T2 752014010 BAB III

BAB III
HASIL LAPANGAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Situasi Letak Geografis
Kecamatan Rungan dengan ibu kota Jakatan Raya. Jakatan adalah tempat
persinggahan, sedangkan raya artinya orang banyak/khalayak ramai. Jadi, Jakatan Raya
adalah suatu tempat persinggahan yang menampung masyarakat banyak dari berbagai
tempat dan berbagai suku yang tinggal bersama di tempat itu, sehingga membuat
suasana menjadi maju dan menjadi ramai. Kecamatan Rungan diberi Moto “RUNGAN
RIA,” artinya Rungan adalah nama sungai di mana Jakatan Raya dan banyak desa-desa
di bangun disepanjang alur Sungai Rungan. RIA (R = Ramah, I = Indah, A = Aman).
Kecamatan Rungan terdiri dari penduduk atau masyarakat yang ramah dan santun,
mempunyai lingkungan alam yang indah dan tanahnya subur cocok untuk berbagai
tanaman.1
Letak Kecamatan Rungan berada di kisaran pada : LS = 100o – 200o dan BT =
113o00 – 114o00. Ketinggian dari permukaan laut berkisar antara 50-100 meter, dengan
keadaan tanah terdiri dari tanah dataran rendah, rawa-rawa, dan bukit.2 Kecamatan Rungan
sebagai Kecamatan Induk yang ada di Kabupaten Gunung Mas. Menurut data yang ada
sementara memiliki luas wilayah ± 704 Km2 dengan jumlah Desa
1

2

dan Kelurahan

Profil Kecamatan Rungan, edisi Juni 2015.
Data Kecamatan Rungan, edisi Juni 2015.

29

sebanyak 14 Desa dan Kelurahan terdiri dari Desa sebanyak 13 Desa dan 1 Kelurahan
dengan rincian luas wilayah sebagai berikut:3
a. Kelurahan Jakatan Raya dengan luas ± 40 Km2
b. Desa Bereng Malaka dengan luas ± 37 Km2
c. Desa Parempei dengan luas ± 52 Km2
d. Desa bereng Baru dengan luas ± 27 Km2
e. Desa Talangkah dengan luas ± 23 Km2
f. Desa Luwuk Langkuas dengan luas ± 88 Km2
g. Desa Tumbang Kajuei dengan luas ± 118 Km2
h. Desa Luwuk Kantordengan luas ± 62 Km2
i. Desa Tumbang Malahoi dengan luas ± 30 Km2

j. Desa Tumbang Baringei dengan luas ± 86 Km2
k. Desa Linau dengan luas ± 45 Km2
l. Desa Tumbang Jutuh dengan luas ± 22 Km2
m. Desa Tumbang Bunut dengan luas ± 34 Km2
n. Desa Karya Bakti dengan luas ± 40 Km2
Secara geografis, bagian utara Kecamatan Rungan berbatasan Kecamatan Rungan
Hulu, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kurun, Kecamatan Mihing Raya dan
Kecamatan Sepang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Rakumpit (Kabupaten

3

Ibid.

30

Madya Palangka Raya), dan Kecamatan Manuhing. Serta bagian Barat berbatasan dengan
Kecamatan Rungan Barat dan Kecamatan Manuhing Raya.

2. Pekerjaan
Sebagian besar penduduk di Kecamatan Rungan bermata pencaharian dari hasil

berladang, menyadap karet, berdagang, berternak, menangkap ikan, mengumpul hasil hutan,
penambang emas dan Pegawai Negeri. Untuk menunjang kelancaran aktifitas perekonomian di
daerah ini, didukung oleh transportasi sungai seperti kapal, mesin motor, dan perahu dengan

31

melewati alur sungai rungan dan sungai kajuei. Selain transportasi air ada juga transportasi
darat melewati jalan Negara yaitu:4
1. Palangka Raya - Tangkiling - Tumbang Talaken - Jakatan Raya
2. Palangkaraya – Tangkiling – Desa Bereng Jun – Parempei – Jakatan Raya.
3. Akses jalan Jakatan Raya - Tumbang Rahuyan - Tewah - Kuala Kurun.
4. Akses Jalan Jakatan Raya – Linau – Kuala Kurun
Pekerjaan penduduk ini juga ditunjang dari diberbagai bidang seperti bidang
perkebunan, pertanian, pertambangan, kehutanan, peternakan, perdagangan barang dan jasa
serta wisata yang peluangnya cukup terbuka dan menjanjikan untuk peningkatan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pada masa yang akan datang. Selain itu, terdapat
juga potensi Sumber Daya Alam yang terdapat di wilayah ini, baik yang sudah dan belum di
eksploitasi yaitu di bidang:5
a. Bidang perkebunan meliputi: karet, rotan dan kelapa sawit.


Khusus untuk

kepala sawit telah dibuka secara luas, baik oleh perkebunan besar, swasta,
maupun oleh masyarakat secara individual. Dengan lokasi tersebar di wilayah
Rungan Hilir yang meliputi wilayah desa Bereng Malaka hingga wilayah Desa
Karya Bhakti.
b. Bidang pertanian meliputi: padi dan palawija, di mana dalam bidang pertanian
padi terdapat di daerah dan gohong rawai yang meliputi 2 desa, yaitu desa

4
5

Profil Kecamatan Rungan, edisi 2015.
Profil Kecamatan Rungan, edisi 2015.

32

Tumbang Bunut dan desa Karya Bhakti. Sedangkan untuk pertanian palawija
tersebar merata hampir diseluruh desa yang berada di Kecamatan Rungan. Akan
tetapi masih bersifat pekerjaan sampingan penduduk sekitar, karena pertanaman

dilakukan pada saat membuka ladang.
c. Bidang pertambangan meliputi: batu bara, pasir zirkon, dan emas.
d. Bidang kehutanan meliputi: kayu, damar, gaharu, getah jelutung, buah
tengkawang, madu, kulit gemur, anggrek hutan, serta flora dan fauna.
e. Bidang peternakan meliputi: ayam buras maupun ayam kampung, sapi, kerbau,
babi, dan ikan.
f. Bidang perdagangan barang dan jasa meliputi: mini market, jasa angkutan air
dan darat, sektor Perbankan, dan kantor Pos.
g. Bidang wisata: Betang Tayoi di Tumbang Malahoi, Riam Gohong Rawai di
Jakatan Raya, serta Dam irigasi di Desa Tumbang Bunut/ Karya Bhakti.
Adapun jenis tanah yang dominan di wilayah Kecamatan Rungan yaitu podsolik merah
kuning, sehingga tanaman karet dan kelapa sawit sangat cocok dikembangkan dalam
usaha perkebunan. Untuk bidang perikanan dan peternakan sangat cocok dikembangkan
karena terdapat Dam di daerah Gohong Rawai dan sungai yang mengalir.6 Disamping
potensi tersebut dapat juga dikembangkan obyek wisata alam/hutan lindung, Wisata Budaya

6

Profil Kecamatan Rungan, edisi 2015.


33

seperti Betang Tayoi Tumbang Malahoi serta Riam Gohong Rawai yang masih belum
dikembangkan secara maksimal.7
Berikut adalah data yang dihimpun berdasarkan laporan data pada Mei 2015 mengenai
pekerjaan masyarakat Kecamatan Rungan:
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
No.

Desa/Kelurahan
PNS

Pedagang

Petani

Dll

Jumlah


1

Desa Bereng Malaka

9

10

92

280

391

2

Desa Parempei

10


2

50

182

270

3

Desa Bereng Baru

4

5

243

199


451

4

Desa Talangkah

3

2

115

153

273

5

Desa Luwuk Langkuas


23

25

486

392

926

6

Desa Tumbang Kajuei

15

10

575


215

815

7

Desa Luwuk Kantor

2

3

205

75

285

8

Desa Karya Bhakti

19

25

597

167

808

9

Desa Tumbang Bunut

15

7

388

61

470

10

Kelurahan Jakatan Raya

135

113

180

976

1.404

7

Wawancara dengan Camat Rungan, 14 Oktober 2015, pukul 09.22 WIB.

34

11

Desa Tumbang Jutuh

4

6

284

705

999

12

Desa Linau

2

3

296

499

800

13

Desa Tumbang Baringei 13

10

321

534

878

14

Desa Tumbang Malahoi

40

14

695

1.451

2.200

294

235

4.527

5.889

10.970

JUMLAH

3. Perekonomian
Meskipun kebutuhan di era sekarang ini menuntut peningkatan dalam bidang
perekonomian, masyarakat di wilayah Kecamatan Rungan ini banyak yang berprofesi sebagai
petani karet. Harga karet yang menurun menambah sulitnya untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, sehingga ada pula para petani yang melakukan usaha sampingan dengan menanam
sayuran dan berternak. Sebagian masyarakat juga berpenghasilan dari usaha perdagangan.
Barang-barang yang diperdagangkan seperti sembako, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buahbuahan, lauk pauk, pakaian, barang elektronik, lemari, emas apotek, perbengkelan, dan bahkan
ada yang membuka percetakan dan penyediaan air galon. Selain itu, banyak pula PNS yang
bekerja di wilayah ini. 8
Jika di desa-desa, mayoritas masyarakat banyak menekuni pekerjaan menjadi petani
karet. Meskipun pemerintah setempat telah mengeluarkan larangan untuk menambang emas
secara ilegal dengan alasan untuk menjaga kelestarian alam dan tidak meneyebabkan

8

Ibid.

35

pencemaran air sungai, namun ada sebagian dari masyarakat yang masih mendirikan lanting
untuk menambang emas. Di samping itu, ada juga masyarakat yang memelihara babi, beternak
ayam, dan memelihara ikan. Mereka akan mengkonsumsi dan menjual hasil ternaknya dengan
harga yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga pasar. Akan tetapi, hal yang
menghambat bagi para peternak ini yaitu modal dan waktu dalam memelihara hewan
ternaknya. Mereka harus menunggu sampai siap untuk diperjual belikan. Ini yang
menyebabkan hanya beberapa masyarakat saja yang menjadi peternak.9
Pemerintah Kecamatan Rungan juga menyediakan beberapa lembaga perekonomian
yang bertujuan untuk membantu masyarakat. Lembaga tersebut bertujuan untuk membantu
masyarakat lebih optimal dalam berurusan dan terjamin kenyamanannya bagi masyarakat
setempat. Lembaga tersebut di antaranya menyediakan BANK dan CU Betang Asi untuk
membantu masyarakat dalam urusan keuangan, dan Swalayan KPD sebagai pusat
perbelanjaan yang lebih murah, Kantor Pos yang membantu masyarakat dalam urusan kirim
dan terima barang. Meskipun demikian, lembaga ini terletak di ibukota Kecamatan Rungan
yakni di Jakatan Raya.10

4. Pendidikan
Sarana pendidikan memang cukup menunjang di wilayah Kecamatan Rungan ini.
Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama tersebar di setiap desa,
kecuali di wilayah Jakatan Raya memiliki dua Taman Kanak-Kanak, tiga Sekolah Dasar, dan

9

Ibid.
Ibid.

10

36

dua Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan SMA hanya ada dua yakni berada di Jakatan
Raya dan desa Tumbang Malahoi.11 Jadi, jika anak-anak didik yang ada di desa-desa lain dan
ingin melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Atas akan melanjutkan di dua Sekolah
Menengah Atas ini.
Anak-anak sering berangkat dengan berjalan kaki, jika ada yang menggunakan alat
tranformasi seperti sepeda motor atau sepeda kaki hanya sebagian saja. Meskipun tersedianya
sarana pendidikan, ada banyak anak-anak yang putus sekolah dan bahkan tidak sekolah karena
alasan kurang mampu dan jarak yang jauh. Bagi yang lulus dari Sekolah Menengah Atas pula
ada yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, ada yang menikah muda, lebih
memilih bekerja, dan juga keterbatasan biaya. Di sisi lain, di wilayah Kecamatan Rungan ini
presentasi buta huruf berkurang atau bisa dikatakan minim.12

5. Keagamaan
Berdasarkan tinjauan lapangan, setiap wilayah yang dinaungi oleh Kecamatan Rungan
ini memiliki fasilitas tempat ibadah yang memadai. Misalnya agama Muslim memiliki Mesjid,
umat Kristiani memiliki Gereja, bahkan umat Kaharingan pun memiliki dua Balai Kaharingan.
Bagi umat Kaharingan sendiri, mereka selalu melaksanakan sambayang Basarah pada hari
Jumat. Masyarakat dalam menyebut agama Kaharingan yakni Hindu Kaharingan. Ria yang
merupakan tokoh adat menjelaskan babagaimana perubahan ini.13 Kaharingan dulu
diperjuangkan pada saat Djilik Riwut masih menjabat menjadi Gubernur Kalimantan Tengah.
11

Wawancara dengan Aldeno, 17 Oktober 2015, Pukul 13.00 WIB.
Ibid.
13
Wawancara dengan Ria, desa Tumbang Jutuh 16 Oktober 2015.
12

37

Ketika kongres di Rabaung tahun 1973, Kaharingan diusulkan menjadi agama yang diakui
oleh Negara. Usulan ini kemudian disampaikan ke pusat di Jakarta, akan tetapi usulan ini
kemudian ditolak dengan alasan memenuhi syarat. Maka disarankanlah, Kaharingan bisa
menjadi agama jika berintegrasi dengan Hindu. Oleh sebab itu, pada tanggal 30 Maret 1980,
Kaharingan diintgrasikan ke agama Hindu dan dinyatakan sah oleh pemerintah pusat. Tetapi
dalam pelaksanaan ibadah dan sebagainya tetap seperti aturan Kaharingan. Agama Hindu
sendiri memiliki beberapa sekte, yaitu Hindu Sikh, Hindu Kajawen, Hindu Bali, Hindu
Dharma, dan Hindu Kaharingan. Maka, sampai sekarang Kaharingan dikenal dengan Hindu
Kaharingan.

B. Masyarakat Dayak Ngaju
Masyarakat Dayak Ngaju mendominasi daerah Kecamatan Rungan. Oleh karena itu,
dalam kesehariannya masyarakat lokal maupun pendatang yang menetap banyak yang
berkomunikasi menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Agama asli Suku Dayak Ngaju adalah
Kaharingan, menurut mithologi Kaharingan yang merupakan satu-satunya sumber bagi orang

Dayak Ngaju dalam menceritakan asal-usul mereka, dikatakan bahwa mereka berasal dari
dunia sana dan datang di Kalimantan setelah diturunkan dengan Palangka yaitu sejenis
kendaraan yang hanya dipergunakan oleh kekuatan-kekuatan suci.14 Ada beberapa
pemahaman masyarakat Dayak Ngaju yang beragama Kaharingan:

14

Depertemen Pendidikan dan Kebudayaa Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional bagian Proyek
Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya, 55-56.

38

Kitab Suci, diuraikan bahwa dahulu kala Yang Maha Kuasa menghimpunkan seluruh

bangsa serta suku dan menyerahkan kepada mereka masing-masing sebuah Kitab Suci dalam
bahasanya masing-masing. Golongan-golongan lain menyimpan Kitab tersebut dan
memeliharanya sampai sekarang. Tetapi bagi suku Dayak yang harus kembali ke daerah asal
usul mereka dengan melalui gunung dan hutan , laut dan sungai, maka demi keutuhan Kitab
Suci itu, telah ditelan bulat-bulat. Dengan perlakuan ini maka ia menguasai seluruh isi Kitab
tersebut dan hapal selengkap-lengkapnya dengan sempurna. Pengetahuan inilah yang
diteruskan turun menurun dan kemudian penerusnya diwakili oleh para Balian dan kepalakepala adat.15
Tuhan Yang Maha Esa atau Ranying Hatalla Langit Jata Balawang Bulau , gambaran

terhadap Tuhan dalam agama Hindu Kaharingan yaitu sebagai Tuhan yang Maha Tinggi,
Maha Kuasa dan pencipta segala sesuatu di bumi. Arti dari Ranying Hatalla langit Jata
Balawang Bulau diceritakan bahwa pada saat Ranying seorang diri, Dia menengok ke bawah
dan melihat ada seseorang, padahal seseorang yang Dia saksikan sebenarnya adalah
bayangannya sendiri. Lalu Ranying memberi nama bayangannya itu dengan sebutan Jata.16
Kata Jata dalam bahasa Sangen berarti wujud atau bayangan dari Ranying Hatalla Langit.
Bayangan tersebut nampak di bawah Tasik Tambanteran Bulan, Laut Bapatag Intan.17 Dalam
danau inilah bayangan Ranying Hatalla Langit itu muncul. Sehingga dipahami bahwa tinggal
atau berdiam di bawah air di atas langit, Basuhun Bulau, Samaramai Rabia 18

15

Fridolin Ukur, Tantang-Djawab Suku Dayak, (BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1971), 23-24.
Sudianto, Tesis: Studi Sosio-Historis Perubahan Ranying menjadi Tuhan Yang Maha Esa dalam
Agama Kaharingan, Salatiga: 2008, 65.
17
Suatu danau yang berkilauan emas, laut yang menjembatankan intan.
18
Tempat yang berlimpahkan emas dan permata.
16

39

Jiwa atau Hambaruan, menurut Hardeland, jiwa dalam tubuh manusia dalam

kepercayaan Dayak Ngaju ada tiga macam:19
1. Hambaruan, dapat juga dipahami selaku daya hidup. Setelah manusia itu meninggal
dunia, maka hambaruan ini kembali langsung kepada keilahian. Oleh Ilah Pencipta
hambaruan ini kemudian diolah dan dicampur dengan tujuh macam zat sehingga dapat

menjadi manusia kembali.
2. Panjalupuk liau, yang disebut juga dengan liau pertama. Panjalupuk liau ini setelah
manusia mati lalu pergi ke Lewu Liau (negeri roh/alam baka).
3. Liau karahang, disebut liau kedua. Dan merupakan jiwa dari tulang-tulang, rambut dan
kuku. Liau kedua ini tinggal berdiam di peti mati, sampai diadakannya upacara
kematian.
Akan tetapi menurut Zimmermann berpendapat bahwa jiwa dalam tanggapan Suku
Dayak Ngaju bukan hanya tiga melainkan lima:20
1. Hambaruan, pada saat kematian ia segera meninggalkan tubuh kilau riwut kembali
kepada pencipta. Hambaruan ini kemudian dicampur dengan tujuh macam zat yakni
kapas, parei, sanaman, salaka (perak), bulau, hintan, dan bakal bereng itah (bahan
tubuh) supaya kelak menjadi manusia baru. Sifat, bakat, dan kemampuan seseorang
bergantung pada banyak atau tidaknya, lebih atau kurangnya suatu zat diwaktu
pencampuran dan pengadukan ketujuh bahan tersebut.
2. Panjalupuk liau, yang seterusnya disebut selaku liau pertama yang tinggal bersama
tubuh dalam peti mati. Tapi ia bebas bergerak dan tinggal di hutan-hutan, sampai
19
20

Ibid, Fridolin Ukur … 43.
Ibid, Fridolin Ukur … 43-44.

40

terlaksananya upacara kematian lengkap. Liau pertama ini yang biasanya dianggap
dapat mengganggu dan sebab itu sangat ditakuti oleh manusia.
3. Liau Pantong Lawin Balau Silo (Jiwa dari ujung rambut dan ujung kuku), disebut juga
liau

kedua.

Liau

kedua

ini

pergi

ke

bukit

pasahan

raung

(gunung

peristirahatan/tumpukan peti mati) yang diperintah oleh Sangiang Tinggi Tingang. Di
sini liau kedua itu tinggal sampai diadakannya upacara kematian.
4. Liau karahang tulang (jiwa dari pemerasan semua tulang), liau ini lebih bersifat
materiil dan berkepribadian yang dapat dianggap menetap dalam tubuh mayat dalam
keadaaan tidak sadar, sampai upacara kematian diadakan. Pada waktunya, dengan
percikan danum kaharingan (air kehidupan) ia hidup kembali dan pulang ke alam atas
ke Mahatara.
5. Liau hampatong mate yang disebut selaku Panjalompok mate, sering dilukiskan selaku
“sarangan hambaruan ije eleh buli akan Hatalla” (tempat jiwa yang sudah kembali ke
Mahatara). Liau hampatong mate ini dengan diantar oleh Tempon Telon pulang ke
Mahatara, setelah melalui suatu penyucian di laut api.
Meskipun ada pandangan tokoh mengenai hambaruan di atas memiliki sedikit
perbedaan pandangan, dalam ritual Manyangiang sendiri sering mencari hambaruan yang
dianggap hilang. Sebagi contoh, pada 30 Oktober 2015 Indu Tabuk melaksanakan ritual
Manyangiang karena pada hari sebelumnya ada salah satu anggota keluarga dari desa Bunut
membutuhkan bantuannya, karena anaknya yang masih balita dianggap tidak memiliki
hambaruan atau hambaruannya hilang. Penyakit yang disampaikan tersebut memiliki ciri

sakit demam namun tidak panas, sering menangis, dan susah tidur. Oleh sebab itu, Indu Tabuk
diundang untuk menyembuhkan atau mencari hambaruan balita itu dengan melaksanakan
41

ritual Manyangiang. Di dalam ritual Manyangiang ini, peran Indu Tabuk adalah sebagai
seorang pemimpin. Oleh sebab itulah ia kemudian menulis syarat-syarat dan juga bahan yang
diperlukan dalam pelaksanaan ritual Manyangiang, dan harus disediakan pada saat
Manyangiang nanti. Pemimpin ritual Manyangiang seperti Indu Tabuk inilah yang secara luas
dikenal sebagai Tukang Sangiang.

C. Tukang Sangiang
Tukang Sangiang tidak asing bagi oleh masyarakat Dayak Ngaju, terutama bagi
masyarakat yang memeluk agama Hindu Kaharingan. Sehari-harinya Tukang Sangiang
berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, meskipun dalam wilayah yang cukup
luas hanya terdapat beberapa saja orang yang menjadi Tukang Sangiang namun keberadaan
mereka begitu menonjol. Seperti Tukang Sangiang yang berada di Kecamatan Rungan,
mereka tidak tinggal di wilayah yang sama, melainkan tersebar di desa-desa yang dinaungi
oleh Kecamatan Rungan.

1. Asal Usul Tukang Sangiang
Tidak ada data resmi secara tertulis mengenai keberadaan Tukang Sangiang. Mereka
hanya dianggap sebagai seorang terpilih yang memiliki jamba 21 dengan sang dewa yakni
Sangiang. Menurut Ria yang merupakan tokoh agama Kaharingan sekaligus tokoh adat
masyarakat yang menganut agama Kaharingan, Tukang Sangiang merupakan seseorang yang
21

Ikatan.

42

istimewa sekaligus seseorang yang mampu berkomunikasi langsung dengan Sangiang.
Sangiang tidak sembarangan bisa berkomunikasi dengan manusia, jika tidak melewati Tukang
Sangiang. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Tukang Sangiang ini adalah manusia yang
dipilih langsung oleh Sangiang sebagai perantaranya di dunia.22
Di samping itu, Tukang Sangiang merupakan nyame Sangiang seperti yang
diungkapkan oleh Lia.23 Nyame merupakan mulut, maksudnya adalah Tukang Sangiang
merupakan penyampai pesan dari Sangiang kepada manusia. Karena Sangiang tidak terlihat
maka Sangiang menggunakan perantara untuk mengungkapkan maksudnya, yakni melewati
mulut Tukang Sangiang. Namun, pada kehidupan sehari-hari Tukang Sangiang hidup seperti
masyarakat pada umumnya. Tukang Sangiang dapat berkomunikasi pada saat melakukan
ritual Manyangiang saja. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa tidak ada catatan
resmi mengenai asal usul Tukang Sangiang. Maka, Penulis menggali informasi dari objek
langsung yakni Tukang Sangiang dan tokoh adat. Informasi yang dihimpun ini mengenai asal
usul mereka menjadi Tukang Sangiang dari pengalaman hidup mereka sebelum menjadi
Tukang Sangiang hingga kemudian menjadi Tukang Sangiang. Berikut ini merupakan kisah
masing-masing pengalaman beberapa Tukang Sangiang dan pemahaman tokoh adat terhadap
Tukang Sangiang:

22
23

Wawancara dengan Ria, 16 Oktober 2015, pukul 16.17 WIB, 2015.
Wawancara dengan Lia, 15 Oktober 2015, pukul 13.20 WIB, 2015.

43

1.1. Tukang Sangiang
a. Indu Palau dari Desa Tumbang Malahoi
Kehidupan Indu Palau pada awalnya sama seperti masyarakat pada umumnya. Ia dan
keluarganya tinggal di desa Malahoi. Mereka bekerja sebagai seorang penyadap karet dan
berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ketika anak pertamanya lahir,
mereka sering masan24 di ladang. Namun, ketika ia berumur 29 tahun Indu Palau mengalami
demam tinggi, sehingga ia berobat kepada bidan kampung. Mulai dari demam biasa inilah,
dari hari ke hari ia merasakan semakin parah dan mulai merasakan hal yang tidak wajar pada
dirinya. Lalu ia kembali memeriksa dirinya ke bidan kampung. Oleh bidan kampung maka
Indu Palau dirujuk ke puskesmas yang berada di Jakatan Raya. Merasa sakitnya tidak kunjung
sembuh, maka beberapa hari kemudian Indu Palau berangkat bersama suaminya untuk
memeriksa kesehatannya di Puskesmas Jakatan Raya seperti yang disarankan bidan kampung.
Diagnosa dokter pada saat itu hanya sakit biasa, dan dianjurkan untuk beristirahat sambil
meminum obat yang didosiskan.
Setelah memeriksa dirinya di Puskesmas, Indu Palau dan suaminya kembali ke
Malahoi. Namun, selama beberapa minggu sakitnya tidak kunjung sembuh, atas anjuran
keluarga maka ia memeriksakan dirinya kembali. Pemeriksaan ini hasilnya sama dengan
pemeriksaan pertama yaitu hanya sakit biasa. Ia pun menerima obat dengan dosis yang sama
oleh dokter yang menangani. Sekitar sebulan Indu Palau sakit, menurut saudaranya mulai
menunjukkan suatu keanehan. Ia seperti orang yang kehilangan akal sehatnya, ia sering

24
Masan atau tidur di pondok yang berada di ladang, hal ini sering dilakukan oleh masyarakat yang
bekerja menyadap karet. Biasanya, jarak antara ladang dan desa cukup jauh sehingga banyak masyarakat yang
membangun pasah/pondok layaknya rumah kedua sebagai tempat tinggal.

44

mencari pohon beringin dan naik ke atas pohon itu kemudian bergumam sendiri, berteriak
seperti orang kerasukan, atau menceburkan dirinya ke dalam air dan menenggelamkan dirinya
untuk waktu yang cukup lama. Sehingga keluarganya merasakan khawatir dengan keadaan
Indu Palau dan memutuskan berobat lagi ke dokter. Pada awalnya mereka mengira Indu Palau
tertular penyakit malaria, namun hasil pemeriksaan dokter Indu Palau tidak mengalami sakit
apa-apa.
Sekitar dua sampai tiga bulan ia mengalami hal demikian, ini menyebabkan warga
sekitar mengira Indu Palau sakit jiwa. Oleh salah satu anggota keluarga, maka disarankan Indu
Palau menjalankan pengobatan tradisional. Ia diobati dengan cara digumul oleh pamannya dari
desa Jangkit. Pada saat itulah ia diketahui menjadi orang yang terpilih oleh Sangiang. Ternyata
yang selama ini ia gumamkan adalah kata-kata dari bahasa Sangiang. Setelah dilaksanakan
ritual gumul itulah Indu Palau mulai membaik. Pada suatu hari, salah satu keponakannya sakit
dan Indu Palau datang bersama suaminya untuk menjenguk. Tiba-tiba saja Indu Palau dapat
mengetahui bahwa hambaruan keponakannya itu tersesat dan harus dilakukan ritual
Manyangiang. Ritual itupun langsung dilaksanakann sendiri oleh Indu Palau pada malam
harinya. Ternyata keesokan harinya keponakannya yang sakit mulai membaik dan dapat
beraktifitas kembali. Sejak saat itulah, Indu Palau sering diundang oleh masyarakat yang
membutuhkan bantuannya.
b. Indu Garinda dari Desa Tumbang Malahoi
Sekitar lima puluh tahun yang lalu, Indu Garinda mengalami kanyaring atau dalam keseharian
masyarakat disebut dengan gila atau kurang waras. Ia sering berlari seharian atau menaiki
pohon beringin sambil berteriak, ia hanya turun jika ada seseorang yang menjemputnya dari
45

atas pohon. Kanyaring ini kemudian berhenti pada suatu saat ia mengalami kesurupan, yaitu
Sangiang merasuki tubuhnya pada saat di gumul oleh salah satu kerabatnya. Setelah kesurupan
itulah Indu Garinda langsung merasakan ia sudah sembuh dan merasa tubuhnya sehat kembali.
Ia mengatakan bahwa, selama ia mengalami kanyaring, jantungnya terasa berdetak sangat
cepat dan suhu tubuhnya terasa panas dan ia mengatakan ini disebabkan karena Sangiang
mempersiapkan jamba untuk masuk ke tubuhnya. Semenjak ia dirasuki untuk pertama kalinya
itulah Indu Garinda kemudian menjadi Tukang Sangiang.
Selama ia menjadi Tukang Sangiang, namanya menjadi cukup terkenal di kalangan
orang yang menganut agama Hindu Kaharingan maupun masyarakat yang beragama lain.
Seperti contohnya, ia pernah didatangi oleh seorang Dosen dari Fakultas ternama di
Palangkaraya karena anaknya kasarungan atau keseurupan yang disertai demam. Selain itu, ia
juga pernah pergi jauh ke wilayah Sampit untuk membantu orang yang ingin melaksanakan
ritual bahajat. Di Tumbang Malahoi sendiri, Indu Garinda dikenal sebagai Tukang Sangiang
yang sering membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk menyembuhkan,
menolak bala, ngumul, ataupun bahajat. Namun, sekarang ini Indu Garinda mulai membatasi
aktivitasnya karena merasa dirinya sudah tua. Tenaga dan kekuatan fisiknyapun dirasakannya
tidak seperti muda dulu. Sehingga, ia hanya dapat membantu orang-orang sekitar dengan
permohonan atau bantuan yang tidak terlalu berat.
c. Indu Nari dari Jakatan Raya
Bagi Indu Nari, menjadi Tukang Sangiang memiliki tanggung jawab yang cukup berat
baginya. Karena iya harus membantu orang lain, ia terkadang pergi jauh ke wilayah yang
belum dikenalnya dan melewati perjalanan yang melelahkan. Akan tetapi, baginya tanggung
46

jawab adalah hal terpenting untuk menunjukkan kasih sang Ilahi. Ia juga merupakan seorang
yang dianggapnya sendiri cukup spiritual dalam keagamaannya. Dahulu, sebelum ia menjadi
Tukang Sangiang ia mengalami kanuahan. Hidup susah dan harus mencari nafkah menjadi
petani karet dan masan jauh ke dalam hutan di wilayah desa Batu Puter. Untuk makanpun
mereka hanya mengandalkan singkong dan kupu. Pada saat masan itulah, anaknya mengalami
sakit, tiba-tiba pada sore hari ia mendengar suara seorang laki-laki yang mengatakan bahwa
Indu Nari harus merebus telur dan kemudian memberikannya untuk anaknya. Pada saat itu ia
sedang tidur, namun seperti orang yang tidak tidur karena mendengarkan suara itu. Lalu ia
bangun dan kemudian melakukan apa yang dikatakan kepadanya. Indu Nari merasa senang
sekali sekaligus terkejut, karena ia melihat anaknya seperti minum obat karena anaknya
berkeringat dan sembuh.
Tidak hanya itu, beberapa saat kemudian suaminya jatuh sakit dan tidak bisa ke desa
untuk berobat karena mereka tidak memiliki uang untuk membeli obat.

Sekitar hampir

sebulan suaminya mengalami sakit, sehingga suaminya terlihat kurus dan lemah. Tiba-tiba
kejadian seperti yang ia alami sebelumnya terjadi kembali. Pada suatu saat di seore hari, ia
mendengar suara laki-laki yang sama. Laki-laki itu menyuruhnya untuk membuat tambak
hambaruan, merebus satu telur ayam, membuat satu ketupat, sipa ruku, dan menyuruh Indu

Nari meletakkannya di depan pintu untuk mencari hambaruan. Semua itu dilaksanakan pada
sore hari, jika hambaruan sudah ditemukan dalam tumpukan beras maka suaminya harus
memakan makanan yang telah disediakan tersebut. Setelah mendengar bisikan itu, keesokan
harinya Indu Nari melakukan semua perintah yang diperdengarkan kepadanya. Maka semua
yang dikatakan itu pula dilaksanakan oleh suaminya, dengan ajaib pada keesokan paginya
suaminya sembuh dari sakit yang dialaminya hampir sebulan itu.
47

Setelah mengalami peristiwa yang dianggapnya luar biasa itu, Indu Nari kemudian
mengalami sakit dan kemudian kasarungan. Karena melihat istrinya tidak kunjung sembuh
maka suaminya membawanya ke desa, namun di desa Batu Puter waktu itu tidak ada bidan
kampong ataupun dokter. Maka dianjurkan oleh keluarganya Indu Nari berobat secara
tradisional yakni dengan mangumul, maka pasa saat di gumul itulah Sangiang merasuknya dan
kemudian sembuh dari sakitnya.
d. Indu Tabuk dari Jakatan Raya
Dari semua Tukang Sangiang yang Penulis gali informasinya, Indu Tabuk merupakan Tukang
Sangiang yang paling terkenal. Selain di wilayah Kuluk Guhung25, namanya hampir dikenal
oleh masyarakat yang berada di desa lainnya. Cerita Indu Tabuk bermula sebelum mengalami
sakit keras sekitar dua bulan lamanya, Indu Tabuk sering bermimpi mengenai alam atas
tempat para dewa. Ia merasakan dirinya terbang ke atas langit, mengikuti kegiatan para dewa,
bahkan belajar cara manawur . Setelah ia sering bermimpi itu, tiba-tiba pada suatu hari ia
mengalami demam tinggi. Ia pergi ke bidan kampung namun tidak juga membaik. Selama dua
bulan ia merasakan demam tinggi, maka ia dibawa ke rumah Bapak Ual untuk di gumul.
Bapak Ual merupakan paman dari Indu Tabuk dan juga menjadi seorang yang memiliki
kemampuan untuk mangumul. Pada saat Bapak Ual mangumul, maka disampaikan bahwa
Indu Tabuk memiliki jamba Sangiang dan harus dirasuk supaya sembuh dari sakitnya.
Setelah di gumul oleh Bapak Ual, maka Induk Tabuk sembuh dari sakitnya. Namun,
ketika sembuh Indu Tabuk tidak menjadi Tukang Sangiang. Selama tujuh tahun berselang
semenjak ia sembuh dari demam tingginya itu, barulah ia menjadi Tukang Sangiang. Menjadi
25

Kuluk Guhung merupakan nama sebuah tempat di Jakatan Raya, letak Kuluk Guhung berada di
perbukitan yang cukup tinggi.

48

Tukang Sangiang diawali pada saat saudaranya yang tinggal di Kahayan dan juga seorang
Tukang Sangiang meninggal dunia karena diguna-guna, dan menyerahkan tugas itu
kepadanya. Saudaranya itu mengetahui bahwa Indu Tabuk juga memiliki jamba Sangiang,
itulah mengapa ia meminta Indu Tabuk menggantikannya, supaya menjadi penerus untuk
membantu keluarga yang kesulitan. Semenjak itulah Indu Tabuk menjadi Tukang Sangiang, ia
terkenal dengan pengobatan yang ampuh dan menguasai segala ritual yang ia jalani. Sampai
saat ini, ia masih menjalani profesinya menjadi Tukang Sangiang dan menolong orang di
beberapa wilayah di Kalimantan Tengah.
1.2. Tokoh Adat
a. Lia
Menurut bapak Lia, Tukang Sangiang terdapat dalam Kitab Suci Panaturan meskipun tidak
ditulis secara rinci. Bawi Ayah turun dan Tukang Sangiang belajar dari apa yang diajarkan
oleh Bawi Ayah tersebut. Mereka inilah yang mengajarkan ritual Kaharingan dari ritual yang
paling sederhana hingga ritual besar, seperti acara nyadiri sampai tiwah. Karena dahulu kala,
ketika raja Bunu beserta anak-anaknya turun ke Pantai Danum Kalunen dari lewu Telo, ia
mengajarkan manusia segata tata cara ritual. Namun setelah berates-ratus tahun kemudian,
maka layau semua upacara-upacara tata ritual seperti uluh balian dan segala ritual lain yang
dia ajarkan kepada manusia. Hal ini dilihat oleh Ranying Hatalla, bahwa semua ajaran yang
diajarkan oleh raja Bunu dan anak-anaknya di Pantai Danum Kalunen telah layau seiring
waktu. Oleh sebab itu, Ranying Hatalla menurunkan Bawi Ayah ke Pantai Danum Kalunen
untuk mengajarkan berbagai tata ritual kembali. Bawi ayah merupakan sekelompok
perempuan yang diturunkan oleh Ranying Hatalla dan mengajarkan tata cara ritual seperti

49

nahunan, tiwah, termasuk juga manyangiang, serta tata cara ritual agama orang Kaharingan

yang lain. Jadi tata cara ini sudah di ijapa oleh Ranying Hatalla dan tercantum di dalam kitab
suci Panaturan.

b. Juli Noman
Berikut ini merupakan kisah asal ditemukannya Tukang Sangiang menurut Bapak Juli Noman
berdasarkan kisah turun temurun dari nenek moyangnya;
Tukang sangiang kau, basa tege sarita kisah Mangku Amat dengan ongko Nyai
Jaya Nyangiang. Ewen due te melai huang sakapuk je dia tau uluh manalih a,
je dia uluh tawan eka. Jadi kamalit garu ih je taluh je hapa pakeleh amun uluh
haban, asal narai panyakit ih tau keleh. Basa kamalit garu te ulih pelum tingang
tapusuk pimping, ulih pelum hantu tampulun saribu, ulih pelum haramaung
namparaung bunu, ayau haramaung je buah punu gin tau belum asal iye tawa.
Jadi ewen due tuh bihin kesah a, tege sarita raja Kampulan Hawun melai lewu
Telo te je haban karas je puna handak mahutus tahaseng a jura jurung je mandai
hampating bua kalamiang kua. Jadi anak Kambaluan Hawun tege due je puna
uluh mamut gagah yete Rawing Tempun Telun dengan Raja Duhung Bulau
Tempun Buang Penyang. Awi gita bapa haban karas jadi kumpul ewen due te
maanun tatamba, ‘Amun kutuh,’ kuan ewen due, ‘dia balang matei bapa tuh’.
Jadi taingat ndai je Mangku Amat dengan Ongko Nyai Jaya je tege mahaga
kamalit garu jaka uluh je haban sasat nah halajur keleh, haguet ih endue nalih
ah, mangguang salaput nih. Rima Rawing Tempun Telun te imbit duhung kurik
tutuk jalan tabarirang, rima kurik duhung ayu te. Duhung Bulau Tempun Buang
Penyang imbit duhung papan benteng duhung tandarung tau nyambabaluh
diring ah. Jadi dia tapa gawi ai tuh awi je handak bapa gulung keleh nyilak ih
duhung te piwis tandang bara salakaput te balawa kalaya nandurung nyangkiap
ih tuh. Hamauh ndai ewen due tuh, ‘Akam tawa kuan ewen due, alam menteng
dengan tempun duhungmu kau dia kau meteng ah imbit burung taluh jara
manuhing daras kaput.’ Ie nah ewen due kau palus nyilak duhung palus
masanan kere au duhung ah tuh. Ye palus balawa ih kau teha-tehang sakapui
tuh palus balawa ih. Lenda-lendang ih takan ewen due jalan kau, palus supa ih
je sakapuk je eka melai Mangku Amat dengan sawa nah. Narai je ewen due tuh
palus haguet kan hete sana sampai hete langsung pander isek. Jadi kuan
50

Mangku Amat, ‘Tikas ketun due tuh ih je ulih supa aku, amun butuh raja
langen dia ulih nyundau hetuh’. Jadi kua hinai, ‘Awi ketun due ulih nyundau
hetuh nah en narai auh kahandakmu?’ Palus ih ewen due mander jalana nah. Au
kuan ewen due, ‘Bapa ku tuh haban karas.’ Kuan mangku Amat hinai, ‘Palus
buli ih ketun due kau, awi keleh ndai bapam.’ Dia kuan due, dia tau amun dia
Mangku Amat dumah. Iyoh ih kuan Mangku Amat, palus buli ih ewen telu
nalih ah, ayu esu itah telu nalih ah. Palus tulak sambil ningkang jara jarang bara
sakapuk sampai lewu telo, tege due telu tingkang paluh sampai ewen telu. He
kuan ewen due..kai-kai ampi ampi kagana bue je dia tau hongko jia tau bakas
uras duhung nantiring bitim harang pipih kua. Sana sampai langsung pakeleh
ih. Baleh raja ka hapan gahan garu limbah a te. Te au tamparan uluh kasene je
Tukang Sangiang kau.
Cerita Tukang Sangiang berasal dari Mangku Amat dan Nyai Jaya Nyangiang yang tinggal di
Sakapuk, yaitu suatu tempat yang sulit dijangkau oleh orang lain, tempat itu merupakan
tempat gaib dan tidak terlihat. Mangku Amat dan istrinya memelihara kamalit garu
merupakan benda gaib yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Pada suatu
hari, raja Kampulan Hawun di lewu Telo sakit keras dan hampir mati. Raja ini memiliki dua
anak yang gagah perkasa dan sakti yang bernama Rawing Tempun Telun dan Raja Duhung
Bulau Tempun Buang Penyang. Karena melihat ayahnya sakit keras, mereka berdua
membicarakan bagaimana cara menyembuhkan sang ayang yang hampir mati. Maka
teringatlah oleh salah satu anaknya tentang seorang yang mampu menyembuhkan segala
macam penyakit, yaitu Mangku Amat dengan Ongko Nyai Jaya yang memelihara kamalit
garu. Maka berangkatlah meraka berdua mencari Mangku Amat dan istrinya dengan

membawa bekal sakti. Rima Rawing Tempun Telun membawa duhung kurik tutuk jalan
tabarirang dan Duhung Bulau Tempun Buang Penyang membawa duhung papan benteng
duhung tandarung. Karena keinginan yang kuat akan kesembuhan sang ayah, maka dengan

segenap kekuatan yang dimiliki, mereka berdua menggunakan duhung untuk menebang segala
sesuatu yang menghalangi jalan. Karena kesaktian duhung itu, maka mereka menemukan
51

sakapuk tempat Mangku Amat dan Nyai Jaya Sangiang. Melihat akan kehebatan itu, maka
Mangku Amat mengatakan kepada mereka berdua jika mereka sangat hebat mampu
menemukan tempatnya tinggal. Dan kemudian, keduanya menyampaikan maksud dan tujuan
dari kedatangannya yakni supaya Mangku Amat dan istrinya menyembuhkan ayahnya yang
sakit keras. Namun, oleh Mangku Amat mereka berdua disuruh kembali karena sang ayah
telah sembuh. Karena tidak percaya, Rawing Tempun Telun dan Raja Duhung Bulau Tempun
Buang Penyang memaksa Mangku Amat ikut serta ke lewu Telu tempat ayahnya yang sakit
keras. Sehingga kemudian, Mangku Amat mengikuti apa yang disampaikan itu dan berangkat
menuju lewu Telu, hanya dua sampai tiga langkah saja mereka sudah sampai ke tempat tujuan
yakni di lewu Telu. Hal ini disebabkan karena kesaktian yang dimiliki oleh Mangku Amat
yang terlampau hebat. Sesampainya di lewu Telu, Mangku Amat kemudian menyembuhkan
raja Kampulan Hawun dan keajaiban terjadi yakni sang raja sembuh dari penyakit kerasnya.
Atas imbalannya itulah, maka Mangku Amat diberikan imbalan gahan garu. Itulah awal cerita
bagaimana mulanya Tukang Sangiang dikenal.

52

2. Manyangiang
Manyangiang merupakan ritual penyembuhan terhadap penyakit yang diakibatkan oleh
hal gaib. Selain itu, ritual manyangiang juga bisa digunakan untuk ngumul26, bahajat, meminta
pertolongan atau palaku, dan juga memohon perlindungan.27 Ritual manyangiang terbagi
menjadi dua macam yaitu manyangiang dan sangiang bisu. Sangiang bisu sangat jarang
terjadi, sangiang bisu ini artinya pada saat Sangiang merasuk Tukang Sangiang dan Tukang
Sangiang itu tidak berkata apa-apa tapi Tukang Sangiang hanya menghentakkan kakinya
keras-keras ke lantai sebagai tanda ia merasuk. Kemudian, untuk berkomunikasi maka ia juga
menghentakkan kakinya sebagai tanda ia menjawab. Namun proses kerasukan dalam sangiang
bisu ini tidak membutuhkan waktu yang lama.28 Berikut ini merupakan contoh proses ritual
manyangiang untuk menyembuhkan seseorang yang sakit sebagai berikut: 29
1. Mbirang amak, alas tempat sesajen di buka untuk menyimpan syarat-syarat kecuali
Parapen.

2. Ngutip kamenyan, kemenyan di kutip isut-isut dan kemudian ndadah syarat-syarat di
atas parapen.
3. Nampung tawar syarat, syarat-syarat di tampung tawar lalu salah satu logam di ambil
dan di celupkan ujungnya ke dalam darah semudian nyaki syarat-syarat dan orang akan
di sembuhkan.

26

Ngumul atau Mangumul terbagi atas dua kategori penyembuhan, yaitu mangumul manta dan
mangumul. Mangumul manta ialah sebuah proses penyembuhan tanpa menggunakan syarat atau ketentuan,
proses penyembuhan semacam ini hanya menggunakan tangan yang menerawang dimana letak sakit seseorang
yang berada di dalam tubuhnya secara mistis. Sedangkan mangumul, sebuah proses penyembuhan yang lebih
rumit. Di mana ada syarat atau ketentuan di dalam proses pelaksanaannya. Minimal syarat yang ada ialah behas
tawur dan panyaki.
27
Wawancara dengan Indu Nari, 17 Oktober pukul 09.02 WIB.
28
Wawancara dengan Lia, 17 Oktober pukul 18.30 WIB
29
Abrilomi Puspita Sari, SKRIPSI: Nyanyiang Sangiang, Banjarmasin: 2009, 81-83

53

4. Orang yang sakit duduk/berbaring di dekat tukang Sangiang.
5. Tukang Sangiang kemudian mengambil Paduduk lalu mengadahkan di atas kepala
orang yang sakit dan kemudian di kelilingi.
6. Setelah itu, tukang Sangiang memakan sipa dan mulai menyanyikan kutak sangiang.
Maka orang yang menjadi pembantu tukang Sangiang akan mengibaskan asap
kemenyan dengan tangannya yang ada di parepen ke arah tukang Sangiang.
7. Tukang Sangiang kemudian mengambil behas tawur , lalu melemparkan behas tawur
itu ke atas tiga kali dan ke bawah tiga kali.
8. Setelah itu, tukang Sangiang menutup kepalanya dengan kain sambil mengucapkan
syair-syair Paturun Sangiang dan diselingi dengan ucapan maksud dan tujuan
memanggilnya.
9. Setelah beberapa lama, tukang Sangiang akan kesurupan.
10. Basir Pengampu30 akan menterjemahkan apa yang disampaikan Sangiang kepada
manusia.
11. Jika Sangiang ingin pulang kembali ke asalnya, maka ia akan menyampaikan itu. Lalu,
Basir Pengampu tadi akan menghamburkan behas tawur ke arah tukang Sangiang yang
kesurupan.
12. Tanda ketika Sangiang sudah pulang ke asalnya dan keluar dari tukang Sangiang,
maka tukang Sagiang akan mengalami cegukan tiga kali. Jika tukang Sangiang tidak
mengalami cegukan, berarti Sangiang masih berada dalam tubuhnya.
13. Jika tukang Sangiang sudah sadar, maka tukang Sangiang mengambil hambaruan dan
membukanya dari bungkusan kain putih dan menyimpannya di atas kepala orang yang
30

Basir Pengampu ialah orang yang menjadi pembantu tukang Sangiang dan bertugas sebagai
penterjemah pada saat tukang Sangiang dirasuki oleh Sangiang.

54

sakit. Setelah itu nampung tawar dan manyaki dengan darah ayam dengan
menggunakan uang logam, dan setelah itu mengigit pisau atau besi.

3. Bahasa Sangiang sebagai Sarana Komunikasi
Sebagai penghubung antara manusia dan Sangiang, maka yang paling penting yang
harus dikuasai oleh Tukang Sangiang adalah bahasa yang dimengerti oleh Sangiang. Bahasa
inilah yang kemudian menjadi suatu alat komunikasi yang membantu dalam proses ritual
manyangiang. Menurut Fridolin Ukur, bahasa Sangiang merupakan bahasa kudus (sejenis

bahasa sastra) yang jauh berbeda dengan bahasa Dayak Ngaju sehari-hari.31 Menurutnya,
bahasa Sangiang memiliki persamaan kata dalam Hinduisme. Hinduisme mengenal kata Sang
Hyang dan dalam mitologi Dayak Ngaju mengenal kata Sangumang atau Sang Umang.

Sehingga ia menganalisa:32
Sang

: Bahasa Sangsekerta dan pengertian dalam Hindu berarti Yang Mulia

Umang

: Sangat mendekati kata UHM, dalam mitologi Hindu menunjuk kepada
kuasa semesta Trimurti yakni Brahma, Wisnu, dan Siwa.

Kemudian Fridolin Ukur menganalisa kata Iang dari Sangiang menunjuk kepada
kesamaan di atas yang dapat diartikan sebagai Ilah, Yang Mulia, dan dapat diartikan pula
sebagai nenek moyang atau tato hiyang. Di jelaskan lebih lanjut oleh Natan Ilun bahwa dalam
bahasa melukiskan legenda, legenda melahirkan lambang, lambang menterjemahkan menjadi
ungkapan-ungkapan yang siap dipakai. Demikian juga bahasa dalam Dayak Ngaju seperti
31
32

Ibid, Fridolin Ukur … 24
Ibid, Fridolin Ukur … 25

55

sejarah bahasa Sangiang. Bahasa Sang En Sang Hiang merupakan bahasa asli yang bercorak
kiasan, yakni bahasa yang paling awal dikenal oleh suku Dayak Ngaju sejak prasejarahnya.
Sarita Sang En atau Sang Apa atau Prasejarah adalah irama manyangen yang menjadikannya

salah satu bentuk seni yaitu bahasa yang banyak melukiskan ragam cerita purba. Bahasa Sang
En yang diperkaya dengan bahasa periode zaman Sang Hiang, dan kemudian diperkaya

hingga zaman berikutnya. Sehingga sadar atau tidak sadar, bahasa ini semakin diperkaya dan
secara berlahan punah karena terpengaruh oleh suasana periode zaman. 33 Corak legenda yang
menjadi patokan periode zaman yaitu:
1. Periode pertama, periode jaman Sang En yang artinya en yaitu apa yang merupakan
kata tanya. Sang En artinya jaman apa atau jaman awal atau jaman pralegenda . Periode
ini ditandai dengan pewarisan corak bahasa yang disebut bahasa Sang En, bersamaan
dengan warisan legenda tua yang disebut dengan Panaturan. Ditunjang dengan ragam
versi cerita rakyat jaman itu, dan diiringi dengan irama lagu yang disebut Manyangen.
Iramanya mirip dengan lagu Hanteran dalam inti upacara Tiwah. Legenda yang
melukiskan awal kejadian dunia manusia.34
2. Periode kedua, periode jaman Sang Hiang atau nenek moyang. Ditandai dengan sebutan
Bahasa Sangan Sangiang yang dikenal sebagai bahasa tua yang diwarisi sekarang.

Selain itu, periode ini ditandai pula dengan sebutan Karak Tungkup yang ditunjang
dengan ragam cerita rakyat. Melukiskan tentang kegaiban dan keajaiban, adat dan corak
kepercayaan, tuntunan, binaan secara kiasan.35

33

Y. Nathan Ilun, Tampang Buhul Warisan Purba , (Kuala Kapuas: 18 Juni 1987), 85.
Y. Nathan Ilun, 1987: 122.
35
Y. Nathan Ilun, 1987: 122-123.
34

56

3. Periode ketiga, ditandai dengan ciri periode jaman yang disebut dengan Tetek Tatum,
yaitu jamannya Tambun Bungai. Menampilkan bayangan suasanan pada periode
jamannya, disajikan melalui seni irama lagu yang disebut dengan Manatum. Melukiskan
versi peristiwa yang menarik bagi para pendengarnya dengan bahasa khusus.36
4. Periode keempat, ditandai dengan pewarisan legenda atau ragam riwayat yang disebut
dengan Sansana Bandar . Melukiskan ciri dari jaman itu, dan disajikan dengan seni suara
yang disebut Karungut. Dalam rangkaian legenda ini, sudah ada uang ringgit, sultan
Banjar, sultan Brunai, damar dan rotan sudah menjadi mata dagang.37

Di dalam ritual Manyangiang tidak menggunakan bahasa Dayak Ngaju sehari-hari
namun bahasa yang digunakan adalah bahasa Sangiang atau Kutak Sangiang atau dikenal
dengan Nyanyin Sangiang, Sebelum Tukang Sangiang dirasuki oleh Sangiang, Tukang
Sangiang akan memanggil Sangiang dengan Nyanyin Sangiang. Ketika Tukang Sangiang
memulai kalimat maka ia mengucapkan I i i i i i yang artinya IA yang maha Kuasa, awal dari
segala-galanya dan IA pula yang menjadi akhir segala-galanya itu. IA Yang Maha Besar,
Maha Pencipta dan Maha Menjauhkan segala hal-hal yang sifatnya tidak baik dari kehidupan
manusia, serta ucapan tersebut membuka pintu langit dan memuji nama-Nya.38 Setelah itu
dilanjutkan dengan Nyanyin Sangiang dengan contoh kutak:
Jadi turun nyaliauan tanduk, dinu tanggaran bulan jahawen.
Tapakalung lawung kingkap antang, bahalap rega jipen hanya.

36

Y. Nathan Ilun, 1987: 123.
Ibid, Nathan Ilun …123.
38
Bajik R, Simpei, dkk, PANATURAN: Tamparan Taluh Handiai (Awal Segala Kejadian) ,
(Palangkaraya: V.Litho Multi Warna, 1996), 229.
37

57

Salandewen luhing, angkul timpung. Bumbung lunuk basalauh dawe.
Tapakalung jujung sangkulau dare, daren tingang hapintih dandan.

Artinya:
Sudah merasuk meliputi nyaliawan tanduk, bagaikan bulan timbul enam hari.
Meliputi lawung, singkap antang, indah berharga delapan orang budak.
Terlindung kain ikat kepala, bagaikan rimbunnya daun beringin.
Meliputi ujung sampulau dare, dibuat dan diayam oleh banyak tangan.

4. Basir Pengampu
Dalam setiap proses pelaksanaan ritual Nyangiang, selain tukang Sangiang, ada pula
orang yang menjadi pembantu tukang Sangiang yang disebut Basir Pengampu. Ia bertugas
sebagai penterjemah pada saat tukang Sangiang dirasuki oleh Sangiang. 39 Basir pengampu ini
hanya sebagai penterjemah bahasa Sangiang yang diucapkan oleh Tukang Sangiang pada saat
di rasuk oleh Sangiang, karena bahasa Sangiang ini berbeda dari bahasa Dayak Ngaju seharihari. Pada umumnya, Basir pengampu ini bisa dari kerabat yang melaksanakan ritual
Manyangiang, atau bisa ditunjuk oleng Tukang Sangiang sendiri untuk membantunya. Basir
pengampu juga harus memiliki pendengaran yang baik dalam mendengar yang diucapkan oleh
Tukang Sangiang pada saat dirasuk, sebab yang diucapkan oleh Tukang Sangiang terkadang
bahasanya terlalu cepat dan tidak bisa diulang. Oleh sebab itulah, Basir pengampu memiliki
peran penting sebagai interpretasi dalam sebuah pelaksanaan ritual Manyangiang.
39

Abrilomi Puspita Sari, SKRIPSI: Nyanyian Sangiang, (Banjarmasin: 2014), 81.

58

5. Upah
Upah atau hasil yang diterima oleh Tukang Sangiang ketika membantu seseorang yaitu
panyewut Sangiang iyete uju ratus, uju puluh, uju turu, uju suku. Jika upah dengan nominal

uang rupiah tidak bisa ditentukan, karena itu sukarela yang diberikan dari pihak yang dibantu.
Bagi Indu Nari, tidak etis jika meminta dan menentukan upah uang, karena kemampuan
perekonomian setiap keluarga yang dibantu tidak sama semua.40 Jika keluarga yang dibantu
tidak memberikan uang sebagai upah, mereka sebagai Tukang Sangiang tidak akan memprotes
atau memaksa supaya diberikan uang. Bagi mereka menolong seseorang lebih penting dan
terutama, sedangkan upah dan lainnya seperti bagin sangiang hal kedua.41 Meskipun
demikian, jika pendeng lunuk atau pendeng meja untuk bayar hajat itu bisa ditentukan upah
pelaksanaannya. Paling mahal upah yang diterima oleh Tukang Sangiang yaitu satu juta
setengah hingga dua juta rupiah. Bayar hajat ini biasanya dilakukan oleh orang yang
perkekonomiannya menengah ke atas. Meskipun tidak sanggup dibayar oleh orang yang bayar
hajat maka upahnya diganti dengan sadadia piring nyuang behas, sanaman, jika sampai pada
bayar hajat yang besar maka dilaksanakan pendeng meja dua puluh dua ekor ayam dan dua

ekor babi.42

40

Wawancara dengan Indu Nari, 17 Oktober pukul 09.02 WIB .
Wawancara dengan Indu Tabuk, 29 Oktober pukul 10.15 WIB.
42
Ibid.

41

59

5. Basir dan Tukang Sangiang
Ada banyak orang yang kurang mengetahui terutama orang yang beraga di luar agama
Hindu Kaharinga bahwa Basir dan Tukang Sanging berbeda. Di agama Hindu Kaharingan,
pembawa Auh Ranying Hatalla Langit, Jatha Balawung Bulau di sebut dengan Basir atau
ulama. Basir merupakan Upu,43 dialah orang yang menjadi pembawa kutak dan sekaligus
menyanyikan Nyanyian Sangiang dalam upacara ritual. Ada pula orang-orang yang bisa
membantu Basir dalam melaksanakan tugasnya yaitu Basir Pengampu. Jumlah Basir
tergantung dari besar kecilnya upacara yang dilaksanakan. Jumlah Basir ini selalu ganjil,
misalnya 1 (satu), 3 (tiga). 5 (lima), 7 (tujuh), 9 (Sembilan) dan paling banyak 11 (sebelas)
orang.44 Basir menghafal seluruh tata cara dan adat istiadat agama yang mencakupi
keseluruhan pelaksanaannya di dalam Hindu Kaharingan. Selain itu ada yang menjadi Mantir
Kandayu yaitu orang yang membawa nyanyian pada saat Basarah di Balai.
Sedangkan Tukang Sangiang, ia hanya sebagai tokoh penyembuh dan dianggap
sebagai orang yang memiliki ilham atau wahyu dari Hatalla. Tukang Sangiang tidak berperan
dalam peribadatan di Balai Basarah atau ngandayu, ia hanya sebagai umat dan bukan salah
satu bagian dari peribadatan itu. Akan tetapi dalam susunan dalam organisasi keagamaan,
Tukang Sangiang termasuk di dalam tokoh masyarakat. Meskipun sebagai orang yang
menerima wahyu, Tukang Sangiang tidak pernah meminta posisi yang tinggi di dalam
organisasi keagamaan. Mereka hanya menuruti setiap keputusan yang dibuat oleh aturan Balai
sebagaimana umat lainnya.45

43

Disebut yang tertua.
Drs. Rangkap I Nau, Buku Pelajaran Agama Hindu Kaharingan untuk Tingkat SMTP kelas II, 50-51.
45
Wawancara dengan Lia, 17 Oktober pukul 18.30 WIB

44

60

6. Tukang Sangiang sebagai Seorang Penyembuh
Salah satu hal yang menarik dari Tukang Sangiang adalah kemampuannya untuk
menolong seseorang yang sedang membutuhkan. Pertolongannya bisa berupa mangumul,
menyembuhkan penyakit, bahajat, dan bisa juga membuang sial. Untuk menolong seseorang
yang sakit, Tukang Sangiang bisa memeriksa pasiennya dengan cara disentuh supaya
mengetahui apakah penyakit itu sakit biasa ata