Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

27

BAB II
EFEKTIFITAS HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN GADAI TANAH
PERTANIAN DI TANAH KARO

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Karo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Provinsi
Sumatera Utara, yang terletak pada jajaran Dataran Tinggi Bukit Barisan dan sebelah
barat daya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia serta merupakan daerah
hulu sungai. Secara geografis Kabupaten Karo terletak pada koordinat 2050’ – 3019’
Lintang Utara dan 97055’ - 98038’ Bujur Timur.
· Sebelah Utara : Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang
· Sebelah Selatan : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir
· Sebelah Barat : Provinsi Nangroe Aceh Darusalam
· Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun
Kabupaten Karo mempunyai wilayah seluas 2.127,25 Km2 atau 2,97% dari
luas Provinsi Sumatera Utara. Terdiri dari 17 kecamatan dan 262 desa. Wilayah yang
terluas adalah Kecamatan Mardingding yakni 267,11 Km2 (12,56% dari luas
kabupaten) dan kecamatan dengan luas terkecil adalah Kecamatan Berastagi seluas
30,5 Km2 (1,43% dari luas kabupaten). Kependudukan Wilayah Kabupaten Karo

sebagai subyek dan sekaligus obyek perencanaanmerupakan bagian dari faktor sosial
yang selalu berubah. Salah satu aspek pentingyang harus diketahui ialah
perkembangan jumlah penduduk.

27

Universitas Sumatera Utara

28

Kabupaten Karo merupakan wilayah yang berbasiskan pertanian dan sudah
ditetapkan sebagai pusat Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan.
Dengan demikian saat ini pengembangan pertanian dengan konsep agropolitan serta
pariwisata berbasis pertanian.
Kabupaten Karo merupakan catchment area bagi kawasan perkotaan
Mebidang dengan penekanan fungsi pada kawasan hutan lindung dan suaka alam.
Dengan demikian keberadaan hutan harus diperhatikan dengan pengelolaan kawasan
hutan dengan konsep social-forestry (melibatkan masyarakat) serta pemanfaatan
kawasan hutan lindung dan suaka alam sebagai objek wisata, dengan tetap
mempertahankan fungsi lindungnya. Sebagai wilayah yang berada di dataran tinggi

dengan kemiringan juga yang cukup curam, menyebabkan wilayah ini merupakan
kawasan bencana geologi (daerah waspada dan daerah bahaya), dengan demikian
pencegahan dan penanggulangan bencana merupakan hal yang sangat penting di
Kabupaten ini.
Kabupaten Karo adalah penduduk yang dominan ditempati oleh masyarakat
asli suku karo dan beberapa suku pendatang lainnya. Suku karo ini mempunyai adat
istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi Suku
Karo sendiri. Masyarakat Karo kuat berpegang kepada adat istiadat yang luhur,
merupakan modal yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembangunan. Masyarakat
Karo selalu melakukan kegiatan tradisi budaya seperti “Pesta Bunga & Buah” dan
festival kebudayaan “Pesta Mejuah-juah” yang diadakan setiap tahun. Tanah Karo
juga memiliki tradisi yang telah turun temurun dilakukan yaitu “Kerja Tahun/Pesta

Universitas Sumatera Utara

29

Tahunan” yang diselenggarakan setiap tahun oleh masyarakat karo yang tinggal di
daerah tersebut atau pun yang sudah merantau datang kembali ke perkampungan yang
memiliki hubungan keluarga untuk saling berkunjung dan bersilaturahmi.


B. Dasar Hukum Pelaksanaan Gadai Tanah
1.

Gadai Tanah Menurut Hukum Adat
Gadai tanah ini dikenal dalam hukum adat, yang merupakan tindakan terhadap

tanah, bukan tindakan yang ada hubungannya dengan tanah. Gadai tanah merupakan
lembaga atau pranata yang pertama sekali dipopulerkan oleh Ter Haar Bzn,
sebagaimana ditemukan pada awalnya dari Mr. Van Vollenhoven, dimana disebut
dengan jual gadai yaitu perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya diserahkan
untuk menerima tunai sejumlah uang dengan permufakatan bahwa si penyerah akan
berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan membayarkan
sejumlah uang sama (grond verpanding).41
Gadai tanah menurut hukum adat ini juga terdapat suatu larangan pemilikan
tanah oleh si penerima gadai (pandnemer), meskipun itu diperjanjikan, suatu larangan
yang juga kita jumpai dalam gadai menurut Hukum Perdata (pasal 1154 mengenai
pand). Kalau si penggadai tersebut ingin memiliki tanahnya, maka selalu diperlukan
suatu transaksi baru dengan pemiliknya, yang biasanya mewajibkan sipenggadai itu
menambah uang gadainya. Adanya kemungkinan bahwa si penggadai (pandnemer)

mengulanggadaikan tanahnya, sedangkan tanah itu boleh ditebus di tangan siapa saja

41

Ter Haar.op cit, hal 112.

Universitas Sumatera Utara

30

ia berada, adalah mirip dengan sifat “melekat” (droit de suite) yang terdapat pada
hipotik.
Transaksi dalam hukum adat dibagi menjadi 2 macam, yaitu transaksi tanah
bersegi satu dan transaksi tanah bersegi dua/ timbal balik. Transaksi tanah bersegi
satu dari individu ialah pembukaan tanah dari sebagian hak ulayat dimana ia menjadi
anggota kelompok masyarakat yang mempunyai hak ulayat tersebut.42 Karena hak
ulayat berada dibawah kekuasaan penghulu, maka setiap pembukaan tanah harus atas
sepengetahuan penghulu untuk melindungi agar hak-hak terdahulu tidak terlanggar.43
Dalam tindakan hukum bersegi satu dari perseorangan itu timbul ”hubungan magis
antara sipembuka tanah dengan tanah pertanian yang dibuka dan hubungan hukum

dalam lingkungan magis dan hubungan hukum yang ada pada manusia dengan
tanah.”44
Transaksi tanah bersegi dua/timbal balik menimbulkan hak dan kewajiban bagi
para pihak. Untuk memahami transaksi tanah bersegi dua, haruslah bertitik tolak dari
hubungan hukum yang mengandung unsur magis religius antara manusia dan tanah
sebagai akibat dari pembukaan tanah tersebut. Sehingga melepaskan hak atas
haruslah serentak penyerahan tanah dengan benda-benda yang setara dengan nilai
tanah tersebut sehingga keseimbangan kosmis tidak terganggu akibat transaksi tanah
tersebut. Unsur dari perbuatan itu ialah peralihan yang serentak pembayaran tunai,
sehingga perbuatan hukum semacam itu dapat dikatakan perbuatan tunai/kontan.45

