Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penulis akan menulis landasan-landasan teori yang akan menolong penulis dalam memahami Bab II ini, yaitu mengenai definisi rentenir, definisi konseling feminis, karakteristik rentenir, dinamika kehidupan para rentenir perempuan, dampak pekerjaan rentenir terhadap kehidupan pribadi dan orang lain.

2.1. Definisi Rentenir

Rentenir berasal dari kata „rente‟ yang berarti bunga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rentenir berarti: orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang, tukang riba, pelepas uang (moneylenders). Dari pengertian ini, maka dapat dilihat bahwa kata „rente‟ tidak jauh berbeda dengan makna riba, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam. Institusi yang memperoleh profit melalui penarikan bunga disebut sebagai lembaga rente, seperti bank, koperasi dan lembaga perkreditan lainnya. Individu yang memperoleh profit melalui penarikan bunga disebut rentenir.30 Istilah „pelepas uang‟ (moneylenders) atau rentenir menurut Dale W. Adams adalah individu yang memberikan pinjaman kredit berjangka pendek, tidak menggunakan jaminan yang pasti, bunga relatif tinggi dan selalu berupaya melanggengkan hubungan kredit

30 Siboro, Ilas Korwati (2015), “Rentenir (Analisis Terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga Dalam Masyarakat Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu”, Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Riau, Jom Fisip Vol.2, 2015, 4.


(2)

dengan nasabahnya. Profesi ini sebagian besar beroperasi di pasar-pasar, desa atau juga berkunjung dari rumah ke rumah secara aktif.31

2.2. Karakteristik Rentenir

Pada dasarnya aktivitas perkreditan yang dikelola rentenir dapat dikategorikan sebagai sektor informal yang bergerak untuk mencari bunga dan sifat rentenir itu tergolong dalam pekerjaan ekonomi gelap.32 Inilah salah satu karakteristik dari negara-negara dunia ketiga, sebagaimana dilukiskan Robert P. Clark dalam bukunya „Power and Policy in the Third Word‟, yang mengungkapkan salah satu laporan pemerintah di kota Lima, Peru tahun 1987 yang memperkirakan bahwa sepertiga dari angkatan kerja kota telah memasuki ekonomi gelap. Meskipun begitu, apa yang diketahui oleh semua orang adalah pedagang-pedagang yang bergerak di sektor informal tersebut beroperasi secara ilegal.33 Rentenir di Eropa pun bekerja secara diam-diam, sehingga hampir tidak ada data mereka.34

Sementara itu Hernando De Soto juga mengungkapkan keberhasilan peran sektor informal di Peru selama 40 tahun terakhir ini. Aktivitas sektor informal telah menjadi tempat bagi 48% penduduk Peru, yang giat dalam

31 Adams, Dale W. (1989), “Taking a Fresh Look of Informal Financial”, Economics and Sociology

Occational paper No.1592, Study in Rural Finance Series, Agricultural Finance Program, Department of Agricultural Economics and Rural Sociology, The Ohio State University, Juli 17, 1989, 2-3.

32

Soegiarto, Heru N. & Moeljarto, Vidhyandika (1994), “Debitur Potensial di Pedesaan Jawa, Kasus Penerimaan Masyarakat Terhadap Aktivitas Pelepas Uang”, Dalam Prisma, (Jakarta: LP3ES, 1994), 56.

33 Clark, Robert P. (1991), “Power and Policy in the Third World”, (New York: MacMillan Publishing

Company, Fourth Edition, 1991), 172.

34

Schrader, Heiko, “Moneylenders and Merchant Bankers in India and Indonesia”, International Sosiology, Vol.9 No.4 Jun 1994, 4.


(3)

perekonomian dan 61,2% jam kerja diabadikan pada kegiatan-kegiatan informal yang memberikan sumbangan sebesar 30,9% pada produk domestik bruto (PDB) yang tercatat dalam neraca pendapatan negara. Diperkirakan aktivitas rentenir ini akan terus berkembang, dan pada tahun 2000 akan menghasilkan 61,3% dari PDB yang tercatat dalam neraca pendapatan. Sementara itu, peranan sektor informal di bidang keuangan sebagai pengamat empiris, yang dilakukan.35 Si Dam Kim, memperlihatkan bahwa di Korea, pasar kredit/rentenir perkotaan juga didominasi oleh apa yang disebutnya sebagai „informal credit markets‟.36

Seseorang yang merasa dirinya memiliki kelebihan materi dari segi finansial, maka berpotensi untuk mengkultuskan dirinya sebagai pihak yang superior, sehingga di sisi lain ada keyakinan dalam dirinya bahwa ada orangorang di sekitarnya dan pihak-pihak lain yang dianggapnya sebagai pihak yang interior dan membutuhkan kucuran dana cepat dan mudah. Dalam hal ini pihak rentenir yang eksis di tengah-tengah masyarakat yang bias dikatakan sebagai pihak superior dengan mudah memberikan pinjaman uang kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana.37 Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh rentenir juga mampu menjadikan masyarakat ketergantungan terhadap transaksi hutang-piutang berbunga tersebut. Sehingga setiap membutuhkan uang, tanpa pikir panjang, masyarakat langsung mendatangi rentenir dan meminjam uang kepadanya. Bunga yang besar biasanya dipikirkan belakangan, yang terpenting adalah dana langsung cair dan segera dapat dipergunakan. Biasanya rentenir menawar-nawarkan modal

35

De Soto, Hernando (1992), “Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia

Ketiga”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), 14.

36 Kim, Si Dam (1986), “Some Issue in the Study of Informal Credit Market”, Resources Paper for

the ADB Workshop, 1986, 15.


(4)

kepada pedagang-pedagang kecil seperti di pasar kaki lima (pedagang sayur, ikan, daging, dll.), asongan, maupun usaha-usaha kecil lainnya. Apabila masyarakat memiliki masalah mendadak dengan keuangan mereka seperti berobat ke rumah sakit, biaya pulang kampung dan kebutuhan modal untuk usaha mereka, maka mereka akan mencari rentenir untuk memperoleh uang dengan cepat.38

Bank daerah tidak dapat menolong mereka, karena meminjam uang di bank daerah harus ada agunan dan usaha bank ini bersifat besar-besaran.39 Usaha pedagang kecil tidak pernah mendapat perhatian pemerintah dalam bentuk bantuan pinjaman modal dengan bunga rendah, di samping itu tidak memiliki barang untuk dijadikan agunan untuk meminjam uang ke pemerintah. Pemerintah sebenarnya sudah menyalurkan dana kepada masyarakat dengan dana mikro tanpa agunan, tetapi di lapangan pihak perbankan tidak ada yang meminjamkan dananya tanpa agunan dengan kekawatiran pinjaman yang diberikan kepada masyarakat tidak kembali yang menjadi tunggakan abadi yang berakibat pimpinan bank yang bertanggung-jawab. Dengan kata lain, semua dana tersebut dipinjamkan kepada masyarakat dengan agunan dan agunan ini yang sangat sulit dipenuhi pedagang kecil, di samping itu, bank pemerintah jika memberikan pinjaman jutaan atau paling sedikit 5 juta rupiah, padahal pedagang kecil hanya butuh pinjaman berkisar 50.000 – 200.000 rupiah; dan juga daerah tertentu bank pemerintah mencoba memberikan pinjaman tanpa agunan, tetapi dirasakan tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, maka untuk menjalankan usahanya pedagang kecil

38

Siboro, Ilas Korwati (2015), Ibid, 11.

39

Subadio, Maria Ulfah; dan Ihroni, T.O. (1986), “Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia: Bunga Rampai Tulisan-tulisan/Editor”, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, ISBN 979-420-036-0, 1986), 68.


(5)

mendapat pinjaman lewat rentenir.40 Adanya keterbatasan kemampuan dari pedagang kecil memenuhi agunan mengakibatkan rentenir semakin berkembang meskipun bunganya sangat tinggi.41

Rentenir merupakan perkembangan dari hutang-piutang yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Pada tatanan ini rentenir sudah merupakan salah satu bentuk profesi bagi pemilik modal untuk dapat mengembangkan modalnya dengan mendapat bunga. Rentenir menjalankan bisnisnya di antara anggota masyarakat, baik antara famili maupun tetangga atau atas dasar kepentingan masing-masing pihak. Aktivitas rentenir yang hidup dalam masyarakat, merupakan profil dari praktik perkreditan yang dikelola secara individual yang tidak terorganisasi dan pada umumnya mempunyai pengaruh yang kurang baik terhadap peminjamnya. Hal ini disebabkan bunganya yang tinggi yang harus dibayar dari penghasilan yang sangat kecil.4243

Pada umumnya jenis rentenir yang berada di pasar merupakan wujud dari optimalisasi sumber daya finansial para pedagang dalam mencari keuntungan. Siapakah rentenir itu? Rentenir dipahami oleh orang-orang awam sebagai „lintah darat‟ dan praktik-praktiknya menciptakan „penghambaan bunga‟, citra negatif ini masih ada hingga saat ini. Namun demikian, sebutan itu tidak menyurutkan para rentenir menjalankan profesinya. Keuntungan yang diperoleh dari praktik ini

40 Siahaan, Monang (2014), “Rentenir, Penolong Pedagang Kecil?”, (Jakarta: Gramedia - Elex

Media Komputindo, ISBN:978-602-02-5597-2, 2015), 10-12.

41

Darmojuwono, Subarjo & Subagio, Pangestu (1986), “Badan Kredit Kecamatan di Jawa Tengah,

dalam Mubyanto & Edi Swandi Hamid, Kredit Pedesaan di Indonesia”, (Yogyakarta: BPFE 1986), 17.

42 Djodjohadikusumo, Sumitro (1989), “Kredit Rakyat Di Masa Depresi”, (Jakarta: LP3ES, 1989), 43 .


(6)

menjadi motivasi untuk tetap beroperasi.44 Pada umumnya rentenir memulai aktivitas ekonominya dengan perdagangan dan memvariasikan bisnisnya. Pada umumnya, sebelum sukses jadi rentenir biasanya ia menjalankan bisnisnya dengan berdagang dan dilanjutkan menjadi pedagang uang atau rentenir.45 Selama menjadi pedagang mereka mencoba memvariasikan perdagangan dengan bisnis kredit termasuk ke dalamnya kredit uang, hingga pada akhirnya mereka menjadikan kredit uang sebagai profesi utama. Dan cara rentenir mengambil uang atau prosedur pekerjaannya dimulai dari menawarkan barang (perdagangan) lalu dilanjutkan dengan menawarkan uang (rentenir).45

Jenis rentenir ada dua yaitu, rentenir internal (yaitu rentenir dan berdagang), dan rentenir eksternal (hanya sebagai rentenir) yang datang dari luar ke pasar untuk menawarkan uangnya. Hal pokok yang membedakan rentenir internal dari rentenir eksternal adalah rentenir internal berinteraksi secara intens dengan para nasabah dan pedagang sekitarnya. Rentenir yang sehari-harinya juga berprofesi sebagai pedagang di dalam pasar akan mudah berinteraksi dengan yang lain, karena rentenir internal juga mempunyai profesi utama sebagai pedagang yang berbaur dengan aktivitas pasar. Situasi seperti ini menyebabkan rentenir bebas berinteraksi dengan sesama pedagang meskipun bukan nasabahnya. Hal ini berbeda dengan rentenir eksternal yang memiliki batas waktu dan ruang dalam berkomunikasi mencari nasabah. Rentenir eksternal (berada di luar pasar), para rentenir tersebut jarang terlihat berbaur dengan pedagang setempat. Mereka hanya

44 Nugroho, Heru (2001), “Uang Rentenir dan Hutang-piutang di Jawa”, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2001), 250.

45

Yoserizal, Yessi, Ibid, 9. 45 Ibid, 10.


(7)

menarik „harian‟ kepada pedagang yang menjadi nasabahnya, kemudian pergi tanpa berbincang-bincang dengan pedagang yang lain. Keterbatasan interaksi tersebut membuat rentenir eksternal sulit untuk mencari nasabah.46 Dari kedua jenis rentenir di atas, penulis melihat bahwa problem yang dihadapi rentenir berkenaan dengan upaya mencari nasabah. Rentenir eksternal lebih sulit mencari nasabah bila dibandingkan dengan rentenir internal yang lebih leluasa waktunya berhubungan dengan nasabah ataupun bukan nasabah.

Problem utama yang dihadapi rentenir pada umumnya adalah masalah nasabah yang sulit membayar dan masalah modal. Sedangkan masalah yang khusus dihadapi perempuan rentenir adalah masalah kompleksitas kejiwaan, bahwa di satu sisi perempuan bersikap lembut, tetapi di sisi lain jika berhadapan dengan nasabah yang bermasalah perempuan harus mampu untuk bersikap

kasar.47

Hal lain yang diperhatikan dengan rentenir masih relevan keberadaannya terutama di masyarakat Jawa, meskipun keberadaan rentenir atau pelepas uang (moneylenders) di Indonesia sulit terdeteksi pihak luar (outsiders) karena cenderung bersifat tertutup. Kondisi tersebut dikarenakan dalam kehidupan masyarakat luas di Indonesia, pekerjaan sebagai rentenir dipandang sebagai pekerjaan yang negatif.48 Dalam hal kekuasaan, rentenir juga memiliki kekuasaan menentukan tingkat bunga tertinggi jika dibandingkan dengan LKM (Lembaga

46

Hamka, Aldrin Ali & Danarti,Tyas, Ibid, 64-65.

47

Wawancara dengan ibu Len.


(8)

Keuangan Mikro) dan bank.49

Beberapa karakteristik rentenir antara lain:50

• Dana mudah diperoleh kapan saja dan dimana saja

• Prosedural yang sederhana dan tidak diperlukan pengisian formulir permohonan

• Terdapat kaitan yang erat antara kebutuhan nasabah dalam pemenuhan kebutuhan input, kredit dan pemasaran hasil

• Saling mempercayai tanpa menekankan jaminan

• Biaya transaksi yang ditanggung peminjam relatif rendah

• Pencairan dana dengan cepat sesuai dengan kebutuhan mendadak

• Penggunaan dana leluasa, tidak terbatas untuk kegiatan ekonomi (produksi)

• Merupakan sumber penghasilan dan investasi yang menguntungkan bagi pemilik uang yang enggan menitipkan uangnya di bank Meskipun memiliki implikasi negatif dari rentenir sesuai dengan karakteristik dan praktiknya, penulis melihat rentenir juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi masyarakat yang berpenghasilan rendah yang membutuhkan modal, seperti pedagang di pasar Salatiga. Bahkan dapat dikatakan rentenir mempunyai peranan sebagai alternatif di samping menjadi sumber dana pokok pedagang, baik bagi golongan lemah maupun golongan permodalan kuat, yang memerlukan dana dalam waktu singkat serta prosedur sederhana.

49

Mukherjee, Saswatee (2013), “A Comparative Analysys of Interest Rates”, Journal of

Developmental Entrepreneurship, Vol.18 No.1 (2013), 1350007 (6 pages), World Scientific Publishing Company, Dep of Jdaypur Univ. India, 2013 1.

50 Ng, Beoy Kui (1985), “Some Aspects of the Informal Financial Sector in the SEACEN Countries”,


(9)

2.3. Dinamika Kehidupan Rentenir Perempuan

Jenis kelamin tidak mempengaruhi profesi rentenir, baik laki-laki maupun perempuan dapat terjun dalam profesi ini. Perempuan lebih banyak rentenir jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang berkaitan dengan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Bahwa pada umumnya banyak perempuan yang bekerja untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga. Di samping itu, perempuan juga memiliki tugas untuk memutuskan penggunaan uang dalam keluarga. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, yang harus bertanggung jawab memberikan penghasilannya kepada para istri, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Akibatnya secara psikologis, perempuan lebih mampu dan berpengalaman dalam penggunaan uang. Pengetahuan dan pengalaman dalam mengatur keuangan tersebut juga

diaplikasikan dalam bidang perdagangan dan hutang-piutang uang.51

Perempuan yang bekerja di luar rumah berusaha menyeimbangkan karier dan tuntutan rumah tangga. Perempuan karier berusaha berbagi tanggung jawab dalam menjalankan peran ganda. Perempuan yang menjalankan fungsi ganda tidak tertutup kemungkinan untuk mencapai kesuksesan.52 Meskipun dalam mencapai kesuksesan itu banyak masalah yang dihadapi perempuan yang menikah, seperti yang dipaparkan oleh Dana Heller Levitt, bahwa seorang perempuan yang menikah, bekerja dan memiliki anak cenderung mengalami stres.

51 Yoserizal, Yessi, Ibid, 7.

52

Kahn, Sharon E. (1988), “Feminism and Career Counseling with Women”, Journal of Career Development, Vol.14 (4), Summer 1988, University of British Columbia, Human Sciences Press, 1988, 245-246.


(10)

Keseimbangan antara karier dan keluarga adalah salah satu tantangan yang paling berat.53

Sebagaimana kaum perempuan yang memegang banyak peran dan dituntut banyak, pasti juga menghadapi tekanan jiwa dan ketegangan. Kadangkadang tekanan itu dapat menambah kegembiraan dan minat pada kehidupan kita, tetapi kerap kali juga merupakan masalah. Nampaknya begitu banyak yang harus dikerjakan sehingga banyak perempuan menghadapi pertentangan, bahkan keresahan. Tekanan jiwa dapat menyebabkan sakit kepala, sakit punggung dan penyakit fisik lainnya. Satu kenyataan penting tentang tekanan jiwa ialah bahwa tekanan itu beragam kadar beratnya, sejalan dengan umur seseorang. Kalangan perempuan muda, tidak menikah atau tidak punya anak dan pada awal jenjang pekerjaan mereka, cenderung merasa tidak begitu tertekan daripada golongan perempuan yang tengah membesarkan anak.54 Hal ini konsekuensi dari

perempuan karier.55

Di satu sisi perempuan harus setia mengurus keluarga, anak-anak, dan di sisi lain berusaha untuk lebih menonjol dalam hal karier.56 Satu masalah dalam hal ini yaitu kurangnya dukungan lingkungan sekitar terhadap perempuan yang

53

Levitt, Dana Heller (2010), “Women and Leadership A Developmental Paradox”, ADULTSPAN Journal Full 2010 Vol.9 No.2, Montclair State University, 2010, 68.

54

Wolfman, Brunetta R. (1988), “Peran Kaum Wanita: Bagaimana Menjadi Cakap dan Seimbang dalam Aneka Peran (ROLES: How to Balance Many Different Relationship. Be Versatile And Play Varied Roles Successfully”, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 75-78.

55

Roberts, Helen (1981), “Doing Feminist Research”, British Library Cataloguing in Publication Data (New York: Rouledge 11New Fetter, ISBN 0-415-02547-8), 1986, 13.

56

Benishek, Lois A.; Kathleen, J. Bieschke; Park, Jeeseon; and Slattery, Suzanne M. (2004), “A

Multicultural Feminist Model of Mentoring”, Journal of Multicultural Counseling and Development, Extra 2004 Vol.32 l, Tieatment Research Institute; Philadelphia: 600 Public Ledger Building; 7505‘. Independence Mall West; Philadelphia, PA 79 706-3475, 2004, 431.


(11)

bekerja.57 Menurut saldo, perempuan itu punya batas kekuasaan karena dibatasi keluarga dan norma budaya.58 Perempuan harus berjuang menunjukkan kemampuannya atau keahliannya dalam melakukan pekerjaan yang digeluti dan tidak hanya mampu melakukan pekerjaan domestik.59

Perempuan yang ingin berkarier masih menghadapi berbagai kendala, antara lain: faktor eksternal dan faktor internal: 60

Faktor Eksternal:

a. Peranan alamiah perempuan sebagai ibu rumah tangga dalam sudut pandang budaya yang sempit menyebabkan prospek pengembangan karier perempuan belum memperoleh dukungan masyarakat secara luas.

b. Pengembangan karier perempuan dalam lembaga-lembaga pemerintahan belum optimal, karena pegawai perempuan yang telah menikah selalu memiliki status ikut suami, sehingga mobilitas kerjanya relatif terbatas.

Faktor Internal:

a. Rasa bersalah karena adanya perasaan telah menelantarkan keluarga, terutama bila anak-anak masih kecil.

b. Sikap mendua antara membina peran di luar rumah dengan keinginan sebagai ibu rumah tangga.

57 McBrid, Martha C. (1990), “Autonomy and the Struggle for Female Identity - Implications for Counseling Women”, Journal of Counseling & Development, September/October 1990 Vol.69, Department of Counseling and Educational Pshychology, University of Nevada-Las Vegas, 4505 Maryland Parkway, Las Vegas, Nevada 89154, 1990, 72.

58 March, Kathryn S; and Taqqu, Rachelle L. (1986), “Women’s Informal Associations in Developing

Countries: Catalyst or Change?”, Woman in Cross-Cultural Perspective, Colorado: Westview Press, Inc. USA, ISBN 0-86531-856-5, 1986), 12.

59

Kahn, Sharon E., Ibid, 245-246.

60 Mudzhar, H.M. Anto; Alvi, Sadja S. & Sadli, Saparinah (Editor) (2001), “Wanita dalam


(12)

c. Sikap konvensional dari suami yang beranggapan bahwa tugas perempuan adalah di rumah tangga sebagai istri dan ibu.

Dari pendapat para ahli di atas, penulis melihat bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi perempuan yang bekerja di luar rumah adalah sangat kompleks, terutama berhubungan dengan kemampuan untuk membagi waktu antara pekerjaan domestik dan tuntutan karier. Masalah perempuan yang bekerja ini juga dialami perempuan rentenir. Namun perempuan rentenir lebih mempunyai masalah yang berat mengingat stigma masyarakat yang melekat pada perempuan rentenir, stigma-stigma tersebut di antaranya adalah berhubungan dengan citra negatif yang melekat pada rentenir dianggap tidak bermoral, karena mengambil suku bunga yang tinggi, seorang rentenir juga dianggap membuat „perangkap situasi‟, bahwa pihak rentenir ini tidak memberikan informasi pada nasabahnya tentang jumlah utang yang harus dibayarkan sehingga hal ini memperburuk keadaan nasabah.61 Perempuan rentenir ini menjalankan bisnis perkreditan dari sumber kekayaan yang dimiliki serta ditopang pula dengan keberanian watak yang tegas dan keras, sehingga tidak sedikit rentenir berhasil menjalankan atau mengembangkan profesinya.62 Menurut penulis, masalah yang dihadapi perempuan rentenir ini adalah citra negatif terhadap perempuan yang keras dan dianggap tidak bermoral hanyalah sebagai tuntutan dari pekerjaan yang dia jalani, bahwa perempuan rentenir tidak nyaman dengan pekerjaannya, tetapi karena tuntutan kebutuhan hidup, mereka terpaksa menjalaninya.

61 Siyongwana, Pakama Q. (2004), “Informal Moneylenders in the Limpopo, Gauteng and Eastern Cape, Provinces of South Africa”, Development Southern Africa, Cartax Publishing, Vol.21 No.5, December 2004, 15.


(13)

Dari masalah yang dihadapi perempuan bekerja maka perlu diadakan pendekatan konseling feminis untuk lebih membebaskan pria dan perempuan dalam mengekspresikan diri mereka sendiri sesuai kualitasnya, kesetaraan dalam hak suara dan gaji di tempat kerja. Dari perspektif konseling feminis bertujuan untuk kesetaraan yang harus ditunjukkan laki-laki dan perempuan dengan memiliki relasional satu dengan yang lain seperti teori feminis dimana mendorong laki-laki dan perempuan mengeksplorasi potensi mereka dan siap untuk menyongsong perubahan.

Adapun tujuan konseling feminis adalah mengatasi ketidakseimbangan kekuatan, konselor membentuk kolaborasi kemitraan dengan konseli untuk mengatasi dan membahas yang dihadapi serta membantu mengidentifikasi kekuatan sumber daya konseli serta membangun cara berpikir dengan paradigma baru, jauh dari ketidakadilan dan penindasan.63

2.4. Dampak Pekerjaan Rentenir Terhadap Kehidupan Pribadi dan Orang Lain

Rentenir diibaratkan sebagai sosok yang dipandang sebelah mata namun dicari oleh masyarakat sebagai pilihan terakhir guna membantu menghidupkan jalannya ekonomi masyarakat dengan cara peminjaman modal usaha. Ia diibaratkan sebagai lintah darat yang juga merugikan masyarakat sebagai pengguna jasanya. Meskipun profesi rentenir sendiri dilihat tidak pantas namun hingga saat ini pelakunya tidak mungkin untuk dihentikan, karena masyarakat

63

Bready, Peggy-Amoon (2011), “Humanism, Feminism, and Multiculturalism Essential Elements of

Social Justice in Counseling, Education, and Advocacy”, Journal of Humanistic, Fall 2011 Vol.50, American Counseling Association, 2011, 137.


(14)

membutuhkannya. Hal seperti ini memberikan sebuah kekuatan tersendiri bagi bisnis rentenir untuk bisa hidup berdampingan di dalam masyarakat. Scott dan Jerry mengatakan bahwa ada sebuah elemen utama dari relasi, yaitu adanya pertukaran atau „exchanges’. Di dalam kasus rentenir ini, ada sebuah pertukaran yang diberikan oleh rentenir yaitu penyediaan jasa kredit ekonomi dengan profitprofit keuntungan sebagai sebuah exchanges yang diberikan atau diperoleh dari nasabahnya.64

Di satu sisi, dampak rentenir ini memberikan pertolongan kepada ekonomi lemah dalam hal penyediaan modal, tapi di sisi lain, rentenir ini membuat masalah bagi nasabah itu sendiri karena bunga yang terlalu tinggi. Seperti yang terjadi di negara India, banyak perempuan India pedesaan yang bunuh diri massal akibat tertipu oleh rentenir. Sehingga pada tahun 2010 pemerintah India, Andhra Pradesh membuat undang-undang untuk melindungi orang miskin dari rentenir yang tidak bermoral. Undang-undang ini mengatur tentang organisasi rentenir untuk didaftarkan pada pemerintah dan perlindungan terhadap peminjam (nasabah) dimana para rentenir membuat suku bunga secara merata.65 Adapun alasan pemerintah membuat undang-undang ini adalah untuk melindungi nasabah dari rentenir yang mempunyai citra negatif bahwa rentenir tidak bermoral dan dengan membuat suku bunga tinggi. Dan rentenir ini biasnya tersebar luas di antara „kulit hitam terpinggirkan‟ dan masyarakat ekonomi rendah.66

Faktor alasan masyarakat meminjam pada rentenir, yaitu: pertama, adanya kebutuhan yang sangat mendesak; kedua, kecenderungan untuk

64

Scott, James (1993), “Perlawanan Kaum Tani”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), 7.

65

Kandaswamy, Deepa (2011), “Money-lenders Bilk Indian Woman”, Herizons Summer, 2011, 7.

66


(15)

mengabaikan tanggung jawab dan kebutuhan-kebutuhan mendatang; ketiga, secara umum masyarakat kurang berpengetahuan tentang soal-soal keuangan. Bunga dari pihak yang menyediakan kredit itu mencakup bunga yang tinggi dan jaminan yang agak riskan. Salah satu perdebatan penting tentang rentenir di pedesaan adalah mereka memiliki kekuatan monopoli.66

Hubungan antara rentenir dengan peminjam, biasanya cukup dekat karena proses pembayaran cicilan pinjaman dipungut sendiri oleh rentenir (atau orang suruhannya) dan dilakukan setiap hari.68

Bentuk hubungan sosial rentenir ini terhadap nasabahnya, antara lain, hubungan kepercayaan, hubungan saling ketergantungan, hubungan eksploitasi dan pertentangan.

a. Hubungan Kepercayaan

Kepercayaan merupakan dasar terbentuknya suatu hubungan antara rentenir dengan nasabahnya. Secara umum dapat dikatakan, bahwa saling percaya antara rentenir dengan nasabahnya akan menjadi basis dari transaksi kredit. Para rentenir akan memperlakukan masing-masing nasabah dengan cara yang berbeda, tergantung pada derajat kepercayaan yang mereka kembangkan kepada si nasabah, begitu pula sebaliknya. Jaringan sosial dan trust (kepercayaan) menjadi mekanisme yang sangat penting. Hal ini berguna untuk sistem rekrutmen dan seleksi terhadap peminjam dan terutama kontrol kepatuhan terhadap komitmen untuk membayar kembali pinjaman. Hal ini terutama diperlukan karena dalam

66

Donald, Gordon (1976), “Credit for Small Farmers in the Developing Countries”, (Colorado: Westview Press Bouldor, 1976), 87-94. 68 Kartono, Drajat Tri, Ibid, 1.


(16)

pekerjaan rentenir ini tidak dikenal adanya agunan atau surat pinjaman sebagai penguat komitmen.67

b. Hubungan Saling Ketergantungan

Ada semacam hubungan timbal balik antara rentenir dengan nasabahnya, bahwa para nasabah memberi penghasilan berupa profit dari bunga pinjaman kepada rentenir, dan satu pihak rentenir memberi bantuan kepada para nasabah dalam memenuhi kebutuhannya akan uang. Di dalam hubungan ketergantungan ini rentenir juga menjalin „hubungan persahabatan‟ dengan nasabah agar pengembalian uangnya lebih baik atau lancar.68

c. Hubungan Eksploitasi

Gambaran tentang semakin permisifnya masyarakat terhadap praktik- praktik para rentenir seyogianya tidak disalah tafsirkan sebagai hilangnya konotasi negatif rentenir. Sebahagian penduduk yang tidak terlibat secara langsung dalam aktivitas kredit rentenir, baik sebagai nasabah atau pemberi kredit masih memelihara stereotip bahwa rentenir adalah “lintah darat”. Mereka hidup di atas rantai kemiskinan orang dengan mengekstraksi bunga, karena aktivitas rentenir memiliki etos “memperoleh uang sebanyak mungkin” dicurigai sebagai penyebab terjerumusnya para nasabah dalam “perangkap hutang” yang akan membawa pada “perbudakan bunga”. Situasi ini dianggap tercipta oleh perilaku rentenir, yang dilakukan dengan cara memelihara ketergantungan nasabah terhadapnya, sehingga

67

Kartono, Drajat Tri, Ibid, 7-8.


(17)

mereka dapat membawa nasabah pada perangkap hutang. Cara untuk menjamin ketergantungan ini yaitu melalui strategi dimana bunga diwajibkan dibayar dalam setiap cicilan, baik kredit dibayar belakangan, jadi hubungan di antara keduanya bersifat eksploitatif.

Pada tahun 1970 Bhaduri mengemukakan bahwa hubungan antara rentenir dan nasabah bersifat eksploitatif karena kreditur mengontrol pasar lain dimana peminjam juga tergantung kepada rentenir. Komponen suku bunga menunjukkan bukti monopoli keuntungan atau eksploitatif.69 Suku bunga

ditetapkan secara bervariasi sesuai tempat.72

Ada 3 tipe eksploitasi: Tipe pertama: A (negara maju) mengambil bahan mentah begitu saja dari B (negara dunia ketiga) tanpa memberi keuntungan sedikit pun. Tipe kedua: A mulai memberikan sesuatu keuntungan pada B, namun tetap dalam hubungan yang kurang seimbang. Tipe ketiga: dalam tahap ini, bisa juga sudah tercipta keseimbangan dalam efek interpelaku antar A dan B, yaitu pertukaran nilai yang seimbang antara pelaku-pelaku itu. Namun belum ada efek interpelaku yaitu efek di dalam pelaku B, sebabnya adalah kesenjangan dalam tingkat „pengolahan‟ antara produksi bahan mentah di B dan produksi barangbarang jadi di A. Kesenjangan dalam pengolahan ini mengakibatkan efek

interpelaku A jauh lebih besar dari efek interpelaku B.70

69 Patole, Meenal; and Ruthven, Orlanda (2001), “Metro Moneylenders, Microcredit Providers for Delhi’s Poor”, For Small Enterprise Development Journal IT Publications, Institute for Development Policy and Management Working Paper 28, Draft 3rd Agust 2001,1. 72 Schrader, Heiko (1994), Ibid,

2.

70


(18)

d. Kekerasan

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ”kekerasan” diartikan sebagai sifat (hal dan sebagainya) keras: kegiatan, kekuatan, paksaan.71 Sementara itu dalam Kamus Sosiologi, ”kekerasan” lebih dipahami sebagai penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda.72 Namun C.A.J. Coady mengingatkan bahwa definisi dan konsep kekerasan tidak dapat dibatasi hanya pada fisik, sebab kekerasan itu juga mencakup kekerasan psikologis. Kekerasan psikologis itu terjadi ketika seseorang mengganggu perasaan orang lain dengan kata-kata atau pun perbuatan. Menurutnya, definisi kekerasan memberikan sebuah ilustrasi luas yang saling mempengaruhi antara konsep dan komitmen. Sedikitnya ada 3 tipe definisi kekerasan yang dapat ditemui dalam berbagai diskusi tentang kekerasan.73

Ketiga tipe tersebut dikategorikan ke dalam istilah: luas (wide), terbatas (restricted), dan sah (legitimated). Lebih jauh Coady menjelaskan ketiga tipe tersebut sebagai berikut:77

1. Wide Defenition

Wide Defenition menunjuk pada apa yang disebut kekerasan struktural. Definisi ini cenderung digunakan untuk kepentingan politis kelompok kiri yang memperluas kajian istilah kekerasan dalam hubungannya dengan

71 Poerwadarminta, W.J.S. (1996), “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, (Jakarta: Balai Pustaka,

1996), 488.

72

Soekamto, Soejono (1983), “Kamus Sosiologi”, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), 538.

73 Coady, C.A.J (1999), “The Idea of Violence, dalam Manfred B. Steger & Nancy S. Lind, Eds, Violence and It’s Alternatives”, (New York: St. Martin’s Press, 1999), 35-37. 77 Ibid, 24.


(19)

ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat. Misalnya masyarakat tidak memperoleh kebutuhan ekonomi secara memadai akibat pengabaian tanggung jawab pemerintah.

2. Restricted Defenition

Dalam Restricted Defenition dimengerti bahwa setiap tindakan negatif adalah kekerasan. Tindakan negatif tersebut terlihat lewat adanya paksaan yang berakibat pada luka fisik. Dalam definisi tersebut tidak dipersoalkan bagaimana kekerasan itu dilakukan, tetapi penekanannya pada kerusakan fisik yang ditimbulkan.

3. Legitimated Definition

Definisi ini terlihat dalam aras pikir konservatif atau pemikiran politis liberal sayap kanan yang menekankan bahwa sebuah tindakan dapat disebut sebagai kekerasan, tergantung kepada siapa yang melakukannya. Jika demi kepentingan negara, misalnya tindakan aparat negara untuk menjaga ketertiban tidak dikategorikan sebagai kekerasan.

Dom Helder Camara dalam teorinya tentang spiral kekerasan mengemukakan 3 bentuk kekerasan:74

1. Kekerasan Personal

Kekerasan Personal terlihat dalam berbagai bentuk ketidakadilan yang dapat dialami oleh perorangan, kelompok maupun negara akibat adanya kelompok elite nasional yang mempertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara

74

Camara, Don Helder (2000), “Spiral Kekerasan”, (Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar, 2000), XXV.


(20)

sebuah struktur yang mendorong terbentuknya kondisi ”sub human”, yaitu kondisi hidup di bawah standar layak untuk sebagai manusia normal.

2. Kekerasan Institusional

Kekerasan yang muncul akibat pemberontakan sipil. Kondisi ”sub human” manusia menderita tekanan alienasi, dehumanisasi, martabat, kemudian mendorong mereka untuk melakukan pemberontakan.

3. Kekerasan Struktural

Kekerasan terlihat dalam represi negara terhadap masyarakat sipil. Negara menggunakan kekuatan dan cara-cara kekerasan untuk menekan masyarakat.

Kekerasan paling mendasar adalah bahwa orang sudah tidak dihargai martabatnya dan tidak diperbolehkan berbicara, bahkan sebelum bicara pun sudah disalahkan. Kekerasan juga bersifat hierarkis dan ‟menular‟: negara adidaya menekan negara miskin, pemerintah menekan rakyat, atasan menekan bawahan, suami menekan bahkan berbuat kasar kepada istri, istri memarahi anak, anak menyiksa binatang piaraan. Kekerasan memiliki dua wajah: kekerasan fisik dan kekerasan berselubung ideologi. Kekerasan fisik adalah yang paling nyata dan kasat mata, bisa antar manusia, antar komunitas, negara, alam, lingkungan; sedangkan kekerasan ideologi bersifat tak tampak dan halus karena diselubungi ideologi yang membuat kekerasan itu seolah-olah „wajar‟.75

Menurut Galtung, kekerasan ada dua: kekerasan personal dan

75

Lan, May (2002), “Pers, Negara, & Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Gender pada


(21)

struktural. Sifat kekerasan personal adalah dinamis, mudah diamati, memperlihatkan fluktuasi yang hebat yang dapat menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis, memperlihatkan stabilitas tertentu dan tidak tampak. Lebih lanjut Galtung menjelaskan bahwa di dalam suatu masyarakat statis, kekerasan personal akan diperhatikan, sementara kekerasan struktural dianggap wajar saja. Namun dalam suatu masyarakat yang dinamis kekerasan personal bisa dilihat sebagai hal yang berbahaya dan salah, sementara kekerasan struktural semakin nyata menampilkan diri.76

Menurut Sasant, kekerasan berbasis gender adalah penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia yang berakar ketidaksetaraan gender dan nilainilai patriakal. Hal ini lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki dan mencakup berbagai pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pelecehan seksual, perdagangan perempuan, dan perdagangan anak perempuan serta perkawinan paksa.81

Dari pengertian kekerasan di atas, penulis melihat bahwa kekerasan itu ada kekerasan fisik dan ada kekerasan verbal (kata-kata) dan bentuk kekerasan ini juga terjadi dalam praktik rentenir, hubungan antara rentenir dan nasabah.

Konflik tidak selalu dicerminkan sebagai tindakan kekerasan atau adu fisik. Tetapi lebih dari itu, bisa menyangkut masalah hati, kewajiban serta tuntutan di antara kedua belah pihak, yang terkadang tidak sejalan dan berbeda kepentingan. Begitu pula dalam hubungan antara rentenir dengan nasabahnya, menurut pengakuan kelima rentenir pertentangan kecil kerap terjadi bilamana

76 Windhu, I. Marsana (1992), “Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung”, (Yogyakarta:


(22)

nasabah bersembunyi, mengelak atau sengaja menunda/tidak membayar cicilan atau bunga kredit, terjadi kesalahpahaman mengenai perhitungan hari pembayaran kredit. Demikian pula halnya dengan nasabah mereka menyatakan tidak pernah terjadi pertikaian yang menjurus pada tindakan fisik atau kekerasan.77

e. Hubungan Sosial-Budaya

Di Jawa profesi rentenir sangat popular, yaitu yang menawarkan pinjaman jangka pendek tanpa jaminan, tetapi memiliki tingkat bunga yang relatif tinggi (sekitar 20-30%) dan mereka juga berusaha untuk menjaga hubungan kredit dengan nasabah-nasabahnya melalui hubungan inter-personal maupun kultural78. Hubungan antar rentenir dan nasabah bersifat kompleks, kadang-kadang tidak hanya menunjukkan transaksi ekonomi semata, akan tetapi juga melibatkan aspek sosial-budaya.79 Menurut Heru Nugroho, alasan mengapa kredit rentenir lebih atraktif, bukan semata-mata prosedur arogansi administratif lembaga finansial formal terhadap orang-orang lapis bawah, tetapi terletak pada persoalan budaya ekonomi masyarakat. Perilaku ekonomi rentenir berkaitan dengan budaya lokal. Dalam praktik mereka selalu membangun citra diri lewat penguatan kapital budaya. Seperti menolong nasabah yang susah, bersifat dermawan, menyumbang aktivitas keagamaan karena sumbangan yang diberikannya bisa membantu rentenir untuk menjaga dan memperkuat hubungannya dengan nasabahnya.80

77

Yoserizal, Yessi, Ibid, 11-12.

78 Labat, Alyssa & Block, Walter E. (2012), “Money Does Not Grow on Trees: An Argument for Usury”, Journal of Business Ethics, 106:383-387, Agust 2012, 1.

79

Sosrodiharjo, Soedjito, (1978), “Aspek Sosial Budaya Dalam Pembangunan Pedesaan”, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 67-70.

80

Nugroho, Heru (1996), “Praktek Rentenir dan Ekspansi Pasar”, Kompas No.013 Tahun Ke-32, 1996, 4.


(23)

Semakin tinggi kapital budaya yang dimiliki oleh rentenir, maka citranya semakin baik sehingga praktik-praktiknya tidak banyak terusik oleh citra buruk warisan tradisi. Biaya-biaya sosial dalam rangka peningkatan kapital budaya dihitung secara rasional sebagai biaya ekonomi dalam menopang praktiknya.81

Rentenir harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan peminjam dengan jujur, jika tidak maka akan sulit bagi mereka untuk meminjam dengan efektif. Rentenir harus mampu menghitung berapa lama rentenir bisa memenuhi permintaan nasabah. Rentenir harus mampu memberikan pinjaman kepada nasabah karena sekali nasabah kecewa akan sulit untuk mendapat kesempatan kembali, dia akan beralih mencari rentenir lainnya.82 Rentenir memperoleh manfaat atau laba dari nasabah. Nasabah kesulitan modal, maka rentenir memberikan pinjaman dengan menetapkan bunga yang lebih tinggi.83 Faktanya, masyarakat kecil (pedagang golongan bawah dengan modal yang relatif kecil) sebagai sasaran utama rentenir sering tidak menghiraukan bunga tinggi yang ditawarkan. Mereka hanya memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan dengan adanya penambahan modal usaha.84

Dari pendapat di atas, alasan nasabah meminjam kepada rentenir adalah hanya karena prosesnya mudah namun bunganya sangat tinggi, sehingga dampak rentenir terhadap kehidupan nasabah adalah mencekik dengan suku bunga

81 Nugroho, Heru, Ibid, 4.

82 Katzt, Robert D. (2012), “An Entrepreneur’s Lender”, The Secured Lender, December 2012, 1-2. 83 Kolasinski, Adam C., Freed, V.; and Mattghew C. Ringgenberg (2013), “A Multiple Lender

Approach to Understanding Supply and Search in the Equity Lending Market”, The Journal of

Finance Vol.LXVIII No.2, April 2013, 5. 84 Hamka, Aldrin Ali & Danarti, Tyas, Ibid, 7.


(24)

yang tinggi, sedangkan bagi rentenir itu sendiri memberikan keuntungan yang dapat menambahi kekayaannya.

2.5. Definisi Konseling Feminis

Konseling diartikan sebagai „proses interaksi antara konselor dengan klien baik secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung (melalui media: internet, telepon) dalam rangka membantu klien agar dapat mengembangkan potensi dirinya atau memecahkan masalah yang dialaminya‟.85

Konseling adalah proses pertolongan yang pada hakikatnya adalah psikologis antara seorang penolong dan seorang atau beberapa orang yang ditolongnya dengan maksud meringankan penderitaan dari yang ditolong. Melalui proses itu, diharapkan konseling dapat memperoleh kekuatan baru dan wawasan yang baru untuk memahami dan jika mungkin mengatasi masalah yang dihadapinya.86

Menurut Dr. Magdalena Tomatala, secara etimologi, kata „konseling‟ berasal dari kata „counsel‟, yang diangkat dari kata Latin „çonsiiium‟ dari kata dasar „consileri‟, yang berarti ‟to consult‟, yaitu mencari pandangan atau nasihat orang lain, yang berfungsi sebagai penuntun untuk pertimbangan dan pembuatan keputusan.87 Dari pengertian di atas, konseling dapat dijabarkan sebagai suatu proses menyampaikan nasihat, petunjuk, peringatan, teguran, dan ajaran yang memberikan pertimbangan guna membuat keputusan yang bijaksana sebagai

85 Padmomartono, Sumardjono dan Setyorini (2014), “Bimbingan dan konseling Pribadi-Sosial”,

(Salatiga: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, Juni 2014), ISBN: 978-979-729-052-8, 21.

86

Martin van Beck, Aart (1987), “Konseling Pastoral, Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong Di Indonesia”, (Semarang: Satya Wacana, Agustus 1987), 6.

87

Tomatala, Magdalena (2003), “Konselor Kompeten, Pengantar Konseling Terapi untuk


(25)

upaya mengatasi masalah serta menangani atau menyelaraskan perilaku.88 Dalam proses konseling, konselor mendengarkan secara empati, karena empati adalah penerimaan, peneguhan, dan pengertian akan gema suara hati manusia yang ditimbulkan oleh diri (self). Empati adalah suatu kebutuhan psikologis yang hakiki dan tanpa itu konselor/konseli tidak mungkin menghayati hidup yang

bernilai.89

Menurut Toril Moi, arti feminis, dalam esainya: feminis, female, feminine, femininitas adalah satu rangkaian karakteristik yang didefinisi secara kultural, feminisme adalah posisi politis, sementara femaleness (yang paling tepat diterjemahkan sebagai „kebetinaan‟) adalah hal biologis. Jenis kelamin dan „kebetinaan‟ adalah realitas biologis, dengan demikian segala fakta biologis; mendapat menstruasi, kemampuan untuk melahirkan, menyusui, dapat dianggap sebagai „takdir‟ yang kurang lebih tidak dapat diubah. Apa yang dianggap feminine bergantung pada siapa yang mendefinisinya, tempat orang-orang itu berada dalam apa yang telah mempengaruhi hidup mereka. Ideologi yang menyadari ketimpangan konstruksi ini dan kemudian mengarahkan dirinya kepada perubahan atas ketimpangan inilah yang disebut feminisme. Pemikiran bahwa bekerja di luar rumah mencari uang adalah tugas laki-laki sementara bekerja di rumah adalah tugas perempuan adalah konstruksi gender dan bukan merupakan takdir, karena itu dapat dinegosiasikan. Kesadaran bahwa pembagian seperti itu

88

Soewarno, Andreas (2012), “Pastoral Konseling, Manfaat dan Penerapannya untuk Pelayanan

Masa Kini”, (Pati: Fire Publisher, Percetakan Kanisius, ISBN: 978-602-99126-3-0, Maret 2012, 5.

89 Clinebell, Howard (1984), “Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral”, (Jakarta:


(26)

bukan saja tidak menguntungkan bagi perempuan tetapi juga bagi laki-laki dan berusaha agar konstruksi itu lebih seimbang adalah berkesadaran feminis.90

Pemikiran dan gerakan feminis lahir dengan konteks tertentu, baik itu budaya, agama, ras, etnik, keadaan sejarah tertentu dan lain sebagainya. Pemikiran yang disebutkannya tadi memang merupakan bagian dari feminis, tapi yang lahir dalam konteks spesifik ketika seksualitas perempuan di barat tengah mengalami penekanan yang sangat hebat, misalnya eksploitasi seksualitas perempuan, pornografi, dan sebagainya, sehingga perempuan feminis radikal merasa perlu untuk merebut kembali klaim atas tubuh dan seksualitasnya. Pemahaman dasar atas feminis ini penting untuk melihat dengan lebih bening bahwa feminisme bukanlah semata-mata milik perempuan. Laki-laki maupun perempuan yang menyadari adanya ketimpangan struktur pada dasarnya adalah seorang feminis.91 Tujuan pokok dari teori feminis adalah memahami penindasan perempuan secara ras, gender, kelas, dan pilihan seksual, serta bagaimana mengubahnya. Teori feminis mengungkapkan nilai penting individu perempuan beserta pengalaman yang dialami bersama dan perjuangan yang mereka lakukan. Ia menganalisis bagaimana perbedaan seksual dibangun di dalam setiap dunia sosial dan intelektual serta bagaimana ia membuat penjelasan mengenai pengalaman dari berbagai perbedaan ini.92

Menurut Anne M. Clifford, feminisme adalah sebuah wawasan sosial,

90 Padmomartono, Sumardjono dan Setyorini, Ibid, 22. 91 Padmomartono, Sumardjono dan Setyorini, Ibid, 23.

92 Humm, Maggie (2002),”Ensiklopedia Feminisme (Dictionary of Feminist Theories)”, (Yogyakarta:


(27)

yang berakar dalam pengalaman kaum perempuan menyangkut diskriminasi dan penindasan oleh karena jenis kelamin, suatu gerakan yang memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dari semua bentuk seksisme, dan sebuah metode analisis ilmiah yang digunakan pada hampir semua cabang ilmu.93 Feminisme secara gamblang menolak determinisme biologis sebagai alasan penentuan peran tertentu entah kepada laki-laki atau perempuan.94 Fokus feminis global adalah eksploitasi perempuan melalui seks perdagangan dan pariwisata, prostitusi, dan kekerasan seksual. Feminis global berfokus pada pentingnya menghormati perbedaan, tetapi masih berjuang untuk menangani secara efektif dan spesifik praktik-praktik budaya yang berkontribusi terhadap penindasan kaum perempuan.95

Kaum feminis berusaha untuk meluruskan persepsi dan pandangan yang keliru, yaitu yang menempatkan kegiatan ekonomi sebagai dunia laki-laki dan sebaliknya segala sesuatu yang berkaitan dengan non-ekonomi dipandang sebagai ranah perempuan. Tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, mengasuh anak, membersihkan rumah, melakukan kegiatan yang berhubungan dengan reproduksi atau konsumsi dipandang sebagai kegiatan yang non-ekonomi. Kaum feminis berusaha untuk menunjukkan bahwa kaum perempuan memberikan

93 Clifford, Anne M. (2001), “Memperkenalkan Teologi Feminis”, Ledalero, Maumere, 2002,

(Semarang: Bina Putera, Desember 2002), 28-29.

94 Ibid, 30.

95 Enns, Carolyn Zerb;, Sinacore, Ada L.; Ancis, Julia R.; and Philips, Julia (2004), “Toward

Integrating Feminist and Multicultural Pedagogies”, Journal of Multicultural Counseling & Development, Extra 2004 Vol.32, 2004, 417.


(28)

kontribusi yang sangat signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun mereka mempunyai status sebagai ibu rumah tangga.96

Gerakan feminis sejak awal telah mencoba untuk menawarkan analisa yang mendalam tentang “apa artinya menjadi perempuan”, serta mempertanyakan dasar relasi sosial yang tercipta antara laki-laki dan perempuan, baik di dalam masyarakat maupun keluarga. Suatu perubahan pun terjadi, ketika kaum feminis menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi perempuan, yakni hak perempuan untuk politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara

intelektual.97

Pemahaman konseling feminis memberi dukungan/kesempatan pada perempuan untuk berkarier dan mendorong pribadi perempuan itu agar berani untuk mengekspresikan diri.98 Menurut Carolyn Zerb Enns, feminisme adalah sebagai komitmen untuk menghilangkan segala bentuk penindasan di dalam ras, seks, heteroseksual, dan kelas.104 Jill Rader et al. mengemukakan bahwa konseling feminis merupakan sebuah pendekatan konseling yang relatif baru yang muncul pada sebuah lingkungan pergaulan tahun 1970an dari kelompokkelompok peningkatan kesadaran dan dari paham feminis gelombang kedua.99 Marecek et al. menegaskan bahwa konseling feminis berusaha untuk

96

Sairin, Sjafri; Semedi, Pujo & Hudfayana, Bambang (2001), “Pengantar Antropologi Ekonomi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ISBN: 979-9483-88-0, Maret 2002), 197.

97 Gross, F. “What is Feminist Theory?”, dalam C. Pateman dan E. Gross, Feminist Chalange:

Social and Political Theory,(Boston: Norteasten University Press), 190.

98

Juntunen, Cindy (1996), “Relationship Between a Feminist Approach to Career Counseling and Career Self-Effiacy Beliefs”, Journal of Employment Counseling Vol.33, September 1996, 131. 104 Enns, Carolyn Zerb;, Sinacore, Ada L.; Ancis, Julia R.; and Philips, Julia, Ibid, 451.

99

Rader, Jill; and Bilbert, Lucia Albino (2015), “The Egalitarian Relationship in Feminist Teraphy,

Phsycology of Woman Quarterly”, 29, No.4: 427, 2005, Academic Search Complete,


(29)

memberdayakan perempuan dan laki-laki dengan menyoroti persoalan sosialisasi gender dan sejauh mana peranan gender yang kaku itu menghalangi pertumbuhan klien dalam dunia pribadi dan profesional.100 Rader et al. menambahkan, pada usaha awal konseling feminis berfokus kepada penilaian pengalaman perempuan, seluruh perhatian terhadap kenyataan politikal mereka, dan sebuah advokasi untuk persoalan-persoalan unik mereka di dalam sistem patriarki yang biasanya mengabaikan atau menyebabkan persoalan-persoalan tersebut.101 Sementara itu Suzanne E. Degges-White et al. menegaskan bahwa teori konseling feminis berusaha untuk mengenal dan merekonsiliasi perbedaan-perbedaan mengenai gender yang bersinggungan dengan ras, kelas, orientasi seksual, dan konsep sosiologis lainnya di dalam konteks konseling dengan maksud untuk memberdayakan klien dan meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat keputusan demi memperkokoh kehidupan. Konseling feminis berfokus pada pemberdayaan perempuan dan membantu mereka menemukan cara untuk memecahkan stereotip dan beberapa peran tradisional perempuan yang mengasumsikan bahwa banyak masalah klien yang berasal dari budaya

patriakal.102

Dari beberapa pemikiran ini penulis berpendapat bahwa teori konseling feminis berfokus pada kekuatan klien serta memberdayakan klien untuk dapat bertumbuh menjadi seseorang yang mampu menyikapi perbedaanperbedaan

100 Rader, Jill; and Bilbert, Lucia Albino, Ibid, 427. 101

Degges-White, E. Suzanne; Colon, Bonnie R.; and Borzumato-Gainey, Christine (2015),

“Counseling Supervision within a Feminis Framework: Guidelines for Intervention”, Journal of Humanistic Counseling 52, No.1: 92, 2013, Academic Search Complete EBSCHO Host, Accessed, May 20, 2015, 52.

102 Surabhi (2014), “Feminism in the Therapeutic Space”, Teraphy Today 25, No.1, February 2014,


(30)

dalam dunia pribadi maupun profesional serta mampu mengambil keputusan untuk kebaikan hidupnya. Adapun tujuan konseling feminis adalah mengatasi ketidakseimbangan kekuatan.103 Dari pendapat ahli tersebut, penulis melihat perspektif konseling feminis bertujuan untuk kesetaraan yang harus ditunjukkan laki-laki dan perempuan dengan memiliki relasional satu dengan yang lain. Teori konseling feminis mendorong laki-laki dan perempuan mengeksplorasi potensi mereka dan siap untuk menyongsong perubahan. Permasalahan yang dihadapi para perempuan bekerja di luar rumah menuntut pendekatan konseling feminis untuk lebih membebaskan laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan diri mereka sendiri sesuai kualitasnya.

Dari pemakaian konseling feminis di atas, analisis ini penting untuk penulisan kajian perempuan rentenir dari perspektif konseling feminis ini.

2.5.1. Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis

Untuk memahami kondisi perempuan rentenir ini maka perlu pendampingan konseling berbasis feminis dimana tujuan konseling feminis adalah mendobrak kebekuan dan kekakuan epistemologi konseling dalam memahami kompleksitas masalah perempuan, serta memberi bantuan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang sama-sama luhur di sisi Tuhan.110 Menurut Enns, beberapa tujuan konseling feminis ialah pemberdayaan, menghargai dan meneguhkan keragaman, berjuang untuk perubahan daripada penyesuaian, kesetaraan, kemandirian, dan persamaan ketergantungan, perubahan

103

Bready, Peggy-Amoon, Ibid, 137. 110 Nurhayati, Eti, Ibid, 353.


(31)

sosial, pengasuhan diri, membantu individu dalam melihat diri mereka sebagai agen aktif bagi kehidupan mereka maupun orang lain.104 Menurut pemahaman Enns, konseling feminis itu menyoroti bidang yang lebih luas, yaitu kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik dan kekeluargaan. Konseling feminis itu bukan semata-mata hanya menyoroti konflik perseorangan/individu.105

Melihat hubungan rentenir dan nasabah ini bersifat eksploitasi, bahwa rentenir menikmati keuntungan atau tingkat suku bunga yang begitu tinggi dan menindas masyarakat, maka perlu diadakan pendampingan konseling feminis terhadap perempuan rentenir jemaat HKBP Salatiga yang beroperasi di wilayah pasar Jalan Sudirman Salatiga dengan memakai teori Enns. Konseli yang membutuhkan pendampingan mempunyai daya atau kekuatan dalam dirinya sendiri untuk berubah, bertumbuh dan menyembuhkan diri. Dengan demikian, pendampingan berperan sebagai katalisator proses perubahan, pertumbuhan dan penyembuhan. Pertolongan demikian bertujuan untuk menolong konseli agar dapat memfungsikan dirinya secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari. Pendampingan dan konseling tidak hanya berguna bagi orang yang didampingi itu sendiri, melainkan juga bagi orang di sekitarnya.106

Pendampingan tidak hanya melakukan tindakan penyembuhan, melainkan juga pencegahan, peningkatan, pemulihan, dan pemberdayaan. Sebuah layanan yang bersifat komprehensif. Pendamping dapat membantu menghilangkan rasa susah, marah, terkejut, bingung, tertekan, dan putus asa. Kemudian,

104 Corey G., Ibid, 235. 105

Ballou, Mary, (2006), “Critical Self Reflection Necessary but Not Sufficient”, International Journal of Reality Teraphy, Fall 2006 Vol.XXVI Number 1, 2006, 1.

106

Wiryasaputra, Totok S. (2006), “Ready to Care: Pendampingan dan Konseling Psikologi”, (Yogyakarta: Galangpress, ISBN: 979-3627-91-3, 2006), 71-72.


(32)

pendamping dapat menolong konseli menjadi pendamping bagi dirinya pada masa depan atau menolong orang di sekitarnya. Pendampingan menciptakan agen perubahan bagi konseli sendiri dan lingkungannya.107

Tujuan pendampingan pastoral adalah memberikan pelayanan kasih sebagai ungkapan iman sekaligus jawaban konkret atas pemanggilan hidup kristiani dengan kepedulian dan keprihatinan maupun perhatian kepada mereka yang menderita untuk meringankan beban psikisnya.108 Pendekatan konseling feminis yang muncul dari perspektif perkembangan manusia ini telah dirangkum oleh Jordan et al. (1991) dan Jordan (2000) dalam kerangka seri inti: 109

a. Orang-orang tumbuh melalui dan mengarah kepada hubungan sepanjang rentang kehidupan mereka

b. Gerakan yang lebih mengarah kepada mutualitas ketimbang keterpisahan disifati oleh kedewasaan fungsi

c. Perbedaan dan elaborasi relasional merupakan ciri pertumbuhan

d. Saling empati dan saling memberdayakan adalah inti dari hubungan yang menumbuhkan perkembangan

e. Dalam hubungan yang merangsang pertumbuhan, semua orang memberikan kontribusi dan tumbuh atau mendapatkan keuntungan; perkembangan

bukanlah jalan satu arah

f. Hubungan konseling ditandai oleh jenis mutualitas khusus g. Empati mutual adalah kendaraan untuk perubahan dalam terapi

107 Wiryasaputra, Totok S., Ibid, 73. 108

Engel, J. D. (2003), “Konseling Dasar dan Pendampingan Pastoral”, (Salatiga: Widya Sari Press Salatiga, 2003), 84.

109 McLeod, John (2003), “Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus”, (Jakarta: Kencana -


(33)

h. Keterlibatan nyata dan autentisitas konseling diperlukan untuk mengembangkan empati mutual

Jordan (1991) menunjukkan bahwa teori yang didominasi pria cenderung menekankan target pengembangan „kekuatan ego‟, yang ditandai dengan ikatan yang kuat antara self (diri) dan yang lain. Sebaliknya konsepsi feminis tentang hubungan diri lebih banyak berupa perasaan saling terhubung antar person. Hubungan ini dipertahankan melalui kemampuan untuk merespons orang lain secara empati, dan karena itu konsep empati merupakan elemen inti dalam pendekatan Stone Center. Dalam Teori Stone Center, empati dianggap sebagai karakteristik fundamental cara perempuan untuk mengetahui dan berhubungan.110

Menurut penulis, pria cenderung menekankan kekuatan ego, sedangkan feminis lebih menekankan empati di dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

110 McLeod, John, Ibid, 241.


(1)

kontribusi yang sangat signifikan dalam kegiatan ekonomi meskipun mereka mempunyai status sebagai ibu rumah tangga.96

Gerakan feminis sejak awal telah mencoba untuk menawarkan analisa yang mendalam tentang “apa artinya menjadi perempuan”, serta mempertanyakan dasar relasi sosial yang tercipta antara laki-laki dan perempuan, baik di dalam masyarakat maupun keluarga. Suatu perubahan pun terjadi, ketika kaum feminis menunjukkan teori-teori mereka untuk menerangkan otonomi perempuan, yakni hak perempuan untuk politik, sosial, ekonomi, dan penentuan diri secara

intelektual.97

Pemahaman konseling feminis memberi dukungan/kesempatan pada perempuan untuk berkarier dan mendorong pribadi perempuan itu agar berani untuk mengekspresikan diri.98 Menurut Carolyn Zerb Enns, feminisme adalah sebagai komitmen untuk menghilangkan segala bentuk penindasan di dalam ras, seks, heteroseksual, dan kelas.104 Jill Rader et al. mengemukakan bahwa konseling feminis merupakan sebuah pendekatan konseling yang relatif baru yang muncul pada sebuah lingkungan pergaulan tahun 1970an dari kelompokkelompok peningkatan kesadaran dan dari paham feminis gelombang kedua.99 Marecek et al. menegaskan bahwa konseling feminis berusaha untuk

96

Sairin, Sjafri; Semedi, Pujo & Hudfayana, Bambang (2001), “Pengantar Antropologi Ekonomi”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ISBN: 979-9483-88-0, Maret 2002), 197.

97 Gross, F. “What is Feminist Theory?”, dalam C. Pateman dan E. Gross, Feminist Chalange:

Social and Political Theory,(Boston: Norteasten University Press), 190.

98 Juntunen, Cindy (1996), “Relationship Between a Femin

ist Approach to Career Counseling and Career Self-Effiacy Beliefs”, Journal of Employment Counseling Vol.33, September 1996, 131. 104 Enns, Carolyn Zerb;, Sinacore, Ada L.; Ancis, Julia R.; and Philips, Julia, Ibid, 451.

99

Rader, Jill; and Bilbert, Lucia Albino (2015), “The Egalitarian Relationship in Feminist Teraphy,

Phsycology of Woman Quarterly”, 29, No.4: 427, 2005, Academic Search Complete, EBSCHO Host, Accessed, May 25, 2015, 427.


(2)

memberdayakan perempuan dan laki-laki dengan menyoroti persoalan sosialisasi gender dan sejauh mana peranan gender yang kaku itu menghalangi pertumbuhan klien dalam dunia pribadi dan profesional.100 Rader et al. menambahkan, pada usaha awal konseling feminis berfokus kepada penilaian pengalaman perempuan, seluruh perhatian terhadap kenyataan politikal mereka, dan sebuah advokasi untuk persoalan-persoalan unik mereka di dalam sistem patriarki yang biasanya mengabaikan atau menyebabkan persoalan-persoalan tersebut.101 Sementara itu Suzanne E. Degges-White et al. menegaskan bahwa teori konseling feminis berusaha untuk mengenal dan merekonsiliasi perbedaan-perbedaan mengenai gender yang bersinggungan dengan ras, kelas, orientasi seksual, dan konsep sosiologis lainnya di dalam konteks konseling dengan maksud untuk memberdayakan klien dan meningkatkan kemampuan mereka untuk membuat keputusan demi memperkokoh kehidupan. Konseling feminis berfokus pada pemberdayaan perempuan dan membantu mereka menemukan cara untuk memecahkan stereotip dan beberapa peran tradisional perempuan yang mengasumsikan bahwa banyak masalah klien yang berasal dari budaya

patriakal.102

Dari beberapa pemikiran ini penulis berpendapat bahwa teori konseling feminis berfokus pada kekuatan klien serta memberdayakan klien untuk dapat bertumbuh menjadi seseorang yang mampu menyikapi perbedaanperbedaan

100 Rader, Jill; and Bilbert, Lucia Albino, Ibid, 427. 101

Degges-White, E. Suzanne; Colon, Bonnie R.; and Borzumato-Gainey, Christine (2015), “Counseling Supervision within a Feminis Framework: Guidelines for Intervention”, Journal of Humanistic Counseling 52, No.1: 92, 2013, Academic Search Complete EBSCHO Host, Accessed, May 20, 2015, 52.

102 Surabhi (2014), “Feminism in the Therapeutic Space”, Teraphy Today 25, No.1, February 2014,


(3)

dalam dunia pribadi maupun profesional serta mampu mengambil keputusan untuk kebaikan hidupnya. Adapun tujuan konseling feminis adalah mengatasi ketidakseimbangan kekuatan.103 Dari pendapat ahli tersebut, penulis melihat perspektif konseling feminis bertujuan untuk kesetaraan yang harus ditunjukkan laki-laki dan perempuan dengan memiliki relasional satu dengan yang lain. Teori konseling feminis mendorong laki-laki dan perempuan mengeksplorasi potensi mereka dan siap untuk menyongsong perubahan. Permasalahan yang dihadapi para perempuan bekerja di luar rumah menuntut pendekatan konseling feminis untuk lebih membebaskan laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan diri mereka sendiri sesuai kualitasnya.

Dari pemakaian konseling feminis di atas, analisis ini penting untuk penulisan kajian perempuan rentenir dari perspektif konseling feminis ini.

2.5.1. Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis

Untuk memahami kondisi perempuan rentenir ini maka perlu pendampingan konseling berbasis feminis dimana tujuan konseling feminis adalah mendobrak kebekuan dan kekakuan epistemologi konseling dalam memahami kompleksitas masalah perempuan, serta memberi bantuan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang sama-sama luhur di sisi Tuhan.110 Menurut Enns, beberapa tujuan konseling feminis ialah pemberdayaan, menghargai dan meneguhkan keragaman, berjuang untuk perubahan daripada penyesuaian, kesetaraan, kemandirian, dan persamaan ketergantungan, perubahan

103

Bready, Peggy-Amoon, Ibid, 137. 110 Nurhayati, Eti, Ibid, 353.


(4)

sosial, pengasuhan diri, membantu individu dalam melihat diri mereka sebagai agen aktif bagi kehidupan mereka maupun orang lain.104 Menurut pemahaman Enns, konseling feminis itu menyoroti bidang yang lebih luas, yaitu kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik dan kekeluargaan. Konseling feminis itu bukan semata-mata hanya menyoroti konflik perseorangan/individu.105

Melihat hubungan rentenir dan nasabah ini bersifat eksploitasi, bahwa rentenir menikmati keuntungan atau tingkat suku bunga yang begitu tinggi dan menindas masyarakat, maka perlu diadakan pendampingan konseling feminis terhadap perempuan rentenir jemaat HKBP Salatiga yang beroperasi di wilayah pasar Jalan Sudirman Salatiga dengan memakai teori Enns. Konseli yang membutuhkan pendampingan mempunyai daya atau kekuatan dalam dirinya sendiri untuk berubah, bertumbuh dan menyembuhkan diri. Dengan demikian, pendampingan berperan sebagai katalisator proses perubahan, pertumbuhan dan penyembuhan. Pertolongan demikian bertujuan untuk menolong konseli agar dapat memfungsikan dirinya secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari. Pendampingan dan konseling tidak hanya berguna bagi orang yang didampingi itu sendiri, melainkan juga bagi orang di sekitarnya.106

Pendampingan tidak hanya melakukan tindakan penyembuhan, melainkan juga pencegahan, peningkatan, pemulihan, dan pemberdayaan. Sebuah layanan yang bersifat komprehensif. Pendamping dapat membantu menghilangkan rasa susah, marah, terkejut, bingung, tertekan, dan putus asa. Kemudian,

104 Corey G., Ibid, 235.

105 Ballou, Mary, (2006), “Critical Self Reflection Necessary but Not Sufficient”, International Journal

of Reality Teraphy, Fall 2006 Vol.XXVI Number 1, 2006, 1.

106

Wiryasaputra, Totok S. (2006), “Ready to Care: Pendampingan dan Konseling Psikologi”, (Yogyakarta: Galangpress, ISBN: 979-3627-91-3, 2006), 71-72.


(5)

pendamping dapat menolong konseli menjadi pendamping bagi dirinya pada masa depan atau menolong orang di sekitarnya. Pendampingan menciptakan agen perubahan bagi konseli sendiri dan lingkungannya.107

Tujuan pendampingan pastoral adalah memberikan pelayanan kasih sebagai ungkapan iman sekaligus jawaban konkret atas pemanggilan hidup kristiani dengan kepedulian dan keprihatinan maupun perhatian kepada mereka yang menderita untuk meringankan beban psikisnya.108 Pendekatan konseling feminis yang muncul dari perspektif perkembangan manusia ini telah dirangkum oleh Jordan et al. (1991) dan Jordan (2000) dalam kerangka seri inti: 109

a. Orang-orang tumbuh melalui dan mengarah kepada hubungan sepanjang rentang kehidupan mereka

b. Gerakan yang lebih mengarah kepada mutualitas ketimbang keterpisahan disifati oleh kedewasaan fungsi

c. Perbedaan dan elaborasi relasional merupakan ciri pertumbuhan

d. Saling empati dan saling memberdayakan adalah inti dari hubungan yang menumbuhkan perkembangan

e. Dalam hubungan yang merangsang pertumbuhan, semua orang memberikan kontribusi dan tumbuh atau mendapatkan keuntungan; perkembangan

bukanlah jalan satu arah

f. Hubungan konseling ditandai oleh jenis mutualitas khusus g. Empati mutual adalah kendaraan untuk perubahan dalam terapi

107 Wiryasaputra, Totok S., Ibid, 73.

108 Engel, J. D. (2003), “Konseling Dasar dan Pendampingan Pastoral”, (Salatiga: Widya Sari Press

Salatiga, 2003), 84.

109 McLeod, John (2003), “Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus”, (Jakarta: Kencana -


(6)

h. Keterlibatan nyata dan autentisitas konseling diperlukan untuk mengembangkan empati mutual

Jordan (1991) menunjukkan bahwa teori yang didominasi pria cenderung menekankan target pengembangan „kekuatan ego‟, yang ditandai dengan ikatan yang kuat antara self (diri) dan yang lain. Sebaliknya konsepsi feminis tentang hubungan diri lebih banyak berupa perasaan saling terhubung antar person. Hubungan ini dipertahankan melalui kemampuan untuk merespons orang lain secara empati, dan karena itu konsep empati merupakan elemen inti dalam pendekatan Stone Center. Dalam Teori Stone Center, empati dianggap sebagai karakteristik fundamental cara perempuan untuk mengetahui dan berhubungan.110

Menurut penulis, pria cenderung menekankan kekuatan ego, sedangkan feminis lebih menekankan empati di dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

110 McLeod, John, Ibid, 241.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB I

0 1 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014024 BAB IV

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Rentenir dari Perspektif Konseling Feminis

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Single Parent terhadap Anak dari Perspektif Konseling Feminis di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania T2 752014006 BAB II

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB II

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB IV

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis T2 752014017 BAB V

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengampunan Dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari Perspektif Konseling Feminis

0 0 14