Perubahan Ambang Dengar Pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Setelah Timpanoplasti Chapter III VI

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis/ Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan desain kohort.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU, sampel penelitian
diambil di RSU H. Mina Medan. Waktu penelitian dilakukan periode 1 Maret –
31 Agustus 2016.
3.3 Populasi, Subyek dan Besar Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita otitis media supuratif
kronis yang menjalani operasi timpanoplasti.
3.3.2. Subyek penelitian
Subyek penelitian adalah seluruh penderita otitis media supuratif kronis
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sebagai berikut:
Kriteria inklusi:
a.

Penderita otitis media supuratif kronis jinak maupun ganas baik lakilaki maupun perempuan yang menjalani timpanoplasti di RSUP H.

Mina Medan.

b.

Bersedia diikutsertakan dalam penelitian.
42

Universitas Sumatera Utara

Kriteria eksklusi:
a.

Tuli sejak lahir (kongenital).

b.

Menderita penyakit yang dapat menyebabkan tuli sensorineural,
seperti: Diabetes Melitus, Dislipidemia, Hipertensi.

c.


Riwayat/ sedang menggunakan obat-obatan yang bersifat ototoksik.

d.

Riwayat terpapar bising/ trauma akustik.

e.

Tidak dapat menjalani follow up post operasi selama 3 bulan kedepan.

3.3.3 Besar sampel
Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus:
(zα+zβ)s
x1-x2

2

n


=

S

= s12(x1-1) + s22(x2-1)
x1+x2-2
= 12,962(38-1)+10,72 2(30-1)
38+30-2

n = (1,96+0,842) 11,59

2

= 16,48  17

8
Keterangan:
X1
X2



S1
S2
S

: Ambang dengar pre timpanoplasti (37,8)
: Ambang dengar pasca timpanoplasti (29,8)
: Kesalahan tipe i (α=5%  1,96)
: Kesalahan tipe ii (β=20%  0,842)
: Simpang baku ambang dengar pre timpanoplasti (12,96)
: Simpang baku ambang dengar pasca timpanoplasti (10,72=11,59)
(Sheresta et al, 2008)
: Simpang baku ambang dengar gabungan s1 dan s2

Universitas Sumatera Utara

3.3.4 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel penelitian adalah secara non probability consecutive
sampling yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan


kedalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang
diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 1995).
3.4 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, tipe otitis media
supuratif kronis, tipe perforasi, jenis ketulian, tipe timpanoplasti, ambang dengar
pre operasi timpanoplasti, ambang dengar pasca operasi timpanoplasti, hantaran
udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone conduction) pre operasi
timpanoplasti, hantaran udara (air conduction) dan hantaran tulang (bone
conduction) pasca operasi timpanoplasti.
3.5 Definisi Operasional
3.5.1

Otitis media supuratif kronis
Definisi : adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani, dan dijumpai adanya sekret yang keluar dari telinga
secara terus menerus atau hilang timbul yang berlangsung lebih dari 12
minggu. Terbagi menjadi dua yaitu:

a. Otitis media supuratif kronis tipe jinak adalah jika proses peradangan
pada telinga tengah hanya terbatas pada mukosa saja tanpa disertai

komplikasi berbahaya yang ditimbulkan.
Alat ukur: anamnesis/kuisioner, pemeriksaan otoskopi.
Hasil ukur: tanpa disertai kolesteatoma.

Universitas Sumatera Utara

Skala ukur: kategorik (nominal).
b. Otitis media supuratif kronis tipe bahaya adalah jika proses peradangan
pada telinga tengah tidak hanya terbatas pada mukosa saja tetapi
melibatkan kerusakan sekitarnya disertai adanya komplikasi intratemporal
ataupun ekstratemporal yang berbahaya dan dapat berakibat fatal (WHO,
2004).
Alat ukur: anamnesis/kuisioner, pemeriksaan otoskopi.
Hasil ukur: disertai kolesteatoma.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.2. Timpanoplasti
Definisi : adalah sebuah prosedur yang dilakukan untuk eradikasi penyakit
pada telinga tengah dan rekonstruksi mekanisme pendengaran dengan atau
tanpa graft pada membran timpani. Menurut Wulstein terbagi atas:
a. Tipe I

Bertujuan untuk memperbaiki membran timpani baik sebagian atau
seluruhnya dengan jaringan graft menggunakan fasia temporalis,
perikondrium ataupun dengan jaringan adiposa lobulus telinga tanpa
merubah sistem tulang-tulang pendengaran.
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil

ukur:

tandur

hanya

menutupi

membran

timpani,

tulang


pendengaran masih utuh.
Skala ukur: kategorik (nominal).

Universitas Sumatera Utara

b. Tipe II
Bertujuan untuk memperbaiki membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran disertai dengan restorasi mekanisme ungkit yang merupakan
fungsi normal dari maleus dan inkus.
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: tandur menutupi membran timpani, dijumpai defek pada
maleus.
Skala ukur: kategorik (nominal).
c. Tipe III
Bertujuan untuk mengembalikan konduksi suara ke oval window dengan
melakukan rekonstruksi kolumela.
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi


stapes masih sedikit

tersisa dan footplate stapes dijumpai, canalis semisirkular lateral dan
nervus fasialis terpapar. Tandur menutupi bagian yang terpapar.
Skala ukur: kategorik (nominal).
d. Tipe IV
Sesuai untuk canal wall-down mastoidektomi dimana membran timpani,
inkus, dan struktur stapes tidak dijumpai lagi.
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: maleus inkus tidak dijumpai tetapi sebagian footplate stapes
masih dijumpai, canalis semisirkular lateral dan nervus fasialis terpapar.

Universitas Sumatera Utara

Tandur menutupi bagian yang terpapar dan dilakukan obliterasi tuba
Eustachius.

Skala ukur: kategorik (nominal).
e. Tipe V
Digunakan untuk bypass footplate stapes yang mengalami ankilosa dan

dilakukan sebagai prosedur tahap kedua setelah eradikasi penyakit telinga
kronis (Merchant et al, 2005; Chole & Nason, 2009).
Alat ukur: operasi rekonstruksi pendengaran.
Hasil ukur: tulang pendengaran tidak dijumpai tetapi footplate stapes
masih terfiksir, canalis semisirkular lateral dan nervus fasialis terpapar.
Tandur menutupi bagian yang terpapar.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.3. Ambang dengar
Definisi :
adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang
masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar
menurut konduksi udara (ac) dan menurut konduksi tulang (bc). Bila
ambang dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik ac maupun bc,
maka akan didapatkan audiogram (catatan grafik yang diambil dari hasil
tes pendengaran dengan audiometer yang berisi grafik ambang
pendengaran pada berbagai frekuensi terhadap intensitas suara dalam
decibel). Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.
Disebut air bone gap apabila antara ac dan bc terdapat perbedaan lebih

Universitas Sumatera Utara


atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2 frekuensi berdekatan (Feldman
& Grimes, 1997).
Alat ukur: audiometri merk triveni tipe t25.
Hasil ukur: desibel (dB).
Skala ukur: numerik (interval).
3.5.4. Jenis kelamin
Definisi :
adalah ciri biologis yang membedakan orang yang satu dengan lainnya,
dikelompokan atas laki-laki dan perempuan.
Alat ukur: anamnesis/ kuisioner.
Hasil ukur: laki-laki atau perempuan.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.5. Usia
Definisi :
adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungan berdasarkan
kalender masehi, dihitung sejak penderita dilahirkan sampai ulang tahun
terahir pada saat pertama penderita berobat.
Alat ukur : kalender dalam hitungan tahun.
Hasil ukur: dikelompokan atas usia 11-23 tahun, 24-36 tahun, 37-49
tahun, dan 50-64 tahun.
Skala ukur: numerik (ordinal).

