Peran Media Komunikasi Massa dalam Perub (1)

Peran Media Komunikasi Massa dalam Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Singkat Oleh: Renal Rinoza

  Latar Belakang Sejarah penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada tahun 1440 adalah pendulum bagi sejarah media. Berkat penemuannya tersebut asumsi dan persepsi masyarakat terhadap dunia secara revolusioner berubah drastis. Marquis de Condorcet (1743-1794), menulis, percetakan, sama halnya dengan tulisan, diidentifikasikan sebagai salah satu tonggak sejarah dalam apa yang

  dinamakan sebagai ‗kemajuan pikiran manusia‘. 1 Dalam waktu yang relatif singkat tingkat

  kemelekan (literacy) masyarakat awam mengalami peningkatan, sebelumnya kemelekan hanya dimonopoli oleh kalangan gereja (pendeta) yang bisa mengakses sumber-sumber pengetahuan. Berkat penemuan Johannes Gutenberg (1400-1468) pengetahuan yang hanya dimiliki secara ekslusif oleh kalangan gereja kini dapat diakses oleh sebagian masyarakat, dan dari titik ini dimulailah sebuah budaya baru yaitu budaya literasi. Budaya literasi yang terbangun secara sosiologis, antropologis, psikologis, kultural dan teknis mempengaruhi cara pandang masyarakat dengan semakin tertata dan terstandarisasinya informasi yang turut menyemarakkan aktifitas ilmiah.

  Teoritikus media seperti Elizabeth Eisenstein, menarik sebuah asumsi dasar bahwa ia menekankan dua dampak jangka panjang dari ditemukannya percetakan. Pertama, percetakan telah menyeragamkan dan menjaga ilmu pengetahuan yang telah begitu berlimpah dalam abad sirkulasi lisan atau manuskrip. Kedua, kritik pihak yang berwenang telah didorong oleh percetakan, yang membuat pandangan-pandangan yang tidak sesuai mengenai masalah yang sama dapat diketahui oleh pembaca yang lebih luas. Budaya literasi terutama terbangun di Eropa sekitar abad ke-17 dan

  18. Budaya literasi berkaitan dengan konteks melek huruf keagamaan. Sebuah contoh klasik adalah bahwa di Swedia yang Lutheran, di mana Gereja mengadakan ujian tahunan untuk setiap rumahtangga untuk melihat seberapa baik mereka mengetahui katekismus dan seterusnya. Hasilnya dicatat secara secara sistematis, dengan membedakan tingkat-tingkat kemampuan, seperti‘mulai dapat membaca‘, ‗baru sedikit dapat membaca‘, dan seterusnya. Catatan itu disimpan dengan baik dan merupakan suatu sumber kaya yang unik untuk mempelajari melek huruf

  modern pertama. 2

  Berbagai komunitas ilmiah lahir yang berbasis di kampus, salon-salon, coffee shop, dsb, metode- metode membaca berubah dan terstruktur, lahirlah istilah kepengarangan (an authorship), kepengarangan menjadi lebih penting karena posisi pengarang adalah produsen pengetahuan yang tercetak dengan baik di buku-buku yang telah tercetak sehingga masyarakat tahu siapa yang

  1 Lihat Asa Briggs Peter Burke. 2000. A Social History of the Media. Cambridge, UK New York: Polity

  Press Blackwell Publishing Ltd. Terjemahan Indonesia: Sejarah Sosial Media: Dari Gutenberg sampai Internet. Jakarta: 2006. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Hal. 21.

  2 Ibid, Hal. 38.

  menulis buku ini, buku itu, dan tahu bagaimana menghargai sebuah karya. Fenomena kepengarangan inilah yang melahirkan hak cipta, hak kekayaan intelektual, peraturan mengenai hak cipta, format buku yang berdasarkan kutipan atau referensi, indeks-indeks, dan royalti yang diperoleh atas karyanya yang telah dipublikasikan melalui perusahaan-perusahaan penerbitan. Disamping itu, penemuan mesin cetak secara politis telah membawa masyarakat di Eropa kala itu semakin meningkatkan identitas nasionalnya karena bahasa cetak adalah bahasa yang dipakai oleh masyarakat luas dan proses diseminasi informasi dan akses pengetahuan menjadi lebih mudah diserap dan dicerna karena masyarakat tak perlu lagi susah payah memahami bahasa latin yang

  dahulunya bahasa ekslusif kalangan pendeta. 3

  Pada mulanya buku-buku yang dicetak adalah buku-buku yang berkaitan dengan teks keagamaan seperti penerbitan injil dsb namun seiring berjalannya waktu terjadi perubahan dalam segi isi dan pembahasan—singkatnya lebih bersifat sekular dan praktis. Berangkat dari perubahan tersebut masyarakat dengan sendirinya memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi karya-karya yang lebih populer dan aktual. Karya-karya populer itupun tak hanya berwujud buku melainkan lebih ringkas dan praktis seperti brosur, buletin, pamflet yang memiliki pesan verbal langsung. Penyebaran-penyebaran pesan melalui aneka media ikut berperan bagi proses transformasi sosial dan mendemitologisasikan institusi keagamaan yang sebelumnya begitu sakral dan tanpa cacat. Setiap orang dengan sendirinya punya pendapat dan kebebasan mengutarakan suaranya. Periode ini kita lihat di zaman pertengahan di mana era renaissans dan pencerahan mendapatkan momentumnya setali tiga uang dengan penemuan mesin cetak oleh Gutenberg yang benar-benar menggemparkan dan resonansinya begitu kuat bagi cara pandang masyarakat kala itu, bahkan hingga kini masih memiliki tajinya. Berkat penemuan mesin cetak perubahan secara revolusioner terjadi seperti penerjemahan kitab-kitab suci ke dalam masing-masing bahasa, penerjemahan kitab injil secara historis dan legendaris dilakukan oleh Martin Luther dan tak ayal berdampak pada ketegangan konstalasi keagamaan dimana Martin Luther menolak surat pengampunan dosa dengan menempelkan pamflet berisi 95 dalil yang terkenal itu, dan dimulailah suatu babak baru dalam sejarah peradaban umat manusia. Martin Luther menggelorakan gerakan Protestanisme yang secara teologis meradikalkan ajaran-ajaran resmi gereja, akibatnya terjadi pemisahan dengan gereja induk di Roma.

