BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Belimbing wuluh ( Averrhoa bilimbi L.) 1. Deskripsi dan klasifikasi tanaman - BAB II RIZQI FADHILAH FARMASI’13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Belimbing wuluh ( Averrhoa bilimbi L.) 1. Deskripsi dan klasifikasi tanaman Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yang termasuk dalam famili Oxalidaceae . Tanaman ini dikenal dengan nama daerah limeng, selemeng,

  beliembieng, blimbing buloh, limbi, libi, tukurela dan malibi. Nama asingnya

  bilimbi , cucumber tree dan kamias. Adapun, Klasifikasi ilmiah tanaman

  belimbing wuluh adalah : Kingdom : Plantae (tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub-kelas : Rosidae Ordo : Geraniales Familia : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan) Genus : Averrhoa Spesies : Averrhoa bilimbi L.

  Daun majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau, permukaan bawah warnanya lebih muda (Wijayakusuma dan Dalimartha, 2006).

  2. Kandungan Kimia Daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

  Daun belimbing wuluh mengandung tanin, sulfur, asam format dan peroksida (Wijayakusuma dan Dalimarta, 2006). Senyawa peroksida yang dapat berpengaruh terhadap antipiretik, peroksida merupakan senyawa pengoksidasi dan kerjanya tergantung pada kemampuan pelepasan oksigen aktif dan reaksi ini mampu membunuh banyak mikroorganisme. Penelitian yang dilakukan oleh Lidyawati, dkk (2006) menunjukkan bahwa penapisan fitokimia menunjukkan bahwa simplisia dari ekstrak metanol daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.

  Pada sel daun terdapat cairan vakuola yang terdapat dalam vakuola terutama terdiri dari air, namun didalamnya dapat terlarut berbagai zat seperti gula, berbagai garam, protein, alkaloida, zat penyamak atau tanin dan zat warna. Jumlah tanin dapat berubah-ubah sesuai dengan musim serta pigmen dalam vakuola adalah flavonoid (Hidayat, 1995).

  3. Manfaat Daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

  Secara tradisional tanaman ini banyak dimanfaatkan mengatasi berbagai penyakit seperti batuk, diabetes, rematik, gondongan, sariawan, sakit gigi, gusi berdarah, jerawat sampai tekanan darah tinggi, selain itu juga bisa menyembuhkan kelumpuhan, memperbaiki fungsi pencernaan, radang rektum (Arland, 2006).

  Daun belimbing wuluh digunakan masyarakat Aceh sebagai penyedap rasa yang disebut asam sunti, selain itu mereka juga menggunakan air belimbing wuluh yang diperoleh dari proses pembuatan asam sunti itu untuk bahan alternatif mengawetkan ikan dan daging.

  4. Aktivitas farmakologi Daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

  Arifiyani (2007) menyatakan bahwa air daun belimbing wuluh dapat mengobati penyakit stroke karena ekstrak daun belimbing wuluh mengandung senyawa tanin, selain itu daun belimbing wuluh dapat dimanfaatkan sebagai obat sakit perut, rematik, perotitis dan obat batuk. Daun belimbing wuluh berkhasiat untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri dan pembunuh kuman serta dapat menurunkan kadar gula darah (Arland, 2006). Daun belimbing wuluh dapat melancarkan pengeluaran empedu, anti radang, pereda nyeri (analgesik), astringen (Dalimarta, 2008).

B. Tanin 1. Deskripsi tanin

  Tanin merupakan suatu nama deskriptif umum untuk satu grup substansi fenolik polimer yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai astringensia. Tanin ditemukan hampir di setiap bagian dari tanaman; kulit kayu, daun, buah, dan akar (Hagerman, 1998). Tanin dibentuk dengan kondensasi turunan flavan yang ditransportasikan ke jaringan kayu dari tanaman, tanin juga dibentuk dengan polimerisasi unit quinon. Secara menyeluruh senyawa tanin menurun selama proses pematangan dan pendewasaan. Senyawa tanin selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan tanaman atau buah. Secara umum tanin mencapai kandungan tertinggi pada waktu masih muda dan menurun setelah tua (Winarno dan Aman, 1981).

2. Penggolongan tanin a. Tanin terhidrolisis

  Tanin terhidrolisis adalah tanin yang mengandung ikatan ester yang mudah terhidrolisis menjadi asam fenolat dan glukosa seperti galotanin terhidrolisis menjadi ester asam galat dan glukosa, elagitanin terhidrolisis menjadi ester asam heksahidroksidifenat dan glukosa. Tanin terhidrolisikan jika didihkan dalam asam klorida encer. Tanin terhidrolisis berupa amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk larutan koloid, tanin mudah diperoleh dalam bentuk kristal. Tanin terhidrolisis larut dalam pelarut organik yang polar, tetapi tidak larut dalam pelarut organik nonpolar (Robinson, 1995).

b. Tanin terkondensasi

  Tanin terkondensasi disebut juga golongan proantosianidin. Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (atau galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon- karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Kebanyakan flavolan memiliki 2-20 satuan flavon. Nama lain dari tanin terkondensasi adalah proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskan monomer antosianidin. Kebanyakan proantosianidin adalah prosianidin, ini berarti bila direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin (Harborne, 1987).

3. Identifikasi tanin a. Identifikasi dengan Spektrofotometer UV-Vis

  Spektrofotometer UV-Vis dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis senyawa tanin. Kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti tanin dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengalami pergeseran puncak serapan yang terjadi. Metode ini secara tidak langsung juga berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metal yang terikat pada salah satu gugus hidroksil fenol. Pereaksi geser yang biasa digunakan adalah NaOMe/NaOH, NaOAc, NaOAc/H3BO3, AlCl3 dan AlCl3/HCl (Markham, 1988).

b. Identifikasi dengan Spektrofometer FTIR

  Kegunaan yang paling penting dari spektroskopi inframerah adalah untuk identifikasi senyawa organik, karena spektrumnya sangat kompleks dan terdiri dari banyak puncak-puncak. Spektrum inframerah mempunyai sifat fisik dan karakteristik yang khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda dan kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum sama adalah sangat kecil (Hayati, 2007).

c. Identifikasi dengan KLT

  Yuliani (2003) memisahkan senyawa tanin dari 3 daun jambu biji yang berbeda dengan eluen toluen : etil asetat (3:1) dengan pendeteksi besi sulfat menghasilkan harga Rf untuk ekstrak I mempunyai 9 bercak dengan Rf mulai dari 0,23-0,94, ekstrak II mempunyai 9 bercak dengan Rf mulai dari 0,13-0,94, ekstrak III memberikan 5 bercak dengan Rf mulai dari 0,16-0,59.

  Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk tujuan kualitatif dan preparatif, KLT kualitatif digunakan untuk menganalisis senyawa-senyawa organik dalam jumlah kecil (misal menentukan jumlah kumpulan dalam campuran), menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan KLT preparatif atau kromatografi kolom, dan juga untuk mengidentifikasi komponen penyusun campuran melalui perbandingan dengan senyawa yang diketahui strukturnya. Sedangkan KLT preparatifnya digunakan untuk memisahkan campuran senyawa dari sampel dalam jumlah yang besar berdasarkan fraksinya, yang selanjutnya fraksi-fraksi tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk analisis berikutnya (Townshend, 1995).

C. Lotion

  Lotion adalah sediaan cair berupa suspensi atau dispersi, digunakan sebagai obat luar. Dapat berbentuk suspensi zat padat dalam bentuk serbuk halus dengan bahan pensuspensi yang cocok atau emulsi tipe minyak dalam air dengan surfaktan yang cocok. Pada penyimpanan dan zat pewangi yang cocok (Depkes RI, 1979).

  Lotion dimaksudkan untuk digunakan pada kulit sebagai pelindung atau untuk obat karena sifat bahan-bahanya. Kecairanya memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit yang luas. Lotion dimaksudkan segera kering pada kulit setelah pemakain dan meninggalkan lapisan tipis dari komponen obat pada permukaan kulit (Ansel, 1989).

  Uji sifat fisik yang dapat dilakukan untuk lotion adalah uji pH, daya sebar, dan viskositas. Menurut Anief (1995) pH kulit mendekati pH netral yaitu berkisar antara 4,5-6,5, kesesuain nilai pH sediaan topikal dengan pH kulit mempengaruhi penerimaan kulit terhadap sediaan. Sediaan topikal yang ideal adalah tidak mengiritasi kulit (Anief, 1995). Untuk uji daya sebar, lotion yang baik harus mempunyai daya sebar yang cukup sehingga memudahkan aplikasinya pada kulit (Ameliana, et al., 2011). Dan untuk uji viskositas, makin tinggi viskositasnya maka semakin tinggi pula tahanannya (Voight, 1995).

D. Bakteri Staphylococcus aureus

  Nama Staphylococcus aureus berasal dari kata

  ”Staphele” yang berarti

  kumpulan dari anggur dan kata ”Aureus” dalam bahasa latin yang berarti emas. Nama tersebut berdasarkan bentuk dari sel-sel bakteri yang berwarna keemasan.

  Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang berbentuk bulat (cocus) dengan ukuran diameter sekitar 1 μm dan tersusun dalam kelompok yang tidak beraturan, tidak membentuk spora dan tidak bergerak. Sel-selnya terdapat dalam kelompok seperti buah anggur, akan tetapi pada biakkan cair mungkin terdapat secara terpisah (tunggal), berpasangan berbentuk tetrad (jumlahnya 4 sel) dan berbentuk rantai dan koloninya berwarna abu-abu sampai kuning emas tua (Jawetz, 1996).

  Staphylococcus aureus menginfeksi manusia terutama pada membran mukosa daerah nasal, saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan.

  Sifat khas infeksi Staphylococcus aureus yang bersifat patogen adalah penahanan lokal. Infeksi ini antara lain, meningitis, endokarditis, perikarditis dan bisul. Infeksi yang disertai penanahan akan sembuh dengan cepat bila nanah dikeluarkan. Infeksi Staphylococcus aureus juga dapat disebabkan oleh kontaminasi langsung pada luka, misalnya pada infeksi luka pasca bedah atau infeksi setelah trauma (Jawetz, 1996).

E. Bakteri Pseudomonas aeruginosa

  Pseudomonas aureginosa tersebar luas di alam dan biasanya terdapat di

  lingkungan yang lembab di rumah sakit. Ciri khas Pseudomons aeruginosa bergerak dan berbentuk batang, berukuran 0,6 x 2 µm. Bakteri ini gram negatif dan terlihat sebagai bakteri tunggal, berpasangan, dan kadang-kadang membentuk rantai yang pendek. Tumbuh baik pada suhu 37°C-42°C. Pertumbuhan pada suhu 42° C membedakan spesies ini dari jenis lain. Bakteri ini adalah aerob obligat yang tumbuh dengan mudah pada banyak jenis pembenihan biakan, kadang-kadang menghasilkan bau yang manis menyerupai anggur membentuk koloni halus bulat dengan warna berfluoresensi kehijauan. Semua spesies Pseudomonas dapat tumbuh baik dalam sampel nutrient agar dan dalam kebanyakan media selektif seperti Eosin Methylen Blue (EMB) dan Mc Conkey Agar (Jawetz, 1996).

  Bakteri Pseudomonas aeruginosa menimbulkan infeksi pada luka dan luka bakar, menimbulkan nanah hijau kebiruan, meningitis, bila masuk bersama funksi lumbal, dan infeksi saluran kemih, bila masuk bersama kateter dan instrumen lain atau dalam larutan untuk irigasi. Keterlibatan saluran nafas karena larutan irigasi. Penyerangan pada saluran nafas, khususnya respirator yang tercemar, mengakibatkan Pneumonia netrotika, menyebabkan infeksi pada mata, yang mengakibatkan kerusakan mata secara cepat, biasanya terjadi setelah luka atau operasi mata. Jawetz, et al., (2001) Anasrullah (2002) menyatakan bahwa bakteri Pseudomonas aureginosa merupakan mikroorganisme etiologi infeksi luka bakar di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang selama periode 1998- 2001.

F. Antibakteri dan Penentuan Aktivitas Antibakteri

  Antibakteri merupakan bahan atau senyawa yang khusus digunakan untuk kelompok bakteri. Antibakteri dapat dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu antibakteri yang menghambat pertumbuhan dinding sel, antibakteri yang mengakibatkan perubahan permeabilitas membrane sel atau menghambat pengangkutan aktif melalui membran sel, antibakteri yang menghambat sintesis protein, dan antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel. Aktivitas antibakteri dibagi menjadi 2 macam yaitu aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh patogen) dan aktivitas bakterisidal (dapat membunuh patogen dalam kisaran luas) (Brook, et al ., 2005).

  Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Disc diffusion test atau uji difusi disk dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam

  5

  8

  ekstrak. Syarat jumlah bakteri untuk uji kepekaan/sensitivitas yaitu 10 -10 CFU/mL (Hermawan, et al., 2007).

  Metode difusi merupakan salah satu metode yang sering digunakan. Metode difusi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode silinder, metode lubang/sumuran dan metode cakram kertas. Metode lubang/sumuran yaitu membuat lubang pada agar padat yang telah diinokulasi dengan bakteri. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan penelitian, kemudian lubang diinjeksikan dengan ekstrak yang akan diuji. Setelah dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri diamati untuk melihat ada tidaknya daerah hambatan disekeliling lubang (Kusmayati dan Agustini, 2007).

  Prinsip metode pengenceran adalah senyawa antibakteri diencerkan hingga diperoleh beberapa macam konsentrasi, kemudian masing-masing konsentrasi ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan tersebut akan diinkubasi dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan. Larutan uji senyawa antibakteri pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji, ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan bakteri uji ataupun senyawa antibakteri, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau

  Minimal Bactericidal Concentration (MBC) (Pratiwi, 2008).