Peralihan Hak Atas Tanah Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Adat Simalungun di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun Chapter III V

BAB III

FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN HAK
ATAS TANAH MILIK PERORANGAN SECARA HUKUM ADAT
DIPANDANG DARI HUKUM AGRARIA NASIONAL DI KECAMATAN
PANOMBEAN PANEI KABUPATEN SIMALUNGUN

A. Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dalam Hukum Agraria Nasional Di
Indonesia
Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu
persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan,
pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan
hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut
mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua
persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan).90 Hak ulayat
merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat,
yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya,
yang sebagai telah diuraikan di atas merupakan pendukung utama penghidupan
dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa (lebensraum).
Kewenangan dan kewajiban tersebut masuk dalam bidang hukum perdata
dan ada yang masuk dalam bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban

dalam bidang hukum perdata berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas
tanah tersebut, sedangkan dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk
mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharaannya ada pada kepala adat/tetua adat. Konsepsi hak ulayat menurut
90

G. Kertasapoetra, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina aksara, 1985), halaman. 88

61

Universitas Sumatera Utara

62

hukum adat terdapat nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi
peluang penguasaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi,
namun demikian hak ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan
hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota
masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan.

Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat tersebut merupakan
tanah milik bersama, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan
merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada kelompok
masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan penghidupan
mereka sepanjang masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung, dan jika dilihat
dari sistem hukum tanah adat tersebut, maka hak ulayat dapat mempunyai
kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar.91
Hak ulayat dapat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam berhubungan
dengan para warganya, sedang kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya
dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut orang asing atau
orang luar. Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat ialah
memelihara

kesejahteraan

dan

kepentingan

anggota-anggota


masyarakat

hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan
pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan, sedangkan
untuk hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke luar hak ulayat dipertahankan
dan dilaksanakan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Orang-orang asing, artinya orang-orang yang bukan warga masyarakat hukum
91

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi Dan Pelaksanaannya., (Jakarta: Djambatan, 2005), halaman. 190

Universitas Sumatera Utara

63

adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau
membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat
hukum adat tanpa ijin penguasa adatnya.

Subyek

hak

ulayat

adalah

masyarakat

persekutuan

adat

dalam

keseluruhannya, yakni seluruh nusantara ini, masyarakat menguasai hak ulayat
tidak boleh di tangan oknum pribadi tetapi harus di tangan masyarakat.92 Obyek
hak ulayat meliputi tanah (daratan), air, tumbuh-tumbuhan (kekayaan alam) yang
terkandung di dalamnya dan binatang liar yang hidup bebas dalam hutan,93

dengan demikian hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat
hukum (subyek hukum) dan tanah atau wilayah tertentu (objek hak).94
Isi hak ulayat adalah kebebasan dari anggota masyarakat desa untuk
menikmati tanah hak ulayat itu misalnya berbumi, mengambil kayu atau buahbuahan yang tumbuh di tanah tersebut, dan orang asing dilarang menguasai atau
menikmat tanah ulayat kecuali setelah mendapatkan ijin dari ketua adat, desa dan
membayar uang pengakuan. Wilayah kekuasaan persekutuan adalah merupakan
milik persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap namun dalam kenyataannya
terdapat pengecualian-pengecualian, yang mana pengecualian ini berkaitan
dengan kekuatan hak ulayat yang berlaku ke luar.
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dimiliki oleh seseorang

92

Sumardi Basuki, Diklat Kuliah Asistensi, Hukum Agraria, (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 1977), halaman. 32
93
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983),
halaman. 109
94

Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi,
(Jakarta: Buku Kompas, 2001), haaman. 56

Universitas Sumatera Utara

64

maupun yang belum. Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai “res
nullius”. Umumnya batas wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat territorial
tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat hukum adatlah, sebagai
penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai hak ulayat, bukan orang
seorang, yang mana masing-masing itu menurut hukum adat mempunyai
hukumnya yang khusus.
Tanah yang diusahakannya itu dapat dikuasainya dengan hak pakai, tetapi
ada juga masyarakat hukum adat yang memungkinkan tanah yang dibuka tersebut
dipunyai dengan hak milik. Hal itu tergantung pada kenyataan apakah tanah
dikuasai dan diusahakannya secara terus-menerus ataukah hanya sementara saja.
Jika seseorang individu warga persekutuan dengan ijin kepala adat atau kepala
desa membuka tanah persekutuan maka dengan menggarap tanah itu terjadi
hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religious magis antara individu

warga persekutuan dengan tanah yang dimaksud. Perbuatan hukum ini jelas
menimbulkan hak bagi warga yang menggarap tanah atau kemudian hak wenang
atas tanah yang bersangkutan.
Hak ulayat aturannya terdapat di dalam hukum adat, hal ini karena
penyelenggaraan dan pengelolaan hak ulayat sesuai dengan hukum adat dari
masing-masing daerah dimana hak ulayat itu berada, dimana hal ini kemudian
menyebabkan hak ulayat antara daerah yang satu dengan daerah lainnya
pengaturannya berbeda-beda. Keadaan ini kemudian melahirkan keragaman
dalam hukum adat yang secara tidak langsung berpengaruh pula bagi hukum
pertanahan, karena hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah hak milik

Universitas Sumatera Utara

65

adat. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan di segala bidang termasuk bidang
pertanahan maka kemudian lahirlah suatu produk hukum yang dipandang dapat
mengakomodir keragaman-keragaman mengenai hukum pertanahan dalam negara
sehingga unifikasi hukum sebagai salah satu tujuan dikeluarkan produk hukum ini
dapat terwujud.

