Campur Kode dalam Dialog Sinetron Ganteng-ganteng Serigala

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut (Kridalaksana, 1984:106).

2.1.1 Kode

Menurut Kridalaksana (1984:102) kode merupakan lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, bahasa manusia adalah sejenis bahasa kode. Kode adalah sistem bahasa dalam suatu masyarakat. Kode juga dapat berarti variasi tertentu dalam suatu bahasa. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan kode adalah lambang ungkapan yang digunakan dalam suatu masyarakat untuk menggambarkan makna tertentu suatu bahasa.

2.1.2 Campur Kode

Campur kode adalah penggunaan bahasa dengan mencampur dua atau lebih bahasa dalam suatu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi bahasa itu. Misalnya, seorang penutur menggunakan bahasa Indonesia dengan menyisipkan kata-kata dari bahasa asing dalam bahasa tersebut. Penggunaan bahasa seperti ini dapat dikatakan campur kode.

Thelender (dalam Chaer dan Agustina, 2010:115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dengan campur kode. Menurutnya, bila suatu peristiwa tutur


(2)

peristiwa tersebut disebut alih kode. Namun apabila suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa-klausa dan frasa campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode.

2.1.3 Sinetron

Sinetron merupakan film yang dibuat khusus untuk penayangan di media elektronik seperti televisi (KBBI, 2008:1312). Sinetron berasal dari singkatan sinema elektronik. Sinetron di Indonesia mengalami perkembangan, baik yang bertema percintaan, misteri, fantasi, supranatural, dan sebagainya. Hampir semua stasiun televisi seperti RCTI, SCTV, INDOSIAR, MNCTV dan sebagainya menayangkan sinetron..

Tayangan-tayangan sinetron ini dapat mempengaruhi pola tingkah laku penontonnya sehingga tayangan sinetron seharusnya berisikan motivasi yang baik dan pengetahuan. Namun seiring perkembangan zaman, sinetron di Indonesia menjadi sangat memprihatinkan karena terdapat beberapa unsur yang dikhawatirkan dapat merusak tingkah laku dan bahasa. Contohnya, sinetron

Ganteng-ganteng Serigala, sinetron Diam-diam Suka, sinetron Emak Ijah Pengen ke Mekah menggunakan satu bahasa yang disisipi istilah dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Penggunaan bahasa seperti ini dalam sinetron biasa dilakukan untuk menaikkan minat penonton terhadap sinetron tersebut.


(3)

2.2 Landasan Teori

Teori yang relevan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut.

2.2.1 Sosiolinguistik

Menurut Chaer sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan yang erat. Sosiologi merupakan berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada, sedangkan linguistik berusaha mempelajari mengenai bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan pengguna bahasa itu di dalam masyarakat (Chaer, 2004:2).

Menurut Nancy Parrot Hickerson (dalam Chaer 2004:4) sosiolinguistik merupakan pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa.

Berdasarkan kedua pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji hubungan bahasa dengan penutur di dalam lingkungan sosial.

2.2.2 Bilingualisme

Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Bilingualisme merupakan salah satu gejala kebahasaan yang berkembang dari masa ke masa karena peristiwa kontak bahasa.


(4)

Secara harfiah, bilingualisme yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Menurut Chaer (2004:84), bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.

Prawiroadmodjo (dalam Aslinda 2010:25) mengatakan bahwa ciri yang menonjol dalam sentuhan bahasa adalah terdapatnya kedwibahasaan (bilingualisme) atau keanekaragaman bahasa (multilingualisme). Jadi peristiwa gejala bahasa itu tampak menonjol dalam wujud kedwibahasaan. Kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur. Kedwibahasaan lebih cenderung pada gejala tutur (parole) sedangkan kontak bahasa lebih cenderug terjadi pada gejala bahasa (langue). Pada prinsipnya, langue adalah sumber dari parole, maka dengan sendirinya kontak bahasa akan terjadi pada kedwibahasaan.

Menurut Oscar (dalam Aslinda, 2010:25) kedwibahasaan tidak hanya dimiliki oleh perorangan, tetapi juga milik kelompok karena bahasa bukan hanya sebagai alat perhubungan di antara kelompok, melainkan sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok. Suwito mengatakan masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi sebagaimana halnya dwibahasawan yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bilingualisme merupakan salah satu gejala bahasa yang terjadi karena penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur atau kelompok masyarakat.


(5)

2.2.3 Campur Kode

Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom sapaan dan sebagainya (Kridalaksana, 1984:32).

Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi infomal. Dalam situasi bahasa formal jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing (Aslinda, 2010:87). Menurut Rokhman (2013:38) ciri lain dari campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Suwito yang mengatakan bahwa campur kode merupakan konvergensi yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa, masing-masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disusupinya. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito (1985:78) membedakan campur kode menjadi beberapa macam, antara lain:

1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.


(6)

(Kridalaksana, 1984:89). Bahasa Indonesia memiliki empat kategori kata atau kelas kata, yaitu 1) kata nomina, 2) kata verba, 3) kata adjektiva dan 4) kata adverbia.

2. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.

Frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa maksudnya penyisipan unsur frasa yang disisipkan ke dalam kalimat inti. Frasa dapat digolongkan menjadi empat yaitu frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa adverbial dan frasa preposisi (Ramlan, 1980:128).

3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.

Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster artinya penyisipan bentuk baster atau kata campuran menjadi serpihan bahasa yang dimasukinya.

4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata.

Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata artinya pengulangan kata ke dalam bahasa inti dari suatu kalimat.

5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.

Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya. Penyisipan unsur-unsur


(7)

yang berwujud ungkapan atau idiom merupakan penyisipan kiasan dari suatu bahasa menjadi dari sepihan bahasa inti yang dimasukinya.

6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.

Klausa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari predikat yang dapat disertai dengan Subjek, Objek, Pelengkap,dan Keterangan. Subjek, Objek, Pelengkap dan Keterangan pada klausa bersifat mana suka yang dapat muncul ataupun tidak.

Suwito (1985: 75) membedakan campur kode menjadi dua golongan, yaitu campur kode ke dalam (inner code-mixing) dan campur kode keluar (outer code-mixing). Campur kode ke dalam adalah campur kode dengan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli atau serumpun dan campur kode ke luar adalah campur kode yang unsurnya bersumber dari bahasa asing.

Penelitian ini akan mengkaji berdasarkan bentuk dan jenis campur kode yang dikemukakan oleh Suwito. Hal ini dilakukan karena teori tersebut cocok dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai campur kode sudah sering dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya Miyerni Sitepu (2007) dalam skripsinya yang berjudul “Campur Kode dalam majalah Aneka Yess!”. Teori yang digunakan peneliti tersebut sama dengan teori yang akan digunakan oleh peneliti yaitu teori campur kode yang dikemukakan oleh Suwito. Dalam hasil penelitiannya, peneliti tersebut menggolongkan datanya berdasarkan bentuk kata, frase, baster, pengulangan kata, dan ungkapan. Dalam penelitiannya, dia mengatakan bahwa campur kode


(8)

memiliki pengaruh yang positif dan pengaruh yang negatif terhadap bahasa karena dapat menambah kosakata dan merusak perkembangan bahasa yang ada.

Yuningsih (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Campur Kode dalam Tabloid GAUL”. Penelitiannya membahas mengenai bentuk dan pengaruh campur kode. Teori yang digunakan peneliti tersebut dalam penelitiannya adalah teori campur kode yang dikemukakan oleh Suwito. Teori yang digunakan peneliti tersebut relevan dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Dalam hasil penelitiannya, bentuk campur kode ada yang berwujud kata, frasa, baster, dan ungkapan, sedangkan pengaruhnya yaitu berupa interfrensi dan integrasi.

Penelitian mengenai tema campur kode ini juga pernah dilakukan oleh Eko Mandala Putra (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penggunaan Campur Kode dalam Ceramah Y. M. Bhiksu Uttamo”. Metode yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data adalah metode simak, kemudian dilanjutkan dengan teknik sadap, teknik rekam dan teknik catat. Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti tersebut akan digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data karena peneliti tersebut dengan peneliti memiliki kesamaan sumber data yaitu sumber data lisan.

Murliati (2013) dalam artikelnya yang berjudul Campur Kode Tuturan Guru Bahasa Indonesia dalam Proses Belajar Mengajar: Studi Kasus di Kelas VII SMP Negeri 20 Padang. Menggunakan teori campur kode yang dikemukakan oleh Nursaid dan Marjusman Maksan yang mengatakan arah campur kode terbagi dua jenis yaitu campur kode ke dalam (inner code mixing) dan campur kode ke luar (outer code mixing). Dalam artikel tersebut, peneliti mengatakan bahwa campur


(9)

kode terbagi tiga bagian yaitu campur kode ke dalam, campur kode ke luar dan campur kode ke dalam dan ke luar. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa bentuk satuan bahasa yang dominan mengalami campur kode adalah kata sedangkan bentuk satuan bahasa yang jarang mengalami campur kode adalah satuan bahasa berupa frasa. Rumusan masalah yang dibahas dalam artikelnya tersebut relevan dengan salah satu rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan referensi tambahan dalam mengkaji jenis campur kode yang akan dibahas dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti karena penelitian tersebut mengkaji masalah yang sama dengan apa yangakan diteliti oleh peneliti.

Dari beberapa penelitian yang relevan di atas, dapat digambarkan bagaimana peristiwa kebahasaan khususnya mengenai campur kode itu terjadi.

Penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya. Namun dari penelitian

sebelumnya belum ada yang meneliti peristiwa campur kode yang terdapat pada sinetron. Jadi dapat dikatakan bahwa penelitian kali ini merupakan penelitian lanjutan atau perkembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya.


(1)

Secara harfiah, bilingualisme yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Menurut Chaer (2004:84), bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.

Prawiroadmodjo (dalam Aslinda 2010:25) mengatakan bahwa ciri yang menonjol dalam sentuhan bahasa adalah terdapatnya kedwibahasaan (bilingualisme) atau keanekaragaman bahasa (multilingualisme). Jadi peristiwa gejala bahasa itu tampak menonjol dalam wujud kedwibahasaan. Kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur. Kedwibahasaan lebih cenderung pada gejala tutur (parole) sedangkan kontak bahasa lebih cenderug terjadi pada gejala bahasa (langue). Pada prinsipnya, langue adalah sumber dari parole, maka dengan sendirinya kontak bahasa akan terjadi pada kedwibahasaan.

Menurut Oscar (dalam Aslinda, 2010:25) kedwibahasaan tidak hanya dimiliki oleh perorangan, tetapi juga milik kelompok karena bahasa bukan hanya sebagai alat perhubungan di antara kelompok, melainkan sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok. Suwito mengatakan masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi sebagaimana halnya dwibahasawan yang menggunakan dua bahasa atau lebih sebagai alat komunikasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bilingualisme merupakan salah satu gejala bahasa yang terjadi karena penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur atau kelompok masyarakat.


(2)

2.2.3 Campur Kode

Campur kode merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom sapaan dan sebagainya (Kridalaksana, 1984:32).

Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi infomal. Dalam situasi bahasa formal jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing (Aslinda, 2010:87). Menurut Rokhman (2013:38) ciri lain dari campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Suwito yang mengatakan bahwa campur kode merupakan konvergensi yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa, masing-masing telah meninggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disusupinya. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito (1985:78) membedakan campur kode menjadi beberapa macam, antara lain:

1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata.

Kata merupakan morferm atau kombinasi morferm yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk bebas


(3)

(Kridalaksana, 1984:89). Bahasa Indonesia memiliki empat kategori kata atau kelas kata, yaitu 1) kata nomina, 2) kata verba, 3) kata adjektiva dan 4) kata adverbia.

2. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.

Frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa maksudnya penyisipan unsur frasa yang disisipkan ke dalam kalimat inti. Frasa dapat digolongkan menjadi empat yaitu frasa nominal, frasa verbal, frasa adjektival, frasa adverbial dan frasa preposisi (Ramlan, 1980:128).

3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster.

Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster artinya penyisipan bentuk baster atau kata campuran menjadi serpihan bahasa yang dimasukinya.

4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata.

Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari reduplikasi. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata artinya pengulangan kata ke dalam bahasa inti dari suatu kalimat.

5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.

Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota-anggotanya. Penyisipan unsur-unsur


(4)

yang berwujud ungkapan atau idiom merupakan penyisipan kiasan dari suatu bahasa menjadi dari sepihan bahasa inti yang dimasukinya.

6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.

Klausa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari predikat yang dapat disertai dengan Subjek, Objek, Pelengkap,dan Keterangan. Subjek, Objek, Pelengkap dan Keterangan pada klausa bersifat mana suka yang dapat muncul ataupun tidak.

Suwito (1985: 75) membedakan campur kode menjadi dua golongan, yaitu campur kode ke dalam (inner code-mixing) dan campur kode keluar (outer code-mixing). Campur kode ke dalam adalah campur kode dengan unsur-unsur yang bersumber dari bahasa asli atau serumpun dan campur kode ke luar adalah campur kode yang unsurnya bersumber dari bahasa asing.

Penelitian ini akan mengkaji berdasarkan bentuk dan jenis campur kode yang dikemukakan oleh Suwito. Hal ini dilakukan karena teori tersebut cocok dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai campur kode sudah sering dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya Miyerni Sitepu (2007) dalam skripsinya yang berjudul

“Campur Kode dalam majalah Aneka Yess!”. Teori yang digunakan peneliti

tersebut sama dengan teori yang akan digunakan oleh peneliti yaitu teori campur kode yang dikemukakan oleh Suwito. Dalam hasil penelitiannya, peneliti tersebut menggolongkan datanya berdasarkan bentuk kata, frase, baster, pengulangan kata, dan ungkapan. Dalam penelitiannya, dia mengatakan bahwa campur kode


(5)

memiliki pengaruh yang positif dan pengaruh yang negatif terhadap bahasa karena dapat menambah kosakata dan merusak perkembangan bahasa yang ada.

Yuningsih (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Campur Kode dalam Tabloid GAUL”. Penelitiannya membahas mengenai bentuk dan pengaruh campur kode. Teori yang digunakan peneliti tersebut dalam penelitiannya adalah teori campur kode yang dikemukakan oleh Suwito. Teori yang digunakan peneliti tersebut relevan dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Dalam hasil penelitiannya, bentuk campur kode ada yang berwujud kata, frasa, baster, dan ungkapan, sedangkan pengaruhnya yaitu berupa interfrensi dan integrasi.

Penelitian mengenai tema campur kode ini juga pernah dilakukan oleh Eko Mandala Putra (2012) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penggunaan Campur Kode dalam Ceramah Y. M. Bhiksu Uttamo”. Metode yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data adalah metode simak, kemudian dilanjutkan dengan teknik sadap, teknik rekam dan teknik catat. Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti tersebut akan digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data karena peneliti tersebut dengan peneliti memiliki kesamaan sumber data yaitu sumber data lisan.

Murliati (2013) dalam artikelnya yang berjudul Campur Kode Tuturan Guru Bahasa Indonesia dalam Proses Belajar Mengajar: Studi Kasus di Kelas VII SMP Negeri 20 Padang. Menggunakan teori campur kode yang dikemukakan oleh Nursaid dan Marjusman Maksan yang mengatakan arah campur kode terbagi dua jenis yaitu campur kode ke dalam (inner code mixing) dan campur kode ke luar (outer code mixing). Dalam artikel tersebut, peneliti mengatakan bahwa campur


(6)

kode terbagi tiga bagian yaitu campur kode ke dalam, campur kode ke luar dan campur kode ke dalam dan ke luar. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa bentuk satuan bahasa yang dominan mengalami campur kode adalah kata sedangkan bentuk satuan bahasa yang jarang mengalami campur kode adalah satuan bahasa berupa frasa. Rumusan masalah yang dibahas dalam artikelnya tersebut relevan dengan salah satu rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Selain itu, hasil penelitian tersebut dapat dijadikan referensi tambahan dalam mengkaji jenis campur kode yang akan dibahas dalam penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti karena penelitian tersebut mengkaji masalah yang sama dengan apa yangakan diteliti oleh peneliti.

Dari beberapa penelitian yang relevan di atas, dapat digambarkan bagaimana peristiwa kebahasaan khususnya mengenai campur kode itu terjadi. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya. Namun dari penelitian sebelumnya belum ada yang meneliti peristiwa campur kode yang terdapat pada sinetron. Jadi dapat dikatakan bahwa penelitian kali ini merupakan penelitian lanjutan atau perkembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya.