Hubungan Parameter Kraniofasial Dan Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Pada Penderita Dewasa

(1)

HUBUNGAN PARAMETER KRANIOFASIAL DAN

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK BENIGNA

PADA PENDERITA DEWASA

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh

I r w a n

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

KATA PENGANTAR

as Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam

a berharap

paikan penghargaan dan

artemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas

Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakult

Malik Medan.

Kami menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari sempurna baik isi maupun bahasanya, dengan semua keterbatasan tersebut, say

mendapat masukan yang bermanfaat demi kebaikan kita semua.

Dengan berakhirnya masa pendidikan saya, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyam

rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, SpA(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Dep

Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah, dr, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan


(3)

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.

Yang terhormat Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, SpTHT-KL(K) sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat baik sebagai Kepala Departemen, sebagai guru bahkan orang tua selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K) sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan atas bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.

Yang terhormat Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K) sebagai ketua pembimbing tesis saya. Yang terhormat dr. Harry Agustaf Asroel, SpTHT-KL dan dr. Ida Sjailendrawati Harahap, SpTHT-KL sebagai anggota pembimbing tesis, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.


(4)

Yang terhormat guru saya di jajaran THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet, KL(K), Prof. Ramsi Lutan, dr, SpTHT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, SpTHT-SpTHT-KL(K), Prof. Askaroellah Aboet, dr, SpTHT-KL(K), Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, SpTHT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T. Sofia Hanum, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, SpTHT-KL, Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Hafni, SpTHT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati H, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL, dr. Ainul Mardhiah, SpTHT-KL (almarhumah), dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, KL, dr. Harry A. Asroel, KL, dr. Farhat, SpTHT-KL, dr. T. Siti Hajar Haryuna, SpTHT-SpTHT-KL, dr. Aliandri, SpTHT-KL dan dr. Ashri Yudhistira, SpTHT-KL yang telah banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan pengetahuan dibidang THT-KL, baik secara teori maupun keterampilan yang kiranya sangat bermanfaaat bagi saya di kemudian hari.

Yang terhormat Bapak Kepala Departemen/ Staf Radiologi FK USU/ RSUP.H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/ Staf Radiologi RS. Materna Medan, Kepala Departemen/ Staf Anestesiologi dan Reanimasi FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen/ Staf Patologi Anatomi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase asisten di Departemen tersebut. Saya mengucapkan terima kasih.

Yang terhormat Direktur/ Staf RSUD. Lubuk Pakam, RS Tembakau Deli Medan, Rumkit Dam I Bukit Barisan Medan dan RSU Dr. Pirngadi


(5)

Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase pendidikan di keempat rumah sakit tersebut.

Yang terhormat dr. Sidik Rauf, SpTHT-KL, dr. Farhaan Abdullah, SpTHT-KL, selaku Kepala Departemen/ Staf Departemen THT Rumkit Dam I Bukit Barisan Medan, serta dr. Sari Soelaiman, SpTHT-KL selaku Kepala Poliklinik THT Lubuk Pakam yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan selama saya menjalani stase pendidikan di rumah sakit tersebut.

Yang terhormat dr. Dewi F. Shahnan, SpTHT-KL beserta staf selaku kepala Departemen/ Staf Departemen THT RSU dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya selama menjalani stase pendidikan di rumah sakit tersebut.

Yang terhormat dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes. staf Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat/ Ilmu Kedokteran Pencegahan/ Ilmu Kedokteran Komunitas yang telah banyak membantu saya di bidang statistik dalam pengolahan data tesis ini.

Yang terhormat drg. Fidelis Susanto Adiwinata, SpOrt. Staf pengajar luar biasa pada PPDGS Ortodonti FKG-USU Medan yang telah banyak memberi masukan, perhatian dan bimbingan di bidang ilmu lateral cephalometric radiography dalam penulisan tesis ini.

Yang Mulia Ayahanda Hasyim dan Ibunda Siti Aisyah yang dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih sayang semenjak kecil sehingga saya dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara. Dengan


(6)

membacakan doa ke hadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua saya serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi saya sewaktu kecil. Terima kasih juga saya tujukan kepada kakak, abang dan adik-adik saya yang telah memberikan dorongan semangat selama saya menjalani pendidikan ini.

Yang terhormat kedua mertua saya Muchlis B, Hj. Ruaidah serta abang dan kakak ipar yang telah memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat selesai.

Kepada isteriku tercinta Yulza Muchlis dan anak-anakku tersayang Shalma Fairisza Irwan, Zahwa Restia Aathifa Irwan dan Hastika Dwanda Irwan yang selalu menyayangi serta dengan penuh cinta kasih mendampingi saya selama mengikuti pendidikan ini. Tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya sehingga dengan ridho Allah SWT. akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terima kasih.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman dapat


(7)

lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT. selalu memberkahi kita semua.

Kepada paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala dan Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama saya menjalani pendidikan ini, saya ucapkan terima kasih.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Amin, amin ya robbal ‘alamin,

Medan, 11 Juli 2009

Penulis


(8)

HUBUNGAN PARAMETER KRANIOFASIAL DAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK BENIGNA PADA PENDERITA DEWASA

Abstrak

Latar Belakang : Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan salah satu penyakit infeksi kronik yang sering terjadi pada usia anak-anak, dan pada usia ini merupakan periode aktif pertumbuhan tulang kraniofasial. Gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor penting pada patogenesis terjadinya OMSK benigna. Lokasi tuba Eustachius sangat berhubungan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi tulang kraniofasial dan ukuran parameter kraniofasial daerah sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat ukuran parameter kraniofasial, serta melihat hubungan ukuran parameter kraniofasial dengan OMSK benigna dewasa.

Metode Penelitian : Penelitian ini dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) yang bersifat deskriptif analitik di Departemen THT-KL

FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan pada 30 penderita OMSK benigna dewasa dan 30 kontrol. Terhadap penderita

OMSK benigna dewasa dan kontrol dilakukan foto lateral cephalometric radiography, pengukuran parameter kraniofasial dilakukan pada hasil digital cephalogram. Data dianalisa dengan uji t independent dengan batas kemaknaan p<0,05.

Hasil Penelitian : Terdapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05) antara ukuran parameter kraniofasial penderita OMSK benigna dewasa dengan


(9)

dewasa normal (kontrol) pada ukuran panjang mep-pmp, mep-ma, ptm-pns, n-ba, s-ptm, n-ans dan mep.ptm.pnsangle, SBaL/TLangle, NSL/TLangle, ba.s.nangle, s.n.ansangle dan NSL/PLangle.

Kesimpulan : Terdapat hubungan (perbedaan) yang bermakna antara ukuran parameter kraniofasial penderita OMSK benigna dewasa dengan dewasa normal (kontrol).

Kata Kunci : OMSK benigna, tuba Eustachius, parameter kraniofasial.

CORRELATION BETWEEN CRANIOFACIAL PARAMETER AND BENIGN CHRONIC SUPPURATIVE OTITIS MEDIA IN ADULT PATIENTS Abstract

Background: Chronic Suppurative Otitis Media (CSOM) is one of chronic infection disease which usually in childhood and this periode is characterized by active growing of the craniofacial skeleton. Insufficiency in functions of the Eustachian tube has been suggested as an important factor in pathogenesis of benign CSOM. Growth and development of the anatomic region where the Eustachian tube is located are associated with the parameters related to other parts of the craniofacial skeleton. This research is to determine the measurement of craniofacial parameter and correlation of craniofacial parameter measurements with adult benign CSOM.

Method: Cross sectional study which analitically descriptive and the result was analyzed with t-independent test, significance level at p<0,05.


(10)

Results: There are a significant differences (p<0,05) in measurement of mep-pmp, mep-ma, ptm-pns, n-ba, s-ptm, n-ans and mep.ptm.pnsangle, Sbal/T angle, NSL/TLangle, ba.s.nangle, s.n.ans angle and NSL/PLangle.

Conclusion: There are a significant correlation of craniofacial parameters measurement between adult benign CSOM patients and control group.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ……….. iv

ABSTRAK ……… x

DAFTAR ISI ………. xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB 1 : PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Rumusan Masalah ……….. 5

1.3. Hipotesis ………. 5

1.4. Tujuan Penelitian ……….. 5

1.4.1. Tujuan Umum ……… 5

1.4.2. Tujuan Khusus ……….. 5

1.5. Manfaat Penelitian ……… 6

BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ………. 7

2.1 Anatomi ……….. 7

2.1.1 Anatomi Tulang Tengkorak ………. 7

2.1.2 Anatomi Telinga Tengah ………. 12

2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang Tengkorak ……… 22

2.3 Otitis Media Supuratif Kronik ……….. 25

2.4 Cephalometric Radiography ……… 27

2.4.1 Teknik Lateral Cephalometric Radiography ………. 27

2.4.2 Teknik Penjiplakan dan Identifikasi Landmark pada Film Cephalogram ………. 28

2.5 Hubungan Parameter Kraniofasial dengan OMSK ……….. 37

BAB 3 : KERANGKA KONSEPTUAL ……….. 41

BAB 4 : METODE PENELITIAN ……… 42

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ……… 42

4.2 Populasi, Sampel, Kontrol, Besar sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ……… 42

4.2.1 Populasi ………... 42

4.2.2 Sampel ………. 42

4.2.3 Kontrol ……….. 43

4.2.4 Besar Sampel ………. 43


(12)

4.3 Variabel Penelitian ………. 44

4.3.1 Klasifikasi Variabel Penelitian ……….. 44

4.3.2 Definisi Operasional Variabel ……… 44

4.4 Bahan dan Alat Penelitian ………. 49

4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 49

4.6 Kerangka Kerja ……… 50

4.7 Pelaksanaan Penelitian ……….. 51

4.8 Cara Analisa Data ……… 52

BAB 5 : HASIL PENELITIAN ………. 53

BAB 6 : PEMBAHASAN ………. 67

BAB 7 : KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 83

7.1. Kesimpulan ……… 83

7.2. Saran ………... 83

DAFTAR PUSTAKA ………. 84

LAMPIRAN ………. 87

Lampiran 1. Data Sampel dan Hasil Pengukuran Parameter Kraniofasial ……… 87

Lampiran 2. Data Kontrol dan Hasil Pengukuran Parameter Kraniofasial ……… 89

Lampiran 3. Status Penelitian ………. 91

Lampiran 4. Lembaran Penjelasan Kepada Subyek Penelitian …………. 95

Lampiran 5. Lembaran Persetujuan Setelah Penjelasan ……… 98

Lampiran 6. Persetujuan Komite Etik Penelitian ……….. 99


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 : Film cephalogram ... 29 Gambar 2.2 : Titik dan garis referensi yang berhubungan dengan

tulang-tulang kraniofasial ………. 32 Gambar 2.3 : Titik dan garis referensi berhubungan dengan sistem


