Pengaruh Edible Coating Berbasis Pati Kulit Ubi Kayu Terhadap Kualitas dan Umur Simpan Buah Jambu Biji Merah Pada Suhu Kamar

TINJAUAN PUSTAKA

Jambu Biji Merah
Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu dan bukan
merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di
Amerika Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke
beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet antara
tahun 1887 – 1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu biji menyebar di
beberapa negara seperti Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan
Australia. (Parimin, 2005).
Jambu biji termasuk buah-buahan yang bernilai komoditas tinggi dan salah
satu buah yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam bahasa inggris
disebut Lambo guava. Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava.
Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu “psidium” yang berarti delima,
“guajava” berasal dari nama yang diberikan oleh orang Spanyol. Jambu
biji (Psidium guajava) atau sering juga disebut jambu batu, jambu siki dan jambu
klutuk adalah tanaman tropis yang berasal dari Amerika Tengah dan sebagian
sumber menyebut dari Brazil, buah ini disebarkan ke Indonesia melalui Thailand.
Jambu biji memiliki buah yang berwarna hijau (agak kekuningan jika telah
matang) dengan daging buah berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis.
Di antara berbagai jenis buah, jambu biji mengandung vitamin C yang paling

tinggi dan cukup mengandung vitamin A. Tanaman ini mampu menghasilkan
buah sepanjang tahun dan tahan terhadap beberapa hama dan penyakit (Dasuki,
1992).

6
Universitas Sumatera Utara

7

Dalam

dunia

tumbuh-tumbuhan,

tanaman

jambu

biji


merah

diklasifikasikan sebagai berikut (Dasuki, 1992) :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Class

: Magnoliopsida

Sub class

: Rosidae


Ordo

: Myrtales

Famili

: Myrtaceae

Genus

: Psidium

Spesies

: Psidium guajava L.

Jambu biji merah merupakan buah klimaterik. Ciri buah klimaterik adalah
adanya peningkatan respirasi yang tinggi dan mendadak (respiration burst) yang
menyerupai atau mendahului pemasakan, melalui peningkatan CO2 dan etilen.
Masa simpan buah klimaterik yang pendek menjadikan kerusakan pascapanen

yang cepat (Widodo, 2009).
Jambu biji merah banyak mengandung kandungan gizi penting seperti
vitamin C, A dan riboflavin. Protein, serat, serta mineral juga banyak terkandung
dalam buah tersebut. Jambu biji merah dapat dikonsumsi segar ataupun diolah
menjadi jus, pulps, selai, jelly, atau manisan buah kering (Cabral, dkk., 2007).
Daging buah jambu biji merah berwarna merah hingga merah muda
dengan rasa yang lebih manis dan segar dibandingkan jambu biji putih.
Kandungan vitamin C buah jambu biji merah dua kali lebih banyak daripada jeruk
manis. Vitamin C sangat baik sebagai zat antioksidan. Kandungan vitamin C pada
jambu biji merah yaitu 87,00 mg/100 g, vitamin A sebesar 400 mg/100g. Selain

Universitas Sumatera Utara

8

itu, jambu biji merah juga merupakan buah yang memiliki kandungan serat yang
tinggi, yaitu 5,60 mg/100 g (Wirakusumah, 1998). Kandungan gizi dalam 100
gram buah jambu biji merah adalah seperti yang tampak pada Tabel 1.
Tabel 1.Kandungan gizi buah jambu biji merah per 100 gram
Jenis zat gizi

Banyaknya kandungan gizi
Energi (kal)
49,00
Protein (g)
0,90
Lemak (g)
0,30
Karbohidrat (g)
12,20
Kalsium (mg)
14,00
Fosfor (mg)
28,00
Serat (g)
5,60
Besi (mg)
1,10
Vitamin A (RE)
4,00
Vitamin C (mg)

87,00
Vitamin B1 (mg)
0,05
Vitamin B2 (mg)
0,04
Vitamin B3(mg)
1,10
Sumber : Wirakusumah (1998).
Perubahan Fisika dan Kimia Buah Selama Pematangan
Secara umum buah masak mengalami perubahan fisika dan kimia setelah
panen. Sebagian besar perubahan fisika dan kimia yang terjadi berhubungan
dengan metabolisme oksidatif, termasuk di dalamnya proses respirasi. Keadaan ini
menentukan mutu buah yang akan dibeli oleh konsumen. Pemasakan adalah hasil
dari perubahan yang kompleks, kebanyakan dari perubahan tersebut mungkin
terjadi sendiri-sendiri bebas satu sama lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi
pada waktu pemasakan buah adalah pematangan biji, perubahan kecepatan
respirasi, perubahan kecepatan produksi etilen, perubahan permeabilitas jaringan
(tekstur atau kekerasan luar), perubahan komposisi senyawa pektin, karbohidrat,