  3 Asa Briggs Peter Burke menulis ini dalam bukunya Sejarah Sosial Media, Klub-klub dan kafe-kafe memberi inspirasi untuk mendirikan masyarakat komunikasi lisan yang imajiner. Sedangkan istilah

  kepengarangan, berangkat dari sebuah kebutuhan konsumen pembaca, seiring kebutuhan tersebut berimbas pada masalah property right, Asa Briggs Peter Burke dalam buku yang sama menulis, bangkitnya gagasan tentang hak-milik intelektual adalah sebuah tanggapan terhadap timbulnya masyarakat konsumen maupun terhadap tersebar-luasanya percetakan. Dengan cara begini, kekuatan pasar mendorong gagasan kepengarangan orang-seorang, sebuah gagasan yang diperkuat lagi oleh praktek-praktek baru seperti mencetak potret penulisnya sebagai cover depan karya itu, atau memperkenalkan sebuah edisi kumpulan karya seseorang dengan sebuah biografi penulisnya (lihat Hal. 66-7). Mengenai penguatan bahasa nasional masing-masing, Asa Briggs Peter Burke menulis, timbulnya masyarakat percetakan sering dihubungkan dengan timbulnya bahasa percakapan di Eropa, bertentangan sekali dengan masyarakat abad pertengahan sebelum percetakan di mana komunikasi tertulis itu pada umumnya dalam bahasa Latin, sedangkan komunikasi lisan dalam dialek setempat. Meningkatnya standarisasinya dan kodifikasinya merupakan suatu proses yang ditolong oleh percetakan, terjemahan Martin Luther terhadap Injil ke dalam bahasa Jerman sering dikemukakan sebagai contoh kecenderungan baru itu (lihat Hal. 41).

  Dua abad ditemukannya percetakan telah dirayakan—sekitar sepuluh tahun lebih cepat dari semestinya, menurut para ilmuwan modern—pada tahun 1440 dan tiga abadnya pada tahun 1740, dan dalam garis-besar sejarah dunianya yang terkenal ditulis oleh Marquis de Concordet (1743- 1794), yang diterbitkan pada tahun 1765. Percetakan, sama halnya dengan tulisan, diidentifikasikan sebagai salah satu tonggak sejarah dalam apa yang dinamakan penulis itu sebagai ‗kemajuan pemikiran manusia‘. Oleh karena karakter piktoralnya, percetakan tidak hanya memajukan komunikasi teks, tetapi juga memajukan dunia komunikasi visual. Bangkitnya percetakan adalah perubahan yang paling menonjol dalam komunikasi visual di seluruh masa itu, karena ia membuat gambar-gambar tersedia jauh lebih banyak dibanding sebelumnya. Salah satu akibat penting yang lain dari penemuan percetakan adalah terlibatnya para pengusaha secara lebih intens dalam proses penyebarluasan ilmu pengetahuan. Penggunaan media yang baru itu mendorong bertambahnya kesadaran tentang kepentingan publisitas, baik yang bersifat ekonomi

  atau yang bersifat politik. 4

Komunikasi massa, media massa, internet dan budaya media dalam terminologi dan konteks

  Perkembangan budaya literasi di masyarakat Eropa dalam kurun waktu sekitar 200 tahun setelah ditemukannya mesin cetak menciptakan sebuah habitus baru di masyarakat berupa

  ketergantungan terhadap informasi. 5 Media massa dalam hal ini surat kabar memainkan peranan

  4 Lihat, Asa Briggs Peter Burke. Sejarah Sosial Media… Hal. 21, 44 83.

  5 Habitus baru tersebut ialah komersialisasi waktu luang dengan membaca. Baik membaca buku maupun surat kabar, untuk memenuhi hal tersebut dibuatlah perangkat aturan dalam format buku, kategori, jenis-

  jenisnya, ragamnya, kisaran harganya, dan juga dengan surat kabar dengan menentukan kualifikasi fisik, isi, dan kebutuhan utamanya berupa adpertensi serta penentuan harganya, perangkat-perangkat pendukung lainnya, dsb. Privatisasi kegiatan itu seringkali dipandang sebagai bagian timbulnya individualisme dan juga rasa sepenanggungan atau ‗mobilitas psikis‘, sebagaimana oleh pakar sosiologi media, Daniel Lehner, dalam bukunya The Passing of Tradisional Society (1958). Gagasan dasar di balik frase-frasenya tertangkap dengan baik sekali di dalam gambaran yang relative umum dari abad ke -18 dan seterusnya, tentang seorang pria dan wanita sendirian yang sedang membaca sebuah buku, duduk menggeletak di lantai tanpa memperhatikan dunia luar. Lihat Asa Briggs Peter Burke. Sejarah Sosial Media… Hal. 78. Bandingkan dengan kecenderungan habitus fenomena masyarakat kontemporer saat ini di mana seseorang asyik larut dalam berinteraksi dengan media internet melalui komputer yang terhubung dengan jaringan internet, gadget dsb. Manuel Castells menulis bahwa pertumbuhan internet sebagai medium komunikasi baru merujuk pada sebuah klaim pertentangan tentang pertumbuhan pola baru dalam interaksi sosial. Castells menyebutnya sebagai komunitas virtual yang merupakan lanjutan dari interaksi sosial di internet yang memberi perhatian pada pertumbuhan dukungan teknologi baru untuk pergaulan yang sebelumnya membentuk interaksi sosial. Lihat Manuel Catells, ―The History of the Internet, 1962-199:An Overview‖ dalam The Internet Galaxy Reflections on the Internet, Business, and Society. New York: Oxford University Press. Hal. 116 125 jenisnya, ragamnya, kisaran harganya, dan juga dengan surat kabar dengan menentukan kualifikasi fisik, isi, dan kebutuhan utamanya berupa adpertensi serta penentuan harganya, perangkat-perangkat pendukung lainnya, dsb. Privatisasi kegiatan itu seringkali dipandang sebagai bagian timbulnya individualisme dan juga rasa sepenanggungan atau ‗mobilitas psikis‘, sebagaimana oleh pakar sosiologi media, Daniel Lehner, dalam bukunya The Passing of Tradisional Society (1958). Gagasan dasar di balik frase-frasenya tertangkap dengan baik sekali di dalam gambaran yang relative umum dari abad ke -18 dan seterusnya, tentang seorang pria dan wanita sendirian yang sedang membaca sebuah buku, duduk menggeletak di lantai tanpa memperhatikan dunia luar. Lihat Asa Briggs Peter Burke. Sejarah Sosial Media… Hal. 78. Bandingkan dengan kecenderungan habitus fenomena masyarakat kontemporer saat ini di mana seseorang asyik larut dalam berinteraksi dengan media internet melalui komputer yang terhubung dengan jaringan internet, gadget dsb. Manuel Castells menulis bahwa pertumbuhan internet sebagai medium komunikasi baru merujuk pada sebuah klaim pertentangan tentang pertumbuhan pola baru dalam interaksi sosial. Castells menyebutnya sebagai komunitas virtual yang merupakan lanjutan dari interaksi sosial di internet yang memberi perhatian pada pertumbuhan dukungan teknologi baru untuk pergaulan yang sebelumnya membentuk interaksi sosial. Lihat Manuel Catells, ―The History of the Internet, 1962-199:An Overview‖ dalam The Internet Galaxy Reflections on the Internet, Business, and Society. New York: Oxford University Press. Hal. 116 125

