Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan DasarDasar Pokok Agraria yang merupakan titik awal dimulainya Land Reform atau
agrarian reform sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) Undang–Undang Dasar
Tahun 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar–besarnya
kemakmuran rakyat”.
Pasal 53 ayat (1) Jo Pasal 16 ayat (1) huruf “h”Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) dilaksanakan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Prp) No.56 Tahun 1960 yang diterbitkan pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1961. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No.56

Prp Tahun 1960 ditetapkan menjadi Undang-Undang No.56 Prp

Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian, LNR Tahun 1960 No.171TLNRI No.2117. Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 merupakan UndangUndangLandreform Indonesia. program landreform meliputi.
1.

Penetapan luas tanah pertanian.1


2.

Larangan pemilikan tanah secara absentee atau guntai.2

3.

Pengaturan soal pengembalian dan penebusan-penebusan tanah pertanian yang
digadaikan.3
1
2

Pasal 1Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960.
Peraturan Pemerintah Nomor.4 Tahun 1977 (LN 1977-5)

1

Universitas Sumatera Utara

2


4.

Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.4
Petani yang hanya mengandalkan pengolahan pertaniannya agar memperoleh

hasil yang maksimal sangat sulit menanggulangi masalah keperluan uang yang
mendadak dan mendesak pada saat tanaman belum panen. Apalagi hasil panen yang
diperoleh setiap tahun hanya terbatas untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan
keluarga untuk selama beberapa bulansaja. Keperluan untuk biaya pengobatan, anak
sekolah, biaya kehidupan sehari-hari, mencari pekerjaan dan lain-lainnya selalu
diatasi dengan menggadaikan tanah pertanian.5
Masyarakat adatjarang melakukan jual lepas tanah, disamping malu kalau
terjadi pemutusan hubungan hukum dengan tanah karena penjualan,juga harus
terlebih dahulu memenuhi syarat mendahulukan. Malu yang dimaksud yakni apabila
menjual tanah masih dirasakan sebagai suatu kehinaan bagi pemilik tanah, sebab akan
mengganggu keharmonisan dalam kehidupan kosmisnya masyarakat, sebab akan
sering dicemoohkan telah menjual tanah pusaka yang akan berakibat psikologis bagi
keluarga itu. Bila juga akan menjual tanah tersebut,maka syarat mendahulunya harus
dipenuhi, sehingga susah melakukan penjualan ini, oleh karena untuk menghindari
jual lepasdari tanah ini, lalu oleh masyarakat pedesaan masih melakukan penggadaian

tanah. Sebab dengan menggadaikan tanah hubungan hukum tidak putus dengan

3

Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor.20 Tahun 1963.
Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1960 (LN 1960-2).
5
Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan Undang-Undang Pokok Agraria, Medan,
Pustaka Bangsa Press, Hal 153.
4

Universitas Sumatera Utara

3

pemiliknya sehingga terhindar dari rasa malu sebagaimana di sebut dalam jual lepas
tadi.6

1)
2)

3)
4)

5)

Adanya gadai tanah di pedesaan adalah disebabkan karena:7
Untuk menolong sesama saudara;
Menghindari rasa malu keluarga, bila melakukan jual lepas tanah;
Masyarakat desa tidak mau dibebani syarat-syarat yang berat dan berbelit-belit
dalam meminjam uang;
Mudah mendapatkan uang pinjaman, dengan jangka waktu pembayaran yang
tidak ditetapkan, atau sampai kapan ada uang dari orang yang meminjam disaat
itulah dikembalikan;
Masyarakat desa kurang tertarik dengan Sarana perbankan, umumnya masyarakat
desa tidak tertarik dengan perbankan karena untuk melunasi hutang-hutang harus
dicicil setiap bulan, sementara pendapan masyarakat desa dari hasil panen setiap
tiga bulan sekali oleh karena itu masyarakat desa merasa tidak tertarik untuk
meminjam uang melalui bank.
Gadai


tanah adalah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan

orang lain yang mempunyai utang uang padanya, selama utang tersebut belum
dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan
uang (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang
gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut. Penebusan tanah
itu tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan. Banyak gadai
yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan
oleh para ahli waris penggadai dan pemegang gadai, karena penggadai tidak mampu
untuk menebus tanahnya kembali.
Gadai tanah ini dikenal dalam hukum adat tanah merupakan tindakan terhadap
tanah, bukan tindakan yang ada hubunganya dengan tanah. Gadai tanah ini
6

Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa
Press, 2003, hal 155.
7
ibid

Universitas Sumatera Utara


4

merupakan lembaga atau pranata yang pertama sekali dipopulerkan oleh Ter Haar
BZn, sebagaimana ditemukan pada awalnya dari Mr. Van Vollenhoven. Dimana
disebut dengan jual gadai yaitu perjanjian yangmenyebabkan bahwa tanahnya
diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si
penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke dirinya sendiri dengan jalan
membayarkan sejumlah uang yang sama (grond verpanding).8
Gadai tanah menurut hukum adat, merupakan pranata yang telah hidup dalam
sistem budaya yang berkembang kearah budaya yang tetap eksis yang diterima dan
diakui sebagai hukum yang hidup dalam hukum adat itu.9
Gadai tanah sebagai salah satu lembaga/pranata dengan berbagai istilah yang
berlaku di masing-masing masyarakatnya, telah lama di kenal dalam literatur hukum
adat.istilah itu antara lain, adol sende (Jawa), ngajual akad gade (Sunda), dondon
(Tapanuli), dondon susut (Mandailing), menggadai (Minangkabau) dan menjual
gadai(Riau dan Jambi).10
Perbuatan yang berhubungan dengan transaksi tanah selalu dilakukan atas
sepengetahuan atau dihadapan Kepala Desa/Ketua Adat. Demikian juga dalam
pelaksanaan gadai tanah, Kepala Desa/Ketua Adat awalnya berfungsi untuk

menguatkan tindakan penggadaian tanah tersebut agar apa yang diperbuat sekedar

8

Ter Haar.Bzn Terjemehan K.Ng.Soebakti, P.Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat,(Jakarta:
Pradya Paramita, 1980, hal.112)
9
Muhammad Yamin, Gadai tanah dalam perkembangan Hukum adat Studi Mengenai Gadai
Tanah di Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, (Medan: Disertasi, Universitas Sumatera Utara
Fakultas Hukum), hal.40
10
Soerojo wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. (Jakarta. Haji Mas
Agung,1980), hal.207

Universitas Sumatera Utara

5

telah dilakukan secara terang sehingga bila ada permasalahan antara mereka, Kepala
Desa ikut bertanggung jawab.11

Transaksi ini merupakan yang sah, artinya supaya sah mendapat perlindungan
hukum wajib dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan, maka perbuatan tersebut
menjadi terang dan tidak gelap atau petang(jawa) untuk bantuannya ini Kepala
Persekutuan lazimnya menerima uang saksi atau pago-pago(batak).12
Gadai menggadai menurut ketentuan hukum adat umumnya mengandung
unsur eksploitasi, karena hasil yang diterima oleh pemegang gadai dari tanah yang
bersangkutan setiap tahunnya umumnya jauh lebih besar dari pada apa yang
merupakan bunga yang layak dari uang gadai yang diterima pemilik tanah. Umumnya
ekonomi pemegang gadai lebih kuat dari pemilik tanah.Hal inilah yang mengandung
sifat feodal dan bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Namun menyangkut gadai atas tanah milik masyarakat di pedesaan sebagai objeknya
belum ada disentuh oleh Undang-Undang

tersebut.13Dalam Pasal 53 ayat (1)

Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan, hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h ialah hak gadai, hak
usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak menyewa tanah pertanian diatur untuk
membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dan hal-hal
tersebut diusahakan akan dihapus dalam waktu singkat, Sehingga persepsi


11

Ibid, hal.162
Soerojo wognjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta, CV. Haji
Masagung, 1967), halaman 207
13
Muhammad Yamin, Op.Cit, hal.178
12

Universitas Sumatera Utara

6

masyarakat mengenai pelaksanaan Pasal 7 Prp Nomor 56 Tahun 1960 yang mengatur
tentang gadai tanah dianggap masih bertentangan dengan hukum adat di masyarakat
dan bertentangan dengan rasa keadilan didalam kehidupan masyarakat. Sementara itu
untuk menjamin kepastian hukum perjanjian gadai perlu dibuat dalam bentuk tertulis,
namun dalam prakteknya masih banyak perjanjian gadai tidak dibuat dalam bentuk
tertulis, misalnya hanya didasarkan dengan rasa saling percaya.

Masyarakat adat yang merupakan salah satu subjek dimana pada masyarakat
tersebut masih dilakukannya jual gadai dengan cara adat dalam menjual gadaikan
tanah. Lembaga gadai dalam hukum adat ini cenderung dipilih masyarakat karena
terdapat kemudahan di dalam prosedurnya dibandingkan dengan lembaga jaminan
lainnya yang sudah ada dengan penggunaan prosedur yang rumit. Akan tetapi hal ini
tidak juga lepas dari beberapa kelemahan, hal ini dikarenakan hukum yang mengatur
permasalahan gadai tanah ini tidak bersifat baku dan tertulis, yang dalam prakteknya
gadai yang dilangsungkan hanyalah berdasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang
terjadi di masyarakat. Sehingga sebagai akibatnya seringkali timbul berbagai
permasalahan dalam pelaksanaan dalam gadai tanah, salah satunya adalah masalah
dalam jaminan kepastian hukum suatu perjanjian gadai tanah yang menggunakan
bukti tertulis tetapi jangka waktu dalam perjanjian telah melanggar Pasal 7 Prp No
56/1960, karena tanah yang dikuasai penerima gadai telah lewat dari 7 tahun dan
tanah tersebut tidak dikembalikan kepada yang pemilik tanah.

Universitas Sumatera Utara

7

Jangka waktu hak gadai tanah dalam prakteknya dibagi menjadi dua (2)

yaitu;14
1.

Hak gadai (gadai tanah) yang lamanya tidak ditentukan,
Gadai tanah yang tidak ditentukan lamanya, maka pemilik tanah pertanian

tidak boleh melakukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya sekarang digadai, satu
atau dua bulan ditebus, penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai
minimal telah melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karena hak gadai
tanah merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam
uang.
2.

Gadai tanah yang lamanya ditentukan
Hak gadai tanah ini, pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka

waktu yang diperjanjikan dalam hak gadai tanah berakhir. Kalau jangka waktu
tersebut sudah berakhir dan pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tidak
dapat dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bisa
menjual lelang yang digadaikan tersebut. Apabila dalam batas waktu yang telah
ditentukan pemilik tanah tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat
memaksa pemilik tanah untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap
memaksa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat
menggugat pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengijinkan menjual tanah
yang digadaikan.

14

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah(Jakarta, Prenada Media, 2005).

Hal.132

Universitas Sumatera Utara

8

Ciri-ciri gadai tanah menurut hukum adat adalah sebagai berikut:
1.

Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa.
Dalam hukum adat, selama transaksi gadai berlangsung sipenerima gadai

tidak dapat memaksa sipemberi gadai untuk segera menebus benda gadai. Gadai akan
ditebus tergantung dari kehendak sipemberi gadai, kapan saja ia dapat menebus gadai
itu dan hak menebus dapat beralih kepada ahli warisnya apabila sipemberi gadai telah
meninggal dunia.
Hilman Hadi Kusuma mengatakan bahwa waktu penebusan kembali akan
dilakukan oleh penggadai terserah pada kehendak dan kemampuan sipenggadai,
Pemegang gadai tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada penggadai agar
tanahnya ditebus dan hak gadai dapat beralih kepada ahli warisnya.15
Fauzi Ridwan mengemukakan bahwa pemegang gadai tidak dapat menuntut
hutang gadai itu dalam hal tidak ditebus oleh pemberi gadai, sebab pokok transaksi
disini adalah tanah, bukan uang. Namun demikian Sarjana menambahkan bahwa
walaupun ada ketentuan tersebut tidak berarti bahwa setiap waktu dapat dilakukannya
sehingga dapat mengakibatkan merugikan pemegang gadai, kecuali untuk tanah yang
tidak diusahakan harus diperhatikan bahwa untuk tanah sawah jika yang mengerjakan
sawah pemegang gadai, maka penggadai harus menunggu penyerahan kembali tanah
gadai setelah selesai panen, untuk tempat tanah perikanan harus menunggu hasil ikan
semusim atau mengambil kembali bibit ikannya.16
2.

Pemegang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya
15

Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (bandung : Citra Aditya Bakti,1990), hal.127
A.Fauzi Ridwan, Hukum Tanah Adat, (Jakarta: Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila,
Dewa Ruci Press, 1982), hal.37
16

Universitas Sumatera Utara

9

Budi Harsono mengemukakan bahwa, hak gadai (Gadai Tanah) dengan
persetujuan pemilik tanahnya dapat “dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti
bahwa hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan
gadai yang baru antara pemilik dan pihak ketiga itu (memindahkan gadai atau
doorvenpanden).17
3.

Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus.

4.

Tanah yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik pemegang gadai
bila tidak ditebus.
Bila dicermati diantara peraturan tanah yang mengatur gadai tanah, yakni

antara lain seperti Undang-UndangNo 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas
pertanian. Dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan, barang siapa mengusai tanah
pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya
waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tebusan.
Putusan MARI. No. 626 K/Pdt /2010 Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha EsaMahkamah Agungmemeriksa Perkara Gadai Tanah dalam tingkat
kasasi telah memutuskan:
Judex Facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku sebab

17

Budi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan
Pelaksanannya, (Jakarta: Djambatan,1971),hal.306

Universitas Sumatera Utara

10

telah terbukti di persidangan bahwa tanah sengketa adalah benar hak Penggugat
walaupun tanah tersebut dikuasai oleh tergugat berdasarkan hak gadai. Berdasarkan
Pasal 7 (1) Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 maka tanah sengketa yang
terbukti dipegang gadai oleh Tergugat sudah berlangsung lebih dari 7 (tujuh) tahun
maka Tergugat menurut hukum wajib mengembalikan tanah sengketa tersebut kepada
Penggugat tanpa uang tebusan.
Berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata bahwa Putusan Judex Facti dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/Undang-Undang, maka
permohonan Kasasi yang diajukan Tergugat harus ditolak dan tergugat harus
menyerahkan tanah tersebut kepada Penggugat.
Menghukum Tergugat (penerima gadai), atau orang lain yang mempunyai hak
dari para Tergugat untuk menyerahkan tanah terperkara kepada Penggugat dalam
keadaan kosongtanpa uang tebusan oleh Penggugat dan tanpa halangan apapun juga,
seketika setelah ada keputusan atas perkara ini.
Khususnya di Kabupaten Tanah Karo mengenai objek gadai tanah yang telah
berlangsung tujuh tahun atau lebih sampai saat inimasih banyak dikuasai oleh
penerima gadai dan pemberi gadai tanah pun tidak pernah menuntut penerima gadai
supaya tanah tersebut dikembalikan kepada pemberi gadai, karena pemberi gadai
maupun penerima gadai tidak pernah mengetahui adanya Undang-Undang mengenai
gadai tanah.
Menjadi bahan pertimbangan untuk mengangkat permasalahan gadai tanah
dalam tesis yang berjudulEfektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626

Universitas Sumatera Utara

11

K/Pdt/2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi di Kabupaten
Tanah Karo).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah.
1.

Bagaimana efektifitas hukum terhadap pelaksanaan gadai tanah pertanian di
Tanah Karo?

2.

Bagaimana PerkembanganPrp Nomor 56 Tahun 1960 setelah digantinya menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian?

3.

Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemberi gadai atas tanah pertanian
pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K/Pdt/2010?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada topik penelitian dan permasalahan yang diajukan diatas,
maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah.
1.

Untuk mengetahuiefektifitas hukum terhadap pelaksanaan gadai tanah pertanian
di Tanah Karo.

2.

Untuk mengetahui gadai tersebut secara hukum jika tidak ditebus telah melebihi
7 (tujuh) tahun.

3.

Untuk mengetahuikepastian hukum bila gadai tidak dijalankan sesuai aturan
hukum/Prp 56/1960.

Universitas Sumatera Utara

12

D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu.
1.

Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi

perkembangan ilmu hukum dan untuk memberikan sumbangan pemikiran dan saran
dalam ilmu hukum perdata dan hukum agraria yang berkaitan dengan gadai tanah
pertanian berdasarkanPutusan MARI. No. 626 K/Pdt /2010,Menghukum Tergugat
(penerima gadai) karena telah menguasai gadai tanah lebih dari 7 (tujuh) tahun, atau
orang lain yang mempunyai hak dari para Tergugat untuk menyerahkan tanah
terperkara kepada Penggugat dalam keadaan kosong dan tanpa halangan apapun juga,
seketika setelah ada keputusan atas perkara ini.
2.

Secara Praktis
Dapat memberikan suatu pemahaman bagi masyarakat khususnya masyarakat

Kabupaten Tanah Karo tentang pentingnya mengetahui isi dari Pasal 7 Ayat (1) Prp
56 Tahun 1960 dan Putusan MARI. No. 626 K/Pdt /2010 mengenai jangka waktu
berlakunya perjanjian gadai tanah dan sebagai upaya mendapatkan perlindungan dan
jaminan kepastin hukum.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,

Universitas Sumatera Utara

13

khususnya pada Sekolah Pascasarjana, belum ada penelitian yang menyangkut
masalah”Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K/Pdt/2010
Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi di Kabupaten Tanah Karo).
Namun dalam penelusuran kepustakaan dan hasil penelitian tentang gadai
tanah pernah dilakukan beberapa tesis karya mahasiswa, namun permasalahan dan
bidang kajiannya sangat berbeda, yaitu tesis atas nama:
1.

ZETRIA ERMA, NIM : 982105036 dengan judul: Pelaksanaan Gadai Tanah
Pertanian Ditinjau Dari Hukum Agraria (Undang-Undang No.56 Tahun 1960)
dan hukum islam di Kecamatan Tilatang Kamang.
Permasalahannya dalam tesis ini adalah:
a. Apakah lembaga gadai tanah prtanian menurut hukum adat masih digunakan
MasyarakatKecamatan Tilatang Kamang setelah berlakunya UU No.56 Prp
Tahun 1960?
b. Bagaimana persepsi masyarakat tentang pelaksanaan UU No.56 Prp Tahun
1960 khususnya Pasal 7 pada Masyarakat di Kecamatan Tilatang Kamang?
c. Apakah terdapat persamaan (titik temu) antara ketentuan hukum yang
mengatur gadai tanah pertanian dalam hukum agraria dan hukum islam?

2.

SRI ANITHA BR GINTING. NIM : 117011058 dengan judul: Gadai Tanah
Dalam Masyarakat Karo di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Tanah Karo.
Permasalahan dalam tesis ini adalah:

Universitas Sumatera Utara

14

a. Bagaimana faktor-faktor yang melatar belakangi dipertahankanya gadai tanah
(peutangken) pada masyarakat Karo di Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten
Karo?
b. Bagaimana bentuk gadai tanah (peutangken) pada masyarakat Karo di
Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo?
c. Bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa gadai tanah pada
masyarakat Karo di Kecamatan Tiga Binanga Kabupaten Karo?
3.

MARSYUDDIN. NIM : 117011042 dengan judul:Eksistensi Perjanjian Gala
(Gadai) Tanah Pertanian Pada Masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia
Kabupaten Aceh Utara.
Permasalahannya dalam tesis ini adalah:
a. Faktor faktor yang melatar belakangi keberadaan perjanjian gala (gadai) tanah
pada Masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara?
b. Bagaimana bentuk (konstruksi) perjanjian gala (gadai) tanah pada Masyarakat
Aceh di Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara?
c. Bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa gala (gadai) tanah pada
Masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara?

4.

SUHARDI. NIM : 027011059 dengan judul: Pengaruh Peraturan Gadai Tanah
Pertanian (Pasal 7 UU No.56/Prp/1960) Terhadap Pelaksanaan Gadai Tanah
Dalam Hukum Adat Minangkabau di Nagari Lurah Ampalu.
Permasalahannya dalam tesis ini adalah:

Universitas Sumatera Utara

15

a. Bagaimana tata cara menggadaikan tanah menurut hukum adat Minangkabau
di Nagari Lurah Ampalu Kabupaten Padang Pariaman?
b. Bagaimana pengaruh peraturan tentang gadai tanah (Pasal 7 UU
No.56/Prp/1960), terhadap pelaksanaan gadai tanah menurut hukum adat
Minangkabau di Nagari Lurah Ampalu Kabupaten Padang Pariaman?
c. Bagaimana cara penyelesaian sengketa gadai tanah di Nagari Lurah Ampalu
Kabupaten Padang Pariaman?
Tesis ini berbeda dengan tesis tersebut diatas, tesis pertama lebih mengarah
kepada Permasalahanya apakah terdapat persamaan (titik temu) antara ketentuan
hukum yang mengatur gadai tanah pertanian dalam hukum agraria dan hukum islam.
Tesis kedua Permasalahanya bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa gadai
tanah pada masyarakat Karo.Tesis yang ketiga lebih mengarah kepada faktor-faktor
yang melatarbelakangi keberadaan perjanjian gala (gadai) tanah pada masyarakat
Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara. Sedangkan tesis yang ke
empat mengarah kepada Bagaimana Pengaruh Peraturan Gadai Tanah Menurut
Hukum Adat Minangkabau Dinagari Lurah Ampalu Padang Pariaman.
Dengan demikian, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenaran dan keasliannya secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Teori adalah susunan konsep, definisi yang dalam dan menyajikan pandangan

yang sistematis tentang fenomena, dengan menunjukkan hubungan antara variable

Universitas Sumatera Utara

16

yang satu dengan yang lain, dengan maksud untuk menjelaskan dan meramalkan
fenomena,18
Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan
konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap
sebagai sarana yang memberi rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam
setiap bidang ilmu pengetahuan.19
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori atau
tesis ini mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,
pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.20
Kerangka teori merupakan susunan dari beberapa anggapan-anggapan,
pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis menjadi
landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan,21 sedangkan teori itu sendiri
adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan
suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secararasional digabungkan dengan
pengalaman empiris.22 Teori juga menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik
untuk proses tertentu terjadi.23 Dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkanya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.24

18

Sofyan Syafri Harahap, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komprehensif,
(Jakarta: Pusaka Quantum), hal.40
19
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal 113
20
M.Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal.80
21
Abdulkadir Muhammad, 2004, hukum dan penelitian hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Hal.73
22
Op. Cit, hal.27
23
J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M.Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid 1
24
Ibid, hal.216

Universitas Sumatera Utara

17

Berkenaan dengan penelitian ini, maka kerangka teori diarahkan secara
khusus pada ilmu hukum yang mengacu pada penelitian yuridis empiris. Penulisan ini
berupaya guna menganalisa secara hukum terhadap gadai tanah yang waktunya telah
leawat dari 7 (tujuh) tahun lamanya.
Teori yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah teori hukum posotivis
klasik (aliran utilistis) dari Jeremy Bentham. Menurut Jeremy Bentham, sebagaimana
dikutip oleh Lili Rasjidi.25
“Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang
dihasilkan oleh penerapan hukum tersebut, suatu ketentuan hukum harus dapat
dinilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapanya adalah
kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan,
dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapanya menghasilkan akibat-akibat
yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan”.
Bentham tidak mempersoalkan apakah kebahagiaan itu diperoleh karena
semua individu telah merasakan adanya kepastian hukum atau karena adanya
keadilan, tetapi hukum itu harus dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan,
pendapat Bentham juga menunjukkan bahwa unsur-unsur hukum (kepastian hukum,
kemanfaatan hukum dan keadilan) hanyalah dapat dibedakan, tetapi tidak dapat
dipisahkan karena antara unsur yang satu berkaitan dengan unsur yang lain, bahkan
kadangkala bertentangan.26
Usaha menuju kepastian hukum atas tanah tercantum dalam ketentuan dari
pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah, dalam pasal 19 Undang25

Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung Mandar Maju, 2003),hal.117
Terjemahan Bab II Positivisme: Bentham dan Austin, Sumber : http//
Cahwaras.Wordpress.Com/2014/04/15.
26

Universitas Sumatera Utara

18

Undang Pokok Agraria disebutkan untuk menjamin kepastian hukum dari hak-hak
atas tanah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengharuskan pemerintah untuk
mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bersifat
Recht kadaster artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum, dengan
diselenggarakannya pendaftaran tanah maka pihak yang bersangkutan dengan mudah
dapat mengetahui status hukum dari tanah yang dihadapinya, letak, luas, dan batas
batas, siapa yang mempunyai dan beban-beban apa yang melekat diatas tanah
tersebut.27
Tujuan hukum pendaftaran tanah tidak terlepas dari tujuan hukum pada
umumnya. Tujuan hukum menurut hukum konvensional adalah mewujudkan keadilan
(rechts Gerechtigheid), kemanfaatan (rech tsutiliteit) dan kepastian hukum
(rechtzekerheit).28
Hukum pertanahan di Indonesia menginginkan kepastian mengenai siapa
pemegang hak milik. Kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan kepastian hukum
terhadap

tanah,

sehingga

setiap

pemilik

dapat

terjamin

haknya

dalam

mempertahankan hak miliknya dari gangguan luar.29
Bahkan harus diterima sebagai perkembangan ilmu pengetahuan hukum,
karena sebagaimana dikemukakan oleh subekti bahwa gadai tanah menurut hukum
adat adalah dalam pemikiran orang Indonesia suatu transaksi yang berdiri sendiri,
27

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaranya, Sinar Grafika, Jakarta,2009,

hal.132
28

Ahmad Ali, Menguak Takbir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta, PT
Gunung Agung, tbk, 2002, hal.85
29
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta:
PT.Intermasa,1980), hal.2

Universitas Sumatera Utara

19

berlainan dengan “hipoteek” menurut Burgelijk Wetbook (BW), yang adalah suatu
perjanjian “accesoir” untuk menjamin terlaksananya atau dipenuhinya suatu
perjanjian lain yang dinamakan perjanjian pokok. Gadai adalah suatu transaksi tanah
dan bukannya suatu perjanjian pinjaman uang dengan jaminan.30 Sungguhpun dalam
kenyataanya sekarang ini dilakukan oleh masyarakat, gadai tanah mengarah pada
lembaga jaminan atau diperlakukan sebagai lembaga jaminan, namun harus diingat
bahwa gadai tanah ini bukan hipotheek dan bukan juga crediet-verband yang pernah
dikenal dalam hukum jaminan pada jaman Belanda (stb 1847 No 23) dan (stb 1908542 yo 1937-190), serta tidak sama dengan hak tanggungan (Undang-Undang No 4
Tahun 1996). Seperti disebutkan telah ada kemungkinan yang berpandangan bahwa
dalam perkembanganya gadai tanah sudah merupakan hal yang sama dengan hak
Tanggungan, namun tetap tidak sama filosofi dan karakteristiknya. 31
Bila dicermati diantara peraturan tanah yang mengatur gadai tanah, yakni
antara lain seperti Prp No 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.
Hanya dalam Pasal 7 ayat (1) ada disebutkan, barang siapa menguasai tanah pertanian
dengan hak gadai yang padawaktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung
7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya waktu sebulan
setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan.

