MAKALAH SEJARAH LOKAL Program Studi Pend

MAKALAH SEJARAH LOKAL
Tradisi Kololi Kie di Pulau Ternate

Oleh :
NANING DIYAH FATMAWATI
(134284040)

Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Surabaya
2014

BAB I

Latar Belakang
Maluku Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia. Provinsi yang biasa disingkat sebagai
"Malut" ini terdiri dari beberapa pulau diKepulauan Maluku.
Ibukota terletak di Sofifi, Kecamatan Oba Utara, sejak 4 Agustus 2010 menggantikan kota
terbesarnya, Ternate yang berfungsi sebagai ibukota sementara selama 11 tahun untuk menunggu
kesiapan infrastruktur Sofifi
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang

paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari
kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatunegara, kebudayaan, waktu,
atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya
ini, suatu tradisi dapat punah.
Tradisi ini harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat agar tradisi itu tidak punah.
Seperti halnya tradisi kololi kie. Masyarakat ternate sangat menjaga tradisi ini. Karena tradisi ini
sudah dianggap sebagai cara mempertebal keimanan.
Kololi kie sendiri adalah tradisi ziarah para sufi dan mengelilingi pulau, karena makam
para sufi ini tersebar diseluruh penjuru pulau. Kita dapat mengelilingi pulau melalui jalur darat
dan jalur laut. Masyarakat ternate sangat antusias mengikuti acara ini. Beberapa tahun ini telah
diadakan festival kololi kie.
Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.

Bagaimana sejarah singkat tradisi kololi kie ?
Bagaimana keistimewaan tradisi kololi kie ?

Bagaimana makna filosofis tradisi kololi kie ?
Bagaimana tahapan-tahapan pelaksanaan tradisi kololi kie ?

Pembatasan masalah
Pada pembahasan kali ini penulis menggunakan batasan masalah. Batsan masalah yang penulis
gunakan adalah :
a.
b.
c.
d.

Sejarah singkat tradisi kololi kie
Keistimewaan tradisi kololi kie
Makna filosofis tradisi kololi kie
Tahapan pelaksanaan tradisi kololi kie

Tujuan
1.
2.
3.

4.

Untuk mengetahui sejarah singkat tradisi kololi kie
Untuk mengetahui keistimewaan tradisi kololi kie
Untuk mengetahui makna filosofis tradisi kololi kie
Untuk mengtahui pelaksanaan tradisi kololi kie

BAB II

A. Sejarah Singkat Tradisi Kololi Kie
Menurut sejarawan terkenal Leonard Andaya (dalam Reid, 1993: 28-29), bahwa
ancaman berupa bencana alam yang ditimbulkan oleh sebuah gunung berapi terkadang dapat
melahirkan satu tradisi yang khas. Beberapa kawasan di Asia Tenggara, termasuk di daerah
Maluku Utara, gunung terutama gunung berapi aktif dianggap sebagai representasi penguasa
alam. Oleh sebab itu, keberadaan gunung selalu dihormati dengan cara melakukan beberapa
ritual tertentu. Sebuah gunung dianggap mewakili sosok yang mengagumkan sekaligus
mengancam, sehingga diperlukan upacara penghormatan supaya keberadaannya menjamin
ketentraman, keamanan, dan keberadaan masyarakat di sekitarnya.
Menurut bahasa setempat, Kololi Kie memiliki arti “keliling gunung”. Jadi, upacara adat
ini merupakan ritual mengelilingi sebuah gunung di Pulau Ternate, yaitu Gunung Gamalama.

