Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB IV

BAB IV
PENGAMPUNAN DALAM MENYIKAPI
PERSELINGKUHAN SUAMI
DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS

Pada bagian ini, temuan-temuan pada penelitian akan diinterpretasi dan
dianalisis berdasarkan beberapa pendekatan yang terkait yang telah dipaparkan pada
Bab 2, khususnya dari perspektif konseling feminis. Data yang diperoleh dari
penelitian menunjukkan bahwa fenomena pengampunan yang difasilitasi oleh kedua
istri ini dapat diobservasi mulai dari faktor penyebab dan dampak perselingkuhan,
alasan-alasan kedua istri dalam memberi pengampunan, serta tahapan atau proses
yang dilakukan dalam memberikan pengampunan.

3.3.1. Faktor Penyebab dan Dampak Perselingkuhan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dalam penelitian, dapat diketahui
bahwa baik ibu Anna maupun ibu Helena menyadari dan memahami bahwa mereka
mengalami persoalan komunikasi bersama suami yang disebabkan oleh kesibukan
pekerjaan mereka masing-masing. Kesibukan dalam bekerja dan bahkan harus
terpisah dalam menjalani pekerjaan menyebabkan kurangnya intensitas pertemuan di
antara kedua pasangan suami-istri ini. Selain itu, sifat yang introvert atau tidak
terbuka kepada istri juga menjadi tantangan bagi kepuasan seksual di antara mereka.

Persoalan komunikasi, kurangnya intensitas pertemuan, dan sifat introvert

menciptakan kerentanan dalam hubungan pernikahan mereka yang berujung pada
perselingkuhan. Perselingkuhan menjadi cara bagi suami dalam kasus ini untuk
memuaskan hasrat seksualnya.
Secara teoritis, penyebab terjadinya perselingkuhan di dalam kasus penelitian
ini dapat dipahami dari pandangan psikologis Leone yang menegaskan bahwa
perselingkuhan merupakan sebuah kegagalan dan trauma relasional yang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor intrapsikis dan interpersonal.1 Dikatakan intrapsikis
karena faktor penyebabnya berasal dari diri pelaku perselingkuhan sendiri. Sementara
itu, dikatakan faktor interpersonal karena faktor penyebabnya berasal dari antarpribadi yang sedang bermasalah. Faktor intrapsikis ini terjadi pada suami ibu Anna
dan ibu Helena. Suami ibu Anna dan ibu Helena sama-sama memiliki sifat yang
introvert, tidak terbuka untuk menyampaikan perasaannya. Sifat yang demikian
membuat hubungan di antara pasangan suami-istri menjadi rumit untuk
dikomunikasikan dan diperbaiki. Di sisi lain, secara psikologis, Lewandowski Jr. dan
Ackerman menyoroti penyebab perselingkuhan sebagai faktor inter-personal ketika
pasangan suami-istri tidak mampu memenuhi kebutuhan; keintiman, kebersamaan,
seks, keamanan, dan keterlibatan emosional.2 Pemenuhan kebutuhan ini juga tidak
akan dapat dicapai jika pasangan suami-istri tidak dapat mengkomunikasi dengan
baik tentang kebutuhan mereka.

Berkaitan dengan persoalan perselingkuhan suami, hal ini tentu membawa
dampak yang sangat serius terhadap kedua istri yang terluka ini. Mereka mengalami
1
2

Carla, “Helping Couples Heal From Infidelity……” , 282.
Lewandowski Jr, dan Ackerman, “Something’s Missing …….” , 389.

guncangan batin; kekecewaan, kemarahan, keputus-asaan, hilang kepercayaan
terhadap suami, kecurigaan, dan rasa malu yang mendalam. Semua perasaan ini
membuat mereka tidak dapat hidup sejahtera, sehingga berdampak pada seluruh
aspek kehidupan keluarga; kerenggangan relasi, pendidikan dan kebutuhan anak-anak
menjadi terabaikan, pekerjaan berantakan, pelayanan ditinggalkan, dan penarikan diri
dari masyarakat.
Berdasarkan perspektif terapetik, Fife dkk. menyoroti apa yang terjadi pada
ibu Anna dan ibu Helena sebagai bentuk reaksi emosional terhadap pengkhianatan
pasangannya. Pengkhianatan atau perselingkuhan dalam hubungan berkomitmen
memang memiliki konsekuensi yang serius terhadap individu. Pasangan yang terluka
akan mengalami depresi, kemarahan, perasaan ditinggalkan, perasaan ditolak,
penurunan akan harga diri, kehilangan rasa percaya pada pasangan.3 Selain itu Agnew

dkk. dan Glass dalam fife dkk. menambahkan bahwa gangguan stress paska
perselingkuhan ini akan berdampak pada kestabilan di seluruh aspek kehidupan
keluarga.4 Hal ini terlihat pada ketidakmampuan ibu Anna dan ibu Helena dalam
menjalankan aktifitasnya sehari-hari sehingga mengganggu kestabilan hidup dalam
keluarga mereka.
Dari kaca mata patriarki, feminis menyoroti bahwa perselingkuhan dapat
terjadi sebagai akibat dari kesalahan perempuan dalam hal ini istri yang tidak bisa
memenuhi kebutuhan seksual suami. Di sini perempuan dijadikan sebagai objek yang
harus bertanggungjawab atas seksualitas kaum laki-laki. Hal ini dibenarkan oleh

3
4

Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 344.
Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 344.

Firestone dalam Humm yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk seksualitas bukanlah
sesuatu yang inheren dalam diri perempuan melainkan merefleksikan institusi politik
dan budaya yang mempengaruhi kondisi kehidupan dan kesadaran individu.5 Dengan
demikian dapat dipahami bahwa kaum laki-laki dalam dunia patriarki memiliki

kontrol terhadap seksualitas perempuan. Mereka dengan seenaknya dapat mengklaim
tentang seksualitasnya sendiri, sementara perempuan hanya dapat bungkam dan justru
menerima bahwa mereka turut andil dalam peristiwa perselingkuhan tersebut.
Sementara dari perspektif konseling feminist, Degges-White memandang dari
sisi yang berbeda yaitu bahwa dengan memiliki kesadaran dan pemahaman tentang
faktor penyebab perselingkuhan suami dan dampaknya terhadap individu, relasi dan
bahkan terhadap seluruh aspek kehidupan telah membuktikan bahwa kedua istri ini
memiliki kemampuan dalam mengkonsepsikan masalah.6 Kesadaran dan pemahaman
ini merupakan modal yang baik untuk melakukan pemberdayaan terhadap kedua istri
sehingga mampu mengevaluasi persoalan-persoalan kehidupan dan memberdayakan
mereka dalam membuat keputusan.

