this PDF file Rekonstruksi Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79PUUXII2014 | Hamdi | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 1 PB

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SETELAH
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 79/PUU-XII/2014
RECONSTRUCTION OF REGIONAL REPRESENTATIVE COUNCIL AFTER THE
DECISSION OF CONSTITUTIONAL LAW NO 79/PUU-XII/2014

Mirja Fauzul Hamdi
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jalan Putroe Phang No. 1 Darussalam, Banda Aceh 23111
E-mail: mirjafauzulhamdi@gmail.com
Diterima: 03/02/2018; Revisi: 22/03/2018; Disetujui: 31/03/2018
DOI: https://doi.org/10.24815/kanun.v20i1.9767
ABSTRAK
Keberadaan DPD yang diatur berdasarkan Undang-Undang No. 17/2014 masih dinilai
diskriminatif dalam pelaksanaan kewenangan, khususnya bidang legislasi dibandingkan
dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya pengujian undang-undang dilakukan oleh

DPD ditujukan guna menjamin kemandirian lembaga sebagaimana amanah UndangUndang Dasar Tahun 1945. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUUXII/2014 merupakan suatu bentuk rekonstruksi hukum yang dijadikan sebagai dasar
hukum bagi DPD dalam menjalan kewenangan bidang legislasi.
Kata Kunci: Rekonstruksi, Dewan Perwakilan Daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi
ABSTRACT
The existence of The Regional Representative Council that regulated by Law No.
17/2014 remain discriminative in exercising their authority, particulary in legislative
function and compare to the House of representative. The Regional Representative
Council has conducted a legal review to ensure the independency of it institution as
regulate by Constitution 1945. Based on the decission of the Constitutional Court No.
79/PUU-XII/2014 as the legal standing for DPD in exercising their legislative
authority.
Key

Words:

Reconstruction, Regional
Constitutional Court.

Representative


Council,

Decision

of

PENDAHULUAN
Kekuasaan negara terdiri dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Secara umum
penyelenggaraan kelembagaan negara di Indonesia mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan
dengan mengakomodir checks and balances. Prinsip ini diselenggarakan pascaamandemen UndangUndang Dasar 1945. Alasan utama amandemen adalah penegakan supremasi hukum, penegakan
Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482.
Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

hak asasi manusia, dan pembatasan kekuasaan presiden. Alasan tersebut muncul pada masa

reformasi diakibatkan orientasi pada era orde baru, penyelenggaraan negara terlibat korupsi, kolusi,
dan nepotisme, sehingga dibutuhkan wahana baru guna memulihkan kondisi tersebut. Selain itu,
pada era orde baru kekuasaan presiden seperti tidak tak terbatas.1
Upaya yang dilakukan saat pembahasan amandemen UUD 1945 adalah pembentukan
beberapa lembaga baru yang dinilai dapat menanggulangi permasalahan penyelenggaraan negara.
Beberapa lembaga baru antara lain Mahkamah Konstitusi (kekuasana kehakiman), Komisi Yudisial
(pengawasan hakim), dan Dewan Perwakilan Daerah (legislatif). Khusus keberadaan DPD,
diharapkan mampu mengakomodir aspirasi daerah yang selama ini belum maksimal. Salah satu
alasan pembentukan DPD adalah mewujudkan sistem legislasi yang responsif dan memihak pada
kepentingan rakyat sesuai dengan tuntutan reformasi.
Menurut Ni Kadek Riza Sartika Setiawati dan Nyoman Mas Aryani, latar belakang
dibentuknya DPD adalah: (1) menguatkan ikatan daerah dalam bingkai Negara Indonesia serta
memperteguh persatuan kebangsaaan di setiap daerah; (2) peningkatan akomodasi dan aspirasi dan
kepentingan daerah dalam kebijakan nasional; (3) melaksanakan percepatan demokrasi,
pembangunan, dan kemajuan daerah, dengan mengoptimalkankan peran dan fungsi utusan daerah
yang awalnya merupakan fraksi dari lembaga MPR.2
Pembentukan DPD sebagai bagian lembaga legislatif juga diakibatkan karena hasil
pembahasan amandemen UUD 1945 menentukan tentang posisi dari MPR pasca reformasi tidak
lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Namun MPR telah menjadi forum (join
session) bagi DPR dan DPD (Pasal 1 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). Forum bersama ini


mencerminkan sistem kekuasaan legislatif di Amerika Serikat dimana senat dan house of
1

Anonimous, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah, (Risalah
Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah Perba ntuan Dan Kompilasi Tanpa Ada
Opini), Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Jakarta, tt., hlm. 2.
2
Ni Kadek Riza Sartika Setiawati, Nyoman Mas Aryani, Kewenangan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2011, hlm. 3.

184

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

representative berkumpul untuk membentuk sebuah congress. Kedudukan DPD disatu sisi


merupakan regional representation layaknya senat di Amerika Serikat.
Secara regulatif, DPD diatur dalam Pasal 22C UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa
anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, jumlahnya sama dan tidak lebih
dari seperti anggota DPR. DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Berdasarkan Pasal 22D UUD Tahun 1945, kewenangannya DPD meliputi: Pertama, DPD
dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat
dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama. Ketiga, DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai:
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya menyebutkan bahwa fungsi legislatif menyangkut
empat bentuk kegiatan sebagai berikut:

a.
b.
c.
d.

Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initation);
pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval)
pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional
dan dokumen atau persetujuan internasional lainnya (binding decision making on
international agreement and treaties or other binding document).3
3

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II , Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 34.

185

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.


Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Guna mengakomodir keempat fungsi di atas, maka ditentukanlah UU yang mengakomodir
kedudukan dan kewenangan DPD yang terakhir disahkannya UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR
dan DPD, dan DPRD. UU ini menentukan sistem kamar yang dianut di Indonesia mengadopsi
sistem dua kamar (bikameral system). Secara regulatif, Bagir Manan menyebutkan bahwa
kewenangan yang dimiliki oleh DPD baik diatur dalam UUD maupun UU No. 17/2014 dinilai
masih “berat sebelah”. Hal ini disebabkan fungsi legislatif secara hukum masih dipegang oleh DPR
berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang
kekuasaan membentuk undang-undang”. Menyimak ketentuan ini jelas bahwa kekuasaan
membentuk undang-undang tetap dimiliki oleh DPR. DPD hanya co-legislator belaka.4
Penerapan bikameral system di Indonesia masih sangat lunak, dimana fungsi dan wewenang
DPD dibatasi hanya pada kepentingan kewilayahan (daerah) seperti otonomi daerah, perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah, penggabungan dan pemekaran daerah, hubungan antara pusat
dan daerah. Menurut Ni’matul Huda, pembatasan fungsi dan wewenang dapat mendiskriminasi
keberadaan dan kewenangan DPD untuk lebih berpartisipasi secara berkesinambungan menyangkut
kondisi kebangsaan dan kenegaraan, yang akibatnya mendorong ketidakefektifan parlemen dalam
merumuskan dan mengartikulasikan harapan dan keinginan masyarakat.5

Berdasarkan uraian di atas dan ketimpangan DPD dalam pelaksanaan kewenangannya
berdasarkan regulasi yang ada, maka anggota perwakilan DPD melakukan upaya hukum melalui
mekanisme judicial review kepada MK terkait beberapa pasal dalam UU No 17/2014. Perwakilan
tersebut diantaranya yaitu Irman Gusman, La Ode Ida, dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas selaku Ketua
dan Wakil Ketua DPD dengan registrasi perkara No. 92/PUU-X/2012 6 yang kemudian disusul
4

Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Ketiga, FH-UII Press, Yogyakarta, 2005,

hlm. 20.
5
6

251.

186

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 31.
Dalam putusan ini, MK mengabulkan permohonan sebagian. Lihat Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, hlm.


Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

dengan Perkara No. 79/PUU-XII/2014 dengan pemohon yang sama. Adapun pasal yang diuji dalam
perkara No. 79/PUU-XII/2014 yaitu Pasal 71 huruf c, Pasal 165, Pasal 170 Ayat (5), Pasal 171 Ayat
(1) dan Pasal 249 huruf b UU MD3.7
Menurut pemohon, alasan pengujian UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
adalah optimalisasi fungsi legislasi Pemohon sebagaimana mandat UUD 1945 dalam pengajuan,
pembahasan, dan pemberian pertimbangan atas RUU tertentu menjadi sangat penting. Hal tersebut
selain karena untuk mekanisme check and balances dalam lembaga perwakilan, juga untuk
menghindari apa yang disebut AF. Polllard bahwa DPR atau apapun sebutannya, ternyata lahirnya
bukan karena sistem demokrasi itu sendiri, melainkan karena kelicikan sistem feodal
(representation was not the off spring of democratic theory, but an incident of the feodal system)”.8
Alasan permohonan pengujian UU No. 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah
perintah pendelegasian sebagaimana termaktub dalam Pasal 22A UUD 1945 berbunyi: “ketentuan
lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. UUD
1945 menggunakan frasa “diatur dengan”, maka dengan demikian sepanjang paragraf 1

pembentukan undang-undang Pasal 162 dengan Pasal 174 UU MD3 bertentangan dengan UUD
1945 karena seharusnya pembentuk undang-undang tidak mencampurkan materi muatan yang
mengatur pembentukan undang-undang dalam UU MD3. Tata cara pembentukan undang-undang
seharusnya hanya diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011.9
Persidangan tersebut, ada empat pasal yang diterima Majelis Hakim MK. Pertama, Pasal 71
huruf c UU No. 27/2009 dimaknai membahas RUU yang diajukan presiden, DPR atau DPD yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
7

Zaki Ulya, Kontradiksi Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Ditinjau Dari Segi Kemandirian Lembaga
Dalam Sistem Bikameral, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. 11, No. 2, Tahun 2016, hlm. 253.
8
Lihat Putusan MK No. 92/PUU-X/2012, hlm. 8. Lihat juga, Zahratul Idami, Kewenangan Dewan Perwakilan
Daerah Setelah Adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 16,
No. 2, 2014, hlm. 303-327.
9

Lihat Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014, hlm. 26.

187


Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi lain serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Selain itu, dalam pembahasan tersebut DPD diikutsertakan sebelum
mengambil persetujuan bersama antara DPR dengan presiden. Kedua, Pasal 166 ayat (2) UU No.
27/2009 dimaknai RUU yang dimaksud sebagaimana pada ayat (1) beserta naskah akademik
disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD pada pimpinan DPR dan presiden. Ketiga, Pasal
250 ayat (1) UU No. 27/2009 ialah dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan
dalam program dan kegiatan disampaikan pada presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai
ketentuan perundang-undang yang berlaku. Keempat, Pasal 277 ayat (1) UU No. 27/2009 dimaknai
RUU disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPD pada pimpinan DPR dan presiden.10
Adapun amar putusan MK No. 79/PUU-XII/2014 menyatakan Pasal 71 huruf c, Pasal 162
Ayat (2), Pasal 250 Ayat (1), Pasal 277 Ayat (1) UU No. 17/2014 diterima oleh mahkamah dan
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Merujuk pada hasil putusan Mahkamah
Konstitusi, baik Putusan No. 92/PUU-X/2012 maupun Putusan No. 79/PUU-XII/2014 merupakan
sebuah langkah dan upaya yang dilakukan oleh DPD untuk memperkuat kewenangan dan
kedudukannya dalam bidang legislasi. Namun, hingga saat ini realisasi Putusan No. 79/PUUXII/2014 belum dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengubah ketentuan pasal yang telah
dibatalkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini ingin menjawab dua masalah: (1) Apakah
materi amar putusan MK dapat dijadikan sebagai rekonstruksi hukum dalam penguatan kapasitas
kewenangan DPD? (2) Bagaimanakah materi muatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah
dalam mengakomodir putusan MK terkait perubahan UU No. 17/2014?

10

Berita,
Poin
Putusan
MK
Soal
Permohonan
DPD
Uji
Materi
UU
MD3,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=12132#.WZkTxtIjHDc, diakses pada tanggal
19 Agustus 2017.

188

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini terbatas pada kajian putusan pengadilan in concreto, dalam hal ini Putusan MK.
Berdasarkan putusan tersebut, secara yuridis-normatif ingin dianalisis peluang dilakukan
rekonstruksi hukum, termasuk materi muatan yang harus diperhatikan pemerintah terkait putusan
mahkamah tersebut.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1) Rekonstruksi Hukum Penguatan Kapasitas Kewenangan DPD
Menurut terminologi bahasa, rekonstruksi adalah pengembalian seperti semula, penyusunan
kembali. 11 Kamus politik menyebutkan, rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ke tempatnya
yang semula, penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun
kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula.12 Menurut James P. Chaplin, reconstruction
adalah suatu metode penafsiran data psikoanalitis yang dilakukan sedemikian rupa guna
menjelaskan perkembangan pribadi yang telah terjadi, beserta makna materinya yang sekarang ada
bagi individu yang bersangkutan.

13

Ali Mudhofir menyatakan bahwa rekonstruksionisme

merupakan aliran dalam filsafat pendidikan yang bercirikan radikal. Bagi aliran ini persoalanpersoalan pendidikan dan kebudayaan dilihat jauh kedepan dan bila perlu diusahakan terbentuknya
tata peradaban yang baru.14
Rekonstruksi memiliki arti bahwa “re” berarti pembaharuan, sedangkan “konstruksi”
memiliki arti suatu sistem atau bentuk.15 Menurut Yusuf Qardhawi, rekonstruksi itu mencakup tiga
poin penting, yaitu pertama, memelihara inti bangunan asal dengan tetap menjaga watak dan
11

Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008,
hlm. 1189.
12
BN. Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. .469.
13
James P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 421.
14
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi , Gajahmada University Press, Yogyakarta,
1996, hlm. 213.
15
Ibid.

189

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

karakteristiknya. Kedua, memperbaiki hal-hal yang telah runtuh dan memperkuat kembali sendisendi yang telah lemah. Ketiga, memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah watak dan
karakteristik aslinya. Rekonstruksi dapat dipahami sebagai suatu upaya pembaharuan bukanlah
menampilkan sesuatu yang benar-benar baru. Namun, lebih tepatnya merekonstruksi kembali
kemudian menerapkannya dengan realita saat ini.16
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan rekonstruksi adalah pembaharuan sistem atau
bentuk. Berhubungan dengan rekonstruksi perencanaan program legislasi maka yang perlu
dibaharui adalah sistem perencanaan yang lama digantikan dengan aturan main yang baru.
Secara umum pelaksanaan rekonstruksi suatu sistem dilakukan dengan perubahan suatu
regulasi maupun melalui putusan peradilan. Apabila dicermati, bila sistem hukum dan pranata
peradilan dibutuhkan untuk menyelesaikan perbedaan nilai atau konflik kepentingannya adalah
sudah ada suatu hal untuk beraksi atau digunakan oleh pencari keadilan dengan nilai-nilai
kekiniannya yang diterima mayoritas anggota masyarakat melalui sistem perwakilan dan debat
publik yang luas. Hal yang menjadi perhatian utama di Indonesia selama ini, sekaligus juga yang
menjadi kelemahan adalah adalah bagaimana menentukan prioritas perubahan hukum nasional dan
institusi hukum.17
Pembentukan beberapa lembaga negara baru pasca reformasi merupakan suatu langkah
perubahan penyelenggaraan negara agar dapat menjamin hak warga negaranya secara adil.
Indonesia sebagai negara hukum yang demokrasi, menganut kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan
hukum. Segala bentuk tindakan warga negara yang didalamnya juga terdapat penyelenggara negara
mempunyai ketentuan yang sama didalam hukum negara, dengan tidak membedakan status dan
sosialnya, sehingga keadilan dan kedaulatan hukum dapat dirasakan secara bersama serta
16

Yusuf Qardhawi, Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih , Al-Fiqh Al-Islâmî bayn Al-Ashâlah wa At-Tajdîd,
Tasikmalaya, 2014, hlm. 212.
17
Anonimious, “Prioritas Rekonstruksi Hukum Nasional”, dikutip dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol909/prioritas-rekonstruksi-hukum-nasional, diakses pada tanggal 21 Agustus 2017. Bandingkan Sulaiman,
Rekonseptualisasi Hukum Indonesia , Pandecta Research Law Jurnal, Vol. 12 No. 2, 2017, hlm. 98-110.

190

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

kedaulatan rakyat tercipta dengan baik yang mengarah kepada kesejajaran dihadapan hukum.
Konsep Negara hukum adalah hierarki tatanan norma yang bermuara kepada UUD tahun 1945 yang
menjadi sumber dari segala sumber hukum dan norma kemasyarakatan sebagai acuan konstitusi.
Begitu juga terhadap pelaksanaan dari negara hukum yang demokrasi harus bersumber dari UUD
1945, sehingga dapat diterapkan dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (check and
balance system).18

Suatu peraturan perundang-undangan itu penerapannya tidak selalu jelas dan tidak selalu
lengkap. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan: “pengadilan dalam hal ini hakim pada asasnya dilarang untuk menolak memeriksa,
mengadili, dan memutus setiap perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Alasannya karena ada asas
hukum bahwa: Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Apabila hakim tidak dapat
menemukan hukumnya, maka hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.19
Pada hakekatnya tugas dari seorang hakim dapat diminta untuk mempertimbangkan mengenai
suatu kebenaran atas peristiwa atau fakta yang diajukan kepadanya dan kemudian menentukan
hukumnya, lalu memberikan putusan terhadap perkara tersebut. Untuk sampai pada tahap putusan
suatu perkara, hakim harus melalui prosedur penemuan hukumnya. Tahapan pertama yang harus
dilakukan seorang hakim adalah mengevaluasi peristiwa kongkret. Dimana peristiwa konkrit
tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, baru hakim dapat menyatakan benar terjadinya suatu
peristiwa konkrit. Setelah peristiwa konkrit tersebut dikonstatir, tahap selanjutnya adalah
mengkualifisir peristiwa konkrit tersebut. Mengkualifisir peristiwa berarti menilai peristiwa yang
18

Hayat, Keadilan sebagai Prinsip Negara Hukum: Tinjauan Teoretis Dalam Demokrasi, Padjadjaran Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 2, 2015, hlm. 405.
19

Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 821.

191

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk hubungan hubungan hukum apa, atau menemukan
hukumnya bagi peristiwa yang telah dikonstatir. Pada tahap ini dimulai penemuan hukum
(rechtsvinding). Jadi penemuan hukum merupakan kegiatan yang runtut dan saling terkait dengan
kegiatan pembuktian. Pada tahapan akhir, seorang hakim harus dapat mengkonstituir atau memberi
konstitusinya. Mengkonstituir sebenarnya suatu proses yang logis, silogisme, yaitu menerapkan
suatu peraturan hukumnya terhadap peristiwa atau fakta yang dihadapi, sedangkan putusan hakim
merupakan konklusinya. Ini berarti hakim memberikan putusan kepada yang bersangkutan (para
pihak).20
Pada umumnya dalam persidangan terdapat kesenjangan yang terjadi, sehingga harus disiasati
oleh hakim. Tindakan untuk menyiasati kesenjangan tersebut dikenal dengan penemuan hukum
(rechtsvinding). Dalam kaca mata penganut legisme, kesenjangan merupakan anomali dalam
penegakan hukum. Untuk itu, hakim disarankan untuk tidak memelihara anomali tersebut. Jika
terjadi anomali yang tidak mungkin ditoleransi lagi, maka tugas pembentuk undang-undanglah
untuk merevisi undang-undang tersebut.21
Menurut C.F. Strong yang membagi verfassunganderung ke dalam beberapa cara yang
umumnya ditentukan dalam konstitusi di pelbagai sistem ketatanegaraan. Cara-cara perubahan
konstitusi secara formal menurut Strong tersebut ialah: (a) by the ordinary legislature but under
certain restrictions, perubahan melalui lembaga legislatif biasa tetapi melalui aturan-aturan tertentu,

misalnya oleh Indonesia; (b) by the people through a referendum, perubahan konstitusi yang
dilakukan dengan persetujuan rakyat (referendum) melalui pemungutan suara, terjadi misalnya pada
masa peralihan republik keempat Prancis menuju konstitusi republik kelima di bawah pimpinan
Jenderal Charles de Gaulle; (c) by a majority for all units of a federal state, sistem yang
Abner M. Napitupulu, “Metode Penemuan Hukum Oleh Hakim Sebelum Penjatuhan Vonis”, http://abbnerabbnerblog.blogspot.co.id/2015/02/m-etode-p-enemuan-h-ukum-o-leh-h-akim-s.html, diakses pada tanggal 22 Agustus
2017.
21
Arif Hidayat, Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim Dalam Putusan Pengadilan , Jurnal Pandecta, Vol.
8. No. 2. Juli 2013, hlm. 154.
20

192

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

menentukan perubahan konstitusinya melalui suara-suara pada negara-negara bagian pada sebuah
negara federal, terjadi misalnya pada Amerika Serikat; (d) by special convention, konvensi yang
dimaksudkan dalam bagian ini bukanlah sebuah kebiasaan (convention) ketatanegaraan, melainkan
adalah sebuah lembaga khusus (special convention).22
Adapun kaitannya dengan permasalahan yang dikaji dapat dilihat bahwa permasalahan
kontradiksi kewenangan DPD yang lebih kecil dari pada Dewan Perwakilan Rakyat didasarkan
pada perbedaan pemahaman mengenai pengaturan dalam konstitusi, khususnya Pasal 22D UUD
NRI Tahun 1945. Sehingga manifestasi pengaturan lebih lanjut dalam bentuk undang-undang
khususnya yaitu UU No. 17/2014 banyak menimbulkan problematika penyelenggaraan
kewenangan, khususnya DPD.
Apabila dikaji berdasarkan regulasi yang ada, DPD mempunyai fungsi dan kewenangan yang
terbatas. Kewenangan tersebut berkaitan dengan pengajuan RUU tertentu, pengawasan pelaksanaan
UU, serta fungsi pertimbangan. Pada prakteknya, fungsi dan kewenangan tersebut dinilai berjalan
tidak efektif sesuai dengan tujuan awal pendirian DPD. Dalam hal pengajuan RUU tertentu
misalnya, DPD dalam melaksanakan fungsi legislasi masih bergantung pada DPR, apakah
pengajuan itu dapat diteruskan atau atau hanya berhenti menjadi usulan semata. Hal ini dikarenakan
tidak adanya legitimasi yuridis DPD guna menyusun RUU khusus bersifat kedaerahan. Jika ada,
peran tersebut hanya berhenti sampai pada pengajuan RUU saja.23
Terdapat tiga penyebab utama yang menyebabkan DPD belum optimal dan efektif
keberadaannya dalam konstelasi politik ketatanegaraan Indonesia. Pertama, sebagai lembaga negara
yang baru DPD belum dapat menemukan format kerja dan struktur kelembagaan yang memadai.
Hal ini menyebabkan keselarasan, kebutuhan strategis dan percepatan kinerja kelembagaan yang

22

Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan, Konstitusi Sembilan Negara , PT. Bina Aksara,
Jakarta, 1987, hlm. 15.
23
Masnur Marzuki, Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD dan Upaya Mengefektifkan Keberadaannya, Jurnal
Hukum Vol. 15 No. 1, Januari 2008, hlm. 85.

193

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

ideal belum terwujud. Kedua, DPD berkomposisikan anggota-anggota yang notabene adalah wajah
baru dalam dunia politik meskipun beberapa nama sudah lama berkecimpung dalam perpolitikan
nasional sehingga cukup menyulitkan ketika berhadapan dengan kompleksitas masalah yang sedang
dan akan dihadapi. Ketiga, kendala yuridis konstitusional baik UUD Tahun 1945 dan UU Susduk
yang menghadapkan DPD pada kenyataan bahwa lembaga ini tidak memiliki fungsi parlemen yang
selayaknya yakni fungsi legislasi.24
Sebagaimana diuraikan dalam alasan permohonan dalam Putusan MK No. 97/PUU-XII/2014
bahwa pemohon memiliki kewenangan legislasi diantaranya berupa kewenangan untuk dapat
mengajukan RUU, selanjutnya disebut RUU, yang berkaitan dengan bidang-bidang tertentu kepada
DPR. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22D ayat (1) maupun ayat (2) UUD 1945.25
Pemohon juga beranggapan bahwa secara kelembagaan negara tentunya memerlukan
kepastian hukum atas tegaknya hukum. Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) dan (2) yang dikuatkan oleh
Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 mempunyai kewenangan konstitusional untuk mengajukan RUU
dan ikut membahas RUU. Sebagian materi dari muatan UU MD3 adalah mengatur wewenang,
tugas, kelembagaan dan tatacara pengajuan dan pembahasan RUU dengan demikian pemohon
mempunyai kepentingan terhadap pengujian UU a quo dan terdapat hubungan pertautan yang
langsung antara pemohon dengan UU yang dimohonkan untuk diuji.26
Adapun amar putusan MK menyebutkan bahwa: (a) menolak permohonan provisi pemohon;
(b) permohonan pengujian formil pemohon tidak dapat diterima; (c) mengabulkan permohonan
pemohon untuk sebagian.
Berdasarkan amar putusan tersebut maka berubahlah kewenangan DPD khususnya dalam
bidang legislasi dan fungsi yang terikat dengan kelembagaan DPD. Sehingga poin penting dalam

24

Anonimous, Kerja Politik Untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Daerah; Rencana Kerja Strategis Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia , Sekretariat Jenderal DPD, Jakarta, 2006, hlm. 31.
25
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XII/2014, hlm. 14
26
Ibid, hlm. 15

194

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

memaksimalkan peran DPD dalam prolegnas yaitu melalui kebiasaan ketatanegaraan/konvensi.
Menurut Wheare, tradisi dan kebiasaan atau usages and convention merupakan tradisi atau
konvensi yang dapat mengubah konstitusi. Perubahan konstitusi berdasarkan konvensi bukan
bermaksud menambah, mengurangi, atau mengganti isi konstitusi, tetapi hanya mengubah
pelaksanaan suatu kaidah konstitusi dalam praktik ketatanegaraan. Wheare juga menambahkan
bahwa tradisi dan kebiasaan dapat bersifat dalam waktu yang lama atau dalam waktu singkat berupa
kesepakatan antara kedua belah pihak (express agreement).27
Dengan diperkuatkannya hak dan kewenangan DPD ini, dapat meningkatkan kinerja wakil
daerah dengan baik dan berjalan dengan lancar sesuai kaidah yang ada dan dapat meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan di suatu daerah dengan merata dan adil, juga penguatan
kewenangan tersebut dilakuakan agar DPD dapat memberikan aspirasi besar, berperan aktif lebih
besar lagi di pusat.
Rekonstruksi hukum yang dapat dipahami dalam kasus ini yaitu terjadinya perubahan regulasi
kewenangan DPD setelah putusan MK. Dimana MK memberikan peluang bagi DPD
memaksimalkan kewenangannya khusus dalam bidang legislasi. Selain itu, guna menjalankan amar
putusan tersebut tentunya dengan menerapkan convention/kebiasaan ketatanegaraan khususnya
dalam praktek legislasi yang diharuskan terlibatnya DPD baik dalam skala pengajuan rancangan
maun pembahasan suatu undang-undang yang melibatkan bidang terkait kewenangan DPD.

2) Materi Muatan yang Harus Diperhatikan Pemerintah
Pasca diberlakukannya Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014 memberikan dampak baru secara
kelembagaan bagi DPD. Dimana putusan tersebut memberikan jaminan kepastian hukum bagi DPD
dalam pelaksanaan kewenangannya khusus bidang legislasi baik tahap usul RUU maupun
pembahasannya.
27

Zaki Ulya, Op., Cit., hlm. 266.

195

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Prospek kemandirian kelembagaan DPD dengan dasar Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
menguatkan putusan sebelumnya yaitu Putusan MK No. 92/PUU-X/2012. Berikut adalah beberapa
poin penting rekonstruksi hukum yang dapat dijadikan perhatian bagi pemerintah dalam merevisi
UU No. 17/2014 pasca putusan MK No. 79/PUU-XII/2014. Poin tersebut dapat dilihat dalam tabel
di bawah ini:
Tabel 1.
Rekonstruksi Hukum Pengaturan Kewenangan DPD Pasca Putusan MK
UU No. 17/2014
Pasal 71 huruf c:
Membahas
RUU
yang
diajukan oleh Presiden atau
DPR yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan
daerah,
pengelolaan
sumberdaya
alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden.
Pasal 166 ayat (2):
RUU sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beserta naskah
akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan
DPD kepada pimpinan DPR.
Pasal 250 ayat (1):
Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 249,
DPD menyusun anggaran
yang dituangkan dalam

196

Putusan MK No. 79/PUUXII/2014
Pasal 71 huruf c:
Membahas RUU yang diajukan oleh Presiden atau DPR
atau DPD yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber dayaalam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah,
dengan
mengikutsertakan
DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden.
Pasal 166 ayat (2):
RUU sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) beserta naskah
akademik disampaikan secara
tertulis oleh pimpinan DPD
kepada pimpinan DPR dan
Presiden.
Pasal 250 ayat (1):
Dalam
melaksanakan
wewenang
dan
tugas
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 249, DPD memiliki
kemandirian menyusun ang-

Rekonstruksi Hukum
Poin rekonstruksi hukum
Pasal 71 huruf c:
Pembahasan rancangan yang
dapat dibahas adalah RUU
yang diusulkan oleh Presiden, DPR atau DPD.

Poin rekonstruksi hukum
Pasal 166 ayat (2):
RUU dan naskah akademik
yang diusulkan oleh DPD
disampaikan kepada pimpinan DPR dan Presiden oleh
DPD
Poin rekonstruksi hukum
Pasal 250 ayat (1):
Dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya DPD
menurut amar putusan Mahkamah Konstitusi mempu-

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

program dan kegiatan sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 277 ayat (1):
RUU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 276 ayat (3)
beserta naskah akademik
disampaikan dengan surat
pengantar pimpinan DPD
kepada pimpinan DPR dan
tembusan kepada Presiden.

garan yang dituangkan dalam
program dan kegiatan disampaikan kepada presiden untuk
dibahas bersama DPR sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 277 ayat (1):
RUU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 276 ayat (3)
beserta naskah akademik
disampaikan dengan surat
pengantar pimpinan DPD
kepada pimpinan DPR dan
Presiden.

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

nyai kemandirian kelembagaan menurut peraturan
perundang-undangan.

Poin penting rekonstruksi
hu-kum dalam pasal 277 ayat
(1) yaitu melibatkan Presiden
dalam penyampaian naskah
RUU yang diusul oleh DPD.

Amar putusan MK mengisyaratkan bahwa DPD memiliki kemandirian lembaga yang
notabene dijamin dalam konstitusi dan kemandirian tersebut dikurangi dalam UU No. 17/2014.
Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014 setidaknya memberikan harapan baru bagi DPD terkait
kedudukannya yang selama ini “seperti” di bawah DPR.
Berdasarkan asas hukum acara MK menyebutkan bahwa putusan yang ditetapkan oleh MK
bersifat final dan mengikat serta berlaku umum, menyeluruh ke semua pihak (erga omnes). Dilihat
dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu declaratoir ,
constitutief, dan condemnatoir . Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa

yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu
benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau
menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang
berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan
yang menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi. Secara umum putusan MK bersifat
declaratoir dan constitutief. Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan

sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara

197

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

pengujian UU, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang
menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat
yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan
dan menciptakan keadaan hukum baru.28
Sifat putusan MK tersebut mengikat ke dalam dan keluar sehingga pemerintah dan
masyarakat diwajibkan untuk mematuhi amar putusan MK. Hal ini dapat dilihat dari putusan MK
yang final dan mengikat sehingga mendorong terjadinya proses politik menyangkut:
- Amandemen atau mengubah UU atau membuat UU baru, akibat hukum dari putusan MK yang
telah memutuskan tentang sebuah UU dianggap bertentangan dengan UUD;
- Proses politik akan terjadi akibat dari putusan MK tentang hasil pemilihan umum;
- Putusan MK yang menyatakan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presidan
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Akibat dari

putusan

tersebut adalah mendorong terjadinya proses politik di MPR untuk memberhentikan atau
menolak memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden yang dinyatakan bersalah oleh Putusan
MK. Oleh karena itu, putusan MK dapat meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan
hak dan kewajiban tertentu. Dengan kata lain, putusan itu akan membawa akibat tertentu yang
mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan.29
Pemerintah dan DPR juga terikat dengan adanya putusan MK, khususnya dalam hal merevisi
dan mengamandemen suatu pasal, ayat maupun keseluruhan UU yang dibatalkan oleh MK.
Sebagaimana Pasal 59 UU No. 24/2003 tentang MK menyebutkan bahwa: “Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
28

Anonimous, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
2010, hlm. 55.
Klinik
Hukum,
“Arti
Putusan
Final
dan
Mengikat”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56fe01b271988/arti-putusan-yang-final-dan-mengikat,
tanggal 28 Agustus 2017
29

198

dikutip
diakses

dari
pada

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan
Mahkamah Agung”. Penyampaian dalam bentuk salinan putusan maupun intisari putusan yang

dimaksud dalam pasal tersebut mengisyaratkan bahwa putusan MK secara abstrak memerintahkan
baik langsung maupun tidak langsung kepada pemerintah untuk menanggapi materi pasal yang telah
dibatalkan MK dalam bentuk merevisi maupun mengubah secara keseluruhan suatu UU.
Menyimak dari sifat putusan MK secara umum di atas, maka sifat Putusan MK No. 79//PUUXII/2014 merupakan putusan yang bersifat declaratoir . Dimana MK mengabulkan permohonan
pemohon sebagian dan dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Maka disatu sisi,
MK menyatakan batal suatu pasal yang diuji dengan menciptakan aturan baru sebagai pengganti
pasal yang dibatalkan tersebut. Sebagaimana tabel 1 di atas, jelas bahwa keberadaan DPD diperkuat
dengan adanya putusan MK.
Sekilas juga dipahami bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan bidang legislasi, DPD
dapat menjadikan putusan MK sebagai dasar hukum sebelum direvisi UU yang dibatalkan tersebut
oleh pemerintah dan DPR.
Sebagai upaya mengubah materi pasal dalam suatu UU yang telah dibatalkan oleh MK,
pemerintah dan DPR juga dapat memperhatikan amar putusan MK dalam membentuk suatu aturan
yang baru dimana putusan tersebut telah memberikan arahan dalam menetapkan suatu UU. Dalam
kasus Putusan MK No. 79/ PUU-XII/2014 terkait pengujian UU No. 17/2014, MK dalam amar
putusannya telah melakukan rekonstruksi hukum baru bagi kewenangan DPD.
Walaupun dalam UU MK baik UU No. 24/2003 hingga perubahannya dengan UU No. 4/2014
tidak mengatur secara riil batas waktu yang diberikan kepada pemerintah dalam mengubah suatu
UU. Namun, dalam realitanya pemerintah sepatutnya patuh pada amar putusan dan menjalankan
proses perubahan dengan memasukkan UU tersebut dalam program legislasi nasional prioritas. Hal
ini wajib dilakukan khususnya untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum. Proses legislasi

