Alergi Sebagai Faktor Risiko Terhadap kejadian Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Tipe Benigna Di RSUP H. Adam Malik Medan.

(1)

ALERGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERHADAP KEJADIAN OTITIS

MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK) TIPE BENIGNA

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Spesialis dalam Bidang

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh :

DEDDY EKO SUSILO

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BIDANG

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK,

BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkanNya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan persyaratan dalam menyelesaikan Program Pendidikan Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari sepenuhnya, betapa tak terhingga bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada saya dari berbagai pihak, sehingga dengan segala keterbatasan dan kekurangan saya, saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendarahan penelitian tentang Alergi Sebagai Faktor Risiko Terhadap kejadian Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Tipe Benigna Di RSUP H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan yang baik ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dengan tulus hati yang tak terhingga kepada yang terhormat :

Prof. dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K) atas kesediannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, begitu juga kepada, dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL, dr. Harry A. ASroel, SpTHT selaku anggota pembimbing dan dr. Arlinda Sari Wahyuni, Mkes sebagai konsultan statistik. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini


(3)

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD KGEH dan mantan Dekan Fakultas Kedokteran USU Prof.dr. Bahri Djohan SpJP (K) atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis (PPDS) I di Fakultas Kedokteran USU.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H.Adam Malik Medan, Bapak Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Ibu Direktur RS Tembakau Deli Medan,

Bapak Direktur Rumkit TK II Medan dan Bapak Direktur RSUD Lubuk Pakam yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di Rumah Sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen / Staf Radiologi FK USU / RSUP H.Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Radiologi RS Elisabeth Medan, Ketua Departemen / Staf Patologi Anatomi FK USU / RSUP H.Adam Malik Medan, Ketua Departemen / Staf Anestesi FK USU / RSUP H.Adam Malik Medan yang telah memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani stase di Bagian tersebut.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, SpTHT-KL (K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL FK-USU Prof.dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL (K) yang telah memberi izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti pendidikan spesialis sampai selesai.


(4)

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Asroel Aboet,SpTHT-KL, Prof. dr. Ramsi Lutan, SpTHT-KL (K), dr. Yuritna Haryono, SpTHT-KL (K), Dr.dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL (K), dr. T. Sofia Hanum, SpTHT-KL (K), dr. Muzakkir Zamzam,SpTHT-KL (K), dr. Hafni, SpTHT-KL (K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. Linda I. Adenin, SpTHT-KL(K), (almh) dr. Ainul Mardhiah,SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL, dr. Siti Nursiah,SpTHT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHT-KL, dr. Ida Sjailandrawaty, SpTHT-KL, dr. Farhat, SpTHT-KL, dr. T. Siti Hajar H, SpTHT-KL, dr Ashri Yudistira, SpTHT-KL, dr. Devira Zahara,SpTHT-KL, dr. H.R Yusa Herwanto, Sp THT-KL dan dr. Pahala Hanafi, SpTHT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang terhormat perawat/paramedis dan seluruh karyawan/karyawati RSUP H.Adam Malik Medan, khususnya Departemen / SMF THT-KL yang selalu membantu dan bekerjasama dengan baik dalam menjalalani tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan selama ini.

Yang saya hormati, seluruh pasien-pasien yang telah secara ikhlas telah banyak memberikan banyak hal tentang penyakit yang dideritanya kepada saya. Terima kasih yang tak terhingga atas semua hal tersebut. Tanpa itu semua, mustahil saya mendapatkan ilmu dan keterampilan dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(5)

Yang saya hormati, guru-guru saya, seluruh penulis buku-buku dan jurnal-jurnal yang pernah saya baca selama masa pendidikan , sejak pendidikan dasar hingga pencapaian pendidikan saya sekarang ini. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas segala didikan, ilmu dan informasi yang telah diberikan kepada saya.

Yang mulia dan tercinta ayahanda H. Legimin Syaffendi dan Ibunda Hj. Damrawati Batu Bara, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang terbaik serta diberi contoh suri tauladan sampai saat ini. Ya Allah ampunilah dosa saya dan dosa kedua orang tua saya, serta kasihanilah kedua orang tua saya sebagaimana mereka mengasihi saya sejak kecil.

Yang tercinta Bapak mertua Drs H.Amalludin Hasibuan dan Dra Hj. Asni Lubis serta kakak dan adik ipar saya yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat saya selesaikan.

Terima kasih tiada terhingga kepada istriku tercinta dan tersayang drg Sri Astuti, dan buah hati kembar anakku tersayang M. Naufal Pradiva dan Carissa Firja Pradiva yang penuh kesabaran dan ketabahan telah memberi dorongan, semangat dan inspirasi yang tiada henti pada saya dalam menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah SWT selalu memberi rahmat dan hidayahnya kepada kami sekeluarga sehingga menjadi keluarga sakinah, selalu bersama dalam suka dan duka.


(6)

Kepada saudara-saudaraku tersayang kakanda Ir Ilhamdi Syahputra, adinda Amri Nurhadi SE, drg Henny Kurnia Ningsih, M. Ridho Syaffendi, terima kasih atas yang sebesar-besarnya atas bantuan selama ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberi bantuan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Kepada yang tercinta teman-taman sejawat PPDS THT-KL, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya dimana kita telah bersama-sama menjalani pendidikan, baik dalam suka maupun duka, saling membantu dan bekerja sama sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, khususnya kepada teman sejawat satu angkatan dr Sri Juli Astuti, dr Yuliani M. Lubis dan dr Firman Siddik yang selalu memberi dorongan dan dukungan kepada saya untuk tetap semangat.


(7)

Akhir kata, dengan menyadari segala kekurangan dan kelemahan diri saya, izinkanlah saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas kesalahan-kesalahan saya atau kekhilafan yang telah saya perbuat selama masa pendidikan ini baik yang disengaja maupun tidak. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan karunianya kepada kita semua. Semoga dengan ilmu yang saya dapat akan lebih menyadarkan saya atas kekurangan saya dan lebih mengingat saya atas kebesaranNya, sehingga dapat saya amalkan untuk kepentingan masyarakat luas. Amin Ya Rabbal Alamin…..

Medan, Oktober 2010

Penulis


(8)

ALERGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERHADAP KEJADIAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK) TIPE BENIGNA

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Pendahuluan : Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukus atau purulen. Penyakit ini terdapat pada semua bangsa diseluruh dunia baik di negara berkembang maupun negara maju. Di negara-negara sedang berkembang angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi. Dari survei Depkes pada 7 propinsi di Indonesia (1996), ditemukan prevalensi OMSK 3%. Sebagian besar otitis media kronis tampaknya berasal dari otitis media supuratif akut yang berulang. Otitis media kronis masih sulit pengobatannya. Pada OMSK yang kebal terhadap antibiotik dan faktor mekanis dalam telinga tengah tidak dapat menerangkan sebab dari terus mengalirnya cairan dari telinga tengah, maka para ahli berpaling pada radang non infeksi yaitu alergi. Oleh karena itu pada radang yang sering berulang, kemungkinan terdapat faktor alergi sebagai latar belakang penyebab sehingga dalam penatalaksanaan OMSK, faktor alergi tidak boleh dilupakan. Untuk melihat alergi sebagai faktor risiko terhadap kejadian OMSK dapat dilakukan melalui tes kulit cukit (skin prick test) pada penderita OMSK.

Tujuan : Untuk mengetahui risiko alergi terhadap kejadian otitis media supuratif kronik tipe benigna di RSUP H.Adam Malik Medan melalui tes kulit cukit.


(9)

Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian studi kasus kontrol. Sampel pada penelitian ini adalah penderita OMSK tipe benigna dan non OMSK yang datang berobat ke poliklinik THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan dimulai pada bulan Maret 2009 sampai Februari 2010. Penderita berjumlah 54 orang yang terdiri dari 27 penderita OMSK tipe benigna dan 27 penderita non OMSK, yang dibatasi oleh kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini dilakukan padanan (matching) antara kelompok OMSK tipe benigna dengan kelompok non OMSK menurut jenis kelamin dan umur. Pada sampel kasus dan kontrol dilakukan pemeriksaan uji kulit cukit. Semua data diolah dengan bantuan program window SPPS versi 15.

Hasil penelitian : Terdapat hubungan yang signifikan antara alergi dengan OMSK tipe benigna.

Diskusi : Telah dilakukan pemeriksaan uji kulit cukit yang hasilnya dibandingkan dengan 27 orang kontrol. Alergen yang diujikan meliputi alergen inhalan dan makanan. Didapatkan 74,1% penderita OMSK mempunyai reaksi positif terhadap alergen inhalan dan makanan dibandingkan dengan kelompok kontrol sebesar 40,7%. Perbedaan secara statistik signifikan, dengan menggunakan uji statistik regresi logistik diperoleh nilai p = 0,015 (p < 0,05), OR (odds ratio) = 4,156 dan Interval Kepercayaan (CI 95%) = 7,512 - 13,169. Hal ini menunjukkan alergi merupakan faktor risiko OMSK. Risiko kejadian OMSK 4.156 kali lebih sering pada orang yang menderita alergi dibandingkan dengan orang yang tidak menderita alergi. OR = 4,156 mengindikasikan alergi bermakna pengaruhnya terhadap OMSK. Sedangkan untuk alergen inhalan yang terbanyak dijumpai pada tes kulit cukit adalah kecoa (44,4%), debu rumah (29,6%) dan


(10)

mixed fungi serta serpihan kulit manusia masing-masing (25,9%). Untuk alergen makanan yang paling banyak dijumpai adalah kepiting dan teh masing-masing (37,0%),

Kata kunci : OMSK tipe benigna, Tes kulit cukit, Alergi, Alergen

ABSTRACT

Introduction : Chronic suppurative otitis media (CSOM) type benigna is a chronic inflammation of middle ear with perforation of tympany membrane and history of otorea more than 3 months, continuously or on an off. The secrete can be serous, mucous or purulent. This disease can be found in all races in whole world either develoving country or developed country. In developed country, in incidents of CSOM is much higher. From the survey of Depkes from 7 province in Indonesia (1996), the prevalence of CSOM is found 3%. Most of the CSOM cases, is caused by recurrent CSOM. The treatment for CSOM is still difficult. In CSOM which is resisten to antibiotic and also because of the mechanic factor in the middle ear it cannot be explain because the continous secrete, that why the seintist turn to non infection inflammation which is allergy. Because of that, in recurrent inflammation, allergic factor is cannot be forgotten because allergic factor will be always as the background of the causes and to see wether allergic as a risk factor in CSOM we do skin prick test for CSOM patients.