3.3.2. Alasan-Alasan Istri dalam Memberikan Pengampunan
Kesadaran dan pemahaman akan faktor penyebab dan dampak perselingkuhan
dalam kehidupan memberdayakan kedua istri ini dalam memfasilitasi pengampunan
kepada suaminya. Namun, sebelum membahas mengenai alasan pengampunan kedua
istri ini, penulis ingin memaparkan sekilas tentang perekonomian dari kedua keluarga

5
6


Humm, Ensiklopedia Feminisme ……..., hlm. 432.
Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ……..” 97.

untuk memberi gambaran dan melihat apakah persoalan ekonomi menjadi salah satu
pertimbangan dalam mempertahankan pernikahan sehingga mempengaruhi keputusan
pengampunan dari kedua istri. Kedua keluarga yang penulis teliti saat ini sangat
mapan dalam hal ekonomi, namun mereka sama-sama memulainya dari titik nol. Ibu
Anna dan suaminya adalah PNS sementara ibu Helena dan suaminya pedagang,
namun saat ini suaminya duduk sebagai seorang perwakilan rakyat di DPRD. Dari
hasil

wawancara,

mempertimbangkan

penulis
persoalan

memperoleh


data

ekonomi

dalam

bahwa
usahanya

ibu

Anna

tidak

mempertahankan

pernikahannya, karena dia menganggap bahwa dia mampu membiayai anak-anaknya
dengan honornya sebagai PNS. Hal ini sudah terbukti jauh sebelum dia diterima

sebagai PNS, dia mampu membiayai kehidupannya bersama suami dan anak-anaknya
dengan melakukan beberapa pekerjaan tidak tetap. Sementara ibu Helena dengan
tegas mengatakan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu pertimbangannya
dalam mempertahankan pernikahan. Dia telah bekerja keras sampai tahap sekarang
ini dan dia tidak ingin apa yang didapatnya mengalami kehancuran. Dia khawatir,
anak-anaknya tidak mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak jika
perceraian terjadi.
Melihat persoalan di atas, dapat dipahami bahwa ibu Anna tidak bersifat
ketergantungan pada peranan suami jika berbicara tentang persoalan ekonomi.
Sementara ibu Helena memperlihatkan sebuah ketergantungan akan peranan suami
dalam menjaga kestabilan perekonomian keluarga. Secara teoritis, Beauvoir
menegaskan bahwa permasalahan perempuan adalah kebutuhannya untuk melengkapi

dirinya terhadap laki-laki.7 Namun, hasil penelitian justru membuktikan bahwa tidak
semua istri tergantung pada peranan suami dalam hal pertumbuhan atau kestabilan
perekonomian keluarga. Lebih lanjut, penulis memahami bahwa ketergantungan ibu
Helena bukan merupakan sebuah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan untuk
mempertahankan apa yang telah dimilikinya. Dia tidak ingin semua yang telah
dirintisnya mengalami kehancuran. Pemahaman ini didukung oleh psikolog Jean
Miller yang menyatakan bahwa apa yang kadang-kadang dilihat sebagai kelemahan

bisa menjadi kekuatannya.8 Hal ini yang terjadi pada ibu Helena, dia memiliki kontrol
untuk hal perekonomian keluarga. Meskipun persoalan ekonomi menjadi pemicu
dalam mempertahankan pernikahan, namun bukan berarti bahwa persoalan ekonomi
menjadi alasan dalam memfasilitasi pengampunan kepada suami yang berselingkuh.
Berkaitan dengan perihal pengampunan, penulis menemukan bahwa kedua
istri ini memutuskan untuk mengampuni dan menerima kembali suaminya untuk
beberapa alasan. Ibu Anna selalu berpegang teguh pada beberapa alasan berikut: (1)
Alasan religius dari ajaran agama Kristen mengenai pernikahan. (2) Cinta-kasih yang
tulus kepada suami. (3) Ketenangan batin. (4) Keinginan untuk memperbaiki relasi
dalam keluarga-keutuhan keluarga Sementara itu, alasan ibu Helena mengampuni
suaminya adalah: (1) Trauma masa lalu (2) Ajaran Kristen tentang pengampunan. (3)
Ketenangan batin. (4) Keinginan untuk memperbaiki relasi demi mempertahankan
keutuhan keluarga.

7
8

Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 100.
Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 100.


Alasan pengampunan dari kedua istri ini sebenarnya tidak jauh berbeda.
Beberapa alasan yang mereka miliki tentunya berdasarkan pemahaman mereka
sendiri tentang pengampunan. Penulis memahami bahwa urutan pengampuan di atas
secara tidak langsung telah memperlihatkan mengenai siapa diri mereka, bagaimana
pengalaman hidup dan latar belakang keluarga mereka. Ibu Anna menempatkan
alasan religius pada tempat pertama. Hal ini disebabkan oleh kepribadiannya yang
religius. Selain itu, dia juga merupakan salah satu penatua di gerejanya. Di sisi lain,
ibu Helena menempatkan alasan keagamaan mengenai ajaran pengampunan pada
urutan yang ke dua. Ibu Helena mengubah keyakinannya setelah menikah dengan
suaminya. Namun, dia tidak sekedar mempelajari ajaran Kristen, melainkan juga
berusaha menerapkannya. Terkhusus dalam hal mengampuni, dia percaya bahwa
perihal mengampuni tidak hanya dilakukan satu kali saja, namun berlulang kali. Hal
ini memperlihatkan bahwa dia dengan sadar bersedia belajar untuk memahami ajaran
agama yang saat ini dia anut tanpa tekanan oleh pihak manapun. Ini juga
membuktikan bahwa ibu Helena memiliki pilihan untuk hidupnya dan setia pada
pilihan tersebut.
Dari segi pemahaman kedua istri ini dapat dipahami bahwa tindakan
pengampunan yang mereka lakukan tidak terlepas dari alasan religius spiritual yang
mereka pegang dalam agama mereka. Mereka menggangap bahwa persoalan
pengampunan sudah menjadi nilai rohani yang hakiki yang harus diterapkan dalam

kehidupan mereka sehari-hari. Mereka juga meyakini bahwa Tuhan tidak pernah
menginginkan perceraian dalam kehidupan pernikahan.

Secara teoritis, alasan religius ini dapat dipahami berdasarkan penelitian yang
dilakukan Covert dan Johnson bahwa orang-orang bersedia mengampuni orang yang
telah mengkhianati atau melukainya karena alasan keagamaan dan spiritual yang
menjadi kode moral yang mendasari tindakan pengampunan. Selain itu,
pengampunan juga menjadi refleksi atas hubungan vertikal manusia dengan Tuhan
sebagai penciptanya.9 Perihal mengampuni merupakan ajaran pokok dalam Iman
Kristen. Ajakan untuk mengampuni dapat dijumpai berkali-kali di dalam Kitab umat
Kristiani. Hal ini juga membuktikan bahwa perihal pengampunan telah menjadi
karakteristik dari sifat Tuhan sebagai pencipta manusia dan segala isinya. Oleh sebab
itu, ajaran ini menjadi gambaran nyata dalam menjalankan hukum pertama dan yang
terutama dalam agama Kristen, yaitu Cinta Kasih. Selain itu, Nedumaruthumchalil
dari perspektif terapetik, menegaskan bahwa bagi banyak klien yang berhubungan
dengan penderitaan dalam relasi atau transgresi, pengampunan adalah unsur penting
bagi kesehatan, fungsi spiritual, begitu juga kesehatan hidup mereka.10 Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pengampunan bukan merupakan ajaran keagamaan
semata, melainkan unsur yang penting dalam praktek terapetik untuk kesehatan
jasmani maupun spiritual manusia.

Dari sudut pandang feminis, alasan pengampunan yang diberikan ibu Anna
yang berdasarkan ajaran tentang pernikahan di dalam Alkitab dipandang sebagai
sebuah nilai keagamaan yang lahir dari sebuah budaya patriarki. Hal ini dibenarkan
oleh Stanton dalam Humm bahwa bahasa dan interpretasi ayat-ayat yang berkaitan

9

Covert dan Johnson, “A Narrative Exploration of Motivation …..” , 62.
Nedumaruthumchalil, “The Role of Religion and Sprituality…..” , 23.

10

dengan perempuan dalam Injil merupakan sumber utama status inferioritas
perempuan. Hal ini juga dibuktikan olehnya bahwa perempuan pada abad sembilan
belas sering merujuk pada injil untuk kenyamanan dan inspirasi mereka. 11 Demikian
halnya yang terjadi dengan pernikahan ibu Anna, dimana dia sebagai istri diharapkan
dapat menjalankan nilai-nilai religius yang menjadi kekuatan untuk mempertahankan
pernikahan dari ancaman perceraian. Begitu juga halnya dengan keyakinan ibu
Helena tentang ajaran pengampunan. Keyakinan terhadap ajaran ini merupakan
dogma yang dipandang sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan keutuhan
keluarganya.
Dari sisi yang berbeda, jika ditinjau berdasarkan teori konseling feminis,
Degges-White dkk. memandang persoalan pengampunan merupakan sebuah kekuatan
dari pribadi yang memberikannya. Perihal megampuni merupakan tindakan kesadaran
moral yang memberdayakan pemberi pengampunan untuk menjaga perilaku hidup
sehat, baik itu secara jasmani, maupun secara spiritual rohani. Dalam kasus ini, kedua
istri yang memfasilitasi pengampunan kepada suaminya telah memperlihatkan bahwa
mereka memiliki kesadaran penuh atas apa yang mereka yakini. Dengan kekuatan
pengampunan yang mereka miliki, mereka dimampukan dalam bertindak dengan
lebih bijaksana dan penuh pertimbangan.
Ibu Helena menempatkan alasan trauma masa lalu pada tempat pertama. Dia
mengalami kepahitan pada masa kecil akibat dari perceraian orangtuanya. Dia tidak
ingin hal yang sama terulang pada anak-anaknya. Penulis memahami bahwa
pengalaman masa lalu telah mengajarkan ibu Helena untuk terus berjuang demi
11

Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 394.

keluarga dan kehidupannya. Pemahaman ini didukung oleh Degges-White dkk.
berdasarkan perspektif konseling feminist. Mereka menyoroti pemahaman ini sebagai
sebuah kesadaran dan self-acceptance yang memampukan seseorang dalam membuat
keputusan untuk memperkokoh kehidupannya. Dalam hal ini, ibu Helena benar-benar
memahami dan menerima bahwa dirinya sangat terluka dengan kepahitan masa lalu
yang dialaminya, sehingga hal ini memampukannya untuk membuat keputusan untuk
masa depannya. Masa depan anak-anak merupakan masa depannya sendiri.
Pilihannya adalah berjanji untuk mempertahankan pernikahan. Keputusan ini
dibuatnya untuk menyelamatkan anak-anaknya dari tekanan psikologis. Tindakan ini
membuktikan bahwa ibu Helena memiliki pilihan dan tanggungjawab untuk masa
depan anak-anak dan dirinya sendiri. Secara psikologis, hal ini dibenarkan oleh
Birnbaum dkk. yang mengatakan bahwa salah satu alasan orang bersedia
mengampuni untuk kebahagian yang lebih besar.12 Kesediaan untuk mengampuni
memampukan orang lebih bertanggungjawab pada kebahagiaan masa depannya
sendiri. Surabhi dari perspektif konseling feminis juga menyoroti hal yang sama. Dia
melihat pemahaman ini sebagai sebuah kesadaran akan adanya dampak buruk yang
harus diantisipasi untuk menciptakan keamanan internal dan eksternal.13 Tindakan
antisipasi ini merupakan pilihan yang hanya dapat diambil pada tingkat kesadaran
yang baik.
Dari sudut pandang yang berbeda, dari perspektif feminis Humm menyoroti
alasan utama dibalik alasan trauma yang dialami ibu Helena adalah untuk kebaikan

12
13

Birnbaum dkk. menulis pada Harvard Women’s Health Watch, “Five Reason ….” , 3.
Surabhi, “Feminism in the therapeutic space ……” HTML, 31-33.

