Akibat Hukum Pembatalan Hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Oleh Kemenkumham Terhadap Perseroan Terbatas (Studi Putusan Mk Nomor 84 Puu-Xi 2013)

(1)

1

Sebuah badan usaha atau bentuk perusahaan yang paling banyak digunakan dalam bisnis dewasa ini dan di masa yang akan datang adalah Perseroan Terbatas ( selanjutnya disebut PT).1 pemilihan itu tentunya bukan tidak beralasan karena PT sebagai bentuk badan dirasa mempunyai kelebihan dibanding badan usaha lainnya. Oleh karena itu, di masa mendatang PT masih akan merupakan pilihan utama bagi pemodal dalam memilih dan menentukan bentuk badan usaha yang akan menggerakan modalnya. 2

Pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas pada prakteknya tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi, teknologi dan informasi yang sudah berkembang pesat, khususnya era globalisasi. Disamping itu meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang tepat, kepastian hukum,

Di Indonesia semula eksistensi PT diatur dalam Pasal 35-36 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya diasebut KUHD). Dalam perkembangannya, oleh karena aturan-aturan yang terdapat dalam KUHD tersebut dianggap sudah tidak dapat menampung dinamika dan perkembangan dunia bisnis, maka pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.

1 Parasian Simanungkalit, Rapat Umum Pemegang Saham kaitannya Dengan Tanggung

Jawab Direksi Pada Peseroan Terbatas (Jakarta: Yayasan Wajar Hidup, 2006), hlm. 5.

2 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas

edisi kedua setelah Berlakunya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Bogor:


(2)

serta tuntutan akan pengembangan usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance).

Melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT), telah dilakukan pengakomodasian terhadap berbagai ketentuan mengenai perseroan terbatas, baik berupa penambahan ketentuan baru, perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dianggap masih relevan. Dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh layanan yang cepat, UUPT mengatur tata cara :

1. Pengajuan permohonan dan pemberian pengesahan status badan hukum 2. Pengajuan permohonan dan pemberian persetujuan anggaran

3. Penyampaian pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar dan/atau pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan data lainnya . pelayanan tersebut dapat dilakukan melalui jasa teknologi informasi system informasi badan hukum secara elektronik di samping tetap dimungkinkan penggunaan system Manual.

Beberapa perubahan lain yang ditegaskan dalam UUPT adalah sebagai berikut :

1. Perubahan minimal modal dasar untuk mendirikan PT dari Rp. 20.000.000,00 menjadi minimal Rp. 50.000.000,00

2. Munculnya pengaturan tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus dipikul oleh PT yang melakukan usaha dalam bidang eksplorasi sumber daya alam


(3)

3. Diaturnya PT yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah. Untuk mengawal penerapan prinsip ini, pembentukan Undang-Undang ini mewajibkan PT yang menjalankan usaha dengan prinsip syariah untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah yang mempunyai tugas untuk memberikan saran dan nasehat kepada Direksi serta mengawasi kegiatan PT agar sesuai dengan prinsip syariah.

4. Dimungkinkan penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Dengan cara ini RUPS dapat diselenggarakan melalui media elektronik seperti telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya.

5. Dibentuknya tim ahli pemantauan hukum perseroan yang tugasnya memberikan masukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berkenaan dengan PT. untuk menjamin kredibilitas tim ahli, keanggotaan tim ahli tersebut dari berbagai unsur baik pemerintah, pakar / akademisi, profesi, dan dunia usaha.3

Sebagai subjek atau badan hukum, perseroan memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat disamakan dengan manusia. Persamaan inilah yang kerap membuat perseroan disebut sebagai artificial person.

Layaknya tubuh manusia yang dilengkapi organ-organ dengan fungsi fisiologisnya masing-masing untuk membantu bertahan hidup, perseroan juga memerlukan organ untuk menggerakkan ‘roda’ perseroan sehari-hari. Organ-organ inilah yang kemudian akan saling berkoordinasi untuk membuat perseroan

3 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan Tinjauan Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40


(4)

tetap berjalan dan survive. Organ-organ tersebut, seperti tercantum dalam UUPT Pasal 1 angka 2 dikatakan bahwa “Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.”4

Pada dasarnya RUPS sebagai sebuah putusan rapat ataupun musyawarah hanya mengikat secara internal PT tersebut. Namun, dalam hal putusan tersebut kemudian disetujui oleh Kementerian Hukum dan HAM (selanjutnya disebut Kemenkumham), didaftarkan dalam Daftar Perusahaan, dan diumumkan dalam Lembaran Berita Negara maka keputusan RUPS tersebut mengikat pihak ketiga/masyarakat luas. Inilah yang terkenal dengan asas Publisitas.

Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS) merupakan organ perusahaan yang kedudukannya adalah sebagai organ yang memegang kekusaan tertinggi dalam perseroan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 4 UUPT yang mengatakan “Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar”.

5

Mengenai keputusan RUPS yang kemudian disetujui oleh Kemenkumham, dapat terjadi pembatalan persetujuan/pengesahan oleh Kemenkumham, yaitu apabila pelaksanaan RUPS tersebut tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana terjadi dalam kasus PT. Metro Mini dimana Keputusan RUPS Ketiga yang dilakukan oleh PT. Metro Mini ketika dimintakan

4

Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris, dan Direksi Perseroan

Terbatas agar terhindar dari jerat hukum (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 26.

5 Adib Bahari, Panduan Mendirikan Perseroan Terbatas (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,


(5)

pengesahan kepada Kemenkumham, namun hal tersebut ditolak oleh Kemenkumham dikarenakan menurut Kemenkumham pelaksanaan RUPS dari PT. Metro Mini tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang diatur oleh UUPT dalam Pasal 86 ayat 9 .

Pihak PT. Metro Mini dalam hal ini diwakilkan oleh direksinya menyatakan bahwa pelaksanaan RUPS yang dilakukan oleh PT. Metro Mini telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam UUPT. Dalam kasus ini PT. Metro Mini yang telah melakukan RUPS yang pertama dan kedua lalu tidak memenuhi jumlah kuorum yang ditentukan undang-undang, selanjutnya pihak PT.Metro Mini memohon pengadilan untuk menentukan kuorum pelaksanaan RUPS ketiga. Selanjutnya RUPS ketiga dilakukan sesuai dengan penetapan pengadilan dan mengahasilkan keputusan RUPS yaitu Pengangkatan kepengurusan baru yang mana mengangkat Nofrialdi. Amd EK sebagai direktur utama dari PT. Metro Mini, namun dalam hal keputusan tersebut dimintakan pengesahan kepada Kemenkumham, keputusan tersebut ditolak dengan alasan bahwa pelaksanaan RUPS ketiga tersebut melewati jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang. Dengan terjadinya pembatalan pengesahan keputusan RUPS tersebut, maka menimbulkan akibat hukum kepada PT. Metro Mini.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya saat ini meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang tepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Dengan kedudukan RUPS yang sangat penting


(6)

dalam PT maka diperlukan pengaturan yang jelas dan memenuhi kebutuhan dunia usaha saat ini.

Pengaturan mengenai RUPS dalam UUPT secara khusus diatur dalam Pasal 75-91. Pengaturan tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan keadilan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham, namun dalam pelaksanaannya Pasal 86 ayat 9 UUPT belum memenuhi rasa keadilan dalam pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham. Sebagaimana yang terjadi dalam pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham yang dilakukan oleh PT. Metro Mini di Jakarta yang telah dijelaskan sebelumnya bagaimana pelaksanaan RUPS yang dilakukan oleh PT tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan adanya ketidakharmonisan pengaturan tentang jangka waktu pelaksanan RUPS kedua dan ketiga yang dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana yang dilakukan oleh PT. Metro Mini sesuai dengan Pasal 86 ayat 5 dan Pasal 86 ayat 7 dengan jangka waktu pelaksanaan RUPS kedua dan ketiga yang ditentukan dalam Pasal 86 ayat 9 UUPT yang menyatakan bahwa “RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan”.

Akibat adanya ketidakharmonisan pengaturan tentang pelaksanaan RUPS tersebut menimbulkan dibatalkannya pengesahan atas keputusan RUPS yang dilahirkan dari RUPS Ketiga yang dilakukan pada tanggal 23 Februari 2013. Atas peristiwa tersebut menimbulkan akibat hukum terhadap PT. Metro Mini. Selanjutnya Pihak PT. Metro Mini diwakili oleh Nofrialdi. Amd EK selaku


(7)

direktur utama PT. Metro Mini mengajukan permohonan Judicial review kepada Mahkamah Konstitusi oleh Direktur PT. Metro Mini untuk menguji keabsahan Pasal 86 ayat 9 UUPT tersebut.

Berdasarkan hal yang dijelaskan diatas, dalam skripsi ini akan dibahas mengenai apa yang menjadi akibat hukum terhadap perseroan apabila terdapat suatu keputusan RUPS yang dibatalkan pengesehannya oleh Kemenkumham.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaiamana aspek hukum Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang ? 2. Bagaimana penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham dalam Perseroan

Terbatas ?

3. Bagaimana akibat hukum pembatalan hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham oleh Kemenkumham terhadap perseroan terbatas (studi kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-XI/2013) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai berikut: a. Untuk mengetahui aspek hukum Perseroan Terbatas menurut

Undang-Undang.

b. Untuk mengetahui Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas.


(8)

c. Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham oleh Kemenkumham terhadap Perseroan Terbatas.

2. Manfaat penulisan

Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Secara teoritis pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan akan memberikan kontribusi pemikiran serta menimbulkan pemahaman tentang akibat hukum pembatalan hasil keputusan RUPS oleh Kemenkumham terhadap PT.

b. Secara praktis

Secara praktis pembahasan terhadap masalah ini dapat menjadi masukan bagi pembaca khususnya bagi para pelaku bisnis di PT dalam menyelenggarakan RUPS.

D. Keaslian Judul

Untuk mengetahui keaslian judul, sebelumnya telah dilakukan melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pusat dokumentasi dan informasi hukum/perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 01 Desember 2014 yang menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama” dan tidak terlihat adanya keterkaitan. Surat tersebut


(9)

dijadikan dasar bagi Ramli Siregar (Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) untuk menerima judul yang diajukan oleh penulis, karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul skripsi lain yang terdapat di lingkungan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Apabila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah tertulis orang lain dalam berbagai tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban.

E. Tinjauan Pustaka

Kata “perseroan” dalam pengertian umum adalah perusahaan atau organisasi usaha atau badan usaha. Sedangkan “perseroan terbatas” adalah suatu bentuk organisasi yang ada dan dikenal dalam sistem hukum dagang Indonesia Kata “perseroan” menunjuk kepada modal nya yang terdiri atas sero (saham). Sedangkan “terbatas” menunjuk kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang di ambil bagian dan dimilikinya Sebutan atau bentuk PT datang dari hukum dagang belanda (WvK) dengan singkatan NV atau Naamlooze Vennootschap. 6

Bila melihat kembali pada peraturan lama Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, definisi mengenai perseroan terbatas ini tidak dijumpai dalam Pasal-Pasalnya. Namun demikian, menurut Sutantya dan Sumatoro dari Pasal-Pasal : 36,


(10)

40, 42 dan 45 KUHD dapat diketahui bahwa suatu PT mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :7

1. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masing-masing pesero (pemegang saham) dengan tujuan untuk membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan perseroan .

2. Adanya pesero atau pemegang saham yang tanggung jawabnya terbatas pada nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua di dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), merupakan kekuasaan tertinggi dalam organisasi perseroan, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris, berhak menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan menjalankan perusahaan, menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam anggaran dasar dan lain-lain.

3. Adanya pengurus (direksi) dan pengawas (komisaris) yang merupakan satu kesatuan pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan anggaran dasar dan keputusan RUPS.

Sedangkan dalam UUPT dijelaskan bahwa pengertian PT menurut Pasal 1 angka 1 adalah “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

7 Agus Budiarto, Op.Cit., hlm. 17.


(11)

Perseroan sebagai subjek atau badan hukum memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat disamakan dengan manusia. Persamaan inilah yang kerap membuat perseroan disebut sebagai artificial person.

Layaknya tubuh manusia yang dilengkapi organ-organ dengan fungsi fisiologisnya masing-masing untuk membantu bertahan hidup, perseroan juga memerlukan organ untuk menggerakkan ‘roda’ perseroan sehari-hari. Organ-organ inilah yang kemudian akan saling berkoordinasi untuk membuat perseroan tetap berjalan dan survive.

Organ-organ tersebut, seperti tercantum dalam UUPT Pasal 1 angka 2 dikatakan bahwa “Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris.” 8

8 Orinton Purba, Op.Cit., hlm. 26.

Pengertian RUPS dalam Pasal 1 angka 4 UUPT yang mengatakan “Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar”

Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I Nomor M.HH-05.OT.01.01 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kemenkumham mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang hukum dan hak asasi manusia dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugasnya,


(12)

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:9

1. perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia;

2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

3. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

4. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah;

5. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan 6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.

“Judicial Review” (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif legislative maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu kewenangan untuk melakukan ‘judicial review’ itu melekat pada fungsi hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain.10

9

10


(13)

Menurut Pasal Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu : 11

1. perorangan warga negara Indonesia;

2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

3. badan hukum publik atau privat; atau 4. lembaga negara.

F. Metode Penulisan

Penelitian merupakan sarana yang digunakan oleh manusia memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.12 Skripsi ini sebagai hasil penelitian tentu dihasilkan dari penerapan metodologi penelitian sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu hukum.13

1. Spesifikasi penelitian

Adapun metode penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

Skripsi ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

11

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ketiga (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2005), hlm. 3.

13 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Normatif, Ed. Revisi


(14)

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.14 Penelitian hukum normatif ini mencakup:15

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum. d. Penelitian sejarah hukum.

e. Penelitian perbandingan hukum.

Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum sekunder,16 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan internasional dalam bidang Perseroan Terbatas, jurnal-jurnal dan karya tulis lainnya, serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif adalah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah terentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau factor faktor tertentu.17

Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru.18

2. Data penelitian

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.

15 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 51.

16 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua

(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14

17 Bambang Suggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Pertama, Cet.

Kedua (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1998), hlm. 36.


(15)

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.19 Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum, yaitu:20

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti Undang-Undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian internasional, dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional yang mengikat (terutama yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas di Indonesia) serta putusan-putusan hakim.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.

c. Bahan hukum tersier (tertier), yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya, selain itu bahan tersier ini juga meliputi berbagai bahan primer, sekunder, dan tersier diluar bidang hukum yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, terutama dibidang ekonomi dan Perseroan Terbatas.

3. Teknik pengumpulan data

19 Bambang waluyo, Op.Cit., hlm 13-14.


(16)

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan judul skripsi “Akibat hukum pembatalan hasil keputusan rapat umum pemegang saham oleh Kemenkumham terhadap Perseroan Terbatas (studi kasus Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 84/PUU-XI/2013)”.

4. Analisis data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya, metode analisis data yang dipergunakan penulis adalah metode kualitatif, yaitu dengan:

a. Mengumpulakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan tersebut agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan dan saran yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.


(17)

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya diuraikan secara sistematis dan diperlukan suatu sistematika penulisan yang teratur. Dimana penulis membagi menjadi bab per bab dan masing-masing bab ini saling berkaitan antar satu sama dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang akan membahas hal-hal yang bersifat umum dalam latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II ASPEK HUKUM PERSEROAN TERBATAS MENURUT

UNDANG-UNDANG

Bab ini menguraikan tentang Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, pendirian Perseroan Terbatas, struktur, modal dalam Perseroan Terbatas, Pengurusan dalam Perseroan Terbatas, pembubaran Perseroan Terbatas

BAB III PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS.

Bab ini menguraikan tentang Rapat Umum Pemegang Saham sebagai organ dalam Perseroan Terbatas, tugas dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas, mekanisme penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham di Perseroan Terbatas


(18)

BAB IV AKIBAT HUKUM PEMBATALAN HASIL KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM OLEH KEMENKUMHAM TERHADAP PERSEROAN TERBATAS (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 84/PUU-XI/2013) Bab ini menguraikan tentang kasus posisi yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 84/PUU-XI/2013, pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 84/PUU-XI/2013, akibat hukum pembatalan Hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang oleh Kemenkumham Saham terhadap Perseroan Terbatas BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari permasalahan yang dibahas pada skripsi ini.


(1)

Menurut Pasal Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu : 11

1. perorangan warga negara Indonesia;

2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

3. badan hukum publik atau privat; atau 4. lembaga negara.

F. Metode Penulisan

Penelitian merupakan sarana yang digunakan oleh manusia memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.12 Skripsi ini sebagai hasil penelitian tentu dihasilkan dari penerapan metodologi penelitian sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu hukum.13

1. Spesifikasi penelitian

Adapun metode penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

Skripsi ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

11

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ketiga (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2005), hlm. 3.

13 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Normatif, Ed. Revisi


(2)

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.14 Penelitian hukum normatif ini mencakup:15

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum. d. Penelitian sejarah hukum.

e. Penelitian perbandingan hukum.

Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum sekunder,16 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan internasional dalam bidang Perseroan Terbatas, jurnal-jurnal dan karya tulis lainnya, serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif adalah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah terentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau factor faktor tertentu.17

Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru.18

2. Data penelitian

14

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14.

15 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 51.

16 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua

(Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14

17 Bambang Suggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Pertama, Cet.

Kedua (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1998), hlm. 36.


(3)

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.19 Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum, yaitu:20

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti Undang-Undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian internasional, dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional yang mengikat (terutama yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas di Indonesia) serta putusan-putusan hakim.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.

c. Bahan hukum tersier (tertier), yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya, selain itu bahan tersier ini juga meliputi berbagai bahan primer, sekunder, dan tersier diluar bidang hukum yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan, terutama dibidang ekonomi dan Perseroan Terbatas.

3. Teknik pengumpulan data

19 Bambang waluyo, Op.Cit., hlm 13-14.


(4)

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan judul skripsi “Akibat hukum pembatalan hasil keputusan rapat umum pemegang saham oleh Kemenkumham terhadap Perseroan Terbatas (studi kasus Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 84/PUU-XI/2013)”.

4. Analisis data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisisnya, metode analisis data yang dipergunakan penulis adalah metode kualitatif, yaitu dengan:

a. Mengumpulakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan tersebut agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan dan saran yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.


(5)

G. Sistematika Penulisan

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya diuraikan secara sistematis dan diperlukan suatu sistematika penulisan yang teratur. Dimana penulis membagi menjadi bab per bab dan masing-masing bab ini saling berkaitan antar satu sama dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang akan membahas hal-hal yang bersifat umum dalam latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II ASPEK HUKUM PERSEROAN TERBATAS MENURUT

UNDANG-UNDANG

Bab ini menguraikan tentang Perseroan Terbatas sebagai badan hukum, pendirian Perseroan Terbatas, struktur, modal dalam Perseroan Terbatas, Pengurusan dalam Perseroan Terbatas, pembubaran Perseroan Terbatas

BAB III PENYELENGGARAAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS.

Bab ini menguraikan tentang Rapat Umum Pemegang Saham sebagai organ dalam Perseroan Terbatas, tugas dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas, mekanisme penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham di Perseroan Terbatas


(6)

BAB IV AKIBAT HUKUM PEMBATALAN HASIL KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM OLEH KEMENKUMHAM TERHADAP PERSEROAN TERBATAS (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 84/PUU-XI/2013) Bab ini menguraikan tentang kasus posisi yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 84/PUU-XI/2013, pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 84/PUU-XI/2013, akibat hukum pembatalan Hasil Keputusan Rapat Umum Pemegang oleh Kemenkumham Saham terhadap Perseroan Terbatas BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari permasalahan yang dibahas pada skripsi ini.