LEMBAGA WAKAF DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKA (8)

LEMBAGA WAKAF DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Pada Mata Kuliah
Sejarah Sosial Pendidikan Islam
Oleh:
Hafizah Fitri Rambe
NIM.3003163009
Prodi: Pendidikan Islam
Moderator:
Hadi Syahputra Pangabean
Dosen Pembimbing:
Prof.Dr.Dja’far Siddik, MA
Dr.Siti Zubaidah, M.Ag

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

BAB I
PENDAHULUAN
Wakaf sangat memliliki manfaat untuk membantu umat kaum muslim

meningkatkan kesejahteraannya yang dimana wakaf digunakan sebagai untuk
sarana penyaluran rezeki untuk kebutuhan sosial ekonomi baik dalam pendidikan,
pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan umum, kegiatan
keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan serta dalam peradaban Islam.
Perkembangan wakaf di negara-negara Timur Tengah telah banyak dirasakan
manfaatnya bagi masyarakat Timur Tengah. Perkembangan wakaf kini sampai ke
Indonesia, wakaf di Indonesia telah dikenal sebagai lembaga keagamaan yang
banyak membantu dengan sosial ekonomi, telah banyak membantu pembangunan
secara menyeluruh di Indonesia dan berbagai negara lainnya, baik dalam
pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber daya
sosial, karena pada kenyataannya, sebagian besar rumah ibadah, tempat
pemakaman, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam dibangun
di atas tanah wakaf.
Agar lebih memahami mengenai wakaf dan pengembangan pendidikan Islam,
penulis akan membahas beberapa hal, yaitu pengertian wakaf, sejarah wakaf,
landasan hukum wakaf, macam – macam wakaf, rukun dan syarat wakaf, nadzir,
wakaf sebagai pendukung finansial pendidikan Islam klasik, wakaf dan kebebasan
akademik, prosfek wakaf dalam pendidikan Islam modern.

1


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wakaf
Untuk mengetahui pengertian wakaf mulanya kita harus mengetahui asal
dari kata wakaf tersebut, wakaf berasal dari bahasa Arab Waqafa. Asal kata
Waqafa berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap
berdiri”. Kata Waqafa-Yaqifu-Waqfan

sama

artinya

dengan

Habasa –

Yahbisu - Tahbisan.1 Secara bahasa kata wakaf ( ‫ففففف‬
‫ )و ق‬berarti al-habs
(menahan), radiah (tekembalikan), al-tahbis (tertahan) dan al-man’u

(mencegah).2 Secara istilah wakaf diartikan sebagai suatu tindakan penahanan
barang yang masih ada, dimana seseorang dapat memanfaatkan atau
menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, dari penyerahan dan penggunaan
aset tersebut.3 Wakaf juga dapat diartikan sebagai harta yang diberikan untuk
berbagai tujuan kemanusiaan, yang dalam penyerahan aset tetap oleh
seseorang sebagai bentuk manifestasi kepatuhan pada agama, sekali untuk
selamanya.4 Dalam pengertian yang lainnya wakaf yaitu menahan sesuatu
benda atau harta yang dapat diambil manfaatnya untuk digunakkan pada jalan
yang diridai Allah Swt.5
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah suatu
tindakan menyerahkan aset dan menahan diri memanfaatkannya, untuk dapat
dikelola dengan menahan pokoknya, dan hasilnya dimanfaatkan untuk
kepentingan umum sebagai wujud dari kepatuhan terhadap agama pada jalan
yang diridhai Allah Swt.
Para ahli fiqih berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah,
sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri.
Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:
1 Muhammad al-Khathib, al-Iqna' (Bairut: Darul Ma'rifah,1995), h. 26 dan Wahbah
Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam wa 'Adillatuhu,(Beirut: : Dar al-Fikr,1997),, h. 7599
2 M. Al-Syarbini al-Khatib, Al-Iqna Fi Al-Hall Al-Alfadz Abi Syuza’, (Indonesia: Dar alIhya al-Kutub, tt), h. 319.

3 M.A Manan, Sertifikat Wakaf Tunai (Jakarta:CiBER Bekerja Sama Dengan PKTII-UI,
2005), h.29
4 Ibid, h.30
5 Dapertemen Agama RI, Ilmu Fiqh (Jakarta: Ditbinperta Islam, 1999), h.130

2

1. Abu Hanifah
Menurut Abu Hanafiah mengartikan wakaf sebagai shadaqah yang
kedudukannya seperti ‘ariyah, yaitu pinjam-meminjam.6 Perbedaan dari
kedua arti ini adalah pada bendanya. Dalam ‘ariyah benda ada ditangan
sipeminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat
benda itu. Sedangkan benda dalam wakaf ada ditangan si pemilik yang
tidak menggunakan dan mengambil manfaat dari benda itu. Dengan
demikian benda wakaf itu tetap menjadi milik wakif sepenuhnya, hanya
manfaatnya saja yang disedekahkan.7
2. Imam Maliki
Pendapat memiliki perbedaan dari pendapat abu nifah yang dimana
menurut Imam Malik wakaf tidak harus dilembagakan secara abadi dalam
ari muabbad dan boleh saja mesti diwakafkan untuk tenggang waktu

tertentu yang disebut muaqqat. Namun demikian wakaf itu tidak boleh
ditarik ditengah perjalanan. Dengan lain perkataan si wakif tidak boleh
menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah
ditetapkan. Disinilah letak kepastian hukumnya dalam perwakafan
menurut Imam Malik, yaitu kepastian hukum yang mengikat berdasarkan
suatu ikrar.8 Maksud dari Imam Maliki wakaf disini dengan cari perjanjian
atau kontrak dengan menggunakan waktu yang telah disepakati dengan
perjanjian menggunakkan hukum.
3. Imam Syafi’i dan Hambali
Menurut Imam Syafi’i wakaf itu disamakan dengan shadaqah.
Pada dasarnya Syafi’i dan Hambali mempunyai pandangan yang sama
tentang wakaf, baik dalam kedudukannya yang lazim maupun sahnya
wakaf dengan ucapan maupun perbuatannya. Ada beberapa syarat
keabsahan wakaf: pertama benda yang diwakafkan itu dapat diperjual
belikan dan menunjukkan pemanfaatannya secara langsung tanpa
mengalami kerusakkan bendanya. Kedua wakaf mesti ditujukkan untuk
kebaikkan (al-birr), seperti untuk orang – orang miskin, tempat ibadah,
6 Wahbah Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam wa 'Adillatuhu,..h.7603
7 Ibid, h.7599
8 Juhaya S.Praja, Perwakafan di Indonesia, (Bandung: Yayasan Piara, 1993), h. 18


3

kepentingan umum, jembatan dan lain – lain. Ketiga, wakaf hendaknya
diserahkan kepada orang yang mempunyai hak untuk memiliki sesuatu
yang disebut al-tamalluk. Dengan demikian wakaf tidak sah jika
diberikkan kepada hamba sahaya. Keempat, wakaf mesti dilaksanakan
secara langsung tanpa digantungkan kepada suatu syarat tertentu.9
B. Sejarah Wakaf10
Untuk mengetahui asal muasalnya wakaf tersebut, bisa dipahami dari
sejarah mulanya adanya wakaf, yang dimulai dari masa Rasulullah. Untuk
lebih jelasnya sejarah wakaf, yaitu :
1. Masa Rasulullah
Awal mulanya wakaf terjadi pada zaman Rasulullah yang bisa dapat
dilihat dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW
karena wakaf disyariatkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah,
pada tahun kedua hijriyah. Di zaman Rasulullah terdapat dua pendapat
para ahli fuqaha’ mengenai siapa yang melaksanakan pertama kali Syariat
wakaf. Menurut beberapa pendapat ulama yang mengatakan bahwa yang
melaksanakan wakaf pertama kali adalah Rasulullah SAW, wakaf yang di

lakukan Rasulullah adalah tanah miliknya sendiri yang digunakan untuk
dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Sa'ad
bin Muad berkata : “Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari
Umar bin Sa'ad bin Muad berkata : “Kami bertanya tentang mulamula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf
Umar, sedangkan

orang-orang

Ansor

mengatakan

adalah

wakaf

Rasulullah SAW.
Tidak hanya itu Rasulullah juga pernah mewakafkan tujuh kebun
kurma di Madinah yang terjadi pada tahun ketiga hijriah, di antara kebun

kurma tersebut ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon
lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengat akan bahwa yang
9 Asnil Aidah Ritonga, Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2008), h.35-36
10 Dapertemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Ditbinperta Islam, 2007), h. 4-11

4

pertama kali melaksanakan Syariat wakaf adalah Umar bin Khathab.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. ia
berkata: “Bahwa sahabat Umar ra. meperoleh sebidang tanah di
Khaibar,

kemudian

Umar

ra.Menghadap

Rasulullah


SAW.

untuk

meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu,
maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW.
bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan
engkau

sadekahkan

(hasilnya).

“Kemudian

Umar mensadekahkan

(tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak

diwariskan.

Ibnