PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SCIENCE TEC

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SCIENCE TECHNOLOGY AND
SOCIETY (STS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR
KRITIS DAN MEMECAHKAN MASALAH SOSIAL SISWA
AHMAD (0909951)
ABSTRAK

Penelitian ini terkait dengan penerapan model pembelajaran STS untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah sosial siswa. Dilatarbelakangi
oleh rendahnya kemampuan siswa dalam menyikapi penggunaan teknologi dalam
kehidupan siswa, ketidakmampuan siswa dalam memecahkan masalah-masalah sosial di
sebabkan oleh teknologi yang ada disekitar siswa. Pembelajaran IPS selama bersifat
teoritis dan terpisah dari kehidupan nyata siswa, belum mampu mengangkat isu dan
permasalahan teknologi disekitar siswa sebagai isi dari pelajaran. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran model STS dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa dalam pembelajaran
IPS SD pada topik perkembangan teknologi. Rekomendasi dari penelitian, bahwa model
pembelajaran STS dapat diterapkan guru IPS sebagai salah satu alternatif model
pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan
pemecahan masalah sosial siswa. Kepala sekolah perlu memotivasi guru pada sekolah
yang ia pimpin untuk menjadikan model pembelajaran STS sebagai salah satu alternatif
model pembelajaran, baik dalam pembelajaran IPS, maupun dalam pembelajaran

lainnya dengan mempertimbangkan karakteristik materi yang akan disampaikan.
Kata Kunci: Model Pembelajaran STS, Kemampuan Berpikir Kritis, Kemampuan
Pemecahan Masalah Sosial Siswa.
A. Pendahuluan
Mempersiapkan siswa menghadapi masa depan dengan bekal keterampilan
sosial sudah seyogianya menjadi tugas pembelajaran IPS. Di abad 21 sekarang ini
memasuki era digital, globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat membuat
peradaban manusia terus berkembang setiap saat, pembelajaran IPS saat ini belum
mampu mengkaji realita sosial yang dihadapi oleh para siswa, isi pelajaran yang
bersentuhan langsung terhadap anak dalam menghadapi era digital dan teknologi,
kesenjangan ini terlihat dengan bermunculan permasalahan sosial yang disebabkan
perkembangan sains dan teknologi tersebut.
Pembelajaran IPS di sekolah dasar selama ini cenderung lebih bersifat teoritis
dan terkesan terpisah dari kehidupan nyata siswa dengan menitikberatkan pada
1

bagaimana menghabiskan materi pelajaran dari buku teks. Lemahnya kemampuan
berpikir kritis siswa berdampak pada kemampuan siswa menyikapi dan memberikan
pertimbangan-pertimbangan saat siswa menggunakan teknologi tersebut, sehingga hal
ini dapat menimbulkan masalah bagi siswa di dalam kehidupannya.

Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan pembelajaran IPS dalam
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial
siswa, dapat terungkap dari penelitian Erlisnawati (2008) dengan mengukur
kemampuan berpikir kritis siswa SD kelas V pada kategori rendah dengan skor rata-rata
pretes 4,87 (54,11% dari skor ideal) dan rata-rata skor kelas kontrol diperoleh 4,89
(53,33% dari skor ideal) berada pada kategori rendah.
Penelitian Takiddin (2010) berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan,
diperoleh skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah sosial siswa sebesar 6,06 atau
30 % dari skor ideal 20 dan 6,25 atau 31% dari skor ideal 20. Data tersebut
menunjukkan kemampuan yang rendah.
Penelitian Margawani (2009) menjelaskan temuan tentang kemampuan
penyelesaian masalah sosial pada pembelajaran IPS siswa kelas IV dikatakan tidak
berhasil, karena dari 24 siswa yang ada, yang menguasai materi pelajaran hanya 35%
sedangkan yang lainnya masih belum memahami masalah sosial di dalam materi
pembelajaran, bahwa pembelajaran yang dikatakan berhasil apabila minimal 70%
penguasaan materi telah dikuasai oleh siswa.
Implikasi rendahnya pembelajaran yang merangsang kemampuan berpikir kritis
dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa, terlihat pada keberadaan siswa dan
masyarakat sekitar dalam menyikapi teknologi. Rendahnya pengetahuan siswa
menyikapi keberadaan teknologi pada masyarakat terlihat pada berbagai lini kehidupan,

siswa belum mampu memilah makanan yang sehat bersumber dari pertanian, terjadi
kerusakan lingkungan karena penggunaan pestisida dan peralatan kimia lainnya,
sehingga mencemari tanah dan sungai, racun tersebut tanpa kontrol yang jelas dapat
juga menjadi racun pada makanan, tanpa disadari keadaan demikian menjadi lumrah
pada masyarakat tanpa memahami dampak dari prilaku yang salah dari menyikapi
penggunaan teknologi.
Pada perkembangan teknologi komunikasi meningkatnya pola konsumtif pada
siswa, gaya hidup mereka terbentuk ketika siswa sering melihat tayangan termasuk
2

