Peranan Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Air Di Sungai Aek Pahu Hutamosu, Aek Pahu Tombak Dan Batang Toru

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Sungai

Ekosistem sungai pada umumnya terbentuk oleh beberapa anak sungai yang
menyatu dan membentuk suatu aliran sungai yang besar. Sungai memiliki ciri
khas yang dimulai dari daerah bagian hulu yang biasanya berawal dari dataran
tinggi yang hanya berupa parit kecil, aliran deras, air dingin, dan pergerakaan air
secara turbulen, mempunyai hidrograf aliran dengan puncak-puncak yang tajam
sewaktu mendaki (rising stage) dan menurun (fallen stage), gradien hulu sungai
cukup curam dan sangat aktif mengikis air secara turbulen, dasar sungai terdiri
dari bebatuan. Semakin jauh ke hilir, sungai tersebut akan menyatu dengan anakanak sungai (Setiawan, 2008).

Barus (2004), mengelompokkan sungai berdasarkan kejadiaannya (order)
yaitu: sungai order satu adalah sungai yang pada umumnya tidak memiliki anak
sungai; sungai order dua adalah sungai yang terbentuk karena adanya pertemuan
sungai order satu dengan sungai order satu lainnya; selanjutnya bila sungai order
dua bertemu dan bersatu dengan sungai order dua lainnya akan membentuk sungai
order tiga dan seterusnya.


Basmi (1991), menjelaskan bahwa air mengalir atau habitat lotik terdapat
dua zona utama yaitu:
a. Zona air deras: zona daerah dangkal yang memiliki kecepatan arus cukup
tinggi, aliran airnya deras dan turbulen, sehingga organisme dan partikel
sedimen tidak mampu melekat ataupun terendap di dasar perairan karena akan
tersapu oleh arus sehingga dasar sungai menjadi padat. Substrat sungai terdiri

Universitas Sumatera Utara

dari batu-batuan yang merupakan pecahan atau potongan bulat yang licin
akibat terkikis oleh air dan habitatnya beranekaragam.
b. Zona air tenang (lambat): zona daerah dalam yang memiliki kecepatan arus
sudah berkurang, aliran airnya lambat dengan aliran partikel laminar, daya
erosi berkurang, partikel-partikel sedimen sangat halus seperti lumpur dan
materi lepas cenderung mengendap di dasar perairan, sehingga dasarnya
lunak, tidak sesuai untuk benthos permukaan.

Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menjadi bagian dari perairan umum
yang merupakan suatu wilayah dataran yang menampung dan menyimpan air

hujan yang kemudian mengalirkannya ke laut melalui satu sungai utama.
Pengertian sungai itu sendiri adalah perairan yang airnya mengalir pada arah
tertentu, berasal dari air tanah, air hujan, dan atau air permukaan yang akhirnya
bermuara ke laut, sungai atau perairan terbuka luas. Perairan tawar secara terus
menerus mengalami siklus hidrologi dimana siklus hidrologi sangat bergantung
pada proses evaporasi dan presipitasi, begitu juga sungai yang sumbernya berasal
dari air hujan yang mengalir sebagai air permukaan atau air yang masuk ke dalam
tanah melalui proses infiltrasi ke badan air (Setiawan, 2008).

2.2 Makrozoobenthos Sebagai Indikator Kualitas Air

2.2.1 Organisme Makrozoobenthos

Organisme makroinvertebrata banyak yang hidup sebagai benthos, yakni semua
organisme yang melekat pada dasar substrat atau hidup di dasar endapan.
Kelompok fauna invertebrata yang hidup di dasar perairan disebut kelompok
zoobenthos. Kelompok zoobenthos relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap
perubahan lingkungan perairan adalah spesies yang termasuk ke dalam kelompok
invertebrata makro. Kelompok tersebut dikenal dengan makrozoobenthos
(Rosenberg & Resh, 1993).


Universitas Sumatera Utara

Hutabarat & Evans (1986), menjelaskan bahwa secara ekologis hewan
benthos di dalam suatu perairan dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar,
yaitu:
a). Menurut habitatnya;




Epifauna, hewan benthos yang sedang atau dalam berasosiasi dengan
permukaan dasar perairan baik yang merayap, melekat maupun merangkak
Infauna, hewan benthos yang

hidup

di substrat

lunak dengan


membenamkan diri atau membuat lubang pada dasar perairan
b). Menurut ukurannya;






Mikrobenthos, yakni memiliki ukuran < 0,1 mm
Meiobenthos, yakni memiliki ukuran 0,1 – 1 mm
Makrobenthos, yakni memiliki ukuran > 1mm

Cummins (1975), mengelompokkan makrozoobenthos berdasarkan cara
makan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kelompok Makrozoobenthos berdasarkan cara makan (Cummins,
1975)
Tipe cara makan
Grazer (herbivora)


Makroozobenthos
Molusca (Ancylidae, Sphaeridae, Pleuraceridae,
Planorbiidae,
Unionidae),
Ephemeroptera
(Heptageniidae),
Trichoptera
(Glossosomatidae,
Phrygareidae), dan Coleoptera (Psephenidae dan
Elmidae)
Shredders (detritivora pada Plecoptera (Nemouridae, Pteronarcidae, Peltoperlidae),
subsrat kasar)
Diptera (Tipulidae), dan Trichoptera (Limnephilidae)
Collector (filter feeder dan Ephemeroptera
(Heptageniidae,
Baetidae,
deposit feeder pada subsrat)
Siphlonuridae
dan

Caenidae),
Trichoptera
(Hydropsychidae),
Diptera
(Simuliidae)
dan
Chironomidae) dan Oligochaeta
Predator (Karnivora)
Plecoptera (Perlidae), Megaloptera (Corydalidae dan
Sialidae), Odonata (Corduligasteridae, Petalaridae,
Gomphidae, dan Agrionidae)

Gaufin (1958) dalam Wilhm (1975), mengelompokkan makrozoobenthos
berdasarkan kelompok kepekaannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Universitas Sumatera Utara

Tabel

2.


Contoh spesies makrozoobenthos berdasarkan
kepekaannya (Gaufin, 1958 dalam Wilhm, 1975)

Kelompok Kepekaan
Intoleran

Fakultatif

Toleran

kelompok

Jenis Makrozoobenthos
Ephemera simulans (lalat sehari), Acroneuria evoluta (lalat
batu), Chimarra obscura, Mesovelia sp (kepik), Helichus
lihophilus (kumbang), Anopheles puntipennis (nyamuk)
Stenonema heterotarsale (lalat sehari), Taeniopteryx maura
(lalat batu), Hydropsyche bronta (larva ulat berkantung),
Agrion maculatum (capung jarum), Corydalis cornutus

(lalat), Agabus stagninus (kumbang), Chironomus decorus
(sejenis nyamuk), Helodrillus chlorotica (cacing oligochaeta)
Chironomus riparium (sejenis nyamuk), Limnodrillus sp dan
Tubifex sp. (cacing oligochaeta)

Jumlah spesies intoleran, fakultatif dan toleran dapat digunakan untuk
menunjukkan pola atau keadaan daerah aliran suatu perairan (Wilhm, 1975).
Gambaran kondisi perairan berdasarkan keberadaan organisme kelompok
intoleran, fakultatif, dan toleran dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Struktur komunitas makrozoobenthos dalam kondisi perairan
tertentu (Wilhm, 1975).
Kondisi Perairan
Bersih

Tercemar sedang

Tercemar

Tercemar berat


Struktur komunitas
Komunitas makrozoobenthos yang seimbang dengan beberapa
spesies intoleran hidup dengan diselingi populasi fakultatif,
tidak ada satu spesies yang mendominasi
Penghilangan atau pengurangan sejumlah spesies intoleran dan
beberapa kelompok fakultatif, serta satu atau dua spesies toleran
mulai mendominasi
Komunitas makrozoobenthos dengan jumlah yang terbatas yang
diikuti oleh penghilangan dari kelompok intoleran dan fakultatif.
Kelompok toleran mulai berlimpah merupakan tanda perairan
tercemar bahan organik
Penghilangan hampir seluruh hewan makroinvertebrata,
kemudian diganti oleh cacing oligochaeta dan organisme yang
mampu bernapas ke udara.

2.2.2 Peranan Makrozoobenthos di Perairan

Makrozoobenthos sebagai organisme yang hidup di dasar perairan dapat
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya.

Komposisi maupun kepadatan makrozoobenthos bergantung pada toleransi
ataupun sensivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas

Universitas Sumatera Utara

memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian
diri pada struktur komunitas. Komposisi dan kepadatan makrozoobenthos relatif
tetap, terdapat di dalam lingkungan yang relatif stabil (Adriana, 2008).

Makrozoobenthos memiliki peranan penting dalam proses mineralisasi dan
pendaur-ulangan bahan organik, sebagai salah satu sumber makanan bagi
organisme konsumen yang lebih tinggi, dan menjaga stabilitas dan geofisika
sedimen (Thompson & Lowe, 2004). Setiawan (2009), menjelaskan bahwa
makrozoobenthos yang mengalami penurunan komposisi, kelimpahan dan
keanekaragaman dapat digunakan sebagai indikator adanya gangguan ekologi
yang terjadi pada sungai. Keberadaan biota bentik tentunya sangat dipengaruhi
oleh faktor perairan terutama fisika, kimia dan biologi. Faktor-faktor tersebut akan
mempengaruhi sebaran dan kepadatan. Keberadaan makrozoobenthos juga sangat
dipengaruhi


oleh

waktu,

sebab

berkaitan

dengan

siklus

hidupnya

(Wardhana, 2006).

Organisme makrozoobenthos sering digunakan dalam menentukan
kesehatan lingkungan perairan, sebab organisme tersebut relatif bersifat sedenter,
mempuyai masa hidup yang panjang dan setiap jenisnya menunjukkan perbedaan
toleransi terhadap stress (Dauer, 1984). Smith et al., (2001), menjelaskan bahwa
keterbatasan mobilitas untuk menghindari kondisi yang kurang menguntungkan
mengakibatkan benthos sering terekspos pada kontaminan yang terakumulasi
dalam sedimen dan konsentrasi oksigen yang rendah dalam perairan bentik,
sehingga komunitas bentik dapat menggambarkan kondisi lokal. Perubahan
kondisi lingkungan dapat tergambar atau terekam lewat perubahan struktur
makrozoobenthos, apabila terjadi perubahan kondisi di dalam air, maka akan
mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos secara bertahap tergantung daripada
daya adaptasinya atau toleransinya terhadap bahan polusi (Lumingas et al., 2011).

Menurut Hordkinson & Jackson (2005) dalam Setiawan (2009), kriteria
umum untuk menetapkan suatu organisme sebagai indikator adalah:

Universitas Sumatera Utara

a. Takson yang tinggi atau lebih tinggi, dipilih takson yang telah diketahui secara
detail dan taksonominya jelas dan mudah diidentifikasi;
b. Biologi organisme tersebut diketahui dengan baik memiliki respon yang baik
terhadap faktor tekanan atau perubahan sifat habitat;
c. Organisme tersebut tersedia secara melimpah, mudah di survei dan
dimanipulasi;
d. Terdistribusi dalam ruang dan waktu;
e. Berkorelasi kuat dengan komunitas keseluruhan atau tidak berkorelasi kuat
dengan faktor tekanan.

2.3 Faktor Fisik Kimia Perairan

Faktor fisik kimia perairan sangat mempengaruhi keberadaan dan
kelimpahan makrozoobenthos disuatu perairan. Faktor fisik kimia tersebut antara
lain:

2.3.1 Suhu

Suhu merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan air atau benthos.
Suhu yang layak untuk kehidupan organisme air tawar berkisar 20-30oC. Welch
(1952), menyatakan bahwa pada suhu antara 35-40oC merupakan lethal
temperature bagi makrozoobenthos, artinya pada suhu tersebut organisme benthos
telah mencapai titik kritis yang menyebabkan kematian, sebab suhu sangat
berpengaruh dalam mengatur terjadinya proses fisik kimia yang terjadi di
perairan. Suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen yang pada
akhirnya

mempengaruhi

metabolisme

yang

terjadi

di

dalam

tubuh

makroinvertebrata bentik, seperti proses respirasi, pertumbuhan dan reproduksi.

Nybakken (1992) dalam Amin et al., (2011), menyatakan bahwa suhu air
sangat menentukan aktivitas biologis yang terdapat di dalam air dan keaktifannya.

Universitas Sumatera Utara

Suhu berpengaruh terhadap reaksi kimia dan kelarutan gas-gas dalam perairan.
Barus (2004), menjelaskan bahwa pola suhu ekosistem air dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antar air
dengan udara disekelilingnya, ketinggian geografis dan juga faktor kanopi dari
pepohonan yang tumbuh di tepi dan beberapa diakibatkan oleh faktor antropogen
seperti limbah panas yang berasal dari pabrik, penggundulan DAS yang
menyebabkan hilangnya perlindungan, sehingga badan air terkena cahaya
langsung.

2.3.2 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya atau kecerahan air dapat berpengaruh secara langsung maupun
tidak langsung terhadap keberadaan makrozoobenthos. Penetrasi cahaya adalah
ukuran batas transpirasi perairan yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk. Penetrasi cahaya akan menentukan kecerahan badan
air. Kecerahan yang tinggi merupakan syarat untuk berlangsungnya proses
fotosintesis oleh fitoplankton dengan baik. Nilai penetrasi cahaya sangat
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan
plankton di suatu perairan (Barus, 2004).

Siahaan et al., (2011), menjelaskan bahwa kecerahan air sungai semakin
ke hilir semakin rendah. Kecerahan air sungai dipengaruhi oleh banyaknya materi
tersuspensi yang ada di dalam air sungai, materi ini akan mengurangi masuknya
sinar matahari ke air sungai, semakin ke hilir, semakin banyak materi yang ada di
dalam air sungai yang semakin menurunkan kecerahan air sungai berakibat pada
penurunan kecerahan air sungai.

2.3.3 Kedalaman

Kedalaman akan mempengaruhi pertumbuhan dan kelimpahan fauna
benthos yang hidup didalamnya. Kedalaman suatu perairan akan membatasi

Universitas Sumatera Utara

kelarutan oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1992). Interaksi
antar faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman perairan akan mempengaruhi
penetrasi cahaya yang masuk ke dalam badan perairan, sehingga berpengaruh
langsung terhadap kecerahan yang selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan
fauna makrozoobenthos (Odum, 1993).

2.3.4 Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid-TSS)

Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi yang berdiameter 1
µ m yang masuk ke dalam sungai. Apabila jumlah dan ukuran partikel yang
tersuspensi cukup besar dan aliran tidak terlalu deras, maka partikel-partikel akan
mengendap ke dasar perairan. Sedimentasi yang terjadi akan melapisi substrat
tempat makroinvertebrata, sehingga keanekaragaman dan kelimpahannya akan
menurun (Hawkes, 1979). Padatan tersuspensi terdiri dari lumpur dan pasir halus
serta jasad renik yang terutama disebabkan oleh erosi tanah yang terbawa ke
badan air. Oleh karena itu, populasi invertebrata pada kondisi buruk bahan
tersuspensi memberikan pengaruh langsung terhadap invertebrata filter feeder
seperti Hydropsyche dan Simulium (Adriana, 2008).

2.3.5 Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen = DO)

Dissolved Oxygen (DO) atau kelarutan oksigen merupakan oksigen yang terlarut
di dalam air. Kelarutan oksigen adalah faktor yang sangat penting dalam
kehidupan organisme dan merupakan kebutuhan dasar bagi hewan dan tanaman di
dalam air. Organisme perairan tidak dapat bertahan hidup jika tanpa adanya
oksigen terlarut dalam tingkat konsentrasi tertentu. Barus (2004), menyatakan
bahwa kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang sangat penting sekali
bagi makrozoobenthos untuk menunjang proses respirasi.

Kelarutan oksigen berasal dari fotosintesis plankton, ataupun berasal dari
tanaman air yang ada di sekitar perairan serta dari difusi udara (APHA, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Mahida (2001), menyatakan bahwa kelarutan oksigen di dalam air bergantung
pada suhu, pergolakan di permukaan air, luasnya daerah permukaan air yang
terbuka bagi atmosfer, tekanan atmosfer dan persentase oksigen di udara
sekelilingnya.