Gunung Gamalama merupakan gunung aktif dengan ketinggian 1.715 meter di atas permukaan
laut (dpl) yang menjadi ikon pulau penghasil cengkeh ini.
Upacara Adat Kololi Kie biasanya diadakan apabila terdapat gejala alam yang menandai
bakal meletusnya Gunung Gamalama, yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat Ternate.
Namun pada perkembangannya, selain untuk menghormati keberadaan Gunung Gamalama,
upacara adat ini juga menjadi ritual pihak kesultanan dalam menghormati leluhur-leluhur
mereka.
B. Keistimewaan Tradisi Kololi Kie
Upacara Adat Kololi Kie dimulai dari jembatan kesultanan (semacam pelabuhan) yang
dikenal dengan nama Jembatan Dodoku Ali. Sebelum rombongan sultan dan para pembesar
kerajaan menaiki perahu masing-masing, Imam Masjid Sultan Ternate yang bergelar Jou Kalem
akan membacakan doa keselamatan di jembatan ini. Usai berdoa, sultan diikuti para pembesar
kerajaan serta para pemimpin soa (kampung) menaiki perahu masing-masing. Perahu sultan dan
para pembesar kerajaan memiliki ukuran yang lebih besar dengan bentuk menyerupai naga dan
dihiasi kertas serta bendera kebesaraan kesultanan. Sementara perahu kecil-kecil dinaiki oleh
para kepala soa dan masyarakat umum.
Pelayaran perahu dimulai dengan mengelililingi perahu sultan sebanyak tiga kali. Setelah
itu, dipimpin oleh perahu naga yang ditumpangi sultan, iring-iringan tersebut mulai mengelilingi
Pulau Ternate melalui arah utara. Untuk meramaikan suasana, tiap perahu dilengkapi dengan
berbagai alat musik, seperti tifa, gong, dan fiol (alat musik gesek). Dalam perjalanan mengililingi

Gunung Gamalama, rombongan perahu akan berhenti di tiga tempat untuk melakukan tabur
bunga dan memanjatkan doa. Ritual ini merupakan bentuk penghormatan terhadap para leluhur
kesultanan.

Selain berhenti di tiga tempat, sultan juga akan dijamu dalam upacara Joko Kaha, yaitu
upacara penyambutan yang dilakukan oleh masyarakat adat di tepi Pantai Ake Rica. Setelah
perahu-perahu merapat di tepi pantai, sultan dan permaisuri akan turun untuk mencuci kaki, lalu
disambut secara adat oleh para tetua desa dan disuguhi berbagai hidangan lezat, seperti nasi
kuning, ayam bakar, serta ikan bakar. Upacara penyambutan rombongan ini diiringi oleh alunan
berbagai alat musik pukul dan gesek tradisional. Suguhan ini menggambarkan pengakuan
masyarakat Ternate terhadap kebesaran sultan dan kerajaannya.
C. Makna filosofis tradisi kololi kie
Secara etimologi, kata “Kololi Kie” berasal dari bahasa asli Ternate yakni gabungan dari
dua kata, yaitu ; yang berarti keliling atau mengintari dan kata “kie” yang berarti gunung, pulau,
darat atau juga berarti daratan. Jadi, pengertian kata Kololi Kie secara umum bermakna; kegiatan
mengitari atau mengililingi pulau/gunung. Ada istilah lain yang mempunyai arti serupa yang juga
populer di masyarakat Ternate terhadap kegiatan kololi kie ini, yaitu “Ron Gunung“.
Ritual kololi kie ini sudah dilakukan oleh masyarakat Ternate sejak ratusan tahun lalu.
Ritual adat ini merupakan salah satu dari dua ritual tertua yangdianggap satu paket, yakni ritual
“Fere Kie” yaitu kegiatan ritual naik ke puncak gunung Gamalama untuk berziarah. Tradisi ritual

adat kololi kie ini, jika dilihat dari sisi “route” yang dilalui, maka terdapat dua jalur yang bisa
dilalui, yaitu; melalui jalur laut dan melalui jalur darat.
Jika dilihat dari aspek “niat” atau “hajat” untuk melaksanakan ritual ini, maka ritual adat
kololi kie ini dibagi atas tiga kategori, yaitu ; niat atau hajat perorangan, hajatan kelompok, dan
hajatan besar dari pihak kesultanan.Pada ritual adat kololi kie kategori niat atau hajat perorangan
ini biasanya jarang dilakukan melalui laut, tapi kebanyakan melalui darat dengan menggunakan
kendaraan darat baik mobil atau motor. Ritual adat ini biasanya dilakukan oleh seseorang apabila
ia hendak merantau atau kembali ke kampung halaman setelah sekian lama merantau, atau juga
mereka yang hendak melakukan pernikahan, atau sembuh dari penyakit yang lama diseritanya.
Pada ritual adat kololi kie kategori niat atau hajatan kelompok kebanyakan dilakukan
melalui jalur laut (kololi kie toma ngolo). Maksudnya juga sama yaitu melaksanakan nazar yaitu
ungkapan rasa syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT sekaligus menziarahi
makam-makam dan jere para sufi. Ritual adat ini biasanya dilakukan apabila kerabat atau
keluarga batih ataupun kelompok yang hendak mendirikan rumah, hendak panen rempah-rempah
atau mereka yang selamat dari malapetakan, bencana atau wabah.
makna utama dari ritual adat kololi kie ini adalah aktivitas ritual untuk menziarahi
makam dan keramat para auliyah, mubaligh, dan beberapa orang ulama tasawuf Ternate jaman
dahulu. Makam-makam keramat mereka ini tersebar di tempat-tempat tertentu di sekelilingi
pulau ini, sehingga untuk menziarahi keseluruhannya dalam waktu yang bersamaan, harus
dilakukan dengan mengitari pulau tersebut. (orang Ternate menyebut makam-makam para Joguru