iklan yang menawarkan berbagai produk di TV sehingga siswa ingin mendapatkan apa
yang siswa lihat. Banyak siswa telah menggunakan kacamata disebabkan oleh
kerusakan mata disebabkan radiasi televisi dan komputer. Siswa SD telah menggunakan
handphone canggih karena telah melihat orang dewasa atau teman-temannya tanpa
menyadari apa manfaat dan kerugian bila menggunakannya. Siswa belum mampu
memberikan pertimbangan terhadap apa yang dia inginkan dikarenakan siswa tidak
mampu mengkritisi keadaan yang ada pada sekitar siswa.
Pada bidang transportasi masalah sosial yang sering timbul yakni penggunaan
alat transportasi, anak di bawah umur telah mampu berkendaraan dengan sepeda motor
beroda dua sehingga menjadi tren bersekolah, tanpa mengindahkan aturan-aturan

berkendaraan sehingga sering sekali terjadi kecelakaan, mereka malu bersepeda karena
dianggap ketinggalan zaman. Hal tersebut bukan hanya memunculkan masalah pada
usia anak-anak, namun orang dewasa juga tidak kalah rumitnya, sering kita lihat
kemacetan dan kecelakaan di mana-mana karena ketidakmampuan membaca ramburambu lalu lintas dan tidak adanya rasa tanggung jawab dalam menggunakan kendaraan
transportasi. Penggunaan teknologi tersebut tanpa disadari telah mengikis kehidupan
sosial anak, kemampuan sosialisasi anak dengan lingkungannya terus berkurang, etika
dan tata krama yang melekat pada masyarakat sebagai bentuk norma-norma semakin
memudar.
Hal ini perlu menjadi perhatian guru dalam pembelajaran IPS, menciptakan
pembelajaran yang berkaitan langsung dengan kehidupan siswa sehingga siswa
memperoleh keterampilan, siap serta dapat bertanggung jawab (responsible) dalam
menghadapi perkembangan sains dan teknologi.
Untuk menghindari kondisi tersebut maka perlu usaha untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah sosial dalam proses
pembelajaran sehingga nantinya mampu mengarahkan siswa menjadi manusia yang
mampu

mengambil

keputusan,


berpikir,

dan

menyeleksi

informasi

melalui

pemikirannya serta dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang
dihadapi dengan benar.
Untuk menghindari kondisi tersebut maka perlu usaha untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah sosial dalam proses
pembelajaran sehingga nantinya mampu mengarahkan siswa menjadi manusia yang
3

mampu


mengambil

keputusan,

berpikir,

dan

menyeleksi

informasi

melalui

pemikirannya serta dapat menyelsaikan permasalahan-permasalahan sosial yang
dihadapi dengan benar. Kemampuan berpikir kritis dapat membantu siswa untuk
menjadi manusia yang mampu membuat keputusan yang tepat berdasarkan usaha yang
cermat, sistematis, logis, dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa usaha
perbaikan proses pembelajaran melalui upaya pemilihan model pembelajaran yang tepat

dan inovatif dalam pembelajaran IPS di sekolah dasar merupakan suatu kebutuhan yang
sangat penting untuk dilaksanakan, melatih siswa untuk berpikir dan memecahkan
masalah sosial dalam konteks perkembangan sains dan teknologi agar siswa siap dan
responsible terhadap tantangan globalisasi.
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa model pembelajaran STS penting
diterapkan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan
masalah sosial siswa sekolah dasar. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Science, Technology and
Society (STS) untuk Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Memecahkan
Masalah Sosial Siswa (Studi Eksperimen Kuasi pada Siswa Kelas IV Sekolah Dasar
Negeri Jambo Reuhat UPTD Darul Aman Kab. Aceh Timur Provinsi Aceh)”.
B. Landasan Teoritis
1. Model Pembelajaran Science Technology and Society (STS)
Istilah STS berasal dari Science Technology and Society. Pada istilah yang telah
di alih bahasakan ke Bahasa Indonesia sebagai Sains Teknologi dan Masyarakat (STM).
Science Technology and Society (STS) pertama kali diciptakan pada tahun 1980 oleh
Jonh Ziman dalam bukunya “Teaching and Learning About Science and Society”.
Ziman mencoba mengungkapkan bahwa konsep-konsep dan proses-proses sains
seharusnya sesuai dengan kehidupan sehari-hari siswa.
STS merupakan pendekatan terpadu antara sains, teknologi, dan isu yang ada di

masyarakat. Ada pun tujuan dari pendekatan STS ini adalah menghasilkan peserta didik
yang cukup memiliki bekal pengetahuan, sehingga mampu mengambil keputusan
penting tentang masalah-masalah dalam masyarakat serta mengambil tindakan
sehubungan dengan keputusan yang telah diambilnya. Sains, teknologi, dan masyarakat
terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Sains dan teknologi dihasilkan oleh dan
4

untuk masyarakat. Perkembangan sains dan teknologi ditentukan oleh dinamika
kehidupan masyarakat. Sebaliknya, kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh
perkembangan sains dan teknologi.
NCSS Science and Society Commitee yang diterbitkan dalam Social Education
pada April 1990:190 juga mengembangkan beberapa panduan tentang model
pembelajaran STS, sehingga memudahkan guru dalam mengembangkan model STS ini,
beberapa isi panduan yang dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.