2.3.6 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau pH menggambarkan kondisi asam dan basa suatu larutan
yang berpengaruh langsung terhadap organisme makrozoobenthos di perairan, dan
juga berpengaruh secara tidak langsung melalui daya racun dari bahan pencemar
(Hawkes, 1979). Kadar pH perairan akan memberikan dampak langsung terhadap
keanekaragaman dan distribusi organisme (Novotny & Olem, 1994).

Jenis-jenis organisme mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap
nilai pH. Biota air pada umumnya dapat hidup pada kisaran pH 5-9 (Pescod,
1973). Hawkes (1979), menjelaskan bahwa makrozoobenthos mempunyai
kenyamanan pH yang berbeda-beda, sebagai contoh, Gastropoda lebih banyak
ditemukan pada perairan dengan pH di atas 7, dan kelompok insekta (Coleoptera
dan Diptera) banyak ditemukan pada kisaran pH 4,5-8,5. Kelompok Plecoptera
dan Tricoptera toleran terhadap nilai pH tinggi dan kelompok Hemiptera lebih
toleran terhadap nilai pH tinggi dan rendah. Kondisi perairan yang bersifat sangat
asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme
karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi
(Barus, 2004).

2.3.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologis merupakan
gambaran kadar bahan organik yaitu sejumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik (Fardiaz, 1992). Nilai BOD
dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme

Universitas Sumatera Utara

dalam proses penguraian senyawa organik, biasanya pada suhu 20oC. Pengukuran
BOD yang umumnya dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD 5 ), karena
dari hasil penelitian bahwa pengukuran dilakukan selama lima hari dan jumlah
senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai 70% (Barus, 2004).

Effendi (2003), menjelaskan bahwa BOD berpengaruh terhadap kondisi
zooplankton pada perairan, hal ini dimungkinkan karena adanya bahan organik
yang diuraikan oleh mikroba aerob yang memerlukan oksigen sebagai makanan
alami zooplankton dan makrozoobenthos. Nilai BOD akan semakin tinggi jika
semakin banyak bahan organik yang terdapat di dalam perairan, sebab oksigen
yang dibutuhkan dalam menguraikan senyawa organik juga akan semakin tinggi.

2.3.8 Kandungan Organik Substrat

Kandungan organik substrat dasar sangat penting bagi organisme yang hidup di
zona dasar seperti benthos, baik pada air diam maupun pada air yang mengalir.
Bahan-bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber
makanan bagi hewan benthos. Bahan organik biasanya berasal dari dekomposisi
organisme yang masuk ke sungai (Setiawan, 2009). Komposisi substrat di sungai
bervariasi baik secara temporal atau spasial, hal ini berhubungan dengan
kecepatan arus. Komposisi substrat dalam perairan antara lain seperti asam
organik, hidrokarbon, vitamin, dan hormon, akan tetapi hanya 10% dari material
organik substrat tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan
(Sinaga, 2009).

Menurut Effendi (2003), tipe substrat menentukan jumlah dari jenis
makroinvertebrata karena selain menjadi habitat yang sesuai bagi organisme untuk
berkolonisasi, juga sebagai tempat ketersediaan bahan makanan. Odum (1993),
menyatakan bahwa habitat yang berbeda seperti lumpur, pasir, batu kerikil atau
material organik mendukung perbedaan kepadatan makrozoobenthos dalam suatu
ekosistem. Pada umumnya tipe substrat pada perairan mengalir adalah lumpur

Universitas Sumatera Utara

halus, pasir, dan kerikil. Koesoebiono (1979), menjelaskan substrat dasar perairan
yang berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang
baik untuk hewan benthos.

2.3.9 Logam Berat

Logam berat adalah unsur logam dengan berat molekul yang tinggi. Logam berat
dalam konsentrasi yang rendah akan memiliki fungsi sebagai mikronutrien bagi
biota akuatik, dan akan menjadi racun apabila konsentrasinya terlalu tinggi.

Laws (1981), menggolongkan logam berat berdasarkan kegunaannya,
yaitu:
1. Golongan yang dalam konsentrasi tertentu, berfungsi sebagai mikronutrien
yang bermanfaat bagi kehidupan organisme perairan, seperti Zn, Fe, Cu, Co.
2. Golongan yang sekali belum diketahui manfaatnya bagi organisme perairan,
seperti Hg, Cd, dan Pb.

Logam berat terlarut dapat dengan mudah terabsobsi pada jaringan
eksoskeleton dari serangga atau hewan bentik lainnya yang sering mengadakan
kontak langsung dengan sedimen. Pengaruh negatif yang ditimbulkan pemaparan
logam pada organisme bentuk makroinvertebrata bentik berupa gangguan pada
laju feeding, respirasi, penggunaan protein, proses reproduksi, embriogenesis,
perkembangan larva, abnormalitas morfologi, perilaku, pengaturan ion/osmotik,
dan fungsi organ tubuh lainnya yang semuanya berpengaruh pada tingkat
kelangsungan hidup organisme bentik yang bersangkutan (Luoma & Carter,
1991). Logam berat dalam air mudah terserap dan tertimbun dalam fitoplankton
yang merupakan titik awal dari rantai makanan, selanjutnya melalui rantai
makanan sampai ke organisme lainnya (Fardiaz, 1992).

Kontaminasi logam berat dapat secara alamiah berasal dari pengikisan
batu mineral yang banyak bersumber dari perairan, partikel-partikel yang ada di

Universitas Sumatera Utara

udara yang masuk ke dalam badan air dikarenakan terbawa oleh air hujan. Adapun
logam yang berasal dari aktivitas manusia berasal dari limbah industri dan limbah
rumah tangga. Logam berat yang masuk ke dalam perairan melalui pengendapan,
pengenceran dan dispersi dan akan terakumulasi ke dalam sedimen (Bhosale &
Sahu, 1991). Heryanto (2011), menjelaskan bahwa limbah yang berasal dari
industri maupun rumah tangga yang melibatkan unsur-unsur logam seperti Timbal
(Pb), Kadmium (Cd), Merkuri (Hg), dan Cuprum (Cu) merupakan limbah yang
tidak dapat atau sulit didegradasi oleh mikroorganisme, sehingga akan terjadi
akumulasi.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Studi Komparasi Jenis Makanan Ikan Keperas (Puntius binotatus) Di Sungai Aek Pahu Tombak, Aek Pahu Hutamosu Dan Sungai Parbotikan Kecamatan Batang Toru Tapanuli Selatan

3 123 81

Keanekaragaman Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Air Sungai Batang Toru

4 65 86

Peranan Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Air Di Sungai Aek Pahu Hutamosu, Aek Pahu Tombak Dan Batang Toru

0 0 17

Peranan Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Air Di Sungai Aek Pahu Hutamosu, Aek Pahu Tombak Dan Batang Toru

0 0 2

Peranan Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Air Di Sungai Aek Pahu Hutamosu, Aek Pahu Tombak Dan Batang Toru

0 0 4

Peranan Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Air Di Sungai Aek Pahu Hutamosu, Aek Pahu Tombak Dan Batang Toru

0 1 6

Peranan Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Air Di Sungai Aek Pahu Hutamosu, Aek Pahu Tombak Dan Batang Toru

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Análisis Kandungan Logam Berat Pada Beberapa Jenis Ikan yang Terdapat Di Sungai Batang Toru, Aek Pahu Tombak dan Aek Pahu Hutamosu Kab. Tapanuli Selatan.

0 0 13

Análisis Kandungan Logam Berat Pada Beberapa Jenis Ikan yang Terdapat Di Sungai Batang Toru, Aek Pahu Tombak dan Aek Pahu Hutamosu Kab. Tapanuli Selatan.

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ikan Keperas (Puntius binotatus) - Studi Komparasi Jenis Makanan Ikan Keperas (Puntius binotatus) Di Sungai Aek Pahu Tombak, Aek Pahu Hutamosu Dan Sungai Parbotikan Kecamatan Batang Toru Tapanuli Selatan

0 2 12