas penyelesaian skripsi ini.

11. Ibu Dr. Keizerina Devi, S.H., M. Hum selaku Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah diberikan selama mengikuti perkuliahan di hukum ekonomi.

12. Bapak Azwar Mahyuzar, S.H., selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dalam kegiatan akademik dan motivasi sejak pertama kali menjadi mahasiswa baru sampai selesai masa perkuliahan. 13. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas segala ilmu


(6)

14. Seluruh staff pegawai Fakultas Hukum USU.

15. William, teman spesial dan sekaligus sahabat terbaik penulis, yang telah memberikan banyak dukungan bantuan serta motivasi selama penulis mengikuti perkuliahan.

16. Teman-teman stambuk 2007,yang merupakan teman-teman akrab penulis, Selly Herwina, Sara Yosephina, Intan Wulandari Nasution, Siti Uthari, July Marlina Suteja, Denny Salim, Hendry, Edyson, Dominika, Evelyn, Evelyne Theresia, Sylvia Sumbogo, Melissa Yanwar, Edy Mayor, Michael, Felik, Hendrik Willam, Harumi Sonia, Amanda, Mellisa, Christopher Iskandar, Hendrik Tandjaya serta yang lainnya yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu.

17. Teman-teman stambuk 2010, Liliana Tanadi dan Erlina, serta yang lainnya yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu.

18. Senior-senior hukum, Sugondo, Robin Viriyaputra, Dalton, Wilson, Felicia, Hendrik, Susanto, Lodewik Loka, Fandy, serta yang lainnya yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.

19. Teman-teman masa SMA penulis, Sylvia, Pratiwi Yapputri, Apriyanto, Wahyu Chandra, Aileen Iryanti, Wiwi Meiliaty, Shanty Victor, Michelle Christina, Rudy Chandra, Mas Iwan, Bryan Tjiupek, Felix W.P., Muliawan, Felix Tanuwijaya, Sovia, Henny Kartika, Enny, Richard Salim, serta yang lainnya yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu.

20. Sanak saudara penulis, Tjoe Mei Lie, Alex Leo, Amir Arifin, Ivana Leo, serta yang lainnya yang tidak bisa penulis ucapkan satu persatu.


(7)

Salam Hormat,


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI vi

ABSTRAKSI vii

BAB Ι PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 7

D. Keaslian Penulisan 9

E. Tinjauan Kepustakaan 9

F. Metode Penulisan 12

G. Sistematika Penulisan 15

BAB ΙΙ PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA A. Pengertian Kegiatan Usaha Pertambangan 18

B. Kegiatan Usaha Pertambangan Umum di Indonesia 21

C. Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Umum 28

D. Dampak Pembangunan di Bidang Pertambangan Umum 34

BAB ΙΙΙ PROSEDUR TERJADINYA KONTRAK KARYA A. Istilah dan Pengertian Kontrak Karya 37

B. Sejarah Perkembangan Kontrak Karya 41

C. Landasan Hukum Kontrak Karya 46

D. Prosedur dan Syarat-syarat Permohonan Kontrak Karya 48

E. Bentuk dan Substansi Kontrak Karya 57

F. Somasi dalam Kontrak Karya 64

BAB ΙV PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KARYA DI


(9)

A. Bentuk Penyelesaian Sengketa 67 B. Penyelesaian Sengketa terhadap Pelanggaran Kontrak Karya 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 80 B. Saran 81

DAFTAR PUSTAKA 84


(10)

Aspek Hukum Kontrak Karya dalam Investasi Pertambangan Umum

ABSTRAKSI

Pertambangan umum merupakan salah satu bidang penanaman modal (investasi) yang sangat berperan penting dalam kelangsungan pertumbuhan perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pertambangan umum diartikan sebagai pertambangan bahan galian di luar minyak dan gas bumi. Salah satu sistem kontrak yang dipergunakan dalam pertambangan umum adalah kontrak karya. Oleh karena itu, kontrak karya yang dibuat dalam investasi pertambangan umum harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat memberi perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan kegiatan usaha pertambangan umum di Indonesia, bagaimana prosedur terjadinya kontrak karya, dan bagaimana penyelesaian sengketa dalam bidang pertambangan umum.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, makalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.

Pengaturan mengenai kegiatan usaha pertambangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Penanaman modal asing di bidang pertambangan umum yang dilaksanakan dalam bentuk kontrak karya diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Terjadinya kontrak karya apabila adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk suatu perjanjian tertulis antara Pemerintah Indonesia dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik untuk melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi di bidang pertambangan umum dalam jangka waktu tertentu. Penyelesaian sengketa dalam bidang pertambangan umum lebih sering dilakukan dalam bentuk konsiliasi dan arbitrase.

Pemerintah Republik Indonesia perlu menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.


(11)

Aspek Hukum Kontrak Karya dalam Investasi Pertambangan Umum

ABSTRAKSI

Pertambangan umum merupakan salah satu bidang penanaman modal (investasi) yang sangat berperan penting dalam kelangsungan pertumbuhan perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Pertambangan umum diartikan sebagai pertambangan bahan galian di luar minyak dan gas bumi. Salah satu sistem kontrak yang dipergunakan dalam pertambangan umum adalah kontrak karya. Oleh karena itu, kontrak karya yang dibuat dalam investasi pertambangan umum harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat memberi perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak. Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan kegiatan usaha pertambangan umum di Indonesia, bagaimana prosedur terjadinya kontrak karya, dan bagaimana penyelesaian sengketa dalam bidang pertambangan umum.

Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, majalah, makalah, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan maksud dan tujuan dari penyusunan karya ilmiah ini.

Pengaturan mengenai kegiatan usaha pertambangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Penanaman modal asing di bidang pertambangan umum yang dilaksanakan dalam bentuk kontrak karya diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Terjadinya kontrak karya apabila adanya kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk suatu perjanjian tertulis antara Pemerintah Indonesia dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik untuk melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi di bidang pertambangan umum dalam jangka waktu tertentu. Penyelesaian sengketa dalam bidang pertambangan umum lebih sering dilakukan dalam bentuk konsiliasi dan arbitrase.

Pemerintah Republik Indonesia perlu menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjelang era liberalisasi perdagangan dan investasi, isu penanaman modal (investasi) asing mulai ramai dibicarakan. Hal ini mengingat bahwa untuk kelangsungan pembangunan nasional sangat dibutuhkan banyak dana. Dana yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi tersebut tidak dapat dicukupi dari investasi pemerintah dan swasta nasional saja. Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan dana dari dalam negeri tersebut dibutuhkan modal dari luar negeri atau modal asing.

Penanaman modal asing (PMA) terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk di Indonesia adalah diperuntukkan bagi pengembangan usaha dan menggali potensi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan memanfaatkan potensi-potensi modal, skill atau managerial, dan teknologi yang dibawa serta para investor asing untuk akselerasi pembangunan ekonomi negara berkembang sepanjang tidak mengakibatkan ketergantungan yang terus-menerus serta tidak merugikan kepentingan nasional.1

Jujur harus diakui bahwa sampai saat ini, Indonesia masih memerlukan adanya transfer of technology dan transfer of skill yang hanya dapat dicapai melalui masuknya modal asing ke Indonesia. Keadaan ini diakui sepenuhnya oleh

1 Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia dalam Menghadapi Era


(13)

pemerintah, sehingga dalam TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) memberikan arahan bahwa pembangunan nasional harus dilaksanakan berdasarkan asas kemandirian, yaitu diusahakan dari kemampuan sendiri. Sumber dana dari luar negeri yang masih diperlukan merupakan pelengkap dengan prinsip peningkatan kemandirian dalam pelaksananaan pembangunan dan mencegah keterikatan serta campur tangan asing.2

Dengan diizinkannya modal asing masuk ke Indonesia, maka selain bersifat komplementer terhadap faktor-faktor produksi dalam negeri, penanaman modal asing harus diarahkan menurut bidang-bidang yang telah ditetapkan prioritasnya oleh pemerintah. Prioritas yang telah ditetapkan itu antara lain untuk sektor-sektor:3

1. Usaha yang membutuhkan modal swasta yang sangat besar dan/atau teknologi tinggi;

2. Usaha-usaha yang mengelola bahan baku menjadi bahan jadi; 3. Usaha pendirian industri-industri besar;

4. Usaha yang sifatnya menciptakan lapangan kerja; 5. Usaha yang menunjang peningkatan penerimaan negara; 6. Usaha yang menjunjung penghematan devisa;

7. Usaha yang menunjang penyebaran pembangunan daerah.

Untuk menunjang penanaman modal di Indonesia maka pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang baik. Penanaman modal merupakan instrumen

2 Jusri Djamal, Aspek-Aspek Hukum Masalah Penanaman Modal, (Jakarta: BKPM,

1981), hal. 2.

3 Sumantoro, Aspek-aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia, (Bandung: Bina


(14)

penting bagi pembangunan nasional dan diharapkan dapat menciptakan kepastian berusaha bagi para penanam modal dalam dan luar negeri untuk meningkatkan dan melanjutkan komitmennya berinvestasi di Indonesia.4

Pertambangan merupakan salah satu bidang dalam investasi yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setelah Amandemen yang isinya menyebutkan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Partisipasi masyarakat dan aparatur hukum sangat diperlukan dalam menarik investor yaitu dengan cara menciptakan iklim yang kondusif untuk menanamkan modalnya.

5

Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang) yang meliputi emas, perak, tembaga, minyak, gas bumi, batubara, dan lain-lain. Bahan galian tersebut dikuasai oleh Negara. Menurut Bagir Manan, pengertian dikuasai oleh Negara atau HPN (Hak Penguasaan Negara) adalah sebagai berikut:

6

1. penguasaan semacam pemilikan Negara, artinya Negara melalui Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak, wewenang atasnya termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya;

2. mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan;

3. penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan Negara untuk usaha-usaha tertentu.

Asing, diakses tanggal 2 Februari 2011.

5 Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal.18.


(15)

Dalam pengusahaan bahan galian (tambang), pemerintah dapat melaksanakan sendiri dan/atau menunjuk kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah. Apabila usaha petambangan dilaksanakan oleh kontraktor, maka kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya penguasaan pertambangan batubara, dan kontrak production sharing.7

Dalam bidang pertambangan umum, seperti pertambangan emas, tembaga, dan perak, sistem kontrak yang digunakan adalah kontrak karya. Menurut sejarahnya, pada zaman Pemerintah Hindia Belanda, sistem yang digunakan untuk pengelolaan bahan galian emas, perak, dan tembaga adalah sistem konsesi. Sistem konsesi merupakan sistem di mana di dalam pengelolaan pertambangan umum, kepada perusahaan pertambangan tidak hanya diberikan hak menguasai hak atas tanah. Jadi, hak yang dimililki oleh perusahaan pertambangan adalah kuasa pertambangan dan hak atas tanah. Sementara itu, sistem kontrak karya mulai diperkenalkan pada tahun 1967, yaitu dimulai dengan diundangkannya Undang RI Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing jo. Undang RI nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan jo. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sistem kontak karya mulai diterapkan di

7 H. Salim HS., Hukum Pertambangan di Indonesia, Revisi III, (Jakarta: PT Raja


(16)

Indonesia, yaitu sejak ditandatanganinya kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia sampai dengan saat ini.8

Sebelum berlakunya otonomi daerah, pejabat yang berwenang memberikan izin kuasa pertambangan, izin kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan adalah pemerintah pusat, yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dengan berlakunya otonomi daerah, kewenangan dalam pemberian izin tidak hanya menjadi kewenangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral semata-mata, tetapi kini telah menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Pejabat yang berwenang menerbitkan kuasa pertambangan, menandatangani kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.9

Bupati/walikota berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa pertambangan, menandatangani kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan, kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan terletak dalam wilayah kabupaten/kota dan/atau di wilayah laut sampai 4 mil laut. Gubernur berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa pertambangan, menandatangani kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan, kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan terletak dalam beberapa wilayah kabupaten/kota dan tidak dilakukan kerja sama antar kabupaten/kota

8 Ibid., hal. 2. 9 Ibid., hal. 3.


(17)

maupun antara kabupaten/kota dengan provinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak antara 4 sampai dengan 12 mil laut. Menteri berwenang menerbitkan surat keputusan kuasa pertambangan, menandatangani kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan apabila wilayah kuasa pertambangan, kontrak karya, dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan terletak dalam beberapa wilayah provinsi dan tidak dilakukan kerja sama antarprovinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak di luar 12 mil laut.10