Lahirnya undang-undang pokok agraria bukan berarti meniadakan
keragaman yang ada dalam hukum adat khususnya mengenai tanah tetapi lebih
pada mengatur ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh warga negara
mengenai hukum pertanahan, sehingga untuk hukum adat pengaturannya
diserahkan pada peraturan hukum yang berlaku di daerahnya masing-masing
dengan catatan tidak bertentangan dengan hukum nasional dan kepentingan
nasional serta tata peraturan yang lebih tinggi. Salah satunya pengaturan mengenai
hak ulayat, walaupun tidak semua daerah atau wilayah yang masing mengakui
keberadaan hak ulayat bukan berarti hak ulayat tidak diatur dalam undang-undang
pokok agraria hukum nasional.
Sebagian besar materi yang ada dalam undang-undang pokok agraria
diadopsi dari hukum adat. Pengaturan hak ulayat dalam undang-undang pokok
agraria yaitu pengakuan mengenai keberadaan (eksistensi) dan pelaksanannya.
Eksistensi atau keberadaan hak ulayat ini menunjukkan bahwa hak ulayat
mendapat tempat dan pengakuan sepanjang menurut kenyataan masih ada. Pada
aspek pelaksanaannya, maka implementasinya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan nasional bangsa dan negara serta peraturan perundang-undangan
lainnya yang tingkatannya lebih tinggi, yang mana dalam hal ini kepentingan

Universitas Sumatera Utara


66

sesuatu masyarakat adat harus tunduk pada kepentingan umum, bangsa dan negara
yang lebih tinggi dan luas, dan oleh sebab itu tidak dapat dibenarkan jika dalam
suasana berbangsa dan bernegara sekarang ini ada suatu masyarakat hukum adat
yang masih mempertahankan isi pelaksanaan hak ulayat secara mutlak.
Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ulayat diserahkan kepada peraturan
daerah masing-masing di mana hak ulayat itu berada. Pedoman yang
dipergunakan dalam

melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam

hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih
ada di daerah yang bersangkutan didasarkan pada Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini
memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap hak ulayat
dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, yang mana kebijaksanaan
tersebut meliputi:95

1.

Penyamaan persepsi mengenai hak ulayat.

2.

Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat

3.

Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya.
Masih adanya hak ulayat masyarakat hukum adat di suatu daerah hanya

dapat diketahui dan dipastikan dari hasil tinjauan dan penelitian setempat
berdasarkan kenyataan, bahwa:96

95

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum

Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2004), halaman. 57
96
Maris S. W. Sumardjono, Op. Cit., halaman. 68

Universitas Sumatera Utara

67

1.
2.
3.

Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum
adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
Masih adanya wilayah yang merupakan tanah ulayat masyarakat hukum adat
tersebut, yang didasari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya.
Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para
warga mayarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan seharihari sebagai pelaksana hak ulayat.
Ketiga unsur tersebut pada kenyataannya harus masih ada secara

kumulatif, yang mana penelitian mengenai unsur hak ulayat di atas akan
ditugaskan

kepada

pemerintah

kabupaten,

yang

dalam

pelaksanaannya

mengikutsertakan para pakar hukum adat dan para tetua adat setempat.

B. Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Milik Perseorangan Secara
Hukum Adat Di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun
1.

Deskripsi Wilayah
Simalungun

Kecamatan

Panombenan

Panei

Kabupaten

Kabupaten Simalungun yang merupakan salah satu daerah di Propinsi
0

0

0

0

Sumatera Utara, terletak antara 02036 – 03018 LU, 98032 – 99035 BT dengan
luas wilayah 4.386,60 km atau 6,12 % dari luas keseluruhan Provinsi Sumatera
Utara serta berada pada ketingggian 20 – 1.400 meter dari atas permukaan laut
(rata-rata 369 meter) yang dibagi dalam 3 kategori besar, yaitu:97
a.

Ketinggian 20 meter-389 meter dari permukaan laut termasuk dalam kategori
dataran rendah yang meliputi Kecamatan Bandar, Pematang Bandar, Ujung
Padang, Siantar, Huta Bayu Raja, Tanah Jawa, Bosar Maligas, Dolok Batu
Nanggar dan Tapian Dolok dengan luas 2.160,83 km atau 49,26 % dari luas
Kabupaten Simalungun.
97

Agustono, Budi, Sejarah Etnis Simalungun, (Pematang Raya: Kerja Sama Pemerintah
Kabupaten Simalungun Dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, 2012), halaman.
77

Universitas Sumatera Utara

68

b.

Ketinggian 600 meter-920 meter dari permukaan laut termasuk dalam
kategori dataran sedang yang meliputi Kecamatan Panei, Kecamatan
Panombean Panei, Jorlang Hataran, Raya Kahean, Sidamanik, Raya, Dolok
Panribuan dan Girsang Simpang Bolon dengan luas 1.276,07 km atau 29,09
% dari luas Kabupaten Simalungun.

c.

Ketinggian 1.100 meter – 1.500 meter dari permukaan laut termasuk dalam
kategori dataran tinggi yang meliputi Kecamatan Dolok Pardamean, Purba,
Silimakuta, Silau Kahean dan Dolok Silau dengan luas 939,70 km atau 21,65
% dari luas Kabupaten Simalungun.
Kabupaten Simalungun yang secara adminstratif pemerintahan terdiri dari

31 Kecamatan dengan 345 Desa, 22 Kelurahan dengan luas total wilayah 4.386,60
2

km atau 6,12% dari luas total wilayah Propinsi Sumatera Utara. Adapun letak
geografis Kabupaten Simalungun yaitu sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai, sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batu Bara, dan sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Karo.
Kecamatan Panombean Panei merupakan salah satu kecamatan baru di
Kabupaten Simalungun. Kecamatan ini pemekaran dari Kecamatan Panei
memiliki luas 82,2 Km2, dengan letak geografis sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Serdang Bedagai, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Sidamanik dan Kecamatan Panei, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan
Raya, sebelah timur berbatasan dengan Kota Pematang Siantar. Jarak Kecamatan

Universitas Sumatera Utara

69

Panombean Panei dari Pematang Raya Ibukota Kabupaten Simalungun adalah ±
20 Km.98
2.

Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Simalungun
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Petanahan

Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dijelaskan bahwa “masyarakat hukum adat
adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya, sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.”99 Ada 4 (empat) elemen yang membentuk masyarakat adat
tersebut, yaitu sebagai berikut:
a.

b.

c.

d.

Sekelompok orang yang masih terikat dengan spiritualitas nilai-nilai sikap
dan perilaku tertentu dan yang membedakan mereka sebagai kelompok sosial
terhadap kelompok sosial yang lain.
Wilayah hidup tertentu yang di dalamnya ada tanah, hutan, laut dan sumber
daya alam lainnya yang bukan semata-mata diperlakukan sebagai barang
produksi sehari-hari (sumber mata pencaharian), tetapi menjadi bagian utuh
dari sistem religi dan sosial budaya kelompok sosial tersebut.
Praktek-praktek yang berbasis pada pengetahuan (kearifan) tradisional yang
terus menerus diperkaya atau dikembangkan sesuai kebutuhan keberlanjutan
hidup mereka.
Aturan dan tata kepengurusan hidup bersama (hukum dan kelembagaan adat)
yang berkembang sesuai dengan sistem nilai bersama yang diterima dan
berlaku di dalam kelompok sosial tersebut.100
Menurut hukum adat yang berlaku di Kerajaan Siantar, bertalian dengan

“adatrecht gemeenschappen”, terdapat di Kabupaten Simalungun terdapat
masyarakat hukum adat yang bertingkat atau berlapis, dimana lapis atas adalah

98

Berdasarkan Data Dari Pangulu Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Petanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pasal 1,
angka (3),
100
P. Panggabean, Pemberdayaan Hak Masyarakat Hukum Adat Dalam Mendukung
Kegiatan Otonomi Daerah, (Jakarta: Permata Aksara, 2011), halaman. 55
99

Universitas Sumatera Utara

70

Urung Siantar, lapis tengah adalah Partuanon (Sipolha, Silampuyang, Dolok
Malela, dan lain-lain), dan lapis bawah adalah Huta (Naga Huta, Siantar). Secara
umum untuk urusan pertanahan secara internal, cukup diselesaikan oleh
pemerintahan huta atau desa, namun apabila ada urusannya dengan pihak luar
(bukan kaula atau warga masyarakat hukum adat), maka diurus oleh lapis yang
lebih tinggi, misalnya pemerintahan partuanon (lapis tengah). Apabila urusannya
tidak terselesaikan oleh pemerintahan partuanon, maka akhirnya diangkat
persoalannya pada masyarakat hukum adat lapis atas, yakni Kepala Urung
(landschaap) atau pemerintahannya, dengan demikian, ada semacam “check and
balances” di antara pemerintahan masyarakat hukum yang berlapis-lapis itu.101
Masyarakat hukum adat yang ada di Simalungun hampir sama dengan
masyarakat hukum adat yang ada di Penyabungan dan di Sipirok, berbeda dengan
masyarakat hukum adat di Toba, yang titik sentralnya (heavy nya) berada di Huta
atau Desa. Dalam perkembangan terakhir, kadang-kadang huta pun tidak lagi
merupakan Masyarakat Hukum Adat di Simalungun, jadi yang tinggal kemudian
adalah Masyarakat Hukum Partuanon (Parbapaan) dan masyarakat Hukum Urung
(Landschaap) atau Partuanon Banggal.102
3.

Hak Atas Tanah Adat Di Kecamatan Panombean Panei Kabupaten
Simalungun
Menurut ketentuan hukum adat Simalungun, pada mulanya pemilikan

tanah adalah hak milik marga yang dikuasai oleh raja dari salah seorang anak
keluarga marga tersebut. Rakyat hanya mempunyai hak pakai atau hak massamod,
101

Rosnidar Sembiring, Keberadaan Hak Ulayat Di Kabupaten Simalungun, Tesis,
(Medan: PPS USU, 2001), halaman. 70
102
Ibid., halaman. 71

Universitas Sumatera Utara

71

dan sering juga disebut galunggung. Hak massamod (galunggung) bagi rakyat
berlaku turun-temurun dan dapat diwariskan, juga dapat dijual.
Penduduk dapat membuka perladangan atau persawahan dengan sekuat
kemampuannya dengan ketentuan tanaman keras di atas tanah tersebut adalah
milik marga oleh salah seorang raja dari marga tersebut. Sebagai pemerintah
tertinggi di wilayahnya

masing-masing penduduk diwajibkan mendapat

persetujuan dari raja untuk massamod yang baru dan setiap penjualan hak
massamod dari rakyat kepada orang lain harus diketahui oleh raja, untuk itu yang
bersangkutan memberikan suatu pertanda berupa hasil dari atau peliharaan atau
uang tunai (tidak ada ketentuan yang pasti).103
Pada mulanya ada beberapa fase yang dilalui untuk dapat mengusahakan
sebidang tanah yaitu:
a.

Fase penebangan kayu, dimana pada fase ini ditentukan waktunya, kemudian
pembakarannya dan pada saat ini melekatlah suatu hak atas pemakaian tanah,
yaitu ladang yang disebut “juma tombakan”.

b.

Fase dimana ladang yang dipakai untuk tahun kedua, ketiga disebut “gasgas”. Gas-gas adalah tanah yang tidak produktif (unsur haranya habis). Gasgas kebalikan dari “juma roba” (hutan yang masih perawan, sangat subur
karena belum pernah ditanami).

c.

Fase untuk pertama kalinya ditinggalkan gas-gas tadi, disebut “bunga talun”
sedangkan apabila ditinggalkan untuk kedua kalinya disebut “talun”

103

Ibid., halaman. 6

Universitas Sumatera Utara

72

(tanaman yang tidak ada di suatu tempat tetapi hanya di satu talun). Bunga
talun ada di daerah Gulting, Sondi Raya.
d.

Perladangan yang karena ditinggalkan, tapi masih ada di atasnya tanamtanaman muda, disebut “galunggung” (bukit-bukit, perladangan).

e.

