Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB V
BAB V
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Persoalan perselingkuhan dalam hubungan pernikahan merupakan sebuah
pengkhianatan terhadap komitmen yang telah diikrarkan dan berdampak serius
terhadap individu dan hubungan itu sendiri. Namun, penelitian yang dilakukan
kepada kedua istri yang terluka ini membuktikan bahwa pengampunan masih
mungkin diberikan kepada suami yang melakukan perselingkuhan.
Berdasarkan analisa pada bab sebelumnya, penulis memahami bahwa
fenomena pengampunan istri dalam menyikapi perselingkuhan suami berada pada
tataran yang sangat kompleks. Di satu sisi, feminis menyoroti semua alasan dan
tahapan yang dilakukan dalam memberikan pengampunan kepada suami tidak
terlepas dari kontrol sosial dimana mereka berdomisili. Di dalam pernikahan, jika
dilihat dari kaca mata patriarki, peran perempuan telah dibentuk sedemikian rupa
sehingga sangat terikat pada peran domestiknya. Stereotipe yang diberikan kepada
perempuan di dalam pernikahan semakin kompleks ketika perempuan mendapat
peranan tambahan sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Terkait dengan persoalan
perselingkuhan, konsep patriarki selalu menganggap bahwa perempuan di dalam
pernikahan bertanggungjawab untuk setiap hal yang terjadi di dalam keluarga
termasuk untuk persoalan kepuasan seksualitas suaminya. Sehingga, konsep seperti
ini akan sangat mempengaruhi dan membatasi keputusan perempuan dalam menjalani
kehidupan pernikahan termasuk keputusan untuk memberikan pengampunan kepada
suami untuk alasan kebaikan dan keselamatan hubungan pernikahan dan masa depan
keluarga.
Sementara dari sudut pandang konseling feminis, beberapa alasan dan tahapan
yang dimiliki oleh kedua istri ini membuktikan bahwa mereka memiliki kesadaran
dan kemampuan dalam menyikapi persoalan perselingkuhan suami. Selain itu,
mereka memiliki pilihan untuk bangkit dan bertanggungjawab terhadap masa depan
dirinya sendiri dan seluruh anggota keluarganya. Kedua istri ini adalah orang yang
tidak mau menyerah atau berhenti pada tahap penyesalan dan meratapi nasib, namun
mereka memiliki usaha untuk keluar dari setiap tekanan yang mereka alami. Selain
itu, kemampuan dan pilihan hidup yang dimiliki oleh kedua istri ini telah menjadi
sebuah kekuatan yang memberdayakan mereka dalam memberikan pengampunan
yang pada akhirnya menolong mereka untuk berjuang dalam menjalani kehidupan
bersama suami dan anak-anak. Lebih lanjut, jika ditinjau dari perspektif konseling
dan psikologis, pengampunan merupakan treatment yang sangat berdampak positif
pada pribadi yang terluka, karena dengan mengampuni pribadi yang terluka mampu
membebaskan dirinya dari tekanan batin yang mengganggu kenyamanan dan
keamanan hidup.
Secara pribadi, penulis menyadari bahwa kehidupan manusia memang tidak
pernah bisa dipisahkan dari konteks sosial dan budayanya. Namun, terlepas dari
konteks sosial, penulis memahami bahwa setiap pribadi terlahir dengan hak dan
kekuatan yang sama. Ketika manusia berjuang untuk mendapatkan haknya,
hendaknya hal itu dapat dinilai sebagai sebuah kesadaran yang menjadi kekuatan
yang memampukannya untuk mencapai apa yang diinginkannya. Terkait dengan hal
ini, penulis menganggap bahwa pendampingan berdasarkan konseling feminis adalah
salah satu cara yang dapat digunakan untuk menolong kedua istri yang terluka dalam
memfasilitasi pengampunan kepada suami yang telah mengkhianatinya.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa, penulis menemukan bahwa untuk
memahami fenomena pengampunan istri dalam menyikapi perselingkuhan dari
perspektif konseling feminis dapat dilihat dari tiga hal berikut: (1) Faktor penyebab
dan dampak perselingkuhan. (2) Alasan atau motivasi istri dalam memberikan
pengampunan. (3) Tahapan yang dilakukan oleh kedua istri dalam memberikan
pengampunan.
4.1.1. Faktor Penyebab Dan Dampak Perselingkuhan
Penelitian telah memperlihatkan bahwa kedua istri yang dikhianati oleh
suaminya ini menyadari dan memahami bahwa kurangnya komunikasi karena
kesibukan pekerjaan dan jarak tempat bekerja telah menyebabkan hubungan
pernikahan mereka mengalami masalah yang serius dan berdampak terhadap individu
dalam keluarga dan pada seluruh aspek kehidupan. Dari perspektif konseling
feminist, Degges-White memahami bahwa kedua istri ini telah memiliki kesadaran
dan kemampuan dalam mengkonsepsikan masalah, sehingga kedua hal itu
memberdayakan kedua istri ini dalam memikirkan jalan keluar dan bertindak dengan
lebih bijaksana. Secara pribadi, penulis juga memahami bahwa kesadaran dan
kemampuan yang dimiliki oleh kedua istri ini merupakan kekuatan dalam
mengevaluasi dan mengintrospeksi diri untuk kehidupan yang lebih baik di masa
depan.
4.1.2. Alasan Istri dalam Memberikan Pengampunan
Dari hasil penelitian, penulis menemukan beberapa alasan yang dijadikan
pertimbangan oleh kedua istri dalam memberikan pengampunan kepada suaminya,
beberapa diantaranya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, Covert
dkk. dan Birnbaum dkk.:
1.
Alasan religius - keyakinan terhadap hukum pernikahan dalam kekristenan
dan ajaran mengenai pengampunan
2.
Cinta kasih - ketulusan dan kesetiaan terhadap pilihan hidup
3.
Untuk ketenangan batin - melepaskan segala kepahitan, kemarahan,
kekecewaan dan segala tekanan
4.
Perkembangan psikologis; mental anak-anak - membentuk kepribadian dan
karakter anak menjadi lebih sabar, kuat dan pemaaf atau murah hati.
5.
Mempererat relasi untuk keutuhan keluarga – menjaga kestabilan kehidupan
keluarga di segala aspek.
4.1.3. Tahapan yang Dilakukan Istri dalam Memberikan Pengampunan
Alasan yang dimiliki oleh kedua istri dalam memberikan pengampunan sangat
mempengaruhi mereka dalam melakukan tahapan-tahapan pengampunan dalam
menyikapi perselingkuhan. Penulis menemukan ada beberapa tahapan yang dapat
dilakukan istri dalam memberikan pengampunan kepada suami. Sementara Gordon
dan Baucom menemukan bahwa ada tiga tahapan yang dilakukan dalam proses
pengampunan, yakni urusan dampak, pencarian makna, dan bangkit. Ketiga tahapan
pengampunan yang ditemukan oleh Gordon dan Baucom terlebur kedalam beberapa
tahapan yang dilakukan kedua istri dalam penelitian yang telah penulis lakukan:
1.
Pengungkapan dan perenungan atas semua rasa marah, kecewa, dan kepahitan
yang dialami paska perselingkuhan.
2.
Kembali pada keyakinan dan ajaran agama tentang pernikahan dan
pengampunan.
3.
Mempertimbangkan segala hal yang mungkin akan terjadi jika perceraian
terjadi; dampak terhadap psikologis anak.
4.
Membangun dan memulihkan komunikasi yang terbuka dengan suami.
5.
Mengadakan pertemuan keluarga.
6.
Melihat kesungguhan pasangan dan memberikan kesempatan untuk
mendengarkan keinginan pasangan.
7.
Melepaskan luka batin untuk dapat bangkit dan memulai kehidupan yang
baru.
Berdasarkan perspektif konseling feminis, alasan dan tahapan pengampunan
yang dimiliki oleh kedua istri ini membuktikan bahwa mereka ada pribadi yang
memiliki pilihan dalam menjalani kehidupan. Pilihan ini merupakan hak yang dapat
diberdayakan untuk meraih semua yang diinginkan atau dicita-citakan.
4.2.
Rekomendasi
Dari hasil wawancara dan observasi, dapat diketahui bahwa kedua istri yang
memberi pengampunan kepada suaminya ini seakan bekerja sendiri dalam menyikapi
perselingkuhan suaminya. Oleh sebab itu, penulis berharap penelitian ini dapat
berkontribusi kepada Gereja dan Studi Konseling Feminis.
Gereja
Dalam penelitian ini, gereja belum berperan aktif dalam menjalankan peranan
dan fungsinya sebagai lembaga keagamaan ditengah masyarakat. Gereja belum
menyediakan pendampingan kepada pelaku perselingkuhan dan penguatan bagi
pribadi yang terluka. Oleh sebab itu, penulis mengusulkan beberapa saran dan
rekomendasi berdasarkan penelitian ini, sebagai berikut:
a. Gereja harus memberikan perhatian terhadap fenomena perselingkuhan di
dalam hubungan pernikahan yang terjadi di dalam jemaatnya. Gereja berperan
aktif dalam memberi pendampingan dari perspektif konseling feminis untuk
tujuan pemberdayaan terhadap pelaku perselingkuhan dan memberikan
penguatan bagi pribadi yang terluka yang memutuskan untuk mengampuni.
b. Gereja membentuk tim konseling untuk melakukan kunjungan intensif kepada
keluarga yang mengalami persoalan hubungan paska-nikah.
c. Gereja melakukan revisi pada tata peraturan dan tata laksana sehubungan
dengan pendampingan terhadap pasangan pra-nikah dan paska nikah.
Studi Feminis
Pada tataran akademik, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih
pemikiran kepada para feminis dalam rangka mengembangkan studi feminis yang
berbasis konseling. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya sekedar diskursus
namun dapat teraplikasikan dalam lingkup akademis maupun sosial.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu penulis berharap agar peneliti selanjutnya dapat membangun model
pengampunan berdasarkan perspektif konseling feminis untuk memberdayakan
pasangan dalam menyikapi perselingkuhan di dalam hubungan pernikahan.
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Persoalan perselingkuhan dalam hubungan pernikahan merupakan sebuah
pengkhianatan terhadap komitmen yang telah diikrarkan dan berdampak serius
terhadap individu dan hubungan itu sendiri. Namun, penelitian yang dilakukan
kepada kedua istri yang terluka ini membuktikan bahwa pengampunan masih
mungkin diberikan kepada suami yang melakukan perselingkuhan.
Berdasarkan analisa pada bab sebelumnya, penulis memahami bahwa
fenomena pengampunan istri dalam menyikapi perselingkuhan suami berada pada
tataran yang sangat kompleks. Di satu sisi, feminis menyoroti semua alasan dan
tahapan yang dilakukan dalam memberikan pengampunan kepada suami tidak
terlepas dari kontrol sosial dimana mereka berdomisili. Di dalam pernikahan, jika
dilihat dari kaca mata patriarki, peran perempuan telah dibentuk sedemikian rupa
sehingga sangat terikat pada peran domestiknya. Stereotipe yang diberikan kepada
perempuan di dalam pernikahan semakin kompleks ketika perempuan mendapat
peranan tambahan sebagai istri dan ibu dalam keluarga. Terkait dengan persoalan
perselingkuhan, konsep patriarki selalu menganggap bahwa perempuan di dalam
pernikahan bertanggungjawab untuk setiap hal yang terjadi di dalam keluarga
termasuk untuk persoalan kepuasan seksualitas suaminya. Sehingga, konsep seperti
ini akan sangat mempengaruhi dan membatasi keputusan perempuan dalam menjalani
kehidupan pernikahan termasuk keputusan untuk memberikan pengampunan kepada
suami untuk alasan kebaikan dan keselamatan hubungan pernikahan dan masa depan
keluarga.
