Peran Hukum Islam Dalam Membangun Sistem (3)
PERAN HUKUM ISLAM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM
NASIONAL DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Paradigma
Sistem
Hukum
Indonesia
pada
hakekatnya
merupakan suatu system, yang terdiri dari unsur - unsur atau
bagian - bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan
berhubungan untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada UUD
l945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.1
Menurut Abdul Gani Abdulllah, Pancasila dalam kerangka
teori ilmu hukum menempati posisi ganda, yaitu :
-
Pertama, Pancasila merupakan perwujudan dari cita hukum
dan kesadaran hukum bangsa Indonesia yang tumbuh dan
lahir dari runtutan pandangan hidup serta cita moral mereka.
Jika runtutan itu ditarik kebelakang, akan terlihat hamparan
religiusitas sosial yang meracik pandangan hidup dan cita
moral tersebut. Dengan demikian, cita hukum dan kesadaran
hukum bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari potensi
nilai religiusitasnya.
-
Kedua, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum. Kedudukan seperti itu bagaimanapun menyebabkan
setiap norma di dalam hukum Indonesia mengandung
dimensi transedental dan horizontal. Selain itu norma atau
1
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang : Akademi Permata, 2013), h. 46
1
hukum yang akan dibentuk yang dinyatakan berlaku harus
mendukung
pandangan
hidup
yang
menghendaki
pertanggung-jawaban vertikal kepada Tuhan atas segala
aktifitas norma hukumnya.2
Dalam kehidupan politik hukum Indonesia, obsesi Islam
dianggap terumuskan dalam Piagam Jakarta dan dimaknakan
sebagai bakal pembuahannya secara bertahap, dan adanya dua
sudut pandang akan berhadapan tatkala pembentukan hukum
berproses : Pertama, tafsiran luas dari Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
serta salah satu makna obsesi politik Islam di atas menempatkan
hukum Islam sebagai bagian dari ajaran Islam. Kedua, tafsiran
organik Pasal 24 dan 25 UUD 1945 menempatkan hukum Islam
sebagai sesuatu yang harus dipertahankan di luar atau di depan
pengadilan
yang
terlingkup
dalam
pelaksanaan
kekuasaan
kehakiman.3
Hukum
agama
islam
masuk
ke
dalam
sistem
hukum
Indonesia bersamaan dengan datangnya agama Islam. Oleh karena
itu, sebagai mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam
merupakan salah satu sistem yang berlaku di Indonesia, walaupun
memang diakui masih ada agama lain selain agama Islam yang
dianut sebagian kecil masyarakat Indonesia. Namun, perlu juga
2
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, cet I (Jakarta : Gema Insani Press, l994), h. 11.
3 Ibid., h. 19.
2
dicatat, Bahwa hukum Islam ini mempunyai pengertian yang
dinamis sebagai hukum yang mampu memberi jawaban terhadap
perubahan
sosial
dan
pembangunan
hukum
serta
dapat
ditransformasikan dengan perjalanan waktu dan tempat.
Hukum Islam dengan karakteristiknya mampu sejalan dengan
pembangunan hukum di Indonesia dan perubahan sosial. T. M.
Hasbi as-Shiddiqy mengemukakan bahwa hukum Islam mempunyai
3 (tiga) karakter yang merupakan ketentuan yang tidak pernah
berubah, yakni :
1. Takamul yaitu sempurna dan tuntas. Maksudnya bahwa
hukum Islam membentuk umat Islam dalam suatu kesatuan
yang bulat, walaupun mereka berbeda-beda suku bangsa dan
berlainan suku tetapi mereka bersatu padu.
2. Wasathiyyah
(harmoni,
moderat),
yakni
hukum
Islam
menempuh jalan tengah, jalan yang imbang yang tidak
terlalu berat ke kanan mementingkan kejiwaan dan tidak pula
ke kira mementingkan kebendaan. Hukum Islam selalu
menyelaraskan antara fakta dengan cinta-cita hukum.
3. Harakah
(dinamis),
yakni
hukum
Islam
mempunyai
kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya
hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan
dan kemajuan.4
4
T. M. Hasbi as-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 2001), h. 83.
3
Ketiga karakteristik itu menjadikan hukum Islam mampu
beradaptasi dengan hukum dunia mana pun, termasuk dalam
tatanan hukum nasional Indonesia. Keluwesan hukum Islam akan
mampu menjawab permasalahan yang sedang terjadi sekaligus
mengisi kekosongan hukum yang tidak diatur dalam perundangundangan di Indonesia.
Adapun pokok pembahasan dalam makalah ini berdasarkan
deskripsi di atas adalah :
a. Bagaimana penerapan hukum islam di indonesia?
b. Bagaimana peran hukum Islam dalam pembangunan hukum
nasional Indonesia?
c. Sejauh mana orientasi hukum islam dalam tatanan hukum di
Indonesia?
d. Bagaimana
strategi
legislasi
pembangunan hukum di Indonesia?
4
hukum
Islam
dalam
B. PEMBAHASAN
1. Teori Penerapan hukum Islam
Secara konseptual, sungguhnya telah banyak teori pemikiran
mengenai penerapan hukum Islam (syari’at) di Indonesia, antara
lain:
a.
Teori pemikiran formalistik-legalistik. Berpendapat Bahwa
penerapan syari’at Islam harus melalui institusi negara. Hal
ini disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela
Islam. Berkaitan dengan pertanyaan: apakah syari’at Islam
harus
diformulasikan
menjawab:
”Ya.”
dalam
Negara
itu
sebuah
konstitusi,
nantinya
dapat
Rizik
menjaga
berjalannya syari’at. karena itu formalisasi syari’at melalui
konstitusi atau undang-undang harus diusahakan untuk
menjaga subtansi syari’at agar agama bisa dijalankan secara
baik. Oleh karena itu beliau tidak setuju memisahkan antara
subtansi dan formal.5
Kelompok
Hizbut
Tahrir
yang
dianggap
getol
meneriakkan perlunya Islamisasi melalui ideologi negara
sebagai salah satu prasyarat tegaknya syari’at Islam di
wilayah hukum Indonesia. Dalam pandangan Hizbut Tahrir,
memperjuangkan
tegaknya
muslim
sebuah
adalah
syari’at
keharusan.