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 5.1 : Distribusi penderita OMSK benigna dan kontrol berdasarkan

umur ... 53 Tabel 5.2 : Distribusi penderita OMSK benigna dan kontrol berdasarkan

suku bangsa ... 54 Tabel 5.3 : Distribusi penderita OMSK benigna dan kontrol berdasarkan

jenis kelamin ... 55 Tabel 5.4 : Distribusi penderita OMSK benigna berdasarkan telinga yang

sakit ... 55 Tabel 5.5 : Distribusi rata-rata ukuran parameter garis dan sudut yang

berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tengah-tuba

Eustachius pada kontrol ... 56 Tabel 5.6 : Distribusi rata-rata ukuran Parameter garis dan sudut yang

berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius pada penderita OMSK benigna dewasa ... 57 Tabel 5.7 : Distribusi rata-rata ukuran parameter garis dan sudut yang

berhubungan dengan tulang basis kranial dan nasofaring pada kontrol ... 58 Tabel 5.8 : Distribusi rata-rata ukuran Parameter garis dan sudut yang

berhubungan dengan tulang basis kranial dan nasofaring pada penderita OMSK benigna dewasa ... 59 Tabel 5.9 : Distribusi rata-rata ukuran parameter garis dan sudut yang

berhubungan dengan tulang fasial (wajah)pada kontrol ... 60 Tabel 5.10: Distribusi rata-rata ukuran Parameter garis dan sudut yang

berhubungan dengan tulang fasial (wajah)pada penderita OMSK benigna dewasa ... 61 Tabel 5.11: Hubungan ukuran parameter garis dan sudut referensi yang

berhubungan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius antara kelompok penderita OMSK benigna dewasa dengan


(15)

Tabel 5.12: Hubungan ukuran parameter garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan tulang basis kranial dan nasofaring antara kelompok penderita OMSK benigna dewasa dengan kelompok kontrol ... 64 Tabel 5.13: Hubungan ukuran parameter garis dan sudut referensi yang

berhubungan dengan tulang fasial (wajah) antara kelompok penderita OMSK benigna dewasa.dengan kelompok kontrol ... 65


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terbesar pada beberapa populasi di dunia, yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Penyakit ini berdampak nyata pada kerugian ekonomi dan sosial. Hal ini umumnya terjadi pada komunitas miskin pada suatu negara berkembang dan tentunya menimbulkan kerugian pada negara berkembang (WHO, 1996). OMSK juga merupakan salah satu penyakit infeksi kronik yang sering terjadi pada usia anak-anak, dan pada usia ini merupakan periode aktif pertumbuhan tulang kraniofasial (Kemaloğlu, 1995 ; Verhoeff, 2006).

Angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi di negara-negara sedang berkembang dibandingkan dengan negara maju, karena beberapa hal misalnya higiene yang kurang, faktor sosioekonomi, gizi yang rendah, kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang salah terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas (Mills, 1997; Djaafar, 2003).

Patogenesis terjadinya OMSK adalah multifaktor, antara lain infeksi virus atau bakteri, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan, sosial ekonomi, obstruksi tuba Eustachius, faktor anatomi dan gangguan fungsi tuba Eustachius. Gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor penting


(17)

pada patogenesis terjadinya otitis media, meskipun juga dilaporkan bahwa tidak terdapatnya obstruksi tuba Eustachius pada anak-anak dengan OMSK. Penelitian-penelitian sebelumnya berpendapat bahwa gangguan fungsi tuba Eustachius berhubungan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan tulang kraniofasial postnatal (Kemaloğlu, 2000; Helmi, 2005; Verhoeff, 2006).

Insiden OMSK semakin berkurang dengan bertambahnya umur. Menurunnya insiden OMSK ini berhubungan dengan perubahan posisi tuba Eustachius, dimana pada orang dewasa posisinya lebih vertikal. Perubahan posisi tuba Eustachius ini terjadi akibat pertumbuhan dan perkembangan tulang-tulang kraniofasial. Pada tahun 1862, Politzer berpendapat bahwa proses terjadinya otitis media disebabkan oleh buruknya fungsi tuba Eustachius. Tahun 1925, Pautow melaporkan hasil penelitiannya tentang hubungan bentuk kepala dengan morfologi tuba Eustachius, dia mendapatkan bahwa orang dewasa dengan bentuk kepala brachycephalic mempunyai bentuk tuba yang relatif lebih lurus. Tahun 1987, Worley et al juga mendapatkan kesimpulan yang sama. Disamping itu, telah diketahui bahwa anak-anak dengan kelainan kraniofasial seperti pada celah palatum (palato schisis) dan Down syndrome sering mengalami infeksi telinga tengah. Proses terjadinya infeksi ini akibat dari kelainan tulang dasar tengkorak dan berhubungan dengan kelainan bentuk tuba Eustachius (DiFrancesco, 2007).

Kemaloğlu et al di Turki pada tahun 1995, mengevaluasi sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius pada 30 penderita otitis media supuratif anak-anak dan 30 anak-anak sehat dengan menggunakan lateral


(18)

cephalometric radiography untuk mengukur titik dan garis yang berhubungan dengan tulang kraniofasial dan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang bagian tulang tuba Eustachius, panjang bagian vertikal otot tensor veli palatini dan sistem sel udara mastoid lebih kecil pada pasien otitis media (Kemaloğlu, 1995).

Kemaloğlu et al di Jepang pada tahun 1999, dari hasil penelitian klinik dan data cephalometric pada 37 anak-anak Jepang yang terdiri dari 12 penderita celah palatum (palato schisis), 25 penderita bibir sumbing unilateral disertai celah palatum (labiopalato schisis) dan 40 orang kontrol. Data menunjukkan bahwa OMSK lebih sering terjadi pada anak-anak yang menderita bibir sumbing unilateral disertai celah palatum (76%) dan pada anak-anak yang menderita celah palatum saja (67%) dibandingkan kontrol (10 %). Terdapat perbedaan pada ukuran sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius yang berhubungan dengan kecenderungan terjadinya OMSK pada kasus bibir sumbing unilateral disertai celah palatum (Kemaloğlu, 1999).

Kemaloğlu et al di Jepang pada tahun 2000, dari penelitian yang dilakukan pada 50 orang Jepang dewasa (25 laki-laki dan 25 perempuan) mendapatkan data penelitian yang menunjukkan bahwa parameter-parameter kraniofasial sangat jelas berpengaruh pada ukuran panjang tuba Eustachius dan menunjukkan hubungan antara abnormalitas kraniofasial dan tuba Eustachius merupakan sesuatu yang penting pada terjadinya otitis media (Kemaloglu, 2000).


(19)

DiFrancesco et al di Brazil pada tahun 2003, melakukan penelitian pada 66 orang dewasa (usia 18 – 40 tahun) yang dibagi dalam dua kelompok (32 penderita OMSK dan 34 orang normal). Berdasarkan analisa statistik terhadap hasil pengukuran cephalometric pada pasien OMSK dan normal didapatkan perbedaan yang bermakna. Dari penelitian ini DiFrancesco et al berkesimpulan bahwa ada empat ukuran parameter kraniofasial yang dapat digunakan untuk meramalkan perkembangan otitis media, yaitu : panjang basis kranial anterior, sudut antara basis kranial, sudut kedalaman maksila dan anterior upper face height / AUFH (DiFrancesco, 2003; DiFrancesco, 2007).

Pada pemeriksaan cephalometric radiography, dapat ditentukan ukuran-ukuran tulang, gigi dan jaringan lunak komplek kraniofasial. Cephalometric radiography memungkinkan untuk mengevaluasi komplek karniofasial melalui proyeksi lateral cephalometric radiography dan posteroanterior cephalometric radiography dengan tujuan untuk membuat pengukuran kepala. Cephalometric radiography memungkinkan untuk mempelajari hubungan posisi mandibula, maksila dan basis kranium dengan struktur komplek kraniofasial (Sadowsky, 1995; Weems, 1995; DiFrancesco, 2003).

Lateral cephalometric radiography memberikan data bilateral. Rata-rata ukuran yang diperoleh dari lateral cephalometric radiography merupakan angka rata-rata ukuran dari sisi kanan dan kiri tulang tengkorak. Todd et al pada tahun 1998 melaporkan bahwa sangat eratnya hubungan antara


(20)

ukuran-ukuran pada dasar tengkorak dan tuba Eustachius antara sisi kiri dan kanan pada tulang tengkorak (Kemaloğlu, 2000).

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan ukuran parameter kraniofasial dengan penderita OMSK benigna dewasa.

1.3 Hipotesis

Terdapat hubungan ukuran parameter kraniofasial dengan penderita OMSK benigna dewasa.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan ukuran parameter kraniofasial dengan penderita OMSK benigna dewasa.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui ukuran parameter garis dan sudut referensi tulang kraniofasial pada penderita OMSK benigna dewasa.

b. Mengetahui ukuran parameter garis dan sudut referensi tulang kraniofasial pada dewasa normal (kontrol).


(21)

c. Mengetahui perbedaan ukuran parameter garis dan sudut referensi tulang kraniofasial penderita OMSK benigna dewasa dengan dewasa normal (kontrol).

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Dapat mengetahui parameter kraniofasial yang menjadi faktor penyebab terjadinya perubahan posisi tuba Eustachius sehingga mempengaruhi perkembangan kedepan penyakit OMSK benigna. 1.5.2 Sebagai pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Kesehatan Telinga


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi Tulang Tengkorak

Tengkorak dibentuk oleh sejumlah tulang-tulang, sebagian besar tulang-tulang tengkorak merupakan tulang pipih dan saling terikat oleh sendi-sendi kaku yang disebut sutura. Jaringan pengikat antara tulang-tulang disebut sutura ligamentum. Bentuk sutura tidak rata dan terlihat seperti gerigi. Sutura yang terpanjang dan sangat penting yaitu sutura coronalis, sutura sagittalis, sutura squamosa dan sutura lambdoidea yang menghubungkan tulang-tulang kranium (Snell, 1995; Marieb, 2001).

Tengkorak terdiri dari 22 buah tulang, 21 buah tulang terikat secara bersama-sama dan 1 buah tulang mandibula atau tulang rahang bawah yang dapat bergerak dan berhubungan dengan tengkorak oleh sepasang sendi sinovial. Tulang-tulang tengkorak dapat dibagi menjadi dua, yaitu tulang-tulang kranium dan tulang-tulang-tulang-tulang fasial. Tulang-tulang-tulang kranium menutupi dan melindungi otak dan tempat melekatnya otot-otot kepala dan leher. Tulang-tulang fasial membentuk kerangka wajah, membentuk rongga tempat organ-organ sensori, tempat lewatnya makanan dan udara pernafasan, tempat tumbuhnya gigi dan tempat melekatnya otot-otot wajah (Hollinshead, 1985; Snell, 1995; Marieb, 2001).


(23)

Tulang-tulang kranial terdiri dari : tulang frontale (1 buah), tulang parietale (2 buah), tulang occipitale (1 buah), tulang temporal (2 buah), tulang sphenoidale (1 buah) dan tulang ethmoidale (1 buah). Tulang-tulang fasial terdiri dari : tulang zygomaticum (2 buah), maksila (2 buah), tulang nasale (2 buah), tulang lacrimale (2 buah), vomer (1 buah), tulang palatinum (2 buah), tulang conchae nasalis inferior (2 buah) dan mandibula (1 buah) (Snell, 1995; Marieb, 2001).

a. Gambaran anterior tulang tengkorak

Tulang frontale melengkung kearah bawah membentuk batas atas orbita. Pada bagian medial, tulang frontale bersendi dengan processus frontalis maxilla dan tulang nasale. Pada bagian lateral, tulang frontale bersendi dengan tulang zygomaticum. Orbita dibatasi oleh superior: tulang frontale, lateral: tulang zygomaticum, inferior: maksila dan medial: processus maxilla dan tulang frontale (Snell, 1995).

Punggung hidung dibentuk oleh dua buah tulang nasale. Pinggir bawahnya berbatasan dengan maksila, membentuk apertura nasalis anterior. Kavum nasi dibagi menjadi dua oleh tulang septum nasal, yang sebagian besar adalah vomer. Concha nasalis superior dan media menonjol ke kavum nasi berasal dari tulang ethmoidale, concha nasalis inferior merupakan tulang tersendiri (Snell, 1995).

Dua buah tulang maksila membentuk rahang atas, bagian anterior palatum durum, bagian dinding lateral kavum nasi dan dasar kavum orbita.


(24)

Kedua tulang-tulang ini bertemu di garis tengah pada sutura intermaxillaris dan membentuk batas bawah apertura nasalis (Snell, 1995).

Tulang zygomaticum membentuk penonjolan pipi, dinding lateral dan dasar kavum orbita. Pada bagian medial tulang zygomaticum bersendi dengan maksila, dan lateral bersendi dengan processus zygomaticus tulang temporal untuk membentuk arcus zygomaticus. Mandibula atau rahang bawah, terdiri dari corpus horizontal dan dua ramus vertikal. Corpus bertemu dengan ramus pada angulus mandibulae. Batas atas mandibula adalah bagian alveolaris yang terdapat gigi-gigi bawah (Snell, 1995).

b. Gambaran lateral tulang tengkorak

Tulang frontale membentuk bagian sisi anterior tengkorak dan bersendi dengan tulang parietale oleh sutura coronalis. Tulang parietale membentuk bagian samping dan atap tengkorak, kemudian bersendi dengan tulang parietale yang lainnya pada garis tengah oleh sutura sagittalis. Dan bersendi dengan tulang occipitale pada bagian belakang oleh sutura lambdoidea (Snell, 1995).

Tangkorak bagian lateral dibentuk secara keseluruhan oleh bagian squamousa tulang occipitale; bagian-bagian tulang temporale yaitu squamousa, tympanic, processus mastoideus, processus styloideus dan processus zygomaticus; dan ala major tulang sphenoidale. Ramus dan corpus mandibulae terdapat di inferior (Snell, 1995).


(25)

c. Gambaran posterior tulang tengkorak

Pada bagian posterior kedua tulang parietale dibagi oleh sutura sagittale di sebelah atas. Pada bagian bawah, tulang parietale bersendi dengan bagian squamosa tulang occipitale oleh sutura lambdoidea. Pada setiap sisi tulang occipitale bersendian dengan tulang temporal. Pada garis tengah tulang occipitale terdapat tonjolan kasar yang disebut protuberantia occipitalis externa, yang merupakan tempat melekatnya otot dan ligamentum nuchae. Pada setiap sisi protuberantia membentuk linea nuchae superior yang meluas ke lateral kearah tulang temporal (Snell, 1995).

d. Gambaran superior tulang tengkorak

Pada bagian anterior, 1 buah tulang frontale yang bersendi dengan 2 buah tulang parietale oleh sutura coronalis. Pada bagian belakang, diantara kedua tulang parietale membentuk sendi di garis tengah oleh sutura sagittale. Pada bagian tengah tulang parietale terbentuk tonjolan kecil disebut eminentia parietale (Snell, 1995).

c. Gambaran inferior tulang tengkorak

Jika mandibula dibuang, maka pada bagian anterior dibentuk oleh palatum durum. Processus palatinus maxilla dan bidang horizontal dari tulang palatinum dapat dikenali. Pada anterior garis tengah terdapat fossa dan foramen incisivum. Pada posterolateral terdapat foramen palatinum major dan minor. Di atas pinggir posterior palatum durum terdapat choana. Ujung


(26)

inferior lamina pterygoideus medial memanjang seperti ujung tulang yang melengkung disebut hamulus pterygoideus, ujung superior melebar membentuk fossa scaphoid (Snell, 1995).

Posterolateral dari lamina pterygoideus lateral, pada bagian ala major sphenoid terdapat foramen ovale dan foramen spinosum. Posterolateral dari foramen spinosum terdapat spina ossis sphenoidalis. Di atas pinggir medial fossa scaphoid, tulang sphenoidale ditembus oleh canalis pterygoideus. Dibelakang spina ossis sphenoidalis, di antara tulang sphenoid dan bagian petrosus tulang temporal terdapat lekukan tempat bagian tulang rawan tuba Eustachius dan ostium bagian tulang tuba Eustachius (Snell, 1995).

Fossa mandibularis dari tulang temporal dan tuberculum articulare membentuk permukaan atas sendi temporomandibularis. Processus styloideus dari tulang temporal menonjol ke arah bawah dan ke arah depan. Orifisium canalis caroticus terdapat pada permukaan inferior bagian petrosus tulang temporal(Snell, 1995).

Lempeng timpani, yang merupakan bagian dari tulang temporal, berbentuk seperti C dan membentuk bagian tulang meatus acusticus externus. Diantara processus styloideus dan processus mastoideus terdapat foramen stylomastoideum. Posterior dari foramen magnum pada garis tengah terdapat crista occipitalis externa menuju kearah atas dan belakang ke protuberantia occipitalis externa (Snell, 1995).


(27)

2.1.2 Anatomi Telinga Tengah

Telinga berfungsi sebagai organ pendengaran dan pengatur keseimbangan. Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto, 2004). Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius dan prosesus mastoideus (Dhingra, 2007).

a. Membran timpani

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertikal rata-rata 9-10 mm, dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm. Membran ini tipis, licin dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007). Membran timpani terdiri dari tiga lapisan, lapisan luar terdiri dari epitel skuamosa, bagian dalam merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah yang dilapisi epitel kuboidal. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler (sirkumferensial) (Yates, 2008).

Secara anatomis membran timpani dibagi dalam dua bagian yaitu: 1. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani

merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada sulkus timpanikus pada tulang temporal.


(28)

2. Pars flaksida atau membran Sharpnell, letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh dua lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (lipatan belakang) (Dhingra, 2007).

b. Kavum timpani

Kavum timpani mempunyai bentuk ireguler, antara dinding lateral dan dinding medial kavum timpani berisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga bagian yaitu bagian superior yang berhubungan dengan membran timpani disebut epitimpani atau atik, yang terletak dipinggir atas dari membran timpani. Setentang membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah pinggir membran timpani disebut hipotimpani (Colman, 1993; Yates, 2008).

Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior dan dinding posterior (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fosa kranial media (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya dibatasi oleh lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi, bahkan kadang-kadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).


(29)

Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium. Tonjolan ini karena didalamnya terdapat koklea (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Dinding posterior kavum timpani ke arah superior, terdapat sebuah saluran disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral terdapat eminentia pyramidalis yang terletak di bagian supero-medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia pyramidalis dengan tempat keluarnya khorda timpani. Terdapat juga fosa inkudis yang terletak persis diatas sinus lateral (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan arteri karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Dibagian atas dinding anterior terdapat semikanal otot tensor tympani yang terletak persis diatas muara tuba eustachius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Ada 5 faktor yang mengatur tekanan pada kavum timpani, yaitu: (Ahmed, 2004)

1. Fungsi ventilasi tuba Eustachius.


(30)

3. Ketebalan mukosa telinga tengah. 4. Elastisitas membran timpani. 5. Ukuran pneumatisasi mastoid.

c. Tuba Eustachius

Tuba Eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani dengan nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian yaitu bagain tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (sepertiga bagian) dan bagian tulang rawan yang terletak pada bagian depan dan panjang (duapertiga bagian) (Helmi, 2005).

Fungsi tuba Eustachius adalah sebagai ventilasi telinga tengah yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani (Healy, 2003; Helmi, 2005).

Lumen tuba Eustachius menghubungkan antara nasofaring (proksimal) dengan telinga tengah (distal). Pada pertengahan terdapat penyempitan yang disebut isthmus. Penelitian yang terbaru dengan menggunakan pencitraan tiga dimensi pada 9 sampel tulang temporal manusia oleh Sudo menunjukkan bahwa isthmus berada pada ujung distal bagian tulang rawan dan bukan pada pertemuan bagian tulang rawan dengan bagian tulang tuba Eustachius. Pertemuan antara bagian tulang rawan dan


(31)

bagian tulang tuba Eustachius ini dinamakan junctional portion, pada orang dewasa panjangnya 3 mm. Pada dinding lateral nasofaring terdapat penonjolan disebut torus tubarius, yang menonjol ke nasofaring. Penonjolan ini dibentuk oleh kumpulan jaringan lunak yang melapisi tulang rawan tuba Eustachius (Bluestone, 2006).

Pada orang dewasa, tuba Eustachius lebih panjang dibandingkan dengan bayi dan anak-anak. Panjang tuba Eustachius yang terpendek 30 mm dan terpanjang 40 mm, tetapi berdasarkan literatur rata-rata panjang tuba Eustachius adalah antara 31 – 38 mm. Pada sepertiga posterior tuba Eustachius orang dewasa merupakan bagian tulang yang panjangnya 11 – 14 mm, dan duapertiga anterior merupakan bagian tulang rawan yang panjangnya 20 – 25 mm. Pada orang dewasa tuba Eustachius membentuk sudut 450 terhadap bidang horizontal dan pada anak-anak hanya 100. Anatomi basis kranial sangat berhubungan dengan panjang tuba Eustachius, yang juga berhubungan dengan faktor predisposisi terjadinya penyakit telinga tengah (Bluestone, 2006).

Bagian tulang tuba Eustachius (protympanum) seluruhnya berada pada bagian petrosus tulang temporal dan dilanjutkan dengan dinding anterior dari bagian superior telinga tengah. Pertemuan antara bagian tulang dan epitimpanum kira-kira 4 mm di atas dasar kavum timpani. Hubungan antara tuba Eustachius dan telinga tengah ini sangat penting pada fungsi pembersihan cairan telinga tengah (Bluestone, 2006 ; Yoshida, 2007).


(32)

Bagian tulang tuba Eustachius mempunyai arah anteromedial, mengikuti apex petrosus dan sedikit menyimpang dari bidang horizontal. Bentuk lumen kira-kira seperti segitiga, ukuran diameter vertikal 2 – 3 mm dan horizontal 3 – 4 mm. Pada keadaan normal bagian tulang tuba Eustachius tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan tertutup pada waktu istirahat dan terbuka pada waktu menelan atau dipaksa membuka seperti pada waktu valsava manuver. Bagian tulang dan tulang rawan tuba Eustachius bertemu pada permukaan tulang yang tidak rata dan membentuk sudut 1600. Dinding medial bagian tulang tuba Eustachius terdiri dari dua bagian, yaitu posterolateral (labyrinthine) dan anteromedial (carotis), dimana ukuran dan bentuknya tergantung pada posisi arteri carotis interna. Ukuran rata-rata ketebalan bagian anteromedial adalah 1,5 – 3 mm dan pada 2 % populasi tidak terbentuk dinding dan terpapar dengan arteri carotis interna (Bluestone, 2006).

Bagian tulang rawan tuba Eustachius mempunyai arah anteromedial dan inferior, membentuk sudut 300 – 400 terhadap bidang tranversal dan membentuk sudut 450 terhadap bidang sagital. Bagian ini melekat dengan kuat ke orifisium bagian tulang tuba Eustachius oleh jaringan ikat (fibrous) dan meluas ke bagian tulang tuba Eustachius kira-kira 3 mm. Pada ujung inferomedial melekat ke tuberculum pada pinggir posterior lamina pterygoideus medial. Lumen tuba berbentuk seperti dua buah kerucut yang saling berhubungan pada ujung-ujungnya. Pada lumen ini terdapat titik yang paling sempit disebut isthmus. Posisi isthmus biasanya pada atau sekitar


(33)

pertemuan bagian tulang dan bagian tulang rawan tuba Eustachius. Diameter lumen isthmus tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Dari sejak lahir sampai pubertas panjang bagian tulang rawan tuba Eustachius semakin bertambah, perkembangan ini mempunyai implikasi fisiologik (Bluestone, 2006).

Terdapat empat otot yang berhubungan dengan tuba Eustachius: tensor veli palatini, levator veli palatini, salpingopharyngeus dan tensor tympani. Masing-masing otot secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi fungsi tuba Eustachius. Meskipun terjadinya mekanisme dilatasi tuba Eustachius masih kontroversi, kebanyakan bukti-bukti anatomi dan fisiologi yang mendukung bahwa terjadinya dilatasi tuba Eustachius hanya disebabkan oleh otot tensor veli palatini (Bluestone, 2006).

Ventilasi pada telinga tengah dipertahankan melalui adanya pembukaan yang aktif pada lumen tuba Eustachius dan ini dapat terjadi secara primer karena kontraksi otot tensor veli palatini dan secara sekunder akibat kontraksi otot levator veli palatini terutama pada bagian anterior. Sandoz et al telah menekankan bahwa pembukaan bagian superior lumen tuba Eustachius diakibatkan oleh kontraksi otot tensor veli palatini yang menarik lamina lateralis pada tulang rawan inferolateral tuba Eustachius. Hipotesa ini memberikan suatu implikasi bahwa hubungan anatomis yang berbeda antara otot tensor veli palatini dan lamina lateralis tulang rawan tuba Eustachius dapat menjadi suatu faktor yang penting dalam memahami perobahan fungsi ventilasi yang dihubungkan dengan peningkatan prevalensi otitis media pada anak-anak dan usia lanjut. Suzuki et al pada tahun 2003


(34)

mendapatkan bahwa panjang tempat perlengketan otot tensor veli palatini di lamina lateral tulang rawan tuba Eustachius masih pendek pada masa anak-anak dan terus bertambah dengan meningkatnya usia, selanjutnya menetap antara usia 17 sampai 38 tahun. Sebaliknya, tempat perlengketan otot tensor veli palatini berkurang pada usia lanjut, dimana panjang tempat perlengketan otot tensor veli palatini lebih pendek secara bermakna pada 3 subjek usia lebih dari 70 tahun (p <0,01). Penemuan Suzuki et al mendukung kenyataan bahwa terjadi peningkatan prevalensi otitis media pada anak-anak dan usia lanjut (Suzuki, 2003).

Aktifitas otot tensor veli palatini dan otot levator veli palatini merupakan faktor penting pada fungsi tuba Eustachius. Aktivitas otot levator veli palatini menetap pada waktu dilatasi ostium tuba Eustachius, walaupun aktifitas otot tensor veli palatini sudah berakhir. Kontraksi otot levator veli palatini yang menetap ini menyebabkan bagian anterior tulang rawan tuba Eustachius tetap terbuka setelah relaksasi otot tensor veli palatini. Tetap terbukanya bagian anterior tulang rawan tuba eustachius setelah bagian tulang rawan medial dan posterior tertutup oleh relaksasi otot tensor veli palatini akan menghasilkan aksi pompa tuba Eustachius dari arah kavum timpani ke nasofaring, hal ini membantu fungsi pembersihan telinga tengah (Alper, 1997; Takasaki, 2002; Ishijima, 2002; Ghadiali, 2003).


(35)

d. Prosesus mastoideus

Bagian terbesar tulang temporal dibentuk oleh bagian mastoid disebelah posterior dan inferior. Namun demikian, karena bagian ini mengalami pneumatisasi yang luas, massanya tidak melebihi bagian-bagian tulang temporal lainnya. Prosesus mastoid menonjol kearah inferior dibelakang meatus acusticus externus. Bagian ini berperan sebagai tempat perlekatan otot-otot sternocleidomastoidea, splenius capitis dan longisimus capitis. Pada bagian inferior terdapat suatu lekukan yang dalam yaitu fossa digastricus, tempat melekatnya otot digastricus. Pada bagian dalam prosesus mastoideus, lekukan ini membentuk eminentia digastricus yang merupakan suatu patokan penting pada saat operasi mastoidektomi, karena foramen stilomastoid merupakan tempat lewatnya nervus fasialis terletak pada ujung anterior eminentia digastricus tersebut. Permukaan superior mastoid merupakan suatu lempengan tipis terletak diatas antrum timpanika yang dikenal dengan tegmen mastoid. Di posterior, bersama-sama dengan permukaan posterior tulang petrosa membentuk batas anterior fosa kranial posterior. Disini terdapat suatu lekukan dalam yang dibentuk oleh sinus lateral atau sinus sigmoid. Dua buah saluran lain yang lebih kecil menuju ke medial, berisi sinus petrosa inferior dan superior (Austin, 1994).

Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum mastoideum adalah ruangan pertama dan terbesar yang terdiri dari sel udara mastoid. Sel udara ini berhubungan satu dengan lain dan pertumbuhan dari sel udara mastoid tiap orang berbeda. Pneumatisasi prosesus mastoideus


(36)

menurut tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik, diploik dan pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah terjadi radang (Helmi, 2005).

Luasnya pneumatisasi tulang temporal bervariasi untuk masing-masing individu. Hal ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor heriditer dan faktor lingkungan. Terjadinya otitis media pada masa bayi dan anak-anak dapat menghambat pneumatisasi dan mengakibatkan sklerosis. Dilain pihak terdapat bukti bahwa pneumatisasi yang terbatas merupakan faktor predisposisi untuk infeksi telinga tengah (Austin, 1994). Sel udara mastoid mempunyai peranan penting terhadap fungsi fisiologis telinga tengah. Turmarkin dan Holmquist menyatakan bahwa sel udara mastoid berperan sebagai rongga udara pada telinga tengah dan bertanggung jawab terhadap pengaturan tekanan telinga tengah. Menurut Wittmaack’s (teori endodermal), mukosa telinga tengah yang normal merupakan syarat mutlak untuk terjadinya pneumatisasi normal sel udara mastoid, tetapi proses tersebut dapat dihambat oleh inflamasi atau kelainan fungsi tuba Eustachius (Virapongse, 1985; Ahmet, 2004).

Berdasarkan ukuran sistem sel udara mastoid, telinga dibagi atas 2 kelompok yaitu telinga dengan pneumatisasi rendah (low-pneumatized ears) dan telinga dengan pneumatisasi baik (well-pneumatized ears). Low-pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid < 8 cm2 dan well-pneumatized ears mempunyai ukuran sistem sel udara mastoid > 8 cm2 (Sethi, 2006).