Purpose : To know allergy risk in CSOM type benign in Adam Malik General Hospital in Medan with skin prick test.


(11)

Method : This research used design of control case study as the method. The samples are patients of CSOM type benign and non CSOM which comes to polyclinic of ENT department of USU faculty/H. Adam Malik General Hospital Medan from March 2009 until February 2010 and from 54 patients, 27 of them was CSOM type benign which is limited from inclusion and eksclusion criteria. In this research, matching process by gender and age CSOM type benign group and non CSOM group was be done. For case samples and control, skin prick test also be done. And all data was edited by using window SPPS version 15.

Result of the research : There is significant connection between allergic with CSOM type benign.

Discussion : Skin prick test has been done and the comparision of the result with 27 control. Alergent that been used was inhalant and also the food. From there 74,1% of CSOM type benign patient has positive reaction to inhalant alergen and food compared to control group about 40,7%. The different in significantstatistic, using statistic regretion and logistic test, p=0,015 (p<0,05), OR (odds ratio) = 4,156 and Interval confidence (CI 95%) = 7,512 – 13,169 is found. This shows allergic was the factor risk of CSOM type benign. The risk of CSOM type benign there is 4,156 times more often in patient with allergic compared with non allergic patient. OR = 4,156 indicate allergic influenced in CSOM type benign. Where else, for inhalant allergen that the most found in skin prick test was cockroach (44,4%), house dust (29,6%) and mixed fungi with human dander each (25,9%). For the food alergent crab and tea was the most founded each (37,0%).


(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………..………. i

DAFTAR ISI ………..………..………... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ………...………. 1

1.1 Latar Belakang ……….……….1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesa Penelitian ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.4.1 Tujuan Umum ... 4

1.4.2 Tujuan Khusus ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN ... 5

2.1 Anatomi telinga tengah ... 5

2.1.1 Membran timpani ... 5

2.1.2 Kavum timpani ... 6

2.1.3 Tuba Eustachius ... 9

2.1.4 Prosesus mastoid ... 10

2.1.5 Vaskularisasi kavum timpani ... 11

2.2 Definisi ... 12

2.3 Kekerapan ... 13

2.4 Etiologi dan Patogenesis ... 14


(13)

2.4.2.Klasifikasi ... 18

2.4.3 Patogenesis ... 20

2.5 Alergi ... 23

2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas tipe 1 ... 24

2.5.2 Tahap Sensitisasi ... 25

2.5.3 Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) ... 25

2.5.4 Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) ... 26

2.6 Diagnosis ... 27

2.6.1 Diagnosis OMSK ... 27

2.6.2 Diagnosis Alergi... 28

2.7 Penatalaksanaan ... 31

BAB 3 KERANGKA KONSEP ... 33

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 34

4.1 Rancangan Penelitian... 34

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 34

4.2.1 Populasi ... 34

4.2.2 Sampel ... 34

4.2.3 Besar Sampel ... ... 35

4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 36

4.3 Variabel Penelitian ... 36


(14)

4.4 Definisi Operasional ... 37

4.4.1 Otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe benigna ... 37

4.4.2 Diagnosis Otitis media supuratif kronik tipe benigna ... 37

4.4.3 Non otitis media supuratif kronik (Non OMSK) ... 37

4.4.4 Alergen ... 37

4.4.5 Tes kulit cukit (skin prick tes) ... 37

4.4.6 Penilaian tes kulit cukit ... 38

4.4.7 Umur ... 38

4.4.8 Jenis kelamin ... 38

4.5 Instrumen Penelitian ... 38

4.6 Bahan Penelitian ... 39

4.7 Cara kerja ... 39

4.8 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

4.8.1 Lokasi Penelitian ... 40

4.8.2 Waktu Penelitian ... ... 40

4.9 Kerangka Kerja ... 41

4.10 Analisa Data ... 41

BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN ... 42

BAB 6 PEMBAHASAN ... 51

BAB7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 59


(15)

DAFTAR PUSTAKA ... 61

PERSONALIA PENELITIAN Lampiran 1. Status Penelitian

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitan Lampiran 3. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 4. Riwayat Hidup


(16)

DAFTAR TABEL

TABEL KETERANGAN HAL

Tabel 5.1 Distribusi penderita kasus OMSK tipe benigna dan

kontrol non OMSK berdasarkan umur ………. 42 Tabel 5.2 Distribusi penderita kasus OMSK tipe benigna dan

kontrol non OMSK berdasarkan jenis kelamin ……..……….………. 43 Tabel 5.3 Distribusi penderita kasus OMSK tipe benigna ber

dasarkan telinga berair ………..…. 44 Tabel 5.4 Distribusi penderita kasus OMSK tipe benigna dan

kontrol non OMSK berdasarkan keluhan alergi …..……...…..…… 44 Tabel 5.5 Distribusi penderita kasus OMSK tipe benigna dan

kontrol non OMSK berdasarkan riwayat alergi pada

keluarga …..………...…..…. 45 Tabel 5.6 Distribusi penderita kasus OMSK tipe benigna dan

kontrol non OMSK berdasarkan jenis alergen

penyebab …..……….………...…..…. 45 Tabel 5.7 Hubungan antara alergi dengan kasus OMSK tipe

Benigna dan kontrol non OMSK ……… 48 Tabel 5.8 Alergi sebagai faktor risiko terhadap kejadian OMSK

tipe benigna ……… 50


(17)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR KETERANGAN HAL

Gambar 5.5.1 Hubungan antara alergi dengan kasus OMSK tipe


(18)

ALERGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERHADAP KEJADIAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK (OMSK) TIPE BENIGNA

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

ABSTRAK

Pendahuluan : Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukus atau purulen. Penyakit ini terdapat pada semua bangsa diseluruh dunia baik di negara berkembang maupun negara maju. Di negara-negara sedang berkembang angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi. Dari survei Depkes pada 7 propinsi di Indonesia (1996), ditemukan prevalensi OMSK 3%. Sebagian besar otitis media kronis tampaknya berasal dari otitis media supuratif akut yang berulang. Otitis media kronis masih sulit pengobatannya. Pada OMSK yang kebal terhadap antibiotik dan faktor mekanis dalam telinga tengah tidak dapat menerangkan sebab dari terus mengalirnya cairan dari telinga tengah, maka para ahli berpaling pada radang non infeksi yaitu alergi. Oleh karena itu pada radang yang sering berulang, kemungkinan terdapat faktor alergi sebagai latar belakang penyebab sehingga dalam penatalaksanaan OMSK, faktor alergi tidak boleh dilupakan. Untuk melihat alergi sebagai faktor risiko terhadap kejadian OMSK dapat dilakukan melalui tes kulit cukit (skin prick test) pada penderita OMSK.

Tujuan : Untuk mengetahui risiko alergi terhadap kejadian otitis media supuratif kronik tipe benigna di RSUP H.Adam Malik Medan melalui tes kulit cukit.


(19)

Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian studi kasus kontrol. Sampel pada penelitian ini adalah penderita OMSK tipe benigna dan non OMSK yang datang berobat ke poliklinik THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan dimulai pada bulan Maret 2009 sampai Februari 2010. Penderita berjumlah 54 orang yang terdiri dari 27 penderita OMSK tipe benigna dan 27 penderita non OMSK, yang dibatasi oleh kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini dilakukan padanan (matching) antara kelompok OMSK tipe benigna dengan kelompok non OMSK menurut jenis kelamin dan umur. Pada sampel kasus dan kontrol dilakukan pemeriksaan uji kulit cukit. Semua data diolah dengan bantuan program window SPPS versi 15.

Hasil penelitian : Terdapat hubungan yang signifikan antara alergi dengan OMSK tipe benigna.

Diskusi : Telah dilakukan pemeriksaan uji kulit cukit yang hasilnya dibandingkan dengan 27 orang kontrol. Alergen yang diujikan meliputi alergen inhalan dan makanan. Didapatkan 74,1% penderita OMSK mempunyai reaksi positif terhadap alergen inhalan dan makanan dibandingkan dengan kelompok kontrol sebesar 40,7%. Perbedaan secara statistik signifikan, dengan menggunakan uji statistik regresi logistik diperoleh nilai p = 0,015 (p < 0,05), OR (odds ratio) = 4,156 dan Interval Kepercayaan (CI 95%) = 7,512 - 13,169. Hal ini menunjukkan alergi merupakan faktor risiko OMSK. Risiko kejadian OMSK 4.156 kali lebih sering pada orang yang menderita alergi dibandingkan dengan orang yang tidak menderita alergi. OR = 4,156 mengindikasikan alergi bermakna pengaruhnya terhadap OMSK. Sedangkan untuk alergen inhalan yang terbanyak dijumpai pada tes kulit cukit adalah kecoa (44,4%), debu rumah (29,6%) dan


(20)

mixed fungi serta serpihan kulit manusia masing-masing (25,9%). Untuk alergen makanan yang paling banyak dijumpai adalah kepiting dan teh masing-masing (37,0%),

Kata kunci : OMSK tipe benigna, Tes kulit cukit, Alergi, Alergen

ABSTRACT

Introduction : Chronic suppurative otitis media (CSOM) type benigna is a chronic inflammation of middle ear with perforation of tympany membrane and history of otorea more than 3 months, continuously or on an off. The secrete can be serous, mucous or purulent. This disease can be found in all races in whole world either develoving country or developed country. In developed country, in incidents of CSOM is much higher. From the survey of Depkes from 7 province in Indonesia (1996), the prevalence of CSOM is found 3%. Most of the CSOM cases, is caused by recurrent CSOM. The treatment for CSOM is still difficult. In CSOM which is resisten to antibiotic and also because of the mechanic factor in the middle ear it cannot be explain because the continous secrete, that why the seintist turn to non infection inflammation which is allergy. Because of that, in recurrent inflammation, allergic factor is cannot be forgotten because allergic factor will be always as the background of the causes and to see wether allergic as a risk factor in CSOM we do skin prick test for CSOM patients.

Purpose : To know allergy risk in CSOM type benign in Adam Malik General Hospital in Medan with skin prick test.


(21)

Method : This research used design of control case study as the method. The samples are patients of CSOM type benign and non CSOM which comes to polyclinic of ENT department of USU faculty/H. Adam Malik General Hospital Medan from March 2009 until February 2010 and from 54 patients, 27 of them was CSOM type benign which is limited from inclusion and eksclusion criteria. In this research, matching process by gender and age CSOM type benign group and non CSOM group was be done. For case samples and control, skin prick test also be done. And all data was edited by using window SPPS version 15.

Result of the research : There is significant connection between allergic with CSOM type benign.

Discussion : Skin prick test has been done and the comparision of the result with 27 control. Alergent that been used was inhalant and also the food. From there 74,1% of CSOM type benign patient has positive reaction to inhalant alergen and food compared to control group about 40,7%. The different in significantstatistic, using statistic regretion and logistic test, p=0,015 (p<0,05), OR (odds ratio) = 4,156 and Interval confidence (CI 95%) = 7,512 – 13,169 is found. This shows allergic was the factor risk of CSOM type benign. The risk of CSOM type benign there is 4,156 times more often in patient with allergic compared with non allergic patient. OR = 4,156 indicate allergic influenced in CSOM type benign. Where else, for inhalant allergen that the most found in skin prick test was cockroach (44,4%), house dust (29,6%) and mixed fungi with human dander each (25,9%). For the food alergent crab and tea was the most founded each (37,0%).


(22)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukus atau purulen (Soetjipto et al, 2002).

OMSK merupakan lanjutan dari episode initial otitis media akut (OMA) yang ditandai dengan adanya sekret persisten dari telinga tengah melalui perforasi membran timpani (WHO, 2004).

Penyakit ini terdapat pada semua bangsa diseluruh dunia baik di negara berkembang maupun negara maju. Di negara-negara sedang berkembang angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi karena beberapa hal misalnya higiene yang kurang, faktor sosioekonomi, gizi yang rendah, kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang salah terhadap panyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas (Djaafar, 2003).

Dari survei Depkes pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996, ditemukan prevalensi OMSK 3%. Angka kejadian OMSK yang rendah, di negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang dilakukan oleh School Health


(23)

ditemukan pada ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache 8,2%, Indian Kanada 6%, dan Aborigin Australia 25% (Djaafar, 2005). Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum adalah 3,9% (Helmi, 2005).

Pada Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996 didapatkan prevalensi otitis media supuratif kronis antara 2,10 - 5,20% (Farida et al, 2006). Di Makassar, prevalensi OMSK pada anak sekolah dasar sebesar 5,3% pada tahun 1970, lalu menurun menjadi 2,57% pada tahun 1994 (Kadir, 2007).

Survei prevalensi diseluruh dunia, walaupun masih bervariasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65 - 330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39 - 200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan. Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007).

Pada OMSK yang kebal terhadap antibiotik dan faktor mekanis dalam telinga tengah tidak dapat menerangkan sebab dari terus mengalirnya cairan dari telinga tengah, maka para ahli berpaling pada radang non infeksi yaitu alergi. Suparyadi di Semarang pada tahun 1990 dalam penelitiannya terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% penderita kemungkinan mempunyai faktor alergi. Sri Harmadji di Surabaya pada tahun 1991 dengan kasus yang sama mendapatkan 33,3% dari 30 penderita kemungkinan terdapat faktor alergi (Harmadji, 1993).


(24)

Farida et al, di Makassar pada tahun 2006 mendapatkan hubungan bermakna kejadian alergi pada OMSK benigna melalui tes kulit cukit sebesar 86,2%, menunjukkan bahwa alergi merupakan faktor risiko OMSK benigna (Farida et al, 2006).

Lasisi et al, pada tahun 2008 di Nigeria melaporkan terdapat hubungan antara otitis media supuratif dan alergi pada sekitar 80% pasien dengan alergi (Lasisi, 2008).

Sebagian otitis media kronis masih sulit pengobatannya. Para dokter biasanya beramsumsi bahwa setiap radang hanya diakibatkan oleh infeksi kuman sesuai uji keberadaan bakteri. Akibatnya antibiotik yang lebih sering diresepkan untuk mengobati kegagalan pengobatan radang dan mungkin akan gagal lagi. Karena itu pada radang yang sering berulang, kemungkinan terdapat faktor alergi sebagai latar belakang penyebab sehingga dalam penanganan OMSK, faktor alergi tidak boleh dilupakan (Farida et al, 2006).

Sehubungan dengan penelitian-penelitian yang dikemukakan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui hubungan alergi dengan kejadian otitis media supuratif kronik tipe benigna di RSUP H.Adam Malik Medan. Dimana sampai saat ini belum ada data berkaitan dengan hal itu di RSUP H.Adam Malik Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pengamatan yang diuraikan dalam latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah, yaitu apakah alergi merupakan faktor risiko terhadap kejadian otitis media supuratif kronik tipe benigna di RSUP H.Adam Malik Medan.


(25)

1.3 Hipotesa Penelitian

Alergi merupakan faktor risiko terhadap kejadian otitis media supuratif kronik tipe benigna.

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum :

Untuk mengetahui risiko alergi terhadap kejadian otitis media supuratif kronik tipe benigna di RSUP H.Adam Malik Medan

1.4.2 Tujuan Khusus :

a. Risiko alergi terhadap kejadian otitis media supuratif kronik tipe benigna

b. Untuk mengetahui alergen terbanyak yang dijumpai berdasarkan tes kulit cukit.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Membuktikan peran alergi sebagai faktor risiko terhadap kejadian otitis media supuratif kronik tipe benigna

1.5.2 Diharapkan dapat meningkatkan pelayanan diagnostik dan penatalaksanaan pada pasien OMSK tipe benigna dengan memperhatikan tanda-tanda alergi

1.5.3 Sebagai pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.


(26)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Anatomi telinga tengah

Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustacius dan prosesus mastoideus (Moore, 1989 ; Dhingra, 2004).

2.1.1 Membran timpani

Membran timpani di bentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani mempunyai ukuran panjang vertikal rata-rata 9 -10 mm, diameter 8 - 9 mm dan tebalnya kira-kira 0,1 mm. Membran timpani miring ke medial dari posterior superior ke anterior inferior, membentuk sudut kira-kira 140º antara kavum timpani dan liang telinga luar (Moore, 1989).

Membran timpani terdiri dari tiga lapisan. Lapisan skuamosa membatasi telinga luar sebelah medial, lapisan mukosa membatasi telinga tengah sebelah lateral dan jaringan fibrosa terletak diantara kedua lapisan tersebut. Lapisan fibrosa terdiri dari serat melingkar dan serat radial yang menjadikan bentuk dan konsistensi membran timpani. Serat-serat radial masuk kedalam perikondrium lengan maleus dan kedalam anulus fibrosa, membentuk gambaran kerucut yang penting secara fungsional. Serat melingkar memberikan kekuatan bagi membran timpani telinga tanpa mempengaruhi vibrasi, dibantu oleh beberapa serat tegak lurus yang memperkuat bentuknya. Sifat arsitektur membran timpani membuatnya dapat menyebarkan energi vibrasi secara ideal (Austin, 1997).

 


(27)

Membran timpani dibagi dalam dua bagian :

a. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani. Bagian pinggirnya menebal membentuk jaringan cincin fibrokartilaginous yang disebut dengan annulus timpanikus yang terdapat didalam sulkus timpanikus. Bagian sentral dari pars tensa melekuk kedalam ke ujung maleus disebut umbo. Refleks cahaya dapat terlihat memancar dari ujung maleus ke pinggir membran timpani di kuadran anteroinferior.

b. Pars flaksida (Shrapnel’s membrane), terletak diatas prosesus lateral maleus antara notch of Rivinus dan plika maleolaris anterior dan plika maleolaris posterior (Dhingra, 2004).

c.

2.1.2 Kavum timpani (Telinga tengah)

Telinga tengah (kavum timpani) terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara membran timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot yang terdapat di dalamnya beserta penunjangnya, tuba Eustachius dan sistem sel-sel udara mastoid. Batas-batas superior dan inferior membran timpani membagi kavum timpani menjadi epitimpanum atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum (Austin, 1997).

Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang terletak lebih rendah dari membran timpani. Permukaan tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran kerang karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini menutupi bulbus yugularis. Kadang-kadang suatu celah pada dinding ini menyebabkan sebagian bulbus yugularis dapat masuk kedalam hipotimpanum (Austin, 1997).


(28)

Mesotimpanum, disebelah medial dibatasi oleh kapsul otik, yang letaknya lebih rendah daripada nervus fasial pars timpani. Suatu penonjolan yang melengkung pada bagian basal kohlea terletak tepat disebelah medial membran timpani dan disebut promontorium. Didalam promontorium terdapat beberapa saluran-saluran berisi saraf-saraf yang membentuk pleksus timpanikus. Disebelah posterior promontorium pada bagian superior terdapat foramen ovale (vestibuler) dan pada bagian inferior terdapat foramen rotundum (kohlear), yang keduanya terletak pada dasar suatu lekukan. Kedua lekukan tersebut berhubungan pada batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam, yaitu sinus timpanikus. Pada foramen ovale terdapat lempeng kaki stapes yang terletak pada bidang sagital. Foramen rotundum terlindung dari penglihatan karena bagian ini terletak pada bidang melintang sebelah anterior suatu tepi penonjolan dari promontorium. Foramen rotundum ditutupi oleh suatu membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder. Dinding posterior mesotimpanum dibentuk oleh tulang yang menutupi saraf fasial pars desendens. Tulang ini biasanya mempunyai sel-sel pneumatisasi dan sering mempunyai hubungan dengan sistem sel udara mastoid. Sebelah superior dinding ini terdapat suatu penonjolan berbentuk kerucut yang disebut eminensia piramid, melindungi muskulus stapedius dan tendonnya. Suatu cabang saraf ke-7 menginervasi otot tersebut. Disebelah lateral eminensia piramid terdapat foramen untuk nervus korda timpani yang berjalan dibagian inferior melalui suatu saluran untuk bergabung dikanalis fasial atau pada foramen stilomastoid (Austin, 1997).

