D 762012001 BAB VIII
BAB VIII
KESIMPULAN
Di dalam bab ini akan dipaparkan suatu kesimpulan dan rekomendasi yang bisa diambil
dari uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, sebagai dasar dan isi jawaban atas apa yang
dipermasalahkan oleh disertasi ini dan sebagai sumbangan pikiran penulis bagi pemerintah,
gereja dan masyarakat Indonesia lainnya. Karena demikianmuatan bab ini, maka ia terdiri
dari dua bagian. Bagian A berisi kesimpulan, sedangkan bagian B berisi rekomendasi.
VIII.A.KESIMPULAN
Pancasila adalah agama sipil Indonesia. Sebagai
adalah kesadaran kolektif
agama sipil Indonesia Pancasila
bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai kohesi sosial, dan
kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai otoritas transendental, guna
untuk menuntun dan menuntut setiap anak bangsa dalam mewujudkan kehendak umum
Indonesia. Sebagai agama sipil Indonesia, Pancasila bukanlah sebuah institusi agama dengan
keyakinan-keyakinan eksklusif, yang menafikan institusi agama-agama, tetapi ia adalah misi
Indonesia berupa pemuliaan akan nilai-nilai: kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan yang
mengakomodir semua prinsip fundamental dari semua ajaran agama Indonesia, sebagai
jalan untuk meraih cita-cita luhur bangsa yakni Indonesia sejahtera. Misi Pancasila yang
demikian ini, selaras dan sejalan dengan misi gereja, sebab misi gereja sebagai misi yang
meneruskan perutusan Yesus Kristus untuk menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah di bumi,
juga berupa pengagungan akan kebersamaan, kemanusiaan dan keadilan demi terciptanya
bumi yang yang bersukacita dalam damai sejahtera, sehingga misi gereja senyatanya adalah
misi Pancasila.
Mengingat misi Pancasila adalah misi gereja, maka sebagai bagian integral dari
Indonesia dan sekaligus sebagai penghayat akan nilai-nilai kerajaan Allah yang Yesus Kristus
bawa, gereja Indonesiapatut mengaktualisasikan Pancasila dalam misinya. Gereja Indonesia
yang mengaktualisasikan Pancasila dalam misinya adalah gereja yang memformulasikan
nilai-nilai Pancasiladan sekaligus nilai-nilai kerajaan Allah dalam misinya. Misi gereja
Indonesia yang terformulasidemikian adalah misi gereja Indonesia yang kontekstual dan
fungsional, yaitu misi yang berparadigma sesuai dengan jiwa Indonesia dan jiwa kerajaan
Allah. Dalam membangun misi gereja yang kontekstual dan fungsional ala Indonesia seperti
279
termaksud di atas, gereja Indonesia tidak boleh memaksakan reliigionismenya di negara
Indonesia.Sebaliknya justru religiositas Indonesialah yakni kodrat bangsa yang tidak
berseberangan dengan spirit kerajaan Allah, berupa pengagungan akan nilai-nilai: kesatuan,
kemanusiaan, dan kesetaraan, yang harus berfungsi sebagai roh yang menggerakkan misi
gereja Indonesia demi terciptanya kesejahteraan Indonesia.
Dilihat dari penetapan visinya pada periode 2008-2028, “Bumi Bersukacita Dalam
Damai Sejahtera” dan rumusan misinya untuk periode yang sama “Membangun Peradaban
Yang Dijiwai Oleh Kasih Terhadap Tuhan, Sesama Dan Lingkungan”, serta penetapan tema
pelayanannya pada periode 2012-2016, “Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama
Masyarakat”, dapat dikatakan bahwa dalam tataran ideal nampaknya Gereja Kristen Protestan
Di
Bali (GKPB), sebagai bagian integral dari Indonesia, memang berkehendak
mengaktualisasikan Pancasila dalam misinya. Namun berdasarkan pada pengkajian yang
dilakukan atas pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang Persekutuan,
Pelayanan, dan Kesaksian dari perspektif Pancasila; ditemukan bahwa pelaksanaan misi
GKPB pada periode 2012-2016, belum sepenuhnya mengaktualisasikan nilai kesatuan,
kemanusiaan, dan kesetaraan.
Bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, sekalipun bertemakan
“Bertumbuh Bersama Masyarakat” diungkapkan belum sepenuhnya mengaktualisasikan
nilai kesatuan Indonesia, didasarkan pada fakta bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode
2012-2016, lebih banyak berupa karya penguatan identitas primodial daripada pelayanan
yang merawat dan mengutamakan kesatuan Indonesia. GKPB hanya melihat Indonesia itu
sebagai ladang misi, tidak sebagai misi itu sendiri. Fakta itu terjadi demikian. adalah karena
dalam pelaksanaan misinya pada periode 2012-2016, GKPB belum tiba pada pemahaman
mendalam tentang kesatuan Indonesia itu sebagai karya penyelamatan Tuhan.
Bahwa pelaksanaan
misi GKPB pada periode 2012-2016, walaupun bertema
“Bertumbuh Bersama Masyarakat”, dikatakan belum sepenuhnya mengaktualisasikan nilai
kemanusiaan, didasarkan pada realitas bahwa dalam pelaksanaan misinya pada periode 20122016,
GKPBtidak
jarang
melihat
sesamanya
manusia
sebagai
orang
lain
dan
memperlakukannya secara tidak manusiawi.Terjadinya spiritualitas dishumanis ini,
disebabkan karena dalam pelaksanaan misinya pada periode 2012-2016, GKPB belum berani
melepaskan diri dari kungkungan religiolatri, bibliolatri dan dogmalatri yang diwariskan dan
diajarkan kepadanya.
280
Bahwa
pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, kendatipun bertema “
Bertumbuh Bersama Masyarakat”, dinyatakan belum sepenuhnya mengaktualisasikan nilai
kesetaraan didasarkan pada fakta bahwa melalui pelaksanaan misinya pada periode 20122016, baik dalam kegiatan sosial terlebih lagi dalam kegiatan profit oriented, GKPB
berulangkali mengajarkan dan menunjukkan sikap menjunjung tinggi pola hidup berlombalomba untuk memperoleh kemajuan sebanyak-banyaknya dengan dalih agar nanti bisa
memberkati sesama. Aksi-aksi sosial GKPB terhadap sesama baru berupa solidaritas sosial
terbatas belum merupakan kepedulian sosial yang total terhadap sesama. Realitas ini nyata di
depan mata adalah karena dalam pelaksanaan misinya pada periode 2012-2016, GKPB
beraksi dengan lebih banyak dikendalikan oleh roh kapitalisme daripada spirit kegotongroyongan Pancasila.
Berdasarkan pada hasil kajian atas pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016
dalam bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dari perspektif Pancasila, seperti
terdiskripsi di atas, maka dalam diskursus aktualisasi Pancasila dalam misi gereja, penulis
dapat membangun tiga gagasan. Ketiga gagasan tersebut ialah sebagai berikut: Pertama,
GKPB dan gereja Indonesia lainnya patut memperdalam pemahamannya tentang Indonesia
itu sebagai karya penyelamatan Tuhan dengan membangun teologi keindonesiaan. Kedua,
GKPB dan gereja Indonesia lainnya patut menjadi lembaga keagamaan yang berspiritualitas
humanis, dengan jalan membebaskan diri dari religionisme, biblitarianisme dan
dogmalatrianisme. Ketiga, GKPB dan gereja Indonesia lainnya
patut menjadi lembaga
keagamaan yang beretika sambung rasa.
Dalam gagasan untuk membuat GKPB dan gereja Indonesia lainnya, sebagai lembaga
keagamaan yang berteologi keindonesiaan, yaitu sebagai lembaga keagamaan yang melihat
Indonesia terutama keindonesiaan sebagai karya penyelamatan Tuhan, umat kristiani dalam
menggereja di Indonesia, (baca umat kristiani dalam menggereja yang Indonesiani) dalam
prediksi penulis, akan dimampukan untuk menyadari bahwa dalam proses terbentuknya
Indonesia ada campur tangan Tuhan memberikan seluruh rakyat Indonesia kesetaraan berupa
kemerdekaan politik dan menjadikan mereka semua sama-sama sebagai umat kepunyaan
Tuhan di dalam negara bangsa yang satu yaitu Indonesia. Dalam eksistensinya yang demikian
menampak jelas bahwa Indonesia adalah rumah bersama, untuk gereja diami dan pelihara
bersama dengan anak bangsa Indonesia lainnya, dengan sikap berketuhanan, yaitu sikap
saling menghormati dan bukan saling mentiadakan demi nyamannya rumah bersama itu.
Panggilan untuk saling mengasihi mutlak perlu dilakukan, sebab apabila satu anak bangsa
281
tertentu mau menang sendiri dengan mengorbankan sesama anak bangsa lainnya, sikap itu
tidak hanya tidak menghormati Tuhan pencipta Indonesia, namun juga mengingkari
keindonesiaan, dan itu berarti merubuhkan Indonesia dan keindonesiaan. Hanya bila
Indonesia kokoh berdiri, maka demikianlah pula akan kokoh berdiri seluruh anak bangsa
Indonesia, yaitu gereja bersama dengan semua agama Indonesia lainnya.
Dalam gagasan untuk membentuk GKPB dan gereja Indonesia lainnya, sebagai
lembaga keagamaan yang berspiritualitas humanis, yaitu sebagai lembaga keagamaan yang
melihat sesama manusia bukan orang lain, sehingga harus diperlakukan secara manusiawi,
penulis memulainya dengan mengemukakan bahwa gereja harus dibebaskan dari tiga sumber
kungkungan pemahaman yang mengindoktrinasinya yang menyebabkan dia berspiritualitas
dishumanis. Ketiga pemahaman termaksud ialah: religionisme, bibliotarianisme dan
dogmalatarianisme.
Membebaskan gereja dari religionisme, oleh penulis diperkirakan akan membuka
pikiran gereja untuk memahami bahwa agama itu hanyalah jalan belaka untuk menghayati
keagamaan yang bermuara pada kebajikan bagi manusia. Membebaskan gereja dari
bibliotarianisme, oleh penulis, diperkirakan akan menjernihkan mata gereja untuk melihat
bahwa Alkitab itu hanyalah teks yang menarasikan penghayatan iman umat Yahudi dan umat
Kristiani terhadap dan tentang Tuhan dalam konteks sejarah mereka pada masa lalu di bidang
sosial, politik dan ekonomi. Membebaskan gereja dari dogmatolatarianisme, diduga oleh
penulis, akan mencerahkan pandangan dan sikap gereja bahwa dogma itu bukan sesuatu yang
bersifat ilahi yang harus dibakukan, sebab ia hanya instrument lewat mana gereja
menjelaskan apa yang dipercayainya.
Setelah gereja terbebas dari sikap religiolatri, bibliolatri dan dogmatolatri, penulis
berkeyakinan gereja Indonesia akan terbentuk menjadi lembaga keagamaan yang
berspiritualitas humanis. Kemudian dengan berspiritualitas humanis, gereja Indonesia melalui
misinya akan dimampukan untuk menjadi gereja yang menghormati Tuhan, berupa sikap
membiarkan Tuhan menjadi Tuhan, dan sekaligus menghormati semua manusia yang
beragama lain, berdasarkan pemahaman
bahwa sekalipun mereka beragama lain, tidak
berarti mereka bukan umat kepunyaan Tuhan, dan juga bukan berarti mereka di jalan yang
sesat.
Dalam gagasan untuk membuat GKPB dan gereja Indonesia lainnya, sebagai lembaga
keagamaan yang beretika sambung rasa, masyarakat kristiani dalam menggereja yang
282
mengindonesia, harus dipimpin bukan oleh spirit kapitalisme yang tidak pernah berpola hidup
cukup, sehingga melahirkan keserakahan dan menyebabkan munculnya kesenjangan sosial,
tetapi justru oleh roh sambung rasa yaitu pola hidup peduli sosial, sehingga senantiasa
tergerak untuk membatasi keinginan dan menghindari keserakahan, guna untuk mengikis
kesenjangan sosial dan menciptakan kesetaraan.
VIII.B.REKOMENDASI
Berangkat dari ketiga gagasan tersebut di atas, penulis menyampaikan rekomendasirekomendasi sebagai berikut:
VIII.B.1.Rekomendasi Kepada Pemerintah Indonesia
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu sekali mengupayakan adanya
gerakan penginternalisasian dan pengaktualisasian Pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia,
agar Pancaila yang adalah keagamaan (religiositas) Indonesia dihidupi oleh seluruh
masyarakat Indonesia dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Dalam merealisasi upaya
itu, nampaknya baik pemerintah membentuk kembali sebuah lembaga yang pernah ada pada
masa kepresidenan Jendral Soeharto, yaitu Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Badan ini perlu merancang dan nanti
mensosialisasikan pemantapan pemahaman dan pengaktualisasian Pancasila. Namun
pemantapan itu kiranya tidak dilakukan seperti dilakukan oleh pemerintah Order Baru, tetapi
lebih dialogis. Hal itu direkomendasi demikian, agar tidak terjadi pendangkalan dan
pemanfaatan yang digunakan untuk kepentingan diri, dalam pemahaman dan penghayatan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab Pancasila senyatanya adalah
nafas Indonesia yang menentukan hidup matinya Indonesia.
Sebagai penyelenggara negara, pemerintah Indonesia patut sekali mempersembahkan
keteladanan dalam mengaktualisasikan Pancasila. Mereka tidak boleh berpihak kepada satu
agama tertentu dengan menjadikan agama itu sebagai anak emas, dan mereka juga tidak
boleh didikte oleh satu agama tertentu dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebaliknyamereka harus kuat dan berani menjinakkan semua agama Indonesia, dengan jalan
mengajar seluruh rakyat Indonesia melalui kata dan tindakan yang konsisten dan konsekuen,
bahwa mereka akan menolak semua yang bertentangan dengan Pancasila, sebab Pancasila
adalah nafas bangsa. Kekuatan dan keberanian pemerintah menaruh Pancasila sebagai nafas
283
atau jiwa bangsa merupakan sebuah pekerjaan menjinakkan agama. Kemampuan pemerintah
menagani keragaman agama Indonesia dengan Pancasila, akan membuatperbedaan agama
bukan sebagai sumber bagi lahirnya konflik, tetapi justru sebagaikekuatan yang positif dan
konstruktif, bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Bila pemerintah
Indonesia, berhasil memanifestasikan bahwa Indonesia
Pancasila adalah sebuah rumah
dimana semua orang mendapat tempat, keadaan itu akan bisa menjadi suatu sumbangan yang
sangat konstruktif bagi umat manusia di seluruh dunia dalam membangun peradaban yang
manusiawi.1
VIII.B.2. Rekomendasi Kepada Lembaga Pendidikan dan Keagamaan Indonesia
Para pimpinan lembaga pendidikan Indonesia patut merancang pendidikan agama
secara sosiologis. Hal itu direkomendasi demikian sebab pendidikan agama yang melihat
agama secara sosiologis, akan memberdayakan masyarakat untuk melihat semua agama itu
sesungguhnya adalah jalan semata untuk menghadirkan religiositas manusia demi
kemaslahatan dunia. Para pimpinan lembaga keagamaan Indonesia patut menghadirkan
kepemimpinan agama yang tidak menjunjung tinggi institusi agama lebih dari religiositas.
Hal itu direkomendasi demikian sebab agama bukanlah segala-galanya. Sebaliknya agama
bisa menistakan kemanusiaan manusia bila ia dijalankan tanpa spiritualitas. Melanjutkan
rekomendasi ini, penulis juga merekomendir para pimpinan lembaga pendidikan dan lembaga
keagamaan Indonesia, untuk memikirkan semua produk hukum dan perundang-undangan di
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak sejalan dengan Pancasila sebagai sari pati
dan soko guru bangsa, lalu mengusulkan kepada pemerintah agar semua undang-undang dan
peraturan tersebut dibatalkan.
Penulis juga merekomendir agar para pimpinan lembaga pendidikan dan lembaga
keagamaan Indonesia, sebagai tokoh-tokoh bangsa yang memikirkan perjalanan negeri ini
namun mereka bukan politikus, mengkaji tentang sistem partai politik Indonesia. Penulis
bersaran demikian sebab dengan adanya multi partai politik dan partai-partai politik yang
berbasis agama di rumah Pancasila, energi, waktu dan nampaknya juga dana di antara anak
bangsa, banyak tergerus hanya untuk
menonjolkan diri, mendiskreditkan sesama anak
bangsa, dan melakukan politasi agama demi untuk mendapatkan kekuasaan. Keadaan yang
demikian ini, membuat negeri ini, walau telah banyak berjalan, namun hanya berjalan di
tempat, belum banyak bergerak cepat untuk meraih cita-cita bangsa.Melanjutkan saran yang
1
John A. Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 4-5.
284
berdasar pada pikiran tersebut di atas, dan demi sehatnya demokrasi Indonesia, penulis juga
berharap agar para pimpinan lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan Indonesia,
merekomendir pemerintah untuk mentiadakan partai-partai politik yang berbasis agama dan
mengupayakan terciptanya hanya dua partai politik saja, sehingga di Indonesia selalu akan
ada hanya dua partai politik, yaitu partai politik yang tengah berkuasa karena memenangkan
pemilu, dan partai politik yang tengah tidak berkuasa karena suara yang diraih dalam pemilu
lebih sedikit dari partai yang tengah berkuasa.
VIII. B.3. Rekomendasi Kepada Gereja Indonesia Dan Lembaga Pendidikan Teologi
Kristen
Lembaga pendidikan teologi Kristen dan gereja Idonesia sudah sepatutnya segera
membangun teologi keindonesiaan. Dalam membangun teologi Indonesia, gereja Indonesia
patut melihat Indonesia itu sebagai teks karena ia senyatanya adalah sebuah penyataan
tentang karya penyelamatan Tuhan. Dengan membaca Indonesia sebagai penyataan tentang
karya penyelamatan Tuhan, gereja Indonesia akan mampu untuk mengakarkan
dirinya
dalamkeindonesiaan. Kemudian bila gereja Indonesia berakar dalam keindonesiaan, dia juga
akan dimampukan untuk bertumbuh dan mematangkan diri, bersama dengan semua agama
Indonesia lainnya, sesuai dengan jalan dan arus pergumulan Indonesia. Hanya dengan jalan
menteologisasikan Indonesia, gereja Indonesia akan diberdayakan untuk beridentitas diri
sebagai suatu lembaga keagamaan nasional yang menggereja dan mengindonesia, yaitu
menjadi gereja nusantara, bertubuh gereja atau Kristen namun berjiwa Indonesia.
Tanpa memiliki teologi tentang Indonesia dan tanpa menjadi gereja nusantara seperti
termaksud di atas, gereja indonesia tidak akan bisa sigap dan selalu bersikap reaktif dalam
menanggapi dinamika kehidupan berbangsa. Sebaliknya bila gereja Indonesia mempunyai
teologi keindonesiaan dan senyatanya menjadi gereja nusantara, gereja Indonesia
diberdayakan untuk menegosiasikankekristenan dengan keindonesiaan, sebagai bagian
integral dari proses menggereja yang mengindonesia. Dengan kata lain, bila gereja Indonesia
menteologisasikan Indonesia dan dari penteologisasian akan Indonesia itu, ia benar-benar
menjadi gereja nusantara, maka gereja Indonesia dimungkinkan untuk
tidak salah bila
dengan lantang dia bermoto dan berkata: gereja adalah tubuhku dan Indonesia adalah jiwaku.
Hal itu dikatakan demikian, karena nilai-nilai keindonesiaan adalah roh yang tidak
berseberangan, bahkan sejalan dengan spiritkekristenan yaitu spirit Kristus, bila saja benarbenar dipahami dan diikuti gereja. Dalam tingkat pemahaman dan kesadaran setarap
285
demikian, gereja Indonesia akan dimungkinkan untuk mampu mengadaptasi bentuk-bentuk
baru dalam menggereja yang melampaui batasan kelembagaan gerejawi.
VIII.B.4. Rekomendasi Kepada Seluruh Masyarakat Indonesia
Seluruh masyarakat Indonesia, dalam berindonesia patut menempatkan Indonesia itu
sebagai jalan untuk bersaksi kepada dunia yang pada masa sekarang ini sangat dijiwai oleh
kapitalisme. Dalam menjadikan keindonesiaan itu sebagai sebuah kesaksian, semua
masyarakat Indonesiai yang beragama sangat majemuk ini, bisa bersaksi kepada dunia,
bahwa perdamaian hanya bisa terlahir ditempat dimana:kesatuan diagungkan, kemanusiaan
dimuliakan, dan tidak kalah pentingnya kesetaraan ekonomi dijunjung tinggi.Kesaksian
Indonesia yang demikian ini akan sangat berkuasa, sebab fakta menunjukkan bahwa masingmasing agama dunia yang di tempat kelahirannya menjadi anak emas dan mendominasi
segala ketetapan negara, tetapi ketika mereka tidak berhasil mewujudkan kesetaraan ekonomi
masyarakatnya, mereka tidak hidup dalam damai sejahtera.Bertolak dari realita ini, bila saja
semua masyarakat Indonesia memahami dan menghayati keindonesiaan (baca kesetaraan
ekonomi Indonesia) sebagai misinya dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa, dengan
berpeduli sosial yang berwujud dalam berpola hidup cukup agar semua sesama juga bisa
hidup dalam kecukupan, Indonesia dimungkinkan untuk menjadi contoh bagi segala bangsa
di dunia yang cendrung bersemarak ini, namun juga yang bersamaan dengan itu sangat jauh
baik dari rasa damai maupun dari suasana perdamaian karena kapitalisme.
286
KESIMPULAN
Di dalam bab ini akan dipaparkan suatu kesimpulan dan rekomendasi yang bisa diambil
dari uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya, sebagai dasar dan isi jawaban atas apa yang
dipermasalahkan oleh disertasi ini dan sebagai sumbangan pikiran penulis bagi pemerintah,
gereja dan masyarakat Indonesia lainnya. Karena demikianmuatan bab ini, maka ia terdiri
dari dua bagian. Bagian A berisi kesimpulan, sedangkan bagian B berisi rekomendasi.
VIII.A.KESIMPULAN
Pancasila adalah agama sipil Indonesia. Sebagai
adalah kesadaran kolektif
agama sipil Indonesia Pancasila
bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai kohesi sosial, dan
kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai otoritas transendental, guna
untuk menuntun dan menuntut setiap anak bangsa dalam mewujudkan kehendak umum
Indonesia. Sebagai agama sipil Indonesia, Pancasila bukanlah sebuah institusi agama dengan
keyakinan-keyakinan eksklusif, yang menafikan institusi agama-agama, tetapi ia adalah misi
Indonesia berupa pemuliaan akan nilai-nilai: kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan yang
mengakomodir semua prinsip fundamental dari semua ajaran agama Indonesia, sebagai
jalan untuk meraih cita-cita luhur bangsa yakni Indonesia sejahtera. Misi Pancasila yang
demikian ini, selaras dan sejalan dengan misi gereja, sebab misi gereja sebagai misi yang
meneruskan perutusan Yesus Kristus untuk menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah di bumi,
juga berupa pengagungan akan kebersamaan, kemanusiaan dan keadilan demi terciptanya
bumi yang yang bersukacita dalam damai sejahtera, sehingga misi gereja senyatanya adalah
misi Pancasila.
Mengingat misi Pancasila adalah misi gereja, maka sebagai bagian integral dari
Indonesia dan sekaligus sebagai penghayat akan nilai-nilai kerajaan Allah yang Yesus Kristus
bawa, gereja Indonesiapatut mengaktualisasikan Pancasila dalam misinya. Gereja Indonesia
yang mengaktualisasikan Pancasila dalam misinya adalah gereja yang memformulasikan
nilai-nilai Pancasiladan sekaligus nilai-nilai kerajaan Allah dalam misinya. Misi gereja
Indonesia yang terformulasidemikian adalah misi gereja Indonesia yang kontekstual dan
fungsional, yaitu misi yang berparadigma sesuai dengan jiwa Indonesia dan jiwa kerajaan
Allah. Dalam membangun misi gereja yang kontekstual dan fungsional ala Indonesia seperti
279
termaksud di atas, gereja Indonesia tidak boleh memaksakan reliigionismenya di negara
Indonesia.Sebaliknya justru religiositas Indonesialah yakni kodrat bangsa yang tidak
berseberangan dengan spirit kerajaan Allah, berupa pengagungan akan nilai-nilai: kesatuan,
kemanusiaan, dan kesetaraan, yang harus berfungsi sebagai roh yang menggerakkan misi
gereja Indonesia demi terciptanya kesejahteraan Indonesia.
Dilihat dari penetapan visinya pada periode 2008-2028, “Bumi Bersukacita Dalam
Damai Sejahtera” dan rumusan misinya untuk periode yang sama “Membangun Peradaban
Yang Dijiwai Oleh Kasih Terhadap Tuhan, Sesama Dan Lingkungan”, serta penetapan tema
pelayanannya pada periode 2012-2016, “Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama
Masyarakat”, dapat dikatakan bahwa dalam tataran ideal nampaknya Gereja Kristen Protestan
Di
Bali (GKPB), sebagai bagian integral dari Indonesia, memang berkehendak
mengaktualisasikan Pancasila dalam misinya. Namun berdasarkan pada pengkajian yang
dilakukan atas pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang Persekutuan,
Pelayanan, dan Kesaksian dari perspektif Pancasila; ditemukan bahwa pelaksanaan misi
GKPB pada periode 2012-2016, belum sepenuhnya mengaktualisasikan nilai kesatuan,
kemanusiaan, dan kesetaraan.
Bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, sekalipun bertemakan
“Bertumbuh Bersama Masyarakat” diungkapkan belum sepenuhnya mengaktualisasikan
nilai kesatuan Indonesia, didasarkan pada fakta bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode
2012-2016, lebih banyak berupa karya penguatan identitas primodial daripada pelayanan
yang merawat dan mengutamakan kesatuan Indonesia. GKPB hanya melihat Indonesia itu
sebagai ladang misi, tidak sebagai misi itu sendiri. Fakta itu terjadi demikian. adalah karena
dalam pelaksanaan misinya pada periode 2012-2016, GKPB belum tiba pada pemahaman
mendalam tentang kesatuan Indonesia itu sebagai karya penyelamatan Tuhan.
Bahwa pelaksanaan
misi GKPB pada periode 2012-2016, walaupun bertema
“Bertumbuh Bersama Masyarakat”, dikatakan belum sepenuhnya mengaktualisasikan nilai
kemanusiaan, didasarkan pada realitas bahwa dalam pelaksanaan misinya pada periode 20122016,
GKPBtidak
jarang
melihat
sesamanya
manusia
sebagai
orang
lain
dan
memperlakukannya secara tidak manusiawi.Terjadinya spiritualitas dishumanis ini,
disebabkan karena dalam pelaksanaan misinya pada periode 2012-2016, GKPB belum berani
melepaskan diri dari kungkungan religiolatri, bibliolatri dan dogmalatri yang diwariskan dan
diajarkan kepadanya.
280
Bahwa
pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, kendatipun bertema “
Bertumbuh Bersama Masyarakat”, dinyatakan belum sepenuhnya mengaktualisasikan nilai
kesetaraan didasarkan pada fakta bahwa melalui pelaksanaan misinya pada periode 20122016, baik dalam kegiatan sosial terlebih lagi dalam kegiatan profit oriented, GKPB
berulangkali mengajarkan dan menunjukkan sikap menjunjung tinggi pola hidup berlombalomba untuk memperoleh kemajuan sebanyak-banyaknya dengan dalih agar nanti bisa
memberkati sesama. Aksi-aksi sosial GKPB terhadap sesama baru berupa solidaritas sosial
terbatas belum merupakan kepedulian sosial yang total terhadap sesama. Realitas ini nyata di
depan mata adalah karena dalam pelaksanaan misinya pada periode 2012-2016, GKPB
beraksi dengan lebih banyak dikendalikan oleh roh kapitalisme daripada spirit kegotongroyongan Pancasila.
Berdasarkan pada hasil kajian atas pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016
dalam bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dari perspektif Pancasila, seperti
terdiskripsi di atas, maka dalam diskursus aktualisasi Pancasila dalam misi gereja, penulis
dapat membangun tiga gagasan. Ketiga gagasan tersebut ialah sebagai berikut: Pertama,
GKPB dan gereja Indonesia lainnya patut memperdalam pemahamannya tentang Indonesia
itu sebagai karya penyelamatan Tuhan dengan membangun teologi keindonesiaan. Kedua,
GKPB dan gereja Indonesia lainnya patut menjadi lembaga keagamaan yang berspiritualitas
humanis, dengan jalan membebaskan diri dari religionisme, biblitarianisme dan
dogmalatrianisme. Ketiga, GKPB dan gereja Indonesia lainnya
patut menjadi lembaga
keagamaan yang beretika sambung rasa.
Dalam gagasan untuk membuat GKPB dan gereja Indonesia lainnya, sebagai lembaga
keagamaan yang berteologi keindonesiaan, yaitu sebagai lembaga keagamaan yang melihat
Indonesia terutama keindonesiaan sebagai karya penyelamatan Tuhan, umat kristiani dalam
menggereja di Indonesia, (baca umat kristiani dalam menggereja yang Indonesiani) dalam
prediksi penulis, akan dimampukan untuk menyadari bahwa dalam proses terbentuknya
Indonesia ada campur tangan Tuhan memberikan seluruh rakyat Indonesia kesetaraan berupa
kemerdekaan politik dan menjadikan mereka semua sama-sama sebagai umat kepunyaan
Tuhan di dalam negara bangsa yang satu yaitu Indonesia. Dalam eksistensinya yang demikian
menampak jelas bahwa Indonesia adalah rumah bersama, untuk gereja diami dan pelihara
bersama dengan anak bangsa Indonesia lainnya, dengan sikap berketuhanan, yaitu sikap
saling menghormati dan bukan saling mentiadakan demi nyamannya rumah bersama itu.
Panggilan untuk saling mengasihi mutlak perlu dilakukan, sebab apabila satu anak bangsa
281
tertentu mau menang sendiri dengan mengorbankan sesama anak bangsa lainnya, sikap itu
tidak hanya tidak menghormati Tuhan pencipta Indonesia, namun juga mengingkari
keindonesiaan, dan itu berarti merubuhkan Indonesia dan keindonesiaan. Hanya bila
Indonesia kokoh berdiri, maka demikianlah pula akan kokoh berdiri seluruh anak bangsa
Indonesia, yaitu gereja bersama dengan semua agama Indonesia lainnya.
Dalam gagasan untuk membentuk GKPB dan gereja Indonesia lainnya, sebagai
lembaga keagamaan yang berspiritualitas humanis, yaitu sebagai lembaga keagamaan yang
melihat sesama manusia bukan orang lain, sehingga harus diperlakukan secara manusiawi,
penulis memulainya dengan mengemukakan bahwa gereja harus dibebaskan dari tiga sumber
kungkungan pemahaman yang mengindoktrinasinya yang menyebabkan dia berspiritualitas
dishumanis. Ketiga pemahaman termaksud ialah: religionisme, bibliotarianisme dan
dogmalatarianisme.
Membebaskan gereja dari religionisme, oleh penulis diperkirakan akan membuka
pikiran gereja untuk memahami bahwa agama itu hanyalah jalan belaka untuk menghayati
keagamaan yang bermuara pada kebajikan bagi manusia. Membebaskan gereja dari
bibliotarianisme, oleh penulis, diperkirakan akan menjernihkan mata gereja untuk melihat
bahwa Alkitab itu hanyalah teks yang menarasikan penghayatan iman umat Yahudi dan umat
Kristiani terhadap dan tentang Tuhan dalam konteks sejarah mereka pada masa lalu di bidang
sosial, politik dan ekonomi. Membebaskan gereja dari dogmatolatarianisme, diduga oleh
penulis, akan mencerahkan pandangan dan sikap gereja bahwa dogma itu bukan sesuatu yang
bersifat ilahi yang harus dibakukan, sebab ia hanya instrument lewat mana gereja
menjelaskan apa yang dipercayainya.
Setelah gereja terbebas dari sikap religiolatri, bibliolatri dan dogmatolatri, penulis
berkeyakinan gereja Indonesia akan terbentuk menjadi lembaga keagamaan yang
berspiritualitas humanis. Kemudian dengan berspiritualitas humanis, gereja Indonesia melalui
misinya akan dimampukan untuk menjadi gereja yang menghormati Tuhan, berupa sikap
membiarkan Tuhan menjadi Tuhan, dan sekaligus menghormati semua manusia yang
beragama lain, berdasarkan pemahaman
bahwa sekalipun mereka beragama lain, tidak
berarti mereka bukan umat kepunyaan Tuhan, dan juga bukan berarti mereka di jalan yang
sesat.
Dalam gagasan untuk membuat GKPB dan gereja Indonesia lainnya, sebagai lembaga
keagamaan yang beretika sambung rasa, masyarakat kristiani dalam menggereja yang
282
mengindonesia, harus dipimpin bukan oleh spirit kapitalisme yang tidak pernah berpola hidup
cukup, sehingga melahirkan keserakahan dan menyebabkan munculnya kesenjangan sosial,
tetapi justru oleh roh sambung rasa yaitu pola hidup peduli sosial, sehingga senantiasa
tergerak untuk membatasi keinginan dan menghindari keserakahan, guna untuk mengikis
kesenjangan sosial dan menciptakan kesetaraan.
VIII.B.REKOMENDASI
Berangkat dari ketiga gagasan tersebut di atas, penulis menyampaikan rekomendasirekomendasi sebagai berikut:
VIII.B.1.Rekomendasi Kepada Pemerintah Indonesia
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu sekali mengupayakan adanya
gerakan penginternalisasian dan pengaktualisasian Pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia,
agar Pancaila yang adalah keagamaan (religiositas) Indonesia dihidupi oleh seluruh
masyarakat Indonesia dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Dalam merealisasi upaya
itu, nampaknya baik pemerintah membentuk kembali sebuah lembaga yang pernah ada pada
masa kepresidenan Jendral Soeharto, yaitu Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Badan ini perlu merancang dan nanti
mensosialisasikan pemantapan pemahaman dan pengaktualisasian Pancasila. Namun
pemantapan itu kiranya tidak dilakukan seperti dilakukan oleh pemerintah Order Baru, tetapi
lebih dialogis. Hal itu direkomendasi demikian, agar tidak terjadi pendangkalan dan
pemanfaatan yang digunakan untuk kepentingan diri, dalam pemahaman dan penghayatan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebab Pancasila senyatanya adalah
nafas Indonesia yang menentukan hidup matinya Indonesia.
Sebagai penyelenggara negara, pemerintah Indonesia patut sekali mempersembahkan
keteladanan dalam mengaktualisasikan Pancasila. Mereka tidak boleh berpihak kepada satu
agama tertentu dengan menjadikan agama itu sebagai anak emas, dan mereka juga tidak
boleh didikte oleh satu agama tertentu dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebaliknyamereka harus kuat dan berani menjinakkan semua agama Indonesia, dengan jalan
mengajar seluruh rakyat Indonesia melalui kata dan tindakan yang konsisten dan konsekuen,
bahwa mereka akan menolak semua yang bertentangan dengan Pancasila, sebab Pancasila
adalah nafas bangsa. Kekuatan dan keberanian pemerintah menaruh Pancasila sebagai nafas
283
atau jiwa bangsa merupakan sebuah pekerjaan menjinakkan agama. Kemampuan pemerintah
menagani keragaman agama Indonesia dengan Pancasila, akan membuatperbedaan agama
bukan sebagai sumber bagi lahirnya konflik, tetapi justru sebagaikekuatan yang positif dan
konstruktif, bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Bila pemerintah
Indonesia, berhasil memanifestasikan bahwa Indonesia
Pancasila adalah sebuah rumah
dimana semua orang mendapat tempat, keadaan itu akan bisa menjadi suatu sumbangan yang
sangat konstruktif bagi umat manusia di seluruh dunia dalam membangun peradaban yang
manusiawi.1
VIII.B.2. Rekomendasi Kepada Lembaga Pendidikan dan Keagamaan Indonesia
Para pimpinan lembaga pendidikan Indonesia patut merancang pendidikan agama
secara sosiologis. Hal itu direkomendasi demikian sebab pendidikan agama yang melihat
agama secara sosiologis, akan memberdayakan masyarakat untuk melihat semua agama itu
sesungguhnya adalah jalan semata untuk menghadirkan religiositas manusia demi
kemaslahatan dunia. Para pimpinan lembaga keagamaan Indonesia patut menghadirkan
kepemimpinan agama yang tidak menjunjung tinggi institusi agama lebih dari religiositas.
Hal itu direkomendasi demikian sebab agama bukanlah segala-galanya. Sebaliknya agama
bisa menistakan kemanusiaan manusia bila ia dijalankan tanpa spiritualitas. Melanjutkan
rekomendasi ini, penulis juga merekomendir para pimpinan lembaga pendidikan dan lembaga
keagamaan Indonesia, untuk memikirkan semua produk hukum dan perundang-undangan di
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak sejalan dengan Pancasila sebagai sari pati
dan soko guru bangsa, lalu mengusulkan kepada pemerintah agar semua undang-undang dan
peraturan tersebut dibatalkan.
Penulis juga merekomendir agar para pimpinan lembaga pendidikan dan lembaga
keagamaan Indonesia, sebagai tokoh-tokoh bangsa yang memikirkan perjalanan negeri ini
namun mereka bukan politikus, mengkaji tentang sistem partai politik Indonesia. Penulis
bersaran demikian sebab dengan adanya multi partai politik dan partai-partai politik yang
berbasis agama di rumah Pancasila, energi, waktu dan nampaknya juga dana di antara anak
bangsa, banyak tergerus hanya untuk
menonjolkan diri, mendiskreditkan sesama anak
bangsa, dan melakukan politasi agama demi untuk mendapatkan kekuasaan. Keadaan yang
demikian ini, membuat negeri ini, walau telah banyak berjalan, namun hanya berjalan di
tempat, belum banyak bergerak cepat untuk meraih cita-cita bangsa.Melanjutkan saran yang
1
John A. Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 4-5.
284
berdasar pada pikiran tersebut di atas, dan demi sehatnya demokrasi Indonesia, penulis juga
berharap agar para pimpinan lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan Indonesia,
merekomendir pemerintah untuk mentiadakan partai-partai politik yang berbasis agama dan
mengupayakan terciptanya hanya dua partai politik saja, sehingga di Indonesia selalu akan
ada hanya dua partai politik, yaitu partai politik yang tengah berkuasa karena memenangkan
pemilu, dan partai politik yang tengah tidak berkuasa karena suara yang diraih dalam pemilu
lebih sedikit dari partai yang tengah berkuasa.
VIII. B.3. Rekomendasi Kepada Gereja Indonesia Dan Lembaga Pendidikan Teologi
Kristen
Lembaga pendidikan teologi Kristen dan gereja Idonesia sudah sepatutnya segera
membangun teologi keindonesiaan. Dalam membangun teologi Indonesia, gereja Indonesia
patut melihat Indonesia itu sebagai teks karena ia senyatanya adalah sebuah penyataan
tentang karya penyelamatan Tuhan. Dengan membaca Indonesia sebagai penyataan tentang
karya penyelamatan Tuhan, gereja Indonesia akan mampu untuk mengakarkan
dirinya
dalamkeindonesiaan. Kemudian bila gereja Indonesia berakar dalam keindonesiaan, dia juga
akan dimampukan untuk bertumbuh dan mematangkan diri, bersama dengan semua agama
Indonesia lainnya, sesuai dengan jalan dan arus pergumulan Indonesia. Hanya dengan jalan
menteologisasikan Indonesia, gereja Indonesia akan diberdayakan untuk beridentitas diri
sebagai suatu lembaga keagamaan nasional yang menggereja dan mengindonesia, yaitu
menjadi gereja nusantara, bertubuh gereja atau Kristen namun berjiwa Indonesia.
Tanpa memiliki teologi tentang Indonesia dan tanpa menjadi gereja nusantara seperti
termaksud di atas, gereja indonesia tidak akan bisa sigap dan selalu bersikap reaktif dalam
menanggapi dinamika kehidupan berbangsa. Sebaliknya bila gereja Indonesia mempunyai
teologi keindonesiaan dan senyatanya menjadi gereja nusantara, gereja Indonesia
diberdayakan untuk menegosiasikankekristenan dengan keindonesiaan, sebagai bagian
integral dari proses menggereja yang mengindonesia. Dengan kata lain, bila gereja Indonesia
menteologisasikan Indonesia dan dari penteologisasian akan Indonesia itu, ia benar-benar
menjadi gereja nusantara, maka gereja Indonesia dimungkinkan untuk
tidak salah bila
dengan lantang dia bermoto dan berkata: gereja adalah tubuhku dan Indonesia adalah jiwaku.
Hal itu dikatakan demikian, karena nilai-nilai keindonesiaan adalah roh yang tidak
berseberangan, bahkan sejalan dengan spiritkekristenan yaitu spirit Kristus, bila saja benarbenar dipahami dan diikuti gereja. Dalam tingkat pemahaman dan kesadaran setarap
285
demikian, gereja Indonesia akan dimungkinkan untuk mampu mengadaptasi bentuk-bentuk
baru dalam menggereja yang melampaui batasan kelembagaan gerejawi.
VIII.B.4. Rekomendasi Kepada Seluruh Masyarakat Indonesia
Seluruh masyarakat Indonesia, dalam berindonesia patut menempatkan Indonesia itu
sebagai jalan untuk bersaksi kepada dunia yang pada masa sekarang ini sangat dijiwai oleh
kapitalisme. Dalam menjadikan keindonesiaan itu sebagai sebuah kesaksian, semua
masyarakat Indonesiai yang beragama sangat majemuk ini, bisa bersaksi kepada dunia,
bahwa perdamaian hanya bisa terlahir ditempat dimana:kesatuan diagungkan, kemanusiaan
dimuliakan, dan tidak kalah pentingnya kesetaraan ekonomi dijunjung tinggi.Kesaksian
Indonesia yang demikian ini akan sangat berkuasa, sebab fakta menunjukkan bahwa masingmasing agama dunia yang di tempat kelahirannya menjadi anak emas dan mendominasi
segala ketetapan negara, tetapi ketika mereka tidak berhasil mewujudkan kesetaraan ekonomi
masyarakatnya, mereka tidak hidup dalam damai sejahtera.Bertolak dari realita ini, bila saja
semua masyarakat Indonesia memahami dan menghayati keindonesiaan (baca kesetaraan
ekonomi Indonesia) sebagai misinya dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa, dengan
berpeduli sosial yang berwujud dalam berpola hidup cukup agar semua sesama juga bisa
hidup dalam kecukupan, Indonesia dimungkinkan untuk menjadi contoh bagi segala bangsa
di dunia yang cendrung bersemarak ini, namun juga yang bersamaan dengan itu sangat jauh
baik dari rasa damai maupun dari suasana perdamaian karena kapitalisme.
286