Keberadaan perusahaan tambang di Indonesia kini banyak dipersoalkan oleh berbagai kalangan. Hal tersebut disebabkan keberadaan perusahaan tambang itu telah menimbulkan dampak negatif di dalam pengusahaan bahan galian. Dampak negatif dari keberadaan perusahaan tambang meliputi:11

1. rusaknya hutan yang berada di daerah lingkar tambang; 2. tercemarnya laut;

3. terjangkitnya penyakit bagi masyarakat yang bermukim di daerah lingkar tambang;

4. konflik antara masyarakat lingkar tambang dengan perusahaan tambang. Walaupun keberadaan perusahaan tambang menimbulkan dampak negatif, namun keberadaan perusahaan tambang juga menimbulkan dampak positif dalam pembangunan nasional. Dampak positif dari keberadaan perusahaan tambang adalah:12

1. meningkatnya devisa negara;

2. meningkatkan pendapatan asli daerah;

10 Ibid., hal. 3-4. 11 Ibid., hal. 5-6. 12 Ibid., hal. 6.


(18)

3. menampung tenaga kerja;

4. meningkatnya kondisi sosial ekonomi, kesehatan, dan budaya masyarakat yang bermukim di lingkar tambang.

Oleh karena itu, kontrak karya yang dibuat dalam investasi pertambangan umum harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat memberi perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan baik kepada para pihak yang berkontrak, pemerintah, maupun masyarakat dalam rangka memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.13

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka penulis membuat suatu batasan perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana pengaturan kegiatan usaha pertambangan umum di Indonesia? 2. Bagaimana prosedur terjadinya kontrak karya?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam bidang pertambangan umum?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

13 Menimbang huruf (a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan


(19)

Adapun yang menjadi tujuan dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul “Aspek Hukum Kontrak Karya dalam Investasi Pertambangan Umum”, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengaturan kegiatan usaha pertambangan umum di Indonesia.

2. Untuk mengetahui konsep teoritis terjadinya kontrak karya.

3. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa dalam bidang pertambangan umum.

2. Manfaat Penulisan 1.1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat akademis dari penelitian ini adalah memperkaya serta menambah wawasan ilmiah dalam khasanah ilmu hukum khususnya hukum investasi dalam pertambangan umum. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian baru dalam bidang hukum investasi sehingga ilmu hukum investasi semakin berkembang dari masa ke masa.

1.2. Manfaat Praktis

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap investor asing yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia.

2. Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap investor asing maupun investor dalam negeri yang ingin melakukan kerjasama dalam pengusahaan mineral.


(20)

3. Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap akademisi dan masyarakat untuk lebih mengerti dan memahami akan kontrak karya dalam investasi pertambangan umum.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, skripsi dengan judul “ASPEK HUKUM KONTRAK KARYA DALAM INVESTASI PERTAMBANGAN UMUM” belum pernah ditulis sebelumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah asli dari hasil tulisan penulis.

Penulis menyusun skripsi ini melalui referensi buku-buku dan informasi dari media cetak maupun media elektronik. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan terutama secara ilmiah ataupun secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pertambangan Umum

Meskipun pertambangan umum merupakan istilah yang sudah sering digunakan dalam bidang pertambangan, namun pengertian pertambangan umum belum dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.


(21)

Defenisi pertambangan umum yang sebagaimana diuraikan oleh H. Salim HS. adalah pertambangan bahan galian di luar minyak dan gas bumi yang digolongkan menjadi lima golongan, yaitu:14

a. pertambangan mineral radioaktif; b. pertambangan mineral logam; c. pertambangan mineral nonlogam;

d. pertambangan batubara, gambut, dan bitumen padat; e. pertambangan panas bumi.

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, pertambangan umum adalah pertambangan bahan galian selain minyak bumi, gas bumi, dan radioaktif.15

Sedangkan, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Umum, pertambangan umum diartikan sebagai pertambangan bahan galian di luar minyak dan gas bumi.16

2. Kontrak Karya

Kontrak (contract, contracten) disebut juga perjanjian. Namun menurut Subekti, pengertian kontrak lebih sempit dari perjanjian karena kontrak mensyaratkan bentuknya selalu tertulis, sedangkan perjanjian bentuknya selain tertulis dapat dilakukan secara lisan. Oleh karena itu, hukum kontrak merupakan spesies dari hukum perjanjian.17

Dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya

14

H. Salim HS., Op.cit., hal. 10.

15 Pasal 1 huruf (d) Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 4 Tahun 2003 tentang

Pengelolaan Pertambangan Umum

16 Rancangan Undang-Undang tentang Pertambangan Umum. 17 Abrar Saleng, Op.cit., hal. 145.


(22)

Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal asing, kontrak karya adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif, dan batubara.18

Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara telah ditentukan pengertian kontrak karya. Kontrak karya adalah suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman kepada Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.19

Defenisi lain kontrak karya menurut Abrar Saleng adalah kontrak antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahaan Penanaman Modal Asing (berbentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia) yang memuat persyaratan teknis, finansial, dan persyaratan lain untuk melakukan usaha

18 Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614

Tahun 2004 tentang Pedoman Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara dalam Rangka Penanaman Modal asing.

19

Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa

Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara telah ditentukan pengertian kontrak karya.


(23)

pertambangan bahan galian di Indonesia, kecuali minyak dan gas bumi, batubara dan uranium.20

3. Penyelesaian Sengketa

Istilah penyelesaian sengketa berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu dispute resolution. Richard L. Abel mengartikan sengketa (dispute) adalah sebagai pernyataan publik mengenai tuntutan yang tidak selaras (inconsistent claim) terhadap sesuatu yang bernilai.21

Defenisi lain dikemukakan oleh Nader dan Todd sebagai keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan di muka atau dengan melibatkan pihak ketiga. Selanjutnya mereka mengemukakan istilah prakonflik dan konflik. Prakonflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. Konflik itu sendiri adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut.22

Steven Rosenberg mengartikan konflik sebagai perilaku bersaing antara dua orang atau kelompok. Konflik terjadi ketika dua orang atau lebih berlomba untuk mencapai tujuan yang sama atau memperoleh sumber yang jumlahnya terbatas.23

F. Metode Penelitian

20

Abrar Saleng, Op.cit., hal. 146.

21

M. Lawrence Friedman, American Law Introduction, (Jakarta: Tata Nusa, 2001), diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, tanpa halaman.

