Gambaran School-Connectedness pada Siswa di Sekolah Pembauran (Studi Kasus SMA WR Supratman 2 Medan)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tujuan ini menekankan bahwa negara bertanggung jawab
atas pendidikan yang ditempuh oleh setiap warga negaranya. Pendidikan
menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tentang Sistem
Pendidikan Nasional didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Mendapat pendidikan merupakan hak yang dimiliki setiap warga
negara Indonesia (UUD tahun 1945 pasal 31 ayat 1). Sebagai negara dengan
multikultur, hal ini berarti bahwa setiap warga negara yang dimaksud adalah
setiap orang yang berasal dari latar belakang suku, agama bahkan status sosial
manapun dengan catatan merupakan warga negara Indonesia berkesempatan
untuk mengenyam pendidikan.


1

Universitas Sumatera Utara

Beragamnya kultur di Indonesia membentuk sistem pendidikan
nasional yang berupaya untuk mengembangkan persatuan dan kebangsaan
yang menghormati kemajemukan serta kesetaraan yang disesuaikan dengan
semboyan “Bhineka Tunggal Ika” (Tobing, 2013). Penekanan terhadap sistem
pendidikan nasional ini bermula dari kondisi pendidikan Indonesia di masa
Orde Baru.
Pada masa Orde Baru, sekolah-sekolah di Indonesia merupakan
sekolah yang siswanya berasal dari keturunan Tionghoa dan dianggap berada
di bawah pengaruh RRC. Melihat kondisi tersebut, maka pada tahun 1967
pemerintah membuat kebijakan mendirikan sekolah yakni Sekolah Nasional
Proyek Khusus (SNPK). Pada tahun 1975, istilah SNPK diubah menjadi
sekolah-sekolah asimilasi atau sekolah pembauran. Tujuan adanya kebijakan
ini adalah menjadikan sekolah sebagai wadah pembauran atau melting pot.
Melalui pembauran ini, diharapkan agar Warga Negara Indonesia (WNI)
keturunan Tionghoa dapat meleburkan dirinya dan budayanya kepada

kelompok yang dominan dimana pada konteks ini adalah WNI asli (Pelly,
2003).
Pada masa tersebut, sekolah pembauran yang terdapat di Sumatera
Utara sudah mencapai 32 sekolah mulai dari tingkat SD, SLTP, dan SLTA
(Pelly, 2003). Salah satu sekolah yang turut mengikuti kebijakan pemerintah
ini adalah Yayasan Perguruan Wage Rudolf Supratman Medan (Tentang
Kami, dalam wrsupratman.sch.id, 2014). Yayasan ini semula bernama
Yayasan Perguruan Tri Bukit dan diperuntukkan untuk siswa WNI keturunan
2

Universitas Sumatera Utara

Tionghoa. Namun sejak diberlakukannya kebijakan pemerintah mengenai
sekolah pembauran, sekolah ini mengubah namanya menjadi Perguruan Wage
Rudolf Supratman dan membuka kesempatan bagi siswa WNI asli untuk
bersekolah di sekolah tersebut.
Salah satu ketentuan yang diberlakukan untuk sekolah pembauran
menurut Surat Keputusan Menteri P dan K No.044/P/75 adalah komposisi
murid-murid harus 50% WNI asli dan 50% WNI asing (Pelly, 2003). Namun
berdasarkan hasil wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah bagian

Kesiswaan di SMA WR Supratman 2 Medan didapatkan bahwa kelompok
mayoritas dalam sekolah tersebut adalah siswa dengan keturunan Tionghoa
dan kelompok minoritas adalah siswa WNI asli, dengan perbandingan 60 %
dan 40%. Pelly (2003) menjelaskan bahwa di awal dibukanya sekolah
pembauran, pihak yayasan berupaya agar dapat memenuhi ketentuan tersebut.
Akan tetapi dari tahun ke tahun jumlah siswa WNI asli semakin sedikit
dikarenakan adanya berbagai faktor seperti keengganan belajar di satu kelas
yang sama dengan murid-murid WNI keturunan Tionghoa, letak sekolah
pembauran yang sebagian besar berada di komunitas WNI keturunan
Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang
sekolah yang tinggi.
Selain ketentuan tersebut, ketentuan lain yang diberlakukan adalah
menggunakan kurikulum nasional serta menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa penghantar (Pelly, 2003). Namun penelitian yang dilakukan
oleh Manurung (2015) di salah satu sekolah pembauran di kota Medan
3

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan bahwa masih adanya kecenderungan kelompok mayoritas yakni

keturunan Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa dalam berinteraksi
dengan teman serta guru yang juga merupakan keturunan Tionghoa.
Fenomena seperti ini juga sering terjadi di SMA WR Supratman 2 Medan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak sekolah, didapatkan bahwa pernah
terdapat laporan dari siswa non Tionghoa bahwa mereka merasa tidak nyaman
dengan kondisi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut.
“Iya pernah memang ada laporan siswa etnis non Tionghoa bahwa
masih ada beberapa guru Tionghoa, kalo yang nanya siswa Tionghoa
juga cenderung menjawab dengan berbahasa Tionghoa. Ini cukup
mengganggu siswa-siswa non Tionghoa ya.. karena mereka merasa
ingin tahu juga dengan apa yang disampaikan oleh gurunya…”
(Wawancara Personal, 2015)
Sekolah dengan konsep pembauran tidak hanya cenderung membuat siswa
kelompok minoritas saja yang merasa tidak nyaman, tetapi juga kelompok
mayoritas yakni siswa keturunan Tionghoa. Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Sumiati (2000) kepada siswa keturunan Tionghoa di salah satu
SMA di kota Cirebon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa keturunan
Tionghoa cenderung melakukan interaksi dengan siswa non Tionghoa hanya
untuk motif belajar.
Berdasarkan kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa baik siswa

kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas cenderung masih merasa tidak
nyaman dengan kendala yang sering kali dihadapi oleh sekolah dengan konsep
4

Universitas Sumatera Utara

pembauran. Nyaman atau tidaknya siswa di sekolah akan mengarahkan kepada
perasaan siswa apakah ia diterima di sekolahnya atau tidak. Istilah ini dikenal
dengan school connectedness.
School connectedness menurut Bonny (2000) merupakan perasaan
memiliki dan menerima siswa terhadap lingkungan sekolahnya. Sementara itu,
Blum (2004) mendefinisikan school connectedness sebagai keyakinan siswa
bahwa orang-orang dewasa dan teman sebayanya di sekolah peduli dengan
pendidikan mereka serta mempedulikan mereka sebagai individu. Stracuzzi &
Mills (2010) menggambarkan school connectedness sebagai perasaan positif
siswa mengenai pendidikan, perasaan memiliki akan lingkungan sekolah, adanya
hubungan positif dengan staff sekolah dan teman-temannya.
School connectedness merupakan hal penting dalam kehidupan di sekolah.
Centers for Disease Control and Preventive (2009) dalam jurnal publikasi yang
berjudul School Connectedness menyatakan bahwa school connectedness

merupakan faktor protektif bagi siswa untuk tidak menggunakan obat-obatan
terlarang, absen dari sekolah, perilaku seksual, kekerasan dan resiko kecelakaan.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Stracuzzi & Mills (2010)
menjelaskan bahwa school connectedness akan berdampak pada performa
akademik siswa. Siswa yang memiliki school connectedness yang lebih tinggi
akan lebih mudah untuk mendapatkan peringkat yang lebih tinggi, hasil ujian
yang lebih tinggi, dan tidak drop out. Hal ini dikarenakan siswa lebih terlibat
dalam pendidikan mereka, merasa termotivasi, dan menikmati pembelajaran
mereka.
5

Universitas Sumatera Utara

School connectedness terdiri dari tiga aspek utama yakni dukungan sosial,
rasa memiliki dan keterlibatan (Connell & Wellborn, dalam Stracuzzi & Mills,
2010). Dukungan sosial merupakan dukungan yang diberikan guru dan staf
lainnya yang berada di sekolah terhadap seluruh siswa tanpa membedakan jenis
kelamin, ras, maupun etnis. Sementara itu rasa memiliki merupakan perasaan
yang dimiliki oleh siswa mengenai dirinya bahwa ia adalah bagian dari sekolah.
Aspek keterlibatan merupakan respon yang ditunjukkan siswa ketika sudah

mendapatkan dukungan sosial dan juga merasa menjadi bagian dari sekolah.
Dukungan sosial yang diberikan guru maupun staf sekolah siswa juga akan
mengarah kepada disiplin sekolah (school discipline) yang dilakukan secara adil
atau tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Kandace & Forrester (2015) mengenai
kaitan antara school discipline dengan school connectedness menunjukkan bahwa
siswa yang merasa bahwa disiplin sekolah dilakukan secara diskriminatif, akan
cenderung juga merasakan bahwa guru tidak adil, merasa bahwa dia adalah siswa
yang bodoh menurut gurunya, dan

kurang merasakan hal baik tentang

sekolahnya.
Berdasarkan hasil survei peneliti dengan menggunakan kuesioner
(terlampir) terhadap 83 siswa SMA WR Supratman 2 Medan mengenai pendapat
siswa tentang kepedulian guru baik dalam hal pembelajaran, penampilan siswa,
maupun masalah pribadi yang dialami siswa didapatkan bahwa 50,6 % siswa
menyatakan bahwa guru peduli, 33,73% menyatakan cukup peduli, 6,02 %
menyatakan bahwa guru kurang peduli serta 9,63 % siswa menyatakan bahwa
guru tidak peduli. Dari hasil survei tersebut dapat diasumsikan bahwa siswa
6


Universitas Sumatera Utara

memiliki perasaan yang berbeda-beda mengenai peduli atau tidaknya guru
terhadap mereka.
School connectedness dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana
salah satunya adalah lingkungan sekolah (Blum, 2004). Faktor lingkungan
sekolah menekankan akan pentingnya peran sekolah untuk menyediakan
lingkungan yang nyaman sehingga siswa dapat mengembangkan dirinya baik itu
secara akademis, emosional maupun perilaku. Berdasarkan hasil survei peneliti
terhadap 83 siswa SMA WR Supratman 2 Medan (terlampir) mengenai pendapat
siswa tentang lingkungan sekolahnya didapatkan hasil bahwa 45,78 % siswa
menyatakan nyaman,

24,09 % siswa menyatakan cukup nyaman, 15,66 %

menyatakan kurang nyaman, dan 14, 45 % menyatakan tidak nyaman.
Lingkungan sekolah yang nyaman atau tidak menurut siswa berkaitan dengan
fasilitas sekolah, hubungan dengan teman-teman, suhu udara di ruangan kelas
serta dinamika saat proses belajar mengajar. Melalui survei tersebut dapat

diasumsikan bahwa belum semua siswa merasa nyaman dengan lingkungan
sekolahnya dan ini dapat mempengaruhi school connectedness siswa.
Siswa yang merasakan adanya dukungan sosial dari orang-orang di
sekitarnya serta merasa bahwa ia adalah bagian dari sekolahnya, akan
menunjukkan keterlibatan baik dalam hal akademik maupun non akademik.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti merasa perlu untuk meneliti gambaran
school connectedness siswa di sekolah dengan konsep pembauran dimana yang
menjadi tempat penelitian adalah SMA WR Supratman 2 Medan. Dengan
demikian, yang menjadi judul dalam penelitian ini adalah gambaran school
7

Universitas Sumatera Utara

connectedness pada siswa di sekolah pembauran (studi kasus SMA WR
Supratman 2 Medan).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran school
connectedness pada siswa sekolah pembauran khusunya pada SMA WR
Supratman 2 Medan?”
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran school connectedness siswa
pada sekolah pembauran khususnya pada SMA WR Supratman 2 Medan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat untuk menambah literatur
di dunia psikologi khususnya di bidang psikologi pendidikan yang
berkaitan dengan school connectedness.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan menghasilkan data penelitian mengenai gambaran
school connectedness pada siswa di sekolah pembauran khususnya pada
SMA WR Supratman 2 Medan.

8

Universitas Sumatera Utara

a. Bagi pihak sekolah
Pihak sekolah dapat mengetahui gambaran school connectedness

siswa di sekolah tersebut dan dapat menjadi bahan evaluasi sekolah
apakah nantinya meningkatkan school connectedness siswa atau
mempertahankan school connectedness siswa yang sudah baik.
b. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti selanjutnya dapat menjadikan hasil penelitian untuk dijadikan
sebagai referensi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan school
connectedness.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Bab I Pendahuluan
Pada bab ini berisi mengenai latar belakang permasalahan, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
2. Bab II Landasan Teori
Bab ini berisi mengenai teori-teori penyusunan variabel yang diteliti
serta dinamika dari variabel.
3. Bab III Metode Penelitian
Bab

ini

menjelaskan

mengenai

identifikasi

variabel,

definisi

operasional dari masing-masing variabel, sampel penelitian, teknik
pengambilan sampel, metode pengumpulan data, prosedur penelitian
serta metode analisa.
9

Universitas Sumatera Utara

4. Bab IV Analisa data dan Pembahasan
Bab ini menguraikan gambaran umum tentang subjek penelitian yaitu
siswa SMA WR Supratman 2 Medan serta hasil penelitian.
5. Bab V Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang didapat dari penelitian ini serta
saran yang dapat diberikan kepada pihak sekolah serta peneliti
selanjutnya.

10

Universitas Sumatera Utara