Universitas Sumatera Utara


9

asam organik, vitamin C, produksi cita rasa dan perkembangan lilin pada kulit
(Zulfebriadi, 1988).
Perubahan kekerasan
Kekerasan buah setelah dipanen dan disimpan akan mengalami penurunan,
baik kulit maupun dagingnya. Pemecahan polimer karbohidrat, khususnya
senyawa pektin dan hemiselulosa, menyebabkan dinding sel dan daya ikat kohesif
menjadi lemas sehingga kekerasan akan semakin berkurang (Wills, dkk.,1981).
Tekstur buah bergantung pada ketegangan, ukuran, bentuk, keterikatan selsel, adanya jaringan penunjang, dan susunan tanamannya. Selain itu, tekstur buah
sangat bervariasi dan tergantung pada tebalnya kulit luar, kandungan total zat
padat, dan kandungan pati. Selama penyimpanan, turunnya ketegangan
disebabkan oleh pembongkaran protopektin yang tak larut menjadi asam pektat
dan pektin yang lebih mudah larut dalam air (Pantastico, 1986).
Menurut Apandi (1984) perubahan tekstur yang terjadi pada buah yaitu
dari keras menjadi lunak sebagai akibat terjadinya proses kelayuan akibat respirasi
dan transpirasi. Proses kalayuan ini merupakan masa senescence atau penuaan
yang disusul dengan kerusakan buah. Adanya proses respirasi dan transpirasi
menyebabkan buah dan sayur kehilangan air akibat berkurangnya karbon dalam

proses respirasi.
Perubahan total gula
Total gula pada buah-buahan selalu meningkat karena terjadinya degradasi
dari karbohidrat dan menurun pada hari tertentu karena gula digunakan untuk
proses respirasi akan diubah menjadi senyawa lain. Total gula tersebut selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

10

digunakan untuk melakukan aktifitas seluruh sisa hidup dari buah tersebut
(Winarno dan Aman, 1981).
Menurut Rachmawati (2010), degradasi pati menjadi gula sederhana
menyebabkan terjadinya peningkatan total gula dan selanjutnya terjadi penurunan
total gula disebabkan sebagian gula digunakan dalam proses respirasi atau diubah
dalam senyawa lain.
Perubahan asam organik
Umumnya yang menyebabkan asam organik pada buah menurun selama
pematangan dikarenakan sebagian asam organik tersebut digunakan untuk
mendukung proses respirasi atau dalam aktifitas metabolik, serta sebagai sumber

energi (Wills, dkk., 1981).
Selama pematangan biasanya asam-asam organik pada buah menurun
karena menjadi substrat respirasi atau dikonversi menjadi gula untuk aktivitas
metabolik buah. Asam dapat dianggap sebagai sumber energi cadangan pada
buah. Pengecualian untuk buah pisang dan nenas, pada tahap matang penuh
kandungan asamnya tetap tinggi (Hartanto, 2002).
Perubahan vitamin C
Asam askorbat atau vitamin C dalam jaringan disintesis dari heksosa.
Kandungan heksosa akan meningkat selama masa penyimpanan, akibatnya asam
askorbat akan mengalami peningkatan pula (Suharto, 1991). Penurunan kadar
vitamin C dalam buah diakibatkan terjadinya proses oksidasi spontan baik oleh
suhu, cahaya maupun udara sekitar yang menyebabkan vitamin C terdegradasi
sehingga terjadi penurunan jumlah vitamin C di dalam buah. Mekanisme oksidasi
spontan terjadi sebagai berikut : monoanion asam askorbat merupakan sasaran

Universitas Sumatera Utara

11

penyerangan oksidasi oleh molekul oksigen menghasilkan radikal anion askorbat

dan H2O yang diikuti pembentukan dehidro asam askorbat dan hidrogen
peroksida. Dehidro asam askorbat (asam L-dehidroaskorbat) merupakan bentuk
oksidasi dari asam L-askorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin
C. Namun asam L-dihidroaskorbat bersifat sangat labil dan mengalami perubahan
menjadi 2,3-L-diketogulonat (DKG). DKG yang terbentuk sudah tidak
mempunyai keaktifan vitamin C lagi sehingga jika DKG tersebut sudah terbentuk
maka akan mengurangi bahkan menghilangkan vitamin C yang ada dalam produk
(Andarwulan dan Sutrisno, 1992).
Kulit Ubi Kayu
Menurut sejarahnya tanaman ubi kayu yang ada di Indonesia tidak
diketahui secara pasti, tetapi pada tahun 1852 Kebun Raya Bogor mendatangkan
bibit ubi kayu dari Suriname. Setelah itu bibit-bibit tersebut diperbanyak, dan
pada tahun 1854 dikirim ke semua keresidenan di seluruh pulau Jawa. Akibat
berkobarnya Perang Dunia I dan macetnya impor beras, penanaman ubi kayu
diperluas dengan cepat, karena dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya
kekurangan bahan pangan (Sosrosoedirjo, 1992). Berikut di bawah ini merupakan
klasifikasi dari tanaman ubi kayu (Steenis, 2005) :
Division

