PENDIDIKAN SENI RUPA BERBASIS PENDIDIKAN (1)

PENDIDIKAN SENI RUPA BERBASIS PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)
DENGAN PENDEKATAN EKSPRESI BEBAS
Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, Pemerintah Negara Republik
Indonesia tengah mengambil langkah strategis yang bersifat kondusif.Salah satunya diwujudkan
dalam pelayanan pendidikan dengan skala prioritas utama. Bahkan lebih ditekankan bahwa
pendidikan yang bernilai tinggi harus dimulai sejak anak masuk usia dini. Sebagai bukti otentik
kepedulian pemerintah terhadap pendidikan anak usia dini dapat diamati pada Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 yang di dalamnya memuat tentang rumusan pendidikan anak usia dini yang
tercakup dalam Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 14 yang dinyatakan bahwa:
“Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya peminaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Untuk memberikan layanan pendidikan seluasluasnya kepada seluruh anak, pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini
diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.
Pendidikan usia dini jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK),
Raudatul Athfal (RA), atau juga bentuk lain yang sederajat. Untuk jalur pendidikan nonformal,
pendidikan anak usia dini diselenggarakan dalam kelompok bermain (KB), taman penitipan anak
(TPA), sedangkan in-formal diselenggarakan dalam bentuk pendidikan keluarga. Dari bentukbentuk penyelenggaraan pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa (a) layanan pendidikan
perlu diberikan kepadaanak usia dini, (b) pendidikan formal dan non formal keduanya
memberikan andil kesempatan anak usia dini memperoleh hak didik secara layak, (c) untuk
mendukung berlangsungnya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini perlu melibatkan

masyarakat.
Pada tahap berikutnya merupakan bentuk prabagan yang mendekati kesempurnaan. Masa
in disebut masa bagan yang perkembangannya hingga usia 9 tahun, kira-kira anak SD kelas II
dan kelas III. Perkembangan fase ini terdapat perkecualiannya bilamana ada perbedaan
perkembangan anak sebayanya. Pada akhir tahap ini perkembangan akal sudah mulai
mempengaruhi dunia ciptaan anak-anak. Sikap kritis mereka sudah mengarahkan gambargambar yang mereka buat ke arah bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan. Pada saat ini
kewajaran dan spontasnitasanak sudah mulai menurun, karena pertimbangan akal sudah mulai
menguasai dunia ciptaan mereka, umumnyaanak-anak kelas III hingga kelas IV berada pada fase
ini (Garha 1991:30). Sejalan dengan tahap perkembangan anak, pada akhir tahap masa bagan
anak telah berusia 9 tahun masuk ke usia 10 tahun. Sikap kritis dan realistis sudah mengarahkan
gambar-gambar yang mereka buat, yakni bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan walaupun
masih bersifat subjektif. Selain itu, sikap kritis dan realistis serta sikap sosial yang lebih
berkembang medorong anak ke pembuatan gambar yang didasari kenyataannya. Bentuk-bentuk
bagan yang dulu mereka senangi kini mereka tinggalkan menuju ke bentuk realistis (Garha
1975:30). Pada masa awal realisme ini terdapat cara-cara dalam membuat kesan ruang dalam
gambar. Berbeda dengan orang dewasa yang menggunakan alat bantu untuk mencapai kesan
ruang. Dikemukakan ada beberapa cara anak dalam memberi kesan ruang pada gambar yang
dibuatnya antara lain :
1) Cara penumpukan, sebagai cara lain untuk memperolehkesan ruang pada gambar yang
dibuatnya dengan cara penumpukkan. Benda-benda dalam gambar disusun secara

bertumpuk. Benda yang terletak lebih dekat ditempatkan pada sisi sebelah bawah. Makin
jauh letak benda makin mendekati sisi kertas bagian lain.

2) Perseptif burung, kesan gambar seakan-akan di buat penggambarnya dari tempat yang
sangat tinggi hingga bentuk yang dibuat tidak saling menghalangi.Seakan-akan burung
terbang dan melihat pemandangan yang terletak dibawahnya, sehingga kesan ruang dapat
dicapainya (Garha 1975:34).
3) Cara tutup menutup, cara pemecahan masalah kesan ruang yang lain lebih mendekati cara
yang biasa dilakukan orang dewasa ialah dengan cara tutup-menutup. Benda yang
terletak di belakang benda lain, yang tidak penting akan terhalang oleh benda yang
terletak di depannya.
Cara mereka memecahkan kesan ruang tentu tidak salah dan seyogyanya tidak perlu
memaksakan cara pemecahan kesan ruang yang belum sejalan dengan tahap perkembangan anak,
perspektif burung. Sebagaimanan cara pemecahan kesan ruang pada gambaranak terdapat juga
pada lukisan orang dewasa terutama pada seni lukis tradisional di Bali
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ditandai oleh timbulnya perhatian peneliti untuk
memahami dunia anak. Hasil temuan mereka membuka mata para pendidik, termasuk pendidik
seni rupa. Henry Turner Bailey (Efland, tanpa tahun), seorang tokoh pendidik seni rupa pada
masa itu menulis: ”Paidology (ilmu tentang anak) mengungkapkan banyak hal, tentang jejek
anak dalam pendidikan.” Uhlin (1975) menunjuk Corrado Ricci, seorang penyair Italia, sebagai

pelopor peneliti terhadap karya seni rupa anak. LaporanCorrado Rocci tentang gambar anak yang
diamatinya di bawah jembatan layang saat berteduh dari hujan dimusim dingin pada tahun 1882,
merangsang minat peneliti untuk menelusuri makna ekspresi seni sebagai cerminan pengalaman
anak.
Khusus menyangkut perkembangan anak dalam menggambar, studi awal yang dilakukan
oleh Lichwark pada tahun 1887 dan Baldin pada tahun 1898mencoba untuk menemukan
kesamaan antara perkembangan anak dalam menggambar dengan teori evolusi umat manusia
yang populer pada masa itu. Perkembangan kemampuan anak selanjutnya akan mengikuti pola
perkembangan seperti yang secara evolusioner terjadi pada umat manusia.
Pada tahun 1892, James Sully, seorang filosof dan psikolog Inggris, memulai
memperkenalkan istilah skema (bagan) untuk menamai pola gambar anak yang sederhana
sebagai simbol dari sesuatu. Selanjutnya pada tahun 1893, Earl Barnes dalam laporannya tentang
gambar anak mencatat adanya fase perkembangan anak dalam menggambar yang dikaitkan
dengan usia. Namun, Herman Lukens juga pada tahun 1896 yang mula pertama menyusun fase
perkembangan anak dalam menggambar berdasar perkembangan usia dengan uraian sebagai
berikut: (1) hingga masa 4 tahun anak berada pada tahap coreng-moreng; (2) usia 4 hingga 8
tahun merupakan masa keemasan yang bercirikan menggambar sambil berceritera; (3) usia 9
hingga 14 tahun merupakan masa kritis yang ditandai oleh timbulnya kesadaran baru anak yang
membuatnya tidak lagi puas dengan gambar yang dihasilkannya. Perkembanganmenggambarnya
kemudian menjadi mandek; dan (4) usia 14 tahun yang merupakan masa kelahiran kembali oleh

munculnya kemampuan kreatif dari beberapaorang anak yang berbakat (Uhlin 1972;19). Peneliti
yang lain, juga mencoba untuk menggambarkan pola perkembangan menggambar anak dengan
versi yang berbeda antara lain oleh Max Verwon pada tahun 1907 dan Cyril Burt pada tahun
1921.
Selain pola perkembangan menggambar anak, berbagai konsep kemudian lahir dari upaya
peneliti terhadap dunia seni rupa anak. Sigfried Levenstein dari Leipzig memperkenalkan konsep
“ berceritera” (story telling) bagi gambar anak, Max Verwon memperkenalkan istilah ideoplastik
dan fisioplastik (ideoplastic and physioplastic) dalam menggambar perkembangan gambar anak,
Willian Stern menunjuk adanya hubungan antara menggambar dan perkembangan berbahasa.

Studi terhadap dunia seni rupa anak segera menyebarluas berkat terbitnya berbagai jurnal
pendidikan seni rupa. Gagasan yang dimuat pada jurnal ini tentu saja merangsang terjadinya
pertukaran pikiran di antara pendidik seni rupa yang kemudian menimbulkan kesadaran bahw
metode pengajaran menggambar di sekolah seyogyanya memperhatikan temuan ilmiah seperti
adanya keunikan serta pola perkembangan anak dalam berkarya seni rupa. Kegiatan
pembelajaran di sekolah hendaknya mempertimbangkan keunikan dan pola perkembangan
tersebut. J.L Todd (dalam Logan 1955), seorang kepala sekolah seni rupa di Philadelphia,
Amerika Serikat, misalnya, mempertanyakan mengapa anak tidak bisa melakukannya? Mengapa
mereka harus diikat dengan aturan harus menggambar kubus, bulatan atau berbagai entuk abstrak
lainnya?

Pendekatan ekspresi bebas dalam Pendidikan Seni Rupa amat populer di Indonesia,
khususnya di kalangan pendidik seni rupa. Istilah ini mendominasi wacana pendidikan seni rupa
terutama pada dekade 1970-an. Sejalan dengan digantinya nama mata pelajaran “menggambar”
menjadi “seni rupa” pada kurikulumsekolah, dianggap perlu untuk diasosiasikan terutama
menyangkut latar belakang penggantian nama itu. Salah satu alasan utama mengapa mata
pelajaran menggambar digantikan namanya karena pada mata pelajaran menggambar melekat
citra sebagai pelatihan teknik keterampilan belaka yang tidak peduli akan kebutuhan kejiwaan
anak. Sesunguhnya ada upaya sebelumnya dari pendidik untuk menghilangkan citra pelajaran
menggambar sebagai hanya sekadar pelatihan keterampilan seperti yang terungkap dalam buku
Ekspresi dan Kemungkinannya di SRtetapi upaya ini kurang begitu berdampak terhadap praktik
pengajaran mengambar di kelas. Dengan nama seni rupa, diharapkan lebih mudah untuk
memunculkan citra baru sebagai kegiatan pembelajran yang peduli akan kebutuhan kejiwaan
anak. Hal ini dimungkinkan karena seni rupa menawarkan beragam kegiatan.
Pendekatan ekspresi bebas bercirikan pada pemberian kesempatan bagi anak untuk
menyatakan dirinya secara tak terganggu melalui seni rupa dalam kegiatan pembelajaran.
Pendekatan ini tidak lahirbegitu saja, melainkan ada keadaan yang melatarbelakanginya. Ketika
seni rupa untuk pertama kalinya diajarkan di sekolah umum dalam bentuk mata pelajaran
“menggambar” pada permulaan abad ke-19, tujuan yang ingin dicapai adalah menjadikan anak
pandai menggambar yang tercermin pada kemampuannya untuk menirukan wujud apa yang
terdapat di alam ini ke dalam bidangdatar. Itulah sebabnya, pelajaran menggambar di sekolah

mengutamakan koordinasi mata dan tangan.
Apa yang diamati oleh mata dapat secara akurat diterjemahkan oleh tangan melalui goresan
pensil atau pewarna lain. Semakin akurat citra yang digoreskan, semakin berhasillah gambar
tersebut. Untuk itu, guru berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan anak terampilmenerjemahkan
apa yang diamatinya ke atas bidang dambar yang melalui pemberian beragam latihan. Bagi anak
yang duduk di kelas permulaan, latihanberupa pembuatan goresan sederhana dalam berbagai
variasinya seperti garis lurus, garis lengkung, segitiga, segi empat, lingkaran, dan sebagainya.
Bagi anak yang duduk di kelas lanjutan, diperkenalkan ilmu perspektif dan kegiatan
menggambar alam secara langsung. Diyakini secara meluas pada abad ke-19 bahwa sifat
keluguan gambar anak disebabkan karena merekabelum mendapatkan latihan yang sesuai yang
memungkinkan berkembangnya keterampilan serta ketajaman matanya dalam mengamati objek
sehinga mampu melahirkan karya seni rupa yang bersifat naturalistis yang menjadi
kecenderungan pada masa itu (Efland, tanpa tahun).
Ketika dunia industri memerlukan keterampilan mengg ambar untuk keperluan desain, maka
pengajaran menggambar di sekolah pun mengikuti trenini dengan pemberian materi pelajaran
untuk keperluan industri. Di balik pergeseran orientasi ini, metode pengajaran menggambar yang