199

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

dalam rangka perubahan UU No. 17/2014 dapat dilakukan sesegera mungkin tanpa menunggu masa
pemilihan umum legislatif ke depannya.

SIMPULAN
Putusan MK No. 79/ PUU-XII/2014 tentang uji materil UU No. 17/2014 merupakan putusan
yang merekonstruksi kewenangan DPD, dimana sebelumnya DPD dalam pelaksanaan kewenangan
bidang legislasi masih sangat kecil. Beberapa pasal dalam UU No. 17/2014 yang dibatalkan MK
menguatkan posisi DPD baik dalam tingkat usul rancangan suatu UU hingga pembahasannya.
Pasca diputuskannya Putusan MK No. 79/ PUU-XII/2014, DPD telah terjamin kemandirian
lembaganya dan khusus kewenangan bidang legislasi telah terjamin kepastian hukumnya.
Berdasarkan sifat putusan MK yang final dan mengikat mengharuskan pemerintah dan DPR
mengubah UU No. 17/2014 dengan memasukkan materi muatan yang telah diputuskan oleh MK.
Apabila pemerintah lalai melaksanakan perubahan maka DPD dalam menjalankan kewenangan
bidang legislasi dapat menjadikan Putusan MK No. 79/ PUU-XII/2014, sebagai dasar hukumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud Busroh, 1987, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan, Konstitusi Sembilan Negara ,
Bina Aksara, Jakarta.
Ali Mudhofir, 1996, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Gajahmada University
Press, Yogyakarta.
Anonimous, 2006, Kerja Politik Untuk Kesejahteraan Masyarakat dan Daerah; Rencana Kerja
Strategis DPD Republik Indonesia , Sekretariat Jenderal DPD, Jakarta.

Anonimous, 2008, Kamus Bahasa Indonesia , Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta.

200

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Anonimous, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Anonimous, tt, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu
Naskah, (Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 Sebagai Naskah
Perbantuan Dan Kompilasi Tanpa Ada Opini), Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan

Rakyat RI, Jakarta.
Arif Hidayat, 2013, Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim Dalam Putusan Pengadilan ,
Jurnal Pandecta, Vol. 8. No. 2.
Bagir Manan, 2005, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cetakan Ketiga, FH-UII Press,
Yogyakarta.
Hayat, 2015, Keadilan sebagai Prinsip Negara Hukum: Tinjauan Teoretis Dalam Demokrasi ,
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 2.
James P. Chaplin, 1997, Kamus Lengkap Psikologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretaris Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Marbun, B.N., 1996, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Masnur Marzuki, 2008, Analisis Kontestasi Kelembagaan DPD Dan Upaya Mengefektifkan
Keberadaannya, Jurnal Hukum Vol. 15, No. 1.

Ni Kadek Riza Sartika Setiawati, Nyoman Mas Aryani, 2011, Kewenangan DPD Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia

Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi , Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar.
Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia , Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Samuel Jaya Kusuma, 2002, Proses Penemuan Hukum Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum,
Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
201

Kanun Jurnal Ilmu Hukum
Vol. 20, No. 1, (April, 2018), pp. 183-202.

Rekonstruksi Kedudukan DPD Setelah Putusan MK No. 79/PUU-XII/2014
Mirja Fauzul Hamdi

Yusuf Qardhawi, 2014, Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih, Al-Fiqh Al-Islâmî bayn Al-Ashâlah
wa At-Tajdîd, Tasikmalaya.

Yahya Harahap, 2016, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta.

Sulaiman, 2017, Rekonseptualisasi Hukum Indonesia , Pandecta Research Law Jurnal, Vol. 12 No.
2.
Zaki Ulya, 2016, Kontradiksi Kewenangan DPD Ditinjau Dari Segi Kemandirian Lembaga Dalam
Sistem Bikameral, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. 11, No. 2.

Zahratul Idami, 2014, Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Adanya Keputusan
Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 16, No. 2.

202

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Khutbah Washil bin Atho' wa ma fiha minal asalib al-insyaiyah al-thalabiyah : dirasah tahliliyah

3 67 62