Variasi Berat Labur Perekat Phenol Formaldehida Terhadap Kualitas Papan Lamina dari Batang Kelapa Sawit dengan Pemadatan

TINJAUAN PUSTAKA

Batang Kelapa Sawit (BKS)
Menurut sistem klasifikasi yang ada kelapa sawit termasuk dalam
kingdom

plantae,

divisi

spermatophyta,

subdivisi

angiospermae,

kelas

monocotyledoneae, family arecaceae, subfamili cocoideae, genus elaeisdan
spesies E. guineensis Jacq (Hadi, 2004). Kelapa sawit diusahakan secara komersil
di Afrika, Amerika Selatan, Asia Tenggara, Pasifik Selatan serta beberapa daerah

lain dengan skala yang lebih kecil. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan
Amerika Selatan, tepatnya adalah Brazil (Hadi, 2004).
Perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) telah berkembang pesat
di Indonesia. Luas perkebunan kelapa sawit(Elaeis guineensis)di Indonesia setiap
tahun mengalami peningkatan.Menurut Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian
(2012), luas perkebunan kelapa sawitdi Indonesia setiap tahun meningkat yaitu
tahun 2010 seluas 8,39 juta hadan meningkat pada tahun 2012 menjadi 9,27 juta
ha.
Tanaman kelapa sawit yang tidak lagi produktif di usia tua mengharuskan
dilakukan penanaman ulang (replanting) sehingga akan banyak limbah yang
terbuang seperti batangkelapa sawit (BKS). Namun berlimpahnya limbah BKSini
tidak diiringi dengan pemanfaatan yang optimal (Lubis et al., 1994).
Menurut Lubiset al.,(1994) kehadiran limbah batang pada areal
perkebunan sawit dianggap sangat mengganggu karena dapat menjadi sarang
utama bagi pertumbuhan hama (oryctus) dan penyakit (ganoderma), yang
kemudian dapat menyerang tanaman muda.Hal ini telah menjadi masalah nasional

Universitas Sumatera Utara

yang memerlukan solusi efektif bagi perkebunan sawit Indonesia, yang dalam

beberapa tahun terakhir telah menjadi perkebunan terluas di dunia. Salah satu
solusi prospektif yang sejak lama diupayakan oleh berbagai negara penghasil
sawit dan lembaga internasional terkait adalah pemanfaatan limbah batang sebagai
bahan baku industri perkayuan.
Kayu kelapa sawit mempunyai sifat yang berbeda antara bagian pangkal
batang dan bagian ujung, bagian tengah batang, inti dan bagian tepinya. Sifat-sifat
dasar dari batang kelapa sawit yaitu kadar airnya sangat bervariasi pada berbagai
posisinya dalam batang. Kadar air batang dapat mencapai 100-500%. Sifat lain
adalah berat jenis yang juga berbeda pada setiap bagian batang. Secara rata-rata
berat jenis batang kelapa sawit termasuk kelas kuat IV pada bagian tepi dan kelas
kuat V pada bagian tengah dan pusat batang (Bakar, 2003). Sifat-sifat itu dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat-sifat Dasar Batang Kelapa Sawit
Sifat-Sifat Penting
Berat Jenis
Kadar Air (%)
Kekuatan Lentur (kg/cm2)
Keteguhan Lentur (kg/cm2)
Susut Volume
Kelas Awet

Kelas Kuat

Tepi
0,35
156
29996
295
26
V
III-V

Bagian Dalam Batang
Tengah
Pusat
0,28
0,20
257
365
11421
6980

129
67
39
48
V
V
V
V

Sumber : Bakar (2003)
Komponen utama yang terkandung pada batang kelapa sawit adalah
selulosa, lignin, air, pati dan abu. Kadar air dan pati yang tinggi menyebabkan
kestabilan dimensi kayu, sifat fisik, sifat mekanik rendah sehingga mudah patah,
retak dan berjamur (Bakar, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Perekat Phenol Formaldehida (PF)
Phenolformaldehida(PF)merupakan


hasil

kondensasi

dengan

monohidrikphenol, termasuk phenol itu sendiri, creosol dan xylenol.Phenol
formaldehida ini dapat dibagi menjadi dua kelas yaitu resol yang besifat thermoset
dan novolak yang bersifat thermoplastik. Perbedaan kedua ini disebabkan oleh
perbandingan molar phenol dan formaldehida, serta katalis atau kondisi yang
terjadi selama berlangsungnya reaksi (Ruhendi dan Hadi, 1997).
Kelebihan phenol formaldehida yaitu tahan terhadap perlakuan air, tahan
terhadap kelembaban dan temperatur tinggi, tahan terhadap bakteri, jamur, rayap
dan mikroorganisme serta tahan terhadap bahan kimia, seperti minyak, basa, dan
pengawet kayu. Kelemahanya yaitu memberikan warna gelap, kadar air kayu
harus lebih rendah dari pada kadar air kayu yang menggunakan perekat phenol
formaldehida atau perekat lainnya serta garis perekatan yang relatif tebal dan
mudah patah (Ruhendi dan Hadi, 1997).

Papan Laminasi

Menurut Wardhani (1999) dalam Marutzky (2002), kayu lamina atau
gluelam adalah papan yang direkat dengan lem tertentu secara bersama-sama
dengan arah serat pararel menjadi satu unit papan. Fakhri (2002) menambahkan
bahwa kayu laminasi terbuat dari potongan-potongan kayu yang relatife kecil
yang dibuat menjadi produk baru yang lebih homogen dengan penampang kayu
dapat dibuat menjadi lebar dan lebih tinggi serta dapat digunakan sebagai bahan
konstruksi. Manik (1997) menjelaskan bahwa

tujuan dasar pembuatan kayu

lamina adalah untuk menciptakan suatu rancang bangun kontruksi dari kayu utuh

Universitas Sumatera Utara

yang kering sempurna dan mudah mendapatkan bahan dasarnya. Serrano (2003)
menyatakan bahwa pada dasarnya balok laminasi adalah produk yang dihasilkan
dengan menyusun sejumlah papan atau lamina di atas satu dengan yang lainya dan
merekatnya sehingga membentuk penampang balok yang diinginkan.
Selanjutnya CWC (2000) menyatakan bahwa laminasi adalah cara efektif
dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi

elemen sturuktual yang besar dalam berbagai bentuk dan ukuran. Sementara itu
Serrano (2003) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan balok laminasi adalah
meningkatkan sifat–sifat kekuatan dan kekakuan, memberikan pilihan bentuk
geometri yang lebih beragam, memungkinkan untuk penyesuaian kualitas
laminasi dengan tingkat tegangan yang diiginkan dan meningkatkan akurasi
dimensi dan stabilitas bentuk. Penggunaan papan laminasi di beberapa negara
untuk berbagai keperluan telah lama dikenal. Selain di Amerika Serikat,
penggunaan papan laminasi di Eropa, Amerika utara dan Jepang juga sudah
sangat beragam, dari balok penyangga pada rangka rumah sampai elemen struktur
pada bangunan non perumahan (Lam dan Prion, 2003).
Penggunaan balok laminasi di Indonesia sendiri belum berkembang seperti
negara –negara lain, walaupun beberapa penelitian mengenai balok laminasi telah
lama dilakukan. Abdurachman dan Hadjib (2005) menyatakan bahwa hal ini
disebabkan pembuatan balok laminasi memerlukan biaya investasi yang tinggi
sehingga harga produknya menjadi mahal. Berikut ini akan diuraikan beberapa hal
yang berkaitan dengan balok laminasi yang meliputi penggunaan, bahan baku dan
proses pembuatanya.

Universitas Sumatera Utara


Perekatan Permukaan
Menurut Prayitno (1996) perekatan merupakan usaha penggabungan dua
buah permukaan bahan dengan ikatan permukaan yang terdiri atas bermacammacam gaya ikatan. Alat penyambung berupa perekat, termasuk alat penyambung
yang berupa perekat, termasuk alat penyambung yang terbaik, karena kayu yang
disambung untuk konstruksi tidak berkurang luas penampangnya.
Perekatan permukaan menurut Prayitno (1996) terdapat dua cara
perekatan, cara pertama adalah bila kedua bidang permukaan dilabur maka disebut
MDGL atau peleburan dua sisi. Cara ini perekat dilaburkan pada kedua
permukaan bahan yang direkatkan sehingga kedua bahan yang akan direkatkan
dilapisi dengan perekat, sebelum keduanya direkatkan. Cara kedua yaitu MSGL
atau peleburan satu permukaan saja dari bahan yang akan direkatkan. Model
perekatan sistem dua sisi memiliki kecendrungan peningkatan kekuatan
permukaan.
Pengempaan yang dilakukan pada beberapa penelitian umumnya
menggunakan pengempaan dingin dengan besar tekanan yang diberikan 10 kg/cm
dengan lama waktu pengempaan bervariasi antara 2–24 jam. Dari hasil penelitian
Anshari (2006) tekanan kempa sebesar 0,6 MPa selama 6 jam menghasilkan
kekuatan lentur dan keteguhan rekat yang paling tinggi. Besarnya tekanan kempa
dan lama waktu pengempaan antara lain bergantung pada jenis kayu, jenis perekat
dan ketebalan papan laminasi.


Universitas Sumatera Utara

Berat Labur
Dalam proses perekatan ada beberapa faktor yang mempengaruhi, salah
satunya adalah berat labur perekat. Pizzi (1983) menjelaskan bahwa berat labur
adalah banyaknya perekat yang diberikan pada permukaan kayu, berat labur yang
terlalu tinggi selain dapat menaikkan biaya produksi juga akan mengurangi
kekuatan rekat, karena akan memberikan penebalan pada garis rekat yang matang,
sedangkan berat labur yang terlalu rendah akan mengurangi kekuatan rekat yang
disebabkan oleh garis rekat yang terlalu tipis.
Menurut Subiyanto et al., (1995) menjelaskan bahwa semakin tinggi berat
labur menunjukkan semakinrendah daya serap air. Haltersebut dapat diketahui
karena dengan semakinbanyaknya perekat yang menutupi bagian permukaanmaka
papan akan semakin kedap air.

Pemadatan
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas perbaikan kayu dapat
dilakukan dengan melalui berbagai cara seperti modifikasi kimia, perlakuan
pemanasan dan pemadatan. Dibandingkan dengan modifikasi kimia, perbaikan

kualitas kayu melalui perlakuan pemanasan dan pemadatan memiliki keuntungan
karena terbebas dari bahan kimia yang potensial menimbulkan dampak
lingkungan. Perlakuan pemadatan biasanya dilakukan pada kisaran suhu 180 °C260 °C. Suhu dibawah 140 °C hanya menghasilkan sedikit perubahan sifat-sifat
kayu (Hill, 2006).
Pemadatan biasanya dilakukan terhadap kayu yang kelas kuatnya rendah
sehingga dengan pemadatan ini kekuatan kayu akan meningkat dari sebelumnya

Universitas Sumatera Utara

dan mengalami penyusutan hingga 50% dan bila tekanan dilepaskan pada saat
pemadatan kayu tidak akan kembali kebentuk semula. atau perubahan bersifat
permanen. Namun demikian, bila pemadatan yang terjadi tidak sempurna maka
kayu akan dapat kembali kebentuk dan ukuran semula bila mendapat pengaruh
kelembapan dan perendaman ulang (recovery) (Amin & Dwianto 2006).
Sulistyono et al., (2003) hasil penelitian menunjukan proses pemadatan
kayu menunjukan bahwa rata-rata kayu agatis meningkat dari 0,43 gr/cm³- 0,46
gr/cm³ pada kayu solid menjadi 0,70 gr/cm³- 0,85 gr/cm³ pada papan tangensial
dan 0,61 gr/cm³-0,84 gr/cm³ pada papan radial terpadatkan. Sementara berat
jenisnya juga meningkat dari 0,40-0,42 pada kayu solid menjadi 0,69-0,81 pada
papan radial terpadatkan.

Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Wardhani (2003) yang
menyatakan bahwa proses pemadatan kayu kelapa mampu meningkatkan nilai
kerapatan dari 0,40-0,57 g/cm³ menjadi 0,42-0,69 g/cm³ dengan rataan 0,53 g/cm³
atau terjadi kenaikan kerapatan berkisar 4,43-27,21%.
Dari hasil tersebut menunjukan bahwa pemadatan kayu ternyata dapat
memperbaiki (meningkatkan) sifat-sifat fisik kayu agatis. Berdasarkan pembagian
kelas kuat kayu Indonesia menurut Seng (1990). Nilai kerapatan dan berat jenis
kayu tergolong kelas kuat III untuk kayu solid dan kelas kuat II untuk kayu agatis
yang sudah dipadatkan ini diakibatkan karena kayu mengalami penyusutan
volume hingga mencapai 50%.

Universitas Sumatera Utara