30

R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989,) hal.57.
31
Muhammad Yamin, Op.Cit hal 143

Universitas Sumatera Utara

20

Ayat (2) menyebutkan, mengenai gadai yang pada mulai berlakunya peraturan
ini belum berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya
kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar
uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:
(7+1/2)- waktu berlangsung hak gadai X uang gadai,
7
Ternyata satu pasal ini merupakan peraturan dan pernyataan yang berlaku
secara umum dalam seluruh tindakan penyelesaian gadai tanah, baik sebelum maupun
sesudah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut, kehendak
seperti ini diperkuat dengan membaca kembali isi dari penjelasan pasal demi pasal
dari pasal 7 (tujuh)itu, yang menyebutkan, ketentuan-ketentuan pasal ini tidak hanya
mengenai tanah-tanah gadai yang harus dikembalikan, tetapi mengatur gadai pada
umumnya.32
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) diatas merupakan perkembangan yang sangat
berarti bagi petani atau masyarakat yang menggadaikan tanahnya atau tanaman keras
lainnya untuk melunasi tanah yang digadaikannya dengan memberikan biaya
pengembalian yang telah diatur sedemikian rupa.
Pasal 1338 ayat (1)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi,
“semua persertujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
mereka yang membuatnya” dan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik,
32

Muhammad Yamin, Gadai Tanah Dalam Perkembangan Hukum Adat Studi Mengenai
Gadai Tanah di Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, (Medan: Disertasi, Universitas Sumatera
Utara Fakultas Hukum), hal.118

Universitas Sumatera Utara

21

Kesepakatan yang dibuat para pihak berlaku azas “pacta sunt servanda”
dimanaperjanjian tersebut mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan dilakukan
dengan itikat baik. Ikatan yang lahir dari perjanjian di namakan perikatan.33
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, berbunyi “suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih” dengan demikian masing-maing para pihak mempunyai
hak dan kewajiban.
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi berasal dari

bahasa latin, conceptus yang berarti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya
berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan. Konsepsi diterjemahkan sebagai
usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit, yang disebut
dengan operational definition. Pentingnya definisi adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang di
pakai.
Untuk mendekatkan pengertian apa sebenarnya yang ditelaah dalam penelitian
ini yang dimaksud dengan gadai tanah hubungan antara seseorang dengan tanah
kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang padanya, selama utang tersebut
belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan (penerima gadai).

33

R. Subekti, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradya Paramita,2004),

hal.342

Universitas Sumatera Utara

22

Gadai adalah suatu hak kebendaan yang di punyai kreditur atas barang milik
debitur sebagai jaminan hutang.
Pemberi gadai tanah adalah orang yang menerima uang dan menyerahkan
penguasaan tanahnya kepada penerima gadai.
Penerima gadai adalah orang yang memberi uang dan menguasai tanah milik
penerima uang.
Tanah adalah benda tetap sebagaimana dijumpai pengertian dasarnya UUPA
No 5/1960 dalam pengertian bumi, atau sering disebut dengan istilah land.yakni tanah
sebagai ruang/tempat yang dinyatakan luasan hektar atau meter persegi.
G. Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian
masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan
penelitian.34 Kata metode berasal dari kata Yunani “Metods” yang berarti cara atau
jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.35
Adapun dalam penulisan ini, digunakan metode penelitian sebagai berikut:
1.

Sifat Penelitian
Sebungan dengan upaya ilmiah, maka metode yang menyangkut masalah cara

kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 36

34
Jujun Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta,1995,hal 328
35
Koentjaningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta,1997, hal.16
36
Koentjaningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, PT.Gramedia, Hal.70

Universitas Sumatera Utara

23

Metode penelitian yang digunakan dalam tesis iniadalahyuridis empiris yaitu
penelitian terhadap efektifitas hukum dengan mempelajari peraturan-peraturan hukum
yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang
ditengah masyarakat. Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung
dari para responden melalui penelitian lapangan (field research) pada Masyarakat
Kabupaten Tanah Karo yang melakukan gadai tanah.
Dengan mempergunakan metode penelitian yuridis empiris yang bersifat
kualitatif yaitu dengan menganilisis kenyataan-kenyataan hukum gadai tanah yang
berkembang di masyarakat.37Dimaksudkan adalah, karena gadai tanah termasuk atau
merupakan suatu pranata yang hidup dan berpraktek di masyarakat, maka kajiannya
lebih bersifat empiris.
2.

Lokasi Penelitian
Daerah penelitian yang menjadi target untuk dijadikan sebuah penelitian

adalah di daerah Kabupaten Tanah Karo Propinsi Sumatera Utara. Yang terdiri dari
15 (lima belas) Kecamatan. Oleh karena di Kabupaten Tanah Karo memiliki wilayah
Kecamatan yang cukup luas, maka dalam penelitian ini diambil 3 (tiga) Kecamatan
dari 15 (lima belas) Kecamatan yaitu; Kecamatan Tiganderket, Kecamatan Payung,
Kecamatan Kutabuluh. Dalamsetiap kecamatan diambil 3 (tiga) desa dalam satu
kecamatan, karena desa tersebut masih banyak terdapat gadai tanah yang telah
berlangsung tujuh tahun atau lebih yang masih dikuasai oleh penerima gadai.sampel
desadalam

kecamatan

Tiganderket

yaitu;

Desa

Tanjung

Merawa,

Desa

37

Muhammad Yamin, Gadai Tanah Dalam Perkembangan Hukum Adat Studi Mengenai
Gadai Tanah Di Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, (Medan: Disertasi, Universitas Sumatera
Utara Fakultas Hukum). Hal 64

Universitas Sumatera Utara

24

Tiganderket,dan Desa Sukatendel. Sampel desa dalam kecamatan Payung yaitu Desa
Payung, Desa Batukarang, dan Desa Rimokayu. Sampel desa di kecamatan kuta
buluh yaitu, Desa Buahraya, Desa Laubuluh, dan Desa Jinabun.
Penentuan sampel atas 3 (tiga) Kecamatan tersebut dilakukan dengan metode
purposive sampling metode ini dilakukan semua kecamatan sama perlakuannya
(sifatnya homogen) terhadap objek penelitian gadai tanah yang dilakukan oleh
masyarakat pada Kecamatan tersebut yang akan dijadikan sampel penelitian. Adapun
yang menjadi responden dari 3 (kecamatan) ini adalah sebagai berikut:
a. Dari setiap Desa diambil 3 orang responden yang pernah melakukan gadai
tanah yang jangka waktunya telah lebih dari 7 tahun lamanya dan tanahnya
masih dikuasai oleh penerima gadai yang menjadi subjek penelitian.
b. Kepala Desa yang mengetahui atau terlibat dalam perjanjian gadai tanah di 9
(sembilan) Desa sebagai sampel tempat penelitian.

3.

Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian ini
termasuk kedalam penelitian hukum sosiologis (Socio-legal Research) atau empiris
yaitu didasarkan pada data primer atau fakta-fakta dan masalah-masalah yang ada
dalam masyarakat mengenai gadai tanahdi Kabupaten Tanah Karo.
4.

Alat Pengumpul Data
a. Studi dokumen yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, Peraturan PerundangUndangan, dokumen lain yang terkait dengan judul ini, data yang diperoleh

Universitas Sumatera Utara

25

disebut data sekunder, yang meliputi, bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier dengan membaca, mempelajari, meneliti,
mengidentifikasi, dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan gadai
tanah.
b. Pedoman wawancara dilakukan terhadap responden yang telah ditetapkan
dengan memilih model wawancara langsung, yang terlebih dahulu dibuat
susunan pertanyaan wawancara dengan sistematis agar mendapatkan data yang
mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang konkrit baik secara
hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.
c. Dalam melakukan wawancara yang merupakan alat pendukung pengumpulan
data dalam penelitian ini. Wawancara yang dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan secara sistematis dan langsung terhadap pemberi gadai dan Kepala
Desa yang mengetahui isi perjanjian gadai yang dibuat oleh pemberi gadai
dengan penerima gadai.

5.

Analisis Data
Analisis data adalah sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan

kerja seorang peneliti yang memerlukan penelitian dan pencurahan daya pikir secara
optimal.38 Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif
yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,mengsitensiskanya,

38

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal.77

Universitas Sumatera Utara

26

mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang di
pelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.39
Setelah dianalisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif
yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti.40
Selanjutnya data tersebut dengan menggunakan metode deduktif sehingga
dapat diperoleh kumpulan akhir yang tepat setidak-tidaknya mendekati kebenaran
ilmiah yang penulis harapkan dalam tulisan ini.

hal.284

39

Lexy,J. Moleong, 1994, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,

40

H.B Sutopo, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, hal.37

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 17

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 3

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 27

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo) Chapter III V

1 1 53

Efektifitas Putusan Mahkamah Agung Nomor 626 K Pdt 2010 Terhadap Masalah Gadai Tanah Pertanian (Studi Di Kabupaten Tanah Karo)

0 0 3