Chosing a Topic (pemilihan topik)
Knowladge of Content (pengetahuan)
Values (nilai-nilai)
Thinking Process (proses berfikir)
Civic action (tindakan warga negara)
Instruction Techniques and Strategies (teknik-teknik dan strategi pengajaran)
Assesment and Evaluation (penilaian dan evaluasi)
Implementation Strategies (implementasi strategi)
Dari berbagai penjelasan mengenai model pembelajaran STS di atas dibutuhkan

langkah-langkah untuk mengimplementasikan model pembelajaran STS tersebut.
Terdapat beberapa langkah yang bisa digunakan dalam mengaktualisasikan model STS
dalam pembelajaran. Langkah-langkah itu adalah sebagai berikut:
1. Mula-mula guru mengemukakan isu-isu, pertanyaan-pertanyaan atau masalah aktual
yang ada di masyarakat dan dapat di amati peserta didik,dapat juga dilakukan
dengan penggalian pemahaman dari siswa untuk menggali konsep yang akan
dibahas, tahap ini disebut inisiasi, apersepsi, invitasi atau eksplorasi. Eksplorasi

dapat juga dilakukan dengan metode observasi untuk menggali pemahaman siswa
terhadap topik yang diangkat dengan cara melakukan pengamatan terhadap keadaan
di sekitar siswa.
2. Melaksanakan pembelajaran dengan strategi tertentu yang sesuai dengan pedagogi.
Tahap ini disebut pembentukan konsep dan menurut paham konstruktivisme
diharapkan siswa dapat membangun atau mengkonstruk pengetahuan sendiri
melalui observasi, diskusi, eksperimen, dan lain-lain.
3. Konsep yang sudah dipahami digunakan untuk menyelesaikan masalah atau
menganalisa isu yang telah dilontarkan di awal pembelajaran. Analisis
permasalahan, pertanyaan-pertanyaan, atau isu-isu yang diangkat pada pembelajaran
membutuhkan pemikiran yang kritis untuk mengkaji permasalahan yang telah
disediakan guru. Tahap ini disebut aplikasi konsep.
5

4. Guru memantapkan konsep, diharapkan dapat merekonstruksi konsep atau analisa
siswa yang salah, tahap ini disebut pemantapan konsep.
5. Tahap pelaksanaan evaluasi yang hendaknya secara berkesinambungan dan
mencakup aspek yang ingin di evaluasi (Poedjiadi, 2007).
2. Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SD
Keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi keterampilan berpikir dasar dan

berpikir kompleks. Proses berpikir dasar merupakan gambaran dari proses berpikir
rasional yang mengandung sekumpulan proses mental dari yang sederhana menjadi
yang kompleks. Aktivitas berpikir yang terdapat dalam berpikir rasional adalah
menghafal, membayangkan, mengelompokkan, menggeneralisasikan, membandingkan,
mengevaluasi, menganalisis, mensintesis, mendeduksi, dan menyimpulkan (Arniyana,
2007). Dalam hal ini proses dasar berpikir adalah menemukan hubungan,
menghubungkan sebab dan akibat, mentransformasi, mengklasifikasi dan memberikan
kualifikasi. Selanjutnya menurut Arniyana (2007) Berpikir kritis adalah “proses
terorganisasi yang melibatkan aktivitas mental seperti dalam memecahkan masalah
(problem solving), pengambilan keputusan (decision making), analisis asumsi
(analizing asumtion) dan inkuiri sains (scientific inquiry).”
Proses berpikir kompleks dikenal sebagai proses berpikir tingkat tinggi. Proses
berpikir kompleks (berpikir tingkat tinggi) ini dibedakan menjadi berpikir kritis dan
berpikir kreatif. Dari berbagai definisi dan penjelasan mengenai berpikir kritis dapat
disimpulkan bahwa sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkahlangkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh
keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring), yang didefinisikan
sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau
informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil
akhir yang terumuskan.
Pada kurikulum berpikir kritis menurut Ennis (1985) menjabarkan indikator
keterampilan berpikir kritis yang dikelompokkan dalam 5 (lima) indikator keterampilan
berpikir kritis dari 5 (lima) indikator dan 12 (dua belas) sub indikator keterampilan
berpikir kritis tersebut dirinci lebih lanjut menjadi keterampilan lebih spesifik tetapi
hanya sebagian yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran IPS ini yaitu: (1)
kemampuan mengidentifikasi; (2) menganalisis argumen; (3) memutuskan suatu
6

tindakan; (4) kemampuan memberi alasan; (5) memutuskan suatu tindakan; (6)
mengobservasi

dan

mempertimbangkan

hasil

observasi;

(7)

membuat

dan

mempertimbangkan nilai keputusan.
Berpikir kritis memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran di tengah
banjir kejadian dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari. Dengan adanya
keterampilan tersebut, siswa tidak menerima begitu saja cara mengerjakan sesuatu,
hanya karena selama ini memang begitulah cara mengerjakannya, dan mereka tidak
menganggap suatu pernyataan benar hanya karena orang lain membenarkannya. Siswa
yang kritis dalam berpikir mampu berpikir “cepat” dan “tajam”.
3.