(37)

Faktor predisposisi terjadinya otitis media supuratif adalah telinga dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (< 8 cm2). Menjadi kroniknya otitis media supuratif menunjukkan tidak berfungsinya struktur sel udara mastoid dalam mengatur dan mempertahankan fluktuasi tekanan telinga tengah. Pada berbagai bentuk otitis media, terjadi tekanan negatif di telinga tengah dan pengaturan tekanan ini tidak dapat dilakukan pada kasus dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (Ahmet, 2004)

Sade melaporkan pada 72 penderita OMSK dewasa didapatkan 52,2% dengan pneumatisasi sel udara mastoid rendah (< 8 cm2) dan 20% dengan pneumatisasi sel udara mastoid baik (> 8 cm2). Pada 150 telinga normal mendapatkan rata-rata volume pneumatisasi sel udara mastoid 12,9±4 cm2. Sade berpendapat bahwa otitis media supuratif dan komplikasinya terjadi setelah perkembangan dan maturasi sistem sel udara mastoid. Dia juga berpendapat bahwa proses inflamasi (seperti pada otitis media supuratif) menyebabkan terjadinya keseimbangan negatif gas-gas di telinga tengah. Menurut Sade dan Hadas, prognosis otitis media sangat tergantung pada volume sistem sel udara mastoid. Semua penelitian menunjukan bahwa tingkat pneumatisasi sel udara mastoid merupakan faktor penting dalam prognosis otitis media (Ahmet, 2004)

2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang Tengkorak

Pada umumnya, pertumbuhan hanya mengenai bertambahnya ukuran. Tetapi konsep umum tersebut tidak cukup untuk menggambarkan


(38)

pertumbuhan. Jika hanya berdasarkan konsep itu, maka bayi akan tumbuh seperti balon yang mengembang dan orang dewasa merupakan pembesaran dari bayi. Ada 3 aspek yang mempengaruhi pertumbuhan yang digambarkan pada kurva pertumbuhan Scammon yaitu bertambahnya ukuran, berkurangnya ukuran (negative growth) dan pertumbuhan diferensiasi (Jacobson, 1995).

Tengkorak dapat dibagi atas dua struktur utama yaitu bagian kranium dan fasial. Bagian fasial terdiri dari nasal, maksila dan mandibula. Pertumbuhan rongga otak atau calvarium sangat berhubungan dengan pertumbuhan otak itu sendiri, sedangkan pertumbuhan tulang-tulang bagian fasial mengikuti pertumbuhan somatik. Pada bayi baru lahir, bagian kranium berukuran 8 sampai 9 kali lebih besar dibandingkan bagian fasial. Perbandingan ukuran ini berubah akibat pertumbuhan diferensiasi sampai ukuran bagian kranium kira-kira 50% dari wajah orang dewasa. Kecepatan pertumbuhan diferensiasi juga terdapat pada pertemuan tulang-tulang kranium dan fasial. Daerah atau area pertemuan antara tulang-tulang kranium dan dentofasial dinamakan dengan basis kranial. Basis kranial terdiri dari beberapa tulang-tulang pendukung yang berada di anterior foramen magnum. Tulang-tulang yang membentuk basis kranial adalah bagian dasar tulang occipitale, sphenoidale dan ethmoidale. Bagian intrakranial mengikuti kurva pertumbuhan saraf dan bagian fasial mengikuti kurva pertumbuhan somatik (Jacobson, 1995).


(39)

Pertumbuhan yang tercepat terjadi pada tahun-tahun pertama kelahiran. Selama 7 bulan pertama kelahiran, kecepatan pertumbuhan anak laki-laki lebih cepat daripada anak perempuan. Dari usia 4 tahun sampai masa pubertas, kecepatan pertumbuhan anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Perlambatan pertumbuhan masa pubertas mulai pada usia 13 tahun pada sebagian besar anak perempuan dan usia 15 tahun pada anak laki-laki. Pertumbuhan pada perempuan berhenti pada usia 17 sampai 19 tahun, tetapi pada laki-laki bisa berlanjut sampai usia 20 tahun (Jacobson, 1995).

Enlow pada tahun 1996 menyatakan bahwa perubahan pertumbuhan pada bagian-bagian yang berbeda tulang kraniofasial mempengaruhi satu sama lainnya. Basis kranial, komplek nasomaksilaris dan mandibula merupakan unit-unit perkembangan utama pada tulang kraniofasial. Tuba Eustachius dan otot-ototnya berlokasi diantara basis kranial posterior dan maksila. Diketahui bahwa basis kranial posterior bergerak tumbuh ke arah anterior bersama-sama lamina pterygoideus dan komplek nasomaksilaris sebagai akibat dari berpindahnya letak fosa kranial media ke anterior sebagai hasil dari pembesaran otak. Komplek nasomaksilaris bergerak ke arah bawah dan ke depan oleh pergerakan primer dan aktifitas deposisi dan reposisi pada maksila posterior. Pertumbuhan daerah dimana tuba Eustachius berada tergantung pada aktifitas pertumbuhan kedua basis kranial (basis kranial anterior dan basis kranial posterior) dan maksila posterior (Kemaloğlu, 2000).


(40)

2.3 Otitis Media Supuratif Kronik

Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 12 minggu, baik terus menerus atau hilang timbul (Helmi, 2005; Kenna, 2006).

Banyak faktor medikal dan atau faktor abnormalitas anatomi yang dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit telinga tengah. Kelainan kraniofasial akan mempengaruhi fungsi tuba Eustachius sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya otitis media. Anak-anak dengan celah palatum atau kelainan bentuk wajah, dasar tengkorak atau hidung dan sinus paranasal secara statistik mempunyai insiden otitis media yang tinggi pada semua usia. Bayi dan anak mempunyai sistem immun yang belum matang sehingga sangat rentan terjadinya otitis media. Kondisi lainnya yang berhubungan dengan meningkatnya insidensi otitis media, seperti alergi, nasal obstruksi (sinusitis, adenoid hipertropi, nasal atau nasofaring tumor), prolonged nasal intubation dan refluks gastroesophageal (Kenna, 2006).

Abnormalitas fungsi tuba Eustachius merupakan dasar patogenesis terjadinya otitis media. Tuba Eustachius pada bayi dan anak lebih pendek, lebih horizontal dan fungsinya belum sempurna dibandingkan orang dewasa. Infeksi saluran nafas atas akan menyebabkan edema dan menebalnya mukosa tuba Eustachius dan telinga tengah sehingga lumen tuba Eustachius menyempit. Keadaan ini meningkatkan tekanan negatif telinga tengah sehingga menyebabkan masuknya bakteri dan virus dari nasofaring pada


(41)

saat tuba Eustachius terbuka. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi fungsi tuba Eustachius seperti obstruksi fungsional atau kelainan anatomi tuba Eustachius dan abnormalitas mukosa (Parisier, 1974; Kenna, 2006).

OMSK dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe jinak (tipe tubotimpanik, tipe benigna, tipe mukosa) dan tipe bahaya (tipe atiko-antral, tipe tulang, tipe maligna) (Dhingra, 2004; Helmi, 2005).

OMSK tipe benigna, proses patologi telinga tengah pada tipe ini didahului oleh kelainan fungsi tuba Eustachius, maka disebut juga sebagai penyakit tubotimpanik. Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak-anak, jarang dimulai setelah dewasa. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga tengah karena struktur tuba Eustachius anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran nafas atas, maka otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi (Dhingra, 2004; Helmi, 2005).

OMSK tipe maligna adalah OMSK yang mengandung kolesteatoma. Disebut tipe berbahaya karena sering menimbulkan komplikasi berbahaya. Kolesteatoma adalah epitel gepeng dan debris tumpukan pengelupasan keratin yang terjebak di dalam rongga timpanomastoid. Patofisiologinya bisa terjadi kongenital maupun didapat. Tidak ada terapi medikamentosa untuk kolesteatoma, untuk eradikasinya memerlukan pembersihan dengan operasi (Dhingra, 2004; Helmi, 2005).


(42)

2.4 Cephalometric Radiography

Cephalometric radiography adalah pencitraan tulang tengkorak yang diperoleh dengan cara yang standar, sehingga menciptakan proyeksi geometri antara sinar / film / pasien untuk mendapatkan pencitraan struktur anatomi kranial, fasial dan oral. Proyeksi radiografi yang standar memberikan ukuran yang tepat dan perbandingan antara strukrtur oral dan kraniofasial secara langsung pada film, selanjutnya dilakukan penjiplakan sketsa landmark anatomi tulang yang diperoleh dari film hasil pencitraan (Weems, 1995).

Ada dua jenis proyeksi pada cephalometric radiography, yaitu : lateral cephalometric radiography dan posteroanterior cephalometric radiography. Lateral cephalometric radiography memperlihatkan pencitraan sebagian besar struktur anatomi kranial, fasial dan oral dari arah lateral (Weems, 1995).

2.4.1 Teknik Lateral Cephalometric Radiography

Posisi kepala pasien berada dalam cephalostat yang dapat disesuaikan pada kedua telinga, kedua ujung cephalostat ditempatkan pada masing-masing liang telinga, biasanya pasien pada posisi berdiri. Pasien pada bidang midsagittal dalam posisi vertikal dan tegak lurus terhadap sinar x. Bidang film sejajar dengan pasien dan sumber sinar x, juga tegak lurus dengan sinar x. Bidang Frankfort pasien (garis yang menghubungkan pinggir superior meatus acusticus externus dengan infraorbita) dibuat sejajar


(43)

dengan lantai. Posisi pasien pada posteroanterior cepahalometric sama dengan lateral cephalometric radiography, kecuali pasien diputar 900 sehingga wajah menghadap film (Smith, 1988; Weems, 1995).

Karena sinar x yang berasal dari sumber sinar membentuk pola divergen, maka akan terbentuk pembesaran objek pada film. Besarnya derajat pembesaran tergantung pada rasio jarak sumber sinar ke objek dan jarak sumber sinar ke film. Untuk mengurangi efek ini, jarak antara sumber sinar x ke bidang midsagittal kepala pasien adalah 5 kaki dan jarak bidang midsagittal kepala pasien ke film adalah 15 cm (Smith, 1988; Weems, 1995).

2.4.2 Teknik Penjiplakan dan Identifikasi Landmark pada Film

Cephalogram

Pertama film cephalogram diletakkan di atas viewbox dengan wajah pasien menghadap ke kanan, selanjutnya ke empat sudut dilekatkan dengan plester ke viewbox. Dengan menggunakan pena tinta hitam dibuat tiga buah tanda tambah (+) di atas film cephalogram, dua buah di dalam kranium dan satu buah di daerah vertebra cervical. Tanda tambah ini akan membantu orientasi saat penjiplakan pada kertas asetat. Berikutnya, kertas asetat diletakkan di atas film cephalogram dan diplester dengan kuat pada film dan viewbox. Setelah kertas asetat dilekatkan dengan kuat, kemudian dibuat jiplakan tiga buah tanda tambah. Tuliskan nama pasien, nomor catatan medik, umur dalam tahun dan bulan, tanggal film cephalogram dibuat dan nama pemeriksa pada sudut kiri bawah kertas asetat. Seksi selanjutnya


(44)

dimulai penjiplakan sketsa dengan menggunakan pensil. Penggunaan pensil dengan tekanan yang halus, tidak putus-putus dan hindari penghapusan (Caufield, 1995).

Gambar 2.1 Film cephalogram (Shin 2002).

Sketsa bentuk jaringan lunak atau jaringan keras (seperti nasion, anterior nasal spine) bila merupakan bayangan garis yang kabur, maka untuk lebih memperjelas visualisasi kurangi pencahayaan dengan menggunakan satu atau lebih kertas karbon hitam (Caufield, 1995).

Setelah penjiplakan selesai, hasil penjiplakan dapat dilepaskan dari viewbox dan film cephalogram. Terlebih dahulu landmark dibuat, kemudian dilakukan beberapa fotokopi hasil penjiplakan asli. Sudah merupakan


(45)

ketetapan umum, hanya titik yang melambangkan landmark yang ditulis langsung pada kertas penjiplakan asli. Menggambar beberapa garis atau notasi pada hasil penjiplakan asli harus dihindari, karena hal yang demikian dapat membuat berantakan penjiplakan dan sering mengaburkan bagian-bagian yang dibutuhkan untuk perbandingan selanjutnya (Caufield, 1995).

Pada saat sekarang ini, mesin radiografi konvensional yang menggunakan film sudah mulai digantikan oleh sistem digital. Keuntungan menggunakan radiografi digital dibandingkan dengan radiografi konvensional yang menggunakan film akan membuat penyimpanan hasil pencitraan menjadi lebih mudah, pencitraan yang dihasilkan lebih cepat, beban radiasi lebih kecil, penggunaan bahan-bahan kimia berkurang dan lebih banyak pilihan untuk memanipulasi hasil pencitraan dari segi ukuran dan kontras. Dari hasil penelitian Schulze et al pada tahun 2002 di Jerman mendapatkan bahwa ketepatan dan kemampuan untuk mengidentifikasi landmark pada cephalogram digital dibandingkan dengan cephalogram konvensional adalah sama (Schulze, 2002).

a. Titik dan garis referensi pada lateral cephalometric radiography. Beberapa titik dan garis referensi yang digunakan sebagai landmark pada lateral cephalometric radiography, yaitu : (Caufield 1995; Kemaloğlu, 1999; Kemaloğlu, 2000)

ans : Anterior nasal spine, titik paling ujung pada bagian anterior dasar hidung.


(46)

ar : Articulare, titik perpotongan antara kontur eksternal basis kranial dan kontur dorsal caput atau collum condylaris.

ba : Basion, titik paling postero-inferior dari tulang spheno-occipital pada batas anterior foramen magnum.

go : Gonion, titik paling posterior-inferior pada bagian luar angulus mandibulae.

gn : Gnathion, titik paling antero-inferior pada symphysis mandibulae. m : Titik paling antero-inferior pada batas posterior foramen magnum. me : Menton, titik paling inferior pada symphysis mandibulae.

mep : Middle ear point, titik paling antero-inferior pada bayangan telinga tengah.

n : Nasion, titik paling anterior pada fronto-nasal suture.

pg : Pogonion, titik paling anterior pada symphysis mandibulae. pns : Posterior nasal spine, titik paling posterior dari tulang palatum. ptm : Pterygomaxillare, titik paling inferior dari fissure antara lamina

pterygoideus dan kontur posterior maksila. s : Sella, titik dipertengahan sella turcica.

sep : Sphenoethmoidal point, titik paling superior pada perpotongan tulang sphenoidale dan ethmoidale.

sm : Supramentale, titik paling posterior pada kontur anterior processus alveolar inferior.

ss : Subspinale, titik paling posterior pada kontur anterior processus alveolar superior.


(47)

PL : Palatal line, garis yang menghubungkan titik ans dan pns. NSL : Nasion-sella line, garis yang menghubungkan titik n dan s.

SBaL : Sella-basion line (posterior cranial base line), garis yang menghubungkan titik s dan ba.

Gambar 2.2 Titik dan garis referensi yang berhubungan dengan tulang-tulang kraniofasial (Kemaloğlu, 1999).

b. Titik, garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachian pada lateral cephalometric

radiography

Beberapa titik, garis dan sudut referensi yang digunakan sebagai landmark yang berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tengah-tuba


(48)

Eustachian pada lateral cephalometric radiography, yaitu : (Kemaloğlu, 1999; Kemaloğlu, 2000)

ma : Mastoid apex, titik paling inferior pada apeks mastoid.

mep : Middle ear point, titik paling anteroinferior bayangan telinga tengah. pmp : Posterior mastoidal point, titik paling posterior sel udara mastoid. ta : Tuberculum articulare, titik paling inferior pada tuberculum articulare

yang terletak anterior fossa glenoid, pada processus zygomaticus. ptm : Pterygoid, titik paling inferior dari fissure antara lamina pterygoideus

dan kontur posterior maksila.

pns : Posterior nasal spine, titik paling posterior dari palatum durum. TL : Tubal line, garis yang mehubungkan titik mep dan ptm.

mep-pmp : Garis yang menghubung titik mep dan pmp, kedalaman mastoid. mep-ma : Garis yang menghubungkan titik mep dan ma, tinggi mastoid. mep-ptm : Garis yang menghubungkan titik mep dan ptm, total panjang tuba Eustachius.

mep-ta : Panjang bagian tulang tuba Eustachius.

ptm-pns : Panjang bagian vertikal otot tensor veli palatini (TVP) yang berhubungan dengan tuba Eustachius.

ta-ptm : Panjang bagian tulang rawan tuba Eustachius.

ta-pns : Panjang bagian horizontal otot tensor veli palatini (TVP) yang berhubungan dengan tuba Eustachius.

mep-s : Garis yang menghubungkan titik mep dan s. mep.ptm.pns angle : Sudut tuba Eustachius.


(49)

SBaL/TL angle : Sudut antara garis SBaL dan TL, posisi dari tuba Eustachius terhadap basis kranial posterior.

NSL/TL angle : Sudut antara garis NSL dan TL, posisi dari tuba Eustachius terhadap basis kranial anterior.

Gambar 2.3 Titik dan garis referensi berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tenga-tuba Eustachius (Kemaloğlu, 1999).

c. Parameter garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan tulang kraniofasial pada lateral cephalometric radiography

Beberapa parameter garis dan sudut referensi yang digunakan sebagai landmark yang berhubungan dengan tulang kraniofasial pada lateral cephalometric radiography, yaitu : (Kemaloğlu, 1999; Kemaloğlu, 2000)

Basis kranial dan nasofaring


(50)

s-ba : Garis yang menghubungkan titik s dan ba, panjang basis kranial posterior (posterior cranial base / PCB).

s-ptm : Garis yang menghubungkan titik s dan ptm.

s-n : Garis yang menghubungkan titik s dan n, panjang basis kranial anterior (anterior cranial base / ACB).

m-ba : Garis yang menghubungkan titik m dan ba, lebar foramen magnum. ba-ptm: Garis yang menghubungkan titik ba dan ptm.

s-sep : Garis yang menghubungkan titik s dan sep, panjang bagian anterior tulang sphenoidale.

sep-n : Garis yang menghubungkan titik sep dan n, kedalaman daerah nasoethmoidale.

ba-pns: Garis yang menghubung titik ba dan pns, kedalaman nasofaring. ba.s.n angle : sudut antara titik ba, s dan n, sudut basis kranial.

Wajah

s-go : Garis yang menghubungkan titik s dan go, tinggi wajah posterior (posterior face height / PFH).

s-pns : Garis yang menghubungkan titik s dan pns, tinggi wajah posterior bagian atas (posterior upper face height / PUFH)

ans-pns: Garis yang menghubungkan titik ans dan pns, panjang maksila (maxillary depth / MxD).

n-me : Garis yang menghubungkan titik n dan me, tinggi wajah anterior (anterior face height / AFH)


(51)

bagian atas (anterior upper face height / AUFH)

ans-me : Garis yang menghubung titik ans dan me, tinggi wajah anterior bagian bawah (anterior lower face height / ALFH)

go-pg : Garis yang menghubungkan titik go dan pg, panjang corpus mandibulae.

ar-go : Garis yang menghubungkan titik ar dan go, panjang ramus mandibulae.

sm.n.ss angle : Sudut antara titik sm, n dan ss, sudut ini menunjukkan posisi anterior maksila terhadap anterior mandibula (facial profile angle).

s.n.ans angle : Sudut antara titik s, n dan ans, sudut ini menunjukkan posisi “ans” terhadap basis kranial anterior.

ba.s.pns angle : Sudut antara titik ba, s dan pns, sudut ini menunjukkan posisi “pns” terhadap basis kranial posterior, sudut nasofaring.

s.n.go angle : Sudut antara titik s, n dan go, menunjukkan posisi “go” terhadap basis kranial anterior, sudut wajah posterior.

ar.go.me angle : Sudut antara titik ar, go dan me, sudut mandibula.

NSL/PL angle : Sudut antara garis NSL dan PL, sudut ini menunjukkan posisi palatum terhadap basis kranial anterior.

SBaL/PL angle : Sudut antara garis SBaL dan PL, sudut ini menunjukkan posisi palatum terhadap basis kranial posterior.

PFR : Posterior facial ratio, rasio panjang garis s-pns dan s-go. AFR : Anterior facial ratio, rasio antara panjang garis n-ss dan n-me.


(52)

2.5 Hubungan Parameter Kraniofasial dengan OMSK

Abnormalitas anatomi dan atau kelainan klinis dapat meningkatkan resiko infeksi telinga tengah. Kelainan kraniofasial akan mempengaruhi fungsi tuba Eustachius sehingga meningkatkan resiko terjadinya otitis media (Kenna, 2006).

Pada tahun 1862, Politzer berpendapat bahwa proses terjadinya otitis media disebabkan oleh buruknya fungsi tuba Eustachius. Tahun 1925, Pautow melaporkan hasil penelitiannya tentang hubungan bentuk kepala dengan morfologi tuba Eustachius, dia mendapatkan bahwa orang dewasa dengan bentuk kepala brachycephalic mempunyai bentuk tuba yang relatif lebih lurus. Tahun 1987, Worley et al juga mendapatkan kesimpulan yang sama. Disamping itu, telah diketahui bahwa anak-anak dengan kelainan kraniofasial seperti celah palatum (palato schisis) dan Down syndrome sering mengalami infeksi telinga tengah. Proses terjadinya infeksi ini akibat dari kelainan tulang dasar tengkorak dan berhubungan dengan kelainan bentuk tuba Eustachius (DiFrancesco, 2007).