Universitas Sumatera Utara

3.5.6. Perforasi membran timpani
Definisi :
adalah hilangnya sebagian jaringan dari membran timpani yang
menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi dari membran
timpani. Dibedakan menjadi;
a. Perforasi sentral adalah bilamana masih dijumpai annulus fibrosus
yang masih intak disekeliling membran timpani walaupun ukuran
perforasinya sangat besar (perforasi ≤50% dari lebar membran
timpani).
Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.
Hasil ukur: perforasi ≤50% dari lebar membran timpani, annulus
timpani masih dijumpai.
Skala ukur: kategorik (nominal).
b. Perforasi subtotal adalah jika dijumpai defek pada pars tensa yang
berukuran sangat besar (perforasi 50-75% dari lebar membran timpani)
Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.
Hasil ukur: perforasi 50-75% dari lebar membran timpani, annulus
timpani masih dijumpai.
Skala ukur: kategorik (nominal).
c. Perforasi total adalah jika sudah tidak dijumpai annulus fibrosus dan
pars flaksida pada membran timpani, perforasi >75% (Zainul, 1997).
Alat ukur: pemeriksaan otoskopi.

Universitas Sumatera Utara

Hasil ukur: perforasi >75% dari lebar membran timpani, annulus
timpani tidak dijumpai.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.7. Gangguan pendengaran
Definisi :
adalah gangguan proses mendengar dimana setiap derajat penurunan nilai
kemampuan

untuk

menangkap

suara

yang

dilakukan

penilaian

menggunakan audiometri nada murni, yang berdasarkan letak lokasi
kelainannya terbagi atas tiga jenis :
a. Tuli konduktif dimana kelainannya terletak mulai dari telinga luar sampai
telinga tengah, pada audiogram ditandai dengan bc normal dan ac lebih
dari 25dB dan dijumpai adanya gap antara ac dan bc.
Alat ukur: audiometri/ garputala.
Hasil ukur: bc normal, ac lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.
Skala ukur: kategorik (nominal)
b. Tuli sensorineural dimana kelainannya terletak pada telinga dalam dan
saraf pendengaran, pada audiogram ditandai dengan bc dan ac lebih dari
25dB tanpa disertai adanya gap (ac dan bc berimpit).
Alat ukur: audiometri/ garputala.
Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, tidak dijumpai gap.
Skala ukur: kategorik (nominal)

Universitas Sumatera Utara

c. Tuli campur disebabkan kombinasi tuli konduktif dan sensorineural, pada
audiogram ditandai dengan bc lebih dari 25dB sedangkan ac lebih besar
dari bc dan dijumpai adanya gap (Soetirto et al., 2004).
Alat ukur: audiometri/ garputala.
Hasil ukur: ac dan bc lebih dari 25 dB, dijumpai gap minimal 10 dB.
Skala ukur: kategorik (nominal).
3.5.8. Peningkatan ambang dengar pasca timpanoplasti
Definisi :
Adalah besarnya peningkatan ambang dengar minimal 5 desibel
dibandingkan sebelum operasi.
Alat ukur: audiogram.
Hasil ukur: dijumpai peningkatan menjadi lebih baik minimal 5 dB.
Skala ukur: Numerik.
3.6 Alat Ukur
3.6.1








Bahan / alat
Lampu kepala merk Ryne & alat THT rutin merk Renz
Otoskop merk Riester & spekulum telinga merk Hartmann
Kapas lidi (cotton applicator)
Alat penghisap sekret (suction) merk Thomas medipump tipe
1132gl







Pengait serumen & Crocodile merk renz
Garputala
Audiometer nada murni merk Triveni tipe t25 dan telah dikalibrasi

Universitas Sumatera Utara





Formulir persetujuan ikut penelitian
Catatan medis penderita dan status penelitian penderita