Kemampuan Memecahkan Masalah Sosial
Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong seseorang untuk

menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan
untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada siswa dan siswa tersebut
langsung dapat mengetahui cara dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai masalah. Santrock (2002:298) menjelaskan pemecahan masalah meliputi usaha
menemukan cara yang tepat untuk mencapai tujuan, tujuan yang dimaksud merupakan
masalah yang dihadapi.
Menurut Killen (1998), “pemecahan masalah dapat membantu siswa untuk
menerapkan pengetahuan yang telah mereka peroleh kepada situasi yang baru untuk
dapat memperoleh pengetahuan baru”. Mengungkapkan masalah dapat berupa
pengajuan-pengajuan pertanyaan, hal ini dituntut guru untuk menciptakan pertanyaan
dan mendorong siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Melalui menjawab
pertanyaan tersebut siswa telah berusaha untuk menyelesaikan masalah yang telah
disediakan guru. pertanyaan tersebut disesuaikan dengan tingkat kognisi dan
perkembangan siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadojo (2005) “suatu pertanyaan
merupakan suatu masalah bagi siswa, pertanyaan yang dihadapkan pada siswa haruslah
dapat diterima oleh siswa tersebut, jadi pertanyaan itu harus sesuai dengan struktur
kognitif siswa”.
Peranan guru diperlukan dalam kemampuan menyelesaikan masalah pada
siswa, guru perlu memberikan arahan dan bimbingan secara tidak langsung bila
diperlukan agar siswa mampu memahami pertanyaan dan dapat menyelesaikan masalah
7

yang di ajukan guru. Menurut penjelasan Hadojo (2005) “mengajarkan pemecahan
masalah kepada siswa merupakan kegiatan dari seorang guru di mana guru itu
membangkitkan siswa-siswanya agar menerima dan merespons pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan olehnya dan kemudian ia membimbing siswa-siswanya untuk sampai
kepada penyelesaian masalah”.
Sehubungan dengan paparan di atas, Savage dan Amstrong (1996) telah
merumuskan prosedur pemecahan masalah yang terdiri dari empat tahap proses
pemecahan masalah, yaitu:
1)
2)
3)
4)

Mengenal adanya masalah
Mempertimbangkan pendekatan-pendekatan untuk pemecahannya
Memilih dan menerapkan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah
Mencapai solusi yang dapat dipertanggungjawabkan

Prosedur pemecahan masalah yang dirumuskan oleh Savage dan Amstrong di atas
digunakan sebagai prosedur pemecahan masalah sosial dalam penelitian ini karena
prosedur ini dinilai relevan dalam memecahkan permasalahan sosial dalam IPS di
sekolah dasar. Relevansinya antara lain karena ahli ini memang memfokuskan
bahasannya pada pemecahan masalah dalam IPS SD.
C. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen.
Desain eksperimen yang digunakan adalah kuasi eksperimen Nonequivalent Control
Group Pretest-posttest Design dimana kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol
tidak dipilih secara random. Variabel bebas penelitian yaitu penerapan model
pembelajaran STS, sedangkan variabel terikat kemampuan berpikir kritis dan
kemampuan memecahkan masalah sosial siswa. Teknik pengumpulan data terdiri dari
tes pemahaman konsep IPS dan prestasi belajar siswa ranah kognitif. Untuk instrumen
pelengkap, digunakan lembar observasi, angket tanggapan siswa, dan pedoman
wawancara dengan guru. Penelitian ini berlokasi di Sekolah Dasar Negeri Jambo
Reuhat UPTD Darul Aman Kab. Aceh Timur Prov. Aceh. Subyek dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa dan siswi kelas IVa dan IVb semester 2.
Penelitian ini diawali dengan studi lapangan dan studi literatur. Studi lapangan
dimaksudkan untuk mengamati berbagai permasalahan yang terjadi di sekolah, secara
khusus pembelajaran IPS yang dianggap sebagai pembelajaran transfer of knowledge
8

saja tanpa diimbangi dengan aspek nilai dan keterampilan, selain itu penggunaan
metode pembelajaran yang cenderung konvensional oleh guru menjadikan pembelajaran
kurang bermakna. Pembelajaran yang terjadi di lapangan kemudian dikaji dengan teori
yang relevan, maka diadakanlah studi literatur. Studi literatur dimaksudkan untuk
memperoleh teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan. Teori yang relevan dengan
permasalahan dapat berupa teori-teori pembelajaran, psikologi perkembangan dan
psikologi pendidikan, strategi pembelajaran, kurikulum dan teori-teori yang berkaitan
dengan perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran serta teori pembelajaran dalam
IPS.
Perencanaan pembelajaran menyangkut materi tentang pembelajaran IPS dalam
Standar Kompetensi dan Standar Isi, Standar Kelulusan yang dikembangkan dalam
silabus pembelajaran IPS di SD. Untuk dapat menyusun perangkat pembelajaran itu
maka diperlukan pengetahuan tentang karakteristik kehidupan sosial pada sekolah
penelitian sehingga materi ajar dapat mengangkat isu-isu sosial sesuai dengan konteks
keadaan sosial setempat yang dapat dijadikan sumber belajar dan sebagai acuan
pedoman dalam penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), media
pembelajaran, soal tes, angket, lembar observasi dan wawancara dengan guru.
Sebelum dilaksanakan perlakuan model pembelajaran STS pada kelas
eksperimen, terlebih dahulu peneliti melakukan sosialisasi dan kesepakatan model
pembelajaran STS pada guru mitra, peneliti menanyakan apakah ibu sudah mengenal
model pembelajaran STS dan sudah pernah menerapkannya, jawaban dari guru, guru
belum pernah mengenal dan menerapkan model tersebut, dan guru merasa asing dengan
model pembelajaran STS, peneliti menjelaskan maksud dan langkah-langkah dari
penerapan model pembelajaran STS, peneliti juga menjelaskan pemilihan isu-isu dan
permasalahan sosial yang sesuai dengan konteks pengalaman nyata siswa dan
masyarakat setempat, ada beberapa perbaikan dari penyajian masalah LKS berdasarkan
saran-saran dari guru mitra, selanjutnya peneliti juga menjelaskan bagaimana peranan
guru pada model pembelajaran STS untuk dapat merangsang kemampuan berpikir kritis
siswa dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa. Setelah guru memahami
maksud dan penjelasan model STS, peneliti memberikan paper tentang model
pembelajaran dan perangkat pembelajaran (RPP) agar dapat dipelajari lebih lanjut.
Selanjutnya pada hari berikutnya peneliti meminta guru untuk menyimulasikan
penerapan model pembelajaran STS, beberapa pengulangan, perbaikan dan saran
9

perbaikan dari peneliti disikapi positif oleh guru. Sosialisasi ini berlangsung di sela-sela
waktu senggang guru tanpa mengganggu tugas dan kewajiban jadwal guru dalam
mengajar.
Proses pembelajaran menyangkut prosedur pelaksanaan pembelajaran yang
sesuai dengan metode pembelajaran STS. Langkah pertama dalam penelitian ini adalah
memberi uji pretes, diikuti dengan pelaksanaan dan penerapan pembelajaran dan
diakhiri dengan uji postes atau tahap evaluasi. Uji pretes ditujukan untuk mengetahui
kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran materi yang di eksperimenkan.
Sedangkan untuk uji postes ditujukan untuk menggambarkan kemampuan akhir siswa
setelah mengikuti pembelajaran dengan penerapan metode yang dieksperimenkan.
Dalam pelaksanaan pembelajaran, untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen diberikan
perlakuan (treatment) yang berbeda. Perbedaan perlakuan (treatment) hanya
menyangkut metode yang diberikan dalam pembelajaran. Pada kelas eksperimen
diterapkan metode pembelajaran STS, sedangkan kelas kontrol diterapkan metode
pembelajaran konvensional yang biasa dilakukan guru.
Kelebihan penggunaan model pembelajaran STS dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah ditinjau berdasarkan
perbandingan nilai gain yang dinormalisasi (N-gain), antara kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen. Gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat dihitung dengan
persamaan:
g=

S post −S pre
S maks−S pre

(Hake dalam Meltzer, 2002)

Keterangan:
g
= gain yang dinormalisasi
Spos = Skor Postes
Spre = Skor Pretes
Smaks = Skor Maksimum Ideal

D. Hasil Penelitian
1. Hasil Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dan Kemampuan
Memecahkan Masalah Sosial Siswa
Data hasil penelitian tes kemampuan berpikir krtis siswa terdiri dari 20 butir soal
dengan skor ideal 20 dapat dinyatakan pada diagram persentase skor rata-rata tes awal,

10

tes akhir, dan N-Gain kemampuan berpikir kritis pada kelompok eksperimnen dan
kelompok kontrol pada gambar 1.

Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Axis Title

15
10
5
0

Pretest

Posttes

N-Gain

Gambar 1. Perbandingan Skor Rata-rata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain Kemampuan
Berpikir Kritis untuk Kedua Kelompok
Berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan kemampuan berpikir kritis
siswa diperoleh skor rata-rata tes awal siswa kelas kontrol sebesar 7,00 atau 35% dari
skor ideal 20 dan kelas eksperimen 7,12 atau 35,60 % dari skor ideal 20. Sedangkan
rata-rata tes akhir kelas kontrol sebesar 8,68 atau 43,40 % dari skor ideal 20 dan kelas
eksperimen 14,12 atau 70,60 % dari skor ideal 20. Dari perbandingan data tersebut
dapat dilihat bahwa skor rata-rata kelas kontrol lebih kecil dari pada kelas eksperimen.
Skor rata-rata gain yang dinormalisasikan (N-Gain) kemampuan berpikir kritis pada
kelas kontor sebesar 0,14 dengan kategori rendah dan kelompok eksperimen 0,55
dengan kategori sedang. Pengujian normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov, dan
pengujian homogenitas data, dari hasil pengujian kedua data normal dan homogen.
Selanjutnya data dilakukan uji perbedaan (komparatif) dengan menggunakan Analisis
Independent Sample T Test dengan taraf signifikan 0,05. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran
baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen mengalami peningkatan.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelas eksperimen melalui model
pembelajaran STS lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol melalui pembelajaran
konvensional.
Data hasil penelitian tes kemampuan pemecahan masalah sosial siswa terdiri
dari 2 soal uraian dengan mengangkat permasalahan sesuai dengan topik pembelajaran
perkembangan teknologi, dengan skor ideal 20 dapat dinyatakan pada diagram
11

persentase skor rata-rata tes awal, tes akhir, dan N-Gain kemampuan berpikir kritis pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada gambar 2.

Kemampuan Pemecahan Masalah
Sosisal Siswa
Axis Title

15
10
5
0

Pretest

Posttes

N-Gain

Gambar 2. Perbandingan Skor Rata-rata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain Kemampuan
Pemecahan Masalah Sosial untuk Kedua Kelompok
Berdasarkan pada data yang diperoleh di lapangan kemampuan pemecahan
masalah sosial siswa diperoleh skor rata-rata tes awal siswa kelas kontrol sebesar 4,48
atau 22,40% dari skor ideal 20 dan kelas eksperimen 4,32 atau 21,60 % dari skor ideal
20. Sedangkan rata-rata tes akhir kelas kontrol sebesar 6,56 atau 32,80% dari skor ideal
20 dan kelas eksperimen 13,36 atau 66,80 % dari skor ideal 20. Dari perbandingan data
tersebut dapat dilihat bahwa skor rata-rata kelas kontrol lebih kecil dari pada kelas
eksperimen. Skor rata-rata gain yang dinormalisasikan (N-Gain) kemampuan berpikir
kritis pada kelas kontor sebesar 0,12 dengan kategori rendah dan kelompok eksperimen
0,57 dengan kategori sedang. Pengujian normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov,
dan pengujian homogenitas data, dari hasil pengujian kedua data normal dan homogen.
Selanjutnya data dilakukan uji perbedaan (komparatif) dengan menggunakan Analisis
Independent Sample T Test dengan taraf signifikan 0,05. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa setelah mengikuti pembelajaran
baik kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen mengalami peningkatan.
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa pada kelas eksperimen
melalui model pembelajaran STS lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol melalui
pembelajaran konvensional.
Penerapan model pembelajaran STS pada kelas eksperimen, dapat diperoleh
temuan-temuan kemunculan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan

12

masalah siswa pada proses pembelajaran. Temuan-temuan tersebut dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
Proses belajar mempelajari tiga topik pelajaran, yakni topik perkembangan
teknologi produksi, teknologi komunikasi dan teknologi transportasi. Setiap pertemuan,
model pembelajaran STS mengangkat permasalahan atau isu-isu yang berkembang pada
masyarakat setempat. Permasalahan tersebut dekat dan nyata bagi siswa, yang dikemas
dalam LKS. Aktivitas pembelajaran yang dapat merangsang kemampuan berpikir kritis
siswa berlangsung melalui tiga hal, pertama pada tahapan eksplorasi pengetahuan siswa,
kedua kolaborasi pada kelompok, dan ketiga presentasi diskusi kelas pertanggung
jawaban hasil diskusi. Melalui aktivitas pembelajaran siswa menganalisis isu dan
permasalahan yang diangkat dalam pembelajaran sehingga dapat merangsang
kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial siswa.
Langkah pertama pada pembelajaran, yaitu guru mengajukan pertanyaan dan
mengorientasikan masalah, selanjutnya siswa di tugaskan untuk mengobservasi kegiatan
teknologi produksi pertanian, komunikasi dan transportasi yang ada di sekitar siswa.
Selanjutnya siswa mengeksplorasi pengetahuannya dengan menemukan berbagai
teknologi berdasarkan pengalaman siswa menggunakan teknologi tersebut dan
berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan. Hasil temuan tersebut di
kolaborasikan dengan teman satu kelompok dan dilaporkan ke depan kelas ditulis di
papan tulis. Kemudian guru mengarahkan siswa untuk dapat membedakan peralatan
tersebut yang digunakan secara tradisional dan modern, di sini terlihat bahwa siswa
telah mampu mengidentifikasi peralatan-peralatan tersebut sesuai dengan fungsi
kegunaannya dan perkembangan dari masa lalu sampai masa sekarang, serta terlihat
bahwa variasi jawaban pada setiap kelompok tersebut menjadi beragam. Hal tersebut
mencerminkan kemampuan berpikir kritis siswa telah muncul pada indikator
kemampuan mengidentifikasi, membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan.
Selanjutnya temuan kemunculan berpikir kritis juga terlihat pada aktivitas kerja
kelompok untuk mengerjakan LKS. Berdasarkan amatan peneliti terjadi dialog dalam
kelompok dan adu argumen untuk menjawab pertanyaan tersebut, dialog yang terjadi
pada kelompok telah memunculkan kemampuan berpikir kritis siswa, bahkan siswa
telah mampu memecahkan permasalahan dari LKS yang ada, melalui diskusi, silang
pendapat dan kolaborasi di dalam kelompok memunculkan argumentasi dan ide-ide
13

baru, di sinilah peranan guru untuk memfasilitasi dan mengarahkan siswa yang tidak
paham dengan cara-cara mengerjakan LKS tersebut. Siswa telah mampu mengenal
adanya masalah, mampu memberikan solusi untuk memecahkan masalah, kedua
tahapan ini lebih banyak muncul dari kelompok, di bandingkan dengan tahapan
memberikan pertimbangan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah dan tahapan
memilih dan menerapkan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah, hal ini
disebabkan oleh rendahnya kemampuan dasar pemecahan masalah pada siswa
dikarenakan siswa selama ini belum terbiasa dengan pembelajaran berbasis masalah.
Selanjutnya kemunculan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah
sosial siswa pada saat presentasi hasil diskusi kelompok ke depan kelas, setiap
kelompok melaporkan jawaban diskusi mereka dari LKS yang telah dikerjakan. Dari
kegiatan diskusi dan presentasi kelas yang telah dilakukan, siswa menganalisis dan
berargumentasi sehingga memunculkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah yang
variatif dari masing-masing kelompok, jika ada kesalahan pemahaman dari siswa maka
di sinilah peranan guru meluruskan jawaban tersebut dan memberikan pemahaman yang
benar, hal ini dikenal dengan pelurusan konsep.
Peranan guru untuk merangsang siswa berpikir kritis sangat diperlukan, di mana
guru perlu memberikan motivasi dan penghargaan, sehingga siswa tidak takut salah,
semua pendapat siswa merasa dihargai di dalam kelas, dengan demikian siswa berani
memberikan argumentasi dan mempertahankan pendapatnya, dan siswa dapat menerima
pendapat yang lebih benar sehingga dalam proses pembelajaran siswa aktif dan
berpartisipasi setiap langkah-langkah pembelajaran yang berlangsung. Guru tidak
menjadi satu-satunya sumber belajar, namun, sumber belajar itu berada pada setiap
pengalaman siswa, lingkungan siswa dan guru menjadi fasilitator serta mediator.
Dengan demikian isu dan permasalahan yang diangkat pada pembelajaran, sebagai
wujud pengalaman nyata siswa berkenaan dengan perkembangan sains dan teknologi
yang di bahas dalam pembelajaran.
Temuan dalam penelitian di atas sesuai sekali dengan pernyataan Yager (1992)
bahwa pembelajaran dengan pendekatan STS merupakan kegiatan belajar mengajar
yang berorientasi kepada pengalaman manusia. Selanjutnya Yager (1996) mengatakan
bahwa dengan melibatkan siswa pada dalam kegiatan nyata kemudian mendorong siswa
untuk dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka pada akhir
14

pembelajaran diharapkan tidak hanya aspek kognitif saja yang berkembang, melainkan
keterampilan sikap, kreativitas, kemudian aplikasi konsep juga meningkat. Melalui
aktivitas pembelajaran siswa menganalisis isu dan permasalahan yang diangkat dalam
pembelajaran sehingga dapat merangsang kemampuan berpikir kritis dan kemampuan
pemecahan masalah sosial siswa. Mengutip pendapat Barnes, Alit Mariana (1999)
mengatakan bahwa dalam pembelajaran model STS konsep yang dibahas secara
langsung dihadapkan kepada siswa atau siswa dibawa langsung ke alam sekitarnya,
maka dalam belajar siswa akan mencari hubungan, kesamaan sehingga memperoleh
kelompok berdasarkan konsep dan teori yang telah dimiliki dan memperoleh pola-pola
berdasarkan

pengamatannya.

Sebagai

dampak

positif

pembelajaran

tersebut

menstimulus siswa memperoleh konsep lanjutan melalui penggalian ide-ide dan fakta
yang di ikuti dengan proses berpikir dan akhirnya mampu menghubungkan dan
menggunakan konsep tersebut untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga konsep yang diperoleh menjadi lebih bermakna.
2. Tanggapan Guru dan Siswa Terhadap Model Pembelajaran STS
Hasil wawancara tanggapan guru terhadap model pembelajaran STS adalah
sebagai berikut:
a. Guru mengatakan

belum

mengenal

model

pembelajaran

STS,

guru

menyampaikan pembelajaran dengan metode, ceramah, tanya jawab dan diskusi
kelompok.
b. Pembelajaran ini mempunyai kelebihan, siswa benar-benar diajak untuk belajar
pada dunia nyata. Siswa dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman
produk teknologi di sekitar mereka, siswa dapat, mempelajari dampak baik dan
buruk dari teknologi, siswa dapat berpikir teknologi mana yang baik digunakan,
serta mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sesuai dengan
langkah-langkah yang telah dipelajari.
c. Model pembelajaran STS memiliki kelebihan dapat meningkatkan kesadaran
siswa terhadap teknologi dan permasalahannya, jika dibandingkan dengan model
pembelajaran lain yang biasa dilakukan guru pada topik yang sama, siswa hanya
memperoleh pengetahuan peralatan teknologi sesuai yang ada di buku teks.
d. Model pembelajaran STS juga sangat baik untuk meningkatkan kemampuan
berpikir siswa, dengan langkah-langkah pembelajaran serta LKS yang
disediakan, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat membawa siswa untuk
15

