PENDIDIKAN INDONESIA SEPANJANG TAHUN 201

MENILIK PERKEMBANGAN DUNIA

PENDIDIKAN INDONESIA
SEPANJANG TAHUN 2016
Lusius Sinurat
#PenaSinergi, Kuta, Bali – Bagi Indonesia tahun 2016 adalah tahun
politik. Itu fakta yang terbentang di media, terutama media sosial. Tak
mengherankan berbagai aspek kehidupan di negeri ini selalu disusupi
oleh politik.
Pengalaman saya bekerja sama dalam karya pembinaan untuk para guru,
siswa, mahasiswa, aktivis keagamaaan dan karyawan perusahaan
memperjelas hal itu. Hal ini juga sangat terasa saat dalam pekerjaan yang
melibatkan unsur pemerintah.
Hampir di setiap kesempatan sebagai pembicara di seminar atau
pelatihan-pelatihan, nama Jokowi alias Presiden Joko Widodo dan Ahok
alias Gubrnur DKI Basuki Tjahaja Purnama, terutama oleh peserta
seminar/pelatihan disinggung.Tentu dalam kapasitas mereka sebagai
tokoh pembaharu Indonesia.
Berbagai perubahan di negeri ini memang sudah mulai terasa. Tahun 1990
hingga tahun 2014 aku suka meledek PNS karena mereka selalu nyambi.
Tapi sejak 2014 hingga kini, PNS yang justru ngeledekin saya sebagai

penganggur berijazah.

Dunia pendidikan, terutama para guru sangat merasakan perubahan itu.
Kalau dulu mentalitas Asal Bapa/Ibu senang begitu agung, maka di era
Jokowi sebagai presiden, para bapak.ibu pejabat tertinggi justru tak luput
dari sosotan, kritik, bahkan tuntutan dari bawahan.
Begitu juga ara penyuluh pendidikan yang dulu kurang diperhatikan, kini
malah cukup mendapat tunjangan ini dan itu dari pemerintah, termasuk
ketika mereka melayani masyarakat di luar pekerjaan pokoknya. Dosadosa para presiden terdahulu yang memiskinkan para guru seakan
ditebus oleh Presiden Jokowi.
Tetapi sedikit agak berbeda dengan semakin meningkatnya biaya
pendidikan. PTN (Pergurun Tinggi Negeri) yang dosennya makan dari
APBN justru melansir biaya yang tak kalah tinggi dari PTS (Perguruan
Tinggi Swasta) yang harus membayar gaji dosen mereka sendiri.
Sayangnya, kenaikan gaji dosen dan guru yang diikuti berbagai tambahan
gaji dari sertifikasi tadi tak diikuti oleh peningkatan kualitas. Standarisasi
gelar dan linearisme jurusan untuk guru dan dosen justru menjadikan
para kepala sekolah dan dosen menjadi raja-raja kecil, karena sering
mentntukan sendiri siapa saja guru atau dosen yang akan ia promosikan.
Plagiarisme meraja, jual beli gelar menjadi primadona, kuliah jarak jauh

semakin tren hingga gelas S2 dan S3 cukup dirahi dengan menjemput
ijazah dari tempat lain. Tak hanya itu, nepotisme dan koncoisme justru
lebih sadis di lembaga pendidikan daripada di politik.
Aneh juga ketika Anda ingin melamar jadi dosen, maka Anda tak melewati
test-masuk. Anda cukup punya kenalan di kampus tertentu, atau dekat
dengan penguasa di sana. Pendek kata, kualitas pendidikan di negeri ini

2

ternyata tak serta merta bertautan langsung dengan kesejahteraan para
guru dan dosen.
Kalau saja kelalaian para guru dan dosen kita usik, maka para guru akan
menjadikan karut marut Kurikulum dan segala aspek perubahannya
sebagai alasan mereka tak mampu mengajar maksimal. Di sisi lain, para
dosen pun akan mempersoalkan kebijakan kemenristekdikti sebagai
penghalang kreativitas mereka untuk meningkatkan kualitas mereka di
kelas.
Apapun itu, faktanya kualitas pendidikan kita masih rendah. Kita harus
jujur mengakui ini, kendati para pejabat daerah dan penatua jemaat di
gereja atau alim ulama di Mesjid selalu memaksa kita untuk bersyukur

atas kemajuan yang ada. Tentu saja, tingkat kesejahteraan selalu bertalian
dengan passive income para alim ulama.
Sekali lagi, kehebatan Jokowi tak ada artinya bila para pejabat eselon di
bidang pendidikan justru tetap berpikir bloon, yang kerjanya hanya
menghabiskan anggaran dengan berbagai kegiatan fiktif, bahkan tak
berani mereformasi dirinya sendiri.

Kuta - Bali, 30 Desember 2016

FOR MORE INFORMATION CONTACT:

3

twitter @luciusinurat