Suatu ruang yang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau resesus fasial yang terdapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal. Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah superior oleh prosesus


(29)

brevis inkus yang melekat ke fosa inkudis. Ruang ini memanjang dari ruang telinga tengah posterosuperior ke aditus ad antrum dan penyakit sering tersembunyi disini. Pendekatan terhadap ruang ini dari antrum mastoid akan membuka struktur timpanum posterior dan nervus fasial (Austin, 1997).

Bagian anterior saluran fasial pars timpani ditandai oleh penonjolan berbentuk pengait di ujung oleh posterior saluran otot tensor timpani, yaitu prosesus kokleariform yang membuat tendon muskulus tensor tersebut membelok kelateral kedalam telinga tengah. Saluran muskulus tensor timpani berjalan kedepan ke dalam permukaan superior tuba Eustachius dan merupakan tanda batas anterosuperior mesotimpanum (Austin, 1997).

Pada dinding anterior mesotimpanum terdapat orificium timpani tuba Eustacius pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding saluran karotis asenden pada bagian inferior. Dinding ini biasanya mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian-bagian tulang yang lemah (Austin, 1997).

Dalam epitimpanum terdapat inkus dan maleus. Di bagian superior epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os petrosus, yaitu tegmen timpani yang merupakan kelanjutan tegmen mastoid posterior. Dinding medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh tonjolan kanalis semisirkuler lateral. Pada bagian anterior terdapat bagian ampula kanalis superior, dan lebih anterior ada gangglion genikulatum yang merupakan tanda ujung anterior ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang sempit, dan disini dapat dijumpai muara se-sel udara yang membuat pneumatisasi pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang


(30)

berlanjut ke arah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang sebelah atas. Di posterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad antrum (Austin, 1997).

2.1.3 Tuba Eustachius

Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba Eustachius adalah yang bertulang, sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak disebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak dibagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring diatas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya tertutup tetapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba Eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani (Liston, 1997).

Pada orang dewasa perbedaan tinggi muara tuba Eustachius di kavum timpani dan nasofaring sekitar 25 mm. Tuba Eustachius panjangnya 30 sampai 40 mm, pada anak ukurannya lebih pendek dan lebih datar. Dinding tuba Eustachius mempunyai bagian tulang rawan yang merupakan 2/3 seluruh panjangnya mulai dari muaranya di kavum timpani, sedangkan 1/3 bagian yang lain berdinding tulang rawan, turun ke arah nasofaring. Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah dan lateral bawah merupakan jaringan ikat yang bergabung dengan m. tensor dan levator veli palatini. Pada keadaan istirahat, lumen tuba Eustachius tertutup. Terdapat mekanisme pentil


(31)

pada tuba ini, udara lebih sukar masuk ke kavum timpani dari pada keluar (Helmi, 2005).

Fungsi tuba Eustachius :

1. Mengatur ventilasi dari telinga tengah dan memelihara keseimbangan tekanan pada kedua sisi dari membran timpani.

2. Drainase dari telinga tengah.

3. Melindungi dari tekanan suara nasofaring dan sekret dari nasofaring (Kumar, 1996).

Tuba biasanya tertutup dan akan terbuka melalui kontraksi aktif otot tensor veli palatini pada saat menelan, atau saat menguap atau membuka rahang. Ventilasi memungkinkan keseimbangan tekanan atmosfer pada kedua sisi membran timpani. Tuba akan membuka melalui kerja otot bilamana terdapat perbedaan tekanan sebesar 20 hingga 40 mmHg. Untuk melakukan fungsi ini, diperlukan otot tensor veli palatini yang utuh (Paparella, 1997).

2.1.4 Prosesus mastoid

- Pneumatisasi

Sistem sel udara pneumatik tumbuh sehubungan dengan pembesaran tulang temporal sebagai suatu penumbuhan ke luar dari telinga tengah dan antrum. Kelompok-kelompok sel udara dapat diklasifikasikan berdasarkan asal perkembangannya. Sel-sel yang berkembang dari antrum merupakan kelompok terbesar, terbentuk di dalam prosesus mastoid yang membesar. Sel-sel mastoid terletak di sebelah luar suatu


(32)

dan prosesus timpani os skuama (sutura petroskuamosa) yang dikenal dengan nama septum korner. Sebelah dalam septum ini dijumpai sel-sel antrum yang merupakan perluasan antrum asli ke arah medial ke dalam os petrosa. Perluasan tersebut dapat terjadi jauh ke dalam petrosa sampai ke pinggir kanalis semisirkuler dan kanal auditori interna. Sinus sigmoid mungkin dikelilingi oleh suatu kelompok sinus yang dapat meluas ke skuama. Perluasan sel-sel tersebut ke arah anterior dan lateral dapat mencapai zigoma (sel-sel zigoma) dan berhubungan dengan atik. Sel-sel ujung mastoid kadang-kadang membentuk suatu daerah koalesens yang besar di ujung prosesus mastoid (Austin, 1997).

Mastoid terdiri dari sebuah tulang korteks dengan sebuah “sarang lebah (honeycomb)” dari sel udara dibawahnya. Tergantung dari pertumbuhan sel udara, mastoid dibagi tiga tipe :

1. Well-pneumatised atau cellular, sel-sel mastoid pertumbuhannya baik dan septa tipis.

2. Diploetic, mastoid terdiri dari marrow spaces dan sedikit sel-sel udara.

3. Sclerotic atau acellular, tidak dijumpai sel-sel atau marrow spaces (Dhingra, 2004).

2.1.5 Vaskularisasi kavum timpani

Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri karotis eksterna. Cabang-cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah: a.timpani anterior yang merupakan cabang dari a. maksilaris yang masuk ke telinga tengah melalui fisura


(33)

petrotimpani. Arteri ini mendarahi bagian anterior kavum timpani termasuk mukosa membran timpani.

a. Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang dapat berasal dari a. aurikularis posterior atau a. oksipital. A.timpani posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani lalu mendarahi bagian posterior kavum timpani. b. Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang asendens a. karotis eksterna

yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani bersama dengan cabang timpani n. IX lalu mendarahi terutama bagian inferior kavum timpani. c. Arteri petrosus superfisialis dan a. timpani superior yang merupakan

cabang-cabang a. meningea media yang masuk ke kavum timpani masing-masing melalui lubang kecil di tegmen timpani dan melalui fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian superior kavum timpani.

d. Arteri karotikotimpani yang merupakan satu-satunya cabang berasal dari a. karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus dengan telinga tengah (Helmi, 2005).

Aliran vena jalan seiring dengan arterinya untuk bermuara pada sinus petrosus superior dan pleksus pterigoideus (Helmi, 2005).

2.2 Definisi

Otitis media supuratif kronis adalah radang telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) tersebut lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. Batasan waktu 2 bulan tersebut dari negara ke negara bervariasi,


(34)

WHO menentukan batasan waktu 2 minggu (Helmi, 2005). Bailey dan Scott-Brown’s mengatakan batasan waktu OMSK adalah lebih dari 3 bulan (Canter, 1997 ; Kenna, 2006).

2.3 Kekerapan

Prevalensi OMSK di Indonesia secara umum adalah 3,9%. Pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta (Helmi, 2005). Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007). Di negara lain prevalensinya bervariasi dari negara ke negara, WHO mengklasifikasinya menjadi negara berprevalensi paling tinggi (>4%), tinggi (2-4%), rendah (1-2%), paling rendah (<1%). Negara berprevalensi paling tinggi termasuk Tanzania, India, Kepulauan Salomon, Guam, Aborigin Australia dan Greenland. Negara dengan prevalensi tinggi termasuk Nigeria, Angola, Mozambique, Republik of Korea, Thailand, Philippines, Malaysia, Vietnam, Micronesia, China, Eskimos. Negara berprevalensi rendah termasuk Brazil, Kenya. Sedangkan negara berprevalensi paling rendah adalah Gambia, Saudi Arabia, Israel, Australia, United Kingdom, Denmark, Finland, American Indians. Indonesia belum masuk daftar, melihat klasifikasi itu Indonesia masuk dalam Negara dengan OMSK prevalensi tinggi (Helmi, 2005 ; WHO, 2004).

Beberapa peneliti melaporkan bahwa OMSK tipe benigna mempunyai hubungan dengan faktor alergi. Suparyadi pada tahun 1990 di Semarang dalam penelitiannya terhadap 60 orang OMSK tipe benigna mendapatkan 25,67% penderita kemungkinan


(35)

mempunyai faktor alergi. Sri Harmadji pada tahun 1991 di Surabaya dengan kasus yang sama mendapatkan 33,3% dari 30 penderita kemungkinan faktor alergi (Harmadji, 1993). Farida et al, pada tahun 2006 di Makassar mendapatkan hubungan bermakna kejadian alergi pada OMSK benigna melalui tes kulit cukit sebesar 86,2%, menunjukkan bahwa alergi merupakan faktor risiko OMSK benigna (Farida et al, 2006). Lasisi et al, pada tahun 2008 di Nigeria melaporkan terdapat hubungan antara otitis media supuratif dan alergi pada sekitar 80% pasien dengan alergi (Lasisi, 2008).

2.4 Etiologi dan Patogenesis

2.4.1 Etiologi

Menurut Ballenger faktor-faktor yang menyebabkan infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis sangat majemuk, antara lain :

1. Gangguan fungsi tuba Eustachius yang kronis akibat : a.infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang. b.obstruksi anatomi tuba Eustachius partial atau total. 2. Perforasi membran timpani yang menetap.

