Analisis Struktur Teks, Makna dan Melodi Onang-onang Pada Adat Perkawinan Mandailing di Penyabungan Chapter III VI
BAB III
ONANG-ONANG DENGAN BEBERAPA ASPEKNYA
3.1 Fungsi Onang-onang Dalam Upacara Adat Perkawinan
3.1.1
Onang-onang sebagai sarana komunikasi
Pada masa dahulu masyarakat Mandailing mempunyai banyak ragam upacara
adat yang secara garis besarnya menjadi dua bahagian, yaitu upacara adat Siriaoan
(yang bersifat suka cita) dan upacara adat Siluluton atau Sidangolon (yang bersifat
duka cita). Pada masa sekarang sebahagian besar upacara adat yang pernah ada dalam
masyarakat Mandailing pada masa dahulu sudah menghilang. Hilangnya berbagai
upacara adat lama itu disebabkan berbagai hal. Antara lain karena kesukaran
ekonomi, sehingga tidak cukup biaya untuk menyelenggarakannya. Penyebab lain
juga karena telah masuknya agama Islam ke Mandailing sehingga jenis upacara adat
siluluton yang biasanya melangsungkan berbagai ritual acara, namun tidak lagi
dilaksanakan. Yang masih selalu diselenggarakan oleh orang Mandailing pada masa
ini ialah upacara adat siriaon, khususnya upacara adat perkawinan. Oleh karena itu
dalam konteks upacara adat yang demikian itulah fungsi onang-onang akan ditinjau.
Pada bahagian yang terdahulu telah dikemukakan bahwa onang-onang
merupakan nyanyian adat yang khusus dipergunakan untuk mengiringi tarian adat
Universitas Sumatera Utara
yang disebut tor-tor. Dalam suatu upacara adat perkawinan di Mandailing yang
disebut Mata Ni Horja, berbagai macam tarian tor-tor senantiasa ditampilkan sebagai
bahagian yang integral dari upacara adat tersebut. 38 Biasanya kegiatan manortor
(melakukan tarian adat) diawali dengan tor-tor suhut, yaitu tarian adat yang
dilakukan oleh anggota kerabat tuan rumah yang menyelenggarakan upacara adat.
Biasanya tor-tor suhut mula-mula ditarikan oleh beberapa orang perempuan dewasa
anggota kerabat suhut baru kemudian oleh beberapa orang kerabat laki-laki. Setelah
selesai tor-tor suhut biasanya disusul dengan tor-tor anak boru yang ditarikan oleh
anak boru yang dewasa dari suhut (tuan rumah), kemudian menyusul pula tor-tor
mora yang ditarikan oleh mora dari tuan rumah. Pada kesempatan yang demikian
tokoh-tokoh pemimpin masyarakat biasanya menarikan tor-tor raja-raja.
Dalam Mata Ni Horja (upacara adat perkawinan) kedua pengantin biasanya
dipator-tor (disuruh menari secara adat) setelah keduanya selesai di arak ke tepian
mandi di sungai atau bisa juga dibawa ke tapian masjid tempat pengambilan wudhu
apabila daerah pengantin tidak ditemukan tepian pemandan sungai yang dimaksud.
Hal ini disebutkan dengan Tapian Raya Bangunan, kemudian pulang ke rumah
pengantin pria tempat berlangsungnya upacara adat perkawinan. Untuk memeriahkan
38
H. Pandapotan Nasution, op.Cit, 372-403
Universitas Sumatera Utara
upacara para muda-mudi diberi pula kesempatan menarikan tor-tor na poso bulung
(tarian adat muda-mudi).
Pada waktu berbagai macam tor-tor tersebut ditarikan mengikuti irama
gondang tor-tor masing-masing biasanya seorang paronang-onang (penyanyi onangonang) berdiri di dekat rombongan pargondang atau paruning-uningan (pemain
musik tradisional) dan mengiringi tarian adat tersebut dengan onang-onang. Setiap
tor-tor yang ditarikan akan diiringi dengan onang-onang yang liriknya berbeda-beda
satu sama lain. Karena lirik yang dinyanyikan untuk mengiringi tor-tor harus sesuai
isinya dengan status sosial orang-orang yang menarikannya atau dengan
kedudukannya dalam upacara adat sedang diselenggarakan. Oleh karena itu
paronang-onang secara spontan akan menciptakan dan memilih lirik onang-onang
yang isinya sesuai untuk dinyanyikan buat mengungkapkan dan mengkomunikasikan
“berbagai hal berkenaan dengan siapa orangnya yang melakukan tarian tort-tor, tortor itu ditarikan”.39
Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa umumnya isi teks atau lirik onangonang bukan merupakan ungkapan perasaan atau pikiran pribadi orang yang
menyanyikannya. Tetapi suatu rangkaian narasi yang dianggap perlu dikomunikaskan
39
Z. Pangaduan Lubis, Penelitian Tesktual Dalam Jeir (makalah), (Medan, 1987), 7. Hal ini
juga dibenarkan oleh Aspan Matondang dan Bayo Lubis (paronang-onang dan pargondang
Mandailing) melalui hasil wawancara pada tanggal 28 Maret 2017 di PRSU Medan.
Universitas Sumatera Utara
oleh paronang-onang (penyanyi onang-onang) kepada pendengarnya, yakni khalayak
yang menghadiri upacara adat dimana onang-onang itu sedang dinyanyikan.
Biasanya, paronang-onang sudah mendapatkan data diri dari si pemilik acara. Baik
data diri pribadi siapa yang akan diceritakan dalam onang-onang nantinya, dalam hal
apa acara itu dibuat. Data diri sipemilim acara dan tujuan acara dibuat sangatlah
penting diketahui oleh penyanyi onang-onang, karena segala isi dari lirik onangonang nanti adalah menceritakan latar belakang si empunya acara dan maksud
didirikannya acara.
Kalau diperhatikan, dalam sifatnya yang naratif pada lirik atau teks onangonang pada umumnya berisi ungkapan tentang status sosial orang yang sedang
manortor (melakukan tarian adat) dan hal-hal yang penting hubungannya dengan
orang yang bersangkutan, puji-pujian atau sanjungan terhadap orang tersebut. Selain
dari isi yang demikian itu teks onang-onang mengandung pula ungkapan-ungkapan
tentang keadaan tempat dimana tor-tor dilakukan, dan tidak jarang pula teks onangonang yang mengandung ungkapan dan harapan untuk mendapat hal-hal yang baik
dalam kehidupan. Seperti misalnya tuah, kemuliaan, semangat hidup dan solidaritas
sosial.
Universitas Sumatera Utara
Pola dari Isi teks onang-onang yang dipergunankan dalam ansambel gondang
ada enam macam, yakni :
(1) Pembukaan,
(2) Penjelasan maksud upacara,
(3) Cerita latar belakang panortor,
(4) Pujian dan Nasehat
(5) Do‟a
Adanya pola keadaan isi lirik atau teks onang-onang seperti yang
dikemukakan di atas, mengandung petunjuk bahwa lirik onang-onang tidak dapat
diciptakan sembarangan saja oleh orang yang menyanyikannya. Tetapi isinya harus
sesuai dengan pola umum seperti yang tertera di atas. Sebab dalam tradisi masyarakat
Mandailing, onang-onang dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan
isi liriknya yang khas tersebut, sebagai narasi yang dipandang penting disampaikan
kepada khalayak yang hadir pada upacara adat. Dengan perkataan lain, pada upacara
adat, onang-onang sebagai pengiring tor-tor dimanfaatkan pula sebagai suata sarana
komunikasi yang artistik musikal.
Universitas Sumatera Utara
3.1.2
Onang-onang sebagai sarana sosialisasi adat
Suatu masyarakat senantiasa melakukan kegiatan sosialisasi atau mendidik
para warganya dengan berbagai cara dan menggunakan berbagai sarana, agar mereka
lama kelamaan benar-benar memahami kemudian menghayati dan selanjutnya
menggunakan nilai-nilai budayanya dalam kehidupan sehari-hari. Adat istiadat suatu
masyarakat mengandung nilai-nilai budaya masyarakat tersebut berupa norma-norma
atau aturan-aturan yang menjadi pegangan hidup warganya. Oleh sebab itu adatistiadat perlu disosialisasikan atau diajarkan kepada setiap warga pendukungnya.
Salah satu upacara yang penting dalam masyarakat Mandailing ialah upacara
adat perkawinan yang disebut Horja Boru atau Horja Haroroan Boru. Pada masa
dahulu biasanya diselenggarakan secara besar-besaran dan dihadiri oleh semua
lapisan masyarakat desa dan bahkan oleh penduduk dari desa tetangga. Upacara yang
demikian biasa berlangsung beberapa hari lamanya siang dan malam. Keadaannya
yang demikian itu membuat upacara adat tersebut cukup ideal dijadikan sebagai
kesempatan untuk kegiatan sosialisasi adat bagi masyarakat, terutama bagi generasi
muda. Sebab selama berlangsungnya upacara tersebut berbagai macam kegiatan adat
seperti misalnya musyawarah-musyawarah adat yang diisi dengan pidato-pidato,
acara memberi gelar dan memberi nasehat kepada pengantin diselenggarakan. Semua
Universitas Sumatera Utara
kegiatan itu secara langsung atau tidak langsung memberi pendidikan kepada halayak
yang hadir.
Pada kesempatan yang demikian onang-onang juga dapat menjadi sarana
soasialisasi adat. Sebab liriknya yang dinyanyikan untuk mengiringi berbagai macam
tor-tor banyak mengandung isi yang berkaitan dengan adat-istiadat. Misalnya
ungkapan yang menggambarkan status, fungsi dan unsur-unsur dalian na tolu, juga
yang mengungkapkan fungsi na poso na uli bulung (generasi muda) dan juga
ungkapan yang menggambarkan makna lambang-lambang adat seperti bendera kain
adat dan lain sebagainya. Karena ungkapan-ungkapan yang berisi aspek adat itu
disampaikan
dalam
bentuk
nyanyian
tentu
orang-orang
merasa
terkesan
mendengarnya. Dengan perkataan lain, unsur artistik musikal yang terdapat dalam
onang-onang membuatnya menjadi suatu sarana sosialisasi adat yang efektif dan
komunikatif. Sebab kedua unsur tersebut membuat orang merasa lebih tertarik dan
senang mendengar onang-onang yang liriknya banyak mengandung ungkapan
mengenai aspek-aspek adat Mandailing. Dalam hubungan ini dapat pula diingat
bahwa dalam suatu upacara adat perkawinan yang besar onang-onang dinyanyikan
berpuluh kali untuk mengiringi tor-tor yang berulang-ulang ditarikan siang dan
malam selama berlangsungnya upacara adat tersebut. Setiap kali tor-tor ditarikan oleh
Universitas Sumatera Utara
orang yang berlain-lainan dan onang-onang dinyanyikan pula untuk mengiringi
halayak yang terdiri dari berbagai lapisan dan golongan menyaksikan secara ramairamai. Dalam keadaan yang demikian itu tentu saja dapat dipahami betapa efektifnya
onang-onang sebagai sarana sosialisasi adat bagi masyarakat yang selalu
mendengarkan secara tekun dan penuh perhatian pada waktu dinyanyikan dengan
iringan musik gondang.
Keadaan ini sesungguhnya dapat menggambarkan betapa bijaksananya
masyarakat tradisional dimasa dahulu memilih sarana sosialisasi adat yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur musikal sehingga penggunanya menjadi lebih efektif
dan komunikatif di tengah masyarakat. Di samping itu sarana sosialisasi yang efektif
dan kominaktif itu dipergunakan pula pada kesempatan yang terpilih da selalu
dihadiri oleh anggota masyarakat dari semua lapisan dan jenjang umur, yaitu dalam
upacara adat yang diselenggarakan secara berulang-ulang dari waku ke waktu.
3.2 Hubungan Onang-onang dengan Tor-tor
Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan mana yang lebih dahulu lahir
tor-tor atau onang-onang. Argumentasi untuk mendukung pendapat yang mengatakan
tor-tor lebih dahulu lahir dari onang-onang atau sebaliknya banyak dikemukakan.
Tetapi tak seorangpun dapat ditemukan sebagai saksi hidup yang pernah melihat
Universitas Sumatera Utara
bagaimana proses lahirnya tarian dan nyanyian adat tersebut. Tetapi Furer
Helmendorf mengungkapkan, musik primitif bergema dalam kegelapan merangkul
penyanyinya, membuat mereka menjadi satu keutuhan, hingga akhirnya mereka
bergabung dalam satu kesatuan tari.40
Hubungan onang-onang dengan tor-tor kelihatannya memang merupakan satu
keutuhan. Artinya dalam tradisi masyarakat Mandailing onang-onang tidak
dinyanyikan kecuali untuk mengiringi tor-tor. Tetapi ada kenyataan yang
menunjukkan bahwa kadang-kadang tor-tor ditarikan meskipun tidak diiringi dengan
onang-onang, karena kebetulan penyanyi onang-onang (paronang-onang) tidak dapat
ditemukan.
Kebutuhan hubungan onang-onang dengan tor-tor senantiasa diikat oleh
musik gondang yang berfungsi sebagai pengiring tor-tor dan sekaligus juga menjadi
pengiring onang-onang. Musik gondang sebagai pengikat keutuhan tor-tor dan
onang-onang kelihatan mutlak kedudukannya, dalam arti tidak ada tor-tor dan onangonang apabila tidak ada musik gondang yang mengiringi keduanya.
Dalam hubungan yang utuh atau tak terpisahkan antara tor-tor dengan onangonang, dapat dilihat bahwa onang-onang mengandung sifat naratif. Artinya nyanyian
40
Sach, Curt, Pokok-pokok Pikiran dan Metode (terjemahan Drs. Taslimuddin Dt. Tungga),
(Padang Panjang Akademi Seni Karawitan Indonesia, 1981), 2.
Universitas Sumatera Utara
tersebut menyediakan narasi buat tor-tor yang diiringinya. Sebagai contoh kongkrit,
dalam lirik onang-onang terdapat kata-kata yang mengatakan : On ma inang
pamabayangidoan I, Pangidoan baya di matobang i, Sanga pe dongan na dua tolu
on, Allai le taronang daboti baya onang (inilah permintaan si mora (tuan rumah),
permintan dihari tuanya, dan juga permintaan keluarga lainnya, inilah wahai
keinginan hati). Lirik onang-onang yang berbunyi demikian ini jelas merupakan
narasi yang menjelaskan tor-tor apa yang sedang ditarikan dan diiringi oleh onangonang tersebut. Lirik naratif yang demikian itu berfungsi untuk memberikan
informasi kepada halayak tentang siapa dan apa status sosial orang-orang yang
sedang melakukan tarian tor-tor.