Lamo di jazirah ini dengan istilah “Jere”).
Makna verbalistis yang bisa dipetik dari ritual adat kololi kie ini juga adalah mendoakan
untuk keselamatan dan kemaslahatan negeri “Limau Gapi” ini baik di darat maupun di laut agar
tetap kokoh sebagaimana tegaknya huruf alif dan berada dalam satu wadah laksana sebuah
perahu yang bentuk seperti huruf baa, serta mensyukuri atas apa yang telah dilakukan oleh para
mubaligh dan para sufi pendahulu di negeri para raja-raja ini, seperti; telah diletakkannya dasar

aqidah Islam dan ke-tauhid-an yang tetap ada dan masih dipertahankan hingga anak cucu
sekarang ini.
Sikap bersyukur dan ungkapan terima kasih tersebut diekpresikan dengan cara tradisional
yakni kegiatan ritual menziarahi tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai tempat makam
atau Jere mereka yang berada di sekeliling pulau ini.Kebiasaan inilah yang kemudian menjadi
suatu tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini, yang kita kenal dengan ritual kololi kie
ini.
Ritual adat kololi kie ini adalah juga kegiatan “napak tilas” yang wajib bagi setiap warga
pribumi Ternate jaman dahulu, yakni melakukan patroli darat dan laut dari kampung ke kampung
untuk berjaga-jaga dan memantau situasi kampung-kampung dan perairan sekitar jikalau adanya
ancaman yang datang dari pihak luar terhadap penduduk dan warga pesisir di sekeliling pulau
Ternate melalui jalur laut. Hal ini sering dilakukan pada masa lampau oleh pasukan angkatan laut
kesultanan Ternate dengan “Armada Kora-Kora” dalam memantau situasi negeri sepanjang

pantai dan lautan sekeliling pulau Ternate waktu itu
Makna pedagogis yang tersirat dari tradisi ritual adat ini adalah mengajari kita tentang
kewaspadaan territorial nasional dalam artian sempit (khusus lingkungan wilayah territorial
kedaulatan kesultanan) atas gangguan-ngangguan keamanan dan ketertiban masyarakat yang
datang dari pihak luar.
Makna pedagogis yang tersirat lainnnya adalah “kebersamaan”. karena sejak mulainya
perjalanan ritual ini, tidak ada dari perahu-perahu peserta tersebut yang berkejar-kejaran atau
saling mendahului. Semua dalam rasa dan nuansa kebersamaan. Semua sudah tahu dan
menyadari bahwa perahu atau kapal yang ditumpangi Sultan adalah yang paling depan dan
menjadi penjuru iring-iringan. Perahu yang berseliweran ke kiri atau ke kanan ataupun kadang
kadang berubah posisi konfigurasi hanya perahu atau speedboat yang ditumpangi para juru
dokumenter yang mengabadikan gambar kegiatan ini, baik melalui handycam maupun dengan
camera. namun demikian hampir setiap peserta dalam rombongan juga memiliki peralatan
dokumentasi pribadi masing-masing.
D. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Tradisi Kololi Kie
Khusus pada pelaksanaan ritual adat kololi kie toma ngolo (melalui jalur laut), selalu
diawali tepat di perairan depan keraton kesultanan Ternate, yakni dari ujung jembatan kesultanan
(semacam pelabuhan kerajaan jaman dahulu) yang dikenaldengan nama jembatan “Dodoku Ali”
atau “Dodoku Mari”. Walaupun kadang-kadang para peserta menaiki perahu dari pelabuhan
Dufa-Dufa, tapi tetap harus menuju ke posisi awal ini untuk mulai pelaksanaan ritual keliling

pulau ini.
Sebelum rombongan Sultan dan para pembesar kerajaan menaiki perahu masing-masing,
Imam Agung Kesultanan di Masjid Sultan Ternate yang bergelar “Jou Qalem” atau “Kadhi” yang
akan membacakan doa keselamatan di jembatan ini. Usai berdoa, sultan diikuti para pembesar
kerajaan serta para pemimpin soa (kampung) yang bergelar “Fanyira” akan menaiki perahu
masing-masing.
Perahu yang ditumpangi Sultan, Permaisuri dan para pembesar kerajaan biasanya dihiasi
lebih megah dan memiliki ukuran yang lebih besar dan selama perjalanan senantiasab selalu
berada paling depan dari semua rombongan yang turut serta. Perahu besar ini dijuluki dengan
sebutan “oti Juanga” yang dihiasi ukiran kepala naga di bagian haluan dan ekor naga di buritan.
Selain itu dihiasi pula dengan umbul-umbul dan bendera kebesaraan kesultanan.

Dalam perjalanan mengililingi pulau ini, rombongan perahu akan berhenti di beberapa tempat
untuk melakukan tabur bunga dan memanjatkan doa. Tempat persinggahan yang agak lama dan
biasanya peserta rombongan turun ke darat adalah di Ake Rica ini. Ritual adat ini merupakan
bentuk penghormatan terhadap para leluhur kesultanan yaitu; Syai’idinaa Maulana Syekh
DjaffarShaddiq sang pembawa agama Islam ke pulau ini.
Perlu digaris bawahi bahwa dalam ritual adat kololi kie di pulau Ternate ini, semua
peserta yang ikut dalam pelaksanaan ritual ini akan melewati 4 (empat) sudut utama dari
lingkaran pulau Ternate. Istilah untuk keempat sudut ini adalah “Libuku Raha”

(libuku=sudut, raha=empat). Dalam ritual ini terdapat terdapat 13 (tiga belas) titik keramat yang
wajib diziarahi sepanjang route mengelilingi pulau hingga kembali ke posisi semula.
Jere Kulaba adalah makam keramat salah satu dari beberapa orang sufi Ternate yang
terkenal di masanya dengan peran utamanya adalah memperkokoh tegaknya syariat Islam di
Ternate pada pada sekitar tahun 1705. Menurut keterangan dari salah satu nara sumber
penulis Abdul Kadir Mailudu atau sering disapa Tete Baa (sudah almarhum), yang
keterangannya diperoleh penulis beberapa tahun lalu, terungkap bahwa nama pemilik makam
dengan batu nisan tertinggi di Jere Kulaba ini adalah seorang ahli tasawuf Ternate yang hidup
sekitar akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18 Masehi, yang bernama; “Syekh Abdul ibnurRachman” yang bernama asli Ternate adalah; “Dumade”.
Tidak semua orang di sini tahu nama makam keramat yang sangat sering diziarahi
penduduk Ternate ini. Semua penduduk Ternate hanya tahu makam keramat ini dengan sebutan
Jere Kulaba saja. Sengaja penulis tuliskan dan publikasikan nama yang sangat dirahasiakan oleh
orang tua-tua ini dengan tujuan agar generasi muda Ternate juga mengetahuinya.
Makam ini sangat terkenal di seantero pulau Ternate dan pulau sekitarnya. Makam keramat ini
memiliki batu nisan tertinggi di pulau Ternate, yakni kurang lebih hampir 1,7 meter atau setinggi
tubuh orang dewasa. Orang banyak sering menyebutnya Jere Kulaba karena lokasinya berada
tepat di belakang desa Kulaba di pulau Ternate.
Kira-kira sekitar 20 hingga 30 menit meninggalkan tempat itu rombongan perahu ini
melewati salah satu tempat keramat di desa sulamadaha yakni “Sao Madaha”. Tempat yang
dianggap keramat ini berada di dalam sebuah teluk kecil di ujung desa ini.

Nun jauh di atas di lereng pegunungan gunung Gamalama terdapat sebuah bukit yang disebut
dengan “Buku Deru-Deru”. Bukit ini oleh orang Ternate secara ritual juga dianggap sebagai
salah satu sudut pulau dari empat sudut (Libuku Raha) yang ada di pulau ini. Sambil melewat
tempat ini juga dilakukan pembacaan doa khusus oleh salah satu Imam yang turut menumpangi
perahu Sultan berada.
Sekitar 20 menit dari tempat ini rombongan tiba di perairan desa Bandinga. Tempat ini
juga dianggap oleh masyarakat Ternate merupakan sudut pulau yang ketiga yang dikenal
“Libuku Bandinga Mari Hisa”. (mari=batu, hisa=pagar). Libuku Bandinga Mari Hisa ini
merupakan salah sudut pulau yang dianggap keramat dimana pulau Ternate dibagi dua dengan
patokan posisi awal dari depan Keraton kesultanan Ternate. Artinya rombongan upacara ritual
kololi kie ini sudah melewati separuh lingkaran keliling pulau Ternate (50 %).
Sekali lagi dijelaskan, bahwa selama melalukan perjalanan mengelilingi pulau ini, iringiringan perahu tiap “Soa” (kampung) dilengkapi dengan alat musik Tifa, Gongdan Fiol (alat
musik gesek), suasana adat dan tradisional sangat terasa dalam perjalanan ini.
Selepas dari tempat Ake Rica ini, rombongan armada melanjutkan perjalanan yang
kurang lebih sudah mencapai 50 % dari lingkarang keliling pulau Ternate. Kira-kira sekitar 25