digunakan pada dasarnya sama yakni bersifat direktif dengan latihan yang ketat bagi anak
terampil menggambar.
Metode pengajaran menggambar seperti disebutkan di atas, lambat laun dianggap tidak layak

untuk dilakukan. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicu lahirnya anggapan tersebut, antara
lain temuan berbagai studi tentang anak, pengaruh pandangan Freud serta terjadinya gerakan
pembaruan dalam dunia seni rupa.
Pembaruan dalam dunia seni rupa yang besar dampaknya dalam pendidikan seni rupa pada
akhirnya abad ke-19 adalah gerakan ekspresionisme. Ekspresionisme timbul sebagai reaksi
terhadap seni rupa mimesis yang telah mentradisi didunia barat sejak zaman klasik Yunani. Seni
rupa mimesis berpijak pada pandangan bahwa seni rupa merupakan tiruan alam. Ini berarti,
kualitas suatu karya seni rupa ditentukan oleh kepersisannya dengan wujud yang ada di alam ini.
Itulah sebabnya, karya seni rupa mimesis kemudian digolongkan sebagai karya
naturalism/realism.
Ekspresionisme menantang pandangan yang telah mentradisi ini dengan menyatakan bahwa
seni rupa adalah wujud pernyataan perasaaan atau batin. Pada ekspresionime, isi batin
dinyatakan secara emosional melalui goresan yang “liar” serta warna yang mencolok
sebagaimana yang terlihat pada karya lukisan Vincent Van Gogh atau Henri Matisse. Warna yang
digunakan untuk menyatakan suatu bentuk tidaklah mesti sesuai dengan warna alamiah bentuk
tersebut. Sang seniman bebas untuk memilih warna sesuai dengan keinginan subjektifnya
sebagai cerminan dari kecemasan atau suasana hatinya yang bergelora. Semangat “ kebebasan
untuk menyatakan perasaan” yang digelorakan oleh kaum ekpresionis menyadarkan para
pendidik seni rupa bahwa bila seniman dewasa dapat secara bebas menyalurkan perasaaan
melalui goresan, warna, atau bentuk, mengapa anak dalam kegiatan menggambar atau

melukisnya harus diatur secara ketat? Mengapa guru di sekolah tidak berusaha untuk mengikuti
perubahan orientasi dalam dunia seni rupa dari upaya meniru gejala alam ke pemberian
kebebasan untuk menyatakan perasaan secara subjektif? Bukankah masyarakat luas tampaknya
juga dapat menerima perubahan ini? Akhirnya, karya seni rupa/gambar anak yang spontan dan
naïf, diakui sebagai karya seni rupa yang sejajar dengan karya orang dewasa (Wilson 1997).
Sesunggguhnya, pengakuan terhadap karya seni rupa anak telah ada pada tahun 1830-an seperti
yang terungkap pada tulisan Rodolpgo Topffer (dalam Leeds 1989) yang menyatakan bahwa
anak menggambarkan alam bukanlah sebagai representasi dari alam yang dipandang sebagai
keindahan tetapi sebagai cerminan dari keinginan yang meskipun kelihatannya kasar tetapi ia
lahir dari kekuatan pikiran hanya saja pengakuan Topffer yang sangat maju pada zamannya ini
relatif tidak memberi pengaruh terhadap dunia pendidikan seni rupa.
Ketiga faktor yang telah disebutkan di atas, secara bersama-sama melahirkan kesadaran baru
di kalangan pendidik untuk mengadakan reformasi terhadap praktik pengajaran seni
rupa/menggambar yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi alamiah anak, maka lahirlah
pendekatan baru kemudian popular dengan nama pendekatan ekspresi bebas.
Perlunya ekpspresi anak untuk disalurkan dalam kegiatan pendidikan telah banyak
disuarakan oleh peneliti dan pendidik seni rupa pada akhir abad ke-19 sebagai dampak dari
temuan ilmiah dan perkembangan dunia seni. Akan tetapi, Franz Cizek juga yang disebut sebagai
bapak dari pendekatan ekspresi bebas dalam pendidikan seni rupa. Franz Cizek lahir pada tahun
1865 dan memasuki Vienna Academy of Fine Art pada usia 20 tahun. Sejak masih kuliah, ia

telah mulai tertarik pada seni rupa anak seperti yang tercermin pada koleksinya. Ketertarikan
Cizek pada seni rupa anak seperti yang tercermin pada koleksinya.

Ketertarikan Cizek pada seni rupa anak erat hubungannya dengan pandangan pribadinya
sebagai seniman yang mendapatkan pengaruh pandangan modernisasi yang memang mulai
bangkit pada masa itu. Ia bersama kelompoknya melakukan perkembangan terhadap seni rupa
yang bersifat akademik dan memperjuangkan kehadiran seni rupa no-realistis yang kreatif
(Efland, tanpa tahun). Pada tahun 1897 ia berhasil mendapatkan izin untuk mendirikan lembaga
pendidikan seni rupa untuk anak yang kemudian diintregrasikan pada Vienna School for Arts
And Crafts(kunstgewerbeschule) pada tahun 1904. Ia mengajar di tempat ini hingga pensiun
pada usia 73 (Efland 1990).
Franz Cizek dipandang sebagai ”bapak” dari pendekatan ekspresi bebas berkat pandangan
dan apa yang dipraktikannya di tempat ia mengajar. Ia mengatakan (dalam Macdonald 1970)
bahwa “seni rupa anak adalah seni rupa yang hanya bias diciptakan oleh anak” dan “gambar
anak haruslah diberi kebebasan untuk tumbuh bagaikan kembang, bebas dari gangguan orang
dewasa “pernyataan Franz Cizek yang mengatkan “metode adalah racun bagi seni rupa”
merupakan tonggak bagi pendekatan ekspresi bebas. Di kelas yang dibinanya, ia tidak member
petunjuk kepada anak kecuali mereka memintanya. Apa yang diberikannya hanyalah simpati
danpengertian untuk merangsang imajinasi anak. Cizek (dalam Efland tanpa tahun) tidak setuju
bila anak meniru bentuk alam atau pergi ke museum untuk mengamati karya seniman terkemuka

oleh karena menurutnya, ekspresi kreatif haruslah berasal dari dalam diri anak sendiri.
Pandangan Franz Cizek tentang “kegiatan-sendiri” anak dalam berkarya seni rupa sangat
berpengaruh di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun permulaan abad ke-20. Ide bahwa anak
harus dibebaskan dari pengaruh orang dewasa dalam proses berkaryanya, kemudian menjadi
popular dengan nama “pendekatan ekspresi bebas: atau “pendekatan ekspresi kreatif.” Dengan
Pendekatan ekspresi bebas,tugas guru adalah memberikan pengalaman kepada anak yang dapat
merangsang munculnya ekspresi pribadi sang anak. Cara yang ditempuh olehguru antara lain
dengan memberikan beragam pengalaman atau membantu anak untuk mengingat pengalaman
pribadinyayang tersembunyi.
Pendekatan ekspresi bebas yang diperkenalkan oleh Cizek kemudian dikembangkan dan
lebih dipopulerkan oleh dua orang tokoh pendidik seni rupa yang juga memiliki reputasi
internasional yakni Voktor Lowenfeld dan Herberd Read.
Amat sulit untuk meringkaskan pandangan tentang pendidikan seni rupa. Sowenfeld melalui
bukunya yang terkenal The Nature of Creative Activitydan Creative and Mental Growth, pada
dasarnya memusatkan Kerangka Dasar Pendekatan Ekspresi Bebas10 perhatiannya pada
pertumbuhan mental dan kreatif anak dan memandang bahwa seni rupa merupakan suatu wahana
yang dapat digunakan untuk memudahkan pertumbuhan tersebut. Voktor Lowenfeld sangat
dipengaruhi oleh pandangan Freud yang menempatkan seni rupa sebagai wujud ekspresi dari
dorongan alam bawah sadar. Seni rupa berdasarkan pandangan ini dapat dipandang sebagai
indikator kesehatan jiwa dan ekspresi seni rupa yang merupakan terapi pembersihan jiwa. Bagi

lowenfeld, ekspresi seni rupa yang dilaksanakan secara alamiah berdampak positif bagi
perkembangan intelektual, emosional, kreativitas dan perkembangan social anak. Pendidikan
seni rupamenurut lowenfeld seyogyanya menjadi ajang pemberian pengalaman yang menarik
yang menyadarkan anak akan lingkungannya.
Pendidikan seni rupa, sebagaimana dikatakannya hend
aknya memperhatikan proses pembelajaran
yang terjadi pada diri anak. Pendidik harus mengama
ti apayang terjadi pada anak saat ia sedang bergelu
t

dengan media seni rupa anak adalah yang utama sedan
g seni rupa sendiri hanyalah suatu alat. Lowenfeld
juga memandang bahwa lomba seni rupa selayaknya tid
ak dilakukan (Eisner 1966:12). Dilontarkannya
gagasan yang menghubungkan antara seni dan kesehata
n mental ini timbul oleh karena disadari bahwa
melalui kegiatan berolah seni rupa, seseorang dapat
menyalurkan perasaan, keprihatinan, dan
kecemasannya melalui media lain. Lowenfeld (1972:8)
mengatakan bahwan anak yang mengalami frustasi
pada mata pelajaran lain seperti membaca, mengarang
atau berhitung, dapat mengalihkan kegiatannya pada
seni rupa untuk melepas frustasinya itu oleh karena
pada seni rupa tidak dikenal jawaban yang benar at
au
salah
Herberd Read terkenal dengan gagasan
Education Through Art
yang menekankan bahwa naluri
berolah seni rupa bagi anak adalah suatu yang unive
rsal, sesuatu yang tumbuh secara alamiah pada diri
anak dalam mengomunikasikan dirinya. Orang dewasa a
tau pendidik, tidak seyogyanya menginvestasikan
hal tersebut melalui berbagai dalih seperti demi “a
dat-istiadat,” “persaingan kerja,” “pembentukan kar
akter,”
atau “pendisiplin jiwa.” Menurutnya, semua itu akan
secara nyata menggusur minat alamiah anak yang aka
n
berarti merusak kebahagiaan dan kesenangan anak dal
am menikamati kebebasan (Read 1978:10).
Pendeknya, ekspresi-diri tak bisa diajarkan dan per
anan guru hanyalah sebagai fasilitator.
Pendekatan ekspresi bebas secara murni diimplementa
sikan oleh pendidik seni rupa yang dalam
merancang kegiatan pembelajarannya menggunakan mode
l
Emerging Curriculum
, yakni kegiatan
pembelajaran yang tidak dirancang sebelumnya tetapi
berkembang sesuai keinginan anak. Dengan cara ini,
guru menanyakan kepada anak kegiatan apa yang ingin
dilakukannya dan kemudian menyiapkan segala
sesuatunya untuk memberi kemudahan bagi anak dalam
melaksanakan kegiatan itu. Ada kemungkinan, oleh
karena satu dan lain hal anak tiba-tiba berubah pik

iran, maka guru pun harus segera menyesuaikan diri
dengan keinginan sang anak. Implementasi pendekatan
ekspresi bebas semacam ini tentu saja cocok
Implementasi Pendidikan Seni Rupa B
erbasis Pendidikan Anak Usia Dini dengan Pendekatan
Ekspresi Bebas
11
dilakukan di sanggar seni yang bersifat non-formal.
Untuk sekolah formal yang memiliki kurikulum serta
jadwal yang ketat akan sulit untuk dilakukan.
Karena menyadari sulitnya menerapkan pendekatan eks
presi bebas secara murni di sekolah, maka
pendidik seni rupa mengembangkan pendekatan ekspres
i bebas yang bersifat “terarah.” Dengan pendekatan
yang terarah ini, guru melaksanakan kegiatan pembel
ajaran sesuai dengan jadwal yang ditetapkan tetapi
dengan siasat tertentu agar supaya anak dapat menge
kspresikan dirinya sesuai dengan apa yang
diharapkan. Siasat tersebut berupa kegiatan “pemana
san” untuk merangsang dan memberikan motif
berekspresi kepada anak. Kegiatan pemanasan atau bi
asa pula disebut pemberian motivasi dapat dilakukan
dengan berbagai cara antara lain: (1) berceritera a
tau berdialog dengan anak untuk membangkitkan perha
tian
dan merangsang lahirnya motif yang dapat dijadikan
dasar dalam berkarya. Tema ceritera atau dialog ter
tentu
saja yang menyentuh kehidupan anak. Ceritera atau d
ialog akan menarik bila yang menyentuh kehidupan
anak. Ceritera atau dialog akan menarik bila guru m
emperhatikan foro, gambar, atau film; (2) memberika
n
anak pengalaman kontak langsung dengan alam secara
sadar, misalnya dengan mengajak anak untuk
mencermati keadaan sekelilingnya yagng mungkin sela
ma ini diabaikan seperti detail bunga-bungaan yang
tumbuh di sekeliling sekolah, kawat listrik dan tel
epon yang simpang-siur, pejalan kaki serta kendaraa
an yang
lalu-lalang. Untuk mengarahkan perhatian anak, guru
dapat mengajukan pertanyaaan seperti: “berapa mete
r
tinggi tiang listrik?” “bagaimana sikap pejalan kak
i yang akan menyeberang jalan? atau “berapa centime
ter

diameter kembang matahari yang ada di halaman sekol
ah?” (3) mendemonstrasikan proses penciptaan karya
seni rupa yang akan diajarkan. Pemberian motivasi k
epada murid dapat dilaksanaka dalam waktu yang
singkat (kurang dari 5 menit), tetapi dapat pula di
laksanakan dalam waktu 10-15 menit. Pembangkitan
motivasi dalam bentuk kontak langsung dengan alam m
emerlukan waktu yang relatif lama. Namun, kegiatan
ini dapat dirangkaikan dengan kegiatanlain (misalny
a darmawisata) sehingga tidak perlu mengambil waktu
yang tersedia untuk praktik di kelas. Pada saat men
jelang praktik, guru tinggal memancing ingatan anak
tentang apa yang telah diamatinya untuk membangkitk
an motivasinya.
Setelah anak termotivasi, maka anak pun diminta unt
uk mengekspresikan dirinya secara bebas. Peran
guru pada saat berlangsungya ekspresi terebut adala
h mendampingi anak untuk memberikan bantuan dan
pujilah bila diperlukan. Dalam kaitannya dengan pen
ilaian karya anak, maka tentu saja guru harus kemba
li ke
filosofi pendekatan ekspresi bebas yakni “ ekspresi
anak bersifat unik dan alamiah dan tidak ada istil
ah benar
dan salah dalam mengekspresikan dirinya melalui sen
i rupa”. Penilaian yang diberikan bersifat apresiat
if,
yakni bersifat menerima dan menghargai apa yang diu
ngkapkan atau diciptakan oleh anak dengan
menunjukkan kemungkinan peningkatan kualitas dari k
arya yang diciptakannya.
Kelancaran maupun hambatan kegiatan pendidikan seni
rupa anak sangat bergantung dari kuat
lemahnya motor penggerak/ motivasi dari anak. Tangg
apan jiwa anak (motivasi) pada anak akan menentukan
Penutup
12
produktivitas dalam mengembangkan seni dalam diriny
a. Untuk itu, sebagai orang dewasa yang berada di
tengah-tengah kehidupan anak-anak seyogyanya peduli
akan dunia anak dalam mengembangkan bakat dan
minat seni rupa anak. Salah satu usaha yang dapat d
ilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seni
rupa dengan pendekatan ekspresi bebas. Artinya deng
an memberikan kebebasan berekspresi kepada anak
untuk mengaktualisasikan ide atau perasaannya melal

ui aktivitas seni rupa.
Pendidikan seni rupa anak diharapkan dapat mengemba
ngkan daya kesadaran, kepekaan, estetik
(apresiasi), daya cipta (kreativitas) dan memberika
n kesempatan kepada subjek untuk berkreasi seni (Su
topo
1999:5). Dalam rangka membentuk manusia ideal, pend
idikan seni rupa ini juga diharapkan anak terampil,
sadar budaya, peka rasa (dan menjadi bagian penting
dari pendidikan seni di sekolah umum) serta kreati
f.
Depdiknas. 2003.
Undang-Undang Sisdiknas
. Jakarta: Depdiknas.
Efland, A. D. 1990.
History of Art Education
. New York/London: Teachers College.
Eisner, E. W. and David W. Ecker. 1996.
Reading in Art Education
. London: Blaisdel.
Garha, O. dan Martindo D. Bongsoe. 1975.
Penuntun Pendidikan Seni Rupa untuk SD
. BAndung: PT Pelita
Masa.
Graha, O. “Mata Pelajaran Menggambar dan Pelaksanaa
nnya di Sekolah Dasar”,
Makalah Nasional Konsep
dan Implementasi Pendidikan
, dalam rangka Lustrum VI IKIP Semarang. Semarang,
7 April 1995.
Graha, O. 1987.
Memahami Dunia Kesenirupaan Anak-Anak
. Bandung : Bina Cipta.
Jalal, F. dan Dedi Supriadi. 2001.
Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah
. Yogyakarta:
Adecitra Karya Nusa.
Jalal, F. 2002.
Pentingnya Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Membangu
n Masa Depan Bangsa Yang
Berkualitas
. Makalah dalam Seminar Membangun Masa Depan Jawa B
arat melalui Peningkatan
Layanan Pendidikan Anak Usia Dini di UPI, 16 oktobe
r 2002.
Leed, J. A. 1986. “Teaching ang The Reasons for Mak

ing Art”.
Art Education
. 39 (4) (hal. 17-21).
Logan, F. M. 1955.
Growht of Art in American Schools
. New York: Harper & Brothers.
Lowenfeld, V. dan W. Lambert Brittain. 1982.
Creative and Mental Growth
. New York: Macmillan.
Macdonald, S. 1970. The
History and Philoshophy of Art Education
. New York: American Elsevier.
Muharam. 1991.
Pendidikan Kesenian II Seni Rupa.
Jakarta: Dirjen Dikti LPTK.
Munandar, S.C. Utami. 1987.
Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah
. Jakarta : Depdikbud.
Read, H. 1974.
Educational Throught Art
. New York: Mayflower Book.
Salam, S. 2005.
Paradigma dan Masalah Pendidikan Seni
. Semarang: PPs, UNNES.
Soeparwoto. 2004.
Psikologi Perkembangan
. Semarang: UPT MKK UNNES.
Daftar Pustaka
13
Sutopo. 1996.
Peranan
Pendidikan
Seni
Masa Kini.
Semarang.
Wilson, R. A. (1996). Starting Earky:
Environment Educational During the Early Childhood
Years
. ERIC Diges.
(Online). Tersedia: http://www.ed.gov/database/ ERI
C-digests/ed402147.html (25 April 2003)