22 Valerie J.L. Kriekhoff, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum), (Jakarta:

Yayasan Obor, 2001), tanpa halaman.


(24)

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi :

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif 24. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk meneliti hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.25

2. Bahan Hukum

Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kontrak karya dalam pertambangan umum. Penelitian ini bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pertambangan.

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari :26

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 4 Tahun

24 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 9-10. 25 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, “Metode Penelitian dan Penulisan Hukum” sebagai

bahan ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 54.


(25)

2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal asing, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat para sarjana, makalah, artikel dari surat kabar, majalah, internet, dan data-data lain yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini;

c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni, kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.


(26)

Untuk memperoleh kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah studi kepustakaan (library research) yang merupakan pengumpulan data-data yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini untuk digunakan sebagai dasar ilmiah dalam pembahasan materi.

4. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.27 Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini mempunyai kaitan dan hubungan satu sama lainnya. Karena pada dasarnya isi dari penulisan ini adalah merupakan satu kesatuan. Gambaran isi skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab dan beberapa sub bab sebagai berikut:


(27)

BAB I PENDAHULUAN

Bagian ini merupakan pendahuluan dari konsep materi yang akan dibahas. Bagian pendahuluan ini terdiri dari latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN KEGIATAN USAHA

PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA

Pada bab ini digambarkan secara umum tentang pengertian kegiatan usaha pertambangan, kegiatan usaha pertambangan umum di Indonesia, Kewenangan pengelolaan pertambangan umum, dan dampak pembangunan di bidang pertambangan umum.

BAB III KONSEP TEORETIS TERJADINYA KONTRAK

KARYA

Pada bab ini diuraikan mengenai istilah dan pengertian kontrak karya, sejarah perkembangan kontrak karya, landasan hukum kontrak karya, prosedur dan syarat-syarat permohonan kontrak karya, bentuk dan substansi kontrak karya, dan somasi dalam kontrak karya.

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK KARYA


(28)

Pada bab ini diuraikan secara mendalam tentang bentuk

penyelesaian sengketa, dan penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran kontrak karya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bagian kesimpulan dan saran dalam skripsi ini merupakan bab terakhir, dimana dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini.


(29)

BAB II

PENGATURAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DI INDONESIA

A. Pengertian Kegiatan Usaha Pertambangan

Usaha pertambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tambang (bahan galian) yang terdapat dalam bumi Indonesia.28

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

29

Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, kostruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang.30

28

H. Salim HS., Op.cit., hal. 53.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 6 (enam) macam yaitu:

29 Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batu bara.

30 Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


(30)

1. Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi;

2. Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup;

3. Operasi produksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan;

4. Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan;

5. Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya;

6. Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan;

7. Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan;

8. Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara.


(31)

Usaha pertambangan ini dikelompokkan atas:31 1. Pertambangan mineral; dan

2. Pertambangan batubara.

Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.32 Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.33 Pertambangan mineral digolongkan atas:34

1. Pertambangan mineral radio aktif; 2. Pertambangan mineral logam; 3. Pertambangan mineral bukan logam; 4. Pertambangan batuan.

Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. 35 Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.36

31 Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara.

32

Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

33 Pasal 1 butir (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara.

34

Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

35 Pasal 1 butir (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara.

36 Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


(32)

Di dalam bidang pertambangan dikenal 2 (dua) jenis kegiatan pertambangan, yakni:37

a. Tambang Terbuka (Surface Mining).

Pemilihan sistem penambangan atau tambang terbuka biasa diterapkan untuk bahan galian yang keterdapatannya relatif dekat dengan permukaan bumi.

b. Tambang Bawah Tanah (Underground Mining).

Tambang bawah tanah mengacu pada metode pengambilan bahan mineral yang dilakukan dengan membuat terowongan menuju lokasi mineral tersebut karena letak mineral yang umumnya berada jauh di bawah tanah.

B. Kegiatan Usaha Pertambangan Umum di Indonesia 1. Tahapan Penyelidikan Bahan Galian

Di dalam Pasal 1 butir 6 Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah diuraikan pengertian usaha pertambangan. Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa tahapan penyelidikan sebuah studi eksplorasi bahan galian menjadi suatu keharusan yang harus dilalui. Tahapan penyelidikan tersebut dilakukan guna menghindari gagalnya sebuah kegiatan eksploitasi, sehingga biaya penyelidikan dapat dikendalikan secara proporsional. Artinya, untuk kebanyakan bahan galian, sangat tidak mungkin kegiatan eksplorasi dilakukan secara “ujug-ujug”, yaitu tidak mungkin setiap satu kilometer persegi dilakukan pemboran rinci tanpa acuan, arahan, dan petunjuk data-data geologis


(33)

yang menuntunnya.38 Sebab kegiatan pemboran dalam eksplorasi secara teknis telah termasuk pada tataran eksploitasi detail, selain itu dalam melaksanakan kegiatan pemboran, secara geologis, deposit yang akan dibor terlebih dahulu harus telah diketahui dengan jelas arah dan kemiringannya.39

Selanjutnya, tahapan penyelidikan endapan bahan galian apabila mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI), dimulai dari survei tinjau atau peninjauan wilayah yang menjadi sasaran samapai kegiatan eksplorasi bersifat detail atau rinci. Secara teknis, yang membedakan kegiatan penyelidikan survei tinjau dengan eksplorasi detail terletak pada:40

1. metode penyelidikan/penelitian yang digunakan; 2. jenis percontohan;

3. tingkat kerapatan contoh yang diambil.

Adapun tahapan kegiatan eksplorasi bahan galian adalah:41 1. Studi pendahuluan.

Studi pendahuluan merupakan kegiatan persiapan sebelum melakukan penyelidikan langsung di lapangan.

2. Survei tinjau.

Survei tinjau merupakan kegiatan eksplorasi di lapangan, sifatnya hanya peninjauan sepintas pada daerah-daerah yang sebelumnya diperkirakan

38 Sujono, Maman Surachman, dan Erwin Daranin, Prospeksi dan Eksplorasi dalam

Penambangan dan Pengolahan Emas di Indonesia, (Bandung: Pusat Teknologi Mineral dan

Batubara, 2004), hal. 128.

39 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum,

(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. 89. 40 Ibid.