Melihat kenyataan bahwa dalam tradisi masyarakat Mandailing, onang-onang
hanya dibunyikan apabila tor-tor ditarikan, dapatlah dikatakan bahwa dalam satu segi
onang-onang dan tor-tor mengandung hubungan kausal. Artinya onang-onang
dinyanyikan sebab tor-tor ditarikan bukan karena onang-onang dinyanyikan. Pada
masa dahulu masyarakat Mandailing mempunyai pandangan bahwa penyelenggaraan
tarian adat atau tor-tor tidak sempurna keadaan apabila tidak diiringi dengan onangonang. Adanya pandangan demikian ini dapat menunjukkan bahwa pada masa dahulu
masyarakat Mandailing menempatkan onang-onang dan tor-tor dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang fungsional. Dalam pengertian lain, apabila salah satu diantara
keduanya tidak berfungsi maka yang lainnya menjadi tidak berfungsi pula secara
sempurna.
Hubungan onang-onang dan tor-tor seperti yang dikemukakan di atas adalah
hubungan keduanya pada masa yang lalu. Yaitu pada masyarakat Mandailing masih
amat terikat oleh adat atau tradisi lama. Perubahan yang sudah banyak terjadi dalam
kehidupan masyarakat Mandailing sejak masa pendudukan Jepang sampai sekarang,
kelihatannya onang-onang dan tor-tor tidak lagi merupakan kesatuan yang utuh.
Dengan maksud lain adalah pada masa sekarang tor-tor yang ditarikan dalam upacara
adat Mandailing sudah jarang sekali diiringi dengan onang-onang yang dinyanyikan
secara langsung. Dikarenakan sulitnya mendapatkan penyanyi onang-onang
(paronang-onang) yang benar-benar fasih dibidangnya. Begitu pula sebaliknya.
Tidak jarang ditemukan suatu acara yang mengadakan onang-onang namun tidak
diiringi dengan tarian tor-tor.
Pada masyarakat Mandailing yang mengetahui adat seperti para informan,
dinyakatakan bagaimana pendapatnya kalau tor-tor dalam upacara adat atau tidak
diiringi onang-onang, umumnya mereka memberi jawaban bahwa keadaan yang
demikian itu sebenarnya kurang baik atau kurang sesuai dengan adat Mandailing.
Universitas Sumatera Utara
tetapi keadaan itu terpaksa diterima karena sekarang keadaan masyarakat tidak lagi
sama dengan masa lalu.
3.3 Onang-onang Pada Masa Sekarang
Aspek musikal atau melodi pada nyanyian adat (onang-onang) tersebut boleh
dikatakan hampir tidak mengalami perubahan sama sekali. Tetapi aspek tekstualnya
cukup banyak mengalami perubahan. Artinya, pada masa dahulu umunya paronangonang selalu menggunakan kata-kata adat atau kata-kata sastra Mandailing untuk lirik
onang-onang. Yang dimaksud dengan kata-kata adat dalam hal ini ialah kata-kata
bahasa Mandailing yang selalu dipergunakan dalam upacara atau pidato-pidato adat.
Sedangkan yang dimaksud dengan kata-kata sastra Mandailing adalah kata-kata yang
biasanya dipergunakan dalam sastra lisan Mandailing, seperti misalnya cerita rakyat
Mandailing yang dinamakan turi-turian atau kata-kata yang memberangkatkan
pengantin perempuan ke tempat calon suaminya.
Pada masa sekarang tiga atau empat orang Mandailing yang masih bisa
menyanyikan onang-onang boleh dikatakan tidak sepenuhnya lagi menguasai katakata adat maupun kata-kata sastra Mandailing. Terjadinya perubahan dalam ragam
bahasa teks atau lirik onang-onang ini kemungkinan sekali disebabkan sastra lisan
Mandailing (turi-turian) dan andung-andung sudah hampir hilang sama sekali dari
Universitas Sumatera Utara
kehidupan masyarakat Mandailing. terjadinya berbagai perubahan sosial budaya
dalam masyarakat Mandailing menyebabkan upacara adat semakin jarang
diselenggarakan. Keadaan yang demikian ini menyebabkan onang-onang pun
semakin jarang pula dinyanyikan. Sebab onang-onang menurut tradisi masyarakat
Mandailing hanya dinyanyikan dalam upacara adat untuk mengiringi tor-tor. Para
paronang-onang di Mandailing yang dahulu banyak jumlahnya semakin lama
semakin berkurang, karena satu demi satu tutup usia. Sedangkan penggantinya
dikatakan tidak lahir Karena generasi muda tidak lagi terdorong untuk mempelajari
onang-onang yang sudah semakin jarang dinyanyikan. Disamping itu apresiasi
generasi muda dalam masyarakat Mandailing terhadap onang-onang sebagai
nyanyian adat yang tradisional semakin berkurang akibat pengaruh banyaknya lagulagu hiburan yang lebih disukai oleh generasi muda tersebut.
3.4 Onang-onang dan Paronang-onang
3.4.1
Paronang-onang sebagai penyanyi tradisional
Hal lazimnya onang-onang hanya dinyanyikan oleh orang-orang tertentu saja
yang disebut Paronang-onang. Untuk dapat menjadi paronang-onang (yang baik),
seseorang memerlukan sejumlah persyaratan. Baik yang bersifat alamiah maupun
persyaratan dipelajari sebagai keterampilan (skill).
Universitas Sumatera Utara
Persyaratan yang bersifat alamiah itu antara lain ialah bakat, kualtias vokal
yang baik dan kualitas pernafasan yang lumrah disebut nafas yang panjang. Dalam
hal ini yang dipandang sebagai bakat ialah kemampuan yang dibawa lahir oleh
seseorang yang membuatnya dapat dengan mudah menyanyikan irama atau melodi
onang-onang tanpa lebih dahulu banyak mempelajarinya secara khusus. Biasanya
seseorang mengembangkan bakatnya untuk menjadi paronang-onang hanya dengan
banyak memperhatikan bagaimana caranya paronang-onang menyanyi. Kemudian
berdasarkan hasil pengamatan itu dia berlatih. Selanjutnya dia mencoba
kepandaiannya dalam upacara adat.
Kualitas vokal yang baik diperlukan seseorang yang ingin menjadi paronangonang agar khalayak suka dan senang mendengar suaranya pada waktu maronangonang (menyanyikan onang-onang). Sedangkan kualitas pernafasan yang baik
diperlukan agar ia dapat menyanyikan lirik onang-onang sesuai dengan tuntutan
melodi nyanyian tersebut. Tanpa adanya terputus-putus pada bahagian-bahagian yang
seharusnya pengucapan lirik dilakukan dengan satu tarikan nafas.
Persyaratan penting bagi seorang paronang-onang yang dapat dipelajarinya
dari orang lain ialah pengetahuan tentang adat-istiadat Mandailing. termasuk di
dalamnya penguasaan istilah-istilah adat dan kemampuan menggunakan ragam
Universitas Sumatera Utara
bahasa adat yang diperlukan untuk menciptakan lirik onang-onang yang baik. Karena
onang-onang dalam tradisi masyarakat Mandailing baik dahulu sampai sekarang
hanya bisa dinyanyikan oleh orang-orang yang benar-benar dapat menyanyikan
onang-onang sebagaimana mestinya menurut ketentuan adat. Maka paronang-onang
dapat digolongkan sebagai penyanyi tradisional. Yaitu penyanyi yang terikat oleh
tradisi atau aturan-aturan adat yang hidup turun-temurun dalam masyarakat
Mandailing.
Onang-onang dan paronang-onang merupakan satu kesatuan yang benarbenar teritegrasi dalam adat. Sebab onang-onang sebagai nyanyian dan paronangonang sebagai orang yang menyanyikannya dipandang dapat befungsi hanya dalam
upacara adat. Dengan kata lain onang-onang tidak lazim dinyanyikan di luar upacara
adat dan paronang-onang pun tidak lazim menyanyikan onang-onang disembarang
waktu tanpa tujuan untuk mengiringi tor-tor.
3.4.2
Paronang-onang sebagai pencipta lirik
Lirik onang-onang sifatnya tidak permanen, tetapi keadaannya selalu
berubah-ubah sesuai dengan jenis tor-tor yang diiringinya. Selain itu perubahan liri
onang-onang tergantung pula kepada pengantin yang dinyanyikan. Artinya, masing-
Universitas Sumatera Utara
masing paronang-onang boleh dikatakan tidak akan menyanyikan lirik yang identik
meskipun itu mengiringi tor-tor yang sama jenisnya.
Setiap paronang-onang sesungguhnya adalah juga pencipta lirik onang-onang
yang dinyanyikannya. Dalam masyarakat Mandailing tidak terdapat orang yang
berfungsi sebagai pencipta lirik onang-onang kecuali para paronang-onang itu
sendiri. Penciptaan lirik onang-onang oleh paronang-onang tidak dilakukan dengan
cara menuliskannya. Tetapi lirik yang diperlukan diciptakan di dalam pikiran si
paronang-onang pada saat ia menyanyi, kemudian diucapkan langsung sebagai
nyanyian. Oleh sebab itulah maka dapat dikatakan bahwa lirik onang-onang
diciptakan secara spontan oleh paronang-onang pada saat ia bernyanyi mengiringi
tor-tor. Dalam hubungan ini kemungkinan saja ada paronang-onang yang lebih dulu
menyusun semacam kerangka atau garis besar dari lirik onang-onang yang akan
diucapkannya sebelum ia mulai bernyanyi. Namun demikian kerangka lirik onangonang itu hanya tersimpan di dalam pikirannya dan sama sekali tidak dituliskan.
Untuk dapat menciptakan lirik onang-onang yang baik yaitu lirik yang benarbenar sesuai sebagai narasi bagi tor-tor yang diiringinya, relevan pula isi kata-katanya
dengan status yang manortor, dapat melukiskan suasana dan keadaan upacara adat
dengan tepat dan baik serta memakai bahasa yang berkadar sastra, paronang-onang
Universitas Sumatera Utara
haruslah mempunyai bahan referensi yang cukup. Bahan referensi tersebut tentu saja
yang berkenaan dengan adat-istiadat, ragam bahasa stastra, totr-tor maupun materi
lain yang berkaitan dengan budaya Mandailing. Bahan-bahan tersebut tentu pula
harus dikuasai dengan baik oleh seorang paronang-onang, sebab ia akan
menggunakan secara spontan pada saat diperlukan ketiika menciptakan lirik onangonang. Keadaan ini dapat menunjukkan betapa tidak mudahnya menjadi seorang
paronang-onang yang baik.
Penguasaan unsur bahasa yang baik, yaitu yang mengandung kadar sastra juga
amat penting bagi seorang paronang-onang sebagai pencipta lirik. Sebab unsur
bahasa tersebut merupakan faktor yang sangat penting dan sangat menentukan baik
buruknya kualitas lirik onang-onang yang akan diciptakan. Karena baik buruknya
kualitas lirik langsung menunjukkan kepada khalayak bagaimana kemampuan dan
kualitas paronang-onang sebagai pencipta lirik, maka masyarakat umumnya
menjadikan kualitas paronang-onang itu sendiri sebagai criteria untuk menilai baik
buruknya kualitas seorang paronang-onang. Menurut lazimnya masyarakat
Mandailing pada masa yang lalu member kedudukan yang terpandang bagi seorang
paronang-onang ditengah masyarakat apabila ia dinilai mampu menciptakan liriklirik yang baik bagi onang-onang yang dinyanyikan dalam berbagai upacara adat.
Universitas Sumatera Utara
3.4.3
Kedudukan paronang-onang dalam masyarakat
Pada masa yang lalu, paronang-onang sebagai salah satu unsur fungsional
dalam sistem upacara adat dengan sendirinya mendapata kedudukan yang penting
dalam masyarakat Mandailing. Oleh karena itu setiap huta (desa) sebagai suatu
kelompok masyarakat (komunitas) mempunyai beberapa orang paronang-onang yang
berfungsi untuk mengiringi tor-tor dalam berbagai upacara adat yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat tersebut. Dalam menjalankan fungsinya itu paronang-onang
tidak diberi upah. Sebab penyelenggaraan upacara adat merupakan kegiatan yang
dilakukan secara gotong royong suka rela. Namun demikian, untuk menjalankan
peranannya dalam suatu adat secara bersama-sama dengan pemain musik (paruninguning) biasanya paronang-onang diundang dengan cara adat. Artinya undangan
paronang-onang disampaikan dengan menyuguhkan sirih adar (burangir adat), dan
paronang-onang diperluakukan sebagaimana halnya dengan pemain musik.41
Dalam hal ini paronang-onang bukan sebagai penyanyi biasa tetapi
mempunyai fungsi khusus sebagai penyanyi nyanyian adat, maka kedudukannya
dihormati dalam masyarakat. Dalam hubungan ini ada paronang-onang yang disebut
sebagai paronang-onang bagas godang (semacam penyanti istana). Paronang yang
41
Abd. Rahman Dalimunte dan Sondah Pohan, (Adat Daerah Tapanuli Selatan Surat
Tumbago Holing, Medan, Tanpa Penerbit, 1985)
Universitas Sumatera Utara
demikian adalah paronang-onang yang sengaja dipelihara oleh raja karena
keahliannya lebih menonjol dari paronang yang lainnya.
Sudah sejak lama onang-onang sebagai nyanyian adat Mandailing dalam
proses kepunahan, maka dengan sendirinya kedudukan paronang-onang pada masa
ini sudah banyak mengalami perubahan. Paronang-onang pun sekarang sudah amat
langka dan susah didapat. Regenerasi dikalangan paronang-onang boleh dikatakan
tidak pernah terjadi sejak berkurangnya secara drastic penyelenggaraan upacara adat
dalam masyarakat pedesaan di Mandailing. kalaupun masih ada, dua atau tiga orang
yang bisa maronang-onang (menyanyikan onang-onang) di Mandailing. Dan
masyarakat tidak lagi memberikan kedudukan kepada mereka seperti kedudukan yang
diberikan kepada mereka pada masa lalu.
3.5 Hubungan Gondang Dengan Onang-onang
3.5.1
Gondang sebagai musik pengiring onang-onang
Menurut tradisi onang-onang waktu dinyanyikan diiringi dengan musik
gondang tor-tor. Musik pengiring onang-onang tidak hanya satu ragam saja, tetapi
bermacam ragam sesuai dengna ragam musik gondang yang dipergunakan untuk
berbagai ragam tor-tor. Dengan perkataan lain, smeua ragam musik gondang untuk
ragam tor-tor dipergunakan untuk mengiringi onang-onang. Teapi meskipun
Universitas Sumatera Utara
pengiring onang-onang, namun irama atau melodi onang-onang hanya satu macam
saja yang dinyanyikan dengan tempo yang disesuaikan dengan tempo musik gondang
pengiringnya. Misalnya melodi onang-onang yang dinyanyikan dengan iringan
(irama) gondang raja-raja sama dengan melodi onang-onang yang diiringi dengan
gondang sampedang. Tetapi tempo yang dihasilkan bisa saja berbeda karena
disesuaikan dengan kehendak musik pengiring yang berlainan.
Menurut tradisi onang-onang hanya dinyanyikan apabila gondang dibunyikan
untuk mengiringi tor-tor. Dengan perkataan lain onang-onang tidak dinyanyikan
apabila tor-tor tidak ditarikan dengan iringan gondang. Keadaan ini dengan jelas
menunjukkan bahwa eksistensinya onang-onang tergantung secara mutlak kepada
tor-tor dan gondang pengiringnya sebagai suatu kesatuan mutlak antara dua unsur
yakni tari dan musik.
Menilik keadaan yang demikian, ada kemungkinan bahwa pada mulanya
gondang tidak sengaja diciptakan untuk mengiringi onang-onang secara khusus.
Tetapi bisa jadi gondang diciptakan pada mulanya adalah khusus untuk pengiring tortor. Dan kemudian musik tersebut untuk mengiringi onang-onang. Sebab
eksistensinya tor-tor mutlak tergantung kepada musik gondang dan eksistensinya
Universitas Sumatera Utara
onang-onang mutlak pula tergantung kepada tor-tor. Keadaan ini memperjelas
kedudukan dan peranan onang-onang sebagai pemberi narasi bagi tor-tor.
Diatas sudah dikemukakan bahwa irama atau melodi onang-onang yang
dinyanyikan untuk mengiringi bermacam-macam tor-tor hanya satu macam saja.
Tetapi irama musik gondang yang dipergunakan untuk mengiringi bermacam-macam
sesuai dengan ragam tor-tor yang diiringinya. Hal ini menunjukkan bahwa irama
musik gondang tidak tergantung kepada melodi onang-onang dan juga tidak
sebaliknya. Dengan perkataan lain irama atau melodi onang-onang berdiri sendiri
demikian pula irama musik gondang pengiringnya. Tetapi dalam mengiringi tor-tor
keduanya menjadi satu kesatuan.
Keadaan sekarang, onang-onang sudah tidak tergantung lagi secara mutlak
kepada tor-tor dan gondang. Artinya kadang-kadang onang-onang dinyanyikan
dengan iringan gondang dalam keadaan yang terlepas dari tor-tor. Misalnya dalam
acara kesenian tradisional Mandailing yang disiarkan dari radio. Dalam acara tersebut
onang-onang dinyanyikan tanpa ada orang yang menarikan tor-tor. Tetapi keadaan
yang demikian ini adalah keadaan yang terlepas dari tradisi lama masyarakat
Mandailing. Atau dapat dikatakan sebagai suatu “tradisi baru” yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Contoh lain juga bisa ditemukan dalam upacara adat
Universitas Sumatera Utara
perkawinan. Banyak ditemukan bahwa masyarakat Mandailing yang mengadakan
upacara adat perkawinan yang ingin melangsungkan horja godang dengan menaikkan
gondang dan onang-onang, tidak lagi diiringi dengan tor-tor. Dikarenakan sudah
tidak adanya lagi minat muda-mudi yang ingin manortor dalam acara adat. Dan rajaraja yang benar-benar tau mengenai adat pun sudah pergi mendahului. Alhasil
keluaraga raja-raja sebagai penerus pun sudah tidak lagi memahami bagaimana
prosesi upacara adat di Mandailing. Hal itu juga dikarenakan turunan raja-raja banyak
yang hidup di perantauan.
3.5.2
Pargondang dan paronang-onang
Dalam memelihara status dan menjalankan peranannya sebagai penyanyi
tradisional dalam masyarakat Mandailing, paronang-onang tergantung kepada
pargondang atau paruning-uningan. Sebab paronang-onang praktis tidak dapat
menjalankan peranan dan fungsinya kalau pargodang tidak menjalankan peranan
mereka tanpa harus disertai oleh paronang-onang.
Karena aktivitas paronang-onang tergantung secara mutlak kepada aktivitas
pargondang dalam upacara adat, maka dengan sendirinya paronang-onang selalu
menjalin hubungan akrab dengan pargondang, dan keduanya sama-sama merupakan
unsur fungsional dalam sistem upacara adat. Dari astu segi dapat dilihat bahwa
Universitas Sumatera Utara
paronang-onang menjalankan peranan yang lebih kreatif dari pargondang. Sebab
dalam setiap kali menjalankan aktivitasnya yang tergantung kepada kegiatan
pargondang, paronang-onang harus maronang-onang. Sementara pargondang hanya
memainkan musik menurut pola irama yang permanen dan tidak menciptakan
sesuatu. Karena adanya peranan paronang-onang maupun pargondang yang
fungsional dalam sistem upacara adat, maka keduanya mendapat kedudukan yang
cukup dihargai di tengah-tengah masyarakat Mandailing pada masa yang lampau.
3.6 Beberapa Aspek Tekstual Onang-onang
3.6.1
Ragam bahasa lirik onang-onang
Bahasa Mandailing sampai sekarang masih dipakai di daerah Mandailing dan
di daerah-daaerah lain di perantauan dalam pelaksanaan komunikasi di antara sesama
etnik Mandailing. Bahasa Mandailing mempunyai logat dan aksen (irama) yang
lemah lembut dan dibawakan dengan suara halus. Sesuai dengan pemakaiannya
bahasa Mandailing terdiri dari :
a.
Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat)
b.
Bahasa andung (bahasa waktu bersedih)
c.
Bahasa parkapur (bahasa waktu di hutan)
d.
Bahasa na biaso (bahasa sehari-hari)
Universitas Sumatera Utara
e.
Bahasa bura (bahasa waktu marah/kasar)42
Sayang bahasa ini tidak begitu dikenal lagi dan didalami, terutama oleh
generasi penerus. Sedangkan menurut Mangaraja Gunung Sorik Marapi bahasa
Mandailing dibagi atas 5 macam, yaitu :
a. Hata somal i ma na niparkasajahon ari-ari
Istilah dan kosakata yang dipergunakan sehari-hari.
b. Hata andoeng di hatiha siloeloeton
Istilah dan kosakata dalam peristiwa duka.
c. Hata teas dohot djampolak di hatiha parbadaan
Istilah dan kosakata dalam perkelahian.
d. Hata sibaso di hatiha hadatoean
Istilah dan kosakata dalam upacara spiritual (kedukunan)
e. Hata parkapoer hatiha di harangan
Istilah dan kosakata sewaktu berada dikawasan hutan.
Singkatnya, ada bahasa biasa, bahasa bersedih, bahasa marah, bahasa datu
(spiritual) dan bahasa di hutan. Ragam bahasa ini mempunyai istilah-istilah tersendiri
yang berlainan Dari istilah-istilah ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Karena hata
andung mengandung nilai sastra yang punya kekuatan untuk menggugah perasaan
orang lain, maka ragam bahasa inilah yang banyak dipakai dalam lirik onang-onang
42
H. Pandapotan Nasution, SH. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Penerbit
FORKALA. (Prov. Sumatera Utara. 2005.)14-17
Universitas Sumatera Utara
yang dicampur sedikit dengan ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Kadang-kadang
ragam bahasa hata andung disebut orang juga sebagai ragam bahasa adat. Sebab
ragam bahasa tersebut banyak dan sering dipergunakan dalam upacara adat. Oleh
sebab itulah makan orang juga mengatakan bahwa lirik onang-onang menggunakan
bahasa adat.
3.6.2
Aspek sastra dalam lirik onang-onang
Di
atas
telah
dikemukakan
bahwa
lirik
onang-onang
biasanya
mempergunakan ragam bahasa hata andung yang mengandung nilai sastra dicampur
sedikit dengan ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Lirik onang-onang yang tidak
banyak mempergunakan ragam bahasa tersebut dianggap kurang baik mutunya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek sastra ikut menentukan mutu lirik
onang-onang. Dituntunnya penggunaan ragam bahasa yang mengandung nilai sastra
untuk lirik onang-onang bertujuan agar lirik tersebut ketika dinyanyikan dapat
dengan mudah menggugah perasaan atau emosi khalayak yang mendengarnya.
Kekuatan bahasa yang dapat menggugah perasaan itu lahir dari aspek artistik
(keindahan) yang terkandung di dalam ragam bahasa hata andung.
Kedudukan aspek sastra dalam lirik onang-onang kelihatan hampir bersifat
mutlak. Sebab lirik onang-onang harus senantiasa mempergunakan istilah-istilah
Universitas Sumatera Utara
ragam hata andung agar dapat dipandang baik. Demikianlah menurut tradisi lama
masyarakat Mandailing yang kini sudah tidak dapat lagi menghadapi berbagai
perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Penekanan aspek sastra dalam
lirik onang-onang tidak pada persajakan atau persamaan bunyi kata pada akhir setiap
baris lirik. Tetapi penekanannya ialah pada pemilihan dan penggunaan kata-kata yang
diambil dari ragam bahasa sastra yang disebut hata andung tersebut.
3.6.3
Bentuk lirik onang-onang
Untuk mendapatkan contoh lirik onang-onang yang dinyanyikan dalam
upaacara adat seperti upacara adat perkawinan di Mandailing sudah terbilang sukar.
Sebab
pada
masa
belakangan
ini
sudah
jarang
masyarakat
Mandailing
menyelenggarakan upacara adat yang didalamnya terdapat onang-onang. Apabila ada
masyarakat mengadakan upacara adat perkawinan pun tidak semuanya menggunakan
onang-onang didalam bagian dari acara tersebut. Hal ini dikarenakan zaman yang
tidak lagi menuntut tentang budaya. Bahkan dari segi pakaian adat Mandailing saja
sudah banyak dirubah oleh perias pengantin dan juga dari kemauan pengantin
tersebut. Apabila masyarakat Mandailing mengadakan upacara adat perkawinan yang
di dalamnya menggunakan acara onang-onang pun tetap tidak seperti dahulu yang
lengkap dengan iringan tor-tor.
Universitas Sumatera Utara
Pengguna tor-tor dalam upacara adat perkawinan pada masa sekarang ialah
mereka yang merasa dirinya adalah keturunan raja-raja adat. Apabila pun tidak begitu
halnya, mereka adalah golongan orang-orang yang terbilang sangat mampu (kaya)
sehingga mereka bisa melangsungkan acara di gedung dikarenakan juga sudah sangat
jarang didapatkan halaman bolak dalam melangsungkan upacara adat perkawinan.
Biasanya mereka yang golongan kaya (pejabat daerah) melangsungkan pesta
perkawinan di gedung dan di dalamnya terdapat acara onang-onang yang diiringi
dengan tor-tor pengantin maupun rombongannya. Namun apabila masyarakat yang
ingin mengadakan pesta perkawinan dengan mengandalkan onang-onang tetapi tidak
di gedung (halaman rumah), bisa saja tetap mengadakan onang-onang dengan panaek
gondang tanpa diiringi tor-tor. Tidak adanya iringan tor-tor dalam onang-onang
tersebut dikarenakan berbagai macam alasan yang tentunya sudah disepakati oleh
yang punya acara. Hal demikian biasanya bukan lagi pesta mangadati (mengadati
acara) hanya saja sebagai simbolis orang Mandailing (musik tradisional).
Jumlah bait dalam lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk satu
kesempatan juga bervariasi. Ada lirik yang terdiri dari 10 baris dalam setiap bait, ada
tiga belas baris dalam setiap bait dan bahkan ada juga yang lima belas baris setiap
bait. Jumlah bait dari lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk satu kesempatan
Universitas Sumatera Utara
juga bervariasi. Tetapi pada intinya pola dalam teks lirik onang-onang memiliki lima
tema dan setiap bait mewakili isi dari tema.
Dengan melihat kenyataan seperti yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan
bahwa bentuk dan struktur atau susunan lirik onang-onang tidak tetap. Tetapi
berbeda-beda sesuai dengan jenis tor-tor yang diiringi atau tergantung dari narasi
yang ingin diungkapkan.
Ini tentunya tergantung kepada paronang-onang yang
menciptakan dan sekaligus menyanyikannya.
3.6.4
Tema atau isi lirik onang-onang
Pada umumnya bait pertama lirik onang-onang mengandung isi yang
bertemakan pembukaan yang didalamnya terkandung pula rasa syukur atas
terlaksananya acara. Sedangkan tema atau isi yang terkandung dalam bait-bait
berikutnya bermacam ragam. Tetapi kalau tilik secara garis besarnya tema yang
bermacam ragam itu umumnya berkenaan dengan :
a. Status orang yang sedang melakukan tor-tor
b. Puji-pujian atau sanjungan kepada yang sedang manortor
c. Aspek adat-istiadat Mandailing
d. Keadaan dan suasana upacara adat ketika onang-onang dinyanyikan
e. Keadaan lingkungan tempat upacara adat diselenggarakan
Universitas Sumatera Utara
f. Sarana-sarana dan benda-benda adat yang dipergunakan dalam upacara adat
g. Harapan-harapan untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama atau doa
selamat untuk orang-orang tertentu yang diutamakan dalam upacara adat,
seperti misalnya pasangan pengantin
h. Pemupukan solidaritas sosial dan pelestarian adat-istiadat
Beberapa dari sejumlah tema pokok yang dikemukakan ini dapat sekaligus
muncul dalam lirik yang dinyanyikan oleh seorang paronang-onang untuk satu kali
kesempatan bernyanyi. Lirik onang-onang tidak lazim hanya diisi dengan satu tema
tunggal saja. Tema pokok yang dikemukakan di atas, biasanya selalu muncul
berulang-ulang dalam lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk mengiringi
berbagai jenis tor-tor yang ditarikan dalam satu upacara adat.