Kemaloğlu et al di Turki pada tahun 1995, mengevaluasi sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius pada 30 penderita otitis media supuratif anak-anak dan 30 anak-anak sehat dengan menggunakan lateral cephalography untuk mengukur titik dan garis yang berhubungan dengan tulang kraniofasial dan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang bagian tulang tuba Eustachius,


(53)

panjang bagian vertikal otot tensor veli palatini dan sistem sel udara mastoid lebih kecil pada pasien otitis media (Kemaloğlu, 1995).

Todd et al pada tahun 1998 melaporkan hasil penelitian bahwa panjang tuba Eustachian (mep-ptm) dan posterior upper face height / PUFH (s-pns) merupakan salah satu indikator predisposisi otitis media (Kemaloğlu, 2000).

Kemaloğlu et al di Jepang pada tahun 1998, dari hasil penelitian klinik dan data cephalometric pada 37 anak-anak Jepang yang terdiri dari 12 penderita celah palatum (palato schisis), 25 penderita bibir sumbing unilateral disertai celah palatum (labiopalato schisis) dan 40 anak normal. Data menunjukkan bahwa OMSK lebih sering terjadi pada anak-anak yang menderita bibir sumbing unilateral disertai celah palatum (76%) dan pada anak-anak yang menderita celah palatum saja (67%) dibandingkan kontrol (10 %). Terdapat perbedaan pada ukuran sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius yang berhubungan dengan kecenderungan terjadinya OMSK pada kasus bibir sumbing unilateral dan celah palatum, yaitu : tuba Eustachius posisinya lebih horizontal dibandingkan basis kranial posterior (SBaL/TLangle), panjang bagian tulang tuba Eustachius lebih pendek (mep-ta), tinggi dan panjang antero-posterior sistem sel udara mastoid lebih pendek (mep-ma dan mep-pmp) (Kemaloğlu, 1999).

Kemaloğlu et al di Jepang pada tahun 2000, dari penelitian yang dilakukan pada 50 orang Jepang dewasa (25 laki-laki dan 25 perempuan) mendapatkan data penelitian yang menunjukkan bahwa


(54)

parameter-parameter kraniofasial sangat jelas berpengaruh pada ukuran panjang tuba Eustachius dan menunjukkan hubungan antara abnormalitas kraniofasial dan tuba Eustachius merupakan sesuatu yang penting pada terjadinya otitis media. Dari analisa data menunjukkan bahwa panjang total basis kranial (n-ba), posterior upper face height / PUFH (s-pns) dan panjang maksila (ans-pns) secara bermakna mempengaruhi panjang tuba Eustachius (mep-ptm) (Kemaloğlu, 2000).

DiFrancesco et al di Brazil pada tahun 2003, melakukan penelitian pada 66 orang dewasa (usia 18 – 40 tahun) yang dibagi dalam dua kelompok (32 penderita OMSK dan 34 orang normal). Berdasarkan analisa statistik terhadap hasil pengukuran cephalometric pada pasien OMSK dan normal didapatkan perbedaan yang bermakna pada ukuran : sudut antara basis kranial (ba.s.n angle), anterior upper face height / AUFH (n-ans) dan anterior face height/AFH (n-me). Dari penelitian ini DiFrancesco et al berkesimpulan bahwa ada empat ukuran parameter kraniofasial yang dapat digunakan untuk meramalkan perkembangan otitis media, yaitu : panjang basis kranial anterior (s-n), sudut antara basis kranial (ba.s.n angle), sudut kedalaman maksila (sudut perpotongan garis pog-n dan or-po) dan anterior upper face height/ AUFH (n-ans) (DiFrancesco, 2003; DiFrancesco, 2007).

Sethi et al pada tahun 2006 di India, penelitian pada 50 penderita OMSK unilateral mendapatkan bahwa pneumatisasi sistem sel udara mastoid tergantung pada banyak faktor. Infeksi kronik telinga tengah terlihat jelas berpengaruh pada proses pneumatisasi sel udara mastoid, ini terbukti


(55)

dengan ditemukannya pengecilan ukuran sel udara mastoid pada kasus OMSK unilateral. Tetapi lamanya infeksi tidak menunjukan hubungan langsung dengan derajat pneumatisasi. Fungsi tuba Eustachius tidak mempunyai pengaruh lansung pada proses pneumatisasi (Sethi, 2006).


(56)

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

Perbedaan parameter kraniofasial

Gangguan fungsi tuba Eustachius Kelainan

posisi tuba Eustachius

Kelainan ukuran Tuba Eustachius

OMSK benigna Pertumbuhan dan

perkembangan tulang kraniofasial


(57)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan studi potong lintang (cross sectional study) yang bersifat deskriptif analitik.

4.2 Populasi, Sampel, Kontrol, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita OMSK benigna dewasa usia 20 – 40 tahun yang datang berobat ke poliklinik THT-KL

4.2.2 Sampel

Sampel penelitian adalah seluruh penderita OMSK benigna dewasa usia 20 – 40 tahun dari anamnesis, pemeriksaan THT dan pemeriksaan penunjang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria Inklusi :

1. Penderita OMSK benigna dewasa, baik laki-laki maupun perempuan pada kelompok usia 20 – 40 tahun.

2. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria Eksklusi :

1. Mempunyai bibir sumbing dan celah palatum.


(58)

3. Mempunyai riwayat penatalaksanaan ortodontis atau pembedahan pada daerah oral, faringeal, kraniofasial atau nasal.

4. Mempunyai riwayat trauma kraniofasial.

5. Terdapatnya obstruksi ostium tuba Eustachius. 6. Terdapatnya kolesteatoma (OMSK maligna) 4.2.3 Kontrol

Kontrol pada penelitian ini adalah orang dewasa normal usia 20 – 40 tahun yang disamakan umur dan jenis kelaminnya dengan sampel.

4.2.4 Besar Sampel

Penentuan jumlah sampel minimal berdasarkan pengamatan pendahuluan dengan menggunakan rumus :

n1 = n2 = 2σ2 (Z α + Z β )2 (μ1- μ2)2

n1 = n2 = 2.5,5 ( 1,96 + 0,845 )2 42

n1 = n2 = 29,75 = 30

n 1 = besar sampel minimum n 2 = besar kontrol minimum

Z α = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada tingkat kepercayaan 95% = 1,96.

Z β = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada kekuatan uji 80% = 0,845


(59)

σ2 = harga varians di populasi= 5,5 (penelitian DiFrancesco 2007)

μ1-μ2 = perkiraan selisih nilai mean yang diteliti dengan mean di populasi = 4 (penelitian DiFrancesco 2007)

4.2.5 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara non probability consecutive sampling. Semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam penelitian ini sampai jumlah sampel terpenuhi.

4.3 Variabel Penelitian

4.3.1 Klasifikasi Variabel Penelitian

a. Variabel tergantung (dependent) : OMSK benigna. b. Variabel bebas (independent) : parameter kraniofasial. 4.3.2 Definisi Operasional Variabel

a. Penderita OMSK benigna dewasa : penderita OMSK benigna laki-laki dan perempuan yang berusia 20 sampai 40 tahun.

b. OMSK benigna : radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 12 minggu, baik terus menerus atau hilang timbul dan tidak didapati kolesteatoma.

c. Lateral cephalometric radiography : lateral radiography tulang tengkorak yang diperoleh dengan cara yang standar, sehingga


(60)

menciptakan proyeksi geometri antara sinar / film / pasien untuk mendapatkan pencitraan struktur anatomi kranial, fasial dan oral dari arah lateral.

d. Parameter kraniofasial :

1. Parameter garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan sistem mastoid-telinga tengah-tuba Eustachius pada lateral cephalometric radiography.

mep-pmp : Garis yang menghubungkan titik mep dan pmp, kedalaman mastoid.

mep-ma : Garis yang menghubung titik mep dan ma, tinggi mastoid.

mep-ptm : Garis yang menghubungkan titik mep dan ptm, total panjang tuba Eustachius.

mep-ta : Garis yang menghubungkan titik mep dan ta, panjang bagian tulang tuba Eustachius.

ptm-pns : Panjang bagian vertikal otot tensor veli platini (TVP) yang berhubungan dengan tuba Eustachius.

ta-ptm : Panjang bagian tulang rawan tuba Eustachius.

ta-pns : Panjang bagian horizontal otot tensor veli platini (TVP) yang berhubungan dengan tuba Eustachius.

mep-s : Garis yang menghubungkan titik mep dan s. mep.ptm.pns angle : Sudut tuba Eustachius.


(61)

SBaL/TL angle : Sudut antara garis SbaL dan TL, posisi dari tuba Eustachius terhadap basis kranial posterior.

NSL/TL angle : Sudut antara garis NSL dan TL, posisi dari tuba Eustachius terhadap dasar fosa kranial anterior.

2. Parameter garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan tulang kraniofasial pada lateral cephalometric radiography.

Basis kranial dan nasofaring

n-ba : Garis yang menghubungkan titik n dan ba, panjang total basis kranial.

s-ba : Garis yang menghubungkan titik s dan ba, panjang basis kranial posterior (posterior cranial base / PCB). s-ptm : Garis yang mehubungkan titik s dan ptm.

s-n : Garis yang menghubungkan titik s dan n, panjang basis kranial anterior (anterior cranial base / ACB).

m-ba : Garis yang menghubungkan titik m dan ba, lebar foramen magnum.

ba-ptm : Garis yang menghubungkan titik ba dan ptm.

s-sep : Garis yang menghubungkan titik s dan sep, panjang bagian anterior tulang sphenoidale.

sep-n : Garis yang menghubungkan titik sep dan n, kedalaman daerah nasoethmoidale.

ba-pns : Garis yang menghubungkan titik ba dan pns, kedalaman nasofaring.