  Kepentingan-kepentingan dan motivasi politik dan bisnis menjadi wajah utama di setiap informasi yang diberitakan oleh surat kabar. Berbicara aspek politik, surat kabar menyuarakan demokrasi, hak-hak kelas pekerja, perjuangan dalam memberikan informasi yang akurat bagi khalayak yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, disamping itu keberadaannya sebagai entitas bisnis surat kabar melayani kepentingan dunia bisnis, dengan menyajikan adpertensi dan hajat hidup surat kabar yang tergantung dari oplah penjualannya. Berdasarkan kedua aspek itulah yang sangat mempengaruhi dalam proses pembentukan institusi media yang mapan. Media massa di satu sisi harus menyampaikan informasi yang dibutuhkan oleh khalayak dan disisi lain melayani kepentingan dunia usaha yang membutuhkan adpertensi sehingga tercipta saling membutuhkan. Penyajian adpertensi dan oplah penjualan adalah pelumas untuk menjalankan roda industri media, disamping iklim sosial dan politik.

  Media massa dalam perkembangannya tak hanya terbatas pada surat kabar, seiring perkembangan teknologi komunikasi lahirlah media –media baru seperti fotografi, film, radio, televisi hingga media berbasis online dewasa ini. Dalam perkembangannya di abad ke 21 media massa semakin

  mengkristal yang oleh teoritikus disebut sebagai era konvergensi media. 6 Konvergensi media oleh

  Jenkins, diasumsikan sebagai sebuah proses multidimensional dengan bentuk-bentuk teknologi, ekonomi, sosial, budaya, dan global yang tidak sama pada periode transisi dan transformasi zaman renaissans (Jenkin 2001). Menurutnya, konvergensi media adalah lapangan pergulatan sosial, politik, ekonomi dan hukum karena bertujuan mempertentangkan antara konsumer, produser dan

  gatekeeper… renaissans digital akan menjadi zaman yang baik dan zaman yang buruk, tapi era

  budaya baru akan bangkit dari hal tersebut (Jenkins 2001: 93). Jenkins menyoroti pentingnya ‗logika kultural konvergensi media, yang melibatkan hal-hal sudah barang tentu bergabungnya teknologi dan ‗materi-materi yang dibuat secara komersial dan sepanjang pengaturan layanan perjalanan dan saluran-saluran yang diprediksi‘. Agaknya, ‗perangkat konvergensi konten hiburan

  6 Konvergensi media sebuah terma yang pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan politik MIT Ithiel de Sola Pool, ia menggambarkan kekuatan dalam perubahan di industri media: Sebuah proses yang disebut

  sebagai ‗ragam konvergensi‘ adalah kaburnya batasan-batasan di antara media, bahkan diantara poin-poin komunikasi, seperti pos, telepon dan telegram, dan komunikasi massa, yang terdiri dari surat kabar, radio dan televisi. Sebuah perangkat saluran tunggal – seperti telegrap, tv kabel atau siaran radiotv –kira-kira yang pada masa lalu memuat layanan disajikan pada jalur tersendiri. Sebaliknya, kini dapat disajikan dalam beberapa jalur perangkat yang berbeda di satu medium. Jadi satu demi satu hubungan yang digunakan untuk keberadaan antara medium dan penggunaannya terkisis (Pool, 1983: 23 dalam Jenkins 2006: 10 dalam Tim Dwyer. 2010. Media Convergence: Issues in Cultural and Media Studies. Berkshire New York: Open University Press McGraw-Hill Education). Hal 25.

  tidak hanya pada hal yang bersamaan diantara ragam platform‘. Baginya, ‗kehidupan kita, hubungan, ingatan, fantasi, hasrat juga mengalir diantara saluran-saluran media‘ (2006:17).

  Dengan kata lain, definisinya terhadap konvergensi media adalah sebuah budaya tunggal yang mendalam, memperlihatkan kesepakatan besar melebihi dari ‗konten‘ mengalir bersama melalui berbagai macam kegunaan ‗infrastruktur‘ seperti air, gas atau listrik. Bertolak dari kepopuleran YouTube, saya rasa kita bisa sepakat dengan lebih menderivasi nuansa kerumitan ini dari logika

  kultural. 7

  Disini saya tidak terlalu membahas tipologi dan karakteristik media massa namun lebih menitikberatkan fungsinya sebagai tools dalam perubahan sosial dan basis epistemiknya yang mengacu pada ranah komunikasi massa. Dalam pada itu, hubungan dialektis antara media massa dengan komunikasi massa adalah hubungan yang saling terkait karena berdasarkan kerangka postulasi bahwasanya pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Dennis McQuail menulis bahwa sketsa sejarah dan penggambaran media massa sudah cukup memberikan bahan bagi kita untuk memperoleh gambaran umum menyangkut segenap unsur penting komunikasi massa (McQuail: 1987).

  By definition, komunikasi massa didefinisikan dalam tiga ciri:

  1. Komunikasi massa diarahkan kepada audiens yang relatif lebih besar, heterogen, dan anonim.

  2. Pesan-pesan yang disebarkan secara umum, sering dijadwalkan untuk bisa mencapai sebanyak mungkin anggota audiens secara serempak dan sifatnya sementara.

  3. Komunikator cenderung berada atau beroperasi dalam sebuah organisasi yang kompleks

  yang mungkin membutuhkan biaya besar. 8

  Komunikasi massa merujuk pada sebuah proses di mana sebuah aturan kompleks dengan bantuan satu atau lebih menghasilkan sebuah perangkat dan pesan-pesan transmisi publik yang langsung besar, heterogen, dan khalayak yang kabur. Tentunya, situasi tersebut akan masuk kedalam

  wilayah abu-abu. 9 Dalam pengertian luas, komunikasi massa merujuk pada aktifitas komunikasi

  yang melibatkan orang-orang dalam jumlah yang besar. Secara tradisional, komunikasi massa terkonseptualisasi sebagai proses yang menyertakan pesan yang dikirim. Sebagai contoh, Blumer (1946), mengidentifikasi massa terdiri atas dengan sangat bebas mengatur kelompok masyarakat yang berasal dari semua lapangan kehidupan, yang tetap anonim dengan saling, dan yang sangat sedikit mempengaruhi diantaranya. Penelitian mengenai komunikasi massa senantiasa fokus pada kajian saintifik humanistik dari media komunikasi khalayaknya. Media yang termasuk ini

  7 Ibid, Hal. 25-6. 8 Lihat Werner J. Severin- James W.Tankard, Jr. 2001. Communication Theories: Origins, Methods, Uses in the Mass Media. Addison Wesley Longman, Inc. 5 th edition (terjemahan: Teori Komunikasi: Sejarah, Metode,, Terapan di dalam Media Massa, Edisi ke-5. Penerbit Kencana Jakarta: 2008. Hal. 4.