(34)

menarik dari sisi data geologi, sehingga dari kegiatan ini diharapkan dapat diketahui indikasi mineralisasi bijih bahan galian.42

3. Eksplorasi pendahuluan (prospeksi).

Kegiatan eksplorasi pendahuluan dilaksanakan pada wilayah yang telah dibatasi atau dilokalisasi dari hasil studi survei tinjau yang telah dilakukan sebelumnya.43

4. Eksplorasi umum.

Kegiatan eksplorasi umum merupakan bagian dari kegiatan penyelidikan pendahuluan, dengan cakupan luas areal penyelidikan lebih kecil.44

5. Eksplorasi detail atau rinci.

Pasal 1 butir 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menegaskan: “Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup”. 45 Kegiatan eksplorasi rinci merupakan kegiatan tahapan penyelidikan lapangan terakhir yang dilakukan.46

2. Studi Kelayakan

42

Ibid., hal. 90.

43

Ibid., hal. 92.

44 Ibid., hal. 94.

45 Pasal 1 butir (15) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara.


(35)

Studi kelayakan selain merupakan salah satu kewajiban normatif yang harus dipenuhi dan prasayarat untuk memperoleh IUP (Izin Usaha Pertambangan) Operasi Produksi. Sesungguhnya apabila dipahami secara benar, studi kelayakan merupakan dokumen penting yang berguna bagi berbagai pihak, khususnya bagi pelaku usaha, pemerintah, dan investor atau perbankan. Dengan demikian, dokumen studi kelayakan bukan hanya seonggok tumpukan kertas yang di dalamnya memuat konsep, perhitungan angka-angka dan gambar-gambar semata, tetapi merupakan dokumen yang sangat berguna bagi manajemen dalam mengambil keputusan strategis apakah tambang tersebut dilanjutkan atau tidak. Hal lain yang harus dipahami adalah studi kelayakan bukan hanya mengkaji secara teknis, atau membuat prediksi/proyeksi ekonomis, namun juga mengkaji aspek nonteksnis lainnya, seperti aspek sosial, budaya, hukum, dan lingkungan.47

Studi kelayakan selain berguna dalam mengambil keputusan jadi atau tidaknya rencana usaha penambangan itu dijalankan, juga berguna pada saat kegiatan itu jadi dilaksanakan, yakni:48

1. dokumen studi kelayakan berfungsi sebagai acuan pelaksanaan kegiatan, baik acuan kerja di lapangan, maupun acuan bagi staf manajemen di dalam kantor;

2. berfungsi sebagai alat kontrol dan pengendalian berjalannya pekerjaan; 3. sebagai landasan evaluasi kegiatan dalam mengukur prestasi pekerjaan,

sehingga apabila ditemukan kendala teknis ataupun nonteknis, dapat segera ditanggulangi atau dicarikan jalan keluarnya;

47 Ibid., hal. 96-97. 48 Ibid., hal. 97.


(36)

4. bagi pemerintah, dokumen studi kelayakan merupakan pedoman dalam melakukan pengawasan, baik yang menyangkut kontrol realisasi produksi, kontrol keselamatan dan keselamatan kerja, kontrol pengendalian aspek lingkungan, dan lain-lain.

Adapun aspek-aspek yang menjadi kajian dalam studi kelayakan adalah:49 1. Aspek kajian teknis, meliputi:

a. kajian hasil eksplorasi, berkaitan dengan aspek geologi, topografi, sumur uji, parit uji, pemboran, kualitas endapan, dan jumlah cadangan;

b. hasil kajian data-data eksplorasi tersebut sebagai data teknis dalam menentukan pilihan sistem penambangan, apakah tambang terbuka, tambang bawah tanah atau campuran.

2. Aspek kajian nonteknis, meliputi:

a. kajian peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aspek ketenagakerjaan, aturan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja), sistem perpajakan dan retribusi, aturan administrasi pelaporan kegiatan tambang, dan lain-lain;

b. kajian aspek sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, meliputi kajian aspek hukum adat yang berlaku, pola perilaku, dan kebiasaan masyarakat setempat.

3. Kajian pasar, berkaitan dengan supply and demand, dapat dianalisis dari karakter pasar, potensi, dan pesaing pasar.


(37)

4. Kajian kelayakan ekonomis, adalah perhitungan tentang kelayakan ekonomis yang berupa estimasi-estimasi dengan mempergunakan beberapa metode pendekatan. Secara umum, metode pendekatan yang dimaksud biasanya melalui analisis Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Profitability Index (PI), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period.

5. Kajian kelayakan lingkungan, berbentuk AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan).

3. Eksploitasi Bahan Galian

Kegiatan eksploitasi boleh dikatakan merupakan kegiatan utama dari industri tambang, yaitu kegiatan menggali, mengambil atau menambang bahan galian yang telah menjadi sasaran atau rencana sebelumnya. Pemilihan cara atau sistem penambangan secara umum terbagi dua sistem, yaitu:50

c. Tambang terbuka (Surface Mining).

Pemilihan sistem penambangan atau tambang terbuka biasa diterapkan untuk bahan galian yang keterdapatannya relatif dekat dengan permukaan bumi.

d. Tambang Bawah Tanah (Underground Mining).


(38)

Tambang bawah tanah mengacu pada metode pengambilan bahan mineral yang dilakukan dengan membuat terowongan menuju lokasi mineral tersebut karena letak mineral yang umumnya berada jauh di bawah tanah.

4. Pengolahan dan Pemurnian

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, pengolahan dan pemurnian bahan galian bukan hanya sebatas bagian dari tahapan industri pertambangan, tetapi merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan pelaku usaha pertambangan. Ketentuan kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri merupakan bagian akomodasi dari tuntutan beberapa kalangan masyarakat yang melihat bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya mineral dan batubara yang selama ini berjalan dianggap kurang memberikan nilai tambah kepada negara dan rakyat, karena bahan galian dijual langsung tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Dari kondisi tersebut, kemudian muncul istilah bahwa bangsa Indonesia dalam memenuhi pos pendapatan negaranya, dilakukan dengan cara “menjual” tanah air kepada bangsa asing. Artinya, yang dimaksud dengan tanah adalah batuan atau bijih atau mineral dijual secara langsung dalam bentuk bongkahan, sedangkan yang dimaksud menjual air, sebagaimana diketahui melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bahwa air dapat dilakukan pengelolaanya 100% oleh swasta atau swasta asing.51

51 Ibid., hal. 121.

Akan tetapi, diatur juga mengenai kewajiban pelaku usaha pertambangan dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan diwajibkan meningkatkan nilai tambah