Islam
bagi
seorang
Haruslah
menjadi
5
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Cet. I (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 2021.
5
keyakinan bahwa tidak akan ada kemuliaan kecuali dengan
Islam; tidak ada Islam kecuali dengan syari’at; dan tidak ada
syari’at kecuali dengan
daulah
(negara). Pemikiran ini
disampaikan dengan mengemukakan suatu argumentasi
berdasarkan fakta sejarah dan keyakinan bahwa aturan Allah
pastilah yang terbaik. Hanya syari’at sajalah yang mampu
menjawab segala persoalan yang tengah membelit umat
Islam Indonesia baik di lapangan ekonomi, politik, sosial,
budaya, maupun pendidikan.
b.
Teori Pemikiran Strukturalistik. Pendekatan ini menekankan
transformasi
dalam
tatanan
sosial
dan
politik
agar
bercorak Islami, sedangkan pendekatan kultural menekankan
transformasi dalam prilaku sosial agar bercorak Islami.
Namun hubungan timbal balik keduanya sangatlah sinergis.
Karena
transformasi
dimaksudkan
dapat
melalui
pendekatan
mempengaruhi
struktural
transformasi
prilaku
sosial sehingga lebih Islami. Sebaliknya transformasi prilaku
sosial
diharapkan
dapat
mempengaruhi
transformasi
institusi-institusi sosial dan politik menjadi lebih Islami.
Pendekatan struktural mensyaratkan pendekatan politik, lobi
atau melalui sosialisasi ide-ide Islam, kemudian menjadi
masukan bagi kebijakan umum. Salah seorang pendukung
utama pendekatan ini adalah Amin Rais, yang berpendapat
6
sebagaimana dikutip oleh Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad,
bahwa transformasi nilai-nilai Islam melalui kegiatan dakwah
harus mencakup segala dimensi kehidupan manusia. Dengan
kata lain, kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya,
ilmiah,
dan
lainnya
harus
menjadi
sarana
untuk
merealisasikan nilai-nilai Islam. Konsekuensi dari pandangan
ini, Amin mendukung perumusan dan implementasi sistem
sosial Islam termasuk melegislasi hukum Islam dalam tata
hukum negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.6
c.
Teori
Pemikiran
Kulturalistik.
Pendekatan
ini
hanya
mensyaratkan sosialisasi dan internalisasi syari’at Islam oleh
umat Islam sendiri, tanpa dukungan langsung dari otoritas
politik dan institusi negara. Para pendukung pendekatan
kultural ini ingin menjadikan Islam sebagai sumber etika dan
moral;
sebagi
sumber
inspirasi
dan
motivasi
dalam
kehidupan bangsa bahkan sebagai faktor komplementer
dalam pembentukan struktur sosial. Pendukung teori ini
adalah Abdurrahman Wahid (Gusdur). Menurut beliau bahwa
tidak semua ajaran Islam di legislasi oleh negara. Banyak
hukum negara yang berlaku secara murni dalam bimbingn
moral yang terimplementasikan dalam kesadaran penuh
6
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam ..., h.
27.
7
masyarakat. Kejayaan hukum agama tidak akan hilang
dengan
fungsinya
sebagai
sebuah
sistem
etika
sosial.
Kejayaannya bahkan akan tampak karena pengembangannya
dapat terjadi tanpa dukungan dari negara. Karena alasan ini,
Beliau lebih cenderung untuk menjadikan syariat’at Islam
sebagai sebuah perintah moral (moral injuction) daripada
sebagai sebuah tatanan legalistik-formalistik.7
d. Teori
Pemikiran
Subtantialistik-Aplikatif.
Di
kalangan
akademis, pemikiran penerapan syari’at Islam lebih cendrung
kepada analisis akademis yang tidak menunjukan pro dan
kontra karena mereka tidak memihak kepada pendapat
siapapun dan pihak manapun. Pemikiran ini hanya lahir dari
sudut teoritik ajaran Islam yang bersifat dogmatis dan
aplikatif.
Penerapannya
diserahkan
kepada
umat
Islam
sendiri; apakah harus berdasarkan otoritas negara atau
bersifat
struktural,
kultural,
substansial,
individu,
atau
kolektif. Misalnya komentar Juhaya S. Praja, Guru Besar
Hukum Islam IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, atas wacana
bagaimana menjadikan hukum Islam sebagai penunjang
pembangunan dalam kerangka sistem hukum Pancasila.
Menurutnya, walaupun dalam praktik tidak lagi berperan
secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki
7
Ibid., h. 28-29.
8
arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Setidak-tidaknya
ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih
memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa.
o
Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan
tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam,
minimal menetapkan apa yang harus dianggap baik
dan buruk;
apa
yang menjadi
perintah, anjuran,
perkenaan, dan larangan agama.
o
Kedua, banyak putusan hukum dan yurisprudensial dari
hukum Islam telah diserap menjadi hukum positif yang
berlaku.
o
Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi
teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri
sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih
menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai
daya tarik cukup besar.8
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan
bahwa proses penerapan hukum Islam di Indonesia dapat
ditempuh melalui beragam cara, bisa melalui formalistik
legalitas, kultur, analisis akademis, dan prilaku (moral).
Semuanya cara tersebut telah ada sejak masa pra proklamasi
dan pasca reformasi.
8 Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, Cet. I
(Bandung: Rosda karya, 1991), h. xv.
9
2. Bagaimana peran hukum Islam dalam Pembangunan Hukum
Nasional Indonesia
Satjipto Raharjo menyatakan :
“Pembinaan hukum meliputi pemberi pelayanan dan
penegak hukum, pembinaan administrasi atau manajemen
pengelolaan pembentukan, pelayanan, dan penegakan
hukum, termasuk hal-hal tersebut diperlukan perencaan
komprehensif pembinaan atau pembangunan hukum
nasional. Hanya dengan cara demikian, hukum akan
mempengaruhi tatanan masyarakat menuju masyarakat
Indonesia baru dan modern”.9
Sesuai dengan yang diungkapkan Satjipto tentang
pembangunan hukum nasional, paling tidak hukum islam
bisa
andil
dalam
pembangunan
hukum
nasional
dari
beberapa hal, yaitu :
o
Mengisi kekosongan hukum yang belum ada aturannya
dalam
peraturan
atau
perundang-undangan
di
Indonesia;
o
Memberikan
pendidikan
moral
terhadap
penegak
hukum dan masyarakat.
Selanjutnya, peran hukum Islam dalam pembangunan
hukum nasional harus ditempuh melalui proses legislasi dari
penegak hukum. Walau pun, ada sebagian hukum Islam
yang
sulit
untuk
ditegakkan
9
oleh
penguasa,
seperti
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Cet. I (Yogyakarta : Genta Publishing,
2010), h. 117-119.
10
kewajiban shalat dan puasa. Secara teori hukum Islam,
negara bisa memaksa pelaksanaan shalat dan puasa bagi
pemeluk agama Islam dan menjatuhkan sanksi bagi yang
melanggarnya. Penegakan hukum kewajiban shalat dan
puasa sulit terealisasi, disebabkan :
-
Secara teknis peraturan seperti ini sulit ditegakkan.
Bagaimana mungkin negara bisa memantau selama 24
jam hanya sekedar mengetahui apakah warganya
melakukan shalat dan puasa atau tidak?
-
Shalat dan puasa merupakan ritual individual. Tentunya
kurang
berkolerasi
dengan
‘kepentingan
umum’.
Negara menegakkan hukum untuk kepentingan umum,
bukan kepentingan individual.
Adapun Ketentuan hukum Islam yang perlu dilegislasi
adalah ketentuan hukum yang memiliki kategori:
1. Penegakannya memerlukan bantuan kekuasaan negara.
2. Berkorelasi dengan ketertiban umum.10
Apabila upaya pembinaan dan pengembangan hukum
Islam
di
Indonesia
melaui
jalur
legislasi
mengalami
hambatan-hambatan, maka alternatifnya dapat ditempuh
melalui jalur non legislasi. Untuk kondisi Indonesia, menurut
10
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. I (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005), h.353.
11
Warkum Sumitro, alternatif non legislasi lebih memungkinkan
karena beberapa alasan:
-
Pertama,
tidak
wujudnya
tidak
terkesan
”dominasi
menempatkan
mayoritas,”
label
Islam,
karena
cukup
memasuKkan nilai-nilai yang dianggap prinsip.
-
Kedua, dukungan dari struktur politik tidak perlu dilakukan
dengan terang-terangan sehingga yang berperan adalah
suara hati nurani. Artinya, komitmen para tokoh Islam yang
ada di struktur terhadap perjuangan nilai-nilai keislaman
(hukum Islam) sangatlah penting.
-
Ketiga, persoalan bentuk dan proses bukan merupakan hal
yang penting. Hal yang penting masalah subtansi.
-
Keempat, karena bentuk dan proses tidak terlalu penting,
maka bisa dilakukan terhadap bidang hukum di sekitar publik
dan dalam hal ini lebih startegis.11
3. Orientasi hukum islam dalam tatanan pembangunan hukum
di Indonesia
Kedamaian, kebahagiaan hidup, perlindungan hukum,
jaminan hukum dan kepastian hukum dalam tertib hidup
pribadi dan masyarakat, bangsa dan negara, kedamaian
11
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan
sosial Politik di Indonesia, Cet. I (Malang: Bayumedia, 2005), h. 214-215.
12
dunia adalah tujuan dan fungsi hukum dalam sistem hukum
nasional yang berfalsafah Pancasila.12
Menurut Masykuri Abdillah, dilihat dari segi orientasi
penerapan hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu : Pertama, adalah orentasi yang berupaya
memperjuangkan implementasi ajaran secara komprehensif
(kaffah), baik bidang akidah, syari’ah, maupun etika-moral.
Kedua,
adalah
orentasi
memperjuangkan
Islam.
Ketiga,
yang
implementasi
adalah
orentasi
hanya
berupaya
dan
etika-moral
akidah
yang
hanya
berupaya
memperjuangkan sedapat mungkin implementasi syari’ah
-disamping akidah serta etika-moral -atau minimal prinsipprinsipnya, yang terintegrasi ke dalam sistem nasional.
Orentasi pertama menjadikan Islam sebagai ideologis, kedua
menjadikan
Islam
sebagai
sumber
etika,
dan
ketiga
idealistis
dalam
menjadikan Islam sebagai sub-ideologi.13
Orentasi
konteks
pertama
Islam,
tapi
memang
sangat
kurang
realistis
dalam
konteks
masyarakat dan bangsa Indonesia yang sangat plural.
Sedangkan orentasi kedua sangat idealistis dalam konteks
keindonesiaan tapi kurang realistis dalam konteks Islam,
12
Ichtijanto, Sistem Hukum Pancasila, (Bandung : Rosdakarya, l991), hal.
155 -156.
13
Masykuri Abdillah, at. al., Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia; Sebuah
Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 319
13
yang ajarannya tidak memisahkan antara agama dengan
negara. Tarikan yang kuat terhadap salah satu orientasi akan
mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi
yang berlawanan, dan bahkan akan menimbulkan konflik
internal yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan
tengah di antara keduannya, yakni menjadikan Islam sebagai
sub-ideologi bagi Pancasila.14
4. Strategi legislasi hukum Islam dalam pembangunan hukum di
Indonesia
Adapun
strategi
legislasi
hukum
Islam
dalam
pembangunan hukum di Indonesia dapat dilakukan melalui
tiga sektor (mengutip teori Weiner Friedman) antara lain :
a. Substansi hukum
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004
tentang
Undangan
Pembentukan
disebutkan
bahwa
Peraturan
dalam
Perundangmembentuk
peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada
asas yang meliputi: 1) Kejelasan tujuan; 2) Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat; 3) Kesesuaian antara
jenis dan materi muatan; 4) Dapat dilaksanakan; 5)
14
Ibid., h. 322 -323.
14
Kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6) Kejelasan rumusan;
dan 7) Keterbukaan.
Materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 mengandung asas-asas yang meliputi: 1)
Pengayoman;
2)
Kemanusiaan;
3)
Kebangsaan;
4)
Kekeluargaan; 5) Kenusantaraan; 6) Bhinneka tunggal ika;
7) Keadilan; 8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
9)
Ketertiban
dan
kepastian
hukum;
dan/atau. 10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Jika
diperhatikan
asas
dan
materi
muatan
perundang-undangan dalam tatanan hukum Indonesia
terdapat banyak kesamaan dengan asas dan materi
muatan hukum Islam (fikih). Hukum Islam telah mengatur
hubungan umat dalam kehidupan beribadah (ubudiyah),
sosial
(muamalat),
kekeluargaan
(munakahat),
kenegeraan (siyasah dan jinayah).
b. Struktur hukum
Struktur menurut teori ini mencakup lembaga atau
instansi pembentuk dan penegak hukum. Hukum Islam
dapat memberikan kontribusi dalam ajaran akhlak /moral
kepada pihak yang berwenang dalam pembentuk dan
penegak hukum. Ajaran moral hukum Islam dirasakan
15
penting dalam memperbaiki mental para penegak hukum.
Jika moral penegak hukum baik, maka implikasinya
penegakan
hukum
akan
menjadi
berwibawa
dalam
masyarakat. Hal ini sesuai dengan butir pancasila sila
kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
c. Kultur / budaya hukum
Sekilas history perjalanan hukum islam di Indonesia
merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat dan
menjadi bagian integral dari kesadaran hukum masyarakat
Indonesia. Meskipun dalam faktanya tidak seluruh aspek
hukum Islam berlaku sebagaimana hukum positif di
Indonesia.
Berlakunya hukum Islam dalam kancah hukum
nasional
sangat
pendukung
ditentukan
hukum
Islam
pula
memiliki
oleh
sejauhmana
kesadaran
untuk
menerima dan melaksanakannya. Kenyataan sementara
menunjukan bahwa pemeluk Islam sebagai pendukung
berlakunya hukum Islam baru merupakan potensi, belum
merupakan basis sosial yang efektif. Sikap pemeluk Islam
yang belum mendukung bagi berlakunya hukum Islam
dalam pembinaan hukum nasional tersebut perlu segera
dibenahi secara lebih intensif. Masih diperlukan upaya
menasionalisasi hukum Islam di kalangan pemeluk Islam
16
sebagai penduduk mayoritas agar mereka betul-betul
mempunyai kesadaran hukum Islam yang tinggi yang
akhirnya diharapkan mematuhinya.
Dengan dukungan tiga komponen tersebut, yakni
komponen struktur, komponen subtansi, dan komponen
kultur dengan berbagai persyaratan, hukum Islam akan
mempunyai
posisi
tawar
yang
tinggi
dalam
proses
transformasi bagi pembinaan hukum nasional.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia,
terdapat empat teori pemikiran mengenai penerapan
hukum Islam (syari’at) di Indonesia: a) Teori pemikiran
formalistik-legalistik; b) Teori Pemikiran Strukturalistik; c)
Teori
Pemikiran
Kulturalistik;
c)
Teori
Pemikiran
Subtantialistik-Aplikatif.
Peran hukum Islam dalam pembangunan hukum
Nasional untuk Mengisi kekosongan hukum yang belum
ada
aturannya
dalam
peraturan
atau
perundang-
undangan di Indonesia dan memberikan pendidikan moral
terhadap
penegak
hukum
masyarakat.
17
dan
kesadaran
hukum
Oriensasi penegakan hukum Islam sejalan dengan
cita-cita hukum Nasional yang termuat dalam pembukaan
UUD 1945 yaitu mensejatahterakan, menjamin HAM,
menegakkan keadilan, kekeluargaan, musyawarah dan
mufakat dalam persoalan serta mencerdaskan kehidupan
masyarakat.
2. Saran
a. Bagi para cendikiawan, ilmuan, serjana, akademisi, dan
penegak hukum untuk menggali kembali hukum-hukum
yang lahir dari kesadaran masyarakat Indonesia dan
melegislisasikan nilai-nilai dan norma yang terkandung
dalam living low menjadi hukum berskala nasional.
b. Bagi pembentuk hukum agar memasukkan prinsip,
asas,
sistem
hukum
Islam
dalam
perundangan-
undangan
secara
nasional.
Sebab,
jauh
sebelum
Indonesia
menjadi
sebuah
negara,
hukum
Islam
merupakan basis kesadaran hukum masyarakat dalam
bersikap dan bertingkah laku.
c. Melakukan unifikasi terhadap tiga sistem hukum di
Indonesia (sistem hukum Islam, sistem hukum adat,
18
dan
sistem
hukum
kolonial)
dalam
pembentukan
hukum yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang : Akademi Permata, 2013).
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, cet I (Jakarta : Gema Insani Press, l994).
Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Cet. I (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006).
Ichtijanto, Sistem Hukum Pancasila, (Bandung : Rosdakarya, l991).
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, Cet. I
(Bandung: Rosda karya, 1991).
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. I (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005).
Masykuri Abdillah, at. al., Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia; Sebuah
Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005).
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Cet. I (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010).
T. M. Hasbi as-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra,
2001).
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan sosial Politik
di Indonesia, Cet. I (Malang: Bayumedia, 2005).
20
NASIONAL DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Paradigma
Sistem
Hukum
Indonesia
pada
hakekatnya
merupakan suatu system, yang terdiri dari unsur - unsur atau
bagian - bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan
berhubungan untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada UUD
l945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.1
Menurut Abdul Gani Abdulllah, Pancasila dalam kerangka
teori ilmu hukum menempati posisi ganda, yaitu :
-
Pertama, Pancasila merupakan perwujudan dari cita hukum
dan kesadaran hukum bangsa Indonesia yang tumbuh dan
lahir dari runtutan pandangan hidup serta cita moral mereka.
Jika runtutan itu ditarik kebelakang, akan terlihat hamparan
religiusitas sosial yang meracik pandangan hidup dan cita
moral tersebut. Dengan demikian, cita hukum dan kesadaran
hukum bangsa Indonesia tidak dapat terlepas dari potensi
nilai religiusitasnya.
-
Kedua, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum. Kedudukan seperti itu bagaimanapun menyebabkan
setiap norma di dalam hukum Indonesia mengandung
dimensi transedental dan horizontal. Selain itu norma atau
1
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang : Akademi Permata, 2013), h. 46
1
hukum yang akan dibentuk yang dinyatakan berlaku harus
mendukung
pandangan
hidup
yang
menghendaki
pertanggung-jawaban vertikal kepada Tuhan atas segala
aktifitas norma hukumnya.2
Dalam kehidupan politik hukum Indonesia, obsesi Islam
dianggap terumuskan dalam Piagam Jakarta dan dimaknakan
sebagai bakal pembuahannya secara bertahap, dan adanya dua
sudut pandang akan berhadapan tatkala pembentukan hukum
berproses : Pertama, tafsiran luas dari Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
serta salah satu makna obsesi politik Islam di atas menempatkan
hukum Islam sebagai bagian dari ajaran Islam. Kedua, tafsiran
organik Pasal 24 dan 25 UUD 1945 menempatkan hukum Islam
sebagai sesuatu yang harus dipertahankan di luar atau di depan
pengadilan
yang
terlingkup
dalam
pelaksanaan
kekuasaan
kehakiman.3
Hukum
agama
islam
masuk
ke
dalam
sistem
hukum
Indonesia bersamaan dengan datangnya agama Islam. Oleh karena
itu, sebagai mayoritas beragama Islam, maka hukum Islam
merupakan salah satu sistem yang berlaku di Indonesia, walaupun
memang diakui masih ada agama lain selain agama Islam yang
dianut sebagian kecil masyarakat Indonesia. Namun, perlu juga
2
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, cet I (Jakarta : Gema Insani Press, l994), h. 11.
3 Ibid., h. 19.
2
dicatat, Bahwa hukum Islam ini mempunyai pengertian yang
dinamis sebagai hukum yang mampu memberi jawaban terhadap
perubahan
sosial
dan
pembangunan
hukum
serta
dapat
ditransformasikan dengan perjalanan waktu dan tempat.
Hukum Islam dengan karakteristiknya mampu sejalan dengan
pembangunan hukum di Indonesia dan perubahan sosial. T. M.
Hasbi as-Shiddiqy mengemukakan bahwa hukum Islam mempunyai
3 (tiga) karakter yang merupakan ketentuan yang tidak pernah
berubah, yakni :
1. Takamul yaitu sempurna dan tuntas. Maksudnya bahwa
hukum Islam membentuk umat Islam dalam suatu kesatuan
yang bulat, walaupun mereka berbeda-beda suku bangsa dan
berlainan suku tetapi mereka bersatu padu.
2. Wasathiyyah
(harmoni,
moderat),
yakni
hukum
Islam
menempuh jalan tengah, jalan yang imbang yang tidak
terlalu berat ke kanan mementingkan kejiwaan dan tidak pula
ke kira mementingkan kebendaan. Hukum Islam selalu
menyelaraskan antara fakta dengan cinta-cita hukum.
3. Harakah
(dinamis),
yakni
hukum
Islam
mempunyai
kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya
hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan
dan kemajuan.4
4
T. M. Hasbi as-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 2001), h. 83.
3
Ketiga karakteristik itu menjadikan hukum Islam mampu
beradaptasi dengan hukum dunia mana pun, termasuk dalam
tatanan hukum nasional Indonesia. Keluwesan hukum Islam akan
mampu menjawab permasalahan yang sedang terjadi sekaligus
mengisi kekosongan hukum yang tidak diatur dalam perundangundangan di Indonesia.
Adapun pokok pembahasan dalam makalah ini berdasarkan
deskripsi di atas adalah :
a. Bagaimana penerapan hukum islam di indonesia?
b. Bagaimana peran hukum Islam dalam pembangunan hukum
nasional Indonesia?
c. Sejauh mana orientasi hukum islam dalam tatanan hukum di
Indonesia?
d. Bagaimana
strategi
legislasi
pembangunan hukum di Indonesia?
4
hukum
Islam
dalam
B. PEMBAHASAN
1. Teori Penerapan hukum Islam
Secara konseptual, sungguhnya telah banyak teori pemikiran
mengenai penerapan hukum Islam (syari’at) di Indonesia, antara
lain:
a.
Teori pemikiran formalistik-legalistik. Berpendapat Bahwa
penerapan syari’at Islam harus melalui institusi negara. Hal
ini disampaikan oleh Habib Riziq Shihab, ketua Front Pembela
Islam. Berkaitan dengan pertanyaan: apakah syari’at Islam
harus
diformulasikan
menjawab:
”Ya.”
dalam
Negara
itu
sebuah
konstitusi,
nantinya
dapat
Rizik
menjaga
berjalannya syari’at. karena itu formalisasi syari’at melalui
konstitusi atau undang-undang harus diusahakan untuk
menjaga subtansi syari’at agar agama bisa dijalankan secara
baik. Oleh karena itu beliau tidak setuju memisahkan antara
subtansi dan formal.5
Kelompok
Hizbut
Tahrir
yang
dianggap
getol
meneriakkan perlunya Islamisasi melalui ideologi negara
sebagai salah satu prasyarat tegaknya syari’at Islam di
wilayah hukum Indonesia. Dalam pandangan Hizbut Tahrir,
memperjuangkan
tegaknya
muslim
sebuah
adalah
syari’at
keharusan.