psikologis anak. Alasan ini justru membuktikan bahwa sumber kekuatan perempuan
terletak pada tugas pemeliharaan anak.14 Artinya, kekuatan yang dimiliki oleh ibu
Helena telah dibangun oleh konsep sosial dan budayanya. Konsep ini semakin
mengukuhkan pemahaman di mana perempuan di dalam keluarga selalu terikat pada
peran domestik termasuk untuk tanggungjawab terhadap pemeliharaan dan masa
depan anak-anak.
Sementara itu, Mahatma Gandhi, dari perspektif sosiologi menyoroti peran
pengasuhan anak merupakan seni mengasuh tunas bangsa, dan hal ini merupakan
tugas utama perempuan dan satu-satunya hak istimewa. Baginya, tanpa pengasuhan
seorang perempuan, suatu bangsa akan mati.15 Hal ini sejalan dengan apa yang
ditegaskan oleh Irigaray dalam Daggers bahwa potensi menjadi istri atau ibu harus
dilihat sebagai hak dalam identitas perempuan, bukan prioritas yang menjadi
kewajiban.16 Pernyataan Gandhi, dari sisi feminis dapat dipahami sebagai
pengukuhan stereotipe yang diberikan oleh budaya patriarki kepada perempuan.
Namun, di sisi lain, penulis memahami bahwa Gandhi mencoba untuk melihat
persoalan dari sisi realistis yang ada, di mana seorang ibu telah berperan banyak
dalam pengasuhan generasi penerus bangsa. Seperti yang dinyatakan oleh Irigaray
bahwa dengan melihat potensi menjadi ibu sebagai hak dapat membebaskan kaum
istri untuk mendapatkan haknya dan menjalankannya dengan sebaik mungkin. Hak
itu jugalah yang membuat perempuan bebas memilih dalam menjalani kehidupannya
14

15

Humm, Ensiklopedia Feminisme ………, 315.

Gandhi, mahatma, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial (Woman and Social Injustice)
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 48.
16
Daggers, “Luce Irigaray and The Divine Women…….” , 38.

sebagai seorang pribadi, sebagai istri atau ibu dalam rumah tangga, dan bahkan
sebagai anggota dalam masyarakat.
Beralih pada kasus ibu Anna, alasan ke dua yang dimilikinya adalah cinta
kasih. Alasan ini memiliki makna yang sangat fundamental dalam menjalin hubungan
yang berkomitmen. Secara teoritis, menurut pemahaman konseling feminis, Gilbert
menilai bahwa perasaan yang tulus yang dimiliki ibu Anna terhadap suaminya
merupakan kesadaran yang dapat diberdayakan untuk dapat memperlakukan
pasangan dalam hubungan yang egaliter.17 Dengan membangun hubungan yang
egaliter memperlihatkan bahwa ibu Anna memiliki kesadaran bahwa dia dan
suaminya memiliki hak dan peranan yang sama dalam menjalani hubungan
pernikahan. Kesadaran ini membuat ibu Anna mampu memahami dan mengasihi
suaminya dengan tulus serta menerima kelebihan bahkan kekurangan sebagai seorang
pribadi. Berada pada hubungan yang egaliter dapat menolong pasangan dalam bekerja
sama dalam banyak hal termasuk berurusan dalam persoalan hubungan dalam
pernikahan.
Jika dilihat dari sudut pandang feminis, konsep cinta bukan merupakan
sebuah proses dari dalam diri melainkan sebuah konstruksi sosial.18 Sejalan dengan
Firestone dalam Humm yang menyatakan bahwa perempuan diajarkan untuk
mengembangkan kebutuhan emosional untuk laki-laki dan emosi ini dikorupsi oleh
konteks kekuasaan dari sistem kelas jenis kelamin.19 Dari perspektif ini dapat
dipahami bahwa emosi dan hasrat perempuan dalam dunia patriarki dikontrol oleh
Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship In Feminis …..” , 427.
Humm, Ensiklopedia Feminisme ……, 258.
19
Humm, Ensiklopedia Feminisme ……, 258.

17
18

kaum laki-laki, sehingga ketulusan dari perempuan tidak pernah dianggap atau dinilai
sebagai sebuah kekuatan cinta.
Di sisi lain, feminis Irigaray dari gelombang ke tiga menyatakan bahwa cinta
itu agung, luhur, hasrat yang ideal, yang bergerak dari sifat-sifat badaniah menuju
impian keharmonisan, dan hal-hal yang berlainan dapat diselesaikan menjadi
kesatuan.20 Berangkat dari pendapat Irigaray, penulis memahami bahwa cinta dalam
kasus ibu Anna merupakan luapan emosi dari dalam diri manusia dan dapat menjadi
kekuatan yang bisa menggerakkannya untuk berjuang mempertahankan yang
dicintainya.
Pada urutan ke tiga dan ke empat, baik ibu Anna maupun ibu Helena memiliki
alasan yang sama dalam mengampuni. Mereka meyakini bahwa dengan mengampuni
pasangan, mereka telah membebaskan diri dari rasa sakit atau tekanan yang
mendalam. Hal ini merupakan sebuah pilihan nyata yang membuat ke dua perempuan
ini bangkit dan melanjutkan hidup. Bebas dari tekanan batin juga telah memampukan
kedua istri ini memulai relasi bersama suami, keluarga dan bahkan masyarakat
umum. Ini juga menunjukkan bahwa mereka memiliki kepribadian yang mau
berjuang untuk keluarga. Keutuhan keluarga bagi ibu Anna dan ibu Helena
merupakan sebuah kestabilan bagi kehidupan keluarga secara keseluruhan.
Dari sisi psikologis, Birnbaum dkk. menyoroti alasan ke tiga dan ke empat
dari kedua istri ini merupakan sebuah pertimbangan dan peningkatan kapasitas yang
membantu meringankan penderitaan sehingga memampukan mereka membangun

20

Humm, Ensiklopedia Feminisme ……, 102.