3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah.

4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanosklerosis.


(36)

6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan pertahanan tubuh (Ballenger, 1997).

Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang yang dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan dan sosial ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga tengah karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran napas atas maka otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis) mencapai telinga tengah melalui tuba Eustacius (Helmi, 2005).

Secara umum OMSK dapat disebabkan oleh:

1.Lingkungan

Dalam berbagai penelitian, dijumpai hubungan yang erat antara pasien OMSK dan sosial ekonomi, dimana insidens yang tinggi dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah (Browning, 1997). Prevalensi lebih tinggi berkisar 5-6 kali lebih banyak dibanding penduduk dengan sosial ekonomi baik (Mangape, 1995).


(37)

Mayoritas peneliti dari berbagai negara melaporkan faktor yang berpengaruh terhadap otitis media antara lain:

1.Kondisi sosial ekonomi

2.Kebersihan perorangan (personal hygiene) 3.Jumlah keluarga dalam satu keluarga 4.Kondisi tempat tinggal

5.Malnutrisi

6.Kurangnya sarana kesehatan

7.Kurangnya pengobatan pada stadium dini (Mangape, 1995).

2.Genetik

Hubungan antara faktor genetik dengan terjadinya OMSK masih menjadi pertanyaan sehubungan dengan adanya kecenderungan pada ras tertentu untuk terjadinya OMSK. Sebagai contoh diduga bahwa ras kulit putih Amerika lebih cenderung menderita OMSK dibandingkan ras negro Amerika (Browning, 1997).

Peran faktor genetik masih diperdebatkan akhir-akhir ini, khususnya apakah insiden OMSK berhubungan dengan ukuran sel-sel udara mastoid yang diduga telah terganggu secara genetik. Secara histologis, tidak diragukan lagi bahwa dengan adanya proses inflamasi yang berulang, maka sel-sel udara mastoid menjadi lebih sklerotik secara progresif (Browning, 1997).


(38)

3.Riwayat otitis media sebelumnya

Secara umum dikatakan bahwa otitis media kronis merupakan sekuele dari otitis media akut dan otitis media efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan mengapa satu telinga berlanjut menjadi kondisi yang kronis, sedangkan telinga lainnya tidak (Browning, 1997).

4.Faktor infeksi

Bakteri hampir selalu dijumpai pada isolasi mukopus atau dari mukosa telinga tengah pada otitis media kronis yang aktif. Proporsi berbagai organisme berbeda-beda diantara beberapa penelitian, tetapi organisme yang paling banyak dijumpai adalah bakteri gram negatif, bowel-type flora dan kadang-kadang dijumpai berbagai organisme yang berbeda dari satu telinga (Browning, 1997).

Telah terbukti bahwa bakteri dapat menghasilkan substansi yang mempengaruhi fungsi silia sehingga akan menyebabkan stasis sekresi didalam telinga tengah. Selain itu juga diketahui bahwa kolonisasi polimikrobial menyebabkan kerusakan yang lebih hebat dibandingkan dengan monomikrobial (Browning, 1997).

5.Infeksi saluran napas

Sebagian besar pasien mengeluh keluarnya cairan dari telinga setelah mengalami infeksi saluran napas atas. Dalam hal ini diduga infeksi virus akan mempengaruhi mukosa telinga tengah sehingga kurang resisten terhadap organisme yang secara normal memang ditemukan didalam telinga tengah sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri (Browning, 1997).


(39)

6.Autoimun

Penderita dengan penyakit autoimun cenderung mempunyai insiden yang lebih tinggi terhadap OMSK (Browning, 1997).

7.Alergi

Walaupun sebagian penulis menganggap alergi merupakan faktor yang penting, tetapi tetap harus dibuktikan bahwa individu dengan alergi mempunyai insidens OMSK yang lebih tinggi dibandingkan dengan non-alergi (Browning, 1997).

8.Gangguan fungsi tuba Eustachius

Pada otitis media kronis yang aktif, tuba Eustachius sering mengalami sumbatan akibat edema, tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder tetap tidak diketahui. Pada telinga yang inaktif, berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi fungsi tuba Eustacius dan sebagian besar menduga bahwa tuba telah gagal untuk mengembalikan tekanan negatif dalam telinga tengah menjadi normal (Browning, 1997).

2.4.2 Klasifikasi

Secara klinis, OMSK dibagi dalam dua tipe : 1.Tipe tubotimpanik

Di sebut juga tipe benigna, meliputi bagian anteroinferior dari telinga tengah dan berhubungan dengan perforasi sentral. Tidak ada dijumpai komplikasi yang serius pada tipe ini.


(40)

2.Tipe atikoantral

Di sebut juga tipe berbahaya atau danger tipe, meliputi bagian posterosuperior dari telinga tengah (atik, antrum dan mastoid) dan berhubungan dengan perforasi atik atau perforasi marginal. Penyakit ini sering berhubungan dengan proses erosi tulang seperti kolesteatoma, granulasi atau osteitis. Risiko terjadinya komplikasi tinggi pada tipe ini (Dhingra, 2004).

Tipe jinak (benigna) biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan kavum timpani, disebut juga tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya hanya pada mukosa telinga tengah. Tipe bahaya (atikoantaral) karena proses biasanya dimulai di daerah atik, disebut juga tipe tulang karena penyakit menyebabkan erosi tulang. Di Indonesia tipe bahaya lebih terkenal sebagai tipe maligna (Helmi, 2005).

Faktor predisposisi (predisposing factors) pada penyakit tubotimpanal adalah: 1.Infeksi saluran napas atas yang berulang, nasal alergi, rinosinusitis kronis. 2.Pembesaran adenoid pada anak-anak, tonsilitis kronis.

3.Mandi dan berenang dikolam renang, mengorek telinga dengan alat yang terkontaminasi.

4.Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia


(41)

2.4.3 Patogenesis

Patogenesis OMSK benigna terjadi karena proses patologi telinga tengah, pada tipe ini didahului oleh kelainan fungsi tuba maka disebut juga sebagai penyakit tubotimpanik. Terjadinya OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang dimulai setelah dewasa. Terjadinya otitis media disebabkan multifaktor antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh, lingkungan dan sosial ekonomi. Anak lebih mudah mendapat infeksi telinga tengah karena struktur tuba anak yang berbeda dengan dewasa serta kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi infeksi saluran nafas atas, maka otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi. Fokus infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Kadang-kadang infeksi berasal dari telinga luar masuk ke telinga tengah melalui perforasi membran timpani, maka terjadilah proses inflamasi. Bila terbentuk pus akan terperangkap didalam kantong mukosa telinga tengah. Dengan pengobatan yang cepat dan adekuat dan dengan perbaikan fungsi ventilasi telinga tengah, biasanya proses patologis akan berhenti dan kelainan mukosa akan kembali normal. Bila terjadi perforasi membran timpani yang permanen, mukosa telinga tengah akan terpapar ke dunia luar sehingga memungkinkan terjadinya infeksi berulang setiap waktu. Hanya pada beberapa kasus keadaan telinga tengah tetap kering dan pasien tidak sadar akan penyakitnya. Bila terjadi infeksi maka mukosa telinga tengah tampak tipis dan pucat (Helmi, 2005).


(42)

Mukosa telinga tengah yang normal memperlihatkan kurang dalam sel-sel imunokompeten pada beberapa penelitian sebelumnya, tetapi sel-sel itu diaktivasi dengan infeksi mikroba, telinga tengah dapat menjadi tempat yang aktif secara imunologi, baik dengan imunitas mukosa atau imunitas sistemik, sama halnya dengan imunitas untuk melawan berbagai kuman patogen. Karena itu dapat juga diterangkan bahwa epitel mukosa telinga tengah dapat diaktivasi untuk menghasilkan berbagai kemokin (seperti IL-8 melalui Toll-like receptors) dan perekrutan sel-sel imunokompeten ke telinga tengah bersama sama dengan sistem imun di sistem dibagian lain mukosa dalam mengekspresikan suatu respon imun lokal pada telinga tengah selama suatu otitis media (Barenkam et al, 2003).

Sebagai respons alergi terjadi sekresi berbagai mediator dan sitokin yang mempengaruhi terjadinya inflamasi dan kondisi ini dapat berulang hingga kronis. Interleukin-1 (IL-1) merupakan sitokin yang kadarnya tinggi pada pasien-pasien OMSK. Demikian juga tumor necrosis factor-α (TNF-α). Selain faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK juga dipengaruhi oleh faktor mukosa telinga tengah sebagai target organ alergi. Pada biopsi mukosa telinga tengah didapatkan esinophilic cationic protein (ECP), IL-5 dan binding major protein (BMP) yang lebih tinggi pada pasien otitis media dibanding dengan pasien non otitis media (Restuti, 2006).

Penyakit alergi THT seperti halnya penyakit alergi pada umumnya adalah suatu reaksi abnormal yang bersifat khas, timbul pada orang yang berbakat alergi (atopi) dan terjadi bila ada kontak dengan suatu bahan tertentu (alergen). Penyakit ini sebagai manifestasi reaksi antigen antibodi. Pada kontak pertama dengan antigen/alergen tubuh membentuk antibodi IgE spesifik yang menempel pada permukaan sel mastosit/basofil.