menit, rombongan melewati pemukiman Foramadiyahi yang terletak jauh di atas lereng gunung
Gamalama. Di tempat ini terdapat makam Sultan Babullah ibn Khairun Djamilu sang legendaris
pengusir penjajah dari bumi Ternate. Dari kejauhan di laut, rombongan ini melakukan
pembacaan doa-doa khusus untuk makam ini.
Sepuluh menit dari pesisir pantai Talangame, rombongan mulai memasuki pesisir kota Ternate,
dan arah perjalanan rombongan sudah menghadap ke utara. Perjalanan keliling pulau ini sudah
mencapai 90 %. Setelah melewati mesjid raya Ternate Al-Munawar, dibacakan pula doa khusus
ketika sedang melewati kawasan Malayu Cim (Benteng Oranye dan sekitarnya). Rombongan
armada melewati perairan di pusat kota Ternate.
Perjalanan ritual adat kololi kie ini tinggal kira-kira 15 menit lagi. Sekitar satu kilometer
menjelang tempat pemberhentian di pelabuhan Dokoku Ali (tempat memulainya perjalanan ini)
dari laut dibacakan doa khusus untuk beberapa makam para Sultan Ternate yang berada di
daratan tepatnya di dalam kompleks mesjid kesultanan, makam-makam disebut oleh orang
Ternate dengan “Jere Sigi Lamo” (Makam raja di Mesjid Sultan).
Perjalanan ritual adat selama kurang lebih empat jam ini kemudian berakhir dan kembali ke
Jembatan Dodoku Ali, tempat dimana perjalanan ritual ini dimulai di pagi hari.

BAB III
Kesimpulan
Dari gambaran pelaksanaan tradisi kegiatan kololi kie yang penulis gambarkan di
atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi ini adalah sebuah kebiasaan masyarakat yang bersifat
ritualistis karena pelaksanaannya tidak sekedar mengitari pulau ini, tapi harus dipandu dan
dipimpin oleh orang yang mengetahui seluk beluk ritual ini. Kegiatan ritual kololi kie ini bukan
sekedar aktivitas seremonial belaka, melainkan banyak makna yang tersirat dan tersurat yang
mungkin bisa kita petik. Mungkin pula tradisi ritual seperti ini ada juga di tempat-tempat lain di
nusantara ini, tapi dengan nuansa dan sebutan yang mungkin berbeda pula.
Upacara Adat Kololi Kie biasanya diadakan apabila terdapat gejala alam yang menandai
bakal meletusnya Gunung Gamalama, yang dapat mengganggu ketenangan masyarakat Ternate.
Namun pada perkembangannya, selain untuk menghormati keberadaan Gunung Gamalama,
upacara adat ini juga menjadi ritual pihak kesultanan dalam menghormati leluhur-leluhur
mereka.Jadi, kita sebagai generasi muda harus dapat dan melestarikan tradisi yang ada. Karena
ini sudah menjadi kebiasaan dan ini menjadikan warga atau masyarakat ternate. Dan ini akan
menjadikan ternate semakin dikenal oleh dunia luar.

Saran dan kritik
Penulis masih belum sebrapa berpengalam dalam menulis karya tulis sejarah jadi mohon
bimbingan dari para pembaca agar karya ini dapat dibenahi dan supaya tulisan ini dapat
bermanfaat untuk orang lain.

Daftar Pustaka
https://ternate.wordpress.com/2010/02/23/kololi-kie-tradisi-ritual-adat-mengelilingipulau-ternate-sambil-ziarah-beberapa-makam-keramat/
http://bahenju.blogspot.com/2009/06/upacara-adat-kololi-kie-kota-ternate.html