Untuk dapat mengenal bentuk, struktur maupun isi atau tema lirik onangonang secara kongkrit, akan dituliskan contoh teks lirik onang-onang yang
ditranskripsikan dari rekaman upacara adat perkawinan dari saudara Anwar dan
Hanan di Panyabungan pada tanggal 17 September 2016 ialah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Pembukaan
Ile onang baya
Marulak ulak mambasu botohon i
Majawek ma di rodang baya rodang on
Marulak ulak hata sidokkon on i
Hata boti ni onang baya onang on
Por udan ale adi ma ambolas i
Di arangan jolo sinonoan i
Parjolo hami mandokon baya horas i
Tu suhut ale si baya habolonan i
Universitas Sumatera Utara
Di arangan jolo sinonoan i
Tubu ale ayu baya baringin i
Tu suhut ale siha ale baya bolonan i
Selamat jolo panjang baya umur i
Lopus ma jolo baya tu jolo ni ari on
Allai le taronang da baya onang
Universitas Sumatera Utara
2. Latar Belakang si Empunya Acara (maksud acara)
Ile onang baya onang
Hombang ratus ale hombang baya ribu i
Sayur inang matua baya bulung i
Sampe ho inang marpahompui tambihul i
Sanga pe mar sege-sege di halaman i
On ma inang pama da pangidoan i
Mamarpar ho inang songon dabuar
Manyalapsap ni songon mata ni ari i
Universitas Sumatera Utara
Marsinondang ko inang da songon bulan i
Lopus ma tu jolo ni ari i
Antong ale mudah ma mudahan i
Di naek jolo mata ni ari on
I parkuik-kuik ni baya alihi on
Dipanguas ni boyo baya panoppa i
Diparungut-ungut dibujing parbabo i
Diatia le buaya mar kangarion
Dioban ko amang da tu tapian i
Universitas Sumatera Utara
Tapian ale raya ma bangunan i
Na marpangir baya marpale-paleon
Na marpangir utte baya mungkur i
Na mangayupkon siha baya poso on i
Na mangayupkon siha baya bujingan i
Manuju ale adat baya matobang i
Allaile taronang da boti baya onang
Universitas Sumatera Utara
3. Isi
Universitas Sumatera Utara
Anso selamat tu baya jolo ni ari on
On ma inang pamabayangidoan i
Pangidoan baya di matobang i
Sanga pe dongan na dua tolu on
Allai le taronang daboti baya onang
Universitas Sumatera Utara
4. Nasehat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
5. Penutup (Do‟a-do‟a)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Angan-angan muyu mada na joloan
on
I kobulkon Tuhan mada baya saon
nari on
Allai le taronang da baya boti onang
Universitas Sumatera Utara
Dalam teks onang-onang yang dipakai sebagai contoh ini kelihatannya masih
ada namun tidak begitu banyak lagi dipergunakan kata-kata dari ragam bahasa sastra
(hata andung). Kurangnya penggunaan kata-kata sastra Mandailing dalam
teks
onang-onang tersebut mungkin karena lirik onang-onang itu diciptakan pada masa
sekarang setelah ragam bahasa sastra Mandailing (hata andung) sudah amat jarang
dipergunakan dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI PANYABUNGAN
4.1 Dalian Na Tolu
Pada bab II sudah dilampirkan sedikit tentang dalian na tolu dan pesta adat
perkawinan di Mandailing. Namun di bab ini akan diperdalam lagi tentang dalian na
tolu juga adat perkawinan di Mandailing. Yang dimaksud dengan “Dalian Na Tolu”
atau secara harafiah “Tungku yang tiga” adalah suatu lembaga adat kemasyarakatan
Tapanuli Selatan yan g merupakan satu kesatuan dari Suhut, Anak Boru dan Mora.43
4.1.1
Suhut
Yang dimaksud dengan suhut adalah pihak yang empunya kerja (acara) baik
yang bersaudara kandung maupun keluarga dekat. Semua pangkal pembicaraan adat
datangnya dari suhut dan biasa disebut “Bona ni api martimbus”. Kalau dilihat dari
hubungan darah, suhut adalah pihak sipengambil anak gadis dari mora. Suhut selalu
ditemani kawan sepengambilan yang disebut “Pareban” dan kalau di Angkola
Sipirok disebut “Hombar suhut” di mana fungsi mereka serupa dengan kerabat dekat
tapi gilirannya setelah kerabat dekat selesai markobar (berbicara pendapat).
Penuturan dalam suhut :
43
H. Syahmerdan Lubis, Adat Hangoluan Mandailing,(Medan: 1997) 91-187.
Universitas Sumatera Utara
1. Bapak ibu dari bapak kita disebut ompung
2. Ayah kandung dari ayah kita disebut amang
3. Ibu kandung kita disebut inang
4. Anak laki-laki yang tertua dari kita disebut angkang
5. Anak laki-laki yang termuda dari kita disebut anggi
6. Kakak atau adik perempuan dari ayah kita disebut namboru
7. Anak perempuan dari ayah kita disebut iboto
8. Anak perempuan namboru dari ayah kita disebut iboto
9. Abang dari ayah kita disebut amantua/tuwak
10. Adik laki-laki dari ayah kita disebut udak
11. Istri dari amantua kita disebut nantua/tuwak
12. Istri dari uda kita disebut nanguda
13. Anak laki atau anak perempuan dari kita disebut amang-inang.
Suhut ini di dalam urusan pesta-pesta seringkali tersinggung ataupun
berselisih pendapat dan sering memuncak yang terkadang sampai tidak “marsiolian”
atau tidak saling sapa dan tidak saling berkunjung satu sama lain. Semua mengetahui
bagi mereka yang satu darah hanya putus air tidak putus rotan (gotap tampulon aek
tai inda gotap otang). Oleh karena itulah kalau ada perselisihan bersaudara tidak
Universitas Sumatera Utara
boleh memutuskan hubungan silaturrahmi, terlebih-lebih hal ini telah dilarang dari
agama.
Hal lain yang sering menimbulkan perselisihan berkeluarga besar ataupun
sepihak suhut disebabkan harta pusaka. Penyelesaian melalui pengadilan bisa selesai,
tetapi hanyalah pada masalah materi, tapi
masalah persaudaraan hanya bisa
diselesaikan melalui dalian na tolu. Sering juga keluarga suhut lama berselisih tapi
bila ada pesta adat sering pada saat itu terjadi penyelesaian baikan kembali sehingga
“tampulon aek” benar-benar terbukti.
4.1.2
Mora
Mora adalah keluarga pihak anak gadis yang dipinang. Mora bisa bertingkat-
tingkat, antara lain sebagai berikut :
a. Mora pengambilan isteri ataupun mora pengambilan boru.
Mora ini baru satu kali memberikan anak gadisnya kepihak anak boru.
Kalau dalam pergaulan kelompok mora dialah tingkatan yang terakhir,
walaupun dalam prakteknya sering dikedepankan. Tetapi kalau dalam
urutan pembicaraan adat membicarakan anak gadis kita mau dilamar
orang, moralah yang berperan menetapkan garda atau yang
Universitas Sumatera Utara
menjatuhkan “ompong-ompong” kepada pihak calon pengantin lakilaki yang bermenantu.
b. Mora Ulubondar naso Hasop-sopan.
Mora ulubondar adalah keluarga pangkal ibu kita. Kalau digelanggang
paradaton harus ditunjukkan bahwa hormat kita melebihi menghadapi
mora ini dibanding mora pengambilan isteri kita. Mereka pun
mengetahui dan memberikan kelebihan kepada ulubondar dan sering
dalam pembicaraan sepakat ulubondarlah yang akan mewakili mora
menyampaikan sambutan dari pihak seluruh mora. Demikian pula
dalam
“anggaran
panortoran”
seharusnya
mora
ulubondar
didahulukan manortor boru mora pambuatan.
c. Mora Mataniari Sogak-gakon.
Mora ini biasa juga disebut “mora Liang Sotungkiron” atau “Mora
Sauntang-untang” yakni mora “abadi” yang telah turun temurun
mengambil anak gadis mereka mulai dari nenek dari nenek, nenek
sendiri, ayah, selalu mengambil gadis dari mora ini sehingga
hubungan kekeluargaan itu sudah lapis berlapis berulang-ulang.
Kedudukan mora mataniari sogak-gakon yang paling tinggi
Universitas Sumatera Utara
kedudukannya dan dalam pembicaraan adat kalau mora akan bicara
maka biasanya jatuhlah pilihan mewakili seluruh mora dan mora-mora
yang lain sepakat menyerahkan dengan ikhlas untuk mewakili mereka.
Penuturan dalam mora:
1. Nenek laki-laki dan yang perempuan dari pihak ibu kita disebut
ompung.
2. Abang, adik dari ibu kita disebut tulang.
3. Istri dari tulang kita disebut nantulang.
4. Anak laki-laki dari tulang kita disebut tunggane
5. Anak perempuan dari tulang kita atau pariban kita disebut anggi
6. Istri dari tunggane kita disebut ompung
7. Anak lelaki dari tunggane kita disebut tulang
8. Anak perempuan dari tunggane kita disebut parumaen atau maen
9. Tulang dari ibu kita = mora ni mora disebut ompung
10. Anak laki-laki dari nenek ibu kita disebut tulang.
4.1.3
Anak boru
Yang dimaksud dengan anak boru ialah keluarga yang mengambil anak gadis
kita. Jadi satu keluarga, satu ketika dia menjadi suhut, diurusan yang lain dia menjadi
Universitas Sumatera Utara
mora dan begitu pula pada masalah yang lain dia menjadi anak boru. Sebagaimana
mora dan anak boru pun ada tingkatannya yang mana tingkatan ini menentukan
pekerjaan yang boleh dikerjakannya secara langsung yakni :
a. Anak Boru Sisuruk Taruma.
Anak boru ini disebut juga anak boru “maninian”. Anak boru ini yang
paling dekat ke moranya, yang langsung ikut mengurus rumah tangga
moranya. Apa saja dan di mana saja kejadian, anak boru inilah yang lebih
dahulu bertindak turun tangan.
b. Anak Boru Goruk-goruk Kapinis.
Anak boru inilah yang disebut “sihorus nalobi sitamba nahurang” yang
mengetahui keadaan keseluruhan dari pihak moranya. Kalau ada orang
luar yang hendak menemui moranya ataupun Raja di kampung itu terlebih
dahulu permisi dan sekaligus menjembatani keluarga yang datang ini.
c. Anak Boru Haholongan.
Anak boru ini adalah anak boru harajaon yang datang dari kampung luar.
Anak boru ini ikut menangani urusan rumah tangga mora disatu pekerjaan
tapi tetap ikut bertanggung jawab. Pekerjaan dari anak boru haholongan
ini menyelesaikan semua urusan pembicaraan di gelanggang paradaton.
Universitas Sumatera Utara
Penuturan dalam Anak boru :
1. Kakak ataupun adik perempuan dari ayah disebut namboru
2. Suami dari namboru kita disebut amangboru
3. Anak lelaki dari amangboru kita disebut lae
4. Anak perempuan dari amangboru kita disebut ompung
5. Anak dari lae kita disebut bere
6. Mantu dari amangboru kita disebut iboto
7. Tutur ibu kita terhadap amangboru kita disebut ompung
8. Yang mengambil bere kita disebut bere huladongan
4.2 Kedudukan Unsur Dalian Na Tolu Sama Tinggi
Kedudukan unsur dalian na tolu pada hakikinya sama tinggi, dengan alasanalasan :
a. Kalau membuat suatu keputusan suhut, anak boru dan mora harus hadir
dengan hak suara yang sama. Kalau satu saja tidak hadir tidak boleh
diambil keputusan atau tidak sah keputusan bila dipaksakan juga diambil
keputusan.
Universitas Sumatera Utara
b. Dalian na tolu secara harafiah adalah tiga (3) batu yang sama tinggi yang
digunakan tumpuan penjerangan untuk memasak. Semua yang dimasak
kalau tidak sama rata tumpuannya yang tiga akan tumpah yang dimasak.
c. Giliran mora, anak boru dengan suhut berganti-ganti laksana mandi di
pancuran bergiliran.
d. Anak boru memberi kata putus. Kalau ada satu permasalahan di antara
suhut, diupayakan didamaikan oleh mereka yang bersaudara kandung
maupun familinya. Kalau tidak terselesaikan mereka dapat mengikut
sertakan mora untuk memberikan pandangan dan pertimbangan.
e. Dalam hal menghadapi kesulitan pihak suhut, penyelesaian biaya pesta
adat selalu diatasi mora bersama anak boru di mana sering digambarkan
seperti berikut ini :
1/3 pembiayaan ditanggung suhut
1/3 dipikulkan kepada kelompok mora
1/3 dibebankan kepada kelompon anak boru.
4.3 Perkawinan Adat Mandailing
Pada adat Mandailing, prosesi acara pernikahan memiliki tiap-tiap proses
yang sakral dan harus dilakukan. Antara lain dimulai dari manyapai boru (lamaran),
Universitas Sumatera Utara
manjagit sere (memberikan mahar), horja (pesta) dan bagian-bagian dari horja
(pesta). Dalam rangkaian pesta terdapat ende (nyanyian) Mandailing pada saat horja.
Dalam Adat Mandailing Setiap perkawinan harus diresmikan secara adat, yang
dilandasi oleh Dalian Na Tolu. Dalian Na Tolu adalah satu Lembaga Adat
Kemasyarakatan Mandailing yang dulunya masuk kebagian Tapanuli Selatan yang
merupakan kesatuan dari Suhut (kahanggi), Anak boru dan Mora.
Dalam masyarakat tradisional Mandailing perkawinan satu marga dilarang
karena masih terdapat satu darah ataupun masih satu keluarga misalnya antara
seorang gadis bermarga nasution dengan pemuda yang juga bermarga nasution karena
adat melarang hal itu. Dahulu, apabila terajdi perkawinan semarga akan dilaksanakan
upacara adat “pahabang manuk na bontar”. Konsekwensinya, pemuda dan gadis
yang kawin semarga itu diusir dari tempat tinggal (huta) mereka dan tidak lagi
memiliki hubungan kekerabatan dengan orang-orang yang tinggal di huta mereka.
Namun setelah masuknya agama Islam masyarakat Mandailing berkembang pesat,
dimana “perkawinan satu marga” sudah lumrah terjadi, sebab agama Islam tidak
melarang perkawianan semarga.