: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)


Sub Diviso: Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis

: Dicotyledoneae

Ordo

: Euphorbiales

Familia

: Euphorbiacee

Genus

: Manihot

Universitas Sumatera Utara

12

Spesies

: Manihot utilissima Pohl., Manihot esculenta Crantz sin.

Ubi kayu (Manihot utilssima Pohl.) merupakan tanaman pangan berupa
perdu dengan nama lain ketela pohon, ubi kayu, atau kasape. Ubi kayu berasal
dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brasil. Penyebarannya hampir ke
seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, dan Tiongkok. Ubi kayu
diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1852 (Hambali, dkk., 2007).
Kulit umbi kayu yang diperoleh dari produk tanaman ubi kayu (Manihot
esculenta Cranz atau Manihot utilissma Pohl) merupakan limbah utama pangan di
negara-negara berkembang. Semakin luas areal tanaman ubi kayu diharapkan
produksi umbi yang dihasilkan semakin tinggi yang pada gilirannya semakin
tinggi pula limbah kulit yang dihasilkan. Setiap kilogram ubi kayu biasanya dapat
menghasilkan 15-20% kulit umbi. Kandungan pati kulit ubi kayu yang cukup
tinggi, memungkinkan digunakan sebagai sumber energi bagi mikroorganisme
(Muhiddin, dkk., 2000). Kulit ubi kayu mempunyai komposisi yang terdiri dari
karbohidrat dan serat. Menurut Grace (1977), persentase kulit ubi kayu yang
dihasilkan berkisar antara 8-15% dari berat umbi yang dikupas, dengan
kandungan karbohidrat sekitar 50% dari berat kulit. Berikut di bawah ini gambar
ubi kayu beserta struktur bagiannya (Gambar 1).

Universitas Sumatera Utara

13

Gambar 1. Ubi kayu dan struktur bagiannya
Menurut data BPS (2015) produktivitas ubi kayu di Indonesia pada tahun
2014 sebesar 23.436.384 ton, dan diramalkan produksi pada tahun 2015 sebesar
23.969.869 ton. Limbah kulit ubi kayu yang dihasilkan adalah sebesar 16% dari
bobot tersebut (Hidayat, 2009). Ubi kayu dipanen pada umur 6-8 bulan untuk
varietas Genjah dan 9-12 bulan untuk varietas Dalam (Prihatman, 2000). Kulit ubi
kayu merupakan limbah berupa kupasan hasil pengolahan gaplek, tapioka, tape,
dan panganan berbahan dasar ubi kayu lainnya. Potensi kulit ubi kayu di
Indonesia sangat melimpah, seiring dengan eksistensi negara ini sebagai salah satu
penghasil ubi kayu terbesar di dunia dan terus mengalami peningkatan produksi
setiap tahunnya. Berikut disajikan kandungan yang terdapat pada kulit ubi kayu
pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kandungan kulit ubi kayu per 100 gram
Komposisi
Kulit ubi kayu
Kalori (kkal)
157
Protein (g)
8,11
Lemak (g)
1,29
Karbohidrat (g)
74,73
Serat kasar (mg)
15,20
Air (g)
17,00
Sumber : Rukmana (1997).

Universitas Sumatera Utara

14

Kulit ubi kayu juga mengandung kadar asam biru atau asam sianida
(HCN). Kandungan asam sianida dalam kulit ubi kayu dapat dikurangi melalui
beberapa perlakuan tertentu agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Dilaporkan
oleh Cuzin dan Labat (1992) bahwa total kandungan asam sianida pada kulit ubi
kayu berkisar antara 150 sampai 360 mg HCN per kg berat segar. Namun
kandungan asam sianida ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh varietas
tanaman singkong (De Bruijn, 1973). Richana (2012) mengatakan bahwa asam
sianida mudah hilang selama diproses seperti dalam perendaman, pengeringan,
perebusan, dan fermentasi.
Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik dan
disusun oleh unit D-glukopiranosa, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama
pada biji-bijian dan umbi-umbian. Pati ini sendiri tidak memiliki sifat yang sama
antara satu dengan yang lainnya tergantung dari panjang rantai karbonnya, lurus
atau bercabang (Jane, 1995; Koswara, 2006; Winarno, 2008). Bentuk pati ini
sendiri berupa butiran-butiran kecil yang biasa disebut sebagai granula pati.
Bentuk dari granula pun bermacam-macam tergantung jenis pati. Pati tersusun
dari tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan bahan lain seperti,
protein dan lemak.

Umumnya pati mengandung 15–30% amilosa, 70–85%

amilopektin dan 5–10% bahan antara. Struktur dan jenis bahan antara tiap sumber
pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Amilosa
merupakan fraksi yang larut dalam air (suhu ruang) sedangkan amilopektin tidak
larut. Amilosa memiliki struktrur lurus yang dominan dengan ikatan α-(1,4)-Dglukosa, sedangkan amilopektin tersusun dari struktur lurus α-(1,4)-D-glukosa dan

Universitas Sumatera Utara

15
mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa (Greenwood dan Munro,
1979; Winarno 2008).
Pati alami umumnya memiliki jumlah amilopektin yang lebih banyak
dibandingkan amilosa, karena itu molekul pati tidak mudah larut air dingin.
Amilosa memiliki sifat sangat hidrofilik karena banyak mengandung gugus
hidroksil dibandingkan dengan amilopektin. Molekul amilosa cenderung
membentuk susunan paralel melalui ikatan hidrogen. Kumpulan amilosa dalam air
(air panas) sulit membentuk gel, meski konsentrasinya tinggi. Berbeda dengan
amilopektin yang strukturnya bercabang, pati akan mudah mengembang dan
membentuk koloid dalam air panas (Winarno, dkk., 1980).
Edible Coating
Menurut Gennadios, dkk. (1990), edible coating merupakan lapisan tipis
yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Metode untuk aplikasi coating pada
buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode pencelupan (dipping),
pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi
penetesan terkontrol. Metode pencelupan (dipping) merupakan metode yang
paling banyak digunakan terutama pada sayuran, buah daging dan ikan, di mana
produk dicelupkan ke dalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating.
Edible coating dapat membentuk suatu pelindung pada bahan pangan
karena berperan sebagai barrier yang menjaga kelembapan, bersifat permeable
terhadap gas-gas tertentu, dan dapat mengontrol migrasi komponen-komponen
larut air yang dapat menyebabkan perubahan komposisi nutrisi. Edible coating
digunakan pada buah-buahan dan sayuran untuk mengurangi terjadinya
kehilangan kelembapan, memperbaiki penampilan, sebagai barrier untuk

Universitas Sumatera Utara

16

pertukaran gas dari produk ke lingkungan atau sebaliknya, serta sebagai antifungal
dan antimikroba (Krochta, dkk., 1994).
Komponen utama penyusun edible coating terdiri atas tiga kategori, yaitu
hidrokoloid, lipid, dan komposit (campuran). Hidrokoloid yang dapat digunakan
sebagai penyusun edible coating adalah protein (gelatin, kasein, protein kedelai,
protein jagung, dan gluten gandum) dan polisakarida (pati, alginat, pektin, gum
arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya). Sedangkan lipid yang dapat digunakan
sebagai bahan penyusun edible coating adalah lilin, bees wax, gliserol, dan asam
lemak. Sering juga ditambahkan bahan baku seperti antimikroba, antioksidan,
flavor, pewarna, dan plasticizer dalam pembuatan coating (Kroctha, dkk., 1994).
Edible coating yang terbuat dari hidrokoloid memiliki beberapa kelebihan
di antaranya baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida,
lipid, serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan
struktural produk. Kekurangannya adalah coating dari polisakarida kurang baik
digunakan untuk mengatur migrasi uap air, sedangkan coating dari protein
biasanya sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. Edible coating yang dibuat dari
lipid memiliki beberapa kelebihan, di antaranya baik digunakan untuk melindungi
produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk
konfeksionari. Kekurangannya adalah kegunaannya dalam bentuk murni sebagai
coating terbatas, karena cukup banyak kekurangan integritas dan ketahanannya
(Donhowe dan Fennema,1993, diacu dalam Krochta, dkk.,1994).
Beberapa keuntungan yang diperoleh apabila produk dikemas dengan
edible coating yaitu: (1) menurunkan aw permukaan bahan sehingga kerusakan
oleh mikroorganisme dapat dihindari; (2) memperbaiki struktur permukaan bahan