Hak memperusahai atau memakai atas tanah ini melekat apabila terusmenerus dikerjakan, dalama waktu 2 (dua) tahun berturut-turut tidak
dikerjakan maka hak itu “kembali” kepada penghulu atau kepala adat, yang
kemudian dapat memberikannya kepada orang lain yang memerlukannya.
Sebagai catatan, bahwa tanaman-tanaman keras biasanya tidak boleh ditanami
di sini, agar pada waktunya (secara rotasi) dapat kembali berladang ke daerah
kawasan hutan perkampungan ini, kecuali di tepi gubuk ladang (sopou juma).
Dalam hal perladangan tersebut oleh penghulu diberikan kepada orang lain,
oleh karena pemegang hak pakai semula tidak memerlukannya, maka tanamtanaman keras tadi (biasanya pohon durian dan petai) oleh si pemakai yang
memperoleh kemudian itu, harus membersihkan sekeliling tersebut jelasnya
lingkungan tanaman-tanaman itu tidak turut boleh diperladanginya, istilah
dalam bahasa Simalungun “i salagsagi”.

f.

Hak “panunggu” atau “pangayakan” hanya terdapat pada tanah sawah yaitu
tanah sebelah kiri dan kanan sawahnya ditambah bagi orang yang bersawah
paling ujung ialah tanah sebelah hulunya.

g.

Tempat tanaman-tanaman keras disediakan di luar pagar disebut ”partoguh”
atau “bidei” dari perkampungan dan tempat ini disebut “pohon” diberi ganti
kerugian.

Universitas Sumatera Utara

73

h.

Hak rahatan ni huta, yaitu hutan yang berdekatan dengan kampung
(merupakan hak bersama atas tanah), hak parjalangan sahuta yaitu tempat
penggembalaan hewan, hak bong-bongan sahuta yaitu kolam tempat
mengambil ikan, dan hak panambunan sahuta yaitu pekuburan bersama.
Adakalanya pengemuka masyarakat di kampung itu dikuburkan atau
menyediakan terlebih dahulu bangunan kuburannya di “pohonnya dan cara
ini dibolehkan, mengingat status tanah “pohon” itu dikerjakan secara turuntemurun.104
Hak bersama atas tanah disebut rahatan ni huta, rahatan ni huta termasuk

juga hutan yang berdekatan dengan kampung, dimana kayu-kayunya tidak boleh
diambil oleh penduduk kecuali untuk keperluan kampung itu umpamanya untuk
balai desa, lumbung desa.105 Hak atas tanah adat yang terdiri atas hak ulayat dan
hak perseorangan atas tanah (adat) di Kabupaten Simalungun masih di akui,
meskipun dari segi objek adanya bong-bongan sahuta, tapian, juma na bolak, dan
lain-lain. Masyarakat hukum adat masih ada tapi lemah, hal ini ditandai dengan
adanya pimpinan adat dalam acara-acara ritual seperti pesta, dan hukum adat juga
masih dipakai meskipun di sana-sini sudah mengalami pergeseran.106
4.

Peralihan Hak Atas Tanah Milik Perseorangan Secara Hukum Adat Di
Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun
Sistem hukum adat bersendikan pada dasar-dasar alam pikiran bangsa

yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk
104

Jahutar Damanik, Jalannya Hukum Adat Simalungun, (Medan: Aslan, 1974), halaman.

23
105

Moshedayan Pakpahan, Tanah Adat Di Daerah-Daerah Indonesia, (Jakarta: Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Badan POertanahan Nasional, 1998), halaman. 7
106
Rosnidar Sembiring, Keberadaan Hak Ulayat Di Kabupaten Simalungun, Tesis,
(Medan: PPS USU, 2001), halaman. 16

Universitas Sumatera Utara

74

dapat sadar akan sistem hukum adat, maka orang harus menyelami dasar-dasar
pikiran yang hidup di dalam masyarakat. Dalam hukum adat hak penguasaan atas
tanah yang tertinggi adalah hak ulayat, sebagai tanah bersama para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang mengandung dua unsur yang
beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Subyek hak ulayat adalah
masyarakat hukum adat, baik territorial, genealogik, maupun genealogis
territorial sebagai bentuk bersama para warganya.
Kewenangan untuk mengatur hak ulayat dalam aspek hukum publik ada
pada hak kepala adat dan para tetua adat, sebagai pertugas masyarakat hukum adat
berwenang mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan,
penggunaan dan pemeliharaan tanah-bersama tersebut. Antara hak ulayat dan hakhak perorangan selalu ada pengaruh timbal balik. Makin banyak usaha yang
dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah, makin eratlah hubungannya dengan
tanah yang bersangkutan dan makin kuat pula haknya atas tanah tersebut. Dalam
hal yang demikian kekuatan hak ulayat terhadap tanah itu menjadi berkurang.107
Menurut hukumnya yang asli, bagaimanapun juga kuatnya, hak
perseorangan atas tanah itu tetap terikat oleh hak ulayat. Dalam pada itu di banyak
daerah hak-hak perseorangan sudah sedemikian kuatnya, hingga kekuatan hak
ulayat menurut kenyataannya sudah hilang atau hampir-hampir tak terasa lagi.
Tetapi dimana hak ulayat masih kuat, sewaktu-waktu hubungan orang dengan
tanahnya menjadi kendor, misalnya tidak diusahakan lagi, hak ulayat menjadi kuat

107

Irin Siam Musnita, Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Di Kabupaten
Sorong, Tesis, (Bandung Universitas Diponegoro, 2008), halaman. 24