Di dalam masyarakat Mandailing juga terdapat dua jenis perkawinan yang
juga sudah lumrah ditemukan di daerah-daerah lainnya, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
4.3.1
-
Perkawinan marlojong; dan
-
Perkawinan dipabuat
Perkawinan marlojong
Lojong, artinya lari dan marloj
ONANG-ONANG DENGAN BEBERAPA ASPEKNYA
3.1 Fungsi Onang-onang Dalam Upacara Adat Perkawinan
3.1.1
Onang-onang sebagai sarana komunikasi
Pada masa dahulu masyarakat Mandailing mempunyai banyak ragam upacara
adat yang secara garis besarnya menjadi dua bahagian, yaitu upacara adat Siriaoan
(yang bersifat suka cita) dan upacara adat Siluluton atau Sidangolon (yang bersifat
duka cita). Pada masa sekarang sebahagian besar upacara adat yang pernah ada dalam
masyarakat Mandailing pada masa dahulu sudah menghilang. Hilangnya berbagai
upacara adat lama itu disebabkan berbagai hal. Antara lain karena kesukaran
ekonomi, sehingga tidak cukup biaya untuk menyelenggarakannya. Penyebab lain
juga karena telah masuknya agama Islam ke Mandailing sehingga jenis upacara adat
siluluton yang biasanya melangsungkan berbagai ritual acara, namun tidak lagi
dilaksanakan. Yang masih selalu diselenggarakan oleh orang Mandailing pada masa
ini ialah upacara adat siriaon, khususnya upacara adat perkawinan. Oleh karena itu
dalam konteks upacara adat yang demikian itulah fungsi onang-onang akan ditinjau.
Pada bahagian yang terdahulu telah dikemukakan bahwa onang-onang
merupakan nyanyian adat yang khusus dipergunakan untuk mengiringi tarian adat
Universitas Sumatera Utara
yang disebut tor-tor. Dalam suatu upacara adat perkawinan di Mandailing yang
disebut Mata Ni Horja, berbagai macam tarian tor-tor senantiasa ditampilkan sebagai
bahagian yang integral dari upacara adat tersebut. 38 Biasanya kegiatan manortor
(melakukan tarian adat) diawali dengan tor-tor suhut, yaitu tarian adat yang
dilakukan oleh anggota kerabat tuan rumah yang menyelenggarakan upacara adat.
Biasanya tor-tor suhut mula-mula ditarikan oleh beberapa orang perempuan dewasa
anggota kerabat suhut baru kemudian oleh beberapa orang kerabat laki-laki. Setelah
selesai tor-tor suhut biasanya disusul dengan tor-tor anak boru yang ditarikan oleh
anak boru yang dewasa dari suhut (tuan rumah), kemudian menyusul pula tor-tor
mora yang ditarikan oleh mora dari tuan rumah. Pada kesempatan yang demikian
tokoh-tokoh pemimpin masyarakat biasanya menarikan tor-tor raja-raja.
Dalam Mata Ni Horja (upacara adat perkawinan) kedua pengantin biasanya
dipator-tor (disuruh menari secara adat) setelah keduanya selesai di arak ke tepian
mandi di sungai atau bisa juga dibawa ke tapian masjid tempat pengambilan wudhu
apabila daerah pengantin tidak ditemukan tepian pemandan sungai yang dimaksud.
Hal ini disebutkan dengan Tapian Raya Bangunan, kemudian pulang ke rumah
pengantin pria tempat berlangsungnya upacara adat perkawinan. Untuk memeriahkan
38
H. Pandapotan Nasution, op.Cit, 372-403
Universitas Sumatera Utara
upacara para muda-mudi diberi pula kesempatan menarikan tor-tor na poso bulung
(tarian adat muda-mudi).
Pada waktu berbagai macam tor-tor tersebut ditarikan mengikuti irama
gondang tor-tor masing-masing biasanya seorang paronang-onang (penyanyi onangonang) berdiri di dekat rombongan pargondang atau paruning-uningan (pemain
musik tradisional) dan mengiringi tarian adat tersebut dengan onang-onang. Setiap
tor-tor yang ditarikan akan diiringi dengan onang-onang yang liriknya berbeda-beda
satu sama lain. Karena lirik yang dinyanyikan untuk mengiringi tor-tor harus sesuai
isinya dengan status sosial orang-orang yang menarikannya atau dengan
kedudukannya dalam upacara adat sedang diselenggarakan. Oleh karena itu
paronang-onang secara spontan akan menciptakan dan memilih lirik onang-onang
yang isinya sesuai untuk dinyanyikan buat mengungkapkan dan mengkomunikasikan
“berbagai hal berkenaan dengan siapa orangnya yang melakukan tarian tort-tor, tortor itu ditarikan”.39
Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa umumnya isi teks atau lirik onangonang bukan merupakan ungkapan perasaan atau pikiran pribadi orang yang
menyanyikannya. Tetapi suatu rangkaian narasi yang dianggap perlu dikomunikaskan
39
Z. Pangaduan Lubis, Penelitian Tesktual Dalam Jeir (makalah), (Medan, 1987), 7. Hal ini
juga dibenarkan oleh Aspan Matondang dan Bayo Lubis (paronang-onang dan pargondang
Mandailing) melalui hasil wawancara pada tanggal 28 Maret 2017 di PRSU Medan.
Universitas Sumatera Utara
oleh paronang-onang (penyanyi onang-onang) kepada pendengarnya, yakni khalayak
yang menghadiri upacara adat dimana onang-onang itu sedang dinyanyikan.
Biasanya, paronang-onang sudah mendapatkan data diri dari si pemilik acara. Baik
data diri pribadi siapa yang akan diceritakan dalam onang-onang nantinya, dalam hal
apa acara itu dibuat. Data diri sipemilim acara dan tujuan acara dibuat sangatlah
penting diketahui oleh penyanyi onang-onang, karena segala isi dari lirik onangonang nanti adalah menceritakan latar belakang si empunya acara dan maksud
didirikannya acara.
Kalau diperhatikan, dalam sifatnya yang naratif pada lirik atau teks onangonang pada umumnya berisi ungkapan tentang status sosial orang yang sedang
manortor (melakukan tarian adat) dan hal-hal yang penting hubungannya dengan
orang yang bersangkutan, puji-pujian atau sanjungan terhadap orang tersebut. Selain
dari isi yang demikian itu teks onang-onang mengandung pula ungkapan-ungkapan
tentang keadaan tempat dimana tor-tor dilakukan, dan tidak jarang pula teks onangonang yang mengandung ungkapan dan harapan untuk mendapat hal-hal yang baik
dalam kehidupan. Seperti misalnya tuah, kemuliaan, semangat hidup dan solidaritas
sosial.
Universitas Sumatera Utara
Pola dari Isi teks onang-onang yang dipergunankan dalam ansambel gondang
ada enam macam, yakni :
(1) Pembukaan,
(2) Penjelasan maksud upacara,
(3) Cerita latar belakang panortor,
(4) Pujian dan Nasehat
(5) Do‟a
Adanya pola keadaan isi lirik atau teks onang-onang seperti yang
dikemukakan di atas, mengandung petunjuk bahwa lirik onang-onang tidak dapat
diciptakan sembarangan saja oleh orang yang menyanyikannya. Tetapi isinya harus
sesuai dengan pola umum seperti yang tertera di atas. Sebab dalam tradisi masyarakat
Mandailing, onang-onang dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan
isi liriknya yang khas tersebut, sebagai narasi yang dipandang penting disampaikan
kepada khalayak yang hadir pada upacara adat. Dengan perkataan lain, pada upacara
adat, onang-onang sebagai pengiring tor-tor dimanfaatkan pula sebagai suata sarana
komunikasi yang artistik musikal.
Universitas Sumatera Utara
3.1.2
Onang-onang sebagai sarana sosialisasi adat
Suatu masyarakat senantiasa melakukan kegiatan sosialisasi atau mendidik
para warganya dengan berbagai cara dan menggunakan berbagai sarana, agar mereka
lama kelamaan benar-benar memahami kemudian menghayati dan selanjutnya
menggunakan nilai-nilai budayanya dalam kehidupan sehari-hari. Adat istiadat suatu
masyarakat mengandung nilai-nilai budaya masyarakat tersebut berupa norma-norma
atau aturan-aturan yang menjadi pegangan hidup warganya. Oleh sebab itu adatistiadat perlu disosialisasikan atau diajarkan kepada setiap warga pendukungnya.
Salah satu upacara yang penting dalam masyarakat Mandailing ialah upacara
adat perkawinan yang disebut Horja Boru atau Horja Haroroan Boru. Pada masa
dahulu biasanya diselenggarakan secara besar-besaran dan dihadiri oleh semua
lapisan masyarakat desa dan bahkan oleh penduduk dari desa tetangga. Upacara yang
demikian biasa berlangsung beberapa hari lamanya siang dan malam. Keadaannya
yang demikian itu membuat upacara adat tersebut cukup ideal dijadikan sebagai
kesempatan untuk kegiatan sosialisasi adat bagi masyarakat, terutama bagi generasi
muda. Sebab selama berlangsungnya upacara tersebut berbagai macam kegiatan adat
seperti misalnya musyawarah-musyawarah adat yang diisi dengan pidato-pidato,
acara memberi gelar dan memberi nasehat kepada pengantin diselenggarakan. Semua
Universitas Sumatera Utara
kegiatan itu secara langsung atau tidak langsung memberi pendidikan kepada halayak
yang hadir.
Pada kesempatan yang demikian onang-onang juga dapat menjadi sarana
soasialisasi adat. Sebab liriknya yang dinyanyikan untuk mengiringi berbagai macam
tor-tor banyak mengandung isi yang berkaitan dengan adat-istiadat. Misalnya
ungkapan yang menggambarkan status, fungsi dan unsur-unsur dalian na tolu, juga
yang mengungkapkan fungsi na poso na uli bulung (generasi muda) dan juga
ungkapan yang menggambarkan makna lambang-lambang adat seperti bendera kain
adat dan lain sebagainya. Karena ungkapan-ungkapan yang berisi aspek adat itu
disampaikan
dalam
bentuk
nyanyian
tentu
orang-orang
merasa
terkesan
mendengarnya. Dengan perkataan lain, unsur artistik musikal yang terdapat dalam
onang-onang membuatnya menjadi suatu sarana sosialisasi adat yang efektif dan
komunikatif. Sebab kedua unsur tersebut membuat orang merasa lebih tertarik dan
senang mendengar onang-onang yang liriknya banyak mengandung ungkapan
mengenai aspek-aspek adat Mandailing. Dalam hubungan ini dapat pula diingat
bahwa dalam suatu upacara adat perkawinan yang besar onang-onang dinyanyikan
berpuluh kali untuk mengiringi tor-tor yang berulang-ulang ditarikan siang dan
malam selama berlangsungnya upacara adat tersebut. Setiap kali tor-tor ditarikan oleh
Universitas Sumatera Utara
orang yang berlain-lainan dan onang-onang dinyanyikan pula untuk mengiringi
halayak yang terdiri dari berbagai lapisan dan golongan menyaksikan secara ramairamai. Dalam keadaan yang demikian itu tentu saja dapat dipahami betapa efektifnya
onang-onang sebagai sarana sosialisasi adat bagi masyarakat yang selalu
mendengarkan secara tekun dan penuh perhatian pada waktu dinyanyikan dengan
iringan musik gondang.
Keadaan ini sesungguhnya dapat menggambarkan betapa bijaksananya
masyarakat tradisional dimasa dahulu memilih sarana sosialisasi adat yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur musikal sehingga penggunanya menjadi lebih efektif
dan komunikatif di tengah masyarakat. Di samping itu sarana sosialisasi yang efektif
dan kominaktif itu dipergunakan pula pada kesempatan yang terpilih da selalu
dihadiri oleh anggota masyarakat dari semua lapisan dan jenjang umur, yaitu dalam
upacara adat yang diselenggarakan secara berulang-ulang dari waku ke waktu.
3.2 Hubungan Onang-onang dengan Tor-tor
Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan mana yang lebih dahulu lahir
tor-tor atau onang-onang. Argumentasi untuk mendukung pendapat yang mengatakan
tor-tor lebih dahulu lahir dari onang-onang atau sebaliknya banyak dikemukakan.
Tetapi tak seorangpun dapat ditemukan sebagai saksi hidup yang pernah melihat
Universitas Sumatera Utara
bagaimana proses lahirnya tarian dan nyanyian adat tersebut. Tetapi Furer
Helmendorf mengungkapkan, musik primitif bergema dalam kegelapan merangkul
penyanyinya, membuat mereka menjadi satu keutuhan, hingga akhirnya mereka
bergabung dalam satu kesatuan tari.40
Hubungan onang-onang dengan tor-tor kelihatannya memang merupakan satu
keutuhan. Artinya dalam tradisi masyarakat Mandailing onang-onang tidak
dinyanyikan kecuali untuk mengiringi tor-tor. Tetapi ada kenyataan yang
menunjukkan bahwa kadang-kadang tor-tor ditarikan meskipun tidak diiringi dengan
onang-onang, karena kebetulan penyanyi onang-onang (paronang-onang) tidak dapat
ditemukan.
Kebutuhan hubungan onang-onang dengan tor-tor senantiasa diikat oleh
musik gondang yang berfungsi sebagai pengiring tor-tor dan sekaligus juga menjadi
pengiring onang-onang. Musik gondang sebagai pengikat keutuhan tor-tor dan
onang-onang kelihatan mutlak kedudukannya, dalam arti tidak ada tor-tor dan onangonang apabila tidak ada musik gondang yang mengiringi keduanya.
Dalam hubungan yang utuh atau tak terpisahkan antara tor-tor dengan onangonang, dapat dilihat bahwa onang-onang mengandung sifat naratif. Artinya nyanyian
40
Sach, Curt, Pokok-pokok Pikiran dan Metode (terjemahan Drs. Taslimuddin Dt. Tungga),
(Padang Panjang Akademi Seni Karawitan Indonesia, 1981), 2.
Universitas Sumatera Utara
tersebut menyediakan narasi buat tor-tor yang diiringinya. Sebagai contoh kongkrit,
dalam lirik onang-onang terdapat kata-kata yang mengatakan : On ma inang
pamabayangidoan I, Pangidoan baya di matobang i, Sanga pe dongan na dua tolu
on, Allai le taronang daboti baya onang (inilah permintaan si mora (tuan rumah),
permintan dihari tuanya, dan juga permintaan keluarga lainnya, inilah wahai
keinginan hati). Lirik onang-onang yang berbunyi demikian ini jelas merupakan
narasi yang menjelaskan tor-tor apa yang sedang ditarikan dan diiringi oleh onangonang tersebut. Lirik naratif yang demikian itu berfungsi untuk memberikan
informasi kepada halayak tentang siapa dan apa status sosial orang-orang yang
sedang melakukan tarian tor-tor.
Melihat kenyataan bahwa dalam tradisi masyarakat Mandailing, onang-onang
hanya dibunyikan apabila tor-tor ditarikan, dapatlah dikatakan bahwa dalam satu segi
onang-onang dan tor-tor mengandung hubungan kausal. Artinya onang-onang
dinyanyikan sebab tor-tor ditarikan bukan karena onang-onang dinyanyikan. Pada
masa dahulu masyarakat Mandailing mempunyai pandangan bahwa penyelenggaraan
tarian adat atau tor-tor tidak sempurna keadaan apabila tidak diiringi dengan onangonang. Adanya pandangan demikian ini dapat menunjukkan bahwa pada masa dahulu
masyarakat Mandailing menempatkan onang-onang dan tor-tor dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang fungsional. Dalam pengertian lain, apabila salah satu diantara
keduanya tidak berfungsi maka yang lainnya menjadi tidak berfungsi pula secara
sempurna.
Hubungan onang-onang dan tor-tor seperti yang dikemukakan di atas adalah
hubungan keduanya pada masa yang lalu. Yaitu pada masyarakat Mandailing masih
amat terikat oleh adat atau tradisi lama. Perubahan yang sudah banyak terjadi dalam
kehidupan masyarakat Mandailing sejak masa pendudukan Jepang sampai sekarang,
kelihatannya onang-onang dan tor-tor tidak lagi merupakan kesatuan yang utuh.
Dengan maksud lain adalah pada masa sekarang tor-tor yang ditarikan dalam upacara
adat Mandailing sudah jarang sekali diiringi dengan onang-onang yang dinyanyikan
secara langsung. Dikarenakan sulitnya mendapatkan penyanyi onang-onang
(paronang-onang) yang benar-benar fasih dibidangnya. Begitu pula sebaliknya.
Tidak jarang ditemukan suatu acara yang mengadakan onang-onang namun tidak
diiringi dengan tarian tor-tor.
Pada masyarakat Mandailing yang mengetahui adat seperti para informan,
dinyakatakan bagaimana pendapatnya kalau tor-tor dalam upacara adat atau tidak
diiringi onang-onang, umumnya mereka memberi jawaban bahwa keadaan yang
demikian itu sebenarnya kurang baik atau kurang sesuai dengan adat Mandailing.
Universitas Sumatera Utara
tetapi keadaan itu terpaksa diterima karena sekarang keadaan masyarakat tidak lagi
sama dengan masa lalu.
3.3 Onang-onang Pada Masa Sekarang
Aspek musikal atau melodi pada nyanyian adat (onang-onang) tersebut boleh
dikatakan hampir tidak mengalami perubahan sama sekali. Tetapi aspek tekstualnya
cukup banyak mengalami perubahan. Artinya, pada masa dahulu umunya paronangonang selalu menggunakan kata-kata adat atau kata-kata sastra Mandailing untuk lirik
onang-onang. Yang dimaksud dengan kata-kata adat dalam hal ini ialah kata-kata
bahasa Mandailing yang selalu dipergunakan dalam upacara atau pidato-pidato adat.
Sedangkan yang dimaksud dengan kata-kata sastra Mandailing adalah kata-kata yang
biasanya dipergunakan dalam sastra lisan Mandailing, seperti misalnya cerita rakyat
Mandailing yang dinamakan turi-turian atau kata-kata yang memberangkatkan
pengantin perempuan ke tempat calon suaminya.
Pada masa sekarang tiga atau empat orang Mandailing yang masih bisa
menyanyikan onang-onang boleh dikatakan tidak sepenuhnya lagi menguasai katakata adat maupun kata-kata sastra Mandailing. Terjadinya perubahan dalam ragam
bahasa teks atau lirik onang-onang ini kemungkinan sekali disebabkan sastra lisan
Mandailing (turi-turian) dan andung-andung sudah hampir hilang sama sekali dari
Universitas Sumatera Utara
kehidupan masyarakat Mandailing. terjadinya berbagai perubahan sosial budaya
dalam masyarakat Mandailing menyebabkan upacara adat semakin jarang
diselenggarakan. Keadaan yang demikian ini menyebabkan onang-onang pun
semakin jarang pula dinyanyikan. Sebab onang-onang menurut tradisi masyarakat
Mandailing hanya dinyanyikan dalam upacara adat untuk mengiringi tor-tor. Para
paronang-onang di Mandailing yang dahulu banyak jumlahnya semakin lama
semakin berkurang, karena satu demi satu tutup usia. Sedangkan penggantinya
dikatakan tidak lahir Karena generasi muda tidak lagi terdorong untuk mempelajari
onang-onang yang sudah semakin jarang dinyanyikan. Disamping itu apresiasi
generasi muda dalam masyarakat Mandailing terhadap onang-onang sebagai
nyanyian adat yang tradisional semakin berkurang akibat pengaruh banyaknya lagulagu hiburan yang lebih disukai oleh generasi muda tersebut.
3.4 Onang-onang dan Paronang-onang
3.4.1
Paronang-onang sebagai penyanyi tradisional
Hal lazimnya onang-onang hanya dinyanyikan oleh orang-orang tertentu saja
yang disebut Paronang-onang. Untuk dapat menjadi paronang-onang (yang baik),
seseorang memerlukan sejumlah persyaratan. Baik yang bersifat alamiah maupun
persyaratan dipelajari sebagai keterampilan (skill).
Universitas Sumatera Utara
Persyaratan yang bersifat alamiah itu antara lain ialah bakat, kualtias vokal
yang baik dan kualitas pernafasan yang lumrah disebut nafas yang panjang. Dalam
hal ini yang dipandang sebagai bakat ialah kemampuan yang dibawa lahir oleh
seseorang yang membuatnya dapat dengan mudah menyanyikan irama atau melodi
onang-onang tanpa lebih dahulu banyak mempelajarinya secara khusus. Biasanya
seseorang mengembangkan bakatnya untuk menjadi paronang-onang hanya dengan
banyak memperhatikan bagaimana caranya paronang-onang menyanyi. Kemudian
berdasarkan hasil pengamatan itu dia berlatih. Selanjutnya dia mencoba
kepandaiannya dalam upacara adat.
Kualitas vokal yang baik diperlukan seseorang yang ingin menjadi paronangonang agar khalayak suka dan senang mendengar suaranya pada waktu maronangonang (menyanyikan onang-onang). Sedangkan kualitas pernafasan yang baik
diperlukan agar ia dapat menyanyikan lirik onang-onang sesuai dengan tuntutan
melodi nyanyian tersebut. Tanpa adanya terputus-putus pada bahagian-bahagian yang
seharusnya pengucapan lirik dilakukan dengan satu tarikan nafas.
Persyaratan penting bagi seorang paronang-onang yang dapat dipelajarinya
dari orang lain ialah pengetahuan tentang adat-istiadat Mandailing. termasuk di
dalamnya penguasaan istilah-istilah adat dan kemampuan menggunakan ragam
Universitas Sumatera Utara
bahasa adat yang diperlukan untuk menciptakan lirik onang-onang yang baik. Karena
onang-onang dalam tradisi masyarakat Mandailing baik dahulu sampai sekarang
hanya bisa dinyanyikan oleh orang-orang yang benar-benar dapat menyanyikan
onang-onang sebagaimana mestinya menurut ketentuan adat. Maka paronang-onang
dapat digolongkan sebagai penyanyi tradisional. Yaitu penyanyi yang terikat oleh
tradisi atau aturan-aturan adat yang hidup turun-temurun dalam masyarakat
Mandailing.
Onang-onang dan paronang-onang merupakan satu kesatuan yang benarbenar teritegrasi dalam adat. Sebab onang-onang sebagai nyanyian dan paronangonang sebagai orang yang menyanyikannya dipandang dapat befungsi hanya dalam
upacara adat. Dengan kata lain onang-onang tidak lazim dinyanyikan di luar upacara
adat dan paronang-onang pun tidak lazim menyanyikan onang-onang disembarang
waktu tanpa tujuan untuk mengiringi tor-tor.
3.4.2
Paronang-onang sebagai pencipta lirik
Lirik onang-onang sifatnya tidak permanen, tetapi keadaannya selalu
berubah-ubah sesuai dengan jenis tor-tor yang diiringinya. Selain itu perubahan liri
onang-onang tergantung pula kepada pengantin yang dinyanyikan. Artinya, masing-
Universitas Sumatera Utara
masing paronang-onang boleh dikatakan tidak akan menyanyikan lirik yang identik
meskipun itu mengiringi tor-tor yang sama jenisnya.
Setiap paronang-onang sesungguhnya adalah juga pencipta lirik onang-onang
yang dinyanyikannya. Dalam masyarakat Mandailing tidak terdapat orang yang
berfungsi sebagai pencipta lirik onang-onang kecuali para paronang-onang itu
sendiri. Penciptaan lirik onang-onang oleh paronang-onang tidak dilakukan dengan
cara menuliskannya. Tetapi lirik yang diperlukan diciptakan di dalam pikiran si
paronang-onang pada saat ia menyanyi, kemudian diucapkan langsung sebagai
nyanyian. Oleh sebab itulah maka dapat dikatakan bahwa lirik onang-onang
diciptakan secara spontan oleh paronang-onang pada saat ia bernyanyi mengiringi
tor-tor. Dalam hubungan ini kemungkinan saja ada paronang-onang yang lebih dulu
menyusun semacam kerangka atau garis besar dari lirik onang-onang yang akan
diucapkannya sebelum ia mulai bernyanyi. Namun demikian kerangka lirik onangonang itu hanya tersimpan di dalam pikirannya dan sama sekali tidak dituliskan.
Untuk dapat menciptakan lirik onang-onang yang baik yaitu lirik yang benarbenar sesuai sebagai narasi bagi tor-tor yang diiringinya, relevan pula isi kata-katanya
dengan status yang manortor, dapat melukiskan suasana dan keadaan upacara adat
dengan tepat dan baik serta memakai bahasa yang berkadar sastra, paronang-onang
Universitas Sumatera Utara
haruslah mempunyai bahan referensi yang cukup. Bahan referensi tersebut tentu saja
yang berkenaan dengan adat-istiadat, ragam bahasa stastra, totr-tor maupun materi
lain yang berkaitan dengan budaya Mandailing. Bahan-bahan tersebut tentu pula
harus dikuasai dengan baik oleh seorang paronang-onang, sebab ia akan
menggunakan secara spontan pada saat diperlukan ketiika menciptakan lirik onangonang. Keadaan ini dapat menunjukkan betapa tidak mudahnya menjadi seorang
paronang-onang yang baik.
Penguasaan unsur bahasa yang baik, yaitu yang mengandung kadar sastra juga
amat penting bagi seorang paronang-onang sebagai pencipta lirik. Sebab unsur
bahasa tersebut merupakan faktor yang sangat penting dan sangat menentukan baik
buruknya kualitas lirik onang-onang yang akan diciptakan. Karena baik buruknya
kualitas lirik langsung menunjukkan kepada khalayak bagaimana kemampuan dan
kualitas paronang-onang sebagai pencipta lirik, maka masyarakat umumnya
menjadikan kualitas paronang-onang itu sendiri sebagai criteria untuk menilai baik
buruknya kualitas seorang paronang-onang. Menurut lazimnya masyarakat
Mandailing pada masa yang lalu member kedudukan yang terpandang bagi seorang
paronang-onang ditengah masyarakat apabila ia dinilai mampu menciptakan liriklirik yang baik bagi onang-onang yang dinyanyikan dalam berbagai upacara adat.
Universitas Sumatera Utara
3.4.3
Kedudukan paronang-onang dalam masyarakat
Pada masa yang lalu, paronang-onang sebagai salah satu unsur fungsional
dalam sistem upacara adat dengan sendirinya mendapata kedudukan yang penting
dalam masyarakat Mandailing. Oleh karena itu setiap huta (desa) sebagai suatu
kelompok masyarakat (komunitas) mempunyai beberapa orang paronang-onang yang
berfungsi untuk mengiringi tor-tor dalam berbagai upacara adat yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat tersebut. Dalam menjalankan fungsinya itu paronang-onang
tidak diberi upah. Sebab penyelenggaraan upacara adat merupakan kegiatan yang
dilakukan secara gotong royong suka rela. Namun demikian, untuk menjalankan
peranannya dalam suatu adat secara bersama-sama dengan pemain musik (paruninguning) biasanya paronang-onang diundang dengan cara adat. Artinya undangan
paronang-onang disampaikan dengan menyuguhkan sirih adar (burangir adat), dan
paronang-onang diperluakukan sebagaimana halnya dengan pemain musik.41
Dalam hal ini paronang-onang bukan sebagai penyanyi biasa tetapi
mempunyai fungsi khusus sebagai penyanyi nyanyian adat, maka kedudukannya
dihormati dalam masyarakat. Dalam hubungan ini ada paronang-onang yang disebut
sebagai paronang-onang bagas godang (semacam penyanti istana). Paronang yang
41
Abd. Rahman Dalimunte dan Sondah Pohan, (Adat Daerah Tapanuli Selatan Surat
Tumbago Holing, Medan, Tanpa Penerbit, 1985)
Universitas Sumatera Utara
demikian adalah paronang-onang yang sengaja dipelihara oleh raja karena
keahliannya lebih menonjol dari paronang yang lainnya.
Sudah sejak lama onang-onang sebagai nyanyian adat Mandailing dalam
proses kepunahan, maka dengan sendirinya kedudukan paronang-onang pada masa
ini sudah banyak mengalami perubahan. Paronang-onang pun sekarang sudah amat
langka dan susah didapat. Regenerasi dikalangan paronang-onang boleh dikatakan
tidak pernah terjadi sejak berkurangnya secara drastic penyelenggaraan upacara adat
dalam masyarakat pedesaan di Mandailing. kalaupun masih ada, dua atau tiga orang
yang bisa maronang-onang (menyanyikan onang-onang) di Mandailing. Dan
masyarakat tidak lagi memberikan kedudukan kepada mereka seperti kedudukan yang
diberikan kepada mereka pada masa lalu.
3.5 Hubungan Gondang Dengan Onang-onang
3.5.1
Gondang sebagai musik pengiring onang-onang
Menurut tradisi onang-onang waktu dinyanyikan diiringi dengan musik
gondang tor-tor. Musik pengiring onang-onang tidak hanya satu ragam saja, tetapi
bermacam ragam sesuai dengna ragam musik gondang yang dipergunakan untuk
berbagai ragam tor-tor. Dengan perkataan lain, smeua ragam musik gondang untuk
ragam tor-tor dipergunakan untuk mengiringi onang-onang. Teapi meskipun
Universitas Sumatera Utara
pengiring onang-onang, namun irama atau melodi onang-onang hanya satu macam
saja yang dinyanyikan dengan tempo yang disesuaikan dengan tempo musik gondang
pengiringnya. Misalnya melodi onang-onang yang dinyanyikan dengan iringan
(irama) gondang raja-raja sama dengan melodi onang-onang yang diiringi dengan
gondang sampedang. Tetapi tempo yang dihasilkan bisa saja berbeda karena
disesuaikan dengan kehendak musik pengiring yang berlainan.
Menurut tradisi onang-onang hanya dinyanyikan apabila gondang dibunyikan
untuk mengiringi tor-tor. Dengan perkataan lain onang-onang tidak dinyanyikan
apabila tor-tor tidak ditarikan dengan iringan gondang. Keadaan ini dengan jelas
menunjukkan bahwa eksistensinya onang-onang tergantung secara mutlak kepada
tor-tor dan gondang pengiringnya sebagai suatu kesatuan mutlak antara dua unsur
yakni tari dan musik.
Menilik keadaan yang demikian, ada kemungkinan bahwa pada mulanya
gondang tidak sengaja diciptakan untuk mengiringi onang-onang secara khusus.
Tetapi bisa jadi gondang diciptakan pada mulanya adalah khusus untuk pengiring tortor. Dan kemudian musik tersebut untuk mengiringi onang-onang. Sebab
eksistensinya tor-tor mutlak tergantung kepada musik gondang dan eksistensinya
Universitas Sumatera Utara
onang-onang mutlak pula tergantung kepada tor-tor. Keadaan ini memperjelas
kedudukan dan peranan onang-onang sebagai pemberi narasi bagi tor-tor.
Diatas sudah dikemukakan bahwa irama atau melodi onang-onang yang
dinyanyikan untuk mengiringi bermacam-macam tor-tor hanya satu macam saja.
Tetapi irama musik gondang yang dipergunakan untuk mengiringi bermacam-macam
sesuai dengan ragam tor-tor yang diiringinya. Hal ini menunjukkan bahwa irama
musik gondang tidak tergantung kepada melodi onang-onang dan juga tidak
sebaliknya. Dengan perkataan lain irama atau melodi onang-onang berdiri sendiri
demikian pula irama musik gondang pengiringnya. Tetapi dalam mengiringi tor-tor
keduanya menjadi satu kesatuan.
Keadaan sekarang, onang-onang sudah tidak tergantung lagi secara mutlak
kepada tor-tor dan gondang. Artinya kadang-kadang onang-onang dinyanyikan
dengan iringan gondang dalam keadaan yang terlepas dari tor-tor. Misalnya dalam
acara kesenian tradisional Mandailing yang disiarkan dari radio. Dalam acara tersebut
onang-onang dinyanyikan tanpa ada orang yang menarikan tor-tor. Tetapi keadaan
yang demikian ini adalah keadaan yang terlepas dari tradisi lama masyarakat
Mandailing. Atau dapat dikatakan sebagai suatu “tradisi baru” yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Contoh lain juga bisa ditemukan dalam upacara adat
Universitas Sumatera Utara
perkawinan. Banyak ditemukan bahwa masyarakat Mandailing yang mengadakan
upacara adat perkawinan yang ingin melangsungkan horja godang dengan menaikkan
gondang dan onang-onang, tidak lagi diiringi dengan tor-tor. Dikarenakan sudah
tidak adanya lagi minat muda-mudi yang ingin manortor dalam acara adat. Dan rajaraja yang benar-benar tau mengenai adat pun sudah pergi mendahului. Alhasil
keluaraga raja-raja sebagai penerus pun sudah tidak lagi memahami bagaimana
prosesi upacara adat di Mandailing. Hal itu juga dikarenakan turunan raja-raja banyak
yang hidup di perantauan.
3.5.2
Pargondang dan paronang-onang
Dalam memelihara status dan menjalankan peranannya sebagai penyanyi
tradisional dalam masyarakat Mandailing, paronang-onang tergantung kepada
pargondang atau paruning-uningan. Sebab paronang-onang praktis tidak dapat
menjalankan peranan dan fungsinya kalau pargodang tidak menjalankan peranan
mereka tanpa harus disertai oleh paronang-onang.
Karena aktivitas paronang-onang tergantung secara mutlak kepada aktivitas
pargondang dalam upacara adat, maka dengan sendirinya paronang-onang selalu
menjalin hubungan akrab dengan pargondang, dan keduanya sama-sama merupakan
unsur fungsional dalam sistem upacara adat. Dari astu segi dapat dilihat bahwa
Universitas Sumatera Utara
paronang-onang menjalankan peranan yang lebih kreatif dari pargondang. Sebab
dalam setiap kali menjalankan aktivitasnya yang tergantung kepada kegiatan
pargondang, paronang-onang harus maronang-onang. Sementara pargondang hanya
memainkan musik menurut pola irama yang permanen dan tidak menciptakan
sesuatu. Karena adanya peranan paronang-onang maupun pargondang yang
fungsional dalam sistem upacara adat, maka keduanya mendapat kedudukan yang
cukup dihargai di tengah-tengah masyarakat Mandailing pada masa yang lampau.
3.6 Beberapa Aspek Tekstual Onang-onang
3.6.1
Ragam bahasa lirik onang-onang
Bahasa Mandailing sampai sekarang masih dipakai di daerah Mandailing dan
di daerah-daaerah lain di perantauan dalam pelaksanaan komunikasi di antara sesama
etnik Mandailing. Bahasa Mandailing mempunyai logat dan aksen (irama) yang
lemah lembut dan dibawakan dengan suara halus. Sesuai dengan pemakaiannya
bahasa Mandailing terdiri dari :
a.
Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat)
b.
Bahasa andung (bahasa waktu bersedih)
c.
Bahasa parkapur (bahasa waktu di hutan)
d.
Bahasa na biaso (bahasa sehari-hari)
Universitas Sumatera Utara
e.
Bahasa bura (bahasa waktu marah/kasar)42
Sayang bahasa ini tidak begitu dikenal lagi dan didalami, terutama oleh
generasi penerus. Sedangkan menurut Mangaraja Gunung Sorik Marapi bahasa
Mandailing dibagi atas 5 macam, yaitu :
a. Hata somal i ma na niparkasajahon ari-ari
Istilah dan kosakata yang dipergunakan sehari-hari.
b. Hata andoeng di hatiha siloeloeton
Istilah dan kosakata dalam peristiwa duka.
c. Hata teas dohot djampolak di hatiha parbadaan
Istilah dan kosakata dalam perkelahian.
d. Hata sibaso di hatiha hadatoean
Istilah dan kosakata dalam upacara spiritual (kedukunan)
e. Hata parkapoer hatiha di harangan
Istilah dan kosakata sewaktu berada dikawasan hutan.
Singkatnya, ada bahasa biasa, bahasa bersedih, bahasa marah, bahasa datu
(spiritual) dan bahasa di hutan. Ragam bahasa ini mempunyai istilah-istilah tersendiri
yang berlainan Dari istilah-istilah ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Karena hata
andung mengandung nilai sastra yang punya kekuatan untuk menggugah perasaan
orang lain, maka ragam bahasa inilah yang banyak dipakai dalam lirik onang-onang
42
H. Pandapotan Nasution, SH. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Penerbit
FORKALA. (Prov. Sumatera Utara. 2005.)14-17
Universitas Sumatera Utara
yang dicampur sedikit dengan ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Kadang-kadang
ragam bahasa hata andung disebut orang juga sebagai ragam bahasa adat. Sebab
ragam bahasa tersebut banyak dan sering dipergunakan dalam upacara adat. Oleh
sebab itulah makan orang juga mengatakan bahwa lirik onang-onang menggunakan
bahasa adat.
3.6.2
Aspek sastra dalam lirik onang-onang
Di
atas
telah
dikemukakan
bahwa
lirik
onang-onang
biasanya
mempergunakan ragam bahasa hata andung yang mengandung nilai sastra dicampur
sedikit dengan ragam bahasa sehari-hari (hata somal). Lirik onang-onang yang tidak
banyak mempergunakan ragam bahasa tersebut dianggap kurang baik mutunya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek sastra ikut menentukan mutu lirik
onang-onang. Dituntunnya penggunaan ragam bahasa yang mengandung nilai sastra
untuk lirik onang-onang bertujuan agar lirik tersebut ketika dinyanyikan dapat
dengan mudah menggugah perasaan atau emosi khalayak yang mendengarnya.
Kekuatan bahasa yang dapat menggugah perasaan itu lahir dari aspek artistik
(keindahan) yang terkandung di dalam ragam bahasa hata andung.
Kedudukan aspek sastra dalam lirik onang-onang kelihatan hampir bersifat
mutlak. Sebab lirik onang-onang harus senantiasa mempergunakan istilah-istilah
Universitas Sumatera Utara
ragam hata andung agar dapat dipandang baik. Demikianlah menurut tradisi lama
masyarakat Mandailing yang kini sudah tidak dapat lagi menghadapi berbagai
perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Penekanan aspek sastra dalam
lirik onang-onang tidak pada persajakan atau persamaan bunyi kata pada akhir setiap
baris lirik. Tetapi penekanannya ialah pada pemilihan dan penggunaan kata-kata yang
diambil dari ragam bahasa sastra yang disebut hata andung tersebut.
3.6.3
Bentuk lirik onang-onang
Untuk mendapatkan contoh lirik onang-onang yang dinyanyikan dalam
upaacara adat seperti upacara adat perkawinan di Mandailing sudah terbilang sukar.
Sebab
pada
masa
belakangan
ini
sudah
jarang
masyarakat
Mandailing
menyelenggarakan upacara adat yang didalamnya terdapat onang-onang. Apabila ada
masyarakat mengadakan upacara adat perkawinan pun tidak semuanya menggunakan
onang-onang didalam bagian dari acara tersebut. Hal ini dikarenakan zaman yang
tidak lagi menuntut tentang budaya. Bahkan dari segi pakaian adat Mandailing saja
sudah banyak dirubah oleh perias pengantin dan juga dari kemauan pengantin
tersebut. Apabila masyarakat Mandailing mengadakan upacara adat perkawinan yang
di dalamnya menggunakan acara onang-onang pun tetap tidak seperti dahulu yang
lengkap dengan iringan tor-tor.
Universitas Sumatera Utara
Pengguna tor-tor dalam upacara adat perkawinan pada masa sekarang ialah
mereka yang merasa dirinya adalah keturunan raja-raja adat. Apabila pun tidak begitu
halnya, mereka adalah golongan orang-orang yang terbilang sangat mampu (kaya)
sehingga mereka bisa melangsungkan acara di gedung dikarenakan juga sudah sangat
jarang didapatkan halaman bolak dalam melangsungkan upacara adat perkawinan.
Biasanya mereka yang golongan kaya (pejabat daerah) melangsungkan pesta
perkawinan di gedung dan di dalamnya terdapat acara onang-onang yang diiringi
dengan tor-tor pengantin maupun rombongannya. Namun apabila masyarakat yang
ingin mengadakan pesta perkawinan dengan mengandalkan onang-onang tetapi tidak
di gedung (halaman rumah), bisa saja tetap mengadakan onang-onang dengan panaek
gondang tanpa diiringi tor-tor. Tidak adanya iringan tor-tor dalam onang-onang
tersebut dikarenakan berbagai macam alasan yang tentunya sudah disepakati oleh
yang punya acara. Hal demikian biasanya bukan lagi pesta mangadati (mengadati
acara) hanya saja sebagai simbolis orang Mandailing (musik tradisional).
Jumlah bait dalam lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk satu
kesempatan juga bervariasi. Ada lirik yang terdiri dari 10 baris dalam setiap bait, ada
tiga belas baris dalam setiap bait dan bahkan ada juga yang lima belas baris setiap
bait. Jumlah bait dari lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk satu kesempatan
Universitas Sumatera Utara
juga bervariasi. Tetapi pada intinya pola dalam teks lirik onang-onang memiliki lima
tema dan setiap bait mewakili isi dari tema.
Dengan melihat kenyataan seperti yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan
bahwa bentuk dan struktur atau susunan lirik onang-onang tidak tetap. Tetapi
berbeda-beda sesuai dengan jenis tor-tor yang diiringi atau tergantung dari narasi
yang ingin diungkapkan.
Ini tentunya tergantung kepada paronang-onang yang
menciptakan dan sekaligus menyanyikannya.
3.6.4
Tema atau isi lirik onang-onang
Pada umumnya bait pertama lirik onang-onang mengandung isi yang
bertemakan pembukaan yang didalamnya terkandung pula rasa syukur atas
terlaksananya acara. Sedangkan tema atau isi yang terkandung dalam bait-bait
berikutnya bermacam ragam. Tetapi kalau tilik secara garis besarnya tema yang
bermacam ragam itu umumnya berkenaan dengan :
a. Status orang yang sedang melakukan tor-tor
b. Puji-pujian atau sanjungan kepada yang sedang manortor
c. Aspek adat-istiadat Mandailing
d. Keadaan dan suasana upacara adat ketika onang-onang dinyanyikan
e. Keadaan lingkungan tempat upacara adat diselenggarakan
Universitas Sumatera Utara
f. Sarana-sarana dan benda-benda adat yang dipergunakan dalam upacara adat
g. Harapan-harapan untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama atau doa
selamat untuk orang-orang tertentu yang diutamakan dalam upacara adat,
seperti misalnya pasangan pengantin
h. Pemupukan solidaritas sosial dan pelestarian adat-istiadat
Beberapa dari sejumlah tema pokok yang dikemukakan ini dapat sekaligus
muncul dalam lirik yang dinyanyikan oleh seorang paronang-onang untuk satu kali
kesempatan bernyanyi. Lirik onang-onang tidak lazim hanya diisi dengan satu tema
tunggal saja. Tema pokok yang dikemukakan di atas, biasanya selalu muncul
berulang-ulang dalam lirik onang-onang yang dinyanyikan untuk mengiringi
berbagai jenis tor-tor yang ditarikan dalam satu upacara adat.
Untuk dapat mengenal bentuk, struktur maupun isi atau tema lirik onangonang secara kongkrit, akan dituliskan contoh teks lirik onang-onang yang
ditranskripsikan dari rekaman upacara adat perkawinan dari saudara Anwar dan
Hanan di Panyabungan pada tanggal 17 September 2016 ialah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Pembukaan
Ile onang baya
Marulak ulak mambasu botohon i
Majawek ma di rodang baya rodang on
Marulak ulak hata sidokkon on i
Hata boti ni onang baya onang on
Por udan ale adi ma ambolas i
Di arangan jolo sinonoan i
Parjolo hami mandokon baya horas i
Tu suhut ale si baya habolonan i
Universitas Sumatera Utara
Di arangan jolo sinonoan i
Tubu ale ayu baya baringin i
Tu suhut ale siha ale baya bolonan i
Selamat jolo panjang baya umur i
Lopus ma jolo baya tu jolo ni ari on
Allai le taronang da baya onang
Universitas Sumatera Utara
2. Latar Belakang si Empunya Acara (maksud acara)
Ile onang baya onang
Hombang ratus ale hombang baya ribu i
Sayur inang matua baya bulung i
Sampe ho inang marpahompui tambihul i
Sanga pe mar sege-sege di halaman i
On ma inang pama da pangidoan i
Mamarpar ho inang songon dabuar
Manyalapsap ni songon mata ni ari i
Universitas Sumatera Utara
Marsinondang ko inang da songon bulan i
Lopus ma tu jolo ni ari i
Antong ale mudah ma mudahan i
Di naek jolo mata ni ari on
I parkuik-kuik ni baya alihi on
Dipanguas ni boyo baya panoppa i
Diparungut-ungut dibujing parbabo i
Diatia le buaya mar kangarion
Dioban ko amang da tu tapian i
Universitas Sumatera Utara
Tapian ale raya ma bangunan i
Na marpangir baya marpale-paleon
Na marpangir utte baya mungkur i
Na mangayupkon siha baya poso on i
Na mangayupkon siha baya bujingan i
Manuju ale adat baya matobang i
Allaile taronang da boti baya onang
Universitas Sumatera Utara
3. Isi
Universitas Sumatera Utara
Anso selamat tu baya jolo ni ari on
On ma inang pamabayangidoan i
Pangidoan baya di matobang i
Sanga pe dongan na dua tolu on
Allai le taronang daboti baya onang
Universitas Sumatera Utara
4. Nasehat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
5. Penutup (Do‟a-do‟a)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Angan-angan muyu mada na joloan
on
I kobulkon Tuhan mada baya saon
nari on
Allai le taronang da baya boti onang
Universitas Sumatera Utara
Dalam teks onang-onang yang dipakai sebagai contoh ini kelihatannya masih
ada namun tidak begitu banyak lagi dipergunakan kata-kata dari ragam bahasa sastra
(hata andung). Kurangnya penggunaan kata-kata sastra Mandailing dalam
teks
onang-onang tersebut mungkin karena lirik onang-onang itu diciptakan pada masa
sekarang setelah ragam bahasa sastra Mandailing (hata andung) sudah amat jarang
dipergunakan dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI PANYABUNGAN
4.1 Dalian Na Tolu
Pada bab II sudah dilampirkan sedikit tentang dalian na tolu dan pesta adat
perkawinan di Mandailing. Namun di bab ini akan diperdalam lagi tentang dalian na
tolu juga adat perkawinan di Mandailing. Yang dimaksud dengan “Dalian Na Tolu”
atau secara harafiah “Tungku yang tiga” adalah suatu lembaga adat kemasyarakatan
Tapanuli Selatan yan g merupakan satu kesatuan dari Suhut, Anak Boru dan Mora.43
4.1.1
Suhut
Yang dimaksud dengan suhut adalah pihak yang empunya kerja (acara) baik
yang bersaudara kandung maupun keluarga dekat. Semua pangkal pembicaraan adat
datangnya dari suhut dan biasa disebut “Bona ni api martimbus”. Kalau dilihat dari
hubungan darah, suhut adalah pihak sipengambil anak gadis dari mora. Suhut selalu
ditemani kawan sepengambilan yang disebut “Pareban” dan kalau di Angkola
Sipirok disebut “Hombar suhut” di mana fungsi mereka serupa dengan kerabat dekat
tapi gilirannya setelah kerabat dekat selesai markobar (berbicara pendapat).
Penuturan dalam suhut :
43
H. Syahmerdan Lubis, Adat Hangoluan Mandailing,(Medan: 1997) 91-187.
Universitas Sumatera Utara
1. Bapak ibu dari bapak kita disebut ompung
2. Ayah kandung dari ayah kita disebut amang
3. Ibu kandung kita disebut inang
4. Anak laki-laki yang tertua dari kita disebut angkang
5. Anak laki-laki yang termuda dari kita disebut anggi
6. Kakak atau adik perempuan dari ayah kita disebut namboru
7. Anak perempuan dari ayah kita disebut iboto
8. Anak perempuan namboru dari ayah kita disebut iboto
9. Abang dari ayah kita disebut amantua/tuwak
10. Adik laki-laki dari ayah kita disebut udak
11. Istri dari amantua kita disebut nantua/tuwak
12. Istri dari uda kita disebut nanguda
13. Anak laki atau anak perempuan dari kita disebut amang-inang.
Suhut ini di dalam urusan pesta-pesta seringkali tersinggung ataupun
berselisih pendapat dan sering memuncak yang terkadang sampai tidak “marsiolian”
atau tidak saling sapa dan tidak saling berkunjung satu sama lain. Semua mengetahui
bagi mereka yang satu darah hanya putus air tidak putus rotan (gotap tampulon aek
tai inda gotap otang). Oleh karena itulah kalau ada perselisihan bersaudara tidak
Universitas Sumatera Utara
boleh memutuskan hubungan silaturrahmi, terlebih-lebih hal ini telah dilarang dari
agama.
Hal lain yang sering menimbulkan perselisihan berkeluarga besar ataupun
sepihak suhut disebabkan harta pusaka. Penyelesaian melalui pengadilan bisa selesai,
tetapi hanyalah pada masalah materi, tapi
masalah persaudaraan hanya bisa
diselesaikan melalui dalian na tolu. Sering juga keluarga suhut lama berselisih tapi
bila ada pesta adat sering pada saat itu terjadi penyelesaian baikan kembali sehingga
“tampulon aek” benar-benar terbukti.
4.1.2
Mora
Mora adalah keluarga pihak anak gadis yang dipinang. Mora bisa bertingkat-
tingkat, antara lain sebagai berikut :
a. Mora pengambilan isteri ataupun mora pengambilan boru.
Mora ini baru satu kali memberikan anak gadisnya kepihak anak boru.
Kalau dalam pergaulan kelompok mora dialah tingkatan yang terakhir,
walaupun dalam prakteknya sering dikedepankan. Tetapi kalau dalam
urutan pembicaraan adat membicarakan anak gadis kita mau dilamar
orang, moralah yang berperan menetapkan garda atau yang
Universitas Sumatera Utara
menjatuhkan “ompong-ompong” kepada pihak calon pengantin lakilaki yang bermenantu.
b. Mora Ulubondar naso Hasop-sopan.
Mora ulubondar adalah keluarga pangkal ibu kita. Kalau digelanggang
paradaton harus ditunjukkan bahwa hormat kita melebihi menghadapi
mora ini dibanding mora pengambilan isteri kita. Mereka pun
mengetahui dan memberikan kelebihan kepada ulubondar dan sering
dalam pembicaraan sepakat ulubondarlah yang akan mewakili mora
menyampaikan sambutan dari pihak seluruh mora. Demikian pula
dalam
“anggaran
panortoran”
seharusnya
mora
ulubondar
didahulukan manortor boru mora pambuatan.
c. Mora Mataniari Sogak-gakon.
Mora ini biasa juga disebut “mora Liang Sotungkiron” atau “Mora
Sauntang-untang” yakni mora “abadi” yang telah turun temurun
mengambil anak gadis mereka mulai dari nenek dari nenek, nenek
sendiri, ayah, selalu mengambil gadis dari mora ini sehingga
hubungan kekeluargaan itu sudah lapis berlapis berulang-ulang.
Kedudukan mora mataniari sogak-gakon yang paling tinggi
Universitas Sumatera Utara
kedudukannya dan dalam pembicaraan adat kalau mora akan bicara
maka biasanya jatuhlah pilihan mewakili seluruh mora dan mora-mora
yang lain sepakat menyerahkan dengan ikhlas untuk mewakili mereka.
Penuturan dalam mora:
1. Nenek laki-laki dan yang perempuan dari pihak ibu kita disebut
ompung.
2. Abang, adik dari ibu kita disebut tulang.
3. Istri dari tulang kita disebut nantulang.
4. Anak laki-laki dari tulang kita disebut tunggane
5. Anak perempuan dari tulang kita atau pariban kita disebut anggi
6. Istri dari tunggane kita disebut ompung
7. Anak lelaki dari tunggane kita disebut tulang
8. Anak perempuan dari tunggane kita disebut parumaen atau maen
9. Tulang dari ibu kita = mora ni mora disebut ompung
10. Anak laki-laki dari nenek ibu kita disebut tulang.
4.1.3
Anak boru
Yang dimaksud dengan anak boru ialah keluarga yang mengambil anak gadis
kita. Jadi satu keluarga, satu ketika dia menjadi suhut, diurusan yang lain dia menjadi
Universitas Sumatera Utara
mora dan begitu pula pada masalah yang lain dia menjadi anak boru. Sebagaimana
mora dan anak boru pun ada tingkatannya yang mana tingkatan ini menentukan
pekerjaan yang boleh dikerjakannya secara langsung yakni :
a. Anak Boru Sisuruk Taruma.
Anak boru ini disebut juga anak boru “maninian”. Anak boru ini yang
paling dekat ke moranya, yang langsung ikut mengurus rumah tangga
moranya. Apa saja dan di mana saja kejadian, anak boru inilah yang lebih
dahulu bertindak turun tangan.
b. Anak Boru Goruk-goruk Kapinis.
Anak boru inilah yang disebut “sihorus nalobi sitamba nahurang” yang
mengetahui keadaan keseluruhan dari pihak moranya. Kalau ada orang
luar yang hendak menemui moranya ataupun Raja di kampung itu terlebih
dahulu permisi dan sekaligus menjembatani keluarga yang datang ini.
c. Anak Boru Haholongan.
Anak boru ini adalah anak boru harajaon yang datang dari kampung luar.
Anak boru ini ikut menangani urusan rumah tangga mora disatu pekerjaan
tapi tetap ikut bertanggung jawab. Pekerjaan dari anak boru haholongan
ini menyelesaikan semua urusan pembicaraan di gelanggang paradaton.
Universitas Sumatera Utara
Penuturan dalam Anak boru :
1. Kakak ataupun adik perempuan dari ayah disebut namboru
2. Suami dari namboru kita disebut amangboru
3. Anak lelaki dari amangboru kita disebut lae
4. Anak perempuan dari amangboru kita disebut ompung
5. Anak dari lae kita disebut bere
6. Mantu dari amangboru kita disebut iboto
7. Tutur ibu kita terhadap amangboru kita disebut ompung
8. Yang mengambil bere kita disebut bere huladongan
4.2 Kedudukan Unsur Dalian Na Tolu Sama Tinggi
Kedudukan unsur dalian na tolu pada hakikinya sama tinggi, dengan alasanalasan :
a. Kalau membuat suatu keputusan suhut, anak boru dan mora harus hadir
dengan hak suara yang sama. Kalau satu saja tidak hadir tidak boleh
diambil keputusan atau tidak sah keputusan bila dipaksakan juga diambil
keputusan.
Universitas Sumatera Utara
b. Dalian na tolu secara harafiah adalah tiga (3) batu yang sama tinggi yang
digunakan tumpuan penjerangan untuk memasak. Semua yang dimasak
kalau tidak sama rata tumpuannya yang tiga akan tumpah yang dimasak.
c. Giliran mora, anak boru dengan suhut berganti-ganti laksana mandi di
pancuran bergiliran.
d. Anak boru memberi kata putus. Kalau ada satu permasalahan di antara
suhut, diupayakan didamaikan oleh mereka yang bersaudara kandung
maupun familinya. Kalau tidak terselesaikan mereka dapat mengikut
sertakan mora untuk memberikan pandangan dan pertimbangan.
e. Dalam hal menghadapi kesulitan pihak suhut, penyelesaian biaya pesta
adat selalu diatasi mora bersama anak boru di mana sering digambarkan
seperti berikut ini :
1/3 pembiayaan ditanggung suhut
1/3 dipikulkan kepada kelompok mora
1/3 dibebankan kepada kelompon anak boru.
4.3 Perkawinan Adat Mandailing
Pada adat Mandailing, prosesi acara pernikahan memiliki tiap-tiap proses
yang sakral dan harus dilakukan. Antara lain dimulai dari manyapai boru (lamaran),
Universitas Sumatera Utara
manjagit sere (memberikan mahar), horja (pesta) dan bagian-bagian dari horja
(pesta). Dalam rangkaian pesta terdapat ende (nyanyian) Mandailing pada saat horja.
Dalam Adat Mandailing Setiap perkawinan harus diresmikan secara adat, yang
dilandasi oleh Dalian Na Tolu. Dalian Na Tolu adalah satu Lembaga Adat
Kemasyarakatan Mandailing yang dulunya masuk kebagian Tapanuli Selatan yang
merupakan kesatuan dari Suhut (kahanggi), Anak boru dan Mora.
Dalam masyarakat tradisional Mandailing perkawinan satu marga dilarang
karena masih terdapat satu darah ataupun masih satu keluarga misalnya antara
seorang gadis bermarga nasution dengan pemuda yang juga bermarga nasution karena
adat melarang hal itu. Dahulu, apabila terajdi perkawinan semarga akan dilaksanakan
upacara adat “pahabang manuk na bontar”. Konsekwensinya, pemuda dan gadis
yang kawin semarga itu diusir dari tempat tinggal (huta) mereka dan tidak lagi
memiliki hubungan kekerabatan dengan orang-orang yang tinggal di huta mereka.
Namun setelah masuknya agama Islam masyarakat Mandailing berkembang pesat,
dimana “perkawinan satu marga” sudah lumrah terjadi, sebab agama Islam tidak
melarang perkawianan semarga.
Di dalam masyarakat Mandailing juga terdapat dua jenis perkawinan yang
juga sudah lumrah ditemukan di daerah-daerah lainnya, antara lain :
Universitas Sumatera Utara
4.3.1
-
Perkawinan marlojong; dan
-
Perkawinan dipabuat
Perkawinan marlojong
Lojong, artinya lari dan marloj