(39)

setiap bahan galian yang dieksploitasi dari wilayah hukum Indonesia, sehingga hal tersebut menjadi langkah awal wujud konkret dari pemanfaatan bahan galian untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.52

Pengaturan tentang kewajiban untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian bahan galian tidak hanya berlaku bagi pelaku usaha yang baru akan melakukan kegiatan usaha pertambangannya setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tetapi juga berlaku bagi pelaku kegiatan usaha pertambangan yang telah berjalan, baik legalitasnya dalam bentuk kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, ataupun kuasa pertambangan wajib melakukan pengelolaan dan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 diundangkan.53

C. Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Umum

Sebelum berlakunya Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam tambang adalah permerintah pusat.54

52

Pasal 95 butir (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Hal tersebut disebabkan oleh sistem pemerintahan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 bersifat sentralistik, artinya segala macam urusan yang berkaitan dengan pertambangan, baik yang berkaitan dengan penetapan izin kuasa pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, maupun

53 Pasal 107 butir (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara.


(40)

lainnya, pejabat yang berwenang memberikan izin adalah menteri, dalam hal ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan dalam pemberian izin diserahkan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan pemerintah pusat, sesuai dengan kewenangannya.55

Kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah:56

1. penetapan kebijakan nasional;

2. pembuatan peraturan perundang-undangan;

3. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;

4. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional; 5. penetapan WP (Wilayah Pertambangan) yang dilakukan setelah

berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

6. pemberian IUP (Izin Usaha Pertambangan), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

7. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada

55 Ibid., hal. 50.

56 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


(41)

lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

8. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;

9. pemberian IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;

10. pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik;

11. penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi; 12. penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat; 13. perumusan dan penetapan penerimaan negara bukan pajak dari hasil usaha

pertambangan mineral dan batubara;

14. pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;

15. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan;

16. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebagai bahan penyusunan WUP (Wilayah Usaha Pertambangan) dan WPN (Wilayah Pencadangan Negara);


(42)

17. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada tingkat nasional;

18. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang; 19. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional; 20. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan;

dan

21. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah:57

1. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;

2. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;

3. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;

4. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang berdampak

57 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


(43)

lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;

5. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangannya;

6. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah wilayah provinsi; 7. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah

provinsi;

8. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi;

9. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;

10. pengoordinasian perizinan dan pengawasan penggunaan bahan peledak di wilayah tambang sesuai dengan kewenangannnya;

11. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi kepada Menteri dan bupati/walikota;

12. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan bupati/walikota;

13. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang; dan 14. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi,

dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.


(44)

Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan umum, antara lain, adalah:58

1. pembuatan peraturan perundang-undangan daerah;

2. pemberian IUP dan IPR (Izin Pertambangan Rakyat), pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

3. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada wilayah kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;

4. penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;

5. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten/kota;

6. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten/kota;

7. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan;

8. pengembangan dan peningkatan nilai tambah dan manfaat kegiatan usaha pertambangan secara optimal;

58 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


(45)

9. penyampaian informasi hasil inventarisasi, penyelidikan umum, dan penelitian, serta eksplorasi kepada Menteri dan gubernur;

10. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan dalam negeri, serta ekspor kepada Menteri dan gubernur;

11. pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang; dan 12. peningkatan kemampuan aparatur pemerintah pusat, pemerintah provinsi,

dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan.

Walaupun pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk pengelolaan pertambangan umum, namun semua kebijakan yang berkaitan dengan pertambangan umum masih didominasi oleh pemerintah pusat. Seperti yang menandatangani kontrak karya pada wilayah kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah bupati/walikota dengan perusahaan pertambangan. Tetapi segal hal yang berkaitan dengan substansi kontrak karya telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Ini berarti pemerintah kabupaten/kota tidak dapat mengembangkan substansi kontrak karya sesuai dengan kebutuhan daerah.59

D. Dampak Pembangunan di Bidang Pertambangan Umum

Setiap kegiatan pembangunan di bidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah:60

59 H. Salim HS., Op.cit., hal. 52-53. 60 Ibid., hal. 57.


(46)

1. memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional;

2. meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD);

3. menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; 4. meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;

5. meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; 6. meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; 7. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.

Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:61 1. kehancuran lingkungan hidup;

2. penderitaan masyarakat adat;

3. menurunnya kualitas hidup penduduk lokal; 4. meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; 5. kehancuran ekologi pulau-pulau;

6. terjadinya pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan.

Walaupun batubara mempunyai kegunaan yang sangat strategis, namun keberadaan industri pertambangan batubara menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Dampak positif merupakan pengaruh dari adanya pertambangan batubara terhadap hal-hal yang bersifat praktis (nyata) dan konstruktif (membangun). Dampak positif dari industri pertambangan batubara di Indonesia adalah:62

61 Ibid.


(47)

1. membuka daerah terisolasi dengan dibangunnya jalan pertambangan dan pelabuhan;

2. sumber devisa negara;

3. sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD);

4. sumber energi alternatif, untuk masyarakat lokal; 5. menampung tenaga kerja.

Dampak negatif pertambangan batubara merupakan pengaruh yang kurang baik dari adanya industri penambangan batubara. Dampak negatif penambangan batubara di Indonesia yaitu:63

1. sebagian perusahaan pertambangan yang dituding tidak memperhatikan kelestarian lingkungan;

2. penebangan hutan untuk kegiatan pertambangan;

3. limbah kegiatan penambangan yang mencemari lingkungan; 4. areal bekas penambangan yang dibiarkan menganga;

5. membahayakan masyarakat sekitar;

6. sengketa lahan pertambangan dengan masyarakat sekitar;

7. kontribusi bagi masyarakat sekitar yang dirasakan masih kurang;

8. hubungan dan keterlibatan pemerintah daerah dalam kegiatan pertambangan masih kurang.