(43)

Pada keadaan ini orang tersebut sudah siap untuk mendapatkan penyakit alergi. Pada kontak ulang dengan alergen yang sama, maka alergen akan menempel pada IgE pada permukaan sel mastosit/basofil tersebut sehingga menyebabkan degranulasi sel-sel mastosit/basofil, sehingga terlepaslah bahan-bahan mediator antara lain histamin. Bahan-bahan mediator ini akan berkumpul pada organ sasaran antara lain pada kulit liang telinga luar, mukosa telinga, hidung dan tenggorok sehingga menimbulkan reaksi alergi. Mukosa kavum timpani merupakan salah satu organ sasaran, hal ini dijelaskan oleh Siegel :

1. Telinga tengah berfungsi sebagai ”Shock organ”.

2. Merupakan perluasan dari reaksi alergi saluran napas bagian atas (Harmadji, 1993).

Dari berbagai penelitian, ditemukan bahwa inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada saluran napas atas dan bawah berhubungan dengan sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 seperti interleukin-4 (IL-4) dan IL-5. Proses ini merupakan hasil dari infiltrasi eosinofil yang merupakan karakteristik dari respon alergi. IL-4 membantu produksi IgE oleh sel-sel B dan mengatur adhesi molekul sel vaskular pada sel endotel, yang lebih jauh akan membantu transmigrasi eosinofil ke jaringan. IL-5 bertindak sebagai faktor penstimulasi koloni (colony stimulating factor) untuk eosinofil, dan membantu proliferasi eosinofil serta diferensiasinya dijaringan (Wright et al, 2000).

Peningkatan sekresi IgE didalam telinga tengah tinggi pada OMSK dibanding OMA. Maka alergi berperan pada OMSK dan IgE meningkat didalam sekresi otitis


(44)

2.5 Alergi

Penyakit alergi merupakan reaksi hipersensitivitas dari organ yang terkena. Istilah atopi adalah didapatkannya IgE hiperresponsif, sedangkan alergi adalah ekspresi klinis dari penyakit yang dimediatori oleh IgE. Pasien atopi dapat mempunyai atau tidak mempunyai gejala alergi. Frekwensi atopi di negara-negara berkembang adalah 30-40%, tetapi hanya sebagian yang menderita alergi, yaitu asma bronkial alergi 5-10%, rinitis alergi 10-20% dan alergi makanan 1-3% (Mahdi, 2008).

Pada penyakit karena alergi/atopi bila dirangsang dengan alergen, timbul reaksi pembentukan IgE sedangkan pada orang normal tidak terjadi. IgE antibodi terikat pada Fc reseptor dipermukaan sel mastosit dan basofil, ini tidak berbahaya apabila tidak terpapar dengan antigen yang sama. Ikatan antigen dengan IgE antibodi menjembatani antibodi dengan reseptor dan merangsang lepasnya granula yang berisi histamin serta mediator lainnya (Mahdi, 2008).

Pada individu yang cenderung alergi, paparan terhadap beberapa antigen menyebabkan beberapa antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE. Individu normal tidak mempunyai respon Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang dan lain-lain, respon sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopi dapat alergi terhadap satu atau lebih alergen diatas. Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespon terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein. Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering disebut sebagai alergen (Munasir et al, 2007).


(45)

Interleukin (IL) 4 dan IL 13 yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopi akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respon terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respon IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan. Hubungan antara genetik dan imunologik kemungkinan terletak pada keseimbangan antara sel Th1 dan Th2 merupakan faktor penting. Sekarang telah diketahui bahwa orang-orang dengan penyakit alergi didapatkan peningkatan sel Th2 mempunyai nilai prediksi peningkatan kadar Th2. Produksi sitokinnya seperti IL4 dan IL6 akan meningkat, sebaliknya pada orang-orang tanpa gejala alergi produksi Th2 rendah (Munasir et al, 2007; Mahdi, 2008).

2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas tipe 1

Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Reaksi ini diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi yang ditimbulkan terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). Reaksi fase cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca pajanan alergen, sedangkan RAFL berlangsung 2-4 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 6-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 24-48 jam (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008).


(46)

2.5.2. Tahap Sensitisasi

Reaksi alergi dimulai dengan respons pengenalan alergen oleh sel darah putih, yaitu sel makrofag, monosit atau sel dendritik. Sel-sel tersebut berperan sebagai antigen presenting sel (APC) atau sel penyaji dan berada di mukosa saluran napas. Sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel pada permukaan mukosa, yang kemudian setelah diproses akan dibentuk fragmen pendek peptida imunogenik. Fragmen ini akan bergabung dengan molekul-molekul HLA-kelas II membentuk kompleks peptid-MHC-kelas II yang kemudian akan dipresentasikan pada limfosit T yaitu helper T cell (sel Th0). Selanjutnya sel APC akan melepaskan sitokin yang salah satunya adalah interleukin 1 (IL 1). Sitokin ini mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan memproduksi 3, 4, 5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap reseptornya pada permukaan sel B-istirahat (resting B cell), sehingga sel B teraktivasi dan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Individu yang mengandung kompleks tersebut dianggap tersensitisasi, dan setiap saat akan mudah masuk ke reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008).

2.5.3 Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)

Molekul IgE dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan mastosit/basofil, sehingga akan teraktifasi. Bila ada 2 light chain IgE berkontak dengan alergen spesifiknya, maka akan terjadi degranulasi sel yang berakibat terlepasnya mediator-mediator alergi yang terbentuk


(47)

(Performed Mediators), terutama histamin. Histamin yang terlepas akan menyebabkan hipersekresi kelenjar mukosa. Efek lain adalah vasodilatasi dan penurunan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa. Selain histamin juga akan dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), serta berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan lain-lain (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008).

Sel mastosit juga akan melepaskan molekul-molekul kemotaktik. Molekul-molekul tersebut terdiri dari ECTA (Eosinophil Chemotactic Factor of Anaphylactic) akan menyebabkan penumpukan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008).

2.5.4 Reaksi Alergi tipe Lambat (RAFL)

Reaksi alergi fase cepat dapat berlanjut terus sebagai RAFL dengan tanda khas, yaitu terlihatnya penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran, seperti eosinofil, limfosit, basofil dan mastosit. Hal tersebut juga disertai dengan peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan GM-CSF dan ICAM-1 (Sumarman, 2001 ; Irawati et al, 2008).


(48)

2.6 Diagnosis

2.6.1 Diagnosis OMSK

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang teliti pemeriksaan klinis (otoskopi) yang cermat, serta pemeriksaan penunjang seperti X-Ray, Scanning, audiometri (Abboet, 2004).

Diagnosis tepat memerlukan beberapa alat pemeriksaan antara lain lampu kepala yang cukup baik, corong telinga, alat pembersih sekret telinga, alat pengisap sekret, otoskop atau mikroskop/endoskop. Sekret telinga dibersihkan dengan alat pembersih sekret atau alat pengisap sekret, selanjutnya digunakan otoskop untuk melihat lebih jelas lokasi perforasi, kondisi sisa membran timpani dan kavum timpani. Tidak jarang pula diagnosis yang tepat tentang tipe OMSK baru dapat ditegakkan dengan bantuan mikroskop atau endoskop (Helmi, 2005).

Diagnosis OMSK ditegakkan bila ditemukan perforasi membran timpani dengan riwayat otore menetap atau berulang lebih dari 3 bulan. Sebaiknya diagnosis OMSK disertai dengan keterangan jenis dan derajat ketulian. OMSK yang terbatas di telinga tengah hanya menyebabkan tuli konduktif. Bila terdapat tuli campur ada menandakan komplikasi ke labirin, dapat juga akibat penggunaan obat topikal yang ototoksik (Helmi, 2005).

Pemeriksaan pencitraan mastoid bukan pemeriksaan rutin tetapi perlu untuk melihat perkembangan pneumatisasi mastoid dan perluasan penyakit. Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan antibiotik yang tepat, tetapi antibiotik lini pertama tidak harus menunggu pemeriksaan ini. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam diagnosis OMSK adalah tanda-tanda dini komplikasi (Helmi, 2005).


(49)

2.6.2 Diagnosis Alergi

Diagnosis alergi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis berupa gejala klinis yang timbul sesuai dengan organ yang menjadi sasaran, mulai penyakit, musim, lingkungan, serta riwayat alergi dalam keluarga. Pemeriksaan fisik mencakup pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorok secara lengkap, serta organ lain yang berpotensial menunjukkan alergi (King at al, 1998).

Pemeriksaan mata dapat menunjukkan adanya tanda-tanda alergi. Tanda-tanda tersebut yaitu edema pada konjungtiva, mata berair, mata gatal, garis Dennie-Morgan pada kelopak mata, serta bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic schinners). Pada telinga kemungkinan terdapatnya eksema pada kulit liang telinga. Pemeriksaan pada hidung dapat menunjukkan adanya mukosa hidung yang edema, tampak basah, berwarna pucat atau livid serta sekret encer yang banyak (King at al, 1998).

Gambaran lidah geografik (geographic tongue) dapat ditemukan pada penderita alergi makanan. Terkadang lidah berwarna merah. Tidak jarang pada penderita alergi ditemukan pembesaran tonsil dan adenoid. Mulut biasanya agak terbuka. Gejala lain pada penderita alergi yaitu adanya kelainan pada kulit berupa eksema dan urtikaria (King at al, 1998).

Pemeriksaan penunjang untuk alergi yang dilakukan secara in-vivo yaitu uji kulit. Terdapat berbagai cara untuk uji kulit yang dilakukan yaitu prick test, scratch test, friction test, patch test dan intradermal test. Di antara berbagai test ini yang lebih disukai adalah cara prick test, karena mudah melakukannya, murah, spesifik dan aman. Menurut laporan yang ada di Indonesia, prick test ini hampir tidak pernah menimbulkan


(50)

efek samping. Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi, telah dilakukan sejak lebih 100 tahun yang lalu, karena cara pelaksanaannya cukup sederhana dan terbukti mempunyai korelasi yang baik dengan kadar IgE spesifik atau dengan tes provokasi. Tujuannya adalah untuk menentukan antibodi IgE spesifik dalam kulit pasien, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit hanya dilakukan terhadap alergen yang dicurigai merupakan penyebab keluhan pasien dan terhadap alergen-alergen yang ada pada lingkungan pasien (Tanjung et al, 2007).

Tes kulit cukit sebagai salah satu tes alergi dengan menggunakan ekstrak alergen merupakan alat diagnostik yang jitu yang membuktikan telah terjadinya fase sensitisasi oleh alergen tertentu pada seorang individu. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya reaksi hipersensitifitas yang segera pada individu tersebut atau dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat komplek Ig E sel mast. (Sumarman, 2001; Huggins et al, 2004).

Keuntungan tes kulit cukit adalah:

1. Lebih mudah dikerjakan dan sederhana. 2. Tidak merasa sakit.

3. Karena memakai pelarut gliserin maka lebih stabil dari pada pelarut air.

4. Relatif lebih aman dengan reaksi anafilaktik yang kecil karena jumlah alergen yang dimasukan juga sedikit.

5. Lebih cepat meskipun mengadapi penderita yang sensitif sekali, lama mengerjakan tusuk sampai selesai tidak lebih dari 1 jam (Rizalina, 2000).


(51)

Untuk menjamin akurasinya, tes kulit harus dilaksanakan setelah terlampaui masa 'wash out' antihistamin sedatif 2-4 hari dan antihistamin non sedatif 7 hari, kecuali asetamizol 6-8 minggu, kortikosteroid 2-3 bulan. (Sumarman, 2001)

Tes kulit cukit (skin prick test) memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Puluhan alergen dapat dikerjakan pada satu kali tes. Tes dilakukan pada bagian volar lengan bawah dengan penusukan sederhana epikutan sehingga tidak melewati membran basalis yang dapat menimbulkan pendarahan yang bisa menyebabkan hasil tes menjadi tidak akurat. Tes ini menggunakan jarum tuberkulin no 26 atau 26½. Tes kulit tusuk ini hampir tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga lebih disukai pasien. Hasil tes dapat di evaluasi dalam waktu singkat (10-15 menit), serentak untuk 25-30 alergen. Alergen yang digunakan terdiri atas satu seri alergen hirup, satu seri alergen makanan, larutan histamin sebagai kontrol positif, serta larutan saline atau buffer phosfat sebagai kontrol negatif. Jumlah alergen sebaiknya terbatas sampai sekitar enam alergen utama saja (housedust mite 2-3 spesies, pollen, mold dan binatang peliharaan). Tes kulit untuk alergen hirup lebih memiliki nilai klinis yang berharga daripada makanan. (Sumarman, 2001).

Beberapa metode yang dilakukan untuk menginterpretasikan hasil tes kulit tusuk:

1. Mengukur diameter bintul (wheal) yang terjadi dengan menggunakan planimeter. Respon positif dinyatakan apabila ditemukan setiap adanya wheal yang mempunyai ukuran diameter ≥ 9 mm2 diatas kontrol negatif (saline) (Jackola et al, 2003).

2. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing-masing ekstrak alergen yang diberikan dengan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline).


(52)

3. Metode ini disebut metode Pepys dengan penilaian sebagai berikut : (Madiadipoera,1996 ; Sumarman, 2001)

+1 (ringan) : apabila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol

negatif dan atau terdapat eritema.

+2 (sedang) : apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif

tetapi 2 mm lebih besar dari kontrol negatif.

+3 (kuat) : apabila bintul sama besar dengan kontrol

positif

+4 (sangat kuat) : apabila bintul lebih besar dari kontrol positif.

4. Menurut GLORIA (Global Resource in Allergy), 2003, bintul (wheal) yang terjadi dengan diameter > 3 mm menunjukkan bahwa menghasilkan antibodi IgE terhadap alergen yang spesifik. (Kaplan et al, 2003).

2.7 Penatalaksanaan

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan yaitu : adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan dengan dunia luar, terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus paranasal, sudah terbentuk jaringan patologik yang irreversibel dalam rongga mastoid, ataupun gizi dan higiene


(53)

yang kurang. Prinsip terapi OMSK benigna adalah konsevatif dengan medikamentosa. (Djaafar et al, 2008)

Penatalaksanaan terhadap alergi dilakukan bila terdapat satu atau lebih kriteria berikut, (1). Terdapat riwayat atopi, (2). Riwayat alergi pada keluarga, dan (3). Terdapat gejala alergi saluran napas pada saat diperiksa (Mahdi, 2008). Untuk penatalaksananan alergi, yang paling ideal adalah avoidance, yaitu menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Terapi medikamentosa yang diberikan berupa antihistamin, antihistamin dikombinasikan dengan dekongestan, kortikosteroid topikal, antikolinergik topikal, anti leukotrien dan anti IgE. Pengobatan masa yang akan datang yaitu berupa DNA rekombinan. Bila pengobatan tidak memberikan hasil yang memuaskan, dapat dipikirkan untuk dilakukan imunoterapi pada alergi inhalan, sedangkan untuk alergi makanan dapat dilakukan dengan eliminasi untuk tipe cepat dan netralisasi untuk tipe lambat (Irawati et al, 2008).

Untuk keluarga atopi, maka perlu dijelaskan upaya pencegahan sebagai berikut:

- Saat Kehamilan.

Penderita tidak diperkenankan merokok, sedapat mungkin menjahui binatang peliharaan, menghindari debu rumah dan tungau.

- Setelah bayi lahir.

Dianjurkan pemberian ASI saja untuk waktu yang lama (>6 bulan), hindari pemberian makanan tambahan yang potensial alergi (telur, ikan, coklat) pada umur kurang dari 1 tahun lingkungan sekitar harus bebas dari asap rokok, bulu binatang, debu rumah dan harus mendapat ventilasi dari sinar matahari yang cukup (Rizalina, 2000).


(54)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

   

Infeksi 

Virus/Bakteri 

Otitis Media Supuratif 

Kronik Benigna 


(55)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian studi kasus kontrol

4.2. Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

4.2.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita otitis media supuratif kronik tipe benigna dan non otitis media supuratif kronik yang datang berobat ke poliklinik THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

4.2.2. Sampel

Sampel penelitian adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

Kriteria inklusi untuk kasus :

- Penderita otitis media supuratif kronik tipe benigna

- Pada pemeriksaan otoskopi, didapatkan perforasi subtotal, total dan sentral - Usia ≥ 15 tahun

- Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan setelah mendapat penjelasan (informed concent)

- Bersedia menjalani pemeriksaan skin prick test - Bebas obat anti alergi selama 3 hari


(56)

Kriteria eksklusi untuk kasus : - Wanita hamil atau menyusui

- Penderita OMSK tipe maligna, Otitis media akut dan Otitis media efusi

- Memakai obat kortikostroid dan obat anti alergi yang belum melewati masa wash out.

Kriteria inklusi untuk kontrol :

- Semua pasien yang tidak ada gangguan telinga Kriteria eksklusi untuk kontrol :

- Memakai obat kortikostroid dan obat anti alergi yang belum melewati masa wash out. 4.2.3. Besar Sampel

Penentuan jumlah besar sampel berdasarkan pengamatan pendahuluan dengan menggunakan rumus :

n1 = n2 = ( Zα √ 2PQ + Zβ√ P1Q1 + P2Q2 )2

(P1 – P2)2

n1 = besar sampel penelitian kelompok OMSK tipe benigna

n2 = besar sampel penelitian kelompok non OMSK tipe benigna

Zα = batas kemaknaan α, nilai 95% = 1,96

Zβ = kekuatan uji, nilai 80% = 0,86


(57)

P2 = proporsi kejadian alergi pada orang normal =13,8% (Farida et al, 2006).

OR = 6

P = ½ (P1 + P2) Q = (1 – P)

n1 = n2 = ( 1.96 √ 2.0,314.0,686 + 0,86 √ 0,489.0,511 + 0,138.0,862 )2 (0,489 – 0,138)2

n1 = n2 = 26,5 = 27

Maka berdasar hasil perhitungan diatas didapatkan jumlah sampel pada kasus 27 orang dan kontrol 27 orang

4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel penelitian dilakukan, dimana setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi.

4.3 Variabel Penelitian

4.3.1 Klasifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel tergantung (dependent) : Otitis media supuratif kronik tipe benigna


(58)

4.4 Definisi Operasional

4.4.1 Otitis media supuratif kronik (OMSK) tipe benigna adalah proses peradangan pada mukosa telinga tengah, biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba Estachius yang menyebabkan kelainan di kavum timpani yang disebut juga tipe tubotimpanik (tipe aman) karena jarang menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Radang kronis telinga tengah ini disertai perforasi membran timpani dan riwayat keluar sekret dari telinga (otorea) lebih dari 3 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah (Helmi, 2005).

4.4.2 Diagnosis Otitis media supuratif kronik tipe benigna ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan otoskopi dijumpai perforasi sentral pada membran timpani, perforasi terdapat di pars tensa sedangkan diseluruh tepi perforasi annulus timpanikus masih ada (intak) (Browning, 1997 ; Shambough, 1990). 4.4.3 Non otitis media supuratif kronik (Non OMSK) adalah diagnosis penyakit selain

otitis media kronis yang dijumpai di poliklinik THT-KL RSUP H.Adam Malik Medan.

4.4.4 Alergen adalah substansi yang dapat menyebabkan hipersensitivitas yang cepat (alergi). Pada penelitian ini dipakai satu set alergen inhalan dan satu set alergen makanan termasuk kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (buffer).

4.4.5 Tes kulit cukit (skin prick tes) adalah suatu test alergi dengan menggunakan ekstrak alergen, yang menghasilkan respon mediator IgE dipermukaan kulit. Reaksi ini terdiri dari timbulnya bintul (wheal) yang dapat dikelilingi oleh eritema (flare). Reaksi ini dapat terjadi 15 menit sampai 1 jam. Hasil bintul (wheal) dapat


(59)

mengidentifikasi alergen positif atau negatif (Morton et al, 2007; Sumarman, 2001).

4.4.6 Penilaian tes kulit cukit dibuat berdasarkan metode Pepys, yaitu :

Negatif (-) : apabila sama dengan kontrol negatif

+1 (ringan) : apabila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif dan atau terdapat eritema.

+2 (sedang) : apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif tetapi 2 mm lebih besar dari kontrol negatif. +3 (kuat) : apabila bintul sama besar dengan kontrol positif

+4 (sangat kuat) : apabila bintul lebih besar dari kontrol positif. Dalam penelitian ini, dikatakan positif pada tes kulit cukit bila dijumpai diameter bintul +3 dan +4 yang terjadi pada setiap alergen.

4.4.7 Umur dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir. Perhitungannya berdasarkan kalender Masehi

4.4.8 Jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan

4.5 Instrumen Penelitian

Alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

1. Lampu kepala merek Riester 2. Spekulum telinga tipe Hartmann 3. Otoskop merek Heine mini 2000


(60)

5. Kanul pengisap no. 6 dan 8 tipe Fergusson 6. Spekulum hidung tipe Hartmann

7. Penekan / spatel lidah tipe Brünings 8. Nald no. 26G merek Terumo

4.6 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan adalah ekstrak alergen inhalan dan makanan produksi Lembaga Alergen Pertama Indonesia (LAPI) Jakarta (Dr. Indrajana), terdiri dari 1 set alergen inhalan dengan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (buffer) serta 1 set alergen makanan.

4.7 Cara Kerja

Setiap penderita OMSK tipe benigna dan non OMSK yang datang berobat ke poliklinik THT RS H.Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi, menjalani pemeriksaan tes kulit cukit (skin prick test) :

a. Lengan bawah bagian volar dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian dibiarkan sampai kering.

b. Dibuat marker tempat penetesan alergen. c. Lalu diteteskan zat-zat alergen.

d. Melalui tetesan tersebut kulit dicukit dengan jarum suntik steril No. 26 G (Terumo) dengan sudut 45° sedalam epidermis dan diangkat sedikit ke


(61)

permukaan dan jangan sampai mengeluarkan darah. Setiap jarum hanya dipakai satu kali untuk satu jenis alergen.

e. Setelah 15 menit dilakukan penilaian.

f. Bagi penderita pada daerah yang dicukit akan timbul reaksi bintul (wheal) dan atau kemerahan (flare). Sebagai kontrol positif adalah larutan histamin yang pada semua individu akan timbul reaksi ”wheal dan flare”. Sebagai kontrol negatif adalah larutan buffer yang umumnya tidak menimbulkan reaksi.

Pembacaan hasil menurut Metode Pepys.

4.8 Lokasi DanWaktu Penelitian 4.8.1 Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di poliklinik THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

4.8.2 Waktu Penelitian


(62)

4.9 Kerangka Kerja

4.10 Analisa Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan diolah secara komputerisasi dengan bantuan program window SPSS (Statistical Program for Social Science) versi 15. Data yang diperoleh dianalisa secara statistik untuk menilai besar risiko alergi terhadap kejadian OMSK tipe benigna dengan menggunakan uji chi-square

test dan uji regresi logistik dengan batas kemaknaan ρ<0,05.

OMSK Benigna yang  sesuai      

kriteria inklusi dan ekslusi

Non OMSK (disamakan umur dan 

jenis kelamin  dengan sampel)      

      Test Alegi/ 

Skin Prick Test 

      Bintul (Wheal)         Bintul (Wheal) 

       positif 

       negatif 

     Pemeriksaan THT       Pemeriksaan THT 


(63)

BAB 5

ANALISIS HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan sejak Maret 2009 sampai Februari 2010. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian studi kasus kontrol dengan jumlah sampel 54 orang yang terdiri dari 27 orang penderita OMSK tipe benigna dan 27 orang penderita non OMSK, yang dibatasi oleh kriteria inklusi dan eksklusi. Pada penelitian ini dilakukan matching yaitu faktor-faktor yang dipadankan antara kelompok OMSK tipe benigna dengan kelompok non OMSK adalah jenis kelamin dan umur. Pengambilan sampel dilakukan di Poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan. Pada sampel kasus dan kontrol dilakukan pemeriksaan uji kulit cukit (skin Prick test).

Tabel 5.1 Distribusi penderita kasus OMSK tipe benigna dan kontrol non OMSK berdasarkan umur

Umur (tahun) OMSK tipe benigna (=non OMSK) n %

17 – 26 10 37,1 27 – 36 4 14,8 37 – 46 8 29,6 47 – 56 5 18,5 Total 27 100,0

     


(1)

PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN

Bapak/ibu Yth,

Saya dr. Deddy Eko Susilo saat ini sedang menjalani pendidikan spesialis sebagai PPDS THT-KL melakukan penelitian yang berjudul : “Alergi Sebagai Faktor Risiko Terhadap Kejadian Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Tipe Benigna Di RSUP H. Adam Malik Medan ”

Penelitian ini mengenai alergi, dimana alergi merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian penyakit teleran/tungkikan yang bapak/ibu derita. Untuk membuktikan peran alergi terhadap kejadian penyakit teleran/tungkikan tersebut, maka saya mengikutsertakan bapak/ibu dalam penelitian ini yang bertujuan untuk membuktikan peran alergi terhadap penyakit teleran/tungkikan yang bapak/ibu derita. Untuk itu maka saya akan mencatat identitas bapak/ibu (No Urut Penelitian, Tgl berobat, No Rekam Medis, Nama, Umur, Jenis Kelamin, Suku, Pekerjaan, Pendidikan, Alamat) gejala dan tanda penyakit yang bapak/ibu derita pada lembaran penelitian. Selanjutnya saya akan melakukan suatu pemeriksaan test kulit cukit (skin prick test) pada bapak/ibu 1 set alergen inhalan termasuk kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (buffer) serta 1 set alergen makanan yang biasa dijumpai di lingkungan bapak/ibu sehari – hari dengan menggunakan jarum kecil berurukuran 26Gx1/2’’ (Terumo) pada lengan

bawah bapak/ibu dan akan menginterprestasi hasil yang diperoleh setelah 15 menit. Dengan adanya hasil interprestasi dari test kulit cukit ini bapak/ibu akan mengetahui bahan (alergen) yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada diri bapak/ibu sehingga bapak/ibu dapat menghindari alergen tersebut. Dalam megikuti penelitian ini, bapak/ibu tidak akan dikenakan biaya apa-apa. 


(2)

Bapak/ibu Yth,

Manfaat yang akan bapak/ibu peroleh dari penelitian ini adalah dengan adanya hasil interprestasi dari test kulit cukit ini akan mengetahui bahan (alergen) yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada bapak / ibu sehingga bapak / ibu dapat menghindari alergen tersebut, sehingga penyakit teleran / tungkikan yang bapak / ibu derita selama ini dapat di atasi dan diberi pengobatan yang tepat.

Bapak/ibu Yth,

Pemeriksaan test kulit cukit (skin prick test) ini adalah untuk mengetahui apakah bapak/ibu menderita alergi yang menyebabkan penyakit teleran/tungkikan bapak/ibu derita tidak sembuh-sembuh. Pemeriksaan ini adalah umum / biasa dilakukan, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang dapat membahayakan bapak/ibu. Namun bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, bapak/ibu dapat menghubungi saya (HP. 08126373323 ; 061-77099422) Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan jam 08.00 s/d 14.30 wib ( hari senin s/d kamis ) dan jam 08.00 s/d 12.00 wib ( hari jumat dan sabtu ) setiap hari kerja atau setiap waktu dapat menghubungi nomor telpon / HP saya untuk mendapatkan pertolongan. Saya akan bertanggung jawab untuk memberikan biaya pelayanan / pengobatan / membantu untuk mengatasi masalah / efek samping tersebut sesuai dengan masalah / efek samping yang terjadi.

Adapun efek samping yang mungkin terjadi adalah rasa gatal di kulit karena reaksi alergi namun akan menghilang dengan sendirinya setelah kurang lebih 30 menit. Dapat pula timbul reaksi berlebihan yang dapat menyebabkan tekanan darah turun tiba-tiba dan sulit bernapas, tetapi hal ini sangat jarang terjadi. Jika efek samping ini terjadi kami telah mempersiapkan perangkat pertolongan pertama berupa obat-obatan, infus dan oksigen.

Bapak/ibu Yth,

Partisipasi bapak/ibu bersifat sukarela, semua biaya penelitian ini tidak dibebankan kepada bapak/ibu. Tidak akan terjadi perubahan mutu pelayanan dari dokter, apabila bapak/ibu tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Bapak/ibu akan tetap mendapat pelayanan kesehatan standar


(3)

rutin sesuai dengan standar prosedur pelayanan. Bila bapak/ibu masih belum jelas menyangkut tentang penelitian ini, maka setiap saat dapat ditanyakan langsung kepada saya.

Bapak/ibu Yth,

Pada penelitian ini identitas bapak/ibu akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data bapak/ibu. Kerahasiaan data bapak/ibu sepenuhnya akan dijamin. Bila data dipublikasikan kerahasiaan akan tetap dijaga.

Setelah bapak/ibu memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan bapak/ibu yang telah terpilih pada penelitian ini dapat mengisi dan menandatangani lembar persetujuan penelitian.

Medan,………2010 Peneliti

(dr. Deddy Eko Susilo)


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ( INFORMED CONSENT )

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Alamat :

Setelah mendapat penjelasan dan memahami dengan penuh kesadaran mengenai penelitian ini, maka dengan ini saya menyatakan bersedia untuk ikut serta. Apabila dikemudian hari saya mengundurkan diri dari penelitian ini, maka saya tidak akan dituntut apapun.


(5)

Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila diperlukan.

Medan,………2010

Peserta penelitian

( ………..)

CURICULUM VITAE

I. IDENTITAS

1. Nama : dr. Deddy eko Susilo 2. Tempat/Tgl. Lahir : Medan / 25 April 1971

3. Alamat : Jl. Kiwi No 80 Sei Sikambing B Medan 4. No telp/Hp : 061-77099422 / 08126373323

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1978 – 1984 : SDN No 112149 Labuhan Batu 2. 1984 – 1987 : SMPN I Labuhan Batu

3. 1987 – 1990 : SMAN 11 Medan

4. 1990 – 2002 : Fakultas Kedokteran UISU Medan 5. 2005 – Sekarang : PPDS I. Kes THT-KL FK-USU Medan

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. 2002 – 2003 : Dokter di RSU Pelabuhan Belawan 2. 2003 – 2005 : Dokter di RSU Mitra Medika Medan

IV. KEANGGOTAAN PROFESI


(6)

2. 2005 – Sekarang : Anggota Muda PERHATI-KL Cabang Sumut