berpikir. Melalui isu-isu sosial dan permasalahan sosial yang disediakan siswa
dapat memecahkan permasalahan melalui kolaborasi dengan rekan, maupun
dengan bantuan guru pada pemantapan konsep.
e. Model pembelajaran STS ini sangat baik dipakai dalam pembelajaran, melihat
dari pembelajaran tadi upaya siswa dalam berpikir sudah terarah serta melalui
media LKS siswa dapat memecahkan masalah yang telah disediakan, melalui
diskusi siswa dapat bertukar pendapat untuk memecahkan masalah tersebut.
f. Ketersediaan bahan ajar dalam bentuk LKS sangat membantu siswa dalam
memahami materi yang sedang dipelajari, siswa lebih cepat mengerti dalam
mengerjakan tugas baik secara individu maupun kelompok
g. Secara umum guru memberikan respons positif terhadap model pembelajaran
STS, pembelajaran ini dapat membantu siswa menganalisis isu permasalahan
yang di ajukan dan berpikir serta berusaha menyelesaikan permasalahan yang
diberikan.
Dengan memperhatikan hasil jawaban wawancara dengan guru, dapat diketahui
bahwa guru mitra pada kelas IVa (empat) yang mengajarkan model pembelajaran STS
merespons dengan positif atau tertarik dengan pembelajaran STS pada topik
perkembangan teknologi. Implikasi dari ketertarikan guru tersebut, guru berkeinginan
menerapkan model pembelajaran STS pada materi yang lain sesuai dengan karakteristik
model STS.
Dari analisis proses dan data hasil penelitian serta didukung data wawancara
dengan guru mitra, model pembelajaran STS menjadi model inovasi pada pembelajaran
IPS SD dalam konteks kehidupan nyata anak. Sesuai dengan tujuannya penerapan
model pembelajaran STS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
kemampuan memecahkan masalah sosial siswa. Melalui pembelajaran siswa telah
mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap teknologi yang digunakan.
Siswa telah mampu menanggapi permasalahan teknologi sesuai dengan topik
pembelajaran yang dipelajari. Lebih jauh lagi, siswa telah mampu memberikan solusi
untuk memecahkan masalah yang diangkat pada LKS, melalui langkah-langkah
pemecahan masalah. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan model pembelajaran
STS telah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan memecahkan
asalah sosial siswa. Hal ini dilihat dari proses kemunculan berpikir kritis dan
memecahkan masalah pada aktivitas pembelajaran dan hasil data pada tes kemampuan
16

berpikir kritis dan tes kemampuan pemecahan masalah sosial siswa, dilihat dari
peningkatan N-gain dari katagori rendah menjadi kategori sedang pada hasil postes.
E. Kesimpulan
Model pembelajaran STS pada materi perkembangan teknologi dapat lebih
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah sosial
siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Aktivitas guru dan siswa
sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran model STS. Siswa dan guru memberikan
tanggapan positif terhadap penggunaan model pembelajaran STS dengan harapan dapat
diterapkan pada topik teknologi lainnya sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.
Kepala sekolah perlu memotivasi guru pada sekolah yang ia pimpin untuk menjadikan
model pembelajaran STS sebagai salah satu alternatif model pembelajaran, baik dalam
pembelajaran IPS, maupun dalam pembelajaran lainnya dengan mempertimbangkan
karakteristik materi yang akan disampaikan.

17

DAFTAR PUSTAKA
Arniyana, I.

(2004). Pengembangan Peta Pikiran untuk Peningkatan Kecakapan

Berpikir Kreatif Siswa. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA no.3 Juli
2007.
Ennis, R. H. (1985). Logical Basic for Measuring Critical Thinking Skills. Education
Leadership. Association for Supervision and Curriculum Development.
Hadojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang:
UM Press.
Heath, Phillip; Marker, Gerald et al. (1990). Teaching about Science, Technology and
Society in Social Studies: Education for Citizenship in the 21st Century. Social
Education April/May:189-193.
Killen, R. (1998). Effective Teaching Strategies Lesson from Research and Practice.
Katoomba: Sociel Science Press.
Mariana, A. (1999). Hakikat Pendekatan STS dalam Pembelajaran Sains. Bandung :
Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah PPPG IPA.
Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and
Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic
Pretest

Scores.

American

Journal

of

Physics

[Online].

Tersedia:

http://www.physics.iastate.edu/per/docs/AJP-Dec-2002-Vo.70-12591268.pdf. [September 2010].

Poedjiadi, A. (2007). Sains Teknologi Masyarakat: Model Pembelajaran Konstektual
yang Bermuatan Nilai. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Santrock. W, J. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Erlangga.
Savage. T.V. dan Amstrong, D.G. (1996). Effective Teaching in Elementary Social
Studies. Third Edition. New Jersey: Prenctice Hall.
Yager, R. (1992). STS Approach Parallels Constructivist Practice. Education
International. Vol.3 No.2.
(1996). Constructivism and Science Education Reform. Science Education
International. Vol.4 No.1.

18

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA (STUDI KASUS PUTUSAN NO : 130/Pid.B/2011/PN.LW)

7 91 58

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

EVALUASI ATAS PENERAPAN APLIKASI e-REGISTRASION DALAM RANGKA PEMBUATAN NPWP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA TANJUNG KARANG TAHUN 2012-2013

9 73 45

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62