Universitas Sumatera Utara

75

kembali, hingga tanahnya kembali kedalam kekuasaan penuh masyarakat hukum
adat yang bersangkutan.108
Sebidang tanah yang tidak diusahakan lagi hingga kembali menjadi hutan
atau tumbuh belukar di atasnya, hal itu bisa mengakibatkan hilangnya hak atas
tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut kemudian boleh diusahakan oleh
anggota masyarakat lainnya. teranglah bahwa hukum adat mengenal isi pengertian
fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. dalam konsepsi hukum adat hak ini yang
merupakan perwujudan dari “unsur kebersamaan”. Para warga masyarakat diberi
kemungkinan untuk membuka, menguasai dan menghaki tanah bukan sekedar
untuk dipunyai, melainkan dengan tujuan untuk diusahakan bagi pemenuhan
kebutuhan mereka masing-masing, ini bertentangan dengan fungsi sosialnya kalau
tanah yang mestinya diusahakan dibiarkan dalam keadaan terlantar.109
Hak atas tanah menurut hukum adat tidak hanya memberi wewenang,
tetapi juga meletakkan kewajiban kepada yang empunya untuk mengusahakan
tanah. Demikian sifat asli dari hak perorangan atas tanah menurut konsepsi hukum
adat, dengan bertambah kuatnya penguasaan bagian-bagian tanah bersama
tersebut oleh para warganya, secara alamiah kekuatan hak ulayat masyarakat
hukum adat yang bersangkutan tambah lama menjadi tambah melemah, hingga
akhirnya menjadi tidak tampak lagi keberadaannya. Pada kenyataannya
perkembangannya sudah sangat beragam, maka tidak mungkin dikatakan secara

108
109

Ibid., halaman. 25
Ibid., halaman. 26

Universitas Sumatera Utara

76

umum, bahwa di suatu daerah hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adatnya
masih ada atau sudah tidak ada lagi ataupun tidak pernah ada sama sekali.110
Ketentuan undang-undang pokok agraria dan hukum tanah nasional tidak
menghapus hak ulayat, tetapi juga tidak mengaturnya. Mengatur hak ulayat dapat
berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Padahal perkembangan
masyarakat menunjukkan kecenderungan akan hapusnya hak ulayat tersebut
melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.111
Pada mulanya dalam hal penguasaan tanah oleh warganya didasarkan pada
siapa di antara mereka yang pertama kali membuka kawasan tersebut dan
menggarapnya, begitu pula dalam hal menentukan batas tanah yang dikuasai
hanya didasarkan pada patokan pohon yang sifatnya tahunan atau patokan lainnya
berupa petak-petak tanah ataupun sawah yang dapat dikerjakannya. Batas-batas
penguasaan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat sulit dikenal oleh pihak luar,
karena mereka menganut luas tanah yang dipunyai hanya dibatasi oleh alam yang
mereka sendiri kenal/ketahui.
Penetapan batas secara ulayat atau adat sering tumpang tindih antara suku,
marga, yang satu dengan yang lainnya dan mereka mengaku selaku pihak yang
lebih berhak memiliki tanah-tanah tersebut demi memberikan kepastian status
kepemilikan atas bidang tanah yang digarapnya maka kepada penggarap tanah
diberikan surat tanda kepemilikan tanah yang berupa “alas hak” tanah yang dibuat

110
111

Ibid., halaman. 27
Ibid., halaman. 26

Universitas Sumatera Utara

77

atau dikeluarkan oleh kelurahan yang diketahui kepada kepala distrik/kecamatan,
yang berfungsi sebagai surat tanda bukti kepemilikan tanah.112
Masyarakat Simalungun yang bertempat tinggal di Kecamatan Panombean
Panei mengenal satu lembaga adat yang disebut Partuha Maujana Simalungun.
Lembaga adat ini telah ada mulai dari tingkat serikat tolong menolong, desa,
kecamatan, kabupaten dan pusat. Keberadaan objek tanah ulayat di Kabupaten
Simalungun sampai saat ini masih terdapat di beberapa kecamatan diantaranya
yaitu sebagai berikut:
1.
2.
3.

Kecamatan Raya berupa tanah, termasuk didalamnya tapian, tempat mandi,
kali dan hasil hutan.
Kecamatan Purba berupa tanah, kolam, ikan atau bong-bongan sahuta.
Kecamatan Siantar berupa tanah, panambunan sahuta atau perkuburan,
pemakaman bersama.113
Dari data tersebut di daerah raja, objek hak ulayat dapat berupa tanah, kali,

hasil hutan dan binatang liar (celeng, burung), yang dimaksud dengan binatang
liar adalah hasil hutan yang tumbuh dan berkembang atau binatang-binatang yang
hidup dan berkembang biak yang tidak dimiliki oleh perorangan. Umumnya tanah
tersebut terbagi dalam tanah untuk perhutanan (rumah dan pekarangan), pertanian
untuk persawahan dan ladang (lahan kering).114 Alas hak (bukti kepemlikan tanah)
yang dikeluarkan oleh kelurahan yang diketahui kepada kepala distrik atau
kecamatan setempat sebenarnya hanya memberikan hak untuk menggarap saja
kepada pemiliknya bukan hak milik, sehingga dengan demikian tanah tersebut
tetap merupakan milik adat, sehingga apabila sewaktu-waktu masyarakat adat
membutuhkan tanah tersebut kembali, maka masyarakat adat berhak untuk
112

Ibid., halaman. 27
Rosnidar Sembiring, Op. Cit., halaman. 189
114
Ibid., halaman. 190

113

Universitas Sumatera Utara

78

meminta warga sekitarnya untuk meninggalkan tanah yang telah mereka garap
tersebut.115
Hal ini menimbulkan permasalahan di lapangan, dan ini dapat dibuktikan
dengan adanya permasalahan baik antar warga dalam satu desa maupun terhadap
warga diluar desa atau dengan kata lain adanya sengketa permasalahan tanah
dengan letak berbatasan, sengketa mengenai tanah juga sering terjadi dengan
pihak diluar adat (pihak ketiga) atau pihak diluar desa yang membeli tanah adat
tersebut, permasalahan juga timbul disebabkan dari ketidakstabilan masyarakat
menjunjung tinggi dan menghormati keputusan adat yang dibuat oleh
pendahulunya.116
Dengan

semakin

meningkatnya

nilai

ekonomis

tanah

sehingga

menimbulkan perubahan pola pikir masyarakat, yang tadinya masyarakat agraris
berubah menjadi masyarakat ekonomis, dan dengan meningkatnya nilai tanah
mendorong masyarakat untuk menjual tanahnya kepada pihak lain daripada
mengolah tanah tersebut. Faktor ini yang mendorong bagi masyarakat adat untuk
merubah bentuk tanah yang semula dikuasai dengan hak ulayat menjadi tanah hak
milik peorangan sehingga menyebabkan fungsi tanah itu menjadi berubah dari
tanah ulayat menjadi tanah perseorangan atau individu dan kedudukan ketua adat
yang selama ini begitu dominan bagi masyarakat adat menjadi semakin memudar
pengaruhnya didalam masyarakat.117
Penggunaan tanah dan pengaturannya yang semula dipercayakan kepada
ketua adat, dengan berubahnya status tanah tersebut dari hak ulayat menjadi hak
115

Ibid., halaman. 28
Ibid., halaman. 29
117
Ibid., halaman. 29
116

Universitas Sumatera Utara

79

milik perorangan maka saat ini tidak lagi diatur oleh ketua adat, namun diatur
sesuai hukum tanah nasional untuk itulah pada perkembangannya banyak terjadi
jual beli tanah secara langsung oleh pemilik tanah kepada pihak lain di luar
lingkungan adat atau masyarakat pendatang tanpa persetujuan dari ketua adat.118
Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu yang kedua dengan tidak dilibatkannya
ketua adat dalam proses jual beli tersebut menyebabkan banyak hal yang tidak
diketahui oleh pembeli mengenai status tanah maupun sejarah kepemilikan tanah
tersebut misalnya apakah tanah tersebut diperoleh dari pewarisan atau sebenarnya
dimiliki oleh pembeli saja ataupun ada orang atau pihak lain yang turut memiliki
hak atas tanah tersebut juga menjadi pemicu timbulnya masalah sengketa tanah di
Kecamatan Panombean Panei Kabupaten Simalungun.119
Peralihan hak atas tanah adat milik perorangan yang ada di Kecamatan
Panombean Panei Kabupaten Simalungun tidak dibedakan berdasarkan rumpun
marga-marga yang ada di Kabupaten Simalungun baik marga Sinaga, Saragih,
Damanik, dan Purba yang mana keempat marga ini disingkat “sisa dapur” (satu
dapur). Dalam peralihan hak atas tanah adat milik perorangan yang ada di
Kabupaten Simalungun dilakukan dengan cara yang sama tanpa ada perbedaan
ditiap-tiap marga, sehingga terjadi keseragaman dalam pelaksanaan peralihan hak
atas tanah adat milik perorangan yang ada di Kabupaten Simalungun.120

118

Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. S. Purba Sidabalog, Pengetua Adat
Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 05 Januari 2017
119
Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. S. Purba Sidabalog, Pengetua Adat
Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 05 Januari 2017
120
Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. Drs. Kamen Purba Dasuha, Pengetua Adat
Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 17 Oktober 2016

Universitas Sumatera Utara

80

Peralihan hak atas tanah adat milik perorangan yang ada di Kabupaten
Simalungun sebagian besar dilakukan dengan kesepakatan dua pihak dan
disaksikan oleh penghulu nagori serta disaksikan oleh saksi dari masing-masing
pihak. Dalam hal ini keterlibatan notaris sebagian sama sekali dalam pelaksananan
pembuatan akta jual beli tanah tersebut, sehingga di belakangan hari sering
muncul persengketaan antara para pihak maupun ahli warisnya karena keberadaan
surat jual beli yang sifatnya hanya dibawah tangan saja. Terdapat juga orangorang dari masyarakat adat yang sudah terlibat dalam suatu transaksi tanah (sudah
menjual tanahnya) dapat dengan mudah membatalkan atau mengingkari
perbuatannya dengan dalih waktu itu hanya menandatangani, tidak mengetahui
isinya, dipaksa dan lain-lain.121
Kemudian ada anggapan dari masyarakat dengan dimilikinya “alas hak”
atas penguasaan tanah mereka menganggap bahwa tanah yang selama ini ia garap
ada anggapan hubungan antara tanah dengan masyarakat adat memiliki
keterikatan secara emosional, sehingga berdasarkan kepemilikannya atau alas hak
sebagai dasar kepemilikan tanah dianggap sebagai pengakuan atas kepemilikan
tanah yang dikuasainya dengan hak milik. Selain itu, masyarakat adat sulit untuk
diajak menyelesaikan permasalahannya melalui lembaga peradilan (litigasi),
sehingga untuk menyelesaikan masalah tersebut, masyarakat adat memilih dengan
”pengaduan atau mengadu” kepada kepala lembaga masyarakat hukum adat
mengenai sengketa yang timbul di antara masyarakat tersebut, dan lembaga
tersebut yang menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa tersebut.122

121

Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. S. Purba Sidabalok, Pengetua Adat
Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 05 Januari 2017
122
Berdasarkan Wawancara Dengan Bapak St. S. Purba Sidabalok, Pengetua Adat
Kecamatan Panombean Panei, Tanggal 05 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara

81

C. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Peralihan Hak Atas
Tanah Milik Perorangan Secara Hukum Adat Dipandang Dari Hukum
Agaria Nasional
Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan peralihan hak
atas tanah milik perseorangan secara hukum adat antara lain seperti ketidakjelasan
subjek dalam menjelaskan status hak atas tanah adat, tidak dapat menjelaskan
batas-batas yang seharusnya, tidak mendapatkan persetujuan dari keluarga atau
kepala adat, yang mana akibat ketidakjelasan ini kemudian dapat berujung kepada
bentuk persengketaan dikemudiaan hari. Ketidakjelasan ini disebabkan oleh
sulitnya persyaratan yang harus ditempuh sebelum melakukan transaksi peralihan
hak atas tanah di Kabupaten Simalungun sehingga masyarakat melakukan
peralihan dibawah tangan tanpa ada persetujuan adat.
Menurut Hukum Adat Kabupaten Simalungun, persyaratan yang harus
ditempuh adalah sebagai berikut:123
1.