Islam
bagi
seorang
Haruslah
menjadi
5
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Cet. I (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 2021.
5
keyakinan bahwa tidak akan ada kemuliaan kecuali dengan
Islam; tidak ada Islam kecuali dengan syari’at; dan tidak ada
syari’at kecuali dengan
daulah
(negara). Pemikiran ini
disampaikan dengan mengemukakan suatu argumentasi
berdasarkan fakta sejarah dan keyakinan bahwa aturan Allah
pastilah yang terbaik. Hanya syari’at sajalah yang mampu
menjawab segala persoalan yang tengah membelit umat
Islam Indonesia baik di lapangan ekonomi, politik, sosial,
budaya, maupun pendidikan.
b.
Teori Pemikiran Strukturalistik. Pendekatan ini menekankan
transformasi
dalam
tatanan
sosial
dan
politik
agar
bercorak Islami, sedangkan pendekatan kultural menekankan
transformasi dalam prilaku sosial agar bercorak Islami.
Namun hubungan timbal balik keduanya sangatlah sinergis.
Karena
transformasi
dimaksudkan
dapat
melalui
pendekatan
mempengaruhi
struktural
transformasi
prilaku
sosial sehingga lebih Islami. Sebaliknya transformasi prilaku
sosial
diharapkan
dapat
mempengaruhi
transformasi
institusi-institusi sosial dan politik menjadi lebih Islami.
Pendekatan struktural mensyaratkan pendekatan politik, lobi
atau melalui sosialisasi ide-ide Islam, kemudian menjadi
masukan bagi kebijakan umum. Salah seorang pendukung
utama pendekatan ini adalah Amin Rais, yang berpendapat
6
sebagaimana dikutip oleh Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad,
bahwa transformasi nilai-nilai Islam melalui kegiatan dakwah
harus mencakup segala dimensi kehidupan manusia. Dengan
kata lain, kegiatan-kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya,
ilmiah,
dan
lainnya
harus
menjadi
sarana
untuk
merealisasikan nilai-nilai Islam. Konsekuensi dari pandangan
ini, Amin mendukung perumusan dan implementasi sistem
sosial Islam termasuk melegislasi hukum Islam dalam tata
hukum negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.6
c.
Teori
Pemikiran
Kulturalistik.
Pendekatan
ini
hanya
mensyaratkan sosialisasi dan internalisasi syari’at Islam oleh
umat Islam sendiri, tanpa dukungan langsung dari otoritas
politik dan institusi negara. Para pendukung pendekatan
kultural ini ingin menjadikan Islam sebagai sumber etika dan
moral;
sebagi
sumber
inspirasi
dan
motivasi
dalam
kehidupan bangsa bahkan sebagai faktor komplementer
dalam pembentukan struktur sosial. Pendukung teori ini
adalah Abdurrahman Wahid (Gusdur). Menurut beliau bahwa
tidak semua ajaran Islam di legislasi oleh negara. Banyak
hukum negara yang berlaku secara murni dalam bimbingn
moral yang terimplementasikan dalam kesadaran penuh
6
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam ..., h.
27.
7
masyarakat. Kejayaan hukum agama tidak akan hilang
dengan
fungsinya
sebagai
sebuah
sistem
etika
sosial.
Kejayaannya bahkan akan tampak karena pengembangannya
dapat terjadi tanpa dukungan dari negara. Karena alasan ini,
Beliau lebih cenderung untuk menjadikan syariat’at Islam
sebagai sebuah perintah moral (moral injuction) daripada
sebagai sebuah tatanan legalistik-formalistik.7
d. Teori
Pemikiran
Subtantialistik-Aplikatif.
Di
kalangan
akademis, pemikiran penerapan syari’at Islam lebih cendrung
kepada analisis akademis yang tidak menunjukan pro dan
kontra karena mereka tidak memihak kepada pendapat
siapapun dan pihak manapun. Pemikiran ini hanya lahir dari
sudut teoritik ajaran Islam yang bersifat dogmatis dan
aplikatif.
Penerapannya
diserahkan
kepada
umat
Islam
sendiri; apakah harus berdasarkan otoritas negara atau
bersifat
struktural,
kultural,
substansial,
individu,
atau
kolektif. Misalnya komentar Juhaya S. Praja, Guru Besar
Hukum Islam IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, atas wacana
bagaimana menjadikan hukum Islam sebagai penunjang
pembangunan dalam kerangka sistem hukum Pancasila.
Menurutnya, walaupun dalam praktik tidak lagi berperan
secara penuh dan menyeluruh, hukum Islam masih memiliki
7
Ibid., h. 28-29.
8
arti besar bagi kehidupan para pemeluknya. Setidak-tidaknya
ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih
memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa.
o
Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan
tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam,
minimal menetapkan apa yang harus dianggap baik
dan buruk;
apa
yang menjadi
perintah, anjuran,
perkenaan, dan larangan agama.
o
Kedua, banyak putusan hukum dan yurisprudensial dari
hukum Islam telah diserap menjadi hukum positif yang
berlaku.
o
Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi
teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri
sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih
menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai
daya tarik cukup besar.8
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan
bahwa proses penerapan hukum Islam di Indonesia dapat
ditempuh melalui beragam cara, bisa melalui formalistik
legalitas, kultur, analisis akademis, dan prilaku (moral).
Semuanya cara tersebut telah ada sejak masa pra proklamasi
dan pasca reformasi.
8 Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, Cet. I
(Bandung: Rosda karya, 1991), h. xv.
9
2. Bagaimana peran hukum Islam dalam Pembangunan Hukum
Nasional Indonesia
Satjipto Raharjo menyatakan :
“Pembinaan hukum meliputi pemberi pelayanan dan
penegak hukum, pembinaan administrasi atau manajemen
pengelolaan pembentukan, pelayanan, dan penegakan
hukum, termasuk hal-hal tersebut diperlukan perencaan
komprehensif pembinaan atau pembangunan hukum
nasional. Hanya dengan cara demikian, hukum akan
mempengaruhi tatanan masyarakat menuju masyarakat
Indonesia baru dan modern”.9
Sesuai dengan yang diungkapkan Satjipto tentang
pembangunan hukum nasional, paling tidak hukum islam
bisa
andil
dalam
pembangunan
hukum
nasional
dari
beberapa hal, yaitu :
o
Mengisi kekosongan hukum yang belum ada aturannya
dalam
peraturan
atau
perundang-undangan
di
Indonesia;
o
Memberikan
pendidikan
moral
terhadap
penegak
hukum dan masyarakat.
Selanjutnya, peran hukum Islam dalam pembangunan
hukum nasional harus ditempuh melalui proses legislasi dari
penegak hukum. Walau pun, ada sebagian hukum Islam
yang
sulit
untuk
ditegakkan
9
oleh
penguasa,
seperti
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Cet. I (Yogyakarta : Genta Publishing,
2010), h. 117-119.
10
kewajiban shalat dan puasa. Secara teori hukum Islam,
negara bisa memaksa pelaksanaan shalat dan puasa bagi
pemeluk agama Islam dan menjatuhkan sanksi bagi yang
melanggarnya. Penegakan hukum kewajiban shalat dan
puasa sulit terealisasi, disebabkan :
-
Secara teknis peraturan seperti ini sulit ditegakkan.
Bagaimana mungkin negara bisa memantau selama 24
jam hanya sekedar mengetahui apakah warganya
melakukan shalat dan puasa atau tidak?
-
Shalat dan puasa merupakan ritual individual. Tentunya
kurang
berkolerasi
dengan
‘kepentingan
umum’.
Negara menegakkan hukum untuk kepentingan umum,
bukan kepentingan individual.
Adapun Ketentuan hukum Islam yang perlu dilegislasi
adalah ketentuan hukum yang memiliki kategori:
1. Penegakannya memerlukan bantuan kekuasaan negara.
2. Berkorelasi dengan ketertiban umum.10
Apabila upaya pembinaan dan pengembangan hukum
Islam
di
Indonesia
melaui
jalur
legislasi
mengalami
hambatan-hambatan, maka alternatifnya dapat ditempuh
melalui jalur non legislasi. Untuk kondisi Indonesia, menurut
10
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. I (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2005), h.353.
11
Warkum Sumitro, alternatif non legislasi lebih memungkinkan
karena beberapa alasan:
-
Pertama,
tidak
wujudnya
tidak
terkesan
”dominasi
menempatkan
mayoritas,”
label
Islam,
karena
cukup
memasuKkan nilai-nilai yang dianggap prinsip.
-
Kedua, dukungan dari struktur politik tidak perlu dilakukan
dengan terang-terangan sehingga yang berperan adalah
suara hati nurani. Artinya, komitmen para tokoh Islam yang
ada di struktur terhadap perjuangan nilai-nilai keislaman
(hukum Islam) sangatlah penting.
-
Ketiga, persoalan bentuk dan proses bukan merupakan hal
yang penting. Hal yang penting masalah subtansi.
-
Keempat, karena bentuk dan proses tidak terlalu penting,
maka bisa dilakukan terhadap bidang hukum di sekitar publik
dan dalam hal ini lebih startegis.11
3. Orientasi hukum islam dalam tatanan pembangunan hukum
di Indonesia
Kedamaian, kebahagiaan hidup, perlindungan hukum,
jaminan hukum dan kepastian hukum dalam tertib hidup
pribadi dan masyarakat, bangsa dan negara, kedamaian
11
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan
sosial Politik di Indonesia, Cet. I (Malang: Bayumedia, 2005), h. 214-215.
12
dunia adalah tujuan dan fungsi hukum dalam sistem hukum
nasional yang berfalsafah Pancasila.12
Menurut Masykuri Abdillah, dilihat dari segi orientasi
penerapan hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok, yaitu : Pertama, adalah orentasi yang berupaya
memperjuangkan implementasi ajaran secara komprehensif
(kaffah), baik bidang akidah, syari’ah, maupun etika-moral.
Kedua,
adalah
orentasi
memperjuangkan
Islam.
Ketiga,
yang
implementasi
adalah
orentasi
hanya
berupaya
dan
etika-moral
akidah
yang
hanya
berupaya
memperjuangkan sedapat mungkin implementasi syari’ah
-disamping akidah serta etika-moral -atau minimal prinsipprinsipnya, yang terintegrasi ke dalam sistem nasional.
Orentasi pertama menjadikan Islam sebagai ideologis, kedua
menjadikan
Islam
sebagai
sumber
etika,
dan
ketiga
idealistis
dalam
menjadikan Islam sebagai sub-ideologi.13
Orentasi
konteks
pertama
Islam,
tapi
memang
sangat
kurang
realistis
dalam
konteks
masyarakat dan bangsa Indonesia yang sangat plural.
Sedangkan orentasi kedua sangat idealistis dalam konteks
keindonesiaan tapi kurang realistis dalam konteks Islam,
12
Ichtijanto, Sistem Hukum Pancasila, (Bandung : Rosdakarya, l991), hal.
155 -156.
13
Masykuri Abdillah, at. al., Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia; Sebuah
Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 319
13
yang ajarannya tidak memisahkan antara agama dengan
negara. Tarikan yang kuat terhadap salah satu orientasi akan
mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi
yang berlawanan, dan bahkan akan menimbulkan konflik
internal yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan
tengah di antara keduannya, yakni menjadikan Islam sebagai
sub-ideologi bagi Pancasila.14
4. Strategi legislasi hukum Islam dalam pembangunan hukum di
Indonesia
Adapun
strategi
legislasi
hukum
Islam
dalam
pembangunan hukum di Indonesia dapat dilakukan melalui
tiga sektor (mengutip teori Weiner Friedman) antara lain :
a. Substansi hukum
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004
tentang
Undangan
Pembentukan
disebutkan
bahwa
Peraturan
dalam
Perundangmembentuk
peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada
asas yang meliputi: 1) Kejelasan tujuan; 2) Kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat; 3) Kesesuaian antara
jenis dan materi muatan; 4) Dapat dilaksanakan; 5)
14
Ibid., h. 322 -323.
14
Kedayagunaan dan kehasilgunaan; 6) Kejelasan rumusan;
dan 7) Keterbukaan.
Materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 mengandung asas-asas yang meliputi: 1)
Pengayoman;
2)
Kemanusiaan;
3)
Kebangsaan;
4)
Kekeluargaan; 5) Kenusantaraan; 6) Bhinneka tunggal ika;
7) Keadilan; 8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
9)
Ketertiban
dan
kepastian
hukum;
dan/atau. 10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Jika
diperhatikan
asas
dan
materi
muatan
perundang-undangan dalam tatanan hukum Indonesia
terdapat banyak kesamaan dengan asas dan materi
muatan hukum Islam (fikih). Hukum Islam telah mengatur
hubungan umat dalam kehidupan beribadah (ubudiyah),
sosial
(muamalat),
kekeluargaan
(munakahat),
kenegeraan (siyasah dan jinayah).
b. Struktur hukum
Struktur menurut teori ini mencakup lembaga atau
instansi pembentuk dan penegak hukum. Hukum Islam
dapat memberikan kontribusi dalam ajaran akhlak /moral
kepada pihak yang berwenang dalam pembentuk dan
penegak hukum. Ajaran moral hukum Islam dirasakan
15
penting dalam memperbaiki mental para penegak hukum.
Jika moral penegak hukum baik, maka implikasinya
penegakan
hukum
akan
menjadi
berwibawa
dalam
masyarakat. Hal ini sesuai dengan butir pancasila sila
kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
c. Kultur / budaya hukum
Sekilas history perjalanan hukum islam di Indonesia
merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat dan
menjadi bagian integral dari kesadaran hukum masyarakat
Indonesia. Meskipun dalam faktanya tidak seluruh aspek
hukum Islam berlaku sebagaimana hukum positif di
Indonesia.
Berlakunya hukum Islam dalam kancah hukum
nasional
sangat
pendukung
ditentukan
hukum
Islam
pula
memiliki
oleh
sejauhmana
kesadaran
untuk
menerima dan melaksanakannya. Kenyataan sementara
menunjukan bahwa pemeluk Islam sebagai pendukung
berlakunya hukum Islam baru merupakan potensi, belum
merupakan basis sosial yang efektif. Sikap pemeluk Islam
yang belum mendukung bagi berlakunya hukum Islam
dalam pembinaan hukum nasional tersebut perlu segera
dibenahi secara lebih intensif. Masih diperlukan upaya
menasionalisasi hukum Islam di kalangan pemeluk Islam
16
sebagai penduduk mayoritas agar mereka betul-betul
mempunyai kesadaran hukum Islam yang tinggi yang
akhirnya diharapkan mematuhinya.
Dengan dukungan tiga komponen tersebut, yakni
komponen struktur, komponen subtansi, dan komponen
kultur dengan berbagai persyaratan, hukum Islam akan
mempunyai
posisi
tawar
yang
tinggi
dalam
proses
transformasi bagi pembinaan hukum nasional.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia,
terdapat empat teori pemikiran mengenai penerapan
hukum Islam (syari’at) di Indonesia: a) Teori pemikiran
formalistik-legalistik; b) Teori Pemikiran Strukturalistik; c)
Teori
Pemikiran
Kulturalistik;
c)
Teori
Pemikiran
Subtantialistik-Aplikatif.
Peran hukum Islam dalam pembangunan hukum
Nasional untuk Mengisi kekosongan hukum yang belum
ada
aturannya
dalam
peraturan
atau
perundang-
undangan di Indonesia dan memberikan pendidikan moral
terhadap
penegak
hukum
masyarakat.
17
dan
kesadaran
hukum
Oriensasi penegakan hukum Islam sejalan dengan
cita-cita hukum Nasional yang termuat dalam pembukaan
UUD 1945 yaitu mensejatahterakan, menjamin HAM,
menegakkan keadilan, kekeluargaan, musyawarah dan
mufakat dalam persoalan serta mencerdaskan kehidupan
masyarakat.
2. Saran
a. Bagi para cendikiawan, ilmuan, serjana, akademisi, dan
penegak hukum untuk menggali kembali hukum-hukum
yang lahir dari kesadaran masyarakat Indonesia dan
melegislisasikan nilai-nilai dan norma yang terkandung
dalam living low menjadi hukum berskala nasional.
b. Bagi pembentuk hukum agar memasukkan prinsip,
asas,
sistem
hukum
Islam
dalam
perundangan-
undangan
secara
nasional.
Sebab,
jauh
sebelum
Indonesia
menjadi
sebuah
negara,
hukum
Islam
merupakan basis kesadaran hukum masyarakat dalam
bersikap dan bertingkah laku.
c. Melakukan unifikasi terhadap tiga sistem hukum di
Indonesia (sistem hukum Islam, sistem hukum adat,
18
dan
sistem
hukum
kolonial)
dalam
pembentukan
hukum yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang : Akademi Permata, 2013).
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, cet I (Jakarta : Gema Insani Press, l994).
Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Cet. I (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006).
Ichtijanto, Sistem Hukum Pancasila, (Bandung : Rosdakarya, l991).
Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, Cet. I
(Bandung: Rosda karya, 1991).
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. I (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005).
Masykuri Abdillah, at. al., Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia; Sebuah
Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas Cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005).
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Cet. I (Yogyakarta : Genta Publishing, 2010).
T. M. Hasbi as-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra,
2001).
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan sosial Politik
di Indonesia, Cet. I (Malang: Bayumedia, 2005).
20