(62)

ba.s.n angle : sudut antara titik ba, s dan n, sudut basis kranial. Wajah.

s-go : Garis yang menghubungkan titik s dan go, tinggi wajah posterior (posterior face height / PFH).

s-pns : Garis yang menghubungkan titik s dan pns, tinggi wajah posterior bagian atas (posterior upper face height / PUFH)

ans-pns : Garis yang menghubungkan titik ans dan pns, panjang maksila (maxillary depth / MxD).

n-me : Garis yang menghubungkan titik n dan me, tinggi wajah anterior ( anterior face height / AFH )

n-ans : Garis yang menghubungkan titik n dan ans, tinggi wajah anterior bagian atas (anterior upper face height / AUFH)

ans-me : Garis yang menghubungkan titik ans dan me, tinggi wajah anterior bagian bawah (anterior lower face height / ALFH)

go-pg : Garis yang menghubungkan titik go dan pg, panjang corpus mandibulae.

ar-go : Garis yang menghubungkan titik ar dan go, panjang ramus mandibulae.


(63)

sm.n.ss angle : Sudut antara titik sm, n dan ss, sudut ini menunjukkan posisi anterior maksila terhadap anterior mandibula (facial profile angle).

s.n.ans angle : Sudut antara titik s, n dan ans, sudut ini menunjukkan posisi “ans” terhadap basis kranial anterior.

ba.s.pns angle : Sudut antara titik ba, s dan pns, sudut ini menunjukkan posisi “pns” terhadap basis kranial posterior, sudut nasofaring.

s.n.go angle : Sudut antara titik s, n dan go, sudut ini menunjukkan posisi “go” terhadap basis kranial anterior, sudut wajah posterior.

ar.go.me angle : Sudut antara titik ar, go dan me, sudut mandibula.

NSL/PL angle : Sudut antara garis NSL dan PL, sudut ini menunjukkan posisi palatum terhadap basis kranial anterior.

SBaL/PL angle : Sudut antara garis SBaL dan PL, sudut ini menunjukkan posisi palatum terhadap basis kranial posterior.

PFR : Posterior facial ratio, rasio antara panjang garis s-pns dan s-go.

AFR : Anterior facial ratio, rasio antara panjang garis n-ss dan n-me.


(64)

4.4 Bahan dan Alat Penelitian

1. Catatan medik penderita dan kuesioner penelitian. 2. Formulir persetujuan penelitian.

3. Alat-alat pemeriksaan THT rutin : lampu kepala merk Riester, otoskop merk Riester, spekulum hidung jenis Hartmann, spatula lidah jenis Bruenings, kaca nasofaring dan kaca laring.

4. Pemeriksaan nasofaringoskopi dengan mengunakan alat endoskopi merk Olympus dan teleskop 00 dengan diameter 4 mm.

5. Pemeriksaan lateral cephalometric radiography dengan menggunakan alat Soredex-Cranex Excel Ceph X-Ray unit menggunakan film Fujifilm Dry Imaging Film 150 NIF ukuran 26 x 36 cm dan hasil data foto digital lateral cephalometric radiography disimpan pada 52 x CD-R 700 MB. 6. Pengukuran parameter kraniofasial dilakukan pada hasil foto digital lateral

cephalometric radiography dengan mengunakan program CorelDRAW Graphics Suite 12 pada komputer Acer Aspire 4530.

4.5 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Pemeriksaan lateral cephalometric radiography dilakukan di Laboratorium PRAMITA jl. Diponegoro no 37 Medan. Pengukuran parameter kraniofasial dilakukan di Bagian Ortodonti FKG USU. Penelitian dilakukan mulai bulan Januari 2009 hingga jumlah sampel terpenuhi.


(65)

4.6 Kerangka Kerja

OMSK benigna yang sesuai kriteria inklusi

dan eksklusi

Normal (disamakan jenis kelamin dan umur

dengan sampel) Pasien OMSK benigna

dewasa

Pemeriksaan

lateral cephalometric

radiography.

Pengukuran parameter kraniofasial

Dewasa normal tanpa keluhan

Pemeriksaan

4.7 Pelaksanaan Penelitian

Semua penderita OMSK benigna dewasa yang akan diikutkan sebagai sampel (subjek penelitian) akan menjalani pemeriksaan dan tindakan sebagai berikut :


(1)

SBaL/TL angle : derajat NSL/TL angle : derajat

B. Parameter garis dan sudut referensi yang berhubungan dengan tulang kraniofasial.

Basis kranial dan nasofaring

n-ba : mm

s-ba : mm

s-ptm : mm

s-n : mm

m-ba : mm

ba-ptm : mm

s-sep : mm

sep-n : mm

ba-pns : mm

ba.s.n angle : derajat

Wajah.

s-go : mm

s-pns : mm

ans-pns : mm

n-me : mm

n-ans : mm

ans-me : mm

go-pg : mm

ar-go : mm

sm.n.ss angle : derajat s.n.ans angle : derajat ba.s.pns angle : derajat s.n.go angle : derajat ar.go.me angle : derajat NSL/PL angle : derajat SBaL/PL angle : derajat

PFR :


(2)

Lampiran 4

PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN

“ Hubungan Parameter Kraniofasial dan Otitis Media Supuratif Kronik Benigna pada Penderita Dewasa ”

Bapak/ibu Yth,

Saat ini saya sedang melakukan penelitian yang berjudul : “ Hubungan Parameter Kraniofasial dan Otitis Media Supuratif Kronik Benigna pada Penderita Dewasa ”

Penelitian ini mengenai pengukuran ukuran-ukuran pada tulang tengkorak orang yang menderita penyakit teleran / tungkian tipe jinak (Otitis Media Supuratif Kronik Benigna) yang diperoleh dengan cara membuat foto ronsen dari arah samping kiri. Selanjutnya pengukuran ukuran-ukuran tulang tengkorak tersebut hanya dilakukan pada hasil foto ronsen tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara ukuran-ukuran tulang tengkorak dengan penyakit teleran / tungkian tipe jinak.

Bapak/ibu Yth,

Perlu bapak/ibu ketahui, dari hasil penelitian terdahulu bahwa pada orang yang menderita penyakit teleran / tungkian tipe jinak akan terjadi perubahan / kelainan ukuran-ukuran pada tulang tengkorak sehingga akan mengakibatkan gangguan pada saluran dari telinga ke kerongkongan (saluran telinga bagian dalam). Gangguan pada saluran ini akan membuat

penyakit teleran / tungkian akan terus berlanjut.

Bapak/ibu Yth,

Pada penelitian ini akan dilakukan pencatatan identitas bapak/ibu pada lembar penelitian. Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok (pemeriksaan THT rutin) dan pemeriksaan penunjang yang telah


(3)

rutin dilakukan pada penderita teleran/tungkian (foto ronsen tulang telinga dan pemeriksaan nasofaringoskopi yaitu pemeriksaan dengan mengunakan alat endoskopi, sehingga hidung dan kerongkongan bapak/ibu akan terlihat pada layar monitor TV) untuk menentukan apakah bapak/ibu menderita penyakit teleran / tungkian tipe jinak. Hanya bapak/ibu yang memenuhi syarat saja yang akan diikut sertakan pada penelitian ini. Selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan foto ronsen dari arah samping kiri dan pada hasil foto ronsen tersebut akan dilakukan pengukuran ukuran-ukuran tulang tengkorak. Semua data yang diperoleh akan dicatat pada pada status penelitian dan disimpan dalam komputer.

Bapak/ibu Yth,

Manfaat yang akan bapak/ibu peroleh dari penelitian ini adalah dapat mengetahui apakah telah terjadi proses infeksi pada tulang-tulang telinga bagian dalam setelah dilakukannya foto ronsen tersebut dan dapat mengetahui ukuran-ukuran tulang tengkorak mana saja yang mempengaruhi berlanjutnya / berkembangnya penyakit teleran / tungkian yang diderita (setelah semua data diperoleh dan diolah)

Bapak/ibu Yth,

Pada penelitian ini dilakukan prosedur foto ronsen yang telah umum/biasa dilakukan, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang dapat membahayakan bapak/ibu. Namun bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, bapak/ibu dapat menghubungi dr. Irwan (HP. 06177795898) Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan jam 08.00 s/d 14.30 wib (hari senin s/d kamis) dan jam 08.00 s/d 12.00 wib (hari jumat dan sabtu) setiap hari kerja atau setiap waktu dapat menghubungi nomor telpon/HP peneliti untuk mendapatkan pertolongan. Peneliti akan bertanggung jawab untuk memberikan biaya pelayanan/pengobatan/membantu untuk mengatasi


(4)

masalah/efek samping tersebut sesuai dengan masalah/efek samping yang terjadi.

Bapak/ibu Yth,

Partisipasi bapak/ibu bersifat sukarela, semua biaya penelitian ini tidak dibebankan kepada bapak/ibu. Tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter, apabila bapak/ibu tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Bapak/ibu akan tetap mendapat pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan. Bila bapak/ibu masih belum jelas menyangkut tentang penelitian ini, maka setiap saat dapat ditanyakan langsung kepada peneliti (dr. Irwan)

Setelah bapak/ibu memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan bapak/ibu yang telah terpilih pada penelitian ini dapat mengisi dan menandatangani lembar persetujuan penelitian.

Medan,………2009 Peneliti


(5)

Lampiran 5

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ( INFORMED CONSENT )

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin : Alamat :

Setelah mendapat penjelasan dan memahami dengan penuh kesadaran mengenai penelitian ini, maka dengan ini saya menyatakan bersedia untuk ikut serta. Apabila dikemudian hari saya mengundurkan diri dari penelitian ini, maka saya tidak akan dituntut apapun.

Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila diperlukan.

Dokter Peneliti Medan,………2009 Peserta penelitian

dr. Irwan _____________ Dept. THT-KL RSUP HAM


(6)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Irwan, dr Tempat/Tgl. Lahir : Rempak, 7 Juli 1971 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam Status Perkawinan : Kawin

Nama Istri : Yulza Muchlis

Nama Anak : 1. Shalma Fairisza Irwan 2. Zahwa Restia Aathifah Irwan 3. Hastika Dwanda Irwan

Alamat : Komp. Villa Malina Jl. Deli Kesuma No.12 Medan

PENDIDIKAN FORMAL

1978 – 1984 : SDN 019 Sungai Apit 1984 – 1987 : SMPN 3 Bengkalis 1987 – 1990 : SMAN 1 Bengkalis

1990 – 1997 : Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang

2005 – 2009 : Asisten dokter (PPDS) Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan

RIWAYAT PEKERJAAN

1998 – 2000 : Dokter PTT Puskesmas Sungai Guntung, Riau 2000 – 2001 : Dokter Fungsional Puskesmas Perawang, Riau 2001 – 2005 : Kepala Puskesmas Sungai Apit, Riau