  9 Lihat Joseph R. Dominick. 2005. The Dynamics of Mass Communication: Media In The Digital Age. 8 th

  Edition. New York: McGraw Hill. Hal. 11.

  ialah majalah, film, surat kabar, radio, televisi, dan pelbagai jenis teknologi komunikasi dengan keberadaan media massa.

  Menurut Carter (1990), media massa hanya merepresentasi satu solusi potensial bagi kebutuhan untuk komunikasi massa. ―Solusi lainnya secara potensial dimungkinkan. Singkatnya, bidang ini cenderung fokus pada Apakah terkadang dengan mengorbankan apa yang disanggupi. (Lihat Carter, Stamm, Heintz-Knowles, 1992). Komunikasi massa biasanya dibedakan dengan komunikasi interpersonal di mana secara tipikal melibatkan interaksi face to face dan lingkup khalayak yang terbatas. Di luar ini, masyarakat hari ini secara kontinyu menjadi saksi atas demasifikasi bentuk-bentuk komunikasi seperti sistem kabel yang membiarkan ledakan pertumbuhan saluran televisi dalam jumlah besar dan keberadaan media tambahan seperti internet yang mengancam dikemudian hari untuk mengeliminir distingsi antara bentuk-bentuk yang telah mapan seperti media cetak dan penyiaran. ―Pada tahun 2020, dunia memproduksi lebih dari 90 teks , images, sounds, video dan teknologi 3D yang akan menempatkan suatu tempat di

  internet.‖ (Biocca, 2000: 23). 10

  Sedangkan Kevin J. Pearce (2009, hlm. 623), sesuai perkembangannya hingga kini, komunikasi massa dapat berubah-ubah dari sumber ke sumber, namun definisinya masih mempunyai kesamaan unsur. Komunikasi massa seringkali digambarkan atau dijabarkan dengan membandingkannya kepada komunikasi interpersonal, saat di mana sumber menyandikan pesan dan mengirimkannya ke penerima melalui pesan verbal dan nonverbal untuk kemudian pesan diterima dan mendapatkan umpan balik (feedback). Dalam komunikasi interpersonal, sumber dan penerima bersifat individual, biasanya salurannya adalah face to face, dan komunikasi bersifat pribadi. Feedback umumnya bersifat langsung dan sekarang. Komunikasi massa, bagaimanapun, sebuah proses di mana seseorang, kelompok dalam masyarakat, atau organisasi besar menciptakan sebuah pesan dan mentransmisikannya melalui beberapa jenis medium ke khalayak yang luas, anonim, heterogen.

  Di dalam komunikasi massa, umumnya sumber adalah komunikator profesional atau suatu organisasi yang kompleks yang membutuhkan biaya yang besar. Pesan di komunikasi massa bersifat serempak dan umum. Dan, bahwasanya, penerima umumnya besar, heterogen, dan anonim. Feedback dalam komunikasi massa senantiasa tidak langsung dan tertunda. Teknologi baru, bagaimanapun, cenderung mengaburkan bentuk antara komunikasi interpersonal dan komunikasi massa tradisional. Dengan perangkat komputer yang baik dan keterampilan dasar komputer, seorang individu dapat mempublikasikan majalah yang terlihat profesional yang ia miliki. Bersama kecenderungan menuju semakin terbatasnya di dunia industri penyiaran, khalayak kurang lebih menjadi anonim dan beragam. Dan dengan saluran internet didesain untuk menunjukkan isi yang unik, khalayak dapat menjadi relatif kecil. Ada juga beberapa pertanyaan apakah yang lainnya, bentuk-bentuk nontradisional komunikasi bisa dipertimbangkan untuk diuji sebagai komunikasi massa. Sebagai contoh, beberapa peneliti merasa telepon selular akan termasuk dalam defenisi komunikasi massa. Pada pandangan pertama tersebut mungkin

  10 Lihat David K. Perry. 2002. Theory and Research in Mass Communication; Context and Consequences. Second Edition. New Jersey London: Lawrence Erlbaum Associates, Inc, Publisher. Hal 6-7.

  tampaknya telepon selular tak dapat didefinisikan ke dalam komunikasi massa karena biasanya ia digunakan untuk komunikasi person to person. Bagaimanapun, saat ini telepon selular sudah memiliki fitur-fitur akses internet dan dapat terkoneksi dengan web, yang mana secara tipikal termasuk dalam komunikasi massa. Pertanyaannya adalah, kemudian, apakah telepon selular

  dapat menjadi media massa? Para peneliti tidak setuju pada isu ini. 11

  Komunikasi massa terus-menerus mengalami perubahan dan perkembangan. Masyarakat juga mengalami perubahan. Salah satu pandangan yang dalam beberapa dasawarsa belakangan ini banyak disebut-sebut dan tidak mungkin lagi dibantah kebenarannya ialah kita sekarang ini sedang beralih ke ―masyarakat informasi‖. Ciri-ciri utama masyarakat tersebut pada dasarnya sama dengan ciri-ciri masyarakat ―pasca-industri‖ yang dikemukan oleh Bell (1973). Model masyarakat seperti itu ada kaitannya dengan konsep sosiologi lama yang menyatakan bahwa masyarakat melalui beberapa tahap peralihan seiring dengan adanya perubahan mekanisme produksi (khususnya dengan konsep peralihan dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri). Kita tidak mungkin dapat menganalisis semua alasan pendukung, lingkup, dan validitas teori tentang masyarakat informasi. Pada dasarnya masyarakat informasi (masyarakat pasca industri) adalah masyarakat yang menilai informasi sebagai sumber daya, sarana produksi, dan produk utama yang paling berharga. Oleh karena itu, mayoritas tenaga kerjanya adalah pekerja informasi. Di samping itu, berdasarkan beberapa indikasi lainnya informasi mengandung nilai ekonomi dan sosial yang dominan. Dalam hal ini media massa semakin berkembang dan kian efisien dalam memproduksi dan mendistribusikan informasi, dalam pengertian luas, media massa merupakan perangsang penting terhadap penilaian dan konsumsi informasi; media massa menunjang upaya produksi, perolehan teknologi komunikasi dan pengembangan teknologi baru, media massa merupakan

  sektor pekerjaan yang semakin membuka kesempatan bagi para pekerja informasi. 12

  Sebagai sebuah saluran mediasi, menurut Dennis McQuail media massa berfungsi sebagai penyelenggara produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Media massa pada tataran simbolik dapat mengaitkan semua unsur lingkungan simbolik yang berbeda. Media massa dalam hal ini berperan sebagai jembatan penghubung atau meminjam istilah Dennis McQuail memiliki peran mediasi yang mempertautkan antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Melalui media massa kita dihubungkan dengan pelbagai institusi yang berbeda, menjadi referensi untuk membentuk persepsi kita tentang suatu peristiwa atau realitas dan sumber pengetahuan terhadap realitas dan entitas masyarakat lainnya.