Sementara dari sudut pandang konseling feminis, beberapa alasan dan tahapan
yang dimiliki oleh kedua istri ini membuktikan bahwa mereka memiliki kesadaran
dan kemampuan dalam menyikapi persoalan perselingkuhan suami. Selain itu,
mereka memiliki pilihan untuk bangkit dan bertanggungjawab terhadap masa depan
dirinya sendiri dan seluruh anggota keluarganya. Kedua istri ini adalah orang yang
tidak mau menyerah atau berhenti pada tahap penyesalan dan meratapi nasib, namun
mereka memiliki usaha untuk keluar dari setiap tekanan yang mereka alami. Selain
itu, kemampuan dan pilihan hidup yang dimiliki oleh kedua istri ini telah menjadi
sebuah kekuatan yang memberdayakan mereka dalam memberikan pengampunan
yang pada akhirnya menolong mereka untuk berjuang dalam menjalani kehidupan
bersama suami dan anak-anak. Lebih lanjut, jika ditinjau dari perspektif konseling
dan psikologis, pengampunan merupakan treatment yang sangat berdampak positif
pada pribadi yang terluka, karena dengan mengampuni pribadi yang terluka mampu
membebaskan dirinya dari tekanan batin yang mengganggu kenyamanan dan
keamanan hidup.
Secara pribadi, penulis menyadari bahwa kehidupan manusia memang tidak
pernah bisa dipisahkan dari konteks sosial dan budayanya. Namun, terlepas dari
konteks sosial, penulis memahami bahwa setiap pribadi terlahir dengan hak dan
kekuatan yang sama. Ketika manusia berjuang untuk mendapatkan haknya,
hendaknya hal itu dapat dinilai sebagai sebuah kesadaran yang menjadi kekuatan
yang memampukannya untuk mencapai apa yang diinginkannya. Terkait dengan hal
ini, penulis menganggap bahwa pendampingan berdasarkan konseling feminis adalah
salah satu cara yang dapat digunakan untuk menolong kedua istri yang terluka dalam
memfasilitasi pengampunan kepada suami yang telah mengkhianatinya.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa, penulis menemukan bahwa untuk
memahami fenomena pengampunan istri dalam menyikapi perselingkuhan dari
perspektif konseling feminis dapat dilihat dari tiga hal berikut: (1) Faktor penyebab
dan dampak perselingkuhan. (2) Alasan atau motivasi istri dalam memberikan
pengampunan. (3) Tahapan yang dilakukan oleh kedua istri dalam memberikan
pengampunan.
4.1.1. Faktor Penyebab Dan Dampak Perselingkuhan
Penelitian telah memperlihatkan bahwa kedua istri yang dikhianati oleh
suaminya ini menyadari dan memahami bahwa kurangnya komunikasi karena
kesibukan pekerjaan dan jarak tempat bekerja telah menyebabkan hubungan
pernikahan mereka mengalami masalah yang serius dan berdampak terhadap individu
dalam keluarga dan pada seluruh aspek kehidupan. Dari perspektif konseling
feminist, Degges-White memahami bahwa kedua istri ini telah memiliki kesadaran
dan kemampuan dalam mengkonsepsikan masalah, sehingga kedua hal itu
memberdayakan kedua istri ini dalam memikirkan jalan keluar dan bertindak dengan
lebih bijaksana. Secara pribadi, penulis juga memahami bahwa kesadaran dan
kemampuan yang dimiliki oleh kedua istri ini merupakan kekuatan dalam
mengevaluasi dan mengintrospeksi diri untuk kehidupan yang lebih baik di masa
depan.
4.1.2. Alasan Istri dalam Memberikan Pengampunan
Dari hasil penelitian, penulis menemukan beberapa alasan yang dijadikan
pertimbangan oleh kedua istri dalam memberikan pengampunan kepada suaminya,
beberapa diantaranya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, Covert
dkk. dan Birnbaum dkk.:
1.
Alasan religius - keyakinan terhadap hukum pernikahan dalam kekristenan
dan ajaran mengenai pengampunan
2.
Cinta kasih - ketulusan dan kesetiaan terhadap pilihan hidup
3.
Untuk ketenangan batin - melepaskan segala kepahitan, kemarahan,
kekecewaan dan segala tekanan
4.
Perkembangan psikologis; mental anak-anak - membentuk kepribadian dan
karakter anak menjadi lebih sabar, kuat dan pemaaf atau murah hati.
5.
Mempererat relasi untuk keutuhan keluarga – menjaga kestabilan kehidupan
keluarga di segala aspek.
4.1.3. Tahapan yang Dilakukan Istri dalam Memberikan Pengampunan
Alasan yang dimiliki oleh kedua istri dalam memberikan pengampunan sangat
mempengaruhi mereka dalam melakukan tahapan-tahapan pengampunan dalam
menyikapi perselingkuhan. Penulis menemukan ada beberapa tahapan yang dapat
dilakukan istri dalam memberikan pengampunan kepada suami. Sementara Gordon
dan Baucom menemukan bahwa ada tiga tahapan yang dilakukan dalam proses
pengampunan, yakni urusan dampak, pencarian makna, dan bangkit. Ketiga tahapan
pengampunan yang ditemukan oleh Gordon dan Baucom terlebur kedalam beberapa
tahapan yang dilakukan kedua istri dalam penelitian yang telah penulis lakukan:
1.
Pengungkapan dan perenungan atas semua rasa marah, kecewa, dan kepahitan
yang dialami paska perselingkuhan.
2.
Kembali pada keyakinan dan ajaran agama tentang pernikahan dan
pengampunan.
3.
Mempertimbangkan segala hal yang mungkin akan terjadi jika perceraian
terjadi; dampak terhadap psikologis anak.
4.
Membangun dan memulihkan komunikasi yang terbuka dengan suami.
5.
Mengadakan pertemuan keluarga.
6.
Melihat kesungguhan pasangan dan memberikan kesempatan untuk
mendengarkan keinginan pasangan.
7.
Melepaskan luka batin untuk dapat bangkit dan memulai kehidupan yang
baru.
Berdasarkan perspektif konseling feminis, alasan dan tahapan pengampunan
yang dimiliki oleh kedua istri ini membuktikan bahwa mereka ada pribadi yang
memiliki pilihan dalam menjalani kehidupan. Pilihan ini merupakan hak yang dapat
diberdayakan untuk meraih semua yang diinginkan atau dicita-citakan.
4.2.
Rekomendasi
Dari hasil wawancara dan observasi, dapat diketahui bahwa kedua istri yang
memberi pengampunan kepada suaminya ini seakan bekerja sendiri dalam menyikapi
perselingkuhan suaminya. Oleh sebab itu, penulis berharap penelitian ini dapat
berkontribusi kepada Gereja dan Studi Konseling Feminis.
Gereja
Dalam penelitian ini, gereja belum berperan aktif dalam menjalankan peranan
dan fungsinya sebagai lembaga keagamaan ditengah masyarakat. Gereja belum
menyediakan pendampingan kepada pelaku perselingkuhan dan penguatan bagi
pribadi yang terluka. Oleh sebab itu, penulis mengusulkan beberapa saran dan
rekomendasi berdasarkan penelitian ini, sebagai berikut:
a. Gereja harus memberikan perhatian terhadap fenomena perselingkuhan di
dalam hubungan pernikahan yang terjadi di dalam jemaatnya. Gereja berperan
aktif dalam memberi pendampingan dari perspektif konseling feminis untuk
tujuan pemberdayaan terhadap pelaku perselingkuhan dan memberikan
penguatan bagi pribadi yang terluka yang memutuskan untuk mengampuni.
b. Gereja membentuk tim konseling untuk melakukan kunjungan intensif kepada
keluarga yang mengalami persoalan hubungan paska-nikah.
c. Gereja melakukan revisi pada tata peraturan dan tata laksana sehubungan
dengan pendampingan terhadap pasangan pra-nikah dan paska nikah.
Studi Feminis
Pada tataran akademik, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih
pemikiran kepada para feminis dalam rangka mengembangkan studi feminis yang
berbasis konseling. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya sekedar diskursus
namun dapat teraplikasikan dalam lingkup akademis maupun sosial.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
sebab itu penulis berharap agar peneliti selanjutnya dapat membangun model
pengampunan berdasarkan perspektif konseling feminis untuk memberdayakan
pasangan dalam menyikapi perselingkuhan di dalam hubungan pernikahan.