Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo) Chapter III V

54

BAB III
PERKEMBANGAN GADAI TANAH
SETELAH PRP NOMOR 56/PRP/1960
A. Objek Dan Subjek Gadai Tanah
Objek Gadai
Yang dimaksud dengan objek hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi
subjek hukum dan yang dapat menjadi objek sesuatu perhubungan hukum. Biasanya
objek hukum itu disebut benda.
Menurut hukum perdata pasal 499 benda ialah segala barang-barang dan hakhak yang dapat dimiliki orang, dalam pasal 504 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, benda dapat di bagi atas:
a. Benda yang tak bergerak (benda tetap), yaitu benda yang tidak dapat
dipindahkan, seperti tanah, dan segala apa yang ditanam atau yang bangunkan
diatasnya.
b. Benda yang bergerak yaitu benda-benda yang dapat dipindahkan.
Menurut terminilogi benda di atas ini benda berarti objek sebagai lawan dari
subjek dalam hukum yaitu orang dan badan hukum. Oleh karena yang dimaksud
dengan benda menurut Undang-Undang hanyalah segala sesuatu yang dapat di haki
atau yang dapat dimiliki orang, maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang
bukanlah termasuk pengertian benda menurut BW (buku II.)

Dalam hukum seseorang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda
kepadanya diijinkan untuk menikmati hasil dari benda miliknya itu. Benda tersebut
54

Universitas Sumatera Utara

55

dapat dijual, digadaikan atau diperbuat apa saja asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud tanah adalah benda tetap sebagaimana dijumpai pengertian
dasarnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dalam pengertian
bumi atau sering disebut juga dengan istilah land69
Pengertian tanah yang berkembang di tengah masyarakat tidak persis sama
sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang. Tanah menurut Undang-Undang
Pokok Agrari (UUPA) adalah permukaan bumi. Bumi itu sendiri terdiri dari 3 (tiga)
unsur (komponen) yaitu permukaan bumi, tubuh bumi dan yang berada di bawah air.
Dari ketiga unsur bumi bumi yang dimaksudkan dengan “tanah” hanyalah permukaan
bumi saja.
Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA sebagai berikut:

“Atas dasar hak mengusai dari negara, ditentukan adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang lain serta badan-badan hukum.”
Selanjutnya pada penjelasan umum II (1):
Ditegaskan bahwa, dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang,
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atas bagian dari bumi
Indonesia, dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah yang
dapat dihaki oleh seseorang.

69

lutfi. Nasution, Beberapa Masalah Pertanahan Nasional Dan Alternatif Kebijaksanaan
Untuk Menanggulanginya, (Jakarta: Analisis Csis, Tahun xx. No.2 Maret-April 1991), csis hal.18

Universitas Sumatera Utara

56

Dari batasan ini dapat dipahami bahwa jika seseorang mempunyai hak atas
tanah berarti yang bersangkutan hanyalah berhak atas permukaan bumi saja.

Kalaupun atas tanah tersebut yang bersangkutan mempunyai hak milik bukan berarti
benda-benda yang terdapat/tertanam di bawahnya seperti barang-barang tambang
otomatis menjadi miliknya. Karena sampai dengan saat ini belum ada penegasan
seberapa dalam dari permukaan bumi itu ke bawah yang di sebut tanah.70 Hanya
disebutkan bahwa dalam mempergunakan tanah bukan hanya semata-mata dapat
mempergunakan permukaan bumi (tanah)nya itu saja, sebagimana dinyatakan pada
pasal 4 ayat 2 UUPA.
“hak-hak atas tanah memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang berlangsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang ini dan
peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi”.
Dalam Prp 56/1960 menjelaskan bahwa tanah pertanian adalah semua tanah
perkebunan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan
hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak.
Mengenai gadai tanah tidak mengatur tambak sebagai objek gadai tanah,
tetapi dalam perkembangannya dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
1964, disebutkan bahwa pasal 7 Undang-Undang Nomor 56/1960 itu berlaku juga
terhadap gadai menggadai tambak. Dengan demikian secara formal dapatlah
70


Tampil Anshari, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik Medan, 2005, hal 6.

Universitas Sumatera Utara

57

dikatakan bahwa pasal 7 tersebut hanyalah ketentuan penyelesaian pelaksanaan yang
mengatur gadai tanah di Indonesia.
Gadai tanah yang diatur dalam ketentuan hukum adat, adalah tindakan
terhadap tanah (berdiri sendiri). Bukanlah tindakan yang berhubungan dengan tanah
(sebagai perjanjian tambahan) dan tindakan ini adalah tindakan yang bersegi dua.
Sebagai tindakan terhadap tanah maka gadai objeknya adalah tanah, yang apabila
terjadi transaksinya, terdapat di satu sisi memberikan uang yang disebut penerima
gadai dan di satu sisi penerima uang atau pemilik tanah (pemberi gadai). Kepemilkan
dalam transaksi ini tidak berpindah, hanya penguasaan benda yang beralih serta
pengambilan kenikmatan dari benda tersebut.
Subjek Gadai
Seperti halnya perbuatan-perbuatan hukum yang lain, pemberi dan penerima
hak gadai hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang pada umumnya cakap untuk

melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi bagi pemberi gadai ada syarat lagi yaitu ia
harus berhak mengasingkan (menjual, menukar, menghibahkan dan lain-lain) benda
yang digadaikan. Sebab perbuatan menggadaikan suatu benda termasuk perbuatan
mengasingkan benda itu, meskipun secara tidak langsung yaitu membuka
kemungkinan dijualnya benda tersebut untuk menbayar hutang.
Perkataan seseorang dalam hukum (persoon), berarti pembawa hak, yaitu
sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subjek hukum. Subjek
hukum terdiri dari:
a. Manusia (natuurlijke persoon).

Universitas Sumatera Utara

58

b. Badan hukum (rechtspersoon).
Tiap manusia baik warganegara ataupun orang asing dengan tak memandang
agama atau kebudayaanya adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum, sebagai
pembawa hak, manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu
tindakan hukum, ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah, membuat
wasiat dan sebagaiannya. Manusia sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia

dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, malah seorang anak yang masih
dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa hak (dianggap telah lahir)
jika kepentingannya memerlukannya (untuk menjadi ahli waris). Setiap orang tiada
terkecuali dapat memiliki hak-hak akan tetapi di dalam hukum tidaklah semua orang
diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu.
Disamping manusia pribadi sebagai pembawa hak, terdapat pula badan-badan
(kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status “Persoon” yang mempunyai hak
dan kewajiban seperti manusia, yang disebut badan hukum. Badan hukum sebagai
pembawa hak yang tak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia,
misalnya dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan sama sekali
terlepas dari kekayaan-kekayaan anggotanya.
Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum telah dinyatakan “tidak
cakap” atau “kurang cakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatanperbuatan hukum (mereka disebut handelings onbekwaam), tetapi mereka itu harus
diwakili atau di bantu oleh orang lain.

Universitas Sumatera Utara

59

Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan

sendiri perbuatan hukum ialah:
a. Orang yang masih di bawah umur (belum mencapai usia 21 tahun =belum
dewasa).
b. Orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan pemboros, yakni,
mereka yang di taruh di bawah curatele (pengampuan).
c. Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).
Hak gadai (gadai tanah) terdapat dua pihak, yaitu pihak pemilik tanah
pertanian sebagai pemberi gadai dan pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi
gadai tersebut sebagai penerima (pemegang) gadai. Umumya, pemberi gadai berasal
dari golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebaliknya penerima
(pemegang) gadai berasal dari golongan masyarakat yang mampu (kaya).
Dalam hukum adat maka yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
adalah orang-orang dewasa, baik dia sebagai laki-laki maupun seorang perempuan.71
Sebagai ukuran bahwa seorang telah dianggap dewasa, hukum adat tidak mengenal
suatu ukuran umum, melainkan menggunakan pengertian dapat hidup mandiri atau
akil baliq ini berumur sekitar 16 atau 18 tahun atau sudah kawin dan tinggal sendiri
tidak bersama-sama orang tuanya.72

71


T.I. EL Hakimy, Segi Hukum Adat Tentang Tanah Pedesaan Aceh, T.P. Darussalam Badan
Aceh 1981,Hal 32
72
Wirjono Projodikoro, Hukum Tentang Hukum Adat Atas Benda, Alumni Bandung
1983,Hal 115

Universitas Sumatera Utara

60

Menurut Soepomo seseorang telah dianggap dewasa menurut hukum adat,
apabila sesorang telah kuat Gawe (mampu untuk bekerja secara mandiri ) cakap
mengurus harta benda serta keperluannya sendiri, serta cakap untuk melakukan segala
tata cara pergaulan hidup kemasyarakatan termasuk mempertanggung jawabkan
sesuatu tindakan.73
Hak gadai (gadai tanah) terdapat dua pihak, yaitu pihak pemilik tanah
pertanian disebut pemberi gadai dan pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi
gadai disebut penerima (pemegang gadai). Pada umumnya pemberi gadai berasal dari
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebaliknya penerima (pemegang
gadai) berasal dari golongan masyarakat yang mampu (kaya).


B. Perkembangan Gadai Tanah Setelah Prp Nomor 56/PRP/1960
Gadai tanah digunakan oleh masyarakat yang dikenal dalam hukum adat
yakni;
1. Lalu lintas hukum adat dulunya tidak mengenal kredit seperti sekarang
sehingga jarang dipakai dalam “bussines” seperti ekspor impor.
2. Merupakan salah satu sarana tolong menolong bagi masyarakat.
Karena berfungsi atau dijadikan sebagai sarana tolong menolong dalam
masyarakat desa, maka gadai tanah ini merupakan suatu pranata yang sangat penting
keberadaanya dalam upaya memenuhi kebutuhan uang yang tidak dapat dielakkan.
Dengan waktu sedemikan cepat dan mendesak harus ada tersedia uang, tanpa harus

73

Terhaar, opcit Hal 166

Universitas Sumatera Utara

61


menjual benda-benda miliknya serta tidak perlu diketahui oleh orang banyak. Justru
satu keluarga telah menjual lepas tanahnya, maka akan dirasakan sebagai
merendahkan martabat keluarga tersebut. Sebab dalam kebiasaan masyarakat
kalaupun terjadi jual lepas tanah, harus terlebih dahulu menuruti ketentuan ”hak
terdahului” yakni orang yang mau menjual tanah tidak begitu saja dapat menjualnya
kepada siapa saja. Akan tetapi harus mendahulukan penjualan itu kepada kerabat
dekatnya atau keluarga satu marganya. Bila tidak ada kawan satu kerabat yang
hendak membeli tanah itu, dia harus menjualnya kepada orang sekampungnya dan
apabila juga tidak ada yang membeli dari kawan sekampung, pemilik tanah masih
harus mencari orang yang berdekatan dengan tanah tersebut atau dimana tanah itu
berada, tetangganya didahulukan. Bila juga tetangga yang berdekatan dengan tanah
itu tidak ada yang mau membeli, barulah dia dapat menjual lepaskanya kepada siapa
saja yang mau membelinya. Hal ini supaya tidak diketahui bahwa telah terjadi jual
lepas tanah.
Sebenarnya kalaulah dilihat awalnya kembali bahwa asas yang terdapat dalam
gadai tanah dalam masyarakat adat yaitu tolong-menolong, maka apa yang disebut
oleh Ter Haar sebagai tindakan jual gadai hanya tepat dalam masyarakat yang tidak
didasarkan pada sikap yang hukan untuk tolong-menolong. Yaitu benar dalam
masyarakat individu yang akan melindungi dirinya atau haknya, dalam bertransaksi.
Atau dalam memberikan jaminan, untuk dapat kembali dari apa yang telah ia berikan

pada orang lain, sehingga dalam pemberian berlaku sebagai semacam jaminan (boroh
istilah Mahadi), agar uang yang diberikan kepada orang lain itu kembali dengan

Universitas Sumatera Utara

62

jumlah yang minimal sama besarnya menurut ukurannya atau yang mereka yang
sepakati. Boleh jadi suatu hal yang benar dalam persfektif hukum adat, bahwa adanya
tindakan gadai ini sebenarnya karena dilatar belakangi suatu niat, agar saudaranya
dapat tertolong sehingga tidak harus menjual lepas benda yang dia miliki (tanahnya).
Maka jelas kalau dalam hukum adat bukan semata-mata untuk jaminan dari uang
yang dipinjamkan, tetapi kewajiban menolong itulah yang paling penting.74
Kemudian bila ditelusuri dalam pandangan-pandangan ahli hukum ada yang
ditulis di litelatur hukum adat, sekalipun terdapat istilah yang berbeda dalam setiap
daerah, namun dengan terdapatnya pengertian yang satu sama yang lain hampir
bersamaan, di tiap-tiap daerah masyarakat hukum itu, maka secara umum gadai tanah
itu hampir dilakukan dalam menolong sesama tadi. Sebagaimana pengertian yang
pertama dijelaskan oleh Van Vollenhoven seperti rumusan yang disebutkan diatas
tersebut. Tentunya ciri dasar pandangan demikian adalah pandangan yang di
dominasi pada alam pikiran dan budaya barat yang individualistis, sebab berfungsi
sebagai jaminan untuk memperoleh kembali uang yang telah dipinjamkan. Oleh
karenanya bila pandangan seperti ini yang di ikuti maka benar, sebagaimana
disebutkan oleh A.P.Parlidungan, bahwa “sungguhpun ada disebut-sebut tentang
gadai dalam PP 10 tahun 1961” namun hak pranata ini akan hilang secara perlahanlahan.75, sebab yang menjadi dasarnya bukan lagi tolong menolong antar sesama
keluarga dalam masyarakat desa. Apalagi kehendak menolong sesama itu dalam
74

M Yamin, Opcit, hal. 8
A.P.Parlindungan. Hak Tanggungan dan Sejarah Terbentuknya Dan Dapat Juga Dilihat
Dalam Landreform Di Indonesia Strategi dan Sasaranya.(Bandung: Alumni,1983), Hal.62
75

Universitas Sumatera Utara

63

masyarakat sudah sedemikian berkembangnya, yakni yang ditolong itu sudah rela
memberikan syarat-syarat sebagaimana ditetapkan oleh yang menolong demi
terpenuhinya kebutuhan sesaat yang diminta oleh yang membutuhkan. Sehingga
kenyataanya pranata ini bukan malah hilang, tapi tumbuh dan berakar bersma
kebutuhan hidup masyarakat desa sampai sekarang. Bahkan malah ada yang berlaku
dan berpraktek sebagai jaminan pinjam meminjam uang. Sehingga dalam
penggadaian tanah ini yang pada awalnya sebagai tindakan yang selalu dilakukan
dengan dua perbuatan hukum dilakukan sejalan, di satu sisi pinjam meminjam uang,
dan di sisi lain penggadaian tanah, dalam satu tindakan hukum, juga disebut
masyarakat sebagai tindakan penggadaian tanah.76
Sejalan dengan berkembangnya filosofi yang terdapat dalam prinsip tolongmenolong dalam kehidupan masyarakat pedesaan khususnya, yang saat ini sudah
mulai tunduk pada hukum penewaran dan penerimaan, objek yang dijadikan tindakan
tolong menolong tersebut hanya dilakukan kalau mengandung unsur keuntungan pada
kedua belah pihak yang melakukan tindakan, sehingga dalam perlakuannya di
masyarakat pun gadai tanah yang semula adalah tindakan yang berdiri sendiri
(tidakan terhadap tanah) mulai bercampur menjadi tindakan jaminan (boroh) yaitu
tindakan yang berhubungan dengan tanah, memang dalam perkembangan
kemasyarakatan, bukan hanya dalam tindakan gadai tanah saja yang mulai mengalami
perubahan perkembangan asas atau eksistensinya.77

76
77

Muhammad Yamin, Opcit hal.10
Ibid, hal.86

Universitas Sumatera Utara

64

Bahkan mengenai tindakan bagi hasilpun, sebagaimana dilakukan penelitian
di masyarakat merupakan bukti telah beralihnya sikap tolong menolong ini menjadi
sikap yang tunduk pada hukum permintaan dan penawaran. Dengan menyebutkan.
“Banyak petani kecil menggarap tanah yang dimiliki pihak lain didasarkan
pada perjanjian bagi hasil. Pemilik tanah tidak menerima uang, seperti dalam
perjanjian sewa, tapi hanya satu bagian satu bagian hasil panen. Perjanjian ini
yangsebelumnya didasarkan pada semangat saling bantu, di beberapa wilayah yang
berbeda-beda telah berkembang menuju suatu hubungan yang bertentangan dengan
prinsip keadilan. Oleh karena itu banyak perjanjian bagi hasil tidak lagi di dasarkan
semangat tolong menolong, melainkan pada hukum penawaran dan permintaan”78
Kondisi inilah yang disebut sebagai suatu keadaan yang menunjukkan sikap
yang berubah pada awalnya tolong menolong tersebut. Bagaimana perubahan itu
terjadi dalam kehidupan masyarakat akan disebut sebagai perkembangan pranata
kehidupan hukum yang berkembang, sejalan dengan perkembangan budaya hidup
masyarakatnya, namun jangan dilupakan bahwa dengan dasar tolong menolong
tersebutlah sehingga gadai tanah yang dilakukan masyarakat desa menjadi hal yang
tidak dapat ditinggalkan oleh mereka.79
Semula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.56 Tahun 1960
disahkan menjadi Undang-Undang No.1 Tahun 1961 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian.
78

Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup
(Jakarta: Chandra Pratama,1995. Hal.45
79
Muhammad Yamin, Opcit hal.87

Universitas Sumatera Utara

65

Kenyataan berkembangnya gadai tanah tidak secara struktural, tetapi lebih
didominasi secara substantif, dimana norma dan batasannya lebih berkembang diluar
kehendak Undang-Undang. Dengan kata lain dengan praktek yang berlaku di tengahtengah masyarakat, gadai tanah mengalami perkembangan sebagai norma atau
pranata yang dilakukan dalam praktek sehari-hari masyarakat, oleh karena itu
perkembangan hukum gadai tanah sangat tepat ditelaah dalam perkembangan hukum
otonom gadai tanah yang terefleksi, bahkan dengan memanfaatkan pranata gadai
tanah inilah masyarakat banyak yang mampu menyekolahkan anaknya hingga ke
perguruan tinggi. Sehinga kemudian dalam pemanfaatannya ada yang menimbulkan
sengketa keluarga akibat hutang belum dibayar sementara tanah yang digadaikan
telah diserahkan kepada pemberi hutang. Kalaulah fenomena ini dibiarkan, tentu akan
menciptakan situasi masyarakat masyarakat yang kurang memanfaatkan hukum,
sebaliknya bila ditata tentu akan menertibkan kehidupan hukum masyarakat dalam
lintas jaminan khususnya yang berkaitan dengan gadai tanah itu.80
Kemudian kalau dicermati lebih dalam, adalah bahwa gadai ini bukanlah
sekedar menanggung suatu hutang (sebagai hak tanggungan) tetapi adalah hak atas
tanah yang berdiri sendiri, yakni pemegang hak itu dapat menguasai, mempergunakan
tanah serta mengambil manfaat dari pada tanah itu, dalam masa tenggang waktu
berlangsungnya gadai tanah tersebut. Selanjutnya setelah tahun 1996 oleh pemerintah
telah dikeluarkan peraturan yang berhubungan dengan jaminan, yakni UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda80

Ibid, hal. 139

Universitas Sumatera Utara

66

benda yang berkaitan dengan tanah. Dimana yang menjadi objeknya adalah hak atas
tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam hukum tanah, dalam kenyataanya
sungguhpun objeknya adalah tanah, tetapi yang diaturnya itu adalah jaminan dalam
hutang-piutang. Dengan demikian prinsip dasarnya adalah pinjam meminjam uang,
bukan tanah itu sebagai dasar, karena tindakan tanah disini adalah tindakan ikutan
semata-mata. Masyarakat desa khususnya tidak menggunakan undang-undang
tersebut sebagai pedoman pengganti pranata gadai tanah yang dikenal masyarakat
sebelum undang-undang ini. Bahkan oleh karena itu dapat disebutkan undang-undang
hak tanggungan ini menurut pandangan mereka selama penelitian dilakukan, tidaklah
populer di masyarakat pedesaan.81
Namun dalam penggunaan gadai tanah, secara nyata faktor yang
mempengaruhi terjadinya perubahan didalamnya adalah karena: 82
a.

Adanya perkembangan hukum masyarakat, yang disertai dengan
munculnya tekanan faktor hukum formal yang dibuat oleh pemerintah;

b.

Adanya

aturan

formal

yang

diskriminatif

dapat

mempercepat

pembentukan hukum yang samar dari gadai tanah untuk dilaksanakan
oleh masyarakatnya;
c.

Akibat kurangnya perhatian pemerintah dalam mengatur gadai tanah ini,
telah menimbulkan makna yang samar akan isi dan perlakuan gadai tanah

81
82

Ibid,hal.12
Muhammad Yamin, Op.cit hal.158-159

Universitas Sumatera Utara

67

itu, sehingga masyarakat selalu menggabungkan makna jaminan dengan
makna gadai yang berdiri sendiri sebagai tindakan terhadap tanah;
d.

Kepatuhan akan hukum oleh masyarakat dalam melaksanakan gadai
tanah, hanya ada bila aturan itu telah menampung norma gadai yang
sudah mengakar dalam kehidupan hukum masyarakat ini.

Bila yurisprudensi dijadikan sebagai sumber hukum, maka yurisprudensi
(Keputusan Mahkamah Agung) yang menyangkut gadai tanah dapat dikemukakan
sebagai berikut.
1. Keputusan mahkamah agung, antara masoed dan chamdanah melawan
astroredjo, keputusan tanggal 15 Januari 1958 No.11 K/Sip/1957, yakni
keputusan yang menetapkan nilai harga pada waktu penebusan ditetapkan
dengan harga emas sebagai ukuran, dan pembagian resiko atas perubahan
harga uang adalah separuh-separuh antara kedua belah pihak;
2. Keputusan Mahkamah Agung, antara Anke Cs melawan Napu Daega Cs,
yang tertanggal 11 Mei 1955, Nomor 26/K/Sip/1955, yang memutuskan
adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam menggadaikan
tanah kedua belah pihak masing-masing memikul resiko separuh dari resiko
kemunkinan perubahan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu
menebus tanah itu.
3. Keputusan Mahkamah Agung, antara Nji Wita melawan Darhim, tertanggal
10 Januari 1957 Nomor.187/k/Sip/1956, yang memutuskan, menurut hukum
adat hak menebus dalam gadai tanah tidak lenyap dengan pengaruh lampau

Universitas Sumatera Utara

68

waktu dan memikul resiko perubahan harga emas pada kedua belah pihak
masing-masing separuh.
4. Keputusan Mahkamah Agung antara Djuma Tarigan melawan Sanggup
Johannis Munthe, tertanggal 6 Maret 1971 Nomor.810/K/Sip/1970, yang
menentukan, bahwa gadai tanah pertanian yang telah berlangsung 7 tahun atau
lebih harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa pembayaran uang tebusan,
adalah bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan hanya karena telah
diperjanjikan antara keduabelah pihak yang bersangkutan.
C. Akibat Hukum Gadai Tanah Yang Melebihi 7 Tahun Tanpa Kembali Pada
Pemberi Gadai (Analisis Putusan)
Hak-hak atas tanah berdasarkan sistem UUPA terikat kepada beberapa asas
atau prinsip terutama asas hak menguasai negara, asas kebangsaan (prinsip
nasionalitas), prinsip unifikasi, prinsip kesamaan kedudukan antara laki-laki dan
wanita untuk memperoleh hak atas tanah, prinsip terjadi dan hapusnya hak, prinsip
fungsi sosial tanah, kewajiban-kewajiban subjek dalam penggunaan tanah dan lainlainnya. Semua asas/prinsip dimaksud melekat pada masing-masing hak atas tanah
tersebut.
Jika sebidang tanah telah dikuasai dan diusahai/dipergunakan seseorang
biarpun telah bertahun-tahun dan bukan tanah hak adat, secara yuridis formil (hukum)
tanah tersebut masih dikelompokkan sebagai tanah Negara. Dalam pengertian,
sekalipun jangka waktu penguasaan tanah tersebut sudah 20 tahun lamanya secara

Universitas Sumatera Utara

69

terus menerus bisa dijadikan salah satu dasar pemberian haknya, namun harus
diajukan permohonan hak agar menjadi tanah hak.
Undang-Undang No. 56/Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian diatur juga tentang gadai tanah pertanian. Sebagaimana tercantum dalam
pasal 7 ayat I barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada
waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib
mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
Ayat (2) menyebutkan, mengenai gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini
belum berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya
kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar
uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:
(7+1/2)- waktu berlangsung hak gadai X uang gadai,
7
Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai ini telah berlangsung 7
tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran
uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 626/K/Pdt/2010, bahwa menolak
permohonan pemegang gadai

untuk membatalkan Putusan Pengadilan Negeri

Kabanjahe Nomor 32/Pdt.G/2007/PN.Kbj Jo. Nomor 111/Pdt/2009/PT.Mdn. dengan
alasan pemegang gadai telah menguasai tanah selama lebih dari 30 tahun, maka
menurut peraturan Hukum Agraria (Badan Pertanahan Nasional) tanah tersebut telah
menjadi milik pemegang gadai sesuai dengan aturan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

70

Putusan Mahkamah agung tersebut dengan menolak permohonan pemegang
gadai untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri KabanJahe jo Putusan
Pengadilan Tinggi Medan sudah tepat, karena alasan pemegang gadai yang
menyatakan bahwa tanah yang dikuasai telah lewat dari 30 tahun lamanya,
merupakan milik pemegang gadai. Sebetulnya tanah yang dimaksudkan oleh
pemegang gadai tersebut adalah tanah terlantar sesuai dengan hukum agraria, yang
menyatakan bahwa apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan alat bukti
kepemilikan tanahnya baik berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat
dipercaya, maka pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan kepemilikan akan
tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik tanah, dengan syarat:
a. Telah dikuasai selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon
pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya;
b. Penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka;
c. Diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
d. Penguasaan tidak dipermasalahkan atau tidak dalam keadaan sengketa.
Sementara perkara gadai tanah adalah sifatnya sementara dan bukan
merupakan tanah terlantar walaupun tanah tersebut telah dikuasai oleh pemegang
gadai lebih dari 30 tahun melainkan pemilik dari tanah tersebut jelas dan batasbatasnya juga jelas.
Sesuai dengan peraturan seharusnya penerima gadai tidak perlu melakukan
banding karena jelas dalam Perppu 56 tahun 1960 tentang gadai tanah, dalam pasal 7
(tujuh) yang menyatakan bahwa tanah gadai yang dikuasai lebih dari tujuh tahun

Universitas Sumatera Utara

71

harus di kembalikan kepada pemberi gadai tanpa meminta uang tebusan atau pun
pembayaran walaupun telah di perjanjikan sebelumnya antara pemberi gadai dengan
penerima gadai.

Universitas Sumatera Utara

72

BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBERI GADAI BILA GADAI TIDAK
DIJALANKAN SESUAI ATURAN HUKUM/PRP/56/1960

A. Kepastian Hukum Dalam Gadai Tanah
Kepastian hukum sudah dikenal sejak perkembangan teori dan filsafat hukum,
Jeremy Bentham memperkenalkan manfaat hukum sebagai salah satu dari tujuan
hukum, disamping keadilan dan kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan salah satu dari cita hukum, karena cita hukum
tersebut merupakan satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu persatu, maka ketiganya
harus ada dalam setiap aturan hukum, dengan demikian kepastian hukum yang
dimaksud dalam hal ini adalah kepastian hukum yang berkeadilan dan bermanfaat
bagi masyarakat.83
Usaha menuju kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan dari
pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 UndangUndang Pokok Agraria disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak
atas tanah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengharuskan pemerintah untuk
mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat
Recht kadaster artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan
diselenggarakannya pendaftaran tanah maka pihak yang bersangkutan dengan mudah
dapat mengetahui status hukum dari tanah yang dihadapinya, letak, luas, dan batas
83

Kurnia Warman, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Majemuk, 2010, Huma, Jakarta, hal 73.

72

Universitas Sumatera Utara

73

batas, siapa yang mempunyai dan beban-beban apa yang melekat diatas tanah
tersebut. Dalam pasal 23, 32, 38 UUPA yang ditujukan kepada pemegang hak untuk
mendaftarkan hak tersebut guna memperoleh kepastian hukum atas tanahnya.
Bila berkaca pada sejarah pemilikan tanah, maka Indonesia sebagai Negara
yang pernah di jajah oleh Negara lain, juga mengenal kaedah hukum yang pernah
diterapkan oleh Pemerintah Kolonial, termasuk hak-hak atas tanahnya, pada jaman
kolonial tersebut, selain hak-hak seperti hak ulayat yang besifat komunal maupun hak
milik adat yang bersifat perseorangan merupakan identitas masyarakat tradisional
yang tunduk pada hukum adat setempat, misalnya tanah milik, tanah usaha, tanah
gogolan, tanah bengkok, tanah agrarische-eigendom dan lain-lain.84 Juga dikenal
adanya tanah-tanah dengan hak-hak barat yang tunduk pada ketentuan hukum agraria
barat, seperti tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah opstal.85
Diterbitkanya UUPA telah menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum
Agraria Indonesia sekaligus telah menciptakan unifikasi hukum dan mengahiri
keadaan dualisme yang berlaku di lapangan agraria sebelumnya, termasuk
menciptakan kepastian hukum.
Pengaturan gadai tanah secara khusus diatur dalam Undang-Undang Prp 56
Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Dalam Pasal 7 ayat (1)
dinyatakan bahwa: barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang
pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih
84

Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi (Bandung: Alumni,
1999)hal 5.
85
ibid

Universitas Sumatera Utara

74

wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran.
Ayat (2) menyebutkan, mengenai gadai yang pada mulai berlakunya peraturan
ini belum berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya
kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar
uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:
(7+1/2)- waktu berlangsung hak gadai X uang gadai,
7
Ternyata satu pasal ini merupakan peraturan dan pernyataan yang berlaku
secara umum dalam seluruh tindakan penyelesaian gadai tanah, baik sebelum maupun
sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut, kehendak
seperti ini diperkuat dengan membaca kembali isi dari penjelasan pasal demi pasal
dari pasal 7 (tujuh) itu, yang menyebutkan, ketentuan-ketentuan pasal ini tidak hanya
mengenai tanah-tanah gadai yang harus dikembalikan.
Apabila gadai tanah waktunya telah melebihi 7 (tujuh) tahun dan objek tetap
dikuasai oleh penerima gadai maka kepastian hukum dalam gadai tersebut tidak ada
oleh karena itu berdasarkan pasal 7 Prp 56 Thn 1960, pemberi gadai dengan penerima
seharusnya melakukan musyawarah dengan dihadiri oleh Kepala Desa setempat
sebagai penengah untuk mencari kepastian hukum terhadap gadai tanah tersebut,
apabila setelah melakukan musyawarah dan tidak ada kesepakatan kedua belah pihak
maka pemberi gadai berhak untuk melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat
berdasarkan pasal 7 Prp 56/1960 atau melaporkan penerima gadai kepada pihak

Universitas Sumatera Utara

75

kepolisian berdasarkan pasal 10 Prp 56/1960 jo pasal 1365 KUH Perdata (perbuatan
melawan hukum).
Terciptanya unifikasi hukum dan kepastian hukum merupakan salah satu
tujuan

dari

UUPA.86

Dengan

terciptanya

unifikasi

hukum,

maka

selain

menyederhanakan sistim hukum itu sendri, juga dapat memyempurnakan persatuan
bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena diberlakukannya
satu sistem Hukum Agraria di seluruh Indonesia tanpa membeda-bedakan satu daerah
dengan daerah yang lain dan tercapainya fungsi keagrariaan sesuai dengan
kepentingan bangsa dan seluruh rakyat serta yang tidak kalah penting akan
menciptakan jaminan kepastian hukum, dengan tujuan akhir dari pengaturan dalam
bidang keagrariaan tersebut pada akhirnya ditujukan untuk mencapai sebesar besar
kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 ayat (3) UUPA 1945.
Sebagai konsekuensi dari berlakunya unifikasi hukum, maka terhadap sistem
hukum lama di bidang keagrariaan tersebut, UUPA menempuh dua sikap; sikap
pertama dengan tegas dinyatakan dicabut yaitu terhadap peraturan-peraturan dalam
hukum barat seperti Agrarische Wet, Domein-verklaring, Koninklijk besluit dan buku
II KUH perdata indonesia; dan sikap kedua berupa pengakuan terhadap ketentuan–
kentuan Hukum Adat atas tanah termasuk hak ulayat.

86

Penjelasan umum angka 1 lain disebutkan bahwa pada pokoknya tujuan UUPA ialah :a)
meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk
membawakan kemakmuman , kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani,
dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur ; b) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan
kesatuan dan kesedehaan dalam hukum agraria dan c) meletakan dasar-dasar untuk membrikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Universitas Sumatera Utara

76

Akan tetapi sekalipun peraturan akan ketentuan hukum lama tersebut ada yang
dicabut atau ada yang diakui, namun karena UUPA sifatnya berubah undang-undang
pokok yang dalam pelaksanaanya masih perlu dilengkapi dengan peraturan
perundangan yang sifatnya organik, maka sebelum terbentuknya peraturan
pelaksanaan tersebut, dalam masa peralihan, sesuai dengan ketentutan dalam pasal 58
UUPA masih memberi kemungkinan (toleransi) berlakunya peraturan –peraturan
yang ada pada mulai berlakunya undang- undang ini.
Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 september 1960 hanya ada satu
sistem hukum yang ditetapkan dalam bidang keagrariaan dan dalam peraturan hakhak atas tanah. Oleh karena itu hak-hak lama yang ada sebelum berlakunya UUPA
seperti hak-hak barat menurut BW maupun hak-hak adat yang bersifat kedaerahan
dan didasarkan pada Hukum Adat harus dikonversi menjadi hak-hak yang ada dalam
UUPA.
Pemberlakuan ketentuan konversi tersebut secara konseptual merupakan
bagian dari upaya unifikasi hukum dalam hukum agraria, namun pada tataran
operasional, konversi hak atas tanah yang dapat berupa pengakuan terhadap hak-hak
barat dalam batas-batas tertentu dan pengakuan serta penegasan terhadap hak-hak
adat, selain sebagai upaya unifikasi hukum, juga merupakan penyederhanaan hukum
dan upaya untuk menciptakan kepastian hukum.
Dalam hal ini penyederhanaan hukum tampak pada penyesuaian semua hakhak atas tanah yang ada di seluruh Indonesia dengan hak-hak atas tanah yang ada di
UUPA. Sedang kepastian hukum dapat dilihat dari pelaksanaan ketentuan konversi

Universitas Sumatera Utara

77

tersebut yang merupakan bagian dari kegiatan pendaftaran tanah, kegiatan
pendaftaran tersebut bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum.87
Sebagaimana diatur dalam Ketentuan-ketentuan Konversi pada UUPA, hakhak barat Barat seperti hak eigendom dapat dikonversi menjadi Hak Milik (pasal II),
Hak Erfpacht untuk perkebunan besar dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (pasal III)
dan Hak Opstal dan hak Erfpacht untuk perumahan dikonversi menjadi Hak Guna
Bangunan (pasal V). Konversi terhadap hak-hak barat menurut BW diberi batas
waktu selama 20 (dua puluh) tahun atau telah berakhir sejak tanggal 24 September
1980.
Rasio dari ketentuan konversi ini terutama pembatasan jangka waktu konversi
terhadap bekas hak-hak barat adalah untuk menarik garis pemisah yang tegas dengan
sistem hukum kolonial. Pemberian masa peralihan dengan jangka waktu 20 (dua
puluh) tahun untuk melakukan konversi terhadap bekas hak-hak barat dapat
dimaklumi, karena dari perubahan hukum kolonial kepada hukum nasional tidak
terjadi secepat pergantian kekuasaan.
Agar fakta historis menjadi dasar hukum yang baru, kehendak/niat (wilsuiting)
yang tersimpul di dalam fakta historis ini harus dianggap dan diakui sebagai hukum
yang berlaku oleh masyarakat yang bersangkutan.88

87

Pasal 19 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh
Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan undang-undang
88
Eddy Ruchiyat, OP.Cit, hal.2

Universitas Sumatera Utara

78

Ketentuan-ketentuan konversi juga diatur bahwa terhadap hak-hak adat yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak milik yang dimaksud dalam
pasal 20 ayat (1) UUPA. Seperti hak agrarische eigendom, milik, yasan, aderbeni,
hak atas drue desa, grand sultan, dan lain-lain sejak berlakunya UUPA diakui menjadi
hak milik (pasal II).
Secara normatif, hak hak lama yang dapat dikonversi tersebut tercantum
dalam bagian kedua UUPA tentang ketentun-ketentuan konversi pasal I sampai
dengan IX UUPA, kemudian setelah habisnya masa konversi hak hakl barat dan
diterbitkannya peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
dalam penjelasan pasal 24 ayat (1) ditentukan bahwa untuk kepentingan pembukuan
hak atas hak-hak lama harus dibuktikan kepemilikan dan penguasan atas sebidang
tanah tertentu dengan alat-alat bukti tertulis tertentu.
Alat bukti tertulis dikenal juga dengan alas hak yang dijadikan sebagai dasar
yang menunjukkan adanya hubungan hukum antara subjek hak dan objek tanahnya
yang berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah tersebut merupakan instruksi kepada pemerintah
untuk memberikan kepastian hukum sebagaimana diamatkan dalam pasal 19 UUPA,
pertanyaan yang timbul adalah mengapa pemerintah berkepentingan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, tujuan
pendaftaran tanah meliputi:

Universitas Sumatera Utara

79

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar mudah
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah memperoleh data yang diperlukan
agar dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah
yang sudah terdaftar.
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dimana setiap bidang
tanah termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah wajib di
daftar.
Agar tersedia data hak atas tanah yang benar dan masyarakat dapat
memperolehnya dengan mudah, maka pemerintah mengadakan suatu lembaga
pengumuman.89 Lembaga pengumuman inilah yang lazim disebut pendaftaran tanah,
dengan adanya lembaga pengumuman/pendaftaran tanah ini akan terjaminlah
kepastian hukum mengenai hak atas tanah, baik yang menyangkut subjek hak
maupun objek tanahnya.
Pembukuan hak tas tanah dalam lembaga pengumuman pada suatu instansi
pemerintah, maka setiap kejadian mengenai hak atas tanah dapat diikuti secara tertib,
sehingga dengan demikian kepastian hukum untuk hak atas tanah dapat dikendalikan
dengan baik. Itulah sebabya pendaftaran tanah diselenggarakan dengan tujuan agar

89

Badan Pertanahan Nasional, Himpunan karya tulis pendaftaran tanah, (Jakarta: Tanpa
Penerbit, 1999), hal 27.

Universitas Sumatera Utara

80

dapat menjamin kepastian hukum untuk hak atas tanah. Kepastian dari pemiliknya,
letak, batas, luas dan jenis hak atas tanahnya.90
Adapun syarat yang dipenuhi agar pendaftaran tanah dapat menjmin kepastian
hukum adalah:
1. Tersedianya peta bidang tanah yang merupakan hasil pengukuran secara
kadasteral yang dapat dipakai untuk rekonstruksi batas di lapangan dan batasbatasnya merupakan batas yang sah menurut hukum.
2. Tersedianya daftar umum bidang-bidang tanah yang dapat membuktikan
pemegang hak yang terdaftar

sebagai pemegang hak yang sah menurut

hukum.
3. Terpeliharanya daftar umum pendaftaran tanah yang selalu mutakhir, yakni
setiap perubahan data mengenai hak atas tanah seperti peralihan hak tercatat
dalam daftar hukum.
Terhadap peta bidang tanah yang merupakan hasil pengukuran tersebut dapat
dikatakan memenuhi kaedah yuridis apabila bidang tanah yang dipetakan batasbatasnya telah dijamin kepastian hukumnya berdasarkan kesepakatan dalam batas
oleh pemilik dan pihak-pihak yang berbatasan (Pasal 17 Peraturan Pemerintah
Nomor. 24 tahun 1997), ditetapkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 18 Peraturan
Pemerintah Nomor. 24 tahun 1997) dan diumumkan secara langsung kepada
masyarakat

90

setempat

untuk

memberikan

kesempatan

kepada

pihak

lain

Ibid, hal 27.

Universitas Sumatera Utara

81

menyampaikan keberatanya

(pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor. 24 tahun

1997).91
Daftar umum bidang tanah disediakan pada Kantor Pertanahan yang
menyajikan data fisik dan data yuridis bidang tanah yang terdiri dari peta pendaftaran,
daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama (pasal 33 Peratuaran Pemerintah
Nomor. 24 tahun 1997), setiap orang yang berkepentingan berhak mengetahui data
fisik data yuridis yang tersimpan dalam daftar umum (pasal 34 Peraturan Pemerintah
Nomor. 24 tahun 1997).
Terkait dengan lembaga pengumuman dan kaitanya

dengan pemberian

jaminan kepastian hukum, dalam sistem pendaftaran tanah sendiri dikenal adanya
sistem publikasi. yaitu sistem publikasi negatif dan publikasi positif. Sistem Publikasi
Negatif maksudnya adalah Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan
dalam sertifikat, oleh karena itu belum tentu seseorang yang telah tertulis namanya
pada sertifikat adalah mutlak sebagai pemilik, sedang sistem Publikasi Positif adalah
sebaliknya, Negara menjamin sepenuhnya bahwa orang yang terdaftar namanya
dalam sertifikat merupakan pemilik yang sebenarnya.
Untuk sistem pendaftaran tanah di Indonesia, menganut sistem campuran
keduanya, yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, maksudnya Negara tidak
menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertifikat, namun selama tidak ada
orang lain yang mengajukan gugatan ke pengadilan yang merasa lebih berhak, maka
data dalam sertifikat adalah tanda bukti hak yang kuat (pasal 19 ayat (2) UUPA).
91

Bambang Eko HN, Pembukuan Peta Pendaftaran Tanah, (Jakarta : BPN, 2001), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

82

Bukti kita menganut sistem publikasi negatif bertendensi positif adalah
dilakukannya pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksa Tanah A (untuk hak Milik,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan) dan Panitia B (untuk Hak
Guna Usaha) terhadap setiap permohonan pendaftaran tanah , artinya Kantor
Pertanahan tidak akan gegabah menerima saja permohonan pendaftaran tanah, tetapi
selalu harus melalui suatu pemeriksaan data fisik dan data yuridis oleh Panitia A atau
Panitia B.
Apabila telah dilakukan pemeriksaan tanah sebagai bagian dari proses
pendaftaran tanah, maka akan jelas bahwa pemegang hak (subyek) maupun tanahnya
(obyek) telah terdaftar dan pemegang hak tersebut benar-benar berhak atau
mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya. Bukti bahwa pemegang hak telah
berhak atas tanahnya adalah dengan pemberian tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat yang dinamakan sertifikat tanah. Dengan kata lain hak-hak
atas tanah telah dibukukan dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda
bukti pemilikan tanahnya.
Dengan adanya pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat, maka akan
tercapailah kepastian hukum akan hak-hak atas tanah, karena data yuridis dan data
fisik yang tercantum dalam sertifikat tanah tersebut diterima sebagai data yang benar.
Diterimanya sebagai data yang benar adalah baik dalam melaksanakan perbuatan
hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan.
Apabila data diterima sebagai hal yang benar, maka terjaminlah kepentingan
si pemilik tanah, artinya selain untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa

Universitas Sumatera Utara

83

pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya,
pendaftaran tanah juga berfungsi untuk melindungi si pemilik.
Jaminan kepastian hukum dalam pendaftaran tanah adalah Pemerintah
menjamin bahwa pemegang hak (subyek) benar-benar berhak atau mempunyai
hubungan hukum dengan tanahnya (obyeknya), dibuktikan dengan adanya
pembukuan data yuridis dan data fisik bidang tanah yang diterima sebagai data yang
benar dan didukung dengan tersedianya peta hasil pengukuran secara kadasteral,
daftar umum bidang-bidang tanah yang terdaftar dan terpeliharanya daftar umum
tersebut dengan data yang mutakhir serta kepada pemegang hak diberikan tanda bukti
hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang lazim disebut sertifikat
tanah.
Khusus dalam redistribusi tanah obyek landreform, terdapat adanya
“kepastian hukum” dalam dua hal, yakni kepastian hukum terhadap bekas pemegang
hak yang diambil alih tanahnya oleh Negara/Pemerintah baik karena melebihi batas
maksimum, melanggar larangan absentee atau alasan lain dengan kepastian untuk
mendapat ganti rugi, sehingga bekas pemegang hak tidak demikian saja kehilangan
haknya

atas pengambilan tanah miliknya, tetapi dijamin kepastian akan adanya

ketentuan ganti rugi sebagai bentuk pengakuan dari haknya atas tanah tersebut.
B. Kepastian Hukum Terhadap Perjanjian Yang Dibuat Oleh Para Pihak
Kepastian hukum sudah dikenal sejak awal perkembangan teori dan filsafat
hukum, Jeremy Bentham

memperkenalkan kamanfaatan hukum sebagai tujuan

hukum yang terdiri dari keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.

Universitas Sumatera Utara

84

Kepastian hukum merupakan salah satu dari cita hukum, karena cita hukum
tersebut merupakan satu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu persatu, maka
ketigannya harus ada dalam setiap aturan hukum, dengan demikian kepastian hukum
yang dimaksud dalam hal ini adalah kepastian hukum yang berkeadilan dan
bermanfaat bagi masyarakat.92
Jika suatu aturan hukum ditaati oleh sebagian besar target yang menjadi
sasaran ketaatanya, kita akan mengatakan bahwa aturan hukum yang bersangkutan
adalah efektif. Namun demikian, sekalipun dapat dikatakan aturan yang ditaati itu
efektif, tetapi kita masih dapat mempertanyakan lebih jauh derajat efektifitasnya.
Seseorang menaati atau tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya.
Kepentingan

itu

ada

bermacam-macam,

diantaranya

bersifat

compliance,

internalization. Jika ketaatan sebagian besar warga masyarakat terhadap suatu aturan
umum hanya karena kepentingan yang bersifat compliance atau hanya takut pada
sanksi, maka derajat ketaatanya sangat rendah karena membutuhkan pengawasan
terus menerus. Berbeda kalau ketaatanya berdasarkan kepentingan yang bersifat
internalization, yaitu ketaatan karena aturan hukum tersebut benar-benar cocok
dengan nilai intrinsik yang dianutnya maka derajat ketaatannya adalah tertinggi.93
Efektif atau tidak efektifnya suatu aturan hukum secara umum juga tergantung
pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan
berlakunya aturan hukum tersebut, mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya,
92

Kurnia Warman, Hukum Agraria Dalam Masyarakat Mejemuk, 2010, penerbit HumaJakarta, hal 73
93
Achmad Ali, menguak teori hukum dan teori peradilan, (Jakarta:Kencana,2009),hal.375

Universitas Sumatera Utara

85

proses

penegakan

hukumnya

yang

mencakupi

tahapan

penemuan

hukum

(penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya
terhadap suatu kasus kongkrit.94
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi,
“semua persertujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya” dan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik,
Kesepakatan yang dibuat para pihak berlaku azas “pacta sunt servanda” dimana
perjanjian tersebut mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan dilakukan dengan
itikat baik. Ikatan yang lahir dari perjanjian di namakan perikatan.
Jika perhatikan rumusan dan pengertian yang telah dijelaskan diatas, semua
hal hal tersebut menunjukkan pada kita semua bahwa perjanjian dibuat dengan
pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk
menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang
membuat perjanjian tersebut.95
Sesuai dengan ketentuan pasal 1233 BW, perjanjian timbul karena:
1. Persetujuan (overeenkomst)
Persetujuan atau overeenkomst bisa juga disebut ’’contract’’.Yang berarti
suatu tindakan/perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan kepada seseorang
lain atau lebih (Pasal 1313 BW).tindakan/perbuatan (handeling) yang menciptakan
94

Ibid. Hal.378
Karim Muljadi Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Hal,13.
95

Universitas Sumatera Utara

86

persetujuan, berisi ’’pernyataan kehendak’’ (wils verklaring) antara para pihak.
Dengan demikian persetujuan tiada lain dari pada ”persesuaian kehendak” antara para
pihak. Namun perlu diingatkan, sekalipun pasal 1313 menyatakan, bahwa kontrak
atau persetujuan adalah tindakan atau perbuatan (handeling), tapi tindakan yang
dimaksud dalam hal ini adalah tindakan atau perbuatan hukum (rechtshandeling).
Sebab tidak semua tindakan/perbuatan mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg).
Hanya tindakan hukum sajalah yang dapat menimbulkan akibat hukum.
Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dengan
lisan, tulisan/surat dan lain-lain. Pihak yang satu menawarkan atau memajukan usul
(proposal), serta pihak yang lain menerima atau menyetujui usul tersebut. Jadi dalam
persetujuan terjadi acceptance/penerimaan atau persetujuan usul. Dengan adanya
penawaran/usul serta persetujuan oleh pihak lain atas usul; lahirlah”persetujuan” atau
”kontrak” yang ”mengakibatkan ikatan hukum” bagi para pihak. Umumnya ikatan
hukum

yang

diakibatkan

persetujuan

adalah

saling

”memberatkan”

atau

”pembebanan” kepada para pihak kreditur dan debitur. Seperti yang kita jumpai
dalam persetujuan jual-beli, sewa-menyewa, pengangkutan dan lain-lain. Akan tetapi
sifat yang saling membebankan itu tidak selamanya menjadi ciri persetujuan.
2. Dari undang-undang
Mengenai perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam pasal 1352
BW :
-

Semata-mata dari Undang-Undang.

Universitas Sumatera Utara

87

Dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan manusia. Sepanjang mengenai
persetujuan yang menimbulkan perikatan semata-mata karena undang-undang; tidak
akan kita bicarakan lebih lanjut dalam persoalan ini. Sebab umumnya persetujuan
yang demikian telah diatur tersendiri dalam ketentuan-ketentuan yang jelas. Seperti
kewajiban alimentasi timbul akibat persetujuan yang telah ditetapkan oleh undangu

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Analisis Yuridis Pemeriksaan Calon Terampu Sebelum Adanya Penetapan Pengampuan Oleh Pengadilan ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2221 K Pdt 2010) Chapter III V

0 6 53

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 17

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 3

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 26

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 27

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 3