ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA SISTEM KEAD

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA SISTEM KEADILAN NEOLIBERALISME, SOSIALISME DAN ISLAM
Oleh : Yeni Indriana, S.Pd
Email : indriayenni177@yahoo.co.id
Pasca Sarjana IAIN Salatiga
Abstrak :
Keadilan ekonomi merupakan basic need semua manusia di muka bumi dalam
rangka memenuhi kesejahteraan hidupnya. Apapun bentuk permasalahan
ekonomi

kontemporer

utamanya

adalah

bersumber

pada

masalah


ketidakadilan. Makalah ini membahas peta analisis konsep keadilan di
antaranya menurut pandangan neo-liberalisme, sosialis dan Islam. Karena peta
dunia ekonomi saat ini telah digelayuti tiga sistem tersebut. Tolok ukur konsep
keadilan antara lain keadilan kepemilikan, keadilan produksi, keadilan
konsumsi, keadilan distribusi dan redistribusi, keadilan peran pasar dan negara.
Kata Kunci : Keadilan, neo-liberalisme, sosialisme, ekonomi Islam

A. Pendahuluan
Problem

universal

yang dihadapi

semua

sistem ekonomi

kontemporer hingga saat ini pada dasarnya sama, yaitu ketidakadilan ekonomi.
Sistem – sistem yang telah berjalan hanya berlandaskan pada ketamakan atau

kerakusan sehingga dalam proses perjalanan mengalami kebuntuan dalam
menciptakan keadilan. Sistem – sistem yang telah berjalan tersebut berakar pada
ideologi – ideologi ekstrem dalam dasar logika manusia semata sehingga kurang
berhasil bahkan gagal mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi ummat
manusia (pengikutnya).
Faham neoliberalis merupakan trending topic dalam 10 tahun
terakhir ini. Pada dasarnya ekonomi neoliberal dapat dijelaskan sebagai sebuah
filosofi ekonomi politik yang meminimalisir dominasi intervensi negara atau
menolak campur tangan pemerintah dalam perekonomian nasional. Ekonomi
1

neoliberal menitik beratkan pada metode pasar bebas (free trade) yang diserahkan
pada mekanisme pasar dan tidak dibatasi oleh aturan-aturan positif maupun
normatif (www.detikfinance.com)

1

. Institusi komplementer neoliberalisme

menggunakan istilah pasar bebas dan globalisasi sebagai gaya modern untuk

menutupi keburukannya. Neoliberalisme, pasar bebas, dan globalisasi adalah
wujud baru penjajahan masa kini dari segi ekonomi, sosial, politik, dan budaya
(neoimprealisme). Sulitnya mendapatkan transparansi statement atau informasi
proses kebijakan dari lembaga-lembaga pemerintah merupakan salah satu bukti
kongkret dari rupa baru neoliberalisme. Kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan
mengatas namakan globalisasi dan pasar bebas itu telah berhasil menciptakan
ketimpangan sosial ekonomi, sehingga si kaya semakin menjadi kaya dan
sebaliknya si miskin kian terpuruk dengan kondisi ekonominya.
Neoliberalisme sebelumnya merupakan bentuk awalnya kapitalisme
(laissez faire). Setelah krisis selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya
tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad
korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme.2 Melalui corporate
globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan
paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Sejak 1970-an Keynesianisme
yang menjadi fondasi welfare State telah masuk dalam catatan kaki sejarah.
Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August
Von Hayek dan Milton Friedman. Mulai dekade 1980-an aliran kanan baru yang
diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagen memperjuangkan pasar bebas
dan menolak dengan tegas paham negara intevensionis. Satu dekade kemudian,
tepatnya pada tahun 1990-an, kapitalisme neoliberalisme pasar bebas dari dua

tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.
Sistem keadilan Negara sejahtera ( welfare state) dianggap sebagai
langkah maju kapitalisme dengan tujuan untuk meredam ekses kapitalisme yang
berlebihan dan mengurangi daya tarik sosialisme. Sistem ini cukup menarik bagi

Hendri Hermawan Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM,” MEDIA 19, no. 2
(2015), http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/3._Hendri_Hermawan-1_.pdf.
2
Zakiyuddin Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice: An Islamic Perspective,”
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 2, no. 2 (December 1, 2012): 241–66,
doi:10.18326/ijims.v2i2.241-266.
1

2

semua lapisan masyarakat baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofisnya,
Negara sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang
sangat penting yang tidak mungkin bergantung pada operasi kekuatan – kekuatan
pasar, kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak harus merupakan bukti
dari kegagalannya. Karenanya sistem ini mengakui full employment dan distribusi

pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan
negara. Seperti dicontohkan dalam sejarah perekonomian Amerika Serikat era
Rosevelt yang mengamini pemikiran Keynes, AS mengalami perbaikan kondisi
ekonomi yang sangat baik antara 1950 – 1960 an, pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan merata serta inflasi yang terkendali.3 Masa keemasan tersebut berakhir
pada awal tahun 1970-an setelah terjadi penumpukan modal pada segolongan
kapitalis, meningkatnya pengangguran dan berbagai permasalahan yang timbul
pada APBN. Dari sinilah kemudian muncul faham neoliberalisme.
Secara umum konsep – konsep neoliberalisme dapat dilihat dengan
indikator : pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan
pengeluaran upah dan melenyapkan hak – hak buruh, menghilangkan control atas
harga, mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua
subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial
dan pada saat yang sama subsisi besar – besaran diberikan kepada perusahaan
transnasional (TNCs) melalu tax holidays, mempercayai deregulasi ekonomi,
privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi
dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan
sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar
mereka, dan memprioritaskan paham tentang publics good dan solidaritas sosial
dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.4

Setiap sistem pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu
menghilangkan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana sistem kapitalisme dalam
perjalanannya ternyata banyak meninggalkan strata dalam masyarakat, dimana
yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Walaupun telah dimodifikasi
dengan peluncuran welfare state dengan memainkan peran negara tetap

3
4

Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM.”
Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”

3

meninggalkan masalah yang tidak ada ujungnya menggapai kesejahteraan bagi
seluruh ummat manusia dan pengikutnya.
Sistem sosialis dan marxisme sebagai lawan dari kapitalisme pun
pernah memainkan perannya selama 60 tahun dan memberi kontribusi
perkembangan komunisme. Selama 44 tahun partai komunis menerapkan dasar –
dasar sosialis, dan dalam perkembangannya pun sistem sosialis pun runtuh lebih

cepat dari yang diprediksikan.

5

Dalam Zakiyuddinn dipaparkan kelemahan –

kelemahan utama sistem sosialis karena, Pertama, ideologi ini mengimplikasikan
ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan pribadi
dalam batasan – batasan kesejahteraan sosial, Kedua, Mesin kekuasaan negara
dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan
kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya,
sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan
dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri, Ketiga, subsidi umum
yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orang – orang istimewa dibanding si
miskin yang daya belinya terbatas.6
Paparan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sistem
ekonomi yang bersumber dari ideologi – ideologi kapitalis, neoliberal, negara
sejahtera, sosialis masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya
dengan keadilan ekonomi dalam soal produksi, distribusi dan konsumsi. Perlu
dicari dan diberi ruang alternatif – alternatif sistem ekonomi yang dibingkai dengan

semangat etis dan nilai – nilai moral tinggi yang menjadi pedoman.

5
6

Abdul Sami’ Al Mishri, Pilar - pilar Ekonomi Islam, Cetakan 1 (Pustaka Pelajar, 2006), 221–22.
Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”

4

B. Teori - teori Keadilan Ekonomi Kontemporer
Sistem – sistem ekonomi yang telah disebutkan di muka - kapitalis,
sosialis, neoliberalisme, Marxisme, Welfare State – pada dasarnya mempunyai
tujuan dan paham yang sama tentang keadilan. Akan tetapi dalam perdebatannya
telah melahirkan perbedaan cukup mendasar dalam menentukan makna dan definisi
yang tepat tentang keadilan.7 Selanjutnya teori – teori keadilan yang menjadi
landasan pijak sistem – sistem ekonomi kontemporer itu meliputi Prinsip
Egalitarianisme Radikal, Prinsip Perbedaan, Prinsip Berbasis Sumber Daya, Prinsip
Berbasis Kesejahteraan, Prinsip Berbasis Balasan, dan Prinsip Libertian.
Beberapa keterbatasan dalam prinsip – prinsip tersebut di antaranya

adalah :
1. Pertama, dalam hala kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan Prinsip
Libertian

berada

pada

posisi

saling

bertentangan.

Egalitarianisme

mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan libertian mengedepankan
kepemilikan pribadi dan self-interest. Tapi keduanya juga mengalami
kebuntuan dalam mengatasi masalah keadilan dalam kepemilikan.
2. Kedua, dalam hal sumber daya, prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa

duni ini pada asalnya tidak ada yang memiliki, jika demikian , dengan cara
apapun bukan hal yang masalah jika sumber daya ini diperlakukan sesuai
kemauan manusia. Perbedaan terpenting antara liberalisme dan libertarianisme
adalah pandangan tentang kebebasan individu. Menurut libertarianisme,
kebebasan yang menjadi hak individu merupakan satu bentuk properti privat,
tidak seorang pun atau apa pun yang dapat merampas dan mencabutnya dari
seseorang tanpa dianggap telah melanggar hak orang tersebut.

Seperti

libertarianisme, liberalisme juga mengutamakan kebebasan.8 Kebebasan
menurut liberalisme tidak dapat dikorbankan untuk nilai yang lain, untuk nilai
ekonomi, sosial dan politik. Kebebasan hanya dapat dibatasi dan
dikompromikan ketika ia konflik dengan kebebasan dasar yang lain yang lebih
luas. Karenanya, kebebasan menurut liberalisme bukan sesuatu yang absolut,
kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri.
Ibid.
Ridha Ahida, “Liberalisme Dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu Dan Komunitas,” Jurnal
Demokrasi 4, no. 2 (October 1, 2005), http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063.


7
8

5

3. Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada sau aspek
semata dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat
memberikan jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri, : Prinsip
Berbasis Sumber Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung
jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi
mereka yang kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan
(Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great
number, mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan atau
kesejahteraan mayoritas; dan Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan bila setiap orang harus menerima
balasan atau upah sesuai dengan usaha dan kontribusi aktualnya bagi
masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas kondisi mereka yang
kurang beruntung dalam masyarakat?.
4. Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus
memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah
penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas
mereka yang secara ekonomi lebih produktif?
5. Kelima, berdasarkan kompetisi, pasar bebas secara moral dikehendaki sebagai
alat yang dipercaya untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya
secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak sepenuhnya dapat
memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam kondisi demikian,
siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang kurang
beruntung?.
6. Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan
dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip
Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana
ketidaksamaan diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak dilihat
sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak dipandang
sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak untuk
mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan tidak terlihat jelas
apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban
bagi mereka yang kurang beruntung.

6

7. Terakhir, hampir semua teori keadilan di atas cenderung fokus pada keadilan
distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan ekonomi seperti konsumsi
dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari
perhatian.9
Dalam sistem ekonomi konvensional para pakarnya berbeda
pendapat tentang keadilan distribusi. Setidaknya ada empat konsep keadilan
distribusi yang berkembang: Konsep Egalitarian: Setiap orang dalam kelompok
masyarakat menerima barang sejumlah yang sama. Konsep Revolution:
Memaksimalkan utility orang paling miskin. Konsep Utilitarian : memaksimalkan
konsep utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat. Konsep market
oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang paling adil.10
C. Konsep Keadilan Neoliberalisme
Dalam hal konteks kepemilikan, Adam Smith sebagai penggagas
Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self –interest) sebagai basis
kepemilikan, sehingga asumsi tersebut dipakai Libertian dijadikan prinsip pertama
dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri. Bias antroposentris
mengarahkan prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Libertarianisme meletakkan
manusia sebagai tujuan dalamm dirinya sendiri, bukan sesuatu yang pada akhirnya
kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan akhir. Prinsip keadilan kedua
menyatakan dunia pada awalnya tidak dimiliki oleh siapapun.
Dalam hal produksi, produksi adalah kegiatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan sumber daya alam sebagai
sarana dan faktor – faktor produksi yang lain. Kegiatan produksi melibatkan banyak
unsur sehingga harus diletakkan dalam kerangka keadilan. Penggunaan sumber
daya alam tidak mengganggu keseimbangan alam, penguasaan faktor – faktor
produksinya.

Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”
Ma’ruf Abdullah, “Perbedaan Paradigma Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi Islam Dalam Teori
Dan Realita (Perspektif Mikro),” At-Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi, June 9, 2016, http://idr.iainantasari.ac.id/5008/.

9

10

7

Faham neoliberal bermula dari faham liberal, pada tahun 1776
Adam Smith mempromosikan faham liberali dalam bukunya “The Wealth of
Nations”. Smith beropini bahwa kebebasan dalam produksi dan perdagangan tanpa
intervensi pemerintah (laissez faire) merupakan cara terbaik untuk membangun
ekonomi suatu Negara. Smith percaya pada doktrin invisible hands (tangan gaib)
akan menciptakan keseimbangan dengan sendirinya atau secara otomatis.
Kemudian kebebasan tersebut menimbulkan dampak domino pada kebebasan
berusaha dan bersaing, sehingga para pemilik modal/capital berlomba-lomba
memaksimalkan keuntungan.
Di Indonesia dampak negatif neoliberal dirasakan oleh bangsa
Indonesia hingga sekaranga yang diawali dari Konsensus Washington pada akhir
tahun 1980 – an. Garis besar agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington
meliputi pelaksanaan: (1) kebijakan efisiensi anggaran secara ketat, termasuk
penghapusan subsidi negara dalam berbagai formulasinya, (2) liberalisasi sektor
keuangan, (3) liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) privatisasi BUMN. 11
Dalam hal di atas maka dapat dikatakan bahwa kepemilikan faktor
– faktor produksi dimiliki oleh sebagian kecil atau segelintir orang atau kelompok
tertentu, sehingga jurang kesenjarangan sosial makin melebar terutama
kesenjangan pendapatan di Indonesia. Alasan – alasan yang melatarbelakanginya
diketahui dari beberapa berikut ini :12
Pertama,

kebijakan

noliberal

selalu

mengagung-agungkan

perdagangan bebas tanpa batas, dengan alasan demi pengentasan kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi. Efek selanjutnya yang muncul ialah penghapusan segala
bentuk tariff dan bea impor. Hal ini berdampak berantai terhadap kondisi ekonomi
rakyat. Misal kemerosotan pendapatan produsen atau UMKM, kemandulan
pertanian lokal, dan instabilitas industri dalam negeri. Situasi ini mendorong proses
penyingkiran rakyat dari alat-alat produksi. Di sektor industri, produsen kecil
tersingkir dari lapangan produksi. Di sektor pertanian, peningkatan drastis jumlah
petani tak bertanah. Kedua, pemerintah sangat ketergantungan terhadap kapital
asing. Oleh karena itu, pemerintah menghalalkan segala cara untuk menarik

11
12

Adinugraha, “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF ISLAM.”
Ibid.

8

investor asing untuk berinvestasi di dalam Negeri. Untuk menambah penanaman
modal asing, pemerintah membuat kebijakan atau regulasi yang menyamankan dan
memudahkan perusahaan MNC, misal pengurangan pajak untuk perusahaan
tersebut. Secara otomatis kebijakan ini berakibat pada penurunan pendapatan
negara dari sektor pajak. Sebagai imbasnya, pemerintah akan membuat kebijakan
untuk menaikkan pajak bagi pelaku usaha di dalam negeri atau menciptakan
berbagai jenis pajak yang diambil dari warga Negara Indonesia. Hal ini semakin
menambah ketimpangan pendapatan. Segi positif dialami oleh perusahaan MNC
yang mendapatkan keuntungan besar, sebaliknya rakyat dipaksa untuk membayar
pajak sebanyak-banyaknya kepada pemerintah. Kebijakan lainnya yang
memungkinkan untuk dilakukan adalah deregulasi pasar tenaga kerja dengan upah
yang sangat minimum, penerapan sistem outsourcing dan kontrak. Ketiga,
privatisasi atau swastanisasi terhadap BUMN. Dengan alasan untuk meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan pelayanan publik. Maka BUMN banyak yang dijual
kepada pihak swasta, termasuk penjualan badan-badan usaha yang menyangkut
hajat hidup orang banyak. Misalnya perusahaan rumah sakit, sekolah, listrik, air,
tranportasi, pertambangan, dan perbankan. Pihak swasta dianggap agen tunggal
yang kompetibel dalam perekonomian dan diasumsikan mampu bersaing dalam
dunia global. Ketika perusahaan BUMN sudah berpindah tangan pada swasta, akan
menyebabkan kenaikan biaya (cost) atau ongkos, dimana keuntungan atas kenaikan
tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja (FSPI, 2003:3). Keempat,
ketergantungan terhadap utang luar negeri. Hal ini merupakan akibat dari lemahnya
sektor-sektor produktif dalam negeri dan berkurangnya penerimaan pendapatan
negara dari sektor pajak. Sehingga pemerintah memprioritaskan cicilan
pengembalian utang melalui kebijakan APBN, karena ketika utang tersebut dicicil
dengan lancar dan on time akan menambah trust investor asing. Sedangkan
dampaknya di dalam negeri, pemangkasan anggaran untuk belanja modal dan
belanja sosial. Seperti kesehatan dan pendidikan, serta penghapusan subsidi, misal
subsidi pertanian,energi, dan lain sebagainya. Kelima, membiarkan pasar yang
berkuasa. Ini sama saja dengan membebaskan aktivitas swasta untuk masuk kepada
sektor layanan publik melalui mekanisme pasar. Layanan publik, seperti kesehatan,
air minum (bersih), pendidikan, penyediaan rumah, dan lain sebagainya, diserahkan

9

kepada mekanisme pasar. Akhirnya, di mata dan fikiran rakyat layanan mendasar
tersebut menjadi komoditi mewah dan merekalah yang akan menanggung kenaikan
harga layanan tersebut, karena masyarakat diasumsikan sebagai konsumen sejati.
Menurut Revrisond Baswir (Peneliti Pusat Studi Ekonomi
Kerakyatan UGM), inti kebijakan ekonomi pasar neoliberal bertumpu kepada : (1)
pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas dan sempurna ; (2)
kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan (3) pembentukan
harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar
yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang. Dalam sistem
ekonomi neoliberal tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan
komoditi dan barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh
kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor sumber daya air,
program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh
Bank Dunia dengan skema watsal atau water resources sector adjustment loan. Air
dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan
sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. 13

D. Konsep Keadilan Ekonomi Sosialisme
Sosialisme muncul sebagai antithesis dari kapitalisme.ia lahir
didorong oleh fenomena kemelaratan kaum buruh dan petani yang terkena dampak
revolusi industry yang telah menyebar ke seantero eropa, Sosialisme mengajak
umat manusia meninggalkan kepemilikan individu atas alat-alat produksi.Ciri
Utama sosialisme yaitu berada pada hilangnya kepemilikan individu atas alat-alat
produksi dan sangat mengandalkan peran pemerintah sebagai pelaksana
perekonomian dan meninggalkan pasar.14
Afsalur Rahman dalam Economic Doctrines of Islam juga
mengatakan, bahwa prinsip dasar ekonomi sosialis itu ada tiga antara lain:

“BAHAYA NEOLIBERALISME | Menggapai Ridha Allah,” accessed June 12, 2017,
https://amiur.wordpress.com/2010/10/20/bahaya-neoliberalisme/.
14
“Konsep Ekonomi Syariah Diantara Konsep Ekonomi Sosialis Dan Liberalis,” Nonkshe, March 13,
2012, https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariah-diantara-konsepekonomi-sosialis-dan-liberalis/.

13

10

(1) Pemilikan harta oleh negara; Seluruh bentuk dan sumber pendapatan menjadi
milik negara atau masyarakat keseluruhan. Hak individu untuk memiliki harta atau
memanfaat produksi tidak diperbolehkan. Dengan demikian individu secara
langsung tidak mempunyai hak pemilikan, (2)

Kesamaan ekonomi; Sistem

ekonomi sosialis menyatakan (walaupun sulit ditemui di negara komunis) bahwa
hak-hak individu dalam suatu bidang ekonomi ditentukan oleh prinsip kesamaan.
Setiap individu disediakan kebutuhan hidup menurut keperluan masing-masing,
dan (3) Disiplin Politik; Untuk mencapai tujuan di atas, keseluruhan negara
diletakkan di bawah peraturan kaum buruh, yang mengambil alih semua aturan
produksi dan distribusi. Kebebasan ekonomi serta hak pemilikan harta dihapuskan
sama sekali. 15
Konsep keadilan Sosialisme pada dasarnya bersandar pada prinsip
Egalitarianisme radikal. Dengan dimotori tokoh Karl Marx yang menyatakan
negara adalah pemilik tunggal atas aset – aset dan kegiatan ekonomi, individu
dilarang mempunyai kepemilikan dan kebebasan untuk bertransaksi. Penentuan
konsumsi bagi masyarakat juga ditentukan oleh negara, selera dan pendapatan
ditentukan oleh pusat pemerintah (negara).
“Sosialisme Islam Menurut Sayyid Qutb”
Ada yang berpendapat Sosialisme juga pada dasarnya mempunyai
kesamaan dengan Islam dengan dimotivatori oleh pemikiran sosialisme Sayyid
Qutb. 16 Sosialisme merupakan salah satu ajaran yang menginginkan penghapusan
terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Ajaran ini mengelaborasikan
antar kehidupan mewah dengan kehidupan kelas bawah, sehingga melahirkan
keseimbangan hidup dalam sebuah tatanan masyarakat. Mengamati hal tersebut,
maka sistem sosial menganalisis tiga aspek penting, yaitu: pertama, hubungan
umum dari berbagai sistem; kedua, situasi normal atau situasi keseimbangan,
sejajar dengan kondisi normal, dan ketiga, semua sistem melakukan reintegrasi
kepada sistem normal. Karena itu, sosialisme pada hakikatnya merupakan suatu
proses untuk mensejahterakan seluruh masyarakat, sehingga dapat menumbuhkan
Ibid.
Asnawiyah Asnawiyah, “KONSEP SOSIALISME ISLAM MENURUT SAYID QUTHB,” Substantia 15, no.
1 (April 1, 2013), http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/6.

15
16

11

dan mendorong perkembangan ekonomi secara merata. Oleh karena itu, Sayyid
Quthb menerangkan bahwa “pada tahap berikutnya sosialisme adalah proses
memberikan kesejahteraan kepada rakyat dalam mencapai taraf kesejahteraan yang
abadi”.
Sayyid Quthb menjelaskan sebuah sistem yamg berbeda dengan
sistem yang disodorkan oleh Kristen dan Komunisme. Di mana Islam memandang
manusia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara kebutuhan
rohani dan kebutuhan jasmaniahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan
materialnya. Di sini Islam memandang alam semesta dan kehidupan di dalamnya
dengan universal, tidak parsial dan terpisah-pisah. Sebuah analisis menyatakan ada
kesamaan

karakter

perjuangan

Islam

dan

sosialis,

yakni

sama-sama

memperjuangkan "kaum tertindas". Yang perlu digaris bawahi antara Islam dan
Sosialisme adalah gambaran yang berbeda dalam lingkaran kehidupan umat
manusia baik dari sumber maupun nilai. Akan tetapi ada kesamaan spirit keduanya
dalam menegakkan keadilan dalam realitas sosial.
Sosialisme Sayyid Quthb berorientasi kepada ayat-ayat al-Qur’an
yang di dalamnya disebutkan konsep-konsep kehidupan sosial yang telah
digariskan Allah. Dan ini merupakan aturan kehidupan sosial yang berlandaskan
petunjuk Ilahi. Sebagai contoh, persoalan yang umumnya terjadi adalah kemiskinan
yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi
antara kalangan kaya dengan miskin. Hal ini merupakan masalah umum dihadapi
oleh masyarakat dunia. Umat Islam merupakan bagian dari penduduk dunia yang
juga memiliki pandangan hidup sosialis.17
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep sosialisme yang dimotori
pemikiran Marx dengan sosialisme dalam Islam mempunyai perbedaan dalam hal
sumber pijakannya dan memandang keadilan. Dimana sosialisme konvensional
lebih melandaskan pada materi semata, sedangkan sosialisme Islam berpijak pada
ayat – ayat Al Qur’an yang menanamkan nilai – nilai kebaikan, kemaslahatan dan
keadilan.

17

Asnawiyah, Konsep Sosialisme Islam Menurut Sayyid Qutb......

12

E. Konsep Keadilan Ekonomi Islam
Konsep kepemilikan dalam Islam tertuang dalam QS Al A’raf : 128
,” sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dari hamba – hamba-Nya. Dan sesungguhnya yang baik adalah
bagi orang – orang yang bertakwa”. Dalam ayat lain Allah berfirman : “Dan
Sesungguhnya benar – benar Kami-lah yang menghidupkan dan mematikan dan
Kami Pulalah yang mewarisi,” (QS Al Hijr : 23 ).

18

Sehingga setelah Allah

menciptakan bumi, Allah tidak begitu saja tanpa menyediakan fasilitas yang
dibutuhkan manusia untuk menjaga eksistensinya dalam kehidupan,

19

fasilitas

berupa oksigen, air, tumbuh-tumbuhan, sumber daya alam yang lainnya, QS Qaaf
: 7-11 Allah berfirman ,
“Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya
gunung – gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala
macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi
pelajaran dan peringatan bagi tiap – tiap hamba kembali
(mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit, air yang banyak
manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon – pohon dan
biji – biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi –
tinggi yang mempunyai mayang yang disusun – susun, untuk
menjadi rizki bagi hamba – hamba (Kami) dan Kami hidupkan
dengan air itu tanah yang mati ( kering ). Seperti itulah terjadi
kebangkitan”.
Atas dasar dalil di atas maka konsep kepemilikan oleh kaum
Libertianisme dimentahkan, bahwa semua dunia awalnya tidak dimiliki siapapun,
bahwa semua sumber didunia yang ada dapat dieksplorasi sebesar – besar untuk
kepentingan pribadi, semangat kompetisi yang tinggi tanpa batas. Islam dengan
rujukan wahyu telah diatur bagaimana mensikapi dunia dan seluruh isinya hanya
untuk beribadah kepada-Nya.

18
19

RI Depag, Al Qur;an Dan Terjemahnya, Edisi Revisi 1989 (CV Toha Putra, Semarang, 1989).
Al Mishri, Pilar - Pilar Ekonomi Islam, 24–25.

13

Islam sebagai way of life bagi kehidupan manusia sehingga Islam
hadir sesuai dengan fitrah manusia, tidak menafikkan bahwa manusia juga
mempunyai

kecenderungan

untuk

memiliki

harta.

Kefitrahan

manusia

ditindaklanjuti dengan bekerja dengan kesungguhan, meningkatkan produktivitas
dan profesionalismenya untuk kesejahteraan dirinya dan orang lain. Konsep
kepemilikan dalam Islam tetap memperbolehkan bahwa tiap manusia berhak atas
tanah pribadi, warisan harta , hibah, jual beli. Konsep kepemilikan dalam Islam ada
terbagi menjadi dua: kepemilikan individu dan kepemilikan umum (publik). Islam
mengatur kepemilikan tersebut dikelola dengan proporsional sesuai kebutuhan dan
mengedepankan kemaslahatan ummat.
Prinsip Keadilan dalam produksi, Islam memandang bahwa sumber
daya alam adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia secara
universal, karenanya pemakaia sumber daya alam , dan faktor – faktor produksi
yang terlibat mempunyai hak dan kewajiban yang proporsional. Pada dasarnya
sumber alam didunia ini banyak dan luas, akan tetapi yang menjadi ketidak
seimbangan dan kelangkaan adalah pada kerakusan manusia itu sendiri.
Produksi adalah manifestasi manusia bekerja. Islam mewajibkan
setiap manusia bekerja untuk mencari harta yang halal. Dalam proses produksi
darimana sumber daya diperoleh, bagaimana mengelola dan mengolahnya serta
untuk siapa dan bagaimana mengkonsumsi dan mendistribusikan secara adil
kepada segenap masyarakatnya. Menggunakan sumber daya alam serta faktor
produksi harus dalam kerangka keadilan, keseimbangan alam sebagai bentuk
eksplorasi manusia terhadap alam harus diperhatikan sehingga tidak terjadi
bencana, pengupahan buruh dan tenaga kerja harus proporsional sesuai haknya,
mencari modal harus dilandaskan kehalalan tidak merugikan pihak lain.
Kahf dalam tema Teori Produksinya menyatakan bahwa produksi
bisa ditilik dari dua aspek, kajian positif hukum – hukum benda dan hukum –
hukum ekonomi yang menentukan fungsi produksi, dan kajian normatif yang
membahas dorongan – dorongan dan tujuan – tujuan produksi.

20

Selanjutnya

Monzer Kahf, Ekonomi Islam ( Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam ), cetakan 1
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995), 33.

20

14

dipaparkan bahwa motif – motif produksi ditujukan agar tidak terjadi kemalasan
dan ketidakseunggugan dalam perikehidupan ummat manusia itu sendiri.
Konsumsi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep produksi.
Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah permintaan (demand) sedangkan produksi
adalah penawaran (supply). Konsumsi adalah tahapan akhir dan terpenting dalam
produksi kekayaan. Kekayaan diproduksi untuk dikonsumsi. 21
Manusia dengan segala fitrahnya tentu mempunyai kebutuhan serta
keinginan yang berbeda – beda dalam berkonsumsi. Namun Islam mengatur bahwa
pada dasarnya kebutuhan manusia itu tidaklah banyak hanya terkadang keinginan
– keinginan yang berlebih diluar batas kebutuhannyalah yang membuat pola
konsumsi manusia menjadi tidak terbatas. Ketidak terbatasan konsumsi manusia itu
pun mempengaruhi pola produksi manusia untuk merampas segala kekayaan alam
dn sumbernya hanya untuk memenuhi dunia yang tidak terbatas. Polanya tidak lagi
menjadikan konsumsi adalah bagian dari ibadah akan lebih karena gaya hidup
(prestige) semata.
Membahas konsumsi dalam Islam tidak terlepas dari konsep harta.
Bagaimana seharusnya manusia memandang harta dalam kacamata Islam. Harta
yang melimpah yang dimiliki sebagian orang atau manusia adalah dipandang
sebagai anugrah dari Allah, bukans semata – mata kepemilikan dan konsumsi
pribadi yang mana orang lain tidak punya hak atasnya. Agar terjadi keseimbangan
dalam hidup berekonomi Islam telah mengatur dengan konsep Zakat, Infaq dan
shadaqah serta qurban.
Di dalam masyarakat Islam tidak memungkiri adanya strata dalam
kepemilikan harta, masyarakat miskin dalam masyarakat muslim saat ini pun dapat
dikatakan menempati peringkat tinggi dalam lingkup dunia. Islam menekankan
adanya pemberantasan kemiskinan, pemberantasan kesenjangan antara kaya dan
miskin, sehingga konsep zakat, infaq dan shadaqoh serta Qurban adalah konsep
mulia yang telah Allah tetapkan untuk menjaga keseimbangan sosial ummat
manusia di dunia. Kemiskinan adalah persoalan utama di dalam semua sistem
ekonomi baik Sosialisme , welfare state, neoliberalisme. Tapi Islam datang
memberi sistem keadilan sosial dengan jalan membagikan harta lewat jalur zakat,
21

Baidhawy, “Distributive Principles of Economic Justice.”

15

infaq dan shadaqoh serta Qurban. Kemiskinan harus diberantas karena kefakiran
(kemiskinan) lebih dekat dengan kekufuran (pengingkaran) terhadap Islam.
Demikian Islam memandang bahwa konsep konsumsi harus
ditujukan semata – mata untuk kemaslahatan, untuk tujuan tidak hanya dunia tapi
juga

akhirat.

Islam

mempunyai

etika

tentang

konsumsi,

Islam

tidak

memperkenankan berlebih – lebihan dalam konsumsi (isrof atau pemborosan) dan
juga tidak mempergunakan harta dengan cara yang salah atau Tabzir. Tabzir disini
bisa dalam bentuk untuk tujuan – tujuan yang terlarang yaitu seperti penyuapan,
korupsi dan segala macam bentuknya.
Konsep Wakaf, Infaq dan shadaqoh serta qurban pada dasarnya
melahirkan konsep baru yang perlu banyak dikaji dalam bab khusus selanjutnya,
dimana konsep kesejahteraan Islam menjadi wadahnya. Kemiskinan mempunyai
porsi cara dan penanganan khusus terutama dalam manajemennya. Seperti yang
ditulis oleh Zakiyah dalam artikelnya bahwa kemiskinan memerlukan strategi
khusus dalam penanganannya. 22
Untuk memahami konsep kesejahteraan dalam Islam, penting untuk
mempelajari sifat manusia seperti yang Azmi (1991) sebutkan dalam artikelnya.
Manusia, dalam hal ini, digambarkan sebagai bukan hanya materi tetapi juga
makhluk spiritual yang mengacu pada wahyu Ilahi. Dengan demikian,
kesejahteraan individu terdiri dari dua hal yaitu: (1) implementasi nilai spiritual
syariah yang lebih lengkap dalam kehidupan sehari-hari, (2) pencapaian yang
cukup dari semua kebutuhan bahan dasar kehidupan.

Zakiyah Zakiyah, “Islamic Welfare System Dealing with the Poor in Rural Area,” Indonesian Journal
of Islam and Muslim Societies 1, no. 1 (June 1, 2011): 37–67.

22

16

F. Kesimpulan
Berdasar uraian di atas tentang analisis perbandingan konsep
keadilan Neoliberalisme, Sosialisme dan Islam adalah sebagai berikut :
1. Ketidakadilan adalah persoalan universal yang dialami oleh segala sistem
ekonomi yang telah ada di seluruh dunia.
2. Konsep keadilan masing – masing sistem pada dasarnya mempunyai persamaan
tujuan cita – cita dan pandangan untuk menegakkan keadilan, akan tetapi dalam
pelaksanaannya mempunyai perbedaan mendasar dalam menentukan makna
dan definisi tentang keadilan. Dikarenakan landasan teori berpijak yang
berbeda – beda.
3. Teori – teori keadilan kontemporer yang menjadi landasan sistem – sistem
ekonomi kontemmporer antara lain , : Prinsip Egalitarianisme Radikal,
PrinsipPerbedaan,

Prinsip

Berbasis

sumber

daya,

Prinsip

berbasis

kesejahteraan, Prinsip berbasis balasan, dan prinsip Libertarianisme.
4. Aspek – aspek keadilan dalam semua sistem ekonomi antara lain : konsep
keadilan kepemilikan, Konsep keadilan produksi, konsep keadilan konsumsi
dan distribusi.
5. Islam adalah agama yang menawarkan konsep menyeluruh dalam berbagai
aspek untuk menjadi problem solving atas terjadinya ketidakadilan yang
ditimbulkan dari konsep – konsep sistem kontemporer yang telah gagal
mencapai keadilan.
6. Zakat, Infaq, Shadaqah dan qurban merupakan bentuk sistem kesejahteraan
Islam yang ditawarkan untuk mengatasi kesenjangan atau ketidakadilan dalam
ekonomi.

17

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ma’ruf. “Perbedaan Paradigma Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi
Islam Dalam Teori Dan Realita (Perspektif Mikro).” At-Taradhi: Jurnal
Studi Ekonomi, June 9, 2016. http://idr.iain-antasari.ac.id/5008/.
Adinugraha, Hendri Hermawan. “NEOLIBERALISME DALAM PERSPEKTIF
ISLAM.” MEDIA 19, no. 2 (2015).
http://dinus.ac.id/wbsc/assets/dokumen/majalah/3._Hendri_Hermawan1_.pdf.
Ahida, Ridha. “Liberalisme Dan Komunitarianisme: Konsep Tentang Individu Dan
Komunitas.” Jurnal Demokrasi 4, no. 2 (October 1, 2005).
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jd/article/view/1063.
Al Mishri, Abdul Sami’. Pilar - pilar Ekonomi Islam. Cetakan 1. Pustaka Pelajar,
2006.
Asnawiyah, Asnawiyah. “KONSEP SOSIALISME ISLAM MENURUT SAYID
QUTHB.” Substantia 15, no. 1 (April 1, 2013).
http://substantiajurnal.org/index.php/subs/article/view/6.
“BAHAYA NEOLIBERALISME | Menggapai Ridha Allah.” Accessed June 12,
2017. https://amiur.wordpress.com/2010/10/20/bahaya-neoliberalisme/.
Baidhawy, Zakiyuddin. “Distributive Principles of Economic Justice: An Islamic
Perspective.” Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 2, no. 2
(December 1, 2012): 241–66. doi:10.18326/ijims.v2i2.241-266.
Depag, RI. Al Qur;an Dan Terjemahnya. Edisi Revisi 1989. CV Toha Putra,
Semarang, 1989.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam ( Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam ). Cetakan 1. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
“Konsep Ekonomi Syariah Diantara Konsep Ekonomi Sosialis Dan Liberalis.”
Nonkshe, March 13, 2012.
https://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariahdiantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis/.
Zakiyah, Zakiyah. “Islamic Welfare System Dealing with the Poor in Rural Area.”
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies 1, no. 1 (June 1, 2011):
37–67.

18