relasi yang lebih kuat.21 Di sisi lain, Marecek dkk. dari perspektif konseling feminist
menyoroti bahwa alasan ketenangan batin ini mengindikasikan bahwa kedua istri ini
memiliki kesadaran akan semua dampak negatif yang dapat menghalangi
pertumbuhannya dalam dunia pribadi maupun profesional.22 Pertimbangan dan
kesadaran merupakan kekuatan yang akhirnya membebaskan kedua istri ini keluar
dari trauma paska perselingkuhan suami dan memperoleh ketenangan batin,
kematangan dalam berpikir serta mampu bertindak dengan lebih optimis. Selain itu,
dengan ketenangan batin, kedua istri mampu membangun kembali relasi bersama
suami. Ketika relasi dapat diperbaiki, maka rekonsiliasi dalam hubungan dapat
dicapai. Ketika rekonsiliasi hubungan terjadi, maka keutuhan keluarga juga bisa
dipertahankan.
Selanjutnya, para psikolog R.D Laing dan Thomas Szasz dan sejarahwan dan
sosiolog Michael Foucault dalam Humm menggambarkan bahwa masyarakat
menggunakan kesehatan mental sebagai sebuah bentuk kontrol sosial. 23 Hal ini dapat
dipahami sebagai sebuah cara dari tatanan sosial untuk mengendalikan perempuan
yang terluka dalam hal ini adalah kedua istri yang dikhianati oleh suaminya. Untuk
alasan berjalannya segala aspek kehidupan dengan normal, kedua istri seakan
dihadapkan pada pilihan pengampunan agar mereka dapat melepaskan segala
kepahitan dan mendapatkan ketenangan batin atau kesehatan mental.
Secara psikologis, Fife dkk. menyoroti alasan ke tiga dari kedua istri ini
merupakan alasan penting dalam memfasilitasi pengampunan. Fife et all. menegaskan
Birnbaum dkk. Menulis pada Harvard Women’s Health Watch, “Five Reason ……” , 3.
Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship ……..” , 427
23
Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 282.

21

22

bahwa pengampunan merupakan fenomena individu dan psikologis. Pengampunan
dapat mengurangi kebutuhan individu yang terluka pada penghukuman dan balas
dendam, namun sebaliknya dapat membantu membebaskan mereka dari beban
kemarahan dan kebencian terhadap pelaku pengkhianatan.24 Demikian yang terjadi
dalam kasus ini, pengampunan difasilitasi untuk mendatangkan ketenangan batin bagi
istri yang telah menjadi korban dari perselingkuhan suaminya. Kedua istri dalam
kasus penelitian ini merasakan tekanan batin yang menghancurkan harga diri dan
kepercayaannya, namun mereka menyadari bahwa berlarut-larut dalam kepahitan
tidak akan mendatangkan ketenangan bagi batinnya. Oleh sebab itu, mereka memilih
untuk memberi pengampunan kepada suami agar terlepas dari segala tekanan yang
membelenggu.
Sementara itu alasan relasi dapat dikaji dari sudut pandang psikologis Covert
dan Johnson. Memperbaiki relasi dipahami sebagai usaha untuk mempertahankan
keutuhan keluarga. Covert dan Johnson melihat motivasi relasi ini dapat terbentuk
berdasarkan 3 hal penting yang berhubungan dengan relasi tersebut, yaitu; hasrat
untuk rekonsiliasi, kedekatan hubungan sebelum pelanggaran dan rasa cinta.25 Hal ini
dapat ditemui di dalam tahapan-tahapan pengampunan yang dilakukan oleh ke dua
istri yang terluka ini. Dengan mengingat kembali kebaikan-kebaikan suami dan
perjuangan-perjuangan yang sudah dilakukan bersama suami telah menghidupkan
kembali harapan kedua istri ini untuk memperbaiki relasi diantara mereka. Harapan

24
25

Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 346-347.
Covert dan Johnson, “A Narrative Exploration of Motivation ……” , 62.

merupakan energi bagi mereka untuk memaknai relasi dan menjalani kehidupan
mereka.
Dari sudut pandang feminis, sebuah relasi dalam dunia patriarki dapat
dipahami sebagai sebuah ketergantungan. Humm mendefenisikan ketergantungan
sebagai sebuah kondisi subordinasi. Lebih lanjut, De Beauvoir dalam Humm menulis
pada bukunya The Second Sex bahwa permasalahan perempuan adalah kebutuhannya
untuk melengkapi dirinya sebagai individu untuk laki-laki, sementara laki-laki secara
sosial indipenden.26 Berangkat dari pernyataan Beauvoir, persoalan relasi yang
diperjuangkan oleh kedua istri ini dapat dipahami sebagai sebuah ketergantungan
keluarga terhadap sosok suami atau ayah untuk menjaga kestabilan seluruh aspek
kehidupan keluarga tersebut.
Secara keseluruhan, feminis menyoroti semua yang dilakukan oleh kedua
istri, kalau dilihat dari kaca mata patriarkal, hal itu merupakan pengorbanan diri
perempuan. Kedua istri ini telah terhisap di dalam sistem tatanan dunia patriarkal
yang berbicara tentang perempuan dan stereotipe yang diberikan kepada perempuan
dalam hal ini istri sekaligus ibu. Hal ini terlihat dari peranan yang dijalankannya
sehari-hari. Kedua istri dalam kasus ini memiliki pekerjaan di luar rumah yang
memainkan peran dalam bidang produksi dan berpengaruh pada pertumbuhan
ekonomi keluarga, namun di sisi lain, kedua istri ini juga masih bertanggungjawab
untuk area domestik. Selain itu, budaya patriarkal dengan segala konsepnya secara
tidak langsung telah mempengaruhi kedua istri dalam membangun pemahamannya
dalam pemberian pengampunan.
26

Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 100.

Berbeda dari sudut pandang feminis, Augsburger, dari sisi psikologis,
menyoroti fenomena pengampunan kedua istri ini sebagai langkah baru membuka
kesempatan untuk masa depan yang lebih baik.27 Dengan kata lain, ketidakmampuan
dalam mengampuni akan membuat pasangan terjebak dalam kebingungan, kehilangan
kepercayaan, keputus-asaan dan kepahitan yang mendalam. Agnew dkk. dan Glass
dalam Fife et all, menyoroti bahwa dampak yang dihasilkan dari perselingkuhan
sangat merusak hubungan dan kestabilan hidup keluarga.28 Berangkat dari pendapat
ini, penulis melihat, dari sisi ekonomi, ketidakmampuan untuk bangkit dari persoalan
ini akan berpengaruh pada urusan pekerjaan dan bahkan seluruh aspek kehidupan.
Jika pekerjaan terabaikan maka secara tidak langsung akan berpengaruh kepada
pertumbuhan ekonomi keluarga. Keputusan mengampuni dari kedua istri dalam kasus
ini telah membuktikan bahwa mereka adalah perempuan yang memiliki pandangan
jauh ke masa depan terutama dalam hal ekonomi sebagai salah satu faktor yang dapat
mendukung kestabilan kehidupan keluarga.

3.3.3. Tahapan-Tahapan dalam Memberikan Pengampunan
Untuk memahami pengampunan kedua istri dalam menyikapi perselingkuhan
suaminya ini tidak hanya berdasarkan beberapa alasan atau pertimbangan yang telah
dibahas di atas, melainkan juga dapat dilihat dari tahapan-tahapan atau proses yang
mereka telah lewati untuk mempertahankan pernikahan atau menyelamatkan

27
28

Augsburger, Helping People Forgive ……….., 19.
Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 344.

keutuhan keluarganya. Tahapan-tahapan ini tentunya dilakukan berdasarkan alasan
pengampunan yang dimiliki kedua istri tersebut.
Ibu Anna berproses pada beberapa tahapan dalam menyikapi perselingkuhan
suami: (1) Mengambil waktu untuk berdiam diri; merasakan kemarahan dan
kekecewaan yang sedang dialaminya, dan menyadari akan adanya kerusakan
hubungan antar suami-istri, ayah-anak. (2) Mengingat janji setianya dan berpegang
teguh pada hukum pernikahan di dalam Kristen. (3) Mempertimbangkan segala hal
yang mungkin akan terjadi jika perceraian terjadi; psikologis anak. (4) Berbicara dari
hati ke hati kepada suaminya. (5) Mengadakan pertemuan keluarga. Sementara itu,
ibu Helena melakukan beberapa tahapan dalam proses pemberian pengampunan
kepada suaminya: (1) Mengingat trauma masa lalu; berdampak pada psikologis anak
(2) Mengingat firman Tuhan tentang pengampunan. (3) Berbicara langsung kepada
suami. (4) Melihat kesungguhan suami untuk tetap mempertahankan pernikahan. (5)
Melepaskan luka batin.
Dari ketiga tahapan pertama yang dilakukan oleh ibu Anna dapat dipahami
bahwa ibu Anna benar-benar menyadari bahwa perselingkuhan suaminya telah
membawa dampak serius baginya secara pribadi. Perselingkuhan tidak lantas
membuat ibu Anna mengambil langkah perceraian, namun juga tidak langsung
memberikan pengampunan kepada suaminya. Pengampunan secara implisit tampak
dalam setiap tahapan yang dilakukannya. Dengan mengingat firman Tuhan tentang
pengampunan dan perceraian yang tidak dikehendaki oleh Tuhan, mengingat tentang
masa indah dan kebaikan suami dan mempertimbangkan semua dampak buruk yang
dihasil oleh perselingkuhan dan kemungkinan dampak yang dapat dihasilkan oleh

perceraian terhadap psikologis anak, akhirnya memampukan ibu Anna melepaskan
luka batin yang dialaminya dan menerima kembali suaminya.
Secara teoritis, apa yang dilakukan oleh ibu Anna dapat dipahami dari
perspektif konseling yang dipahami oleh Gordon dan Baucom, bahwa pada tahap
awal pengampunan, pasangan akan berurusan dengan dampak perselingkuhan.29
Seperti yang terlihat pada kasus ibu Anna, bahwa dia menyadari akan adanya dampak
negatif yang terjadi padanya secara pribadi dan juga terhadap hubungan mereka
sebagai pasangan suami-istri begitu juga terhadap hubungan ayah-anak. Sehingga,
dengan alasan dampak ini, ibu Anna menyediakan waktu untuk dapat memikirkan
cara dan solusi yang bisa diambil untuk menyikapi persoalan mereka.
Dari perspektif konseling feminis, Degges-White dkk. memandang ketiga
tahapan pertama ini sebagai kesadaran diri merupakan kekuatan yang dapat
memberdayakan ibu Anna untuk tetap berpikir dengan tenang meskipun dalam
keadaan tertekan.30 Keteguhan hati untuk mengampuni telah memampukan ibu Anna
keluar dari persoalan tekanan batin yang dialaminya. Kesadaran diri telah
memerdekakan mereka untuk dapat berpikir dan merasakan dengan baik, serta
mampu mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan. Di sisi lain, tiga tahapan
yang dipaparkan di atas membuktikan bahwa ibu Anna memiliki kemampuan dalam
memahami masalah yang sedang terjadi.
Sementara itu, pada dua tahapan terakhir yang dilakukan oleh ibu Anna, dari
perspektif konseling feminist, Degges-White dkk. menilai bahwa tindakan yang

29
30

Gordon dan Baucom, “Forgiveness and Marriage……….” , 181.
Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ………” , 97.

dilakukannya menunjukkan bahwa dia memiliki sifat yang kolaboratif.31 Sifat yang
kolaboratif sangat berpengaruh dalam usaha pencarian solusi. Hal ini terlihat pada
kesediaannya dalam membangun komunikasi bersama suaminya. Ibu Anna bersedia
berbicara langsung kepada suami untuk dapat mengetahui keinginan dan kepastian
dari suaminya tentang hubungan mereka. Pada tahap ini ibu Anna mendapati bahwa
suaminya tidak menginginkan perceraian, dan memohon untuk diampuni. Tahapan
ini merupakan tahapan yang penting dalam memulihkan komunikasi sehingga
membuka kesempatan besar terhadap rekonsiliasi hubungan diantara pasangan.
Sementara itu, Gilbert menyoroti tindakan ibu Anna dalam menginisiasi
pertemuan keluarga berdasarkan perspektif konseling feminist sebagai tindakan
politis dalam konteks sosialnya.32 Tahap ke lima dari proses pengampunan ini
menunjukkan

bahwa

ibu

Anna

menyadari

bahwa

perilaku

berselingkuh

mendatangkan pandangan buruk di dalam kehidupan sosial. Sehingga ibu Anna
merasa perlu untuk menghadirkan persoalan perselingkuhan itu langsung di hadapan
keluarga masyarakat, dan tokoh agama. Secara tidak langsung hal ini juga
menunjukkan bahwa ibu Anna meminta perhatian dari keluarga dan masyarakat.
Persetujuan dan penerimaan dari keluarga dan masyarakat dapat menjadi kekuatan
bagi ibu Anna, suaminya, dan segenap keluarganya untuk kembali bersosialisasi
dengan normal di tengah-tengah masyarakat. Dari sudut pandang feminis, hal ini
memperlihatkan betapa kuatnya peranan masyarakat dalam menjalankan kehidupan

31
32

Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ………” , 97.
Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship …..” , 427.

berkeluarga, sehingga perihal pengampunan istri kepada suami yang berselingkuh
pun dipandang perlu untuk diketahui oleh masyarakat umum.
Berdasarkan sudut pandang konseling feminist, Degges-White melihat semua
tahapan yang dilewati oleh ibu Anna dapat dipahami sebagai self-awareness yang
memberdayakannya

untuk

membuat

keputusan

yang

dapat

memperkokoh

kehidupannya.33 Ibu Anna dengan sadar bersedia berkomunikasi langsung kepada
suaminya dan mengadakan pertemuan keluarga. Ini memperlihatkan bahwa ibu Anna
memiliki pilihan sendiri dan berjuang untuk apa yang diinginkannya. Tindakan ini
menunjukkan bahwa ibu Anna memahami arti dari memiliki seseorang dalam
hidupnya. Selain itu, keputusan untuk mengadakan pertemuan merupakan sebuah
gambaran bahwa ibu Anna memiliki sifat yang kolaboratif dan mampu
mengkonsepsikan masalah yang sedang dialaminya. Dia menyadari bahwa peristiwa
perselingkuhan yang dilakukan suaminya telah membuat masyarakat memiliki
pandangan buruk terhadap suaminya yang juga berdampak pada anak-anak dan
keluarga besarnya. Dengan menghadirkan persoalan mereka langsung di dalam
pertemuan keluarga yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan agama, maka secara
tidak langsung akan memperlihatkan bahwa mereka membenarkan bahwa mereka
sedang mengalami pengalaman yang buruk dalam hubungan pernikahan, namun
dengan kesadaran penuh juga mereka bersedia untuk mempertahankan dan memulai
kembali kehidupan pernikahan mereka.
Beberapa tahapan yang dilakukan oleh ibu Helena cukup berbeda dengan apa
yang dilakukan oleh ibu Anna. Hal ini disebabkan oleh pendidikan, pengalaman
33

Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ……….” , 92.

hidup dan respon suami yang berbeda. Meskipun begitu, berdasarkan kelima tahapan
ini, dapat dipahami bahwa ibu Helena merupakan pribadi yang mau berjuang dan
tidak pasif. Dia juga tidak mau tenggelam dalam persoalan yang ada.
Secara teoritis, perspektif konseling feminis Surabhi memandang tahapan
pertama yang dilakukan oleh ibu Helena memperlihatkan usahanya untuk mencoba
keluar dari tekanan dan trauma masa lalunya.34 Dengan mempertimbangkan segala
kemungkinan dampak yang dapat terjadi telah mengajarkan ibu Helena menjadi
pribadi yang sabar dan tenang dalam menyikapi setiap persoalan. Selain itu, ibu
Helena memiliki pandangan untuk masa depan anak-anaknya. Anak-anak menjadi
kekuatan yang besar baginya untuk mampu bertahan dan berjuang.
Tahap kedua

menunjukkan keyakinan ibu

Helena terhadap

ajaran

pengampunan. Keyakinan ini telah membuatnya bersedia melepaskan rasa kecewa
dan marah yang dirasakannya dan memulihkan hubungan komunikasi diantara dia
dan suaminya, dan diantara ayah dan anak-anak mereka. Secara teoritis, keyakinan ini
dapat diapahami berdasarkan perspektif konseling feminis, Radov et all. yang
menyatakan bahwa kesadaran akan diri sendiri dapat menumbuhkan harga diri.
Demikian juga yang terjadi pada ibu Helena. Dia menyadari bahwa ketidakmampuan
dalam mengampuni akan membuatnya tenggelam dalam rasa sakit, sehingga dia
memutuskan untuk

mengampuni

untuk

dapat

memulihkan hubungan

dan

menyelamatkan keutuhan keluarganya. Keutuhan keluarga baginya adalah sebuah
harga diri.

34

Surabhi, “Feminism in the therapeutic space…….” HTML, 31-33.

Pada tahapan ke tiga dan ke empat, penulis menilai bahwa ibu Helena juga
merupakan pribadi yang bersifat kolaboratif. Dia bersedia berkomunikasi dan
mendengarkan permohonan suaminya, serta memperhatikan kesungguhan dari
permohonannya. Tindakan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ibu
Anna. Degges-White dkk. menilai bahwa tindakan ini menunjukkan bahwa ibu
Helena juga memiliki sifat yang kolaboratif, sama seperti ibu Anna.35 Kesediaan ibu
Helena dalam memperhatikan kesungguhan suami juga membuktikan bahwa ibu
Anna memiliki pertimbangan dalam mempertahankan relasi.
Pada tahapan terakhir memperlihatkan bahwa proses pengampunan itu
semakin nyata. Keputusan untuk melepaskan luka batin membebaskan ibu Helena
dari trauma yang membelenggu. Secara psikologis, bebas dari luka batin
memberdayakan ibu Helena untuk memulai hidup dengan segala aktifitasnya seperti
sedia kala. Secara ekonomi, ketika kehidupan dapat berjalan dengan stabil atau
keharmonisan sebuah keluarga dapat dijaga, maka hal ini akan berdampak terhadap
pertumbuhan ekonomi keluarga. Sementara dari sisi sosiologis, ketenagan batin telah
memampukan ibu Helena untuk membangun relasi bersama masyarakat dan jemaat
gereja setempat.
Secara teoritis, semua tahapan pengampunan yang dilakukan oleh kedua istri
ini sejalan dengan apa yang Gordon dan Baucom lakukan dalam penelitiannya
mengenai model pengampunan. Mereka mengatakan bahwa di dalam memberikan
pengampunan klien akan berurusan dengan dampak, pencarian makna tentang

35

Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ………” , 92.

hubungan, dan bangkit dari persoalan.36 Semua tahapan ini juga dilalui oleh kedua
istri yang memberikan pengampunan kepada suaminya dengan cara dan
pemahamannya

masing-masing

tentang

pengampunan.

Hasil

observasi

menggambarkan bahwa kedua istri ini memiliki perbedaan dalam segi pendidikan,
pekerjaan, latar belakang keluarga, dan juga pengalaman bersosialisasi, sehingga hal
ini sangat mempengaruhi mereka dalam melakukan tahapan pengampunan dalam
menyikapi perselingkuhan suami. Ibu Anna adalah sosok perempuan yang cerdas,
namun sangat menghargai hubungan pernikahannya. Dia memperlakukan suaminya
dalam hubungan yang sejajar dengannya, sehingga hal ini memampukannya untuk
menginisiasi setiap tindakan dengan penuh pertimbangan. Sementara ibu Helena
tidak memiliki pendidikan yang tinggi, namun dia bukan orang yang pasif dalam
menjalani kehidupannya. Usaha yang dirintisnya bersama suaminya telah banyak
membantu suami dalam usaha perdagangan, karir bahkan untuk kebutuhan rumah
tangga dan pendidikan anak. Pada prakteknya pengampunan telah difasilitasi di
dalam setiap tahapan yang dilakukan oleh kedua istri ini; karena tanpa pengampunan
setiap tahapan menjadi mustahil untuk dilakukan. Meskipun alasan dan proses
pengampunan kedua istri ini cukup berbeda, namun mereka memiliki tujuan yang
sama yaitu dapat mengantarkan mereka pada kehidupan masa depan yang lebih
bahagia dan sejahtera.
Dari sudut pandang yang berbeda, perspektif feminis menyoroti semua
tahapan yang telah dilakukan oleh kedua istri ini tidak terlepas dari kontrol sosialnya,
seperti yang telah dianalisa sebelumnya pada beberapa alasan pengampunan kedua
36

Gordon dan Baucom,” Forgiveness and Marriage ……” , 181-182.

istri. Dalam dunia patriarki, pernikahan merupakan sebuah institusi yang secara
tradisional menyediakan identitas sosial bagi perempuan.37 Sejalan dengan itu
Asiyanbola juga menegaskan bahwa pembentukan dan praktek dominasi laki-laki
terhadap perempuan dan anak-anak adalah sebuah proses historis yang dibentuk oleh
laki-laki dan perempuan di dalam sebuah keluarga patriarkal yang merupakan sebuah
unit dasar organisasi dalam masyarakat.38 Stereotipe yang diberikan kepada
perempuan di dalam keluarga merupakan bukti dominasi laki-laki terhadap
perempuan. Di dalam keluarga perempuan mendapat identitas baru yang telah
dibentuk sedemikian rupa sehingga sangat terikat pada peran domestiknya. Hal ini
tentunya sangat mempengaruhi dan membatasi perempuan dalam memutuskan
pilihan dan bertindak. Demikian halnya yang terjadi pada ibu Anna dan ibu Helena.
Meskipun mereka memiliki peranan sebagai perempuan yang bekerja di luar wilayah
domestik, namun kedua perempuan ini masih sangat terikat pada tanggungjawab dan
peranannya di dalam keluarga. Berbagai bentuk sterotipe yang diberikan kepada
perempuan seperti peran domestik prokreasi, produksi, reproduksi, dan pengasuh
menuntut

perempuan

seperti

ibu

Anna

dan

ibu

Helena

untuk

selalu

mempertimbangkan setiap hal berdasarkan kepentingan anggota keluarga, bukan
untuk kepentingannya sebagai pribadi. Namun sisi yang lain, penelitian yang penulis
lakukan memperlihatkan bahwa laki-laki mengalami saling ketergantungan.
Ketidakbersediaan suami untuk bercerai dan permohonannya untuk diampuni
membuktikan bahwa laki-laki dalam keluarga juga saling ketergantungan.

37
38

Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 266.
Asiyanbola, “Patriarchy, male dominance ………., 3.

Pemahaman ini didukung oleh Cuddy dkk. yang menegaskan dalam papernya bahwa
dimensi ketergantungan tidak hanya dapat dilabelkan kepada perempuan. Pada
penelitian di Korea, menunjukkan bahwa laki-laki bersifat saling ketergantungan
dibanding perempuan dalam hal-hal tertentu, dan hal ini dianggap berharga secara
budaya. Laki-laki dianggap sebagai yang mewujudkan cita-cita budaya.39 Hal ini
berarti bahwa laki-laki di dalam budaya patriarkal saling ketergantungan; terikat
dalam keluarga. Peranan suami-istri dalam keluarga telah dibentuk oleh budaya.
Setiap peranan dijalankan dengan tujuan mendapatkan keamanan dan kenyamanan.
Tetapi, jika suami memutuskan untuk meninggalkan keluarga (bercerai), maka dia
akan kehilangan keamanan dan kenyamanan tersebut. Berkaitan dengan penelitian,
suami dari kedua istri ini tidak pernah menginginkan perceraian dan selalu memohon
pengampunan dari istrinya. Tidakan ini ingin menunjukkan bahwa kedua suami ingin
mempertahankan keamanan dan kenyamanan yang telah dimilikinya selama ini.
Berangkat dari perbedaan sudut pandang masing-masing perspektif yang
sudah dipaparkan di atas, secara pribadi, penulis memahami bahwa perihal
pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan memang merupakan sebuah
fenomena yang sangat kompleks; sulit untuk dijangkau. Di satu sisi, tindakan
pengampunan bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan oleh semua orang.
Namun di sisi lain, dengan adanya konteks sosial yang mengontrol manusia dalam
menjalani aktifitas kehidupannya membuat seakan-akan

tindakan pengampunan

menjadi mudah untuk dilakukan. Dengan kata lain, ketika kedua istri memutuskan
untuk mengampuni berarti mereka sedang melakukan pengorbanan diri untuk
39

Cuddy, Crotty, Chong, Norton, “Men as Cultural Ideals: ...., 4.

kebaikan seluruh anggota keluarga. Bagaimana pun juga manusia memang tidak
pernah bisa dipisahkan dari dunia sosial dan budaya yang telah mengikatnya. Karena
manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri. Namun, terlepas dari
konteks sosial yang telah membangun stereotipe khusus terhadap manusia khususnya
perempuan, penulis memahami bahwa setiap pribadi, baik itu laki-laki atau
perempuan, terlahir dengan hak dan kesempatan yang sama. Persoalannya saat ini
adalah bagaimana manusia dapat memaknai hak tersebut dan menggunakan
kesempatan yang mereka miliki untuk memperoleh kehidupan yang lebih bermakna.
Dalam kaitannya dengan fenomena pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan
suami, penulis menilai bahwa pendampingan berdasarkan perspektif konseling
feminis dapat gunakan untuk membantu istri yang terluka dalam mengeksplor
kekuatan dan kemampuan mereka yang dapat diberdayakan untuk memperoleh hak
dan memiliki kesempatan dalam menjalankan peran mereka dalam keluarga, maupun
di dalam masyarakat.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB I

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB IV

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB II

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB V

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis

0 0 14