  Fungsi media secara laten diteorisasikan oleh Harold Lasswell dan Charles Wright sebagai peletak dasar ilmu komunikasi. Wright (1959) membagi media komunikasi berdasar sifat dasar pemirsa,

  11 Lihat Kevin J. Pearce. 2009. ―Media and Mass Communication Theories‖. dalam Encyclopedia of Communication Theory. (Ed.) Stephen W. Littlejohn- Karen A. Foss. Los Angeles: Sage Publications. Hal.

  12 Lihat Dennis McQuail. 1987. Mass Communication Theory, 2 nd edition . Terjemahan Indonesia: Teori

  Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga. Cet ke 4. Jakarta: 1996. Hal. 75-76.

  sifat dasar pengalaman komunikasi dan sifat dasar pemberi informasi. 13 Lasswell (1948), membagi

  tiga fungsi media massa: pengawasan lingkungan, korelasi bagian-bagian dalam masyarakat merespons lingkungannya, dan transmisi warisan budaya. Semua itu secara berurutan bertalian dengan: pemberian informasi; pemberian komentar atau interpretasi yang membantu pemahaman makna penggalan informasi, dan juga pembentukan kesepakatan (konsensus), ekspresi nilai-nilai dan simbol budaya yang diperlukan untuk melestarikan identitas dan kesinambungan masyarakat. Wright (1960) mengembangkan skema dasar media ini untuk menggambarkan efek media yang begitu banyak jumlahnya. Ia juga menambahkan ―hiburan‖ sebagai fungsi utama media yang

  keempat. 14

  Selain mempunyai fungsi, media massa dalam kapasitasnya mempunyai manfaatnya dalam memberikan kebutuhan informasi dan kepuasan masyarakat. Dalam disiplin ilmu komunikasi manfaat media terkenal dengan istilah uses and gratification—sebuah teori yang diperkenalkan oleh pakar ilmu komunikasi Elihu Katz, menurutnya individu secara aktif mengkonsumsi dan

  menggunakan media dalam rangka memenuhi kebutuhannya. 15 Di level individu, pendekatan

  fungsional ini secara umum diberi nama model uses and gratification. Bentuk sederhananya, model uses and gratification menempatkan khalayak secara pasti membutuhkan atau mendorong kepuasan mereka dengan menggunakan antara sumber media dan nonmedia. Kajian akan

  menitikberatkan pada kepuasaan dengan sumber relasi media. 16 Dalam literatur tentang model

  uses and gratification ada beberapa cara mengklasifikasikan kebutuhan dan gratifikasi audiens. Sebagian mengatakan soal gratifikasi langsung dan gratifikasi terabai (Schramm, Lyle, dan Parker, 1961). Peneliti lain menyebutkan sebagai informatif-mendidik dan khayali-pelarian — hiburan (Weiss,1971). McQuail, Blumler, dan Brown (1972), berdasarkan penelitian mereka di Inggris, mengusulkan kategori-kategori berikut:

  1. Pengalihan—pelarian dari rutinitas dan masalah; pelepasan emosi.

  2. Hubungan personal—manfaat sosial informasi dalam percakapan; pengganti media untuk kepentingan perkawanan.

  3. Identitas pribadi atau psikologi individu—penguatan nilai atau penambah keyakinan; pemahaman diri; eksplorasi realitas; dan sebagainya.

  4. Pengawasan—informasi mengenai hal-hal yang mungkin memengaruhi seseorang atau akan membantu seseorang melakukan atau menuntaskan sesuatu.

  13 Lihat Werner J. Severin- James W.Tankard, Jr. 2001. Communication Theories: Origins, Methods, Uses in the Mass Media. Addison Wesley Longman, Inc. 5 th edition. Terjemahan Indonesia: Teori

  Komunikasi: Sejarah, Metode Terapan di dalam Media Massa, Edisi ke-5. Penerbit Kencana Jakarta: 2008. Hal. 386.

  14 Lihat Dennis McQuail. Mass Communication Theory, 2 nd edition . 1987. Terjemahan Indonesia: Teori

  Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga. Cet ke 4. Jakarta: 1996. Hal. 70. Sebagai tambahan Dennis McQuail, menambahkan satu fungsi media lagi yakni, fungsi mobilisasi, yang berfungsi memobilisir atau mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan, dan kadang kala juga dalam bidang agama.

  15 Lihat Antoni. Riuhnya Persimpangan Itu: Profil dan Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi. Penerbit Tiga Serangkai. Solo: 2004. Hal 91.

  16 Lihat Joseph R. Dominick. 2005. The Dynamics of Mass Communication: Media In The Digital Age. 8 th

  Edition. New York: McGraw Hill. Hal. 43.

  Katz, Gurevitch, dan Haas (1973) memandang media massa sebagai suatu alat yang digunakan oleh individu-individu untuk berhubungan (atau memutuskan hubungan) dengan yang lain. Para peneliti tersebut membuat daftar 35 kebutuhan yang diambil ―(sebagian besar spekulatif) dari literatur tentang fungsi-fungsi sosial dan psikologis media massa‖ kemudian menggolongkannya ke dalam lima kategori:

  1. Kebutuhan kognitif—memperoleh informasi, pengetahuan, dan pemahaman.

  2. Kebutuhan afektif—emosional, pengalaman menyenangkan, atau estetis.

  3. Kebutuhan integratif personal—memperkuat kredibilitas, rasa percaya diri, stabilitas, dan status.

  4. Kebutuhan integratif sosial—mempererat hubungan dengan keluarga, teman, dan sebagainya.

  5. Kebutuhan pelepasan ketegangan—pelarian dan pengalihan. 17

  Pada waktu yang sama media massa memenuhi hasrat pribadi untuk kesenangan, kebersamaan, pengawasan, dan pemahaman, media senantiasa memudahkan kita untuk berbagi bahan-bahan yang kita baca dan dengar di antara jutaan orang. Media massa memberikan kita pandangan yang jelas sebuah pikiran orang yang hampir dapat menjangkau koneksi budaya dengan lainnya, dan di mana mereka berada di masyarakat yang lebih besar. Pada saat media massa mendorong sejumlah besar orang terpencar dan terputus untuk berbagi bahan-bahan yang sama, mereka (media massa—pen) fokus pada perhatian masyarakat yang mana secara budaya penting untuk berpikir tentang dan untuk berbicara dan berpendapat dengan lainnya. Tiada kata lain, media massa menciptakan pengalaman orang hidup bersama, sebuah perasaan budaya bersama dan jenis-jenis

  subkultur yang dapat diterima bersama. 18

  Dalam pada itu, media massa menciptakan suatu pola dan hubungan kepada masyarakat dan membentuk sebuah bangunan budaya di dalam masyarakat dan bangunan budaya tersebut mempengaruhi sikap mental dan pandangan dunia masyarakat di mana seluruh aspek kehidupan nyaris tak luput dari perhatian dan kebutuhan kita terhadap media massa yang sekaligus memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi informasi. Bangunan budaya inilah yang disebut sebagai budaya media.

  Menurut Douglas Kellner, budaya media tumbuh di mana images, sounds, dan audiens yang membantu membuat struktur kehidupan sehari-hari, menguasai waktu senggang, membentuk pandangan politik dan perilaku sosial, dan menyediakan bahan-bahan di mana orang sangat mengenali identitasnya. Radio, televisi, film, dan produk industri budaya menyediakan model- model (contoh-contoh) apa maknanya menjadi pria dan wanita, kesuksesan atau kegagalan, kekuatan atau ketidakberdayaan. Budaya media juga menyediakan bahan-bahan di mana beberapa orang mengkonstruk perasaan kelas mereka, seperti etnisitas dan ras, nasionalitas, seksualitas,

  17 Lihat Werner J. Severin- James W.Tankard, Jr. 2001. Communication Theories: Origins, Methods, Uses in the Mass Media. Addison Wesley Longman, Inc. 5 th edition. Terjemahan Indonesia: Teori Komunikasi:

  Sejarah, Metode, Terapan di dalam Media Massa, Edisi ke-5. Penerbit Kencana Jakarta: 2008. Hal.356- 357.

  18 Lihat Joseph Turow. 2009. Media Today: An Introduction to Mass Communication. rd 3 Edition. New

  York London: Routledge. Hal. 24-5.

  ―kami‖ dan ―mereka‖. Budaya media membantu membentuk pandangan lazim dari dunia dan nilai-nilai terdalam: yang menegaskan pertimbangan apa yang baik dan buruk, positif atau negatif, moralis atau kebejatan. Media menyediakan kisah-kisah dan gambaran suatu simbol-simbol, mitos, dan sumber-sumber di mana membantu mengkonstitusikan sebuah budaya bersama untuk mayoritas individual di beberapa bagian dunia hari ini. Budaya media menyediakan bahan-bahan untuk menciptakan identitas yang mana setiap individu masuk di antara diri mereka kedalam masyarakat tekno kapitalis kontemporer dan di mana membuat sebuah bentuk baru dari budaya

  global. 19 Dalam konteks ini, Marshall McLuhan adalah generasi awal ilmuwan yang melihat budaya media

  telah membawa implikasi kultural bagi segala aspek kehidupan manusia. Determisme teknologi merupakan sebuah proposisi yang dimajukan oleh McLuhan dalam membaca fenomena budaya media, McLuhan mengasumsikan bahwa media massa sebagai bagian dari komunikasi massa telah mengubah cara pandang masyarakat secara radikal dan seperti yang ia katakan mesin dalam hal ini teknologi komunikasi telah mengubah hubungan kita satu dengan yang lainnya, singkatnya pada kita semua. Pada kasus ini, McLuhan melihat media tidak hanya sebagai suatu fenomena

  yang bersifat teknis, tetapi juga menjadi penyebab utama bagi perubahan sosial. 20 Sama seperti

  gurunya, Harold Adam Innis, McLuhan melihat komunikasi massa sebagai sesuatu yang sentral bagi pembentukan masyarakat modern. Di sini apparatus teknis dari media massa dipandang

  sebagai pembentuk dan bukan sekedar penyerta dalam interaksi sosial. 21

  Dalam bukunya yang sangat terkenal, ― Understanding Media: The Extensions of Man‖, Marshall McLuhan menulis secara ontologis budaya media sebagai bentuk determinisme teknologi, ia menulis, ―Dalam budaya seperti kita, lama terbiasa kepada semua hal-hal sepanjang segala sesuatu dengan persebaran dan pembagian sebagai alat kontrol, terkadang agak terkejut mengingat hal tersebut, dalam kenyataan operasional dan praktis, medium adalah sebuah pesan. Ini adalah melulu untuk mengatakan bahwa konsekuensi personal dan sosial dari tiap-tiap media—yang, dari setiap perpanjangan diri kita sendiri – akibat dari skala baru yang diperkenalkan ke dalam persoalan kita pada tiap-tiap perpanjangan dari kita sendiri, atau oleh beberapa teknologi baru. Namun, dengan otomatisasi (mesin atau teknologi komunikasi—pen), misalnya, pola baru sekelompok orang yang cenderung untuk menghilangkan pekerjaan, dapat dibenarkan (mesin sebagai pengganti tenaga manusia—pen). Ini adalah akibat negatif. Secara positif, otomatisasi menciptakan pola bagi orang-orang, yang mana dapat dikatakan keterlibatan yang mendalam pada aktifitas mereka dan sekelompok orang bahwa dahulu teknologi mekanis telah menghancurkan. Beberapa orang akan cenderung mengatakan bahwa itu bukanlah mesin, tapi salah satunya adalah mesin, bahwasanya itu pengertian atau pesan. Di dalam pengertian di mana mesin mengubah hubungan kita pada satu dengan lainnya dan pada diri kita sendiri, persoalannya tidak kurang lebih dalam apakah kita memilih cornflakes atau Cadillacs. Merestrukturisasi pekerjaan

  19 Lihat Douglas Kellner. 2003. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between The Modern and The Posmodern. London New York: Routledge. Hal 1.

  20 Lihat Antoni. Riuhnya Persimpangan Itu: Profil dan Pemikiran Para Penggagas Kajian Ilmu Komunikasi. Penerbit Tiga Serangkai. Solo: 2004. Hal. 122.

