Perubahan Ambang Dengar Pada Penderita Otitis Media Supuratif Kronis Setelah Timpanoplasti

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otitis Media Supuratif Kronis
2.1.1 Definisi
Otitis media supuratif kronis adalah peradangan kronis mukosa telinga
tengah disertai perforasi membran timpani yang telah berlangsung 2 bulan atau
lebih. Keluarnya cairan pada otitis media supuratif kronis dapat berlangsung terus
menerus atau hilang timbul, dapat berupa mukoid, encer, atau berupa nanah.
Penyakit ini umumnya dimulai pada masa kanak-kanak sebagai perforasi
membran timpani spontan akibat infeksi akut telinga tengah, yang dikenal sebagai
otitis media akut (WHO, 2004).
2.1.2 Klasifikasi
Otitis media supuratif kronis dibagi atas otitis media supuratif kronis tipe
bahaya atau otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma dan otitis media
supuratif kronis tipe aman atau otitis media supuratif kronis tanpa kolesteatoma.
Otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma disebut juga sebagai otitis
media supuratif kronis tipe tulang, sedangkan otitis media supuratif kronis tanpa
kolesteatoma disebut juga tipe mukosa. Di Indonesia otitis media supuratif kronis
dengan kolesteatoma dikenal juga sebagai tipe bahaya, sedangkan otitis media
supuratif kronis tanpa kolesteatoma disebut dengan tipe benigna (Djaafar, 2008).

Berdasarkan aktivitas cairan yang keluar juga dikenal istilah otitis media
supuratif kronis aktif dan otitis media supuratif kronis tenang. Otitis media

9

Universitas Sumatera Utara

supuratif kronis aktif adalah otitis media supuratif kronis dengan cairan telinga
yang keluar secara aktif, sedangkan otitis media supuratif kronis tenang adalah
otitis media supuratif kronis dengan kavum timpani kering ataupun basah tapi
cairan tidak keluar dengan aktif. Otitis media supuratif kronis aktif menandakan
bahwa adanya suatu proses yang aktif dan potensial untuk menjadi progresif.
Otitis media supuratif kronis tenang menandakan suatu keadaan yang stabil dan
non-progresif pada proses patologis yang terjadi di membran timpani maupun
kavum mastoid (Djaafar, 2008).
2.1.3 Kekerapan
Penelitian di India menunjukkan dari 55 anak dengan otitis media supuratif
kronis, 11 diantaranya adalah otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma.
Lima puluh persen dari orang tua anak-anak dengan kolesteatoma tidak pernah
membawa anaknya ke dokter (Rupa et al., 1999). Prevalensi pasti kolesteatoma

belum diketahui secara pasti. Insidensi tahunan dari kolesteatoma berkisar antara
3-12 kasus per 100.000 populasi (Chole & Nason, 2009).
Hasil survei Departemen Kesehatan RI, pada tahun 1993-1996 di 7
provinsi di Indonesia, menemukan prevalensi otitis media supuratif kronis
sebanyak 3.1% (Depkes, 1998). Angka prevalensi ini tergolong tinggi. Jumlah ini
tidak jauh berbeda dengan angka prevalensi dari Angola, Nigeria, Mozambique,
Korea,

Thailand,

Filipina,

Malaysia,

Vietnam,

Micronesia,

dan


suku

Eskimo.WHO merekomendasikan untuk melakukan upaya mengatasi kecacatan
dan komplikasi (WHO, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Otitis media supuratif kronis merupakan salah satu penyakit infeksi kronis
bidang THT di Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian
(Djaafar, 2008). Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan
prevalensi tinggi untuk penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004).
Secara umum prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3.8%
dan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 25% pasien yang berobat di
poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan survei kesehatan indera
penglihatan dan pendengaran yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 1993-1996, prevalensi otitis media supuratif
kronis sebesar 3.1%. Pada tahun 2002 prevalensi otitis media supuratif kronis di
Indonesia berkisar 2.1 – 5.2%. Edward & Mulyani (2011) menjumpai kejadian
otitis media supuratif kronis di RSUP M. Jamil Padang pada tahun 2009-2010
sejumlah 7.67%.

Data poliklinik THT RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2006
menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari seluruh
kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 diperkirakan sebesar 28
dan 29% (Aboet, 2007). Didapatkan 130 kasus otitis media supuratif kronis dan
65 diantaranya adalah kasus dengan kolesteatoma, dan 35 kasus dengan
komplikasi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 (Rambe, 2009).
Data serupa juga dijumpai Nungki & Zahara ditempat yang sama pada tahun
2011-2012 dengan otitis media supuratif kronis tipe aman sebanyak 16 subyek
(69.6%), sedangkan tipe bahaya sebanyak 7 subyek (30.4%).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Faktor risiko
Beberapa faktor penyebab dan yang mempermudah terjadinya otitis media
supuratif kronis, antara lain:
a. Lingkungan
Sebagaimana telah disebutkan, prevalensi otitis media supuratif kronis
lebih tinggi pada kelompok sosial ekonomi rendah dimana penyebabnya
multifaktorial. Dalam sebuah studi kohort pada 12.000 anak-anak, dengan telinga
berair (meskipun tidak selalu otitis media supuratif kronis ) dipengaruhi oleh

kesehatan umum, ibu perokok dan pelayanan kesehatan. Penurunan prevalensi
otitis media kronis pada anak Maori di Selandia Baru sejak 1978-1987 disebabkan
karena perbaikan pada perawatan kesehatan dan kondisi perumahan (Kelly, 2008).
Kumar menyebutkan kejadian penyakit otitis media supuratif kronis lebih
tinggi pada negara berkembang, terutama masyarakat sosial ekonomi menengah
kebawah (dimana perbandingan angka kejadian antara perkotaan dan pedesaan
adalah 1:2) disebabkan gizi buruk, kurangnya kebersihan dan pengetahuan
kesehatan (Kumar & Seth, 2011).
b. Sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi mempengaruhi kejadian otitis media supuratif
kronis dimana kelompok sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih
tinggi. Beberapa faktor seperti kepadatan penduduk, rendahnya pengetahuan
mengenai kesehatan dan kesehatan perorangan, serta sulitnya akses untuk
memperoleh pelayanan kesehatan (Dhingra, 2009; Browning et al, 2008).
Akinpelu et al (2008) mendapatkan faktor malnutrisi, tempat tinggal kumuh dan

Universitas Sumatera Utara

imunisasi yang tidak lengkap sebanyak 41.3% yang mempengaruhi kejadian otitis
media supuratif kronis.

c. Gangguan fungsi tuba
Kelainan fungsi tuba Eustachius lebih banyak dijumpai pada penderita
otitis media supuratif kronis dibandingkan orang normal. Hal ini tidak diketahui
secara pasti apakah gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor terjadinya
otitis media supuratif kronis

atau apakah merupakan hasil dari otitis media

supuratif kronis (Browning et al, 2008). Berkurangnya fungsi silia telinga tengah
dan mukosa tuba Eustachius menyebabkan terganggunya pembersihan sekresi
yang menyebabkan terjadinya otitis media supuratif kronis (Verhoeff et al. 2006).
d. Otitis media sebelumnya
Anak yang mengalami otitis media akut dan otitis media efusi dalam
waktu panjang dapat menyebabkan perubahan membran timpani berupa
berkurangnya elastisitas membran timpani menyebabkan perforasi yang menetap
atau retraksi (Browning et al, 2008).
e. Infeksi saluran pernafasan atas
Banyak pasien otitis media supuratif kronis dilaporkan bersamaan dengan
infeksi saluran nafas atas, walaupun hal ini belum terbukti secara ilmiah. Infeksi
saluran nafas atas menyebabkan terganggunya fungsi dan mukosa tuba Eustachius

dan dapat berlanjut kepada telinga tengah (Kelly, 2008).
f. Infeksi
Bakteri yang dominan dan sensitifitas antibiotika yang berubah dari waktu
ke waktu, sehingga diperlukan penelitian yang terus menerus agar diperoleh hasil

Universitas Sumatera Utara

pengobatan antibakteri yang sesuai. Pengetahuan tentang spesies dan tingkat
resistensi kuman saat ini adalah penting untuk menentukan antibiotika yang tepat
untuk pasien dengan otitis media supuratif kronis (Yeo et al. 2007).
g. Genetik
Insiden otitis media supuratif kronis bervariasi dalam populasi yang
berbeda, di negara maju, tertinggi di Eskimo, penduduk asli Amerika, Maori
Selandia Baru dan Aborigin Australia. Dalam salah satu penelitian terhadap anakanak di Selandia Baru, prevalensi otitis media supuratif kronis menurun secara
signifikan dari 9% pada tahun 1978 menjadi 3% pada tahun 1987 (p 90 dB

: sangat berat (Soetirto et al., 2004).

Manfaat audiometri nada murni :
a.


Keadaan fungsi pendengaran masing-masing telinga secara kualitatif
(pendengaran normal, tuli konduktif, tuli sensorineural dan tuli campur)

b.

Derajat gangguan pendengaran (kuantitatif) yaitu normal, tuli ringan, tuli
sedang dan tuli berat (Feldman & Grimes, 1997).

Universitas Sumatera Utara

2.6 Kerangka Teori
FAKTOR RISIKO
-

Infeksi saluran nafas atas
Gangguan fungsi tuba
Trauma membran timpani
Sosio-ekonomi rendah


- Alergi
- Barotrauma
- Tumor hidung

GANGGUAN
PENDENGARAN

OMSK

- Usia
- Jenis kelamin

Jinak

Ganas
operasi

Audiometri nada murni

Medikamentosa + operasi


2.7 Kerangka Konsep

OMSK

Pre op
Ambang
dengar

Pasca op

Timpanoplasti

Ambang
dengar

2.8 Hipotesa Penelitian
(H1) adalah terdapat perubahan ambang dengar pada penderita otitis media
supuratif kronis setelah timpanoplasti.


Universitas Sumatera Utara