Harus ada persetujuan dari kahanggi

2.

Harus dilakukan secara adat

3.

Dihadiri oleh tolu sahundulan loma saodoran

4.

Disaksikan oleh pengetua adat

5.

Harus ada “tulak sakul” (tolak cangkul).
Kesulitan yang dihadapi ialah persetujuan dari kahanggi karena sulitnya

mengetahui dimana tempat tinggalnya berada dan belum tentu semuanya setuju.
Dari hasil penelitian juga menunjukkan sebagian masyarakat sudah banyak yang
menjual tanah, hal ini berarti bahwa hukum adat tanah mengalami transisi.
123

Rosnidar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat
Simalungun, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), halaman. 210

Universitas Sumatera Utara

82

Sebagian besar masyarakat yang masih dipengaruhi hukum adat, yang
menganggap apabila tanah yang sudah didaftarkan bukan lagi seperti hak dalam
hukum adat, melainkan hak milik yang diatur dalam undang-undang,
konsekuensinya yaitu bagi masyarakat yang sudah mempunyai sertifikat tanah
sesuka hati dan lebih mudah menjual kepada orang lain, sehingga unsur komunal
dan sifat relio magis menjadi hilang.124
Pada setiap sengketa tanah masing-masing mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya dalam setiap
penyelesaian sengketa baik melalui jalur litigasi atau non litigasi di dalamnya
terdapat hal-hal yang menghambat jalannya musyawarah ataupun pelaksanaan
hasil musyawarahnya. Secara umum hambatan-hambatan dalam musyawarah
tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor internal yang berasal
dari para pihak yang bersengketa dan pada obyek yang disengketakan dan faktorfaktor eksternal yang berasal dari pihak lainnya. Faktor internal yang menghambat
proses penyelesaian sengketa antara lain dapat disebabkan oleh:
1.

Sifat Temperamen
Para pihak yang bersengketa terkadang menjadi salah satu faktor yang

menghambat dalam proses musyawarah, hal ini berkaitan dengan temperamen
mereka. Temperamen masyarakat adat dalam proses musyawarah sangat
berpengaruh dalam proses musyawarah. Musyawarah kadang tidak dapat berjalan
dengan lancar karena salah satu pihak atau kedua belah pihak lebih menggunakan
emosi daripada logikanya dalam bermusyawarah dan tidak mau mendengarkan

124

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

83

pendapat dari pihak lainnya dan lebih menganggap dirinya yang paling benar.
Sikap seperti inilah yang membuat musyawarah menjadi tidak kondusif karena
tidak ada pihak yang mau mengalah.125 Seharusnya menurut hemat penulis sifat
tempramen ini di hindari para pihak agar masalah yang ada antara para pihak
dapat diselesaikan dan ditemukan solusi atas permasalah tersebut.
2.

Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat adat juga terkadang menjadi faktor

penghambat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar dari
para responden (masyarakat adat) yang merupakan pihak yang bersengketa hanya
mempunyai tingkat pendidikan yang relatif rendah, sehingga mereka terkadang
mengalami kesulitan untuk memahami hal yang menjadi fokus dari sengketa yang
dimusyawarahkan dan menyebabkan sengketa menjadi semakin rumit untuk
diselesaikan.126
3.

Kedisiplinan
Kedisiplinan para pihak dalam proses penyelesaian sengketa juga menjadi

salah satu faktor penghambat. Tidak jarang terjadi pada saat akan dilakukan
penandatanganan kesepakatan, salah satu pihak menolak untuk melakukannya
dengan alasan mereka tidak mengerti maksudnya karena tidak dapat membaca
sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah pihak.127
4.

Ketidakjelasan Batas Tanah
Tanah sebagai obyek sengketa juga dapat menjadi penyebab penghambat

jalannya proses musyawarah, sebagai contoh dalam hal penentuan batas tanah,
125

Irin Siam Musnita, Op. Cit., halaman. 101
Ibid., halaman. 102
127
Ibid., halaman. 103
126

Universitas Sumatera Utara

84

karena dari semula patokan yang menjadi batas-batas tanahnya tidak jelas. Hal ini
dikarenakan dahulu pada awal penguasaan tanah oleh masyarakat adat sebagian
besar penentuan batas tanah seperti sungai, batu, pohon-pohon dan lainnya,
sehingga dalam hal ini para pihak mengalami kesulitan untuk menunjukkan
batasnya.128
Faktor eksternal yang menghambat musyawarah merupakan faktor lain
yang tidak bersumber dari subyek maupun obyek sengketa yang dapat disebabkan
oleh pihak ketiga. Pihak ketiga dalam sengketa tanah adalah pihak lain selain para
pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini biasanya adalah keluarga dari
masyarakat adat yang ikut campur tangan yang terkadang mempengaruhi salah
satu pihak yang bersengketa, dan biasanya juga karena faktor ganti rugi yang
kurang.129
Pada dasarnya kelancaran jalannya penyelesaian sengketa tanah baik pada
saat

proses

musyawarahnya

maupun

pada

saat

pelaksanaannya

hasil

musyawarahnya sangat dipengaruhi oleh kesadaran semua pihak untuk memahami
arti penting dari musyawarah tersebut bagi terselesainya sengketa. Selain itu
diperlukan peran aktif dari semua pihak untuk membantu menyelesaikan sengketa
yang terjadi sehingga akan diperoleh penyelesaian yang menguntungkan semua
pihak.130