(48)

BAB III

KONSEP TEORETIS TERJADINYA KONTRAK KARYA

A. Istilah dan Pengertian Kontrak Karya

Kontrak karya merupakan kontrak yang dikenal di dalam pertambangan umum. Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu kata work of contract. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, istilah yang lazim digunakan adalah perjanjian karya, tetapi di dalam penjelasannya, istilah yang digunakan adalah kontrak karya. Akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, istilah yang dipergunakan adalah kontrak karya. Dalam hukum Australia, istilah yang digunakan adalah indenture, franchise agreement, state agreement atau government agreement.64

Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara telah ditentukan pengertian kontrak karya. Kontrak karya adalah:65

“suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dan nasional (dalam

64 http:/www.mynerynews.com/opinion/sony.shtml, “Tidak Aneh Bila Sistem Kontrak

Pertambangan Lebih disenangi PMA (dan PMDN)” oleh Sony Rospita Simanjuntak, diakses pada

tanggal 28 Februari 2011.

65

Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Pengajuan Pemrosesan Pemberian Kuasa

Pertambangan, Izin Prinsip, Kontrak Karya, dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara telah ditentukan pengertian kontrak karya.


(49)

rangka PMA) untuk pengusahaan mineral dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan”.

Dalam defenisi ini, kontrak karya dikonstruksikan sebagai sebuah perjanjian. Subjek perjanjian itu adalah Pemerintah Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau joint venture antara peusahaan asing dan perusahaan nasional. Objeknya adalah pengusahaan mineral. Pedoman yang digunakan dalam implementasi kontrak karya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan jo. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Defenisi lain dari kontrak karya, terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Dalam ketentuan itu, disebutkan pengertian kontrak karya. Kontrak karya adalah:66

“perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia dalam rangka penanaman modal asing untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif, dan batubara”.

66 Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614

Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal Asing.


(50)

Yang menjadi subjek dalam kontrak karya ini adalah Pemerintah Indonesia dan badan hukum Indonesia. Modal utama dari badan hukum Indonesia itu berasal dari modal asing. Besarnya modal asing itu, maksimal 95%, sementara untuk modal perusahaan mitra nasionalnya adalah minimal 5%. Modal asing yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia itu digunakan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi bahan galian, yang meliputi emas, perak, dan tembaga.67

Ismail Suny mengartikan kontrak karya sebagai berikut:68

“Kerja sama modal asing dalam bentuk kontrak karya (contract of work) terjadi apabila penanaman modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerja sama dengan satu badan hukum yang mempergunakan modal nasional.”

Definisi ini ada kesamaan dengan yang dikemukakan oleh Sri Woelan Aziz. Ia mengartikan kontrak karya adalah:69

“suatu kerja sama di mana pihak asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan badan hukum Indonesia ini bekerja sama dengan badan hukum Indonesia yang menggunakan modal nasional”.

Defenisi lain kontrak karya menurut Abrar Saleng adalah kontrak antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahaan Penanaman Modal Asing (berbentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia) yang memuat persyaratan teknis, finansial, dan persyaratan lain untuk melakukan usaha pertambangan bahan galian di Indonesia, kecuali minyak dan gas bumi, batubara dan uranium.70

67

H. Salim HS., Op.cit., hal. 128-129.

68

Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007), hal. 161.

69 Sri Woelan Aziz, Aspek-Aspek Hukum Ekonomi Pembangunan di Indonesia,

(Surabaya: Citra Media, 1996), hal. 62.


(51)

Ketiga pandangan di atas melihat bahwa badan hukum asing yang bergerak dalam bidang kontrak karya harus melakukan kerja sama dengan badan hukum Indonesia yang menggunakan modal nasional. Namun, di dalam peraturan perundang-undangan tidak mengharuskan kerja sama dengan badan hukum Indonesia di dalam pelaksanaan kontrak karya. Yang menjadi perbandingannya adalah kontrak karya yang seluruh modalnya yang berasal dari pihak asing, seperti halnya PT Freeport Indonesia. Sumber pembiayaan perusahaan ini 100% dari pihak asing, dan perusahaan ini tidak bekerja sama dengan modal domestik.71

Dengan demikian, defenisi kontrak karya di atas perlu dilengkapi dan disempurnakan sehingga menurut H. Salim HS. yang diartikan dengan kontrak karya adalah:72

“suatu perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau merupakan patungan antara badan hukum asing dengan badan hukum domestik untuk melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi dalam bidang pertambangan umum, sesuai dengan jangka waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak”.

Defenisi ini merupakan defenisi yang lengkap karena di dalam kontrak karya tidak hanya mengatur hubungan hukum antara para pihak, namun juga mengatur tentang objek kontrak karya. Dengan demikian, dapat dikemukakan unsur-unsur yang melekat dalam kontrak karya, yaitu:73

1. adanya kontraktual, yaitu perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak;

71 H. Salim HS., Op.cit., hal. 129. 72 Ibid., hal. 130.


(52)

2. adanya subjek hukum, yaitu Pemerintah Indonesia/pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau gabungan antara pihak asing dengan pihak Indonesia;

3. adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi; 4. dalam bidang pertambangan umum;

5. adanya jangka waktu dalam kontrak.

Dengan adanya keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohonan Kontrak Karya dan perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara dalam Rangka Penanaman Modal Asing, maka pemerintah daerah tidak lagi menjadi salah satu pihak dalam kontrak karya, sedangkan para pihaknya adalah Pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dengan badan hukum Indonesia. Sementara itu, kedudukan gubernur dan bupati/walikota hanya menjadi saksi. Sehingga dalam defenisi ini, tidak dicantumkan lagi bahwa gubernur dan bupati/walikota sebagai salah satu pihak dalam kontrak karya.74

Jangka waktu berlakunya kontrak karya tergantung kepada jenis kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Jangka waktu berlakunya kegiatan eksploitasi adalah tiga puluh tahun. Jangka waktu itu juga dapat diperpanjang.75

B. Sejarah Perkembangan Kontrak Karya

Sistem kontrak dalam dunia pertambangan Indonesia telah dikenal sejak masa penjajahan Hindia Belanda, khususnya ketika mineral dan logam mulai

74 Ibid., hal. 130-131. 75 Ibid., hal. 131.


(53)

menjadi komoditas yang menggiurkan. Melalui Indische Mijn Wet 1899 (hukum pertambangan Hindia Belanda), Hindia Belanda mendeklarasikan penguasaan mereka atas mineral dan logam di perut bumi Nusantara. Sejak saat itu, perbaikan kebijakan dilakukan, antara lain tahun 1910 dan 1918, juga dilengkapi dengan Mijnordonnantie (Ordonansi Pertambangan) pada tahun 1906. Perbaikan pada 1910 menambahkan pula Pasal 5a Indische Mijn Wet, yang menjadi dasar bagi perjanjian yang sering disebut “5a contract”.76 Bunyi lengkap Pasal 5a Indische Mijn Wet (IMW) adalah sebagai berikut:77

1. pemerintah berwenang untuk melakukan penyelidikan dan eksploitasi selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak yang telah diberikan kepada penyelidik atau pemegang konsesi;

2. untuk hal tersebut, pemerintah dapat melakukan sendiri penyelidikan dan eksploitasi atau mengadakan perjanjian dengan perorangan atau perusahaan yang memenuhi persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang ini dan sesuai dengan perjanjian mereka wajib melaksanakan eksploitasi yang dimaksud;

3. perjanjian yang demikian itu tidak akan dilaksanakan, kecuali telah disahkan dengan Undang-Undang.