Universitas Sumatera Utara

17

sehingga permukaan menjadi mengkilat; (3) mengurangi terjadinya dihidrasi
sehingga susut bobot dapat dicegah ; (4) mengurangi kontak oksigen dengan
bahan sehingga oksidasi dapat dihindari (ketengikan dapat dihambat); (5) sifat asli
produk seperti flavor tidak mengalami perubahan; dan (6). memperbaiki
penampilan produk (Santoso, dkk., 2004).
Respirasi
Setelah pemanenan, buah dan sayuran masih melangsungkan kegiatan
metabolisme. Selama kegiatan terjadi degradasi komponen di dalam buah dan
sayur menjadi komponen yang lebih sederhana. Proses tersebut terus berlangsung
hingga akhirnya buah dan sayur menjadi layu dan busuk. Aktivitas metabolisme
adalah respirasi atau pernapasan, di mana terjadi penyerapan oksigen (O2) dan
pelepasan karbondioksida (CO2) melalui pemecahan komponen-komponen yang
terkandung di dalam buah dan sayur tersebut. Selain itu, terjadi juga transpirasi
(pelepasan uap air) melalui pori-pori permukaan buah dan sayur. Transpirasi yang
terus-menerus terjadi, pada akhirnya akan menyebabkan buah dan sayur menjadi
layu (Wulandari, 2006).
Apabila persediaan oksigen menipis maka buah-buahan cenderung untuk
melakukan fermentasi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Senyawa organik
yang biasa digunakan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah glukosa
yang akan menghasilkan beberapa bahan lain seperti aldehida, alkohol, atau asam.
Bila buah-buahan melakukan fermentasi, maka energi yang diperoleh lebih sedikit
per satuan substrat dibandingkan dengan cara pernapasan (respirasi). Oleh karena
itu, bila buah-buahan melakukan proses fermentasi untuk memenuhi kebutuhan
energi, diperlukan substrat (glukosa) dalam jumlah yang banyak sehingga dalam

Universitas Sumatera Utara

18

waktu yang singkat persediaan substrat akan habis dan akhirnya buah tersebut
akan mati dan busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).
Gliserol
Aplikasi edible coating polisakarida sering dikombinasikan dengan
beberapa pangan fungsional seperti resin, plasticizer, surfaktan, minyak, lilin
(waxes), dan emulsifier yang memiliki fungsi memberikan permukaan yang halus
dan mencegah kehilangan uap air (Kroctha, dkk., 1994). Menurut Banker (1966),
plasticizer merupakan substansi tidak mudah menguap (non volatile), memiliki
titik didih yang tinggi, dan bila ditambahkan ke dalam suatu materi dapat
mengubah sifat fisik atau sifat mekanik materi tersebut. Plasticizer dapat
mengurangi gaya intermolekul sepanjang rantai polimer, sehingga mengakibatkan
fleksibilitas edible film meningkat, dan mengakibatkan naiknya permeabilitas film
tersebut. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible coating untuk
mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan film terutama
jika disimpan pada suhu rendah (Kester dan Fennema,1989).
Salah satu plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible
coating adalah gliserol. Gliserol efektif sebagai plasticizer karena kemampuannya
mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekular sehingga dapat
melunakkan struktur film. Gliserol bersifat humektan, di mana bagian dari aksi
plasticizing berasal dari kemampuannya untuk menahan air pada edible coating
tersebut (Lieberman dan Gilbert, 1973). Berikut struktur kimia gliserol dapat
dilihat pada Gambar 2.

Universitas Sumatera Utara

19

Gambar 2. Struktur gliserol (Pixshark, 2015)

Carboxymethyl Cellulose (CMC)
Carboxymethyl cellulose (CMC) banyak digunakan sebagai bahan
penstabil pada berbagai jenis makanan. Jenis CMC yang banyak dipakai pada
industri makanan adalah garam Na carboxy methyl cellulose, atau disingkat CMC,
yang dalam bentuk murninya disebut gum selulosa. CMC dapat dibuat dengan
cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na
kloroasetat (Winarno, 1997). Struktur kimia CMC dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur CMC (Weikem, 2010)
CMC mempunyai sifat larut dalam air panas maupun dingin, tetapi tidak
dapat larut dalam pelarut organik. CMC masih dapat larut dalam campuran air dan
pelarut yang larut air seperti etanol dan aseton (Kroctha, dkk., 1994). Kekentalan
larutan CMC dipengaruhi oleh pH larutan karena adanya gugus karboksil. Adapun

Universitas Sumatera Utara

20

pH optimum CMC adalah 5 dan pada pH