128

Ibid., halaman. 104
Ibid., halaman. 105
130
Ibid., halaman. 106
129

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

SOLUSI HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN DALAM MENGATASI
PERSOALAN TERKAIT PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG
DILAKUKAN BERDASARKAN HUKUM ADAT DI KECAMATAN
PANOMBEAN PANEI KABUPATEN SIMALUNGUN
A. Konsep Hukum Terhadap Peralihan Hak-Hak Atas Tanah Adat Yang
Dilakukan Berdasarkan Hukum Adat
Konsepsi atau falsafah yang mendasari hukum adat mengenai tanah adalah
konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup
masyarakat dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan
masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat.
Soepomo menandaskan bahwa di dalam hukum adat manusia bukan individu yang
terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan
sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat.
Hukum adat memandang, yang primer bukanlah individu, melainkan
masyarakat, karena itu menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah
kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat.
Dalam pada itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan
dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka tanah
ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat
dipandang sebagai tanah bersama.
Tanah bersama itu merupakan pemberian suatu anugrah dari suatu
kekuatan gaib, bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan
atau karena kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut, oleh karena hak ulayat
yang menjadi lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang

85

Universitas Sumatera Utara

86

sebagai tanah bersama, maka semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah
bersama tersebut.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang,
hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum
yang tidak memerlukan persyaratan khusus. Pemindahan hak atas tanah adalah
perbuatan hukum untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain.
Pemindahan dilakukan apabila status hukum pihak yang akan menguasai tanah
memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang tersedia, dan
pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk memindahkan haknya.
Secara khusus falsafah kepemilikan atas tanah dalam hukum adat, hakekat
dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan tanah dan alamnya dan bukan
pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan hubungan yang
melahirkan kewenangan (hak), oleh karena itu hak lahir melalui proses intensitas
hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan pejabat. Dalam
filosofi adat, hak dipahamkan sebagai suatu yang relatif dan mudah berubah
sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga hak adalah
sebagai sesuatu yang tidak mutlak.131
Hak ulayat dari unsur atau aspek hukum publik juga memberi wewenang
kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua

131

Herman Soesangobeng, Op. Cit., halaman. 4

Universitas Sumatera Utara

87

hal tersebut dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh
negara semacam hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu,
meliputi seluruh wilayah tanah air.
Menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan pemindahan
hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan
pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan kepala adat, yang berperan
sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan
hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya,
bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara
serentak, oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara
kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai dianggap tunai). Dalam hal pembeli
tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya
jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum utang piutang.132
Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya
belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam
hal yang demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari
harga tanah yang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas (hanya sebagian
saja). Belum lunasnya pembayaran harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak
menghalangi pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap
dianggap telah selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada
penjual dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual, jadi hubungan ini
merupakan hubungan utang piutang antara penjual dengan pembeli. Meskipun
132

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), halaman.

211

Universitas Sumatera Utara

88

pembeli masih menanggung utang kepada penjual berkenaan dengan jual belinya
tanah penjual, namun hak atas tanah tetap telah pindah dari penjual kepada
pembeli saat terselesainya jual beli.
Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara
calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak
milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di
antara mereka sendiri, setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya
sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer. Pemberian panjer tidak
diartikan sebagai harus dilaksanakannya jual beli itu. Dengan demikian panjer di
sini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli.
Melalui pemberian panjer, para pihak akan merasa mempunyai ikatan
moral untuk melaksanakan jual beli tersebut, dan apabila telah ada panjer, maka
akan timbul hak ingkar, bila yang ingkar si pemberi panjer, panjer menjadi milik
penerima panjer sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima
panjer, panjer harus dikembalikan kepada pemberi panjer. Jika para pihak tidak
menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli
tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap kepala desa (adat)
untuk menyatakan maksud mereka itu, dimanahal inilah yang dimaksud dengan
terang.
Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermeterai yang menyatakan
bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada
pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh. Akta tersebut
turut ditandatangani oleh pembeli dan kepala desa (adat), dan dengan telah

Universitas Sumatera Utara

89

ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai. Pembeli kini
menjadi pemegang hak atas tanahnya yang baru dan sebagai tanda buktinya
adalah surat jual beli tersebut.133
Jual beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan
dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah wasiat, dilakukan oleh para
pihak di hadapan Notaris/PPAT, yang bertugas membuat aktanya. Dengan
dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan di hadapan Notaris/PPAT,
telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi).
Pengalihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah adat
tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang Notaris/PPAT yang akan
membuat pengalihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak
atas tanah (hak milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan
bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas
tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak atas tanah yang dipindahkan,
Notaris/PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen:
1.

Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah
susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak
diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar
yang ada di kantor pertanahan.

2.

Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar harus melengkapi surat bukti
yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum dikonversi atau

133

Adrian Sutedi, Op. Cit., halaman. 73

Universitas Sumatera Utara

90

surat keterangan kepala desa atau kelurahan yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik, dan tidak
pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan penguasaan
tanahnya tersebut, dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang
tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari kantor pertanahan, atau
untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan kantor
pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh
kepala desa atau kelurahan.134
Dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka Notaris/PPAT wajib
menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik
atas tanah yang akan dialihkan tersebut. Apabila pemegang hak tidak dapat
menyediakan bukti kepemilikan tanahnya baik berupa bukti tertulis maupun
bentuk lain yang dapat dipercaya, maka pembukuan hak dapat dilakukan tidak
berdasarkan kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik tanah,
dengan syarat:135
1.

Telah dikuasai selama dua puluh tahun atau lebih secara berturut-turut oleh
pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.

2.

Penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka.

3.

Diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya.

4.

Penguasaan tidak dipermasalahkan atau tidak dalam keadaan sengketa.

134

Berdasarkan Wawancara Dengan Notaris D. S. Purba, SH, SpN, Notaris Pematang
Siantar, Tanggal 20 Oktober 2016
135
Muhammad Yamin Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju,
2010), halaman. 144

Universitas Sumatera Utara

91

Untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum tersentuh administrasi
dan hukum pertanahan yang lebih modern dan hanya mengenal ketentuan hukum
adat mereka, alat bukti yang dapat digunakan meliputi pernyataan tentang
penguasaan secara fisik atas t