Inti Ketentuan Pasal 5a Indische Mijn Wet (IMW) adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Hindia Belanda mempunyai kewenangan untuk melakukan

penyelidikan dan eksploitasi.

76 Chalid Muhammad, Studi Agenda Tersembunyi di Balik Kontrak Karya dan Operasi

Tambang INCO, disampaikan pada Temu Profesi Tahunan (TPT) IX dan Kongres IV

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), 14 September 2000.


(54)

2. Penyelidikan dan eksploitasi itu dapat dilakukan sendiri dan mengadakan kontrak dengan perusahaan minyak dalam bentuk kontrak 5A atau lazim disebut dengan sistem konsesi.

Sistem konsesi merupakan sistem di mana di dalam pengelolaan pertambangan umum kepada perusahaan pertambangan tidak hanya diberikan kuasa pertambangan, tetapi diberikan hak menguasai hak atas tanah. Jadi, hak yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan adalah kuasa pertambangan dan hak atas tanah. Bentuknya 5AE untuk eksplorasi atau kontrak 5AEE untuk eksplorasi dan eksploitasi.78

Pada awal kemerdekaan Indonesia hingga akhir kekuasaan Orde Lama, sistem kontrak pertambangan tidak berkembang. Bahkan pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi modal asing sehingga membatalkan semua kontrak pertambangan yang pernah ada. Pada masa pemerintahan Soeharto, kontrak karya dalam bidang pertambangan umum mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Investasi di bidang pertambangan dimulai sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.79

Empat bulan setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang diundangkan bulan Januari 1967, pemerintah pada bulan April menandatangani kontrak pertambangan pertama dengan Freeport McMoran dari Amerika. Kontrak tersebut dikenal dengan sebutan “kontrak karya

78 H. Salim HS., Op.cit., hal. 132. 79 Ibid., hal. 132-133.


(55)

generasi I”. Akibatnya warna Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sangat kental dipengaruhi oleh kepentingan investor asing. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyatakan dengan eksplisit bahwa:80

“penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan atas suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan disebut dengan eksplisit bahwa:81

“menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk pekerjaan yang belum mampu dikerjakan sendiri. Pemerintah mengawasi pekerjaan tersebut sedangkan perjanjiannya harus disetujui dahulu oleh pemerintah dengan berkonsultasi dengan DPR”.

Model awal kontrak karya bukanlah konsep yang dirancang Pemerintah Indonesia, melainkan hasil rancangan PT Freeport Indonesia. Awalnya Menteri Pertambangan Indonesia menawarkan kepada Freeport konsep “bagi hasil” berdasarkan petunjuk pelaksanaan kontrak perminyakan asing yang disiapkan pada zaman pemerintahan Soekarno. Freeport menyatakan kontrak seperti itu hanya menarik untuk perminyakan yang dapat menghasilkan dengan cepat, tetapi tidak untuk pertambangan tembaga yang memerlukan investasi besar dan waktu lama untuk sampai pada tahap produksi. Ahli hukum Freeport, Bob Duke,

80 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 81 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


(1)

Pasal 148

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh Pemerintah,

pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.

BAB XXI

PENYIDIKAN

Pasal 149

(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau berkenaan dengan

tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;

c. memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan;

d. menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan;

e. melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;

f. menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti;

g. mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau

h. menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.

Pasal 150

(1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana.

(4) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XXII


(2)

Pasal 151

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1), Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2).

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi; dan/atau

c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.

Pasal 152

Dalam hal pemerintah daerah tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 151 dan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Menteri

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j, Menteri dapat

menghentikan sementara dan/atau mencabut IUP atau IPR sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 153

Dalam hal pemerintah daerah berkeberatan terhadap penghentian sementara

dan/atau pencabutan IUP dan IPR oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 152, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 154

Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK

diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 155

Segala akibat hukum yang timbul karena penghentian sementara dan/atau

pencabutan IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2)

huruf b dan huruf c diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 156

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sanksi administratif

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 diatur dengan peraturan

pemerintah.


(3)

Pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penarikan sementara

kewenangan atas hak pengelolaan usaha pertambangan mineral dan batubara.

BAB XXIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 158

Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat

(1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar

rupiah).

Pasal 159

Pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat

(1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau

menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar

rupiah).

Pasal 160

(1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 161

Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi

yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian,

pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP,

IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal

43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal

103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 162

Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari

pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama

1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(4)

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.

Pasal 164

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160,

Pasal 161, dan Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana

tambahan berupa:

a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana; b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana.

Pasal 165

Setiap orang yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan

Undang-Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana

paling lama 2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah).

BAB XXIV

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 166

Setiap masalah yang timbul terhadap pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK yang

berkaitan dengan dampak lingkungan diselesaikan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan.

Pasal 167

WP dikelola oleh Menteri dalam suatu sistem informasi WP yang terintegrasi

secara nasional untuk melakukan penyeragaman mengenai sistem koordinat dan

peta dasar dalam penerbitan WUP, WIUP, WPR, WPN, WUPK, dan WIUPK.

Pasal 168

Untuk meningkatkan investasi di bidang pertambangan, Pemerintah dapat

memberikan keringanan dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan kecuali ditentukan lain dalam IUP atau IUPK.

BAB XXV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 169


(5)

a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.

b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.

Pasal 170

Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah

berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103

ayat (1) selambatlambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

Pasal 171

(1) Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah.

(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 172

Permohonan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan

batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum

berlakunya Undang- Undang ini dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip

atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses

perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XXVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 173

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

(2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik


(6)

Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 174

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1

(satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 175

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 12 Januari 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 12 Januari 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA