Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap School Connectedness Siswa SMA Harapan I Medan

(1)

PENGARUH IKLIM SEKOLAH TERHADAP SCHOOL CONNECTEDNESS SISWA SMA HARAPAN I MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

ATIKA MENTARI NATAYA NASUTION

111301086

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

PENGARUH IKLIM SEKOLAH TERHADAP SCHOOL CONNECTEDNESS PADA SISWA SMA HARAPAN I MEDAN Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2015

Atika Mentari Nataya Nst NIM 111301086


(4)

ii

Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap School Connectedness Siswa SMA Harapan I Medan

Atika M Nataya Nst & Dian Ulfasari

ABSTRAK

Sekolah merupakan tempat para siswa mendapat pendidikan yang layak. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan suasana dan proses belajar yang efektif agar siswa mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya baik secara akademik dan sebagai individu. Siswa yang merasa nyaman dan senang di sekolah memiliki kemungkinan besar untuk merasakan keterhubungan terhadap sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness siswa di SMA Harapan I Medan. Data penelitian dianalisis dengan regresi linear sederhana. Iklim sekolah mengacu pada suasana yang merupakan hasil dari interaksi timbal balik antara seluruh orang-orang yang ada di sekolah serta meliputi suasana lingkungan fisik sekolah. Selanjutnya, School connectedness mengacu pada kepercayaan siswa akan semua orang di sekolah mempedulikan mereka baik secara akademis maupun mereka sebagai individu. Populasi penelitian ini adalah semua siswa SMA Harapan I Medan. Sampel penelitian ini adalah 152 siswa SMA Harapan I Medan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala iklim kelas dan skala school connectedness. Skala iklim sekolah disusun berdasarkan 4 aspek yakni: keamanan, hubungan interpersonal, proses belajar mengajar, dan lingkungan institusional. Skala school connectedness disusun berdasarkan 3 aspek yakni: dukungan sosial, rasa memiliki, dan keterlibatan. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness siswa SMA Harapan I Medan sebesar 34,8% .


(5)

iii

The Impact of School Climate to School Connectedness on Harapan I High School Student.

Atika M Nataya Nst & Dian Ulfasari ABSTRACT

School is a place where student can get proper education. Therefore, school must give a situation and learning process which effective so that student can improve and develop their self as academically and as individually. Student who feels comfort and happy to be in school will likely to feel connected to school. The research aim is to know the impact of school climate to school connectedness on Harapan I high school students in Medan. Data were analyzed by using simple linear regression. School climate refers to the situation which result from all people interaction in school and including physical situation of that school. Then, school connectedness refers to the belief by students that all people in the school care about their learning as well as about them as individuals. The population of this research are Harapan I high school students in Medan. The sample are 152 Harapan I high school students. A measurement of this research use school climate scale and school connectedness scale that both scale are made by researcher. School climate scale is made based on 4 aspects: safety, relationship, teaching and learning, and institutional environment. School connectedness scale is made based on 3 aspects: social support, belonging, and engagement. The research result shows that there are 34,8% impact of school climate to school connectedness on Harapan I high school students in Medan.


(6)

iv

Utama Nasution, SE dan Mami Khairy Hanim Rangkuti, SE. Kemudian, untuk kakak Almira Ulfa Utari Nst, S.Ked dan Adik Annisa Nabila Putri Nst. Terima kasih atas semua doa, pengorbanan, dan dukungan sehingga akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap School Connectedness Siswa SMA Harapan I Medan.” Skripsi ini peneliti susun untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini peneliti mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dian Ulfasari, M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing seminar dan skripsi yang memberikan banyak nasehat.

3. Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd, Ibu Fasti Rola, M.Psi., Psikolog dan Ibu Etty Rahmawati, M.Si sebagai penguji saat sidang seminar dan skripsi peneliti dan memberikan saran-saran yang membangun.

4. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, psi selaku dosen pembimbing akademik peneliti yang telah memberi saran akademik kepada peneliti.

5. Pihak sekolah dan siswa-siswa SMA Harapan I Medan yang sangat terbuka menerima saya dan membantu proses penelitian menjadi


(7)

v

lancar. Terima kasih juga kepada Tante Lisna yang telah mempermudah saya meminta izin kepada SMA Harapan I Medan. 6. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara, atas ilmu dan bantuannya.

7. Terima kasih kepada teman-teman seangkatan 2011 terutama sahabat-sahabat: Nissa, Rina, Tia, Putri. Terima kasih atas waktu yang kita lewati bersama selama masa perkuliahan. Selain itu untuk Rony, Manda, Vilya, Zulfa, Haifa yang meluangkan waktu untuk membantu saya dalam proses pembuatan skripsi.

8. Terima kasih juga kepada seseorang yang selalu memberikan semangat dan dukungannya dari jauh sana, Settyo Utomo. Untuk Teuku Fajri Maulana juga terima kasih yang selalu memberi dukungan. Untuk teman-teman SMA: Fahmi, Hifdzul, Eka, Helve, Mar’ie yang memberi semangat.

Akhir kata, saya berharap semoga Allah swt membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Saya sangat menerima segala saran maupun kritik yang dapat membantu saya agar dapat menjadi lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Peneliti,


(8)

vi

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR LAMPIRAN x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 12

C. Tujuan Penelitian 12

D. Manfaat Penelitian 12

E. Sistematika Penulisan 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. School Connectedness 15

1. Definisi School Connectedness 15 2. Aspek School Connectedness 16 3. Faktor School Connectedness 17 4. Strategi Meningkatkan School Connectedness 20 5. Kategori School Connectedness 21

B. Iklim Sekolah 22


(9)

vii

2. Dimensi Iklim Sekolah 23

3. Faktor Iklim Sekolah 24

4. Kategori Iklim Sekolah 26

C. Siswa Menengah Atas 27

D. SMA Harapan IMedan 28

E. Dinamika Iklim Sekolah dengan School Connectedness 30

F. Hipotesis Penelitian 35

BAB III METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian 36 B. Definisi Operasional Variabel 36 C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel 40

D. Alat Ukur 42

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 47

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur 48

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 55

H. Metode Analisis Data 56

BAB IV ANALISA DATA & PEMBAHASAN

A. Analisa Data 58

1. Gambaran Subjek Penelitian 58

2. Hasil Penelitian 60


(10)

viii

1. Saran Penelitian 68

2. Saran Praktis 68


(11)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah Populasi Penelitian 41

Tabel 2. Jumlah Subjek Penelitian Setiap Tingkatan Kelas 42 Tabel 3. Kategorisasi Norma Nilai School Connectedness 43 Tabel 4. Blueprint Skala School Connectedness 44

Tabel 5. Blueprint Skala Iklim Sekolah 46

Tabel 6. Distribusi Aitem Skala School Connectedness Setelah Uji Coba 49 Tabel 7. Distribusi Aitem Skala School Connectedness

yang Digunakan dalam Penelitian 50

Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Iklim Sekolah Setelah Uji Coba 52 Tabel 9. Distribusi Aitem Skala Iklim Sekolah

yang Digunakan Dalam Penelitian 54

Tabel 10. Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 59

Tabel 11. Gambaran Subjek Berdasarkan Usia 59

Tabel 12. Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkatan Kelas 60

Tabel 13. Uji Normalitas 61

Tabel 14. Hasil Uji Linearitas 62

Tabel 15. Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap School Connectedness 62

Tabel 16. Koefisien Determinan (R2) 63


(12)

x

Lampiran 2. Uji Normalitas, Linearitas, Hipotesis 89

Lampiran 3. Alat Ukur Penelitian 92


(13)

ii

Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap School Connectedness Siswa SMA Harapan I Medan

Atika M Nataya Nst & Dian Ulfasari

ABSTRAK

Sekolah merupakan tempat para siswa mendapat pendidikan yang layak. Oleh karena itu, sekolah harus memberikan suasana dan proses belajar yang efektif agar siswa mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya baik secara akademik dan sebagai individu. Siswa yang merasa nyaman dan senang di sekolah memiliki kemungkinan besar untuk merasakan keterhubungan terhadap sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness siswa di SMA Harapan I Medan. Data penelitian dianalisis dengan regresi linear sederhana. Iklim sekolah mengacu pada suasana yang merupakan hasil dari interaksi timbal balik antara seluruh orang-orang yang ada di sekolah serta meliputi suasana lingkungan fisik sekolah. Selanjutnya, School connectedness mengacu pada kepercayaan siswa akan semua orang di sekolah mempedulikan mereka baik secara akademis maupun mereka sebagai individu. Populasi penelitian ini adalah semua siswa SMA Harapan I Medan. Sampel penelitian ini adalah 152 siswa SMA Harapan I Medan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala iklim kelas dan skala school connectedness. Skala iklim sekolah disusun berdasarkan 4 aspek yakni: keamanan, hubungan interpersonal, proses belajar mengajar, dan lingkungan institusional. Skala school connectedness disusun berdasarkan 3 aspek yakni: dukungan sosial, rasa memiliki, dan keterlibatan. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness siswa SMA Harapan I Medan sebesar 34,8% .


(14)

iii

The Impact of School Climate to School Connectedness on Harapan I High School Student.

Atika M Nataya Nst & Dian Ulfasari ABSTRACT

School is a place where student can get proper education. Therefore, school must give a situation and learning process which effective so that student can improve and develop their self as academically and as individually. Student who feels comfort and happy to be in school will likely to feel connected to school. The research aim is to know the impact of school climate to school connectedness on Harapan I high school students in Medan. Data were analyzed by using simple linear regression. School climate refers to the situation which result from all people interaction in school and including physical situation of that school. Then, school connectedness refers to the belief by students that all people in the school care about their learning as well as about them as individuals. The population of this research are Harapan I high school students in Medan. The sample are 152 Harapan I high school students. A measurement of this research use school climate scale and school connectedness scale that both scale are made by researcher. School climate scale is made based on 4 aspects: safety, relationship, teaching and learning, and institutional environment. School connectedness scale is made based on 3 aspects: social support, belonging, and engagement. The research result shows that there are 34,8% impact of school climate to school connectedness on Harapan I high school students in Medan.


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

A. LATAR BELAKANG

Sekolah adalah tempat para siswa mendapatkan pendidikan dari guru. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu sistem yang harus diatur dengan baik dan benar agar siswa mendapatkan pendidikan yang layak. Menurut UU RI No 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Hardianto, 2013).

Tujuan pendidikan yang telah diatur tersebut sejalan dengan pendapat seorang tokoh yakni Blum (2002) yang menjelaskan bahwa sekolah selain merupakan tempat untuk mendapatkan pendidikan tetapi juga tempat yang membangun kehidupan para generasi muda lebih baik serta mencapai kesuksesan. Selain itu dijelaskan bahwa siswa akan lebih mungkin untuk mencapai kesuksesan ketika siswa merasakan bahwa mereka merupakan “milik” sekolah dan memiliki rasa “keterhubungan” pada sekolah atau disebut juga memiliki school connectedness.


(16)

School connectedness diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki siswa bahwa orang-orang dewasa di sekolahnya peduli dengan pendidikan dan mereka sebagai seorang individu (Blum, 2002). Keyakinan atau belief merupakan kepercayaan dasar individu tentang suatu hal yang terbentuk tanpa disadari sebagai akibat dari interaksi berulang dengan suatu pengalaman tertentu (Matsumoto, 2004).

Menurut Blum (2002), hubungan yang terbentuk antara siswa dengan orang dewasa di sekolah merupakan jantung dari school connectedness. Orang-orang dewasa di sekolah tidak terbatas hanya dengan guru tetapi juga para staf administrasi yang termasuk di dalamnya para penjaga gedung, penjaga kantin, dan seluruh orang dewasa yang terlibat dalam dinamika proses pendidikan di sekolah. Ketika para siswa mempersepsikan bahwa guru mereka dan para staf sekolah peduli, membangun lingkungan belajar yang terstruktur, serta adil maka akan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk merasa lebih terhubung kepada sekolah.

Sudah ada beberapa literatur dan penelitian yang membahas isu sense of belonging ini. Beberapa penelitian memberikan istilah sebagai “school engagement” sementara yang lain menyebutnya sebagai “school attachment” dan yang lain menganalisisnya sebagai “school bonding”. Semua penelitian-penelitian ini membahas isu yang sama meskipun memakai istilah yang berbeda ataupun metode analisis yang berbeda. Isu yang dibahas dari semua konsep ini adalah rasa memiliki oleh siswa terhadap sekolah (Blum, 2002).


(17)

3

Selanjutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Libbey (2004) ditemukan bahwa school connectedness memiliki cakupan konstruk yang lebih luas dibandingkan konsep lainnya. Pada konsep school attachment hanya fokus kepada sejauh mana siswa menilai orang-orang di lingkungan sekolah menyukainya. Lain halnya dengan school bonding yang mengukur kelekatan dan komitmen siswa. Akan tetapi, pada konsep school connectedness mencakup beberapa konstruk seperti kelekatan, komitmen, dukungan guru, hubungan teman sebaya , dan lainnya.

School connectedness berhubungan dengan hasil perilaku, emosional, dan akademik. Hal ini dapat dijadikan prediktor hasil yang baik dan buruk. Tingkat school connectedness yang tinggi berhubungan dengan hasil-hasil yang baik, sedangkan tingkat yang rendah berhubungan dengan hasil-hasil yang buruk. Misalnya dalam hal perilaku, siswa yang lebih merasa terhubung kepada sekolah kemungkinan kecil untuk terlibat perilaku nakal dan kekerasan, minum alkohol, menggunakan obat-obatan, serta melakukan seks bebas (Monahan, 2010).

Penelitian lain juga menghubungkan variabel ini dengan kehadiran di sekolah. Ditemukan bahwa ada hubungan positif antara school connectedness dengan kehadiran siswa di sekolah (Rosenfeld, LB et al 2000). Ditambahkan lagi penelitian yang dilakukan oleh Stracuzzi dan Meghan (2010) membuktikan bahwa school connectedness memiliki hubungan positif yang kuat dengan prestasi akademik dan non akademik.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dipaparkan dapat dilihat bahwa school connectedness memiliki peran penting dalam menentukan perilaku


(18)

siswa. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Resnick dan Harris (1993) yang telah didapat bahwa variabel ini merupakan elemen kedua yang terpenting setelah family connected sebagai faktor protektif untuk mencegah terjadinya perilaku maladaptif siswa seperti bunuh diri. Penelitian lain yang dilakukan Stracuzzi dan Meghan (2010) yang meneliti dampak school connectedness dengan perasaan depresi, ditemukan bahwa siswa yang memiliki tingkat keterhubungan pada sekolah yang rendah memiliki kemungkinan yang besar untuk mengalami depresi. Sebagai tambahan, penelitian ini menjelaskan bahwa ketika siswa merasakan terhubung kepada sekolah, mereka lebih mungkin untuk memiliki strategi koping dan sumber daya untuk menghadapi situasi yang stress dan masalah lebih efektif.

Menurut Blum (2002) seluruh sekolah memiliki potensi untuk membentuk school connectedness yang tinggi pada setiap siswa. Berdasarkan penelitian Witt (2013) ukuran sekolah dan tingkat birokrasi mempengaruhi tinggi rendahnya school connestedness. Di Kota Medan, salah satu sekolah yang memiliki ukuran sekolah yang besar dan memiliki tingkat birokrasi yang tinggi adalah SMA Harapan I Medan. SMA Harapan I Medan merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pada tahun 1969 di bawah naungan Yayasan Pendidikan Harapan Medan atau Yaspendhar.

Siswa SMA Harapan I Medan tercatatat memiliki prestasi akademik dan non akademik yang baik. Beberapa kali siswa SMA Harapan I mendapatkan peringkat 3 besar dalam ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan pada tahun 2014 seluruh kelas 12 siswa SMA Harapan I Medan 100 persen lulus (Zahendra, 2014). Selain itu dalam hal non akademik, SMA Harapan I juga suskes mencetak


(19)

5

prestasi. Mereka berhasil mengadakan acara pentas seni selama empat tahun terakhir sejak tahun 2011, yang disebut dengan United For One (UFO). Tahun 2013 lalu, UFO ke 3 sukses menyita perhatian para remaja yang diadakan di sebuah hotel berbintang di Medan dan mengundang musisi terkenal di Indonesia sebagai pengisi acara (Diputri, 2013) .

Visi yang diwujudkan SMA Harapan I Medan adalah terwujudnya insan yang beriman, berilmu dan beramal melalui lembaga pendidikan dan pengembangan pengetahuan yang unggul dalam IMTAQ dan IPTEK serta berwawasan kebangsaan. Dalam mewujudkan visi tersebut, ada beberapa misi yang diemban oleh Yaspendhar salah satunya adalah mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang mencerminkan insan yang beriman, berilmu dan beramal (Yayasan Pendidikan Harapan, 2013).

Berdasarkan penjelasan di atas, berikut hasil wawancara peneliti kepada siswa mengenai kepedulian para guru dan staf sekolah terhadap siswa:

“ Peduli kak. Tapi relatif juga kak .Guru-guru mau diajak diskusi tentang

pelajaran…. Hem yg diajak curhat, gak semua guru bisa kak paling wali

kelas aja. Curhat paling sama temen-temen aja kak. Kalau dengan staf

sekolah kurang dekat ke siswa jadi jarang berinteraksi...”

(Komunikasi Personal, 2014) Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa siswa menganggap tidak semua guru membangun hubungan dekat dengan siswa. Namun para guru peduli dengan aktivitas akademik dan non akademik. Akan tetapi, untuk hal yang bersifat personal, siswa tidak sepenuhnya yakin bahwa setiap guru dapat menjadi tempat curahan hati. Pada staf sekolah siswa juga mengaku tidak memiliki hubungan dekat sehingga jarang berinteraksi.


(20)

Kemudian berikut hasil wawancara mengenai keterlibatan siswa dalam kegiatan sekolah baik di bidang akademik maupun non akademik:

“ Kita di kelas selalu diminta guru untuk selalu aktif kak. Emm.. tapi kalo

aku sih gak semua mata pelajaran aktif kak. Paling sama mata pelajaran yang gurunya enak dan topiknya seru. Guru yg kejam agak serem juga kak, haha. Kalo untuk kegiatan non akademik paling sering yang terlibat

ya anak osis kak.”

(Komunikasi Personal, 2014) Berdasarkan pengakuan siswa tersebut dapat dilihat bahwa siswa cukup terlibat dalam kegiatan di sekolah. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa siswa tidak merasa yakin untuk selalu terlibat pada semua mata pelajaran di sekolah dikarenakan tergantung pada tipe-tipe guru di kelas.

Hasil wawancara tersebut sejalan dengan penelitian Karcher dan Lee (2002) bahwa school connectedness dikategorikan ke dalam 3 tingkatan dengan tingkat keterlibatan siswa yang berbeda-beda yakni mulai dari level rendah (general support), level sedang (specific support), dan terakhir level tinggi (engagement). Pada level general support, siswa memandang bahwa tidak ada perbedaan dukungan dari guru, staf sekolah, serta teman meskipun begitu siswa tetap merasa bahwa dirinya diterima di sekolah. Pada level specific support, siswa menyadari besarnya dukungan dari guru berbeda dengan dukungan dari teman atau staf sekolah. Pada level ini, siswa memiliki rasa penerimaan dari sekolah akan tetapi tindakan siswa tidak secara sukerala serta siswa tidak aktif mencari dukungan. Tingkatan tertinggi adalah level engagement yakni siswa menunjukkan upaya dalam tugas sekolah serta menunjukan kesenangan dan terlibat aktif dalam kegiatan sekolah. Siswa menyadari dukungan secara spesifik, menghargai setiap hubungan, dan mau mencari dukungan.


(21)

7

Menurut Blum (2002) keterlibatan siswa menjadi bagian dari school connectedness. Mengembangkan keterlibatan siswa di sekolah dimulai dari lingkup kecil yakni manajemen kelas seperti rutinitas, perencaan belajar, serta konsekuensi-konsekuensi setiap perilaku. Ketika kelas diatur dengan baik maka hubungan antar siswa maupun dengan guru cenderung akan lebih positif, dan siswapun akan lebih mau terlibat dalam proses belajar dan persaingan dalam menyelesaikan tugas.

Blum (2002) menyatakan bahwa school connectedness merupakan isu yang paling penting dan perlu perhatian yang khusus bagi sekolah dan keluarga. Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa school connectedness melindungi generasi muda dari perilaku beresiko. Dijelaskan pula bahwa variabel ini harus dibentuk dan ditingkatkan karena merupakan elemen penting yang harus dimiliki oleh setiap siswa.

Mewujudkan school connectedness tidak terlepas dari peran berbagai faktor yang mempengaruhi proses terbentuknya variabel ini. Faktor-faktor tersebut tidak hanya melibatkan siswa dan guru saja tetapi juga seluruh komponen yang ada di sekolah. Menurut Blum (2002) ada beberapa faktor yang mempengaruhi school connectedness antara lain, dukungan orang dewasa, kelompok teman sebaya, komitmen terhadap pendidikan, serta lingkungan sekolah. Salah satu faktor lingkungan sekolah yang menjadi sorotan utama adalah iklim sekolah. Rasa keterhubungan siswa terhadap sekolah ditingkatkan dengan lingkungan sekolah yang sehat, nyaman, serta iklim sekolah yang suportif.


(22)

Iklim sekolah adalah apa yang dirasakan siswa, guru, serta para staf sekolah terhadap sekolah. Iklim sekolah merupakan interaksi dari antara orang dewasa dengan para siswa di sekolah, serta terlibat di dalamnya faktor lingkungan seperti sarana dan prasarana gedung, serta rasa aman dan percaya (Gruenert, 2008). Thapa (2012) menyatakan iklim sekolah adalah suasana yang dialami orang-orang yang ada di sekolah mengenai norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, serta struktur organisasional. Blum (2002) menyatakan bahwa iklim sekolah termasuk di dalamnya bagaimana para orang dewasa dan siswa saling menghormati satu sama lain, dan seberapa besar kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta berpartisipasi di kegiatan sekolah.

Menurut Pianta (dalam Reynold, 2003) iklim sekolah berperan penting untuk menentukan kualitas hubungan antara siswa dengan guru. Kedua hal ini memberikan peran timbal balik satu sama lain. Ketika hubungan siswa dengan guru positif maka iklim sekolah juga positif begitu juga sebaliknya. Preble dan Gordon (2011) mengungkapkan bahwa iklim sekolah merupakan “jiwa” sekolah. Tidak hanya untuk siswa tetapi juga untuk guru serta administrator yang ada di sekolah untuk bekerja secara efektif dan siap untuk memberi kontribusi untuk sekolah.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada siswa mengenai iklim sekolah bahwa ia mengaku bahwa sekolah merupakan tempat nyaman. Hubungan antara siswa dan guru terjalin baik meskipun hanya beberapa guru saja yang bisa menjalin hubungan dekat dengan siswa. Berikut pengakuan siswa tersebut :


(23)

9

“ Senang kak berada di sekolah. Sekolah kami nyaman lah kak…. Kalo

soal hubungan dengan guru, aman-aman aja kak, gak ada yang buruk .

Tetapi ya memang gak bisa juga semua guru mau akrab sama kami”. (Komunikasi Personal, 2014) Kemudian, hasil wawancara peneliti mengenai suasana di SMA Harapan I yang berada dalam satu kawasan dengan SMP dan SD Harapan adalah ternyata siswa merasakan ketidaknyamanan. Hal ini dikarenakan masing-masing sekolah memiliki gedung yang berbeda tetapi mereka berbagi fasilitas yang sama seperti lapangan bermain, klinik, serta kantin. Pada hari Jumat, mereka memiliki jadwal istirahat yang serentak dengan siswa SMP sehingga harus berebutan menggunakan fasilitas sekolah. Berikut pengakuan siswa tersebut:

“Iya kak, di hari Jumat kami semua istirahatnya semua sama. Sebenarnya

agak terganggu sih kak karena gak dapet tempat duduk di kantin. Anak cowok juga kadang berebut untuk menggunakan lapangan walaupun gak

sampe berantem sih kak”.

(Komunikasi Personal, 2014)

Berdasarkan pengakuan tersebut dapat dilihat bahwa siswa cenderung menyukai iklim yang ada di SMA Harapan I akan tetapi siswa cenderung merasa tidak nyaman dengan sekolah yang harus bergabung dengan siswa SMP dan SD. Hasil wawancara di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilson (2004) menunjukkan bahwa siswa yang mempersepsikan iklim sekolah yang positif maka besar kemungkinannya untuk tidak melakukan perilaku kekerasan dan terlibat aktif pada aktivitas sekolah yang baik.

Kemudian Preble dan Gordon (2011) menyatakan ada komponen lain yang tidak luput menjadi perhatian yakni lingkungan fisik sekolah. Bangunan sekolah yang rapuh ataupun dinding-dinding yang dipenuhi coretan memberikan pesan kepada siswa mengenai nilai-nilai yang dianut di sekolah. Memberikan siswa


(24)

tanggung jawab menjaga dan memperbaiki lingkungan sekolah adalah strategi yang ampuh untuk meningkatkan iklim sekolah.

Hasil wawancara yang didapat mengenai lingkungan fisik SMA Harapan I adalah siswa mengaku bahwa fasilitas digunakan dengan baik dan sangat membantu aktivitas sekolah. Namun, aturan tetap ditegakkan untuk tidak merusak fasilitas yang diberikan sekolah. Berikut kutipan wawancaranya :

“Bagus kak. Menurutku, semua fasilitas di sekolah ini sangat

dimanfaatkan sama guru. Kami di sini juga ada klinik kak, jadi kalo sakit di sekolah bisa ditangani sama dokter, kalo di sekolah lain paling uks

biasa aja…… Tapi kami juga harus ikuti aturan untuk menjaga fasilitas, kalo gak sanksinya bisa kena skors”.

(Komunikasi Personal, 2014) Berdasarkan penelitian dan hasil wawancara yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa iklim sekolah mempengaruhi kehidupan siswa di sekolah. Sebagai tambahan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Kozina dkk (2008) ditemukan bahwa iklim sekolah memiliki hubungan yang kuat terhadap prestasi siswa. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketika siswa merasa senang berada di sekolah, maka besar kemungkinannya untuk siswa tersebut mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah dengan baik. Penelitian lain yang dilakukan Zullig dan Huebner (2011) menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara iklim sekolah dengan kepuasan siswa di sekolah.

Penelitian-penelitian yang telah dikemukakan membuktikan bahwa iklim sekolah merupakan elemen yang sangat penting. Menurut Blum (2005) lingkungan sekolah mempengaruhi school connectedness. Sekolah bertanggung jawab untuk memberikan lingkungan yang aman serta iklim positif kepada siswa, yang mana untuk mengembangkan siswa secara akademis, emosional serta


(25)

11

perilakunya. Oleh karena itu, para siswa akan cenderung menghindari sekolah yang memiliki iklim sekolah yang negatif atau sekolah yang memberikan rasa janggal pada diri siswa.

Penelitian yang dilakukan oleh Osher (2009) bahwa iklim sekolah berhubungan dengan school connectedness. Tanpa adanya iklim sekolah yang positif, maka siswa tidak mungkin mengalami rasa keterhubungan pada sekolah. Berdasarkan Hasil penelitian McNeely, Nonemaker, dan Blum (2002) bahwa tingkat school connectedness yang rendah ditemukan pada iklim sekolah negatif seperti manajemen kelas yang buruk, tingkat disiplin rendah, serta ukuran sekolah yang besar. Berdasarkan penelitian di atas maka iklim sekolah merupakan salah satu faktor yang membangun school connectedness siswa. Akan tetapi, menurut hasil penelitian Whitlock (2003) bahwa siswa yang berumur lebih tua daripada siswa lainnya memiliki kecenderungan untuk menilai iklim sekolah secara negative dan memiliki rasa keterhubungan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh siswa yang lebih tua memandang aturan, norma, maupun perhatian dari pihak sekolah sebagai penghalang kebebasan mereka.

Setelah melakukan wawancara dapat diketahui bahwa pihak sekolah SMA Harapan I Medan berusaha membangun iklim positif bagi siswa. Namun siswa tidak merasa seluruhnya sebagai iklim yang positif. Menurut Blum (2002) iklim sekolah yang suportif dan memiliki norma-norma positif cenderung memiliki school connectedness yang tinggi. Dalam hal ini, siswa juga tidak sepenuhnya yakin bahwa semua orang dewasa di sekolah dapat dikatakan peduli dengan mereka akan tetapi hanya beberapa guru saja. Berdasarkan penjelasan dan


(26)

fenomena yang telah dipaparkan maka perlu diteliti untuk mengetahui pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, “Apakah ada pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan?”. Selan itu, “Berapa besar pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan?”.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan ada atau tidak ada pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness. Selain itu juga bertujuan untuk mengetahui besar pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan literatur dan pemikiran untuk mengembangkan ilmu Psikologi Pendidikan, khususnya Psikologi Sekolah, berkaitan dengan iklim sekolah dengan school connectedness.


(27)

13

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada siswa SMA Harapan I Medan bahwa iklim sekolah merupakan faktor penting dalam pembentukan school connectedness pada siswa. Sehingga pihak sekolah bisa melakukan evaluasi dan pengembangan terkait dengan peningkatan school connectedness siswa.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah : a. Bab I Pendahuluan

Berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan. Tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

b. Bab II Landasan Teori

Berisikan tentang teori-teori penyusunan variabel yang diteliti, hubungan antara variabel dan hipotesa.

c. Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional dari masing-masing variabel, sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, prosedur penelitian serta metode analisa data.

d. Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan hasil penelitian. Diawali dengan analisa data yang disertai gambaran umum subjek penelitian serta hasil


(28)

penelitian. Selanjutnya, hasil tersebut akan dibahas berdasarkan teori yang telah dipaparkan.

e. Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan, serta saran-saran sehubungan dengan hasil yang didapatkan dari penelitian. Saran-saran yang dikemukakan berupa saran-saran praktis dan metodologis yang berguna pada penelitian selanjutnya.


(29)

15 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang teori-teori penyusunan variabel independen dan variabel dependen yang diteliti. Tinjauan pustaka ini meliputi definsi, aspek-aspek variabel, faktor-faktor yang mempengaruhi variabel, serta hubungan antara variabel. Di bagian akhir bab ini akan dijelaskan hipotesa penelitian.

A. SCHOOL CONNECTEDNESS

School connectedness merupakan faktor protektif yang kuat bagi para siswa untuk tidak melakukan perilaku kenakalan remaja seperti menggunakan obat-obatan, seks bebas, kekerasan, dan lain-lain. Para siswa cenderung lebih melakukan perilaku positif dan sukses secara akademis ketika mereka memiliki rasa keterhubungan pada sekolah (Resnick, 1993).

1. Definisi School Connectedness

Blum (2002) mendefinisikan school connectedness sebagai keyakinan yang dimiliki siswa bahwa orang-orang dewasa di sekolahnya peduli dengan pendidikan mereka serta mempedulikan mereka sebagai seorang individu. Beberapa konsep serupa sudah sering diteliti dengan memberikan istilah sebagai “school engagement” sementara yang lain menyebutnya sebagai “school attachment” dan yang lain menganalisisnya sebagai “school bonding”. Akan tetapi school connectedness memiliki perbedaan di antara konsep-konsep tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Libbey (2004) ditemukan bahwa school connectedness memiliki cakupan konstruk yang lebih luas dibandingkan


(30)

konsep lainnya. Pada konsep school connectedness mencakup beberapa konstruk seperti kelekatan, komitmen, dukungan guru, hubungan teman sebaya , dan lainya. Definisi lain dikemukakan oleh McNeely (2002) yang menyatakan bahwa school connectedness mucul ketika siswa yakin bahwa mereka bagian dari sekolah dan adanya kelekatan antara siswa dengan orang dewasa di sekolahnya. School connectedness tidak hanya memandang rasa kelekatan tetapi rasa aman dan kenyamanan siswa di sekolah, komitmen sekolah, serta pencapaian akademik siswa di sekolah. Centre for School Mental Health Anlysis and Action (CSMH) mendefinisikan school connectedness perasaan positif akan pendidikan, keterikatan pada sekolah, dan memiliki hubungan positif dengan orang dewasa dan teman sebaya di sekolah.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa school connectedness adalah kepercayaan siswa akan semua orang di sekolah mempedulikan mereka baik secara akademis maupun non akademis . 2. Aspek-aspek School Connectedness

Connell dan Wellborn (dalam Stracuzzi dan Mills, 2010) menyatakan bahwa school connectedness terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu:

a. Dukungan Sosial

Aspek ini berfokus pada dukungan guru dan staf lainnya yang berada di sekolah terhadap seluruh siswa tanpa membedakan jenis kelamin, ras, maupun etnis. Selain itu didasarkan pada sejauh mana siswa merasa dekat dan bernilai oleh guru dan staf lainnya di sekolah. Biasanya diukur melalui laporan siswa mengenai apakah gurunya menyukai dirinya atau tidak, kepedulian mereka


(31)

17

terhadap apa yang dinilai oleh guru, kenyamanan ketika berbicara dengan guru, seberapa sering guru memuji mereka.

b. Rasa Memiliki

Didefinisikan sebagai rasa yang dimiliki oleh siswa mengenai dirinya sebagai bagian dari sekolah. Mengukur belongingness ini sering meliputi tingkat di mana siswa merasa dihormati di sekolahnya, menjadi bagian dari sekolahnya, merasa orang-orang yang ada di sekolah peduli dengannya, dan memiliki teman di sekolah.

c. Keterlibatan

Aspek ini merefleksikan resiprokasi siswa atas rasa memiliki (belonging) dan dukungan yang didapat melalui kepedulian yang aktif dan keterlibatan dalam bagiannya.

Monahan (2010) mengungkapkan bahwa pada umumnya school connectedness terdiri dari dua komponen utama yakni :

a. Kelekatan (attachment)

Aspek ini dikarakteristikkan dengan hubungan yang dekat antara siswa dengan seluruh orang yang ada di sekolah.

b. Komitmen (commitment)

Aspek ini dikarakteristikkan dengan komitmen yang ditanamkan oleh siswa terhadap sekolah serta berperilaku baik di sekolah.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi School Connectedness

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Blum dan kolega (2002) bahwa keyakinan siswa akan diri dan kemampuannya dibentuk oleh sejauh mana


(32)

mereka mempersepsikan orang-orang disekitarnya peduli dan terlibat dalam kehidupan mereka. Siswa yang merasa didukung oleh orang dewasa di kehidupannya akan lebih merasa terikat dengan sekolah dan proses belajar. Siswa membutuhkan orang-orang dewasa di sekolah peduli dengan mereka baik sebagai individu maupun mengenai pencapaian akademik. Berikut faktor yang mempengaruhi school connectedness :

a. Dukungan Orang Dewasa

Kepercayaan siswa akan diri dan kemampuan mereka tebentuk oleh sebarapa besar mereka mempersepsikan bahwa orang dewasa di kehidupannya mempedulikan dan ikut terlibat dalam kehidupan mereka. Siswa yang merasa didukung oleh orang dewasa kemungkinan akan lebih merasa terikat di sekolah. Di sekolah, siswa yang merasa didukung dan dipedulikan ketika mereka melihat para orang dewasa di sekolah mendedikasikan waktu, minat, perhatian, dan dukungan emosional untuk mereka. Siswa juga butuh untuk merasakan bahwa orang dewasa mempedulikan mereka baik secara akademik maupun non akademik.

b. Kelompok Teman Sebaya yang Positif

Hasil akademik siswa juga dipengaruhi oleh karakteristik kelompok teman sebaya, seperti seberapa jauh kelompok teman sebaya mendukung perilaku prososial (misalnya belajar kelompok, membantu sama lain, ataupun terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah). Siswa yang memiliki school connectedness yang tinggi melaporkan bahwa mereka merasa nyaman dan diterima oleh kelompok teman sebaya di sekolah serta memiliki teman yang


(33)

19

berbeda kelas sosialnya baik dari segi ras maupun gender. Sebaliknya, siswa yang melaporkan school connectedness yang rendah mengaku lebih nyaman dengan teman di luar sekolah daripada yang ada di sekolah.

c. Komitmen Terhadap Pendidikan

Komitmen merupakan hal yang penting bagi siswa dan guru dalam proses belajar dan terlibat dalam aktivitas sekolah. Siswa yang terlibat di sekolah dan percaya bahwa pendidikan yang baik itu penting bagi masa depannya akan lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah dan memiliki rasa connectedness yang tinggi pada sekolah. Siswa yang merasa terikat dengan pendidikan akan menunjukkan trait behavioral seperti ketekunan, usaha yang keras, perhatian terhadap tugas, dan lebih suka terhadap tantangan.

d. Lingkungan Sekolah

Rasa keterhubungan siswa akan meningkat dengan lingkungan sekolah yang aman dan iklim psikososial yang suportif. Lingkungan fisik yang bersih dan menyenangkan meningkatkan keamanan serta hubungan yang saling menghormati. Iklim psikososial sekolah dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, kesempatan siswa untuk berpartisipasi, dan manajemen kelas. Penelitian membuktikan bahwa sekolah dengan disiplin yang sangat keras, rasa connectednees siswa rendah. Ketika siswa mempersepsikan iklim sekolah sebagai iklim yang positif maka akan mempengaruhi rasa aman dan kenyamanan siswa di sekolah.


(34)

4. Strategi Meningkatkan School Connectdness

Strategi meningkatkan school connectedness dapat dikembangkan berdasarkan aspek-aspek serta faktor-faktor yang mempengaruhi school connectedness (Blum, 2002). Ada 5 strategi-strategi, yakni:

a. Menciptakan proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi murid untuk terlibat. Misalnya membuat siswa mau mengungkapkan pendapat tanpa rasa malu serta melibatkan siswa dalam kegiatan rapat.

b. Memberikan pendidikan dan kesempatan kepada keluarga untuk aktif terlibat dalam kehidupan sekolah.

c. Menyediakan kebutuhan akademik, emosional, dan keterampilan sosial siswa di sekolah. Misalnya setiap siswa diperlakukan setara, membuat siswa tidak merasa tertekan di sekolah, serta membuat siswa merasa nyaman berada di sekolah.

d. Menggunakan manajemen kelas yang efektif dan metode mengajar untuk membangun lingkungan belajar yang positif. Misalnya siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan kreativitas serta dibantu dalam pencapaian prestasi akademik maupun non akademik.

e. Menciptakan hubungan interpersonal yang saling percaya dan peduli diantara seluruh orang-orang di sekolah. Misalnya guru dan staf menerima pendapat siswa tanpa membeda-bedakan, guru dan staf memiliki hubungan yang akrab dengan siswa, siswa bersedia mencari solusi permasalahan kepada guru maupun staf, siswa saling menghormati satu sama lain.


(35)

21

5. Kategori pada School Connectedness

Berdasarkan penelitian Karcher dan Lee (2002) bahwa school connectedness dikategorikan ke dalam 3 tingkatan yakni :

a. Dukungan Umum (General Support)

Kategori general support merupakan kategori yang paling rendah. Pada kategori ini, siswa memandang dukungan yang ia terima secara umum. Artinya, siswa merasa tidak ada perbedaan dukungan dari guru, staf sekolah, serta teman meskipun begitu siswa tetap merasa bahwa dirinya diterima di sekolah.

b. Dukungan Spesifik (Specific Support)

Kategori specific support merupakan kategori sedang. Pada kategori ini siswa mengganggap dukungan berasal dari sumber yang spesifik. Artinya, siswa menyadari bahwa dukungan dari guru berbeda dengan dukungan dari teman atau staf sekolah. Pada kategori ini, siswa memiliki rasa penerimaan dari sekolah akan tetapi tindakan siswa tidak secara sukerala serta siswa tidak aktif mencari dukungan.

c. Keterlibatan (Engagement)

Kategori engagement merupakan kategori tertinggi ini. Pada kategori ini, siswa menunjukkan upaya dalam tugas sekolah serta menunjukan kesenangan dengan kehidupan sekolah dan terlibat aktif dalam kegiatan sekolah. Selain itu, siswa menyadari dukungan secara spesifik, menghargai setiap hubungan, dan mau mencari dukungan.


(36)

B. IKLIM SEKOLAH 1. Definisi Iklim Sekolah

Menurut Thapa (2012) iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana yang dialami orang-orang yang ada di sekolah mengenai norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, serta struktur organisasional. Sedangkan Menurut Haynes (dalam Reynolds, 2003) mengemukakan bahwa iklim sekolah adalah kualitas dan konsistensi dari interaksi interpersonal di dalam komunitas sekolah yang mempengaruhi perkembangan kognitif, sosial dan psikologis siswa. Iklim sekolah merupakan interaksi dari antara orang dewasa dengan para siswa di sekolah, serta terlibat di dalamnya faktor lingkungan seperti sarana dan prasarana gedung, serta rasa aman dan percaya (Gruenert, 2008).

Iklim sekolah ini juga dapat diartikan persepsi orang-orang yang ada di sekolah mengenai kehidupan sekolah (Freiberg, 2005). Mengukur persepsi orang-orang di sekolah akan mendapatkan gambaran iklim sekolah yang tentu saja mempengaruhi keberlangsungan kehidupan sekolah yakni salah satunya adalah dengan mengukur persepsi siswa terhadap iklim sekolah (Thapa, 2012).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka peneliti menyimpulkan iklim sekolah adalah persepsi akan suasana yang merupakan hasil dari interaksi timbal balik antara seluruh orang-orang yang ada di sekolah serta meliputi suasana lingkungan fisik sekolah.


(37)

23

2. Dimensi Iklim Sekolah

Thapa (2012) mengidentifikasi ada 5 elemen dari iklim sekolah yakni : a. Keamanan

Sekolah memberikan rasa aman baik secara sosial, emosional, fisik, dan intelektual. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang merasa aman di sekolah akan cenderung menampilkan perilaku yang baik. Di dalam elemen ini termasuk di dalamnya aturan, norma, serta kebijakan yang diterapkan di sekolah. Ketika siswa mempersepsikan bahwa aturan, norma, maupun kebijakan di sekolah tersebut adil dan memberikan dampak baik maka siswa akan cenderung untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar aturan. b. Proses Belajar dan Mengajar

Proses belajar mengajar menunjukkan elemen penting dari iklim sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim sekolah yang positif adalah iklim yang mendukung agar siswa bisa belajar dengan baik. Iklim sekolah yang positif adalah yang memberikan proses belajar mengajar yang suportif, partisipatif, saling menghargai, serta kompak.

c. Hubungan Interpersonal

Proses belajar mengajar akan membentuk sebuah hubungan interpersonal. Aspek paling penting dari dimensi hubungan ini adalah seberapa saling berhubungan antara satu orang dengan orang lainnya. Hubungan interpersonal ini berkaitan dengan keterlibatan siswa di sekolah. Bila siswa mempersespsikan hubungan interpersonal yang positif maka siswa cenderung


(38)

mau terlibat dan berperilaku yang sesuai aturan. Pada dimensi ini termasuk di dalamnya hubungan antar teman sebaya.

d. Lingkungan Institusional

Di dalam elemen ini termasuk di dalamnya keadaan fisik sekolah. Sekolah yang menyediakan fasilitas yang mempermudah proses belajar siswa dianggap sebagai iklim sekolah yang baik. Selain itu, pada elemen ini adanya keterlibatan siswa pada sekolah juga merupakan hal yang penting. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran sekolah yang kecil memiliki kecenderung tingkat keterlibatan siswa yang lebih tinggi.

3. Faktor yang Mempengaruhi Iklim Sekolah

Menurut Noonan (2011) ada 7 faktor penting yang mempengaruhi iklim sekolah yakni :

a. Model

Setiap guru di sekolah memiliki cara yang berbeda dalam mengajar maupun memperlakukan siswa. Akan tetapi, cara-cara yang dilakukan guru tersebut memiliki dampak yang besar bagi siswa. Guru harus menjadi model yang baik bagi para siswa, yang memberikan keseimbangan antara harapan yang jelas bagi siswa untuk mencapai akedemik dengan mengulurkan tangan untuk membantu siswa.

b. Konsistensi

Para staff sekolah harus waspada dalam menyampaikan pesan secara konsisten dan koheren kepada para siswanya. Selain itu, sekolah juga harus menentukan


(39)

25

bahwa hal yang penting yang harus dikejar para guru tidaklah hanya keefektifan tetapi juga kualitas program yang harus siswa dapatkan.

c. Kedalaman

Seluruh visi dan misi sekolah serta ritual sekolah merupakan elemen penting bagi iklim sekolah. Oleh karena itu, hal tersebut harus selalu tercerminkan dalam program sekolah seperti lagu mars sekolah, manajemen kelas, maupun buku-buku yang digunakan. Apabila elemen penting ini tidak diterapkan secara mendalam maka hal tersebut akan menghilang begitu saja.

d. Demokrasi

Pembagian kekuasaan yang tradisional adalah struktur hirearki top-down. Struktur seperti ini susah dan menakutkan bagi siswa. Perlu diperhatikan bahwa para siswa dituntut untuk menjadi pemimpin yang professional sehingga para siswa membutuhkan praktik dan bimbingan dari guru.

e. Komunitas

Secara tradisional, sekolah menutup pintu satu harian sampai waktu pulang siswa. Padahal, sekolah harus terbuka kepada komunitas lain seperti keluarga, investor, maupun bisnis lain demi kesuksesan sekolah. Sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi yang dimiliki para siswa. Bekerja sama dengan komunitas lain membuka kesempatan yang baik bagi para siswa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.

f. Keterlibatan

Faktor ini menjelaskan bahwa siswa harus dipandang sebagai agent of change. Siswa bukan lagi dipandang sebagai sumber masalah tetapi pemecah masalah.


(40)

Melibatkan siswa dalam menyelesaikan masalah sama dengan mendorong siswa untuk selalu bertanggung jawab.

g. Kepemimpinan

Keterlibatan guru, staf sekolah, komunitas, serta para siswa dalam kehidupan sekolah membutuhkan seorang pemimpin yang suportif sebagai inti. Pemimpin yang suportif berani ambil resiko serta memberikan ketegasan bagi seluruh proses yang berlangsung di sekolah tanpa harus membatasi keterlibatan guru, staf sekolah, komunitas, dan para siswa.

4. Kategori pada Iklim Sekolah a. Iklim Sekolah Positif

Iklim sekolah positif ditandai dengan adanya komitmen untuk saling menghormati satu sama lain sesama siswa, guru, dan staf sekolah baik di dalam maupun di luar kelas, menghormati setiap perbedaan individu, dan proses belajar mengajar yang efektif (Preble & Gordon, 2011). Selain itu, iklim sekolah yang positif meliputi hubungan interpersonal yang hangat dan suportif, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam aktivitas sekolah dan pengambilan keputusan, dan memiliki norma, aturan, dan tujuan yang jelas (Battistich, 2001).

b. Iklim Sekolah Negatif

Thapa (2012) mengungkapkan bahwa iklim sekolah negatif memberikan rasa tidak nyaman bagi seluruh orang di sekolah. Selain itu, iklim sekolah negatif diwujudkan dengan sistem aturan yang tidak konsisten, kehadiran murid yang rendah, serta lingkungan fisik yang tidak mendukung proses belajar.


(41)

27

C. SISWA MENENGAH ATAS (SMA)

Siswa yang duduk di sekolah menengah atas umumnya dimulai dari usia 15/16 tahun sampai 17/18 tahun. Usia ini termasuk di masa remaja. Menurut Papalia (2009) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja mengemban beberapa tugas perkembangan beberapa di antaranya adalah mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab dan mencapai kemandirian emosional dari orang tua maupun orang dewasa lainnya. Oleh karena itu masa remaja disebut juga masa krisis atau masa bermasalah yang membutuhkan perhatian yang penuh karena pada masa ini remaja akan mengeksplor aspek kehidupan untuk mencari jati diri mereka.

Papalia (2009) mengungkapkan bahwa pda masa remaja terjadi perubahan penggunaan waktu dan hubungan. Pada masa ini, remaja akan lebih menjalin hubungan dekat dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang tua. Selain itu mereka akan lebih jarang menghabiskan waktu di rumah tetapi lebih sering di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karena itu, sekolah merupakan tempat untuk remaja mengembangkan potensi akademis serta pembentukan karakter dan sikap yang positif. Menurut Blum (2012) bagaimana sekolah memperlakukan siswa berpengaruh terhadap perilaku siswa. Oleh karena itu, sekolah bertangung jawab memberikan rasa aman dan nyaman kepada siswa.

Menurut Piaget (dalam Papalia,2009), masa ini juga ditandai dengan berkembangnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak dengan menggunakan alasan ilmiah. Masa remaja dikarakteristikkan sebagai periode yang penting,


(42)

dimana pada tahap ini perkembangan mental yang cepat menimbulkan perlunya remaja membentuk sikap, nilai dan minat yang baru. Selain itu, pada masa ini remaja mempersiapkan dirinya dalam karier dan ekonomi. Dukungan dari keluarga serta orang-orang di sekolah sangat dibutuhkan siswa dalam pengembangan minat serta potensi siswa.

D. SMA HARAPAN I MEDAN 1. Sejarah Sekolah

Sejarah tak menampik bahwa pada saat merdeka hingga tahun 1966 Indonesia terus mengalami masa yang sangat sulit baik dari ekonomi , politik hingga pendidikan yang pada saat itu masih mencari jati diri yang tepat bagi bangsa dan negara Indonesia. Melihat kondisi negara yang masih sulit pada saat itu, berkumpul beberapa tokoh masyarakat Sumatera Utara khususnya masyarakat Medan yang memang sangat perduli pada anak-anak di Medan ini untuk memikirkan bagaimana perkembangan pendidikan di Indonesia ini khususnya kota Medan. Meskipun mereka mempunyai kesibukan dalam tugas masing-masing namun masih tetap memikirkan bagaimana nasib anak bangsa ini jika tidak mempunyai pendidikan.

Dari pertemuan para tokoh masyarakat tersebut lahirlah sebuah ide untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan, yang tujuan utamanya adalah untuk membantu pemerintah menanggulangi pendidikan yang lebih baik bagi anak didik dengan persyaratan yakni mempunyai corak bernafaskan agama (islam),


(43)

29

mempunyai mutu pendidikan yang berkualitas, mengusahakan pembayaran semurah-murah.

Berdasarkan ide tersebut maka pada tahun 1967 didirikanlah sekolah dalam bentuk yayasan dan diberi nama Yayasan Pendidikan Harapan (Yaspendhar) yang bertempat dan berkedudukan di Medan. Ide dari pada pemikiran para tokoh tersebut dikembangkan menjadi lebih lengkap dan luas sehingga maksud dan tujuan sebagai yang telah disepakati.

Yayasan Pendidikan Harapan merupakan salah satu manifestasi dari kehendak masyarakat yang merasa tertinggal dalam bidang pendidikan baik karena penjajahan maupun akibat kurangnya perhatian orde lama. Hasil rumusan yang telah digodok oleh para tokoh tersebut menjadi penyemangat dibarengi dengan usaha untuk mewujudkan pendirian,telah menunjukkan titik cerah dengan diserahkannya izin pemakaian gedung/tanah Jl. Imam Bonjol No. 35 oleh pemerintah. Gedung inilah yang dipergunakan oleh Yaspendhar dan seiring dengan perjalanannya diadakan perbaikan dan pembangunan baru.

2. Visi dan Misi

Visi yang diemban oleh Yayasan Pendidikan Harapan adalah terwujudnya insan yang beriman, berilmu dan beramal melalui lembaga pendidikan dan pengembangan pengetahuan yang unggul dalam IMTAQ dan IPTEK serta berwawasan kebangsaan. Sedangkan misi Yayasan Pendidikan Harapan Medan sebagai berikut:

a. Mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang mencerminkan insan yang beriman, berilmu dan beramal.


(44)

b. Melaksanakan pelayanan pembelajaran secara efektif dan efisien.

c. Menyediakan sarana pembelajaran sesuai dengan tuntutan perkembangan dunia pendidikan.

d. Berupaya secara berkualitas dan berkesinambungan dalam peningkatan mutu dan pelayanan.

e. Melaksanakan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan.

f. Selalu membangun sikap positif terhadap semua stake holder dalam upaya peningkatan pendidikan dan layanan yang harmonis.

g. Merealisasikan pembelajaran yang berbasis Informasi dan Teknologi (IT) di seluruh tingkatan satuan pendidikan.

E. DINAMIKA IKLIM SEKOLAH DENGAN SCHOOL

CONNECTEDNESS

School connectedness merupakan hal yang penting untuk dimiliki setiap siswa. Menurut Blum (2002) school connectedness adalah keyakinan yang dimiliki siswa bahwa orang-orang dewasa di sekolahnya peduli dengan pendidikan mereka serta mempedulikan mereka sebagai seorang individu. Oleh karena itu, sekolah harus menciptakan hal ini pada setiap siswa. Usaha menciptakan school connectedness dapat dilakukan menggunakan berbagai strategi yang diimplementasikan melalui visi dan misi, kebijakan, ataupun norma yang berlaku di sekolah.


(45)

31

Pada SMA Harapan I Medan perwujudan menciptakan school connectedness tecerminkan pada visi dan misi yaitu tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik tetapi juga mencerminkan insan yang beriman, berilmu dan beramal. Hal ini berarti bahwa pihak sekolah SMA Harapan I Medan mempedulikan siswa-siswa dalam hal akademik dan juga sebagai insan yang baik. Meskipun demikian, school connectedness bukan hanya sekedar keyakinan yang dimiliki siswa akan kepedulian orang dewasa saja tetapi juga adanya bentuk konkrit akan kepedulian dari orang dewasa, rasa memiliki terhadap sekolah, dan keterlibatan aktif siswa.

Kepedulian dari orang dewasa di sekolah tidak terbatas hanya berasal dari guru tetapi juga berasal dari para staf sekolah. Guru dan staf memberi dukungan secara akademik dengan berbagai bentuk seperti melakukan diskusi untuk membahas pelajaran, membantu mencapai prestasi akademik, menerima pendapat siswa tanpa membeda-bedakan. Selain itu dukungan non akademik seperti bersedia mendengarkan masalah siswa serta membantu dalam mencari solusi, mengembangkan bakat dan potensi siswa, serta membantu dalam mempersiapkan rencana masa depan dan karir. Pada siswa SMA Harapan I Medan mereka meyakini bahwa guru dan staf mendukung dan membantu dalam hal akademik dan non akademik. Meskipun demikian, siswa mengaku bahwa untuk menceritakan masalah personal, mereka lebih memilih untuk menceritakan kepada teman-teman dibandingkan kepada guru.

Kemudian dengan adanya dukungan sosial dari para orang dewasa akan menimbulkan rasa kenyamanan, senang, dan bangga akan menjadi bagian dari


(46)

sekolah. Siswa SMA Harapan I Medan mengakui bahwa mereka merasakan kenyamanan dan senang berada di sekolah. Setelah itu, keterlibatan aktif siswa terhadap aktivitas sekolah akan melengkapi school connectedness yang dimiliki siswa. Berbagai bentuk keterlibatan aktif dapat ditunjukkan misalnya mengungkapkan pendapat kepada guru berdasarkan inisiatif sendiri, mematuhi peraturan di sekolah, serta berpartisipasi dalam kegiatan sekolah tanpa paksaan. Di SMA Harapan I Medan, siswa diminta untuk selalu aktif terlibat dalam kegiatan sekolah akan tetapi siswa masih enggan dalam terlibat misalnya saja dalam proses belajar mengajar, siswa masih merasa malu dan merasa takut salah untuk menyampaikan pendapat.

Menurut hasil penelitian Karcher dan Lee (2002) bahwa memang school connectedness memiliki kategori yang berbeda mulai dari rendah (general support), sedang (specific support), dan tinggi (engagement). Pada setiap levelnya menunjukkan tingkat keyakinan dan keterlibatan aktif yang berbeda-beda. Misalnya pada kategori general support, siswa menganggap bahwa tidak ada perbedaannya dukungan dari guru, staf, dan teman sebaya meskipun demikan siswa menganggap bahwa ia bagian dari sekolah. Pada kategori specific support, siswa menyadari bahwa adanya perbedaan dukungan dari guru, staf, dan teman sebaya akan tetapi siswa masih enggan menunjukkan keterlibatan aktif di sekolah serta masih tidak aktif untuk mencari dukungan. Pada kategori engagement, siswa meyakini bahwa dukungan dari guru dan staf serta berinisiatif untuk mencari dukungan, terlibat aktif pada aktivitas sekolah.


(47)

33

Menurut Battistich (2001) school connectedness dapat menjadi kunci utama bagi kesejahteraan siswa baik secara akademis maupun emosional. Penelitian yang dilakukan Stracuzzi dan Meghan (2010) menunjukkan bahwa school connectedness memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan sosial-emosional siswa.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Monahan (2010) bahwa siswa dengan school connectedness tinggi akan menunjukkan hasil akademik maupun perilaku yang lebih positif. Oleh karena itu, school connectedness merupakan hal yang krusial bagi pihak sekolah untuk selalu ditingkatkan kepada siswa.

Meskipun demikian, usaha mewujudkan school connectedness pada siswa bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Menurut Blum (2002) membangun school connectedness memerlukan proses yang berkesinambungan dan berkelanjutan. Dalam pembentukannya dibutuhkan partisipasi seluruh pihak yang berada di sekolah. Selain itu, berbagai jenis tantangan yang harus dihadapi dalam menumbuhkan rasa keterhubungan siswa terhadap sekolah. Oleh karena itu, faktor-faktor pembentuk school connectedness perlu diperhatikan.

Menurut Blum (2002) ada empat faktor yang mempengaruhi school connectedness yakni dukungan orang dewasa, kelompok teman sebaya, komitmen siswa terhadap pendidikan, serta lingkungan sekolah. Salah satu hal yang menjadi sorotan utama di faktor lingkungan sekolah yakni iklim sekolah. Menurut Thapa (2012) iklim sekolah didefinisikan sebagai suasana yang dialami orang-orang


(48)

yang ada di sekolah mengenai norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, serta lingkungan organisasional.

Keamanan sekolah, hubungan interpersonal yang baik, proses belajar mengajar, serta lingkungan fisik sekolah merupakan hal yang turut serta membangun iklim sekolah. Keamanan sekolah meliputi secara fisik, verbal, dan emosional.Selanjutnya hubungan interpersonal yang baik meliputi setiap orang di sekolah menghormati dan menghargai satu sama lain, membangun hubungan yang akrab. Siswa SMA Harapan I Medan mempersepsikan bahwa hubungan siswa dengan guru baik meskipun demikian hubungan interpersonal dengan staf sekolah tidak akrab.

Kemudian, proses belajar dan mengajar yang efektif bagi siswa misalnya proses belajar yang kondusif ataupun cara mengajar guru yang dapat dipahami. Setelah itu, iklim sekolah juga didukung dengan lingkungan fisik yang bersih, gedung sekolah yang layak serta fasilitas sekolah yang memadai dan mempermudah aktivitas sekolah. Di SMA Harapan I Medan memberikan beberapa fasilitas untuk aktivitas siswa misalnya mulai dari laboratorium, aula, lapangan bermain, jaringan internet, sampai dengan pendingin ruangan di setiap kelas. Siswa mempersepsikan bahwa fasilitas tersebut berfungsi sebagaimana mestinya akan tetapi ada beberapa fasilitas yang rusak.

Menurut Preble & Gordon (2011) iklim sekolah yang baik diwujudkan dalam bentuk sistem, norma, serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan di sekolah. Iklim sekolah yang positif meliputi merasa terjamin keamanan, sekolah merupakan tempat yang nyaman, memiliki kepercayaan bahwa sekolah mampu


(49)

35

membantu mengembangkan potensi diri, serta merupakan tempat yang memberikan keuntungan di masa depan

Siswa akan cenderung menghindari sekolah ketika siswa mempersepsikan iklim sekolah sebagai iklim yang negatif. Iklim sekolah negatif meliputi rasa tidak aman di sekolah, merasa sekolah memberikan banyak tekanan bagi siswa serta menganggap sekolah bukan menjadi tempat untuk mengembangkan potensi yang dimiliki (Thapa, 2012).

Menyediakan iklim sekolah yang baik bagi siswa adalah kewajiban para orang dewasa di sekolah sehingga sekolah harus berusaha dalam mewujudkan iklim sekolah yang positif. Apabila siswa mempersepsikan iklim sekolah positif maka level school connectedness tinggi sehingga siswa lebih mau untuk terlibat pada kegiatan di sekolah serta secara akademis maupun non akademis semakin positif pula (Blum, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Osher (2009) bahwa iklim sekolah berhubungan dengan school connectedness. Tanpa adanya iklim sekolah yang positif, maka siswa tidak mungkin mengalama rasa connectedness pada sekolah.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan.


(50)

36

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif inferensial, dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh iklim sekolah terhadap school connectedness pada siswa SMA Harapan I Medan.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel tergantung : school connectedness. 2. Variabel bebas : iklim sekolah.

B. DEFINISI OPERASIONAL 1. School Connectedness

School connectedness adalah keyakinan siswa bahwa guru serta seluruh staf sekolah peduli dengan pendapat siswa tanpa membeda-bedakan suku, agama maupun gender; memberikan sistem belajar yang efektif untuk mencapai prestasi akademik, membantu siswa mencapai pemahaman akademik; membantu siswa menghadapi masalah personal; serta mengembangkan kreativitas siswa.


(51)

37

School connectedness diukur menggunakan skala school connectedness yang disusun menggunakan 3 dimensi yang dikemukakan oleh Connell dan Wellborn (dalam Stracuzzi dan Mills, 2010) yakni :

a. Dukungan Sosial

Dukungan sosial diukur melalui indikator siswa mau mencari solusi permasalahan dengan guru atau staf sekolah; siswa mengetahui guru menyukai atau tidak menyukai perilaku siswa; guru menerima pendapat siswa dari berbagai sudut pandang tanpa harus membedakan suku, agama maupun gender.

b. Rasa Memiliki

Rasa memiliki diukur melalui indikator siswa menerima perilaku yang adil tanpa dibeda-bedakan dari suku, agama maupun gender di sekolah. Selain itu siswa bangga menjadi bagian dari sekolah, siswa merasa senang untuk berada di sekolah, siswa saling menghormati satu sama lain, serta siswa berusaha menjaga baik nama sekolah.

c. Keterlibatan

Keterlibatan diukur melalui indikator siswa terlibat aktif dalam kegiatan sekolah, siswa mampu mengungkapkan pendapat dengan nyaman kepada guru, siswa mematuhi peraturan dan kebijakan yang diterapkan di sekolah.

Total skor pada skala school connectedness menunjukkan tingkat keyakinan siswa terhadap kepedulian guru dan staf sekolah mengenai kemampuan akademik maupun mereka sebagai individu. Hasil pada skala ini menunjukkan bila semakin tinggi perolehan skor maka semakin tinggi tingkat school connectedness pada siswa yang berarti semakin yakin siswa bahwa guru dan staf


(52)

sekolah mempedulikan mereka baik secara akademik maupun sebagai individu. Sebaliknya, semakin rendah perolehan skor maka semakin rendah tingkat school connectedness pada siswa yang berarti siswa tidak meyakini bahwa guru dan staf sekolah mempedulikannya secara akademik maupun sebagai individu.

2. Iklim Sekolah

Iklim sekolah diartikan suasana yang merupakan hasil dari interaksi timbal balik antara seluruh orang-orang yang ada di sekolah meliputi siswa, guru, serta sraf sekolah serta melibatkan suasana lingkungan fisik sekolah seperti ukuran gedung sekolah dan fasilitas yang tersedia. Iklim sekolah akan diukur berdasarkan persepsi siswa-siwa SMA Harapan I Medan melalui skala iklim sekolah. Skala iklim sekolah disusun berdasarkan dimensi iklim sekolah yang dikemukakan oleh Thapa (2012), yakni:.

a. Keamanan

Keamanan diukur melalui indikator sejauh mana siswa mempersepsikan sekolah merupakan tempat yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi siswa, aturan-aturan yang di sekolah dibuat secara adil dan demi kepentingan siswa, siswa mau untuk mematuhi peraturan di sekolah, siswa tidak memicu keributan di sekolah.

b. Hubungan Interpersonal

Hubungan interpersonal diukur melalui indikator siswa mempersepsikan bahwa siswa mau saling membantu sama lain, siswa tidak membedakan antara suku, agama, dan gender satu sama lain, siswa memiliki hubungan yang baik


(53)

39

dengan para guru dan staf, siswa mengetahui batasan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

c. Proses Belajar dan Mengajar

Proses belajar dan mengajar diukur melalui indikator siswa mengikuti proses belajar dengan baik, siswa mampu bekerja kelompok maupun bekerja secara individu, siswa menggunakan kesempatan yang diberikan guru untuk bertanya ataupun melakukan diskusi, guru mampu menjelaskan materi dengan jelas sehingga siswa menjadi paham, guru mengetahui kekurangan maupun kelebihan siswa dalam mengikuti proses belajar.

d. Lingkungan Institusional

Lingkungan institusional diukur melalui indikator sekolah memberikan fasilitas bagi siswa untuk mempermudah aktivitas di sekolah, siswa memanfaatkan fasilitas yang diberikan sekolah dengan baik, siswa saling berbagi dalam menggunakan fasilitas yang ada di sekolah, siswa tidak merusak fasilitas yang ada di sekolah, gedung sekolah yang tidak rapuh, serta kebersihan lingkungan sekolah yang terjaga.

Iklim sekolah dapat dilihat dari skor nilai yang diperoleh dari skala iklim sekolah. Total skor iklim sekolah menunjukkan persepsi siswa terhadap iklim sekolah. Oleh karena itu, jika semakin tinggi nilai skala, maka semakin positif pula persepsi siswa terhadap iklim sekolah yang berarti sekolah merupakan tempat yang aman, nyaman, serta hubungan interpersonal yang suportif. Demikian pula sebaliknya, jika semakin rendah nilai skala, maka semakin negatif pula persepsi siswa terhadap iklim sekolah yang berarti sekolah merupakan tempat


(54)

yang tidak nyaman, sistem aturan yang tidak konsisten, serta lingkungan belajar yang tidak efektif.

C. POPULASI, SAMPEL, DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Menurut Hadi (2000), populasi adalah sejumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai sifat yang sama. Sementara sampel adalah sebagian dari populasi yang digunakan untuk menentukan sifat-sifat serta ciri-ciri yang dikendalikan dari populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Harapan I Medan yang berjumlah 626 orang. Rincian jumlah populasi disajikan pada tabel 1.

Menurut Azwar (2012) bahwa statistika menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Namun semakin heterogen populasi maka semakin banyak sampel yang harus diambil. Pada penelitian jumlah sampel penelitian adalah 152 siswa SMA Harapan I Medan.


(55)

41

Tabel 1. Jumlah Populasi Penelitian

No Kelas Jumlah

1 XII IPA 1 38 siswa

2 XII IPA 2 36 siswa

3 XII IPA 3 37 siswa

4 XII IPA 4 36 siswa

5 XII IPA 5 34 siswa

6 XII IPS 1 39 siswa

7 XII IPS 2 40 siswa

8 XI IPA 1 29 siswa

9 XI IPA 2 29 siswa

10 XI IPA 3 24 siswa

11 XI IPA 4 27 siswa

12 XI IPA 5 26 siswa

13 XI IPS 1 38 siswa

14 X IPA 1 37 siswa

15 X IPA 2 36 siswa

16 X IPA 3 36 siswa

17 X IPA 4 36 siswa

18 X IPS 1 23 siswa

19 X IPS 2 25 siswa

TOTAL 626 siswa

2. Metode Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar benar-benar mewakili populasi (Hadi, 2000). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik non random stratified yakni populasi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai susunan bertingkat tetapi tidak semua individu dalam populasi memliki peluang yang sama untuk dijadikan menjadi anggota sampel. Pada saat penelitian dilakukan, siswa-siswa SMA Harapan I Medan sedang menjalani ujian tengah semester. Oleh sebab itu, peneliti tidak bisa mengambil data pada kelas-kelas yang sedang menjalankan ujian sehingga tidak


(56)

semua kelas mendapatkan peluang yang sama untuk dijadikan sampel penelitian. Adapun kelas-kelas yang menjadi subjek penelitian disajikan dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2. Jumlah Subjek Penelitian Setiap Tingkatan Kelas

No Kelas Jumlah

1 XII IPA 3 35 siswa

2 XII IPS 2 34 siswa

3 XI IPA 2 28 siswa

4 XI IPS 1 34 siswa

5 X IPS 1 21 siswa

Total 152 siswa

D. ALAT UKUR

Alat ukur merupakan metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang mempunyai tujuan untuk mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti (Hadi, 2000). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode skala. Menurut Hadi (2000), skala psikologis merupakan suatu alat ukur dengan menggunakan daftar pernyataan-pernyataan yang telah disiapkan dan disusun sedemikian rupa sehingga responden hanya tinggal memilih salah satu dari pilihan yang tersedia. Pada penelitian ini terdapat 2 skala yang digunakan yakni skala school connectedness dan skala iklim sekolah.


(57)

43

1. Skala School Connectedness

Skala school connectedness disusun berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Blum (2002) yakni dukungan sosial, rasa memiliki, and keterlibatan. Model skala dibuat berdasarkan model skala Likert. Setiap aitem terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Nilai setiap pilihan bergerak dari 0 sampai 3. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: SS = 3, S = 2, TS = 1, STS = 0. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: SS = 0, S = 1, TS = 2, STS = 3 . Hasil dari skala school connectedness dibagi ke dalam 3 kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Kategorisasi berdasarkan norma di tabel 3 berikut (Azwar, 2012) :

Tabel 3. Kategorisasi Norma Nilai School Connectedness

Rentang Nilai Kategorisasi

X ≥ (mean hipotetik + 1.0 SD hipotetik) Tinggi (mean hipotetik - 1.0 SD hipotetik) ≤ X <

(mean hipotetik + 1.0 SD hipotetik)

Sedang X ≤ (mean hipotetik - 1.0 SD hipotetik) Rendah

Penyusunan alat ukur school connectedness akan dijabarkan dengan lebih jelas dalam bentuk blueprint yang disajikan pada tabel 4:


(58)

Tabel 4. Blueprint Skala School Connectedness

No Aspek Indikator F UF Jumlah

1 Dukungan Sosial

a. Siswa memiliki hubungan dekat atau akrab dengan guru dan staf lainnya b.Siswa mencari solusi

permasalahan dengan guru atau staf sekolah

c. Guru dan staf mendukung siswa mengekspresikan pendapat dari berbagai sudut pandang tanpa membedakan suku, agama maupun gender.

8 4 12

2 Rasa Memiliki a. Siswa merasa diterima di sekolah tanpa dibeda-bedakan dari suku, agama, gender, maupun kelas sosial.

b. Siswa merasa bangga menjadi bagian dari sekolah.

c. Siswa merasa senang untuk berada di sekolah. d. Siswa berusaha menjaga

baik nama sekolah .

9 7 16

3 Keterlibatan a. Siswa terlibat aktif dalam aktivitas sekolah.

b.Siswa mengungkapkan pendapat atau pertanyaan dengan nyaman kepada guru

c. Siswa mematuhi peraturan dan kebijakan yang diterapkan di sekolah

6 6 12


(59)

45

2. Skala Iklim Sekolah

Skala iklim sekolah yang disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Thapa (2012) yakni keamanan, hubungan interpersonal, proses belajar dan mengajar, dan lingkungan institusional. Bentuk format respon dan skor setap item sama dengan skala school connectedness. Hasil skoring pada iklim sekolah akan dibagi ke dalam 2 kategori yakni positif dan negatif. Kategorisasi dilakukan dengan menentukan nilai standard error (Se) terlebih dahulu. Nilai tersebut akan memberi kecermatan hasil pengukuran karena dapat menentukan fluktuasi dari skala iklim sekolah. Semakin besar nilai standard error maka hasil pengukuran semakin tidak dapat dipercaya. Berikut rumus standard error (Azwar, 2012) :

Se = Sx √ (1-rxx’) Keterangan:

Se = Standard error dalam pengukuran Sx = Standar deviasi skor

Rxx = Koefisien reliabilitias

Selanjutnya agar dapat mengestimasi fluktuasi skor berdasarkan besarnya standard skor, yakni :

X ± Zα/2 (Se) Keterangan:

Zα/2 = nilai Z setelah tingkat kepercayaan dibagi 2. Se = Standard error

Penyusunan alat ukur iklim sekolah akan dijabarkan dengan lebih jelas dalam bentuk blueprint yang disajikan pada tabel 5:


(60)

Tabel 5. Blueprint Skala Iklim Sekolah

No Aspek Indikator F UF Jumlah

1 Keamanan a. Sekolah merupakan tempat yang aman bagi siswa.

b.Sekolah memiliki aturan yang adil dan jelas mengenai kekerasan fisik, verbal, serta pelecehan.

5 3 8

2 Hubungan Interpersonal

a. Siswa mau saling mempedulikan dan membantu sama lain.

b.Siswa memiliki hubungan yang baik dengan para guru dan staf.

4 4 8

3 Proses Belajar dan Mengajar

a. Siswa mampu bekerja kelompok maupun bekerja secara individu

b.Siswa mampu memahami materi, memperhatikan penjelesan guru, mengerjakan tugas yang diberikan dengan usaha sendiri, mencapai target pencapaian akademik.

c. Guru mampu menjelaskan materi dan tugas dengan jelas sehingga siswa menjadi paham

5 7 12

4 Lingkungan Institusional

a. Sekolah memberikan fasilitas layak bagi siswa untuk mempermudah aktivitas di sekolah.

b. siswa memanfaatkan dan saling berbagi fasilitas yang diberikan sekolah dengan baik

c. Siswa tidak merusak dan menjaga fasilitas yang ada di sekolah.

d. gedung sekolah yang tidak rapuh dan kebersihan lingkungan sekolah yang terjaga.

7 9 16


(1)

! " # $ ! % &# ' % ( ') "$ )&)

*

67 4 2128./ 209:.0;<0;=2> =202>2><0>.0?2>23@2 12=.>2?2 ;</<A

66 4 2128./<03<0;89 @2:2@ <=@.=,B2C909

6D E .39=2:.:9B9 =9:2@2B2C>./@,0 2BF@2 1289@2:.:903 2 >./3 ,B,0;20=.>2?2;</<A

6G H9

@.=,B2C909F@9 @I239 ?2=89 @2:.0;<0;=2>=20>.0?2>23 @.J 2/28.82@

A

6K L9 B22?2:2@2B2CFB.89C829=@212:.: 903 2@,B< @9>2?2 3.:20?2/9>2?2?2/9;</<A

6M 4 223 8./2?2 ?9 @.=,B2CF @212 :./ 2@2 90;90 J.>23 >< B20; @2N 2A

6O 4 212:./ 2@2=.@.>920?9@.=,B2CA

6P 4 223 =.;92320 ,B2C /2;2F @212 B.89 C :.: 9 B9 C <03<= 39?2= 9 =<38./>2/39 @9>2@9A

6Q


(2)

10R


(3)

KETyTENTERIAI{

PEF{DIDIKAN DAN KBBUDAYAAN

UNIVEFTSITAS

SUMATERA UTARA

.trl. Dr. Itansvur: i\ir,. 7 lliedan 20155 Telp.

+(l-(1-8220122

Fax. +62-61-Bzz0lz2

Surnatera [Jtara - Indonesia

Nomor

.

tl.f

/uNs.2.1.1ztSSA/2015

Perihal

:

lzin

Pengambilan

Data

Kepada

Yth.

:

Kepala Sekolah

SMA

Harapan

I

lvledan Jl. Irnam

Bonjol

No. 35, Medan

Dengan honnat,

Dalam rangka melengkapidata penelitian skripsi, dengan

inikami

mohon bantuan BapaUlbu untuk memberikan izin kepada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Medan

yang namanya tercantum dibawah ini :

F'AKLIE,TAS

PSIKOLOGI

Medan, 23 Januari 2015

Atika Mentari Nataya Nasution 111301086

Psikclogi USU

Pengaruh iktim sekolah

terhadap scfioo/

connectedness pada SMA Harapan 1 Medan

untuk melakukan pengannbilan data di SMA Harapan

I

Medan, gul:a melengkapi data skripsi.

Demikian permohonan ini disampaikan, atas perhatian dan izin BapaUlbu diucapkan terima kasih;

Dekan I

196204092000122001

Nama

:

NIM

:

JudulSkripsi

.

'Dekan


(4)

YAYASI\N PENDIDIKAN HARAPAN MEDAN

(YASPENDHAR MEDAN)

SIIIA

TTAITAPAN

Jln. lmam Bonjol No 35 Tetp. (061) 4515661 Fax. (061) 4573932

Kelurahan Jati, Kecamatan Medan Maimun - Medan 20152

http://www.harapan.ac.id e-mail : sma@harapan.ac.id

SURAT

KETERANGAN

Nomor :093

lCl

SMA. YP

-Har/20t5

;

Yang bertanda tangan dibawah

Medan

menerangkan bahwa :

Nama

MM

Fakultas

ini

Kepala

Sekolah Menengah

Atas

(

SMA

)

Swasta Harapan

:

Atika

Mentari Nataya Nasution :111301086

: Psikologi Universitas Sumatera

lJtara

telah

rnelaksanakan

penelitian

dan

pengambilan

data

di

SMA

Swasta Harapan

Medan

pada

tanggal

:4Maret

2015 guna penyelesaian tugas

akhir

dan penyusunan Skripsi dengan

judul

:

Pengaruh

iklim

sekolah

terhadap

school connectedness pada

SMA

Ifarapan

1

Medan.

Demikian Surat Keterangan

ini

diperbuat

untuk

dapatdipergunakan sebagaimana perlunya.

4Maret2015

/\

/*/

"I


(5)

KETyTENTERIAI{

PEF{DIDIKAN DAN KBBUDAYAAN

UNIVEFTSITAS

SUMATERA UTARA

.trl. Dr. Itansvur: i\ir,. 7 lliedan 20155 Telp.

+(l-(1-8220122

Fax. +62-61-Bzz0lz2

Surnatera [Jtara - Indonesia

Nomor

.

tl.f

/uNs.2.1.1ztSSA/2015

Perihal

:

lzin

Pengambilan

Data

Kepada

Yth.

:

Kepala Sekolah

SMA

Harapan

I

lvledan Jl. Irnam

Bonjol

No. 35, Medan

Dengan honnat,

Dalam rangka melengkapidata penelitian skripsi, dengan

inikami

mohon bantuan BapaUlbu untuk memberikan izin kepada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Medan

yang namanya tercantum dibawah ini :

F'AKLIE,TAS

PSIKOLOGI

Medan, 23 Januari 2015

Atika Mentari Nataya Nasution 111301086

Psikclogi USU

Pengaruh iktim sekolah

terhadap scfioo/

connectedness pada SMA Harapan 1 Medan

untuk melakukan pengannbilan data di SMA Harapan

I

Medan, gul:a melengkapi data skripsi.

Demikian permohonan ini disampaikan, atas perhatian dan izin BapaUlbu diucapkan terima kasih;

Dekan I

196204092000122001

Nama

:

NIM

:

JudulSkripsi

.

'Dekan


(6)

YAYASI\N PENDIDIKAN HARAPAN MEDAN

(YASPENDHAR MEDAN)

SIIIA

TTAITAPAN

Jln. lmam Bonjol No 35 Tetp. (061) 4515661 Fax. (061) 4573932

Kelurahan Jati, Kecamatan Medan Maimun - Medan 20152

http://www.harapan.ac.id e-mail : sma@harapan.ac.id

SURAT

KETERANGAN

Nomor :093

lCl

SMA. YP

-Har/20t5

;

Yang bertanda tangan dibawah

Medan

menerangkan bahwa :

Nama

MM

Fakultas

ini

Kepala

Sekolah Menengah

Atas

(

SMA

)

Swasta Harapan

:

Atika

Mentari Nataya Nasution :111301086

: Psikologi Universitas Sumatera

lJtara

telah

rnelaksanakan

penelitian

dan

pengambilan

data

di

SMA

Swasta Harapan

Medan

pada

tanggal

:4Maret

2015 guna penyelesaian tugas

akhir

dan penyusunan Skripsi dengan

judul

:

Pengaruh

iklim

sekolah

terhadap

school connectedness pada

SMA

Ifarapan

1

Medan.

Demikian Surat Keterangan

ini

diperbuat

untuk

dapatdipergunakan sebagaimana perlunya.

4Maret2015

/\

/*/

"I