  21 Ibid, Hal 123.

  manusia dan lingkungannya dibentuk dari teknik fragmentasi yang merupakan intisari teknologi mesin. Inti dari teknologi otomatisasi adalah sebaliknya. Ia integral dan menyebar ke dalam, hanya sebagai mesin yang terfragmentaris, terpusat, dan superfisial di sebuah pola hubungan

  manusia‖. 22

  Komunikasi massa, internet dan perubahan sosial Setiap uraian dan definisi komunikasi massa dalam trajektorisnya mau tidak mau menimbulkan pertanyaan tentang hubungan antara timbulnya komunikasi massa dan perubahan lain dalam masyarakat. Rumitnya istilah dan proposisi, serta beraneka ragamnya waktu dan tempat terlibat, menyebabkan pentingnya melakukan penyederhanaan. Untuk sebuah tujuan, tipologi yang paling dasar untuk menangani hampir seluruh unsur penting dipinjam dari Rosengren (1981a). Hal ini menghendaki tabulasi silang dua proposisi dasar: ‖Struktur sosial mempengaruhi budaya‖ dan sebaliknya ―Budaya mempengaruhi struktur sosial‖. Untuk tujuan kita, persis seperti yang diajukan Rosengren, kita dapat membaca struktur sosial sebagai perubahan sosial dan kebudayaan

  sebagai komunikasi massa. 23 Namun Everett Rogers (1962; 1973; 1976 dalam McQuail, 1987)

  memandang bahwa media sebagai motor perubahan, media paling baik digunakan secara terencana untuk menimbulkan perubahan dengan menerapkannya dalam program pembangunan

  berskala besar. 24

  Sedangkan Paul Lazarsfeld dan Robert K. Merton (19481960) dalam suatu artikel yang berjudul ―Mass Communication, Popular Taste, and Organized Social Action‖, mengangkat beberapa pertanyaan penting tentang menggunakan media dalam masyarakat. Satu hal yang menjadi perhatian pokok mereka adalah penggunaan media massa dengan kelompok-kelompok yang berkuasa untuk melatih kontrol sosial. Selanjutnya Lazarsfeld dan Merton (19481960) kemudian membahas fungsi media: pemberian status, pelaksanan norma sosial, dan disfungsi yang bisa merusak. Pemberian status, atau pengenalan melalui media massa, mengindikasikan bahwa seseorang cukup penting untuk terpilih, dan tingkah laku serta opininya cukup penting untuk menarik perhatian media. Dengan mengesahkan status individu dan kelompok, media telah memberikan status dan kehormatan. Media massa mungkin menyajikan norma sosial sebagai akibat ―penyingkapan‖ kondisi yang menyimpang dari moral publik. Publisitas memaksa anggota- anggota dari suatu kelompok untuk mengakui penyimpangan-penyimpangan telah terjadi dan menentukan sikapnya. Lazarsfeld dan Merton mengatakan,‖ Publisitas menutup jarak antara ‗perilaku pribadi dan ‗moral publik‘ ‖ (1948, hal. 103). Terakhir Lazasfeld dan Merton, mengulas fungsi media memiliki pengaruh buruk pada rata-rata pembaca atau pendengar sebagai akibat membanjirnya rangsangan media. Lazarsfeld dan Merton menyebutnya sebagai ―disfungsi memabukkan‖ dengan asumsi bahwa masyarakat tidak senang melihat sebagian besar penduduk

  22 Lihat Marshall McLuhan. 1964. Understanding Media: The Extensions of Man . London: Routledge and Kegan Paul. Hal 7-8.

  23 Lihat Dennis McQuail. Mass Communication Theory, 2 nd edition . 1987. Terjemahan Indonesia: Teori

  Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga. Cet ke 4. Jakarta: 1996. Hal. 94-95.

  24 Ibid, Hal. 97.

  bersikap apatis dan lamban. Dampak dari membanjirnya komunikasi mengakibatkan perhatian

  yang kurang dan karenanya bisa menutupi sikap apatis massa. 25

  Dalam perkembangan selanjutnya, komunikasi massa mengalami ekstensifikasi ke ranah politis. Relasinya dengan perubahan sosial, semisal, secara historis mendapatkan momentumnya pada peristiwa pemberontakan mahasiswa dan kaum pekerja di Paris tahun 1968, membuktikan media sebagai katalisator dan dinamisator dalam perubahan sosial. Teoritikus media, Olga Bailey, Bart Cammaerts dan Nico Carpenter dalam karya bersama mereka, Understanding Alternative Media, menulis: ―sebagai buntut dari ‗pemberontakan Mei 1968‘ mahasiswa dan kaum pekerja, koran Libération muncul sebagai alternatif baru koran Kiri di Perancis. Edisi pertama (18 April 1973) memuat komentar berikut: Sejak Mei 1968, kebutuhan untuk sebuah harian baru telah dirasakan di mana-mana. Seluruh ide-ide dari sebuah gerakan berusaha untuk mengekspresikan dirinya sendiri, sebuah gerakan yang melintasi semua arus kiri yang ada, terorganisir atau tidak. Diakui, hal ini membingungkan, melintasi bagian-bagian, tetapi bersama tetap terpaku di sekitar penolakan umum dari konsepsi otoriter dari kehidupan dan sekitar aspirasi umum: demi demokrasi menolak eksploitasi kerja, kekerasan sehari-hari atas nama keuntungan, kekerasan laki-laki terhadap perempuan, represi seksualitas, rasisme, lingkungan yang dirampas (Mattelart

  1983: 63)‖. 26

  Kaitannya dengan perkembangan komunikasi massa dan perubahan sosial, contoh kasus dari pemberontakan mahasiswa dan kaum pekerja di Paris tahun 1968 melalui penerbitan koran Libération memberikan sinyal kuat dan tempat yang kokoh bagi pertumbuhan media alternatif yang tentunya dengan sifat dan karakteristiknya berbeda dengan media mainstream. Beberapa teoritisi telah memajukan argumentasi dan postulat mengenai definisi dan signifikasi maupun artikulasi dari media alternatif ini. Definisi yang menurut hemat penulis baik untuk disimak dalam konteks ini ialah, bahwa media alternatif diproduksi di luar institusi media arus utama dan jaringannya. Mereka dapat mencakup media kelompok protes, para pembangkang, organisasi politik pinggiran. Bahkan simpatisan dan kelompok penggemar. Mereka cenderung diproduksi secara amatiran yang biasanya memiliki sedikit atau tiadanya pelatihan atau kualifikasi profesional. Mereka menulis dan melaporkan dari kedudukannya sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat, sebagai aktivis, atau sebagai simpatisan.

  Media alternatif juga berusaha untuk memperbaiki apa yang menjadi pertimbangan produsen mereka terhadap ketidakseimbangan dari kekuatan media di media arus utama, yang mana menghasilkan marginalisasi (pelabelan sesuatu hal yang buruk dan demonisasi) dari gerakan dan kelompok sosial dan budaya tertentu. Selain sebagai rumah untuk konten radikal, proyek media

  25 Lihat Werner J. Severin- James W.Tankard, Jr. 2001. Communication Theories: Origins, Methods, Uses in the Mass Media. Addison Wesley Longman, Inc. 5 th edition. Terjemahan Indonesia: Teori Komunikasi:

  Sejarah, Metode, Terapan di dalam Media Massa, Edisi ke-5. Penerbit Kencana Jakarta: 2008. Hal. 393-4. Penulis mengulas sedikit referensi tentang hubungan media dengan masyarakat yang diulas oleh Paul Lazasfeld dan Robert K. Merton.

  26 Lihat Olga Bailey, Bart Cammaerts and Nico Carpentier. Understanding Alternative Media. 2008.

  Berkshire New York: Open University Press McGraw-Hill Education. Hal. 3.

  alternatif juga cenderung terorganisir dalam cara nonmainstream, seringkali nonhirarki atau

  kekolektifitasan, dan sangat sering pada basis non komersial. 27

  Seturut dengan hal tersebut, Chris Atton, dengan mengutip peneliti media Nick Couldry dan James Curran berpendapat bahwa istilah alternative media mengindikasikan secara langsung dan tidak langsung, kuasa media menjadi sebuah taruhan. Perspektif ini mampu menampung berbagai teori yang telah diajukan untuk memahami produksi media alternatif. Ini termasuk teori Downing di media radikal, Clemencia Rodríguez di citizens media (media warga), dan gagasan Bob Hackett dan William Carroll di aktivisme media yang demokratis, semua yang berbagi asumsi umum bahwa media alternatif terutama fokus dengan politik radikal dan pemberdayaan sosial, dengan apa ilmuwan politik Pippa Norris menyebutnya ―warga negara yang kritis.‖ Sebagai konsekuensi, Couldry dan Curran menemukan tujuan yang lebih luas di media alternatif, yang mungkin bertujuan atau tidak mungkin secara politik radikal atau pemberdayaan sosial.

  Couldry berpendapat bahwa tantangan terhadap kuasa media tidak harus selalu berlangsung dalam praktik konvensional produksi media. Studinya tentang gerakan protes di Inggris menunjukkan bagaimana mereka mendenaturalisasi praktik jurnalisme mainstream yang biasanya taken for granted [terberi begitu saja] (seperti apa yang dianggap sebagai berita, bagaimana cerita membingkai, dan bagaimana orang-orang di cerita terwakili). Dalam istilah Gramscian, sebenarnya mereka adalah praktik hegemoni yang tampaknya alami; tidak ada cara lain untuk melakukan jurnalisme. Produsen media amatir memainkan peran penting di sini. Mereka menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk mengkonsep ulang produksi media dan bahwa ada cara lain untuk berlatih itu di luar bentuk dominan. Ini pengembangan tesis Bourdieu, bahwa kekuatan simbolik adalah kekuatan untuk membangun realitas. Secara Partisipatoris, tantangan produksi media amatir adalah pada produksi bentuk-bentuk simbolis dari monopoli media mainstream. Melalui bentuk yang lebih inklusif dan bentuk-bentuk demokratis produksi media, produsen media alternatif mampu menyeimbangkan kekuatan media, walaupun secara

  sederhana. 28

  Dari terma media alternatif ini lahirlah berbagai macam tipologi dan variasi yang lebih ekstensif. Kita dapat mengambil contoh, semisal, istilah citizen journalism, alternative journalism, citizens media, fanzine –atau yang lebih dikenal dengan sebutan zine saja, dsb. Chris Atton menambahkan, secara partisipatoris, tantangan produksi media amatir adalah pada produksi bentuk-bentuk simbolis dari monopoli media mainstream. Melalui bentuk yang lebih inklusif dan bentuk-bentuk demokratis produksi media, produsen media alternatif mampu menyeimbangkan kekuatan media, walaupun secara sederhana. Media alternatif menawarkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam dunia yang jauh melampaui konsepsi-konsepsi sempit warga negara sebagai konsumen pasif dan marjinal dalam pemain politik dan budaya. Mereka menawarkan cara untuk benar kewarganegaraan aktif (Chris Atton: 2011, 17).

  27 Lihat Chris Atton, ―Alternative Media‖, dalam Encyclopedia of Social Movement Media . 2011. Editor: John. D.H Downing, etc. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc. Hal. 15.

  28 Ibid, Hal. 16-17.

  Adalah citizen journalism, contoh aplikasi media alternatif yang paling sukses. Jurnalisme warga—menjadi terkenal setelah peristiwa bencana tsunami yang melanda Asia Selatan termasuk Indonesia (di Aceh dan Nias), Stuart Allan menulis, revolusi luar biasa dari catatan orang pertama, rekaman video camcorder, telepon selular dan snapshot kamera digital yang dihasilkan oleh warga biasa pada sebuah shot (seringnya merekam gambar orang berlibur) - banyak diposting melalui blog dan halaman web pribadi - adalah secara luas digembar-gemborkan untuk membuat kontribusi yang unik untuk cakupan jurnalisme mainstream. Pada satu headline surat kabar dilaporkan bahwa setelah liputan jurnalisme warga tersebut untuk selanjutnya dinyatakan telah mengejutkan sebuah pergolakan lain, jika bukan revolusi langsung, yang diantar oleh teknologi internet. Institusi media arus utama, dengan mudah kebobolan, berada di posisi canggung yang tergantung pada bahan ―amatir‖ untuk menceritakan kisah tentang apa yang terjadi di lapangan. Meskipun ambigu, istilah jurnalisme warga muncul untuk menangkap sesuatu dari kapasitas etos countervailing orang biasa untuk menjadi saksi. Pada tahun-tahun sejak tsunami Asia Selatan, istilah ini telah mendapatkan tempat dalam kosakata jurnalisme, lebih sering daripada tidak terkait dengan peristiwa krisis tertentu. Hal ini dijelaskan ke berbagai macam istilah yang bertindak

  sebagai

  ―jurnalisme

  akar

  rumput‖,

  ―jurnalisme

  open source‖,

  ―jurnalisme partisipatif‖, ―jurnalisme hyperlocal‖, ―jurnalisme didistribusikan‖, atau ―jurnalisme jaringan‖ (dan juga sebagai ―user-generated content‖), tetapi ada sedikit keraguan bahwa hal itu