3.6.2 Cara kerja
Semua subyek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi
terlebih dahulu telinganya dibersihkan menggunakan kapas lidi/ suction.
Selanjutnya sebelum dilakukan operasi timpanoplasti, pendengaran dinilai
menggunakan audiometri nada murni dengan frekuensi 250-8000 Hz
untuk hantaran udara (ac) dan frekuensi 500-4000hz untuk hantaran tulang
(bc). Derajat ketulian ditentukan dengan mengukur nilai rerata ambang
dengar pada frekuensi percakapan (500, 1000, 2000 dan 4000hz) terhadap
skala ISO 1964. Kemudian 12 minggu pasca operasi pasien kembali
diperiksa audiometrinya dan dihitung derajat ketuliannya.
Derajat ketulian dan nilai ambang dengar menurut ISO 1964
(International Standard Organization) :
0 – 25 dB : normal
26 – 40 dB : tuli ringan
41 – 60 dB : tuli sedang
61 – 90 dB : tuli berat
>90 dB : sangat berat (Soetirto et al, 2004).
Hasil yang diperoleh dibandingkan sebelum dan setelah operasi
untuk kemudian diolah, disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.

Universitas Sumatera Utara

3.7 Teknik Pengumpulan Data
Data primer diambil dari hasil pemeriksaan dan audiometri terhadap
subyek penelitian di Departemen T.H.T.K.L. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/ RSU H. Mina Medan.
3.8 Analisa Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan program statistical packet
for the social and science (spss) kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan

diagram. Analisis univariat untuk data deskriptif. Analisis bivariat adalah analisis
variabel-variabel penelitian dengan menggunakan uji wilcoxon (nilai p5-10 dB

4

19.0

>10-15 dB

3

14.3

>15dB

2

9.5

Total

21

100.0

Perubahan Ambang Dengar

Sebagian besar ambang dengar pasca timpanoplasti pada penelitian ini
mengalami penurunan berkisar 1-15 dB, yang artinya pendengaran menjadi lebih
baik pasca timpanoplasti. Dari data yang diperoleh subyek penelitian dengan
ambang dengar pasca timpanoplasti yang lebih rendah dibandingkan pre operasi
sebanyak 16 orang. Sedangkan subyek penelitian dengan ambang dengar pasca
timpanoplasti lebih besar dibandingkan pre operasi dijumpai sebanyak 1 orang
(5dB). Empat orang subyek memiliki ambang dengar yang sama pre dan pasca
timpanoplasti, seperti yang terlihat pada grafik 4.1 berikut.

Universitas Sumatera Utara

Grafik 4.1 Perbedaan Ambang Dengar Pre dan Pasca Timpanoplasti
Rincian nilai peningkatan ambang dengar untuk masing-masing subyek
penelitian berdasarkan tipe timpanoplasti dapat dilihat pada grafik 4.2 berikut.

Grafik 4.2 Peningkatan Ambang Dengar – Tipe Timpanoplasti

Universitas Sumatera Utara

Dari grafik tersebut nampak jelas bahwa dari 21 subyek dijumpai 4 orang
yang tidak mengalami peningkatan ambang dengar (0 dB).

Sedangkan

peningkatan >15dB dijumpai pada 3 subyek penelitian yang salah satunya
menjalani timpanoplasti tipe IV.

Universitas Sumatera Utara

81

BAB V
PEMBAHASAN

Otitis media supuratif kronis merupakan penyakit infeksi pada telinga
yang masih sering dijumpai. Prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia
secara umum adalah 3.9% dan Indonesia masuk dalam daftar negara dengan
prevalensi otitis media supuratif kronis tinggi (Helmi, 2005). Tujuan dari
penelitian yang kami lakukan ini adalah untuk melihat perubahan ambang dengar
pada pasien yang menjalani operasi timpanoplasti di RSU H. Mina Medan. Pada
penelitian yang kami lakukan pada 21 subyek penelitian yang menjalani
timpanoplasti kami lakukan pengukuran ambang dengar menggunakan audiometri
pre dan 12 minggu pasca operasi. Keseluruhan subyek menjalani operasi
timpanoplasti menggunakan graft yang berasal dari fasia muskularis temporalis,
yang dilakukan hanya oleh satu orang ahli THT.
Pada penelitian ini kami mendapatkan kejadian otitis media supuratif
kronis lebih banyak muncul pada usia produktif. Dimana banyak dijumpai pada
dekade pertama hingga kedua, namun pada dekade ketiga hingga keenam
kehidupan jumlahnya mulai menurun. Hal ini mungkin terjadi karena, pada
penelitian ini pasien yang datang untuk berobat dan memeriksakan penyakitnya
lebih banyak adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka lebih peduli terhadap
kesehatan telinga dan lebih banyak memiliki waktu luang untuk memeriksakan
kesehatannya. Akibat kondisi penyakitnya, dapat mengganggu aktifitas belajar

66

Universitas Sumatera Utara

82

dan

seringkali

menimbulkan

rasa

malu

sehingga

membawa

penderita

memeriksakan kesehatannya.
Otitis media supuratif kronis dapat menyerang siapa saja. Prevalensinya
didunia masih sangat bervariasi. Terjadinya otitis media supuratif kronis biasanya
diawali dengan otitis media berulang pada anak, dan jarang dimulai setelah
dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring mencapai telinga tengah
melalui tuba Eustachius (Djaafar, 2008).
Tuba Eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani,
merupakan saluran antara telinga tengah dan nasofaring. Tuba ini bertanggung
jawab untuk memberi aliran udara ke telinga tengah dan mastoid, sehingga dapat
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dengan atmosfir
(Ashley et al., 2009). Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba
Eustachius membuka selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu,

mengalirkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari
nasofaring refluks ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar. Pada otitis media kronis aktif, fenomena primer
atau sekunder dari tuba Eustachius yang sering tersumbat masih belum diketahui
secara pasti (Chole & Nason. 2009). Namun pada penelitian ini kami tidak
melakukan pemeriksaan fungsi tuba Eustachius pada seluruh subyek penelitian.
Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan dalam penelitian kami.
Adoga et al (2010), juga menyebutkan bahwa penyakit ini umumnya mulai
menyerang anak-anak pada awal kehidupan, akan tetapi kejadiannya lebih sering
kita jumpai pada orang dewasa. Oleh karena penderita biasanya cenderung

Universitas Sumatera Utara

83

menyesuaikan diri dengan penyakitnya dan mentoleransi keluhan yang dialami
hingga menyebabkan penyakitnya bertambah jelek. Kurangnya fasilitas pelayanan
kesehatan dan tingkat perekonomian yang rendah membuat penderita kesulitan
menerima pelayanan kesehatan.
Namita (2013), dalam penelitiannya di India mendapati rentang usia
pasien otitis media supuratif kronis yang menjalani operasi timpanoplasti adalah
14-74 tahun, dengan rerata usia 32,2 tahun. Nora (2011) dalam penelitiannya, dari
208 penderita otitis media supuratif kronis yang berobat ke RSUP Haji Adam
Malik Medan dari Januari - Desember 2008 menjumpai dua kelompok usia
dengan jumlah yang sama yaitu kelompok usia 11-20 tahun dan 21-30 tahun
sebanyak 20.68%. Santoso (2016), dalam penelitianya di terhadap 1726 penduduk
yang tersebar di Sumatera Utara menjumpai kejadian otitis media supuratif pada
rentang usia 10-20 tahun sebesar 26.23%%, diikuti usia 10-15db sebanyak 14.3% dan perubahan sebesar >15dB sebanyak
9.5%.
5.2. Saran
-

Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap prognosis pendengaran pasca timpanoplasti.

-

Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan periode evaluasi yang lebih
lama sesuai dengan salah satu tipe timpanoplasti yang spesifik.

Universitas Sumatera Utara