Spiritualitas dalam Tradisi Tempatan Mel

Historiografi Indonesia

Spiritualitas dalam Tradisi
Tempatan Melayu dan Jawa

Disusun Oleh
Yuanita Wahyu Pratiwi
13/347932/SA/16946

Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

Pengantar

Bagi ranah pemikiran modern, karya historiografi tempatan yang penuh taburan mitos, sudut
pandang yang serba elitis dan istanasentris, serta kaburnya kronologisasi di dalamnya dianggap
menyalahi keabsahan sebuah karya sejarah dan lebih pantas disebut sastra. Akan tetapi,
modernitas yang sekarang banyak dianut orang, yang mengacu pada fakta dan rasionalitas
jugalah buah dari rennaisans di Eropa yang merupakan sebuah momentum kesadaran intelektual
dari hasil perkembangan yang sangat panjang di masa sebelumnya, yang dampaknya sangat
terasa sampai sekarang. Namun pada masa itu, hal yang sama tidaklah terjadi pada masyarakat di

kepulauan Nusantara. Di sini spiritual justru lebih berakar. Menurut Sartono Kartodirjo,
masyarakat tradisional kita dikuasai ideologi total, dan pandangan akan itu meresap serta
menjiwai seluruh aspek kehidupan kulturalnya. Meskipun penuh dengan mitos, mitos dalam
karya historiografi tersebut dibuat dengan alasan tertentu, dan bahkan dipercayai betul.
Spritualitas ini mengikat masyarakat pada sebuah konsep bahwa segalanya memang tak tentu
dapat dijelaskan secara rasional karena ada kekuatan diluar manusia yang mengendalikan
segalanya.
Spritualitas yang memberi pengaruh sangat kuat bagi pola pikir masyarakat—dan tentu juga
produk historiografi yang mereka hasilkan— tidaklah seragam di seluruh wilayah kepulauan
Nusantara. Sebagai contoh yang cukup mewakili kekontrasan dua lajur spiritualitas yang samasama besar pengaruhnya adalah Jawa dan Melayu. Dari sini muncullah perbandingan yang bisa
ditelaah dari seberapa jauh pengaruhnya, dari manakah pada awalnya pengaruh ini berasal, serta
perkembangannya seiring dengan pergantian zaman. Oleh karena itu, dapat dirumuskan
pertanyaan sebagai berikut.
“Bagaimana spiritualitas berpengaruh dalam tradisi tempatan Jawa dan Melayu?”

Spritualitas dalam Karya Tradisi Tempatan
Seperti yang sudah sedikit disinggung di pengantar, historiografi tempatan di Indonesia tumbuh
diatas landasan berupa ideologi yang sifatnya spiritual. Spiritualitas ini kemudian menjiwai
sampai ke akar-akar pola pemikiran mereka sehingga segalanya yang dalam pandangan modern
terlihat tidak masuk akal, dapat diterima dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa sejak dulu

masyarakat kita memang terikat pada kepercayaan akan kekuatan-kekuatan diluar manusia, dan
ini tidak hanya terjadi pada satu kurun waktu, melainkan terus berkembang bahkan hingga saat
ini.
Sebenarnya ini bukan masalah, terlebih bagi masyarakat kita yang sedikit banyak, sampai
sekarang, masih merasa penting untuk berada dalam kukungan-kukungan irrasionalitas yang
sifatnya religius.

Masalah baru kemudian muncul ketika hal ini berbenturan dengan ide

rasionalitas dari Eropa, karena kesadaran pikiran mereka amat sangat influental bagi keseluruhan
dunia. Setelah sempat dikekang oleh gereja, ilmu pengetahuan bangkit dan menggeliat hebat
begitu sekularisme mulai dijalankan. Dari sini mungkin sekali bahwa rasionalisme di Eropa
menjadi semacam pembuktian serta pelampiasan terhadap kukungan gereja yang pada masa
Kristen awal sampai sebelum rennaisans memang terlalu besar dan jauh melampaui urusan
religiusitas yang semestinya.
Hal yang berbeda terjadi dengan Nusantara. Sejak pada paruh pertama dimulainya tahun masehi,
orang-orang di kepulauan ini giat melakukan hubungan dengan negara-negara di sekitar kawasan
berkenaan dengan berbagai urusan, termasuk diantaranya India yang kemudian membawa masuk
pengaruh Hindu. Satu hal yang perlu digaris bawahi dari pengaruh Hindu adalah, nenek moyang
asli kita memang tidak memiliki budaya tulisan, atau setidaknya belum diketahui sampai

sekarang. Bukti tertua keluarnya orang-orang di Nusantara dari kenirlekaan tertulis dalam huruf
yang jelas sekali diimpor dari India dan sepaket dengan pengaruh Hindu. Maka dengan ini dapat
disimpulkan bahwa dimulainya kebudayaan tulis-menulis dan religiusitas tidak bisa dipisahkan.
Antara religiusitas dan spiritualitas memang dapat dimaknai secara berbeda, religiusitas adalah
soal agama, sedangkan spiritualitas cakupannya lebih luas, menyangkut pula kepercayaan nonagama yang telah lebih dulu ada di Nusantara seperti animisme dan dinamisme juga hubungan
transendental antara manusia dengan Tuhan. Namun secara konsep, kedua hal ini dapat

disamakan dengan pemahaman bahwa ada kekuatan diluar manusia yang tidak bisa mereka
abaikan.

Antara Spiritualitas dalam Tradisi Tempatan Melayu dan Jawa
Ketika membandingkan tradisi tempatan Melayu dan Jawa, sulit didapati perbedaan mencolok
yang langsung dapat digeneralisasikan pada seluruh karya yang terdapat di kedua belah pihak.
Perbedaan pada naskah-naskah tradisi tempatan dari dua regional yang berbeda ini hanya dapat
disimpulkan jika dilihat dari dalam konteks tertentu, misalnya saja waktu. Beberapa naskah
tradisi tempatan baru bisa digeneralisasikan perbedaannya apabila dikelompokkan dalam satu
kurun waktu tertentu, misalnya saja pada abad ke 13-15 ketika Islam mulai masuk di Sumatera,
sementara di Jawa pengaruh Hindu-Buddha masih kuat. Dalam satu kurun ini, dapat dibedakan
naskah-naskah yang dihasilkan di Melayu memiliki pengaruh Islam, berkebalikan dengan di
Jawa, karena dongeng Jawa mengandung persesuaian yang sangat dengan cerita Hindu.1

Cara lain yang juga bisa digunakan yakni dengan melihat secara tematis. Misalnya saja, jika kita
mengangkat soal Islam, jelas keislaman di Melayu dan Jawa melahirkan pengaruh yang berbeda.
Seperti yang pernah disampaikan Prof. Bambang Purwanto dalam kuliahnya, Islam di Jawa
memang terhitung ‘putih’ pada masa Demak, karena ketika itu mereka berada pada kurun waktu
yang sama dengan Majapahit, dan mereka butuh unsur-unsur Islam yang kuat untuk menjadi
tandingan yang benar-benar berbeda dengan Majapahit. Lain halnya dengan Mataram yang justru
berhadapan dengan Demak pada masanya, ini membuat Mataram mengembalikan nilai-nilai
kemajapahitan untuk menjadi tandingan sekaligus membedakan diri dari Demak, karena mereka
memang sama-sama kerajaan Islam. Sedangkan di Melayu, Islam bercerita soal lain lagi.
Pengaruh Islam yang paling awal di kepulauan Nusantara memang diterima oleh orang-orang di
tanah Melayu. Sejak saat itu berdirilah kerajaan-kerajaan Islam, yang kebanyakan diperintah
oleh raja-raja yang merupakan keturunan bangsa arab. Ini yang membuat tradisi tempatan yang
mereka hasilkan mendapatkan pengaruh kuat dari sastra arab secara gaya bahasa dan Islam
secara substansi.

1 Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. hal. 326

Selain itu, tradisi tempatan dari kedua regional ini juga bisa dibedakan secara dari segi
spiritualitasnya. Karya tradisi tempatan Jawa mendapat pengaruh Hindu-Buddha yang sangat
kuat. Pengaruh ini menanamkan hubungan yang intens dengan alam, akibatnya gerak sejarah

cenderung siklik, sesuai dengan siklus-siklus alam yang didapati di sekitar manusia.2 Karena
karya-karya yang ditulis kebayakan elitis dan berpusat pada Raja, maka Raja dilegitimasi
keberadaannya, digambarkan sebagai keturunan raja-raja besar terdahulu,dewa-dewa, dan
sebagainya, karena seseorang yang telah berhasil dalam kehidupannya akan lebih terpandang jika
dikelilingi oleh nenek moyang berdarah raja atau para dewa.3
Lain dengan di Jawa, di Melayu, pengaruh Islam lebih menanamkan ciri yang kuat dibanding
pengaruh lain. Kesusastraan Melayu, dalam bentuk tertulis sudah ada sejak sekurang-kurangnya
abad ke-15.4 Ini berarti, sebelum mendapat pengaruh Islam, tradisi tempatan melayu belumlah
sampai pada tahap penulisan dan masih secara lisan. Pewarisan secara lisan ini dapat memicu
perubahan yang tidak terdeteksi meskipun secara esensi masih memiliki kesamaan dengan yang
asli. Namun sejak pengaruh Islam datang ke Melayu, bukan hanya penulisan yang
diperkenalkan, namun juga unsur-unsur kebudayaan islam. Misalnya, tokoh raja di dalam
naskah-naskah melayu sering kali mengalami demitologisasi. Disini aspek antroposentris juga
muncul, dengan menggambarkan raja sebagai makhluk yang juga penuh kelemahan sehingga
pola kelakuannya harus pula berpedoman pada moral agama Islam. 5 Berbeda sekali dengan
legitimasi di Jawa yang sampai mencampurkan mitos-mitos, bahkan menciptakan invented facts
(fakta buatan) demi meninggikan status raja. Dalam konsep Islam, manusia berusaha, tapi tidak
menentukan sendiri hasil usahanya. Gerak sejarah disini serupa dengan yang dikemukakan Ibnu
Khaldun.


Perkembangan Spiritualitas dalam Tradisi Tempatan di Jawa dan Melayu
Seiring dengan berjalannya waktu, pengaruh Islam juga turut hadir di Jawa. Oleh karena
masuknya pengaruh Islam ini, pandangan terhadap gerak sejarah yang tadinya siklik berubah
2 Kartodirjo, Sartono. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), hal. VII
3 Berg, C.C. dalam Pendahuluan, Gambaran Jawa pada Masa Lalu.
4 Bottoms, J.C. Beberapa Sumber Sejarah Melayu: Sebuah Catatan Bibliografis. hal. 141
5 Kartodirjo, Sartono. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), hal. VII

sedikit demi sedikit menjadi linier. Pandangan yang linier ini mendefinisikan sejarah bergerak
secara lurus, bukan lagi bersiklus dan berulang seperti pola-pola di alam. Hal ini dapat diartikan
sebagai pembebasan dari kukungan alam yang mengarahkan pandangan manusia sesuai dengan
peredaran atau siklus musim-musim.6 Perkembangan persepsi sejarah semakin mengarah ke pada
pandangan di mana manusia sebagai pusat kejadian-kejadian, bukan mengalami kejadiankejadian yang diakibatkan ketentuan alam. Meskipun masih saja sumber dari kekuatankekuatannya sering kali adalah hal-hal yang masih berbau supranatural seperti pulung dan
wangsit. Selain itu, dalam silsilah dalam Babad Tanah Jawi juga dikemukakan bahwa ginealogi
raja berasal dari Nabi Adam, namun yang ada setelahnya bukanlah para Nabi, melainkan
berbelok langsung ke keindraan Hindu dan Mahabharata.7 Ini berarti, sedikit banyak, pengaruh
Islam di Jawa masih mengalami penyesuaian dan melebur dengan nilai-nilai yang terdahulu.
Di Melayu yang pada dasarnya memang langsung diperkenalkan pada Islam, perkembangan

tidak terjadi karena peleburan dengan nilai-nilai terdahulu serupa di Jawa, melainkan dalam hal
lain. Pada awal abad ke-19, Raja Ali Haji menjadi pembuka kesadaran baru pada dinamika
perkembangan pemikiran, tradisi sastra, dan kebahasaan melayu. Ia berkarya bersama ayahnya,
menjadi penasehat, dan menduduki jabatan penting di usia sangat muda. Pemikirannya sangat
populer dan bahkan diakui oleh Belanda mengenai kepemimpinannya di wilayah Penyengat,8 dan
oleh masyarakat sebagai cendekiawan Islam, yang juga berpengetahuan tinggi pada kesusastraan,
sejarah, silsilah, dan hukum.
Karya Raja Ali Haji yang populer adalah Tuhfat al-Nafis yang berisi informasi penting mengenai
sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya, berikut deskripsi peristiwa-peristiwa
penting. Di dalamnya, Tuhfat menyatakan bahwa meski takdir menentukan jangka hidup
seseorang, menentukan nasib akan peperangan, kelemahan manusia dan pembangkangan
terhadap hukum Allah adalah penyebab segala konflik dan bencana.9 Semua buku yang ditulis
oleh Raja Ali Haji menekankan pemikiran yang tetap memiliki unsur Islam yang kuat, tapi sarat
akan kesadaran keilmuan.
6 Kartodirjo, Sartono. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia dan Masa Lalunya. (Jakarta:
Grafiti Pers, 1983), hal.VII
7 Djajadiningrat, Hoesein. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. hal.328
8 Andaya, Barbara Watson, Virgina Matheson. Pikiran Islam dan Tradisi Melayu: Tulisan Raja
Ali Haji dari Riau. hal.97
9 Andaya, Barbara Watson, Virgina Matheson. Pikiran Islam dan Tradisi Melayu: Tulisan Raja

Ali Haji dari Riau. hal.108