42

. ibid, hal, 103.
. Ibid, hal 104.
44
. Ibid, hal, 105.
45
. Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta, liberti, 1981, hal 36
43


Universitas Sumatera Utara

31

Disamping transaksi tanah, adapula yang disebut transaksi yang berkaitan
dengan tanah, maksudnya tanah tetap merupakan faktor penting dalam transaksi,
namun tidak dapat disebut objek dari transaksi dan transaksi tersebut tidak bermaksud
untuk menyerahkan tanah seperti perjanjian jual, yang termasuk perjanjian ini antara
lain: perjanjian bagi hasil, sewa, kombinasi bagi hasil dan sewa dengan gadai tanah
dan transaksi pinjam uang dengan tanggungan tanah.
Pengertian jual dalam hukum adat lebih luas dari pengertian jual dalam hukum
perdata barat. Jual (verkoop) menurut hukum perdata barat hanya persis nama artinya
dengan jual lepas dalam hukum adat, yaitu menyerahkan untuk selama-lamanya hak
dari penjual kepada pembeli, sehingga pembeli menjadi pemilik baru.
Transaksi jual dalam hukum adat adalah sejenis perjanjian timbal balik yang
bersifat riil, dilapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu bentuk
perbuatan tunai dan berobjek tanah. Penyerahan benda (sebagai prestasi) berlangsung
serentak dengan penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya) selaku kontra prestasi.
Perbuatan menyerahkan itu dinyatakan dengan jual istilah jual (ind), odol, sade

(jawa). Dalam hukum tanah adat, transaksi jual dapat mengandung tiga maksud:
1. Menjual

gadai,

menggadai,

atau

memegang,

atau

pegang

gadai

(minangkabau), odol sande (jawa), ngajual akad/gade (sunda), yaitu
menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai,
dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan

jalan membayar kembali dengan sejumlah uang yang sama.

Universitas Sumatera Utara

32

2.

Menjual lepas (Ind), odol plas, runtumurun (jawa), yaitu menyerahkan tanah
untuk/ menerimapembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak untuk
menebusnya kembali, jadi penyerahan itu berlaku utnuk selamanya.

3.

Menjual tahunan (Ind) adol ayodan, (jawa): yaitu menyerahkan tanah dengan
menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, dengan janji tanpa
perbuatan satu perbuatan hukum lagi, tanah itu akan kembali dengan
sendirinya kepada pemiliknya sesudah berlalu beberapa tahun/ beberapa kali
panen (menurut perjanjian).46
Menurut Imam Sudiyat, transaksi tanah bersegi dua tersebut diatas


mengandung pokok pikiran bahwa seseorang atau pihak pertam melepaskan tanah
setelah menerima sejumlah uang tertentu, dan pihak kedua menjadi pemegang hak
atas tanah tersebut untuk selamanya (jual lepas), atau selama pihak pertama tidak
menebusnya (jual gadai), atau untuk beberapa tahaun saja (jual tahunan.)47
Agar transaksi gadai yang dilakukan menjadi terang, yaitu terjamin atau
terlindung

dalam

lalu

lintas

hukum,

khususnya

terhadap


kemungkinan

tangkisan/gugatan pihak ketiga, maka transaksi dilakukan dengan bantuan atau
kesaksian kepala persekutuan hukum adat, seperti penghulu, kepala desa dan
sebagainya.
Suroyo Wignyodipuro mengatakan bahwa gadai tanah adalah penyerahan
kontan disertai ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah mempunyai hak
mengambil kembali tanah itu dengan pembayaran uang sama jumlahnya.

46
47

Ibid hal, 29.
Ibid hal, 35-36.

Universitas Sumatera Utara

33

Demikian pula R. Supomo, menyatakan gadai tanah adalah penyerahan hak

atas tanah dengan syarat tanah itu dapat kembali pada yang memberikan gadai
dengan terlebih dahulu uang pembayaran dari pemegang gadai itu di kembalikan.48
Soerjono Soekanto merumuskan bahwa gadai tanah merupakan penyerahan
tanah dengan pembayaran kontan, akan tetapi yang menyerahkan mempunyai hak
mengambil kembali tanah dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya.49
Dilihat dari definisi diatas, tanah akan dikembalikan kepada pemiliknya
apabila pemilik tanah telah membayar uang kepada penerima gadai sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam penyerahan tanah
tersebut maka terikut pula diserahkan hak-hak untuk menikmati manfaat yang
melekat pada tanah tersebut, jadi setelah ada penyerahan tanah tersebut maka
terputuslah hubungan hukum antara pemilik tanah dengan tanahnya untuk
memperoleh manfaat tanahnya yang telah diserahkan, tetapi kepemilikan tanah itu
masih tetap ditangan si penggadai.50
Pelaksanaan gadai tanah menurut hukum adat dimana tanah yang digadaikan
jatuh kepada kreditur tidak sesuai dengan sistem perundang-undangan yang dianut
Undang-Undang Pokok Agraria, karena dengan diserahkannya tanah yang digadaikan
kepada kreditur, maka debitur kehilangan mata pencahariannya. Bagaimana debitur

48

R.Supomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960), hal.28.
Soerjono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari
Hukum Adat, (Jakarta: Rajawali,)hal 85
50
Muhammad Yamin, Beberap Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa,
2003) hal.128
49

Universitas Sumatera Utara

34

dapat membayar hutangnya jika modalnya untuk mencari nafkah sudah ditangan
orang lain.
Beberapa alasan mengapa gadai tanah ini digunakan oleh masyarakat yang
dikenal dalam hukum adat, yakni:
1. Lalu lintas hukum adat dulunya tidak mengenal ”kredit” seperti sekarang
sehingga jarang dipakai dalam bisnis besar seperti Eksport-Import. Ini
diakibatkan karena sistem hukum yang kongkrit dalam setiap tindakan
hukum.51
2. Lembaga ini kelihatannya tidak akan pernah hilang dari kehidupan
masyarakat desa, karena merupakan salah satu sarana tolong menolong dari
masyarakat.52
Karena berfungsi atau dijadikan sebagai sarana tolong menolong dalam
masyarakat desa, maka gadai tanah ini merupakan suatu pranata yang sangat penting
keberadaanya dalam upaya memenuhi kebutuhan uang yang tidak dapat dielakkan.
Dengan waktu sedemikan cepat dan mendesak harus ada tersedia uang, tanpa harus
menjual benda-benda miliknya serta tidak perlu diketahui oleh orang banyak. Justru
satu keluarga telah menjual lepas tanahnya, maka akan dirasakan sebagai
merendahkan martabat keluarga tersebut. Sebab dalam kebiasaan masyarakat
kalaupun terjadi jual lepas tanah, harus terlebih dahulu menuruti ketentuan ”hak

51

S.Adiwinata, Perkembangan Hukum Perdata/ Adat Sejak Tahun 1960,) (Bandung: Alumni,
1970), Hal 70-71
52
Liliek Istiqomah, hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional,(Surabaya-Indonesia:Usaha Nasional,1982), hal 105

Universitas Sumatera Utara

35

terdahului” yakni orang yang mau menjual tanah tidak begitu saja dapat menjualnya
kepada siapa saja. Akan tetapi harus mendahulukan penjualan itu kepada kerabat
dekatnya atau keluarga satu marganya. Bila tidak ada kawan satu kerabat yang
hendak membeli tanah itu, dia harus menjualnya kepada orang sekampungnya dan
apabila juga tidak ada yang membeli dari kawan sekampung, pemilik tanah masih
harus mencari orang yang berdekatan dengan tanah tersebut atau dimana tanah itu
berada, tetangganya didahulukan. Bila juga tetangga yang berdekatan dengan tanah
itu tidak ada yang mau membeli, barulah dia dapat menjual lepaskanya kepada siapa
saja yang mau membelinya. Hal ini supaya tidak diketahui bahwa telah terjadi jual
lepas tanah.53
Gadai tanah menurut hukum adat mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
1. Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa.
2. Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya.
3. Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus.
4. Tanah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik
pemegang gadai bila tidak ditebus.54
2.

Gadai Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria
Sekalipun UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) berdasarkan hukum adat

(pasal 5 UUPA), namun UUPA tidak mengambil alih lembaga gadai itu untuk

53

Muhammat Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa
Press, 2003, hal 127.
54
Soedikno Mertokusumo, Hukum Dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Bandung, 1998,
hal.7.15.

Universitas Sumatera Utara

36

jaminan hutang. Bahkan pada Pasal 16 ayat 1 (h) dan Pasal 53 UUPA secara tegas
dinyatakan bahwa gadai tanah tersebut adalah hak-hak atas tanah bersifat sementara
dalam arti sifatnya bertentangan dengan UUPA oleh karenanya di usahakan hapus
dalam waktu yang singkat.
Sifat-sifat yang menonjol dari gadai tanah itu termasuk bagi hasil pertanian,
sewa tanah pertanian dan hak menumpang (Pasal 53 UUPA) adalah tidak menjamin
perlindungan terhadap kepentingan golongan ekkonomi lemah bahkan cenderung
terjadi pemerasan. Hal itu terlihat pada konstruksi hukum dari gadai tanah pertanian
dimaksud.
1. Gadai tanah pertanian adalah penyerahan tanah oleh si pemberi gadai sebagai
imbalan dari sejumlah uang (bisa juga berupa jasa dan atau benda lainnya)
yang diterimanya berupa hutang dari si pemegang gadai dengan ketentuan
tanah tersebut dapat diserahkan kembli kepada si pemberi gadai setelah
hutangnya dibayar lunas kepada si pemegang gadai. Hutang pemberi gadai
nilai intrinsiknya bisa berbeda pada waktu terjadinya gadai dan pada waktu
pelunasan hutang/penebusannya disebabkan perubahan nilai uang. Untuk
mengantisipasi hal tersebut biasanya uang gadai didasarkan kepada kesetaraan
nilai benda tertentu seperti emas atau beras pada saat terjadinya gadai itu.
2. Penyelesaian hutang atau penebusannya di dalam gadai tanah harus memenuhi
ketentuan-ketentuan tertentu.
Sifat-sifat gadai yang bertentangan dengan UUPA tersebut telah diatur
penghapusannya melalui Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960, peraturan

Universitas Sumatera Utara

37

menteri pertanian dan agraria No.20 Tahun 1963 dan peraturan pelaksanan
lainnya. Dengan berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut di atas
bukan menghapuskan lembaga gadai tanah pertanian melainkan sifat-sifat dari
lembaga tersebut yang bertentangan dengan UUPA, hal itu dapat dilihat dari
bunyi Pasal 7 ayat 3 Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 tersebut.
3. Jika uang gadai/tebusan hutang yang harus dibayar didasarkan kepada
sejumlah barang tertentu seperti emas atau beras pada saat terjdinya gadai,
maka perubahan nilai rupiah atas harga barang tersebut pada

waktu

penebusannya menjadi tanggungan bersama kedua pihak (sipemberi gadai dan
pemegang gadai).
4. Penambahan uang gadai pada perjanjian gadai tanah dengan ketentuan
pemegang gadai yang sama, dipandang sebagai melahirkan gadai baru yang
mengakibatkan perhitungan jangka waktu berlangsungnya gadai di dasarkan
kepada timbulnya perjanjian gadai baru tersebut. Pemindahan gadai kepada
pemegang gadai yang baru dapat berlangsung dengan ijin si penggadai yang
melahirkan gadai baru dengan akibatnya, perhitungan jangka waktu
berlangsungnya gadai di dasarkan kepada timbulnya perjanjian gadai tersebut.
5. Hapusnya gadai disebabkan.
a. Waktunya sudah mencapai 7 tahun;
b. Pembayaran uang gadai sesuai dengan ketentuan bagi gadai yang waktunya
tidak cukup 7 tahun;
c. Tanah objek gadai musnah;

Universitas Sumatera Utara

38

d. Tanah objek gadai dicabut untuk kepentingan umum;
e. Pemegang gadai yang tidak menyerahkan tanah objek gadai kepada si
penggadai setelah jangka waktu 7 tahun, dipidana dengan hukuman
kurunganselama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya
Rp10.000,- (pasal 10 ayat 1 b UU No. 56 Prp Tahun 1960).
Mengenai prosedur penyelesaian sengketa gadai diatur berdasarkan peraturan
Menteri Pertanian dan Agraria No. 20 Tahun 1963 tentang pedoman penyelesaian
masalah gadai dalam pasal 4, yaitu:
1. Pada tingkat pertama penyelesaiannya supaya diusakan secara musyawarah
antara penggadai dan pemegang gadai, dengan disaksikan oleh kepala
desa/panitia landreform desa setempat letak tanah atau tanaman yang
bersangkutan.
2. Jika tidak dapat dicapai penyelesaiannya secara yang tersebut diatas, maka
soalnya diajukan kepada Panitia Landreform Daerah Tingkat II malalui
panitia Landreform

Kecamatan, untuk

mendapat keputusan, Panitia

Landreform kecamatan memberi pertimbangan kepada Panitia Landreform
Tingkat II;
3. Jika salah satu atau kedua pihak tidak dapat menerima keputusan panitia
Landreform tingkat II, maka pihak yang bersangkutan dipersilahkan untuk
mengajukan suoalnya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat keputusan.
Dalam Undang-Undang No. 56/Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas
Tanah Pertanian diatur juga tentang gadai tanah pertanian. Sebagaimana tercantum

Universitas Sumatera Utara

39

dalam Pasal 7 ayat I barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang
pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih
wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang
tebusan. Pasal 7 (tujuh) Ayat (2) menyebutkan, mengenai gadai yang pada mulai
berlakunya peraturan ini belum berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya
berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai
dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:
(7+1/2)- waktu berlangsung hak gadai X uang gadai,
7
Ketentuan pasal 7 Undang-Undang No. 56/Prp Tahun 1960, menunjukkan
bahwa pembentk Undang-Undang menginginkan sebagian dari hasil perolehan atas
pengusahaan tanah gadai menjadi cicilan pembayaran hutang penggadai serta adanya
anggapan juridis bahwa setelah 7 tahun maka hutang penggadai menjadi lunas.
Undang-Undang No 56/1960 Tahun 1960 mulai berlaku pada tanggal 1
Januari 1961, maka diharapkan gadai tanah yang telah berlangsung lebih dari 7 tahun
telah berakhir dan transaksi gadai tanah berdasarkan hukum adat yang masih berlaku
sejak saat itu tidak dilakukan lagi. Apabila gadai berdasarkan hukum adat yang masih
berlaku di masyarakat, maka harus tunduk kepada ketentuan peraturan yang berlaku
sehingga gadai tanah berdasarkan hukum adat akan terhapus.
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan, hak-hak yang
sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h ialah
hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa tanah pertanian

Universitas Sumatera Utara

40

diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini
dan hal-hal tersebut diusahakan akan dihapus dalam waktu dekat.
Dari rumusan resmi tentang gadai tanah diatas disimpulkan bahwa pembentuk
Undang-Undang berpendirian bahwa gadai tanah merupakan perjanjian asseoir dari
suatu perjanjian hutang–piutang. Jadi hak gadai itu lahir manakala ada dua pihak
yang melakukan perjanjian hutang piutang dan pihak debitor menyerahkan tanah
yang dimilikiya kepada kreditor sebagai jaminan atas pelunasan hutang. Dengan
demikian, definisi tentang gadai tanah yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang
diatas berbeda dengan definisi gadai tanah yang dirumuskan oleh para ahli hukum
adat yang menyatakan gadai tanah sebagai perjanjian yang mandiri dengan objek
tanah dan bersifat tunai. kemungkinan kesalahan akan pemahaman tentang gadai
tanah sudah diingatkan jauh sebelumnya oleh Ter Haar. menurut beiiau
penterjemahan terhadap lembaga transaksi gadai tanah dalam hukum adat diatas
dengan istilah grondverpanding yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia sebagai gadai tanah menimbulkan dua alasan keberatan, yaitu:
a. Penterjemahan sedemikian itu mengedepankan pemikiran seolah-olah
perjanjian tanah itu memiliki sifat assesoir, padahal perjanjian itu adalah
perubahan hukum yang berdiri sendiri (zelfstandige rechtshandeling)
b. Penterjemahan tersebut mengedapkan pemikiran bahwa seolah-olah perjanjian
tersebut berdasarkan atas pinjaman uang yang terus menerus, dimana dengan
pembayaran kembali pinjaman uang, lantas tanah tersebut didapatkan
kembali. Padahal gadai tanah sama sekali bukan (lagi) pinjaman uang, orang

Universitas Sumatera Utara

41

dapat menarik kembali tanah tersebut kepada dirinya sendiri dengan jalan
membayarkan uang yang sudah diterimanya tetapi tindakan tersebut tidak
diwajibkan.55
Namun, lebih lanjut beliau juga mengatakan bahwa hendaknya tetap dipakai
istilah grondverpanding (gadai tanah) karena tidak ada istilah yang lebih baik dan
harus dihindari kecenderungan untuk menghubung-hubungkan dalam pikiran istilah
tersebut dengan “pandtransactie” belanda yang bersifat assesoir tersebut.”56
Penjelasan Undang-Undang No. 56/Prp Tahun 1960 pada bagian umum angka
9 (a) menyatakan bahwa “gadai tanah itu menunjukkan praktek-praktek pemerasan,
hal mana bertentangan dengan azas sosialisme indonesia” sehingga dalam UUPA hak
gadai dimasukkan kedalam golongan “hak yang bersifat sementara, yang diusahakan.
Hapusnya dalam waktu yang singkat”(pasal 53 UUPA). Sedangkan para ahli hukum
adat meyakini bahwa lembaga gadai tanah yang telah lama hidup di masyarakat
tersebut masih dibutuhkan karena bersifat tolong menolong.
Pengertian hak gadai tanah (Gadai Tanah), UUPA tidak memberikan pengertian
apa yang dimaksud dengan Hak Gadai (Gadai Tanah). Untuk memperoleh
pemahaman tentang pengertian Gadai Tanah, berikut ini dikemukakan pendapat
Boedi Harsono, Gadai tanah adalah hubungan hukum antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai dari padanya, selama uang
gadai belum dikembalikan tanah tersebut dikuasai oleh pemegang uang gadai.

55
56

Ter Haar, Op Cit, hal.113.
Ibid,hal.114

Universitas Sumatera Utara

42

Pengembalian uang gadai atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada
kemauan dan kemampuan pemilik tanah yang menggadaikan. Banyak gadai yang
berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah
belum mampu melakukan penebusan.57
Undang-Undang hak tanggungan menganut sebagai jaminan hutang yang
diberikan hak-hak atas tanah kepada seseorang baik sebagai hipotik yang masih
dianut oleh UUPA sebelum lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan No 4 tahun
1996, demikian juga pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 itu sendiri bahwa
jaminan hutang yang dibebankan atas tanah, tanahnya tetap berada ditangan si
debitur.
3.

Gadai Menurut Hukum Perdata
Gadai adalah suatu hak kebendaan yang di punyai kreditur atas barang milik

debitur sebagai jaminan hutang (1150 BW). Dari pengertian diatas ini ternyata hak
gadai adalah tambahan saja atau buntut (bersifat accesoir) dari perjanjian pokok yaitu
perjanjian pinjaman uang. Maksudnya adalah untuk menjaga jangan sampai debitur
lalai membayar kembali uang pinjaman atau bunganya.
Sifat-sifat hak kebendaan unumnya yaitu selalu mengikuti bendanya
dimanapun berada (droit de suite), dapat dipindahkan kepada orang lain, yang lebih
dahulu di dahulukan dalam pemenuhannya dan sebagainya, kreditur yang mempunyai

57

Boedi Harsono (I), Hukum Agreria Indonesia SejarahPembentukan Undang-Undang Pokok
Agreria,Isi Dan Pelaksanaan,Djambatan,Jakarta,2003,hal.394.

Universitas Sumatera Utara

43

hak gadai mempunyai kedudukan preferensi yaitu didahulukan dalam pemenuhannya
daripada kreditur-kreditur lainnya.
Sebagaimana terlihat pada definisi hak gadai sendiri, yang menjadi objek dari
hak gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak yang dimaksudkan meliputi benda
bergerak yang berwujud (Lichamelijke Zaken) dan benda bergerak yang tidak
berwujud (Onlichakelijke Zaken) berupa hak untuk mendapatkan uang yang berwujud
surat-surat berharga. Surat-surat berharga ini dapat berupa “atas bawa” (aan toonder),
“atas tunjuk” (aan order), dan “atas nama” (op naam).
Adanya hak gadai berdasarkan atas suatu perjanjian (pand overeenkomst)
antara penerima gadai dengan pemberi gadai untuk membuat perjanjian mengadakan
gadai, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak menentukan syarat apa-apa,
artinya perjanjian itu dapat dibuat secara tertulis (otentik atau dibawah tangan) dan
dapat dibuat secara lisan. Inilah yang dimaksudkan pasal 1151 BW yang menyatakan
bahwa perjanjian gadai dapat dibuktikan dengan semua alat-alat bukti yang
diperolehkan buat membuktikan perjanjian pokok yaitu perjanjian peminjaman uang.
Akan tetapi dengan adanya perjanjian gadai tidak berarti hak gadai telah
terbentuk dengan sendirinya, melainkan harus disertai dengan “penyerahan benda
yang di gadaikan” oleh pemberi gadai kepada penerima gadai. Hal ini ditegaskan
dalam pasal 1152 BW yang menentukan bahwa benda yang digadaikan harus berada
dalam kekuasaan kreditur selaku penerima gadai. Dalam praktek hal ini sering kali
menimbulkan kesulitan, jika saja debitur tidak lagi mempunyai benda lain yang di
gadaikan selain benda yang sehari-hari dipergunakannya untuk berusaha, dimana

Universitas Sumatera Utara

44

hasilnya kemudian diperuntukkan untuk melunasi hutangnya. Jika barang-barang
yang dipergunakanya untuk berusaha tersebut ditarik dari kekuasaanya, maka sudah
tentu ia tidak dapat berusaha lagi, hal mana jelas mengakibatkan kesukaran baginya
untuk melunasi hutang-hutangnya itu.58
Untuk mengatasi kesulitan diatas adalah dengan menggunakan suatu bentuk
jaminan yang dinamakan “fiduciare eigendoms overdracht” yang sering di singkat
Feo yaitu penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan bahwa penyerahan hak milik
tersebut hanyalah sebagai jaminan untuk pembayaran hutang, dengan tetap menahan
benda yang di feokan berada dalam kekuasaan yang menyerahkan hak milik.
Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum Indonesia dapat
dilakukan dalam bentuk, ”Pand” menurut Hukum Perdata, “Borg” menurut hukum
adat atau gadai menurut hukum adat. Boreg menurut hukum adat ditujukan kapada
pemberian jaminan dimana barang jaminan tetap dikuasai oleh si peminjam uang,
sedangkan gadai atau apa yang dinamakan “cekelan” ditujukan kepada pemberian
jaminan yang barangnya diserahkan dalam kekuasaan si “pemberi kredit”
Adanya perjanjian gadai tidak berarti hak gadai telah terbentuk dengan
sendirinya, melainkan harus disertai dengan “penyerahan benda yang digadaikan”
oleh pemberi gadai kepada penerima gadai. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1152 BW
yang menentukan bahwa benda yang digadaikan harus berada dalam kekuasaan
kreditur selaku penerima gadai.

58

Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni Bandung,
Bandung, hal. 159.

Universitas Sumatera Utara

45

Hukum perdata mengatur bahwa gadai sebagai lembaga jaminan hutang
berlaku terhadap benda bergerak dan barang yang digadaikan diserahkan kepada
orang yang meminjamkan uang, sedangkan untuk benda tidak bergerak (termasuk
dengan benda yang melekat dengan tanah) lembaga jaminan yang dipakai adalah
hipotik dan creditverband sebagaimana diatur dalam Staabld No.1937-190,
sedangkan barang yang dihipotikkan tetap berada di tempat debitor (peminjam).
Gadai menurut hukum perdata barat terdapat dua perbuatan hukum yang
berupa perjanjian pinjam-meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan
benda bergerak sebagai jaminan, sebagai perjanjian ikutan.
Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Gadai adalah suatu hak
yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya,
dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkanya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana
harus didahulukan.
KUH Perdata tidak mengatur mengenai gadai tanah, hanya mengatur gadai
yang objeknya benda bergerak sebagai jaminan harus ditarik dari kekuasaan
pemiliknya untuk mencegah bahwa barang itu dihilangkan oleh pemiliknya, biasanya
barang jaminan diserahkan kepada kreditor, tetapi dibuka kemungkinan untuk
menyerahkan kepada seseorang pihak ketiga yang mengusainnya atas nama kreditor

Universitas Sumatera Utara

46

atau kepada pihak ketiga ini bahkan merupakan syarat mutlak bagi terbitnya hak
gadai. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1152 (1) dan 1152 (2) BW, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 1152 (1) BW: hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutangpiutang bawa diletakkan dengan membawa barangnya jaminan kedalam kekuasaan
siberpiutang atau seorang pihak ketiga tentang siapa yang telah disetujui oleh kedua
belah pihak.
Pasal 1152 (2) BW: tidak sah adalah hak gadai atas segala benda yang
dibiarkan tetap dalam kekuasaan siberhutang ataupun yang kembali atas kemauan si
berpiutang.
Pasal 1153: hak gadai atas benda-benda bergerak yang tak bertubuh, kecuali
surat-surat tunjuk atau surat-surat bawa diletakkan dengan pemberitahuan perihal
penggadaiannya kepada orang terhadap siapa yang digadaikan itu harus dilaksanakan.
Oleh orang ini, tentang hal pemberitahuan tersebut serta tentang izinnya sipemberi
gadai dapat dimintanya suatu bukti tertulis.
Sebagai perkembangan ilmu pengetahuan hukum, sebagaimana dikemukakan
oleh Subekti bahwa gadi tanah menurut hukum adat adalah dalam pikiran orang
Indonesia suatu teransaksi yang berdiri sendiri, berlainan dengan “hipotheek”
menurut Burgerlijk Wetbook (BW) adalah suatu perjanjian “accesoir” untuk
menjamin terlaksanannya atau dipenuhinnya suatu perjanjian lain yang dinamakan
perjanjian pokok. Gadai adalah transaksi tanah dan bukannya suatu perjanjian

Universitas Sumatera Utara

47

pinjaman uang dengan jaminan.59 Sungguhpun dalam kenyataannya sekarang ini
dilakukan oleh masyarakat, gadai tanah mengarah pada lembaga jaminan atau
diperlakukan sebagai lembaga jaminan. Namun harus diingat bahwa gadai tanah ini
bukan Hipotheek dan bukan juga Credietverbandyang pernah dikenal dalam hukum
jaminan pada jaman Belanda (Stb. 1847 NO 23) dan Stb. 1908-542 yo 1937-190),
serta tidak juga tergolong apa yang disebutkan sebagai Hak Tanggungan (UU No.4
Tahun 1996). Sungguhpun ada penafsiran yang berupaya memasukkannya ke dalam
undang-undang ini, namun gadai tanah itu tidak sama dengan Hak Tanggungan.
Seperti disebut juga, telah ada kemungkinan bahwa dalam perkembangannya
gadai tanah sudah merupakan hal yang sama dengan Hak Tanggungan, namun tetap
tidak sama filosofi dan karakteristiknya. Tapi juga mungkin akan merupakan sub
sistem jaminan, bahkan dapat dimasukkan dalam sistem Fidusia nantinya, yang telah
menampung bangunan-bangunan (benda tetap), disebut objek Fidusia. Sehingga
dapat menampung perkembangan gadai tanah dalam hukum adat.60

C. Efektifitas Hukum Pelaksanaan Gadai Tanah Di Tanah Karo
Dalam hukum adat setiap perbuatan yang berhubungan dengan transaksi tanah
mengikuti asas terang dan tunai yakni sepengetahuan atau dihadapan Kepala
Desa/Ketua Adat. Demikian juga dalam pelaksanaan dalam gadai tanah Kepala

59
R. Subekti,jaminan-jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia,(Bandung:Citra Aditya Bakti, 1989), hal 57.
60
M. Yamin, Gadai tanah dalam perkembangan Hukum adat Studi Mengenai Gadai Tanah Di
Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, (Medan: Disertasi, Universitas Sumatera Utara Fakultas
Hukum)

Universitas Sumatera Utara

48

Desa/Ketua Adat awalnya berfungsi untuk menguatkan tindakan penggadaian tanah
tersebut agar apa yang diperbuat sekedar telah dilakukan secara terang sehingga bila
ada permasalahan antara mereka, Kepala Desa ikut bertanggung jawab. 61
Perkembangan dalam gadai tanah, Kepala Desa/Ketua Adat sering tidak
diikutkan dalam perikatan pelaksanaan perjanjian mereka, karena tindakan
menggadai tanah dianggap merendahkan marwah yang menggadai sehingga
perbuatan gadai selalu dilakukan secara diam-diam.62 Oleh karena itu kepala
desa/ketua adat sering tidak dilibatkan dalam pelaksanaan gadai tanah, maka kepala
desa itupun sering tidak mau menyelesaikan sengketa yang muncul dalam
pelaksanaan gadai tanah di desanya. Akan tetapi bila permasalahan gadai tanah telah
menjadi permasalahan desa, yakni telah melibatkan keluarga besarnya maka kepala
desa tidak bisa tidak harus ikut mendamaikan atau menyelesaikan permasalahan
gadai tersebut.63
Perjanjian gadai tanah di Desa Payung, Kabupaten Tanah Karo yang dibuat
oleh para pihak yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan kepala desa ikut
menandatangani perjanjian tersebut. Keikutsertaan Kepala Desa menandatangani
perjanjian merupakan syarat untuk sahnya secara hukum perjanjian tersebut, karena
kepala desa merupakan pejabat pemerintah di desa tersebut. Dalam perjanjian para
pihak membuat jangka waktu yang lamanya 2-5 tahun pemberi gadai akan menebus
tanah tersebut. Apabila dalam jangka waktu tersebut pemberi gadai tidak menebus
61

Muhammad yamin. Op.Cit,hal 162
Ibid hal, 162
63
Ibid hal.162
62

Universitas Sumatera Utara

49

tanahnya maka penerima gadai tetap berhak menguasai tanah gadai tersebut, sampai
saat ini banyak penguasaan tanah gadai yang jangka waktunya telah lebih dari tujuh
tahun karena pemberi gadai tidak mampu menebusnya kembali atau karena atas dasar
perhitungan pemberi gadai bahwa hutang dalam perjanjian dengan dibandingkan
dengan harga tanah maka selisihnya tidak jauh lagi oleh karena itu pula pemberi
gadai tidak menebusnya kembali. Apabila ada transaksi gadai tanah biasanya
penendatangannya dilakukan di depan Kepala Desa, kalau tidak ada tanda tangan
kepala desa maka penerima gadai tidak mau melakukan transaksi, tanda tangan
kepala desa wajib ada dan dianggap sebagai sah secara hukum. Selain kehadiran
kepala desa dalam penandatanganan perjanjian gadai tanah, biasanya dihadiri oleh
anakberu (keluarga laki-laki) ataupun kalimbubu (keluarga perempuan) pemberi
gadai, dilihat dari sejarah status tanah tersebut apabila dahulunya tanah tersebut milik
anakberu ataupun kalimbubu yang diberikan kepada pemberi gadai maka kehadiran
atau tanda tangan kalimbubu ataupun anakberu

wajib ada, kalau tidak maka

penerima tidak mau melakukan transaksi karena takut suatu saat mungkin akan
menjadi suatu masalah. Cara pengembalian tanah gadai kepada pemberi gadai apabila
pemberi gadai atau ahli warisnya menebus tanah gadai sesuai perjanjian yang telah
disepakati atau hutangnya dikurangi oleh penerima gadai, biasanya penerima gadai
mau mengurangi utangnya pemberi gadai karena penerima gadai sangat
membutuhkan uang, apabila penerima gadai tidak mau maka tanah tetap dikuasai
oleh penerima gadai walapun telah lewat dari tujuh tahun lamanya.64
64

Wawancara dengan Kepala Desa Payung, Bapak Jawati Pandia, pada tanggal 15 Oktober

Universitas Sumatera Utara

50

Urip Santoso dalam buku hukum agraria dan hak-hak atas tanah menjelaskan
bahwa:
a. Hak gadai (Gadai Tanah) yang lamanya tidak ditentukan, maka pemilik tanah
pertanian tidak boleh melakukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya
sekarang di gadai, 1 atau 2 bulan kemudian ditebus. Penebusan baru dapat
dilakukan apabila pemegang gadai minimal telah melakukan satu kali masa
panen. Hal disebabkan karena hak gadai merupakan perjanjian penggarapan
tanah, bukan perjanjian pinjam-meminjam uang.
b. Gadai tanah yang lamanya ditentukan, dalam hal hak gadai tanah ini, pemilik
tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan
dalam hak gadai berakhir. Kalau jangka waktu tersebut sudah berakhir dan
pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tidak dapat dikatakan
bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bisa menjual
lelang tanah yang digadaikan tersebut. Apabila dalam waktu yang telah
ditentukan pemilik tanah tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai
tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanahnya, dan kalau
pemegang gadai tetap memaksa menjual lelang tanah yang di gadaikan
tersebut, maka pemilik tanah dapat menggugat pemegang gadai kecuali
pemilik tanah dapat mengujinkan menjual tanah yang di gadaikan.
Mengenai gadai tanah di Desa Rimokayu Kecamatan Payung Kabupaten
Tanah Karo, biasanya dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh pemberi gadai
dengan penerima gadai dan diketahui oleh Kepala Desa sebagai saksi, biasanya dalam
perjanjian ditulis jangka waktu pelunasan utang pemberi gadai tetapi setelah jangka
waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak melunasi hutangnya maka penerima
gadai tetap menguasai tanah apabila pemberi gadai belum melunasi hutangnya maka
selama itu penerima gadai tetap menguasai tanahnya walaupun jangka waktu telah
lewat dari yang diperjanjikan, .65

2014.
65

Wawancara dengan Kepala Desa Rimokayu, Bapak Ngikut Pelawi pada tanggal 17 Oktober

2014

Universitas Sumatera Utara

51

Mengenai gadai tanah di Desa Tanjung Merawa Kecamatan Tiganderket
Kabupaten Tanah Karo, biasanya gadai tanah dibuat secara tertulis oleh pemberi
gadai dengan penerima gadai dan untuk penebusan hutangnya dengan perhitungan
mengikuti harga emas, mengenai jangka waktu penebusan oleh pemberi gadai tidak
disebutkan dalam perjanjian, yang ada dalam perjanjian adalah apabila pemberi
gadai ingin

menebus tanah maka harga sesuai dengan yang diperjanjikan oleh

pemberi gadai dengan pemberi gadai. Sampai saat ini masih banyak gadai belum
ditebus oleh pemberi gadai karena apabila ditebus sesuai dengan perjanjian maka
pemberi gadai harus menebusnya sesuai dengan harga emas sekarang, oleh karena itu
pemberi gadai tidak mampu untuk menebusnya kembali. Sampai saat ini gadai tanah
telah banyak yang dialihkan kepada pihak lain dengan persetujuan pemberi gadai dan
biasanya dalam pengalihan kepada pihak lain kepala desa tidak ikut dalam
penandatangan dan pemberi gadai biasanya menerima uang tambahan dari pihak
ketiga.66
Keterangan dari Bapak Berani singarimbun bahwa tanahnya seluas kurang
lebih 3000 M2, telah digadaikan kepada Doman Purba pada tahun 1995, dengan
perjanjian bahwa tanah tersebut tetap dikuasai oleh Bapak Berani Singarimbun dan
setiap kali panen Bapak Berani membayar kepada Bapak Doman sebagai uang sewa
selama utang belum di bayar lunas, jadi mulai dari tahun 1995 bapak Berani Tetap
mebayar uang sewa kepada Doman Purba, mulai dari tahun 2010 Bapak Berani

66

Wawancara dengan Kepala Desa Tanjung Merawa, Bapak Menanti Sitepu pada tanggal 15
Oktober 2014

Universitas Sumatera Utara

52

Singarimbun tidak mau lagi membayar uang sewa karena selama ini Bapak Berani
merasa tidak punya uang lagi dan pernah mendengar mengenai peraturan gadai tanah,
karena tidak mau membayar uang sewa lagi maka beberapa tahun lalu Bapak Doman
Purba mendatangi kerumah Bapak Berani Singarimbun dengan meminta supaya
Bapak Berani untuk meninggalkan tanah tersebut dan mau dialihkan kepada pihak
lain, karena Bapak berani mengetahui ada aturan tersebut maka dia menolak kemauan
dari Bapak Doman purba, sekaligus mengatakan kepada Bapak Doman Purba kalau
tidak senang laporkan saja kepada polisi, sampai saat ini bapak Doman purba pun
tidak pernah datang lagi untuk meminta uang sewa tanah tersebut.67
Keterangan dari Nyonya Dinan Sitepu bahwa suaminya alm Tuah
Singarimbun pada tahun 1978, menggadaikan tanah kepada senter sembiring dengan
nilai 60 mayam emas london, dengan perjanjian bahwa emas tersebut dipinjam
selama 2 tahun lamanya, apabila emas itu tidak kembalikan maka tanah tersebut tetap
dikuasai oleh penerima gadai, pada waktu penggadaian tersebut sebenarnya yang
menjadi transaksi bukan emas melainkan uang, tetapi diperhitungkan dengan harga
emas, pada tahun 2010 Nyonya Dinan Sitepu menebus tanah tersebut tetapi tidak
senilai emas 60 mayam, melainkan dengan perjanjian yang telah disepakati antara
penggadai dengan penerima gadai dengan nilai Rp35.000.000,-. Pada awalnya
tawaran dari Nyonya Dinan Sitepu dengan harga tersebut ditolak oleh penerima gadai
karena merasa tidak sesuai dengan perjanjian, tetapi karena Nyonya Dinan Sitepu
pernah mendengar bahwa aturan gadai tanah ada diatur dalam Undang-Undang maka
aturan tersebut disampaikan kepada penerima gadai sekaligus mengatakan bahwa
67

Wawancara dengan, Bapak Berani Singarimbun pada tanggal 11 Oktober 2014

Universitas Sumatera Utara

53

apabila penerima gadai tidak mau menerima tawaran tersebut maka Nyonya Dinan
Sitepu akan melakukan gugatan ke pengadilan, nyonya Dinan mengatakan kepada
penerima gadai, apabila melakukan gugatan ke pengadilan maka penerima gadai tidak
mendapat apapun lagi seperti tawaran yang di tawarkan oleh Nyonya Dinan Sitepu.
Setelah
disampaikan aturan tersebut maka beberapa lama kemudian penerima gadai
mendatangi Nyonya Dinan Sitepu dan menerima tawaran tersebut.68

68

Wawancara dengan, Nyonya Dinan Sitepu pada tanggal 12 Oktober 2014

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 17

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 3

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 26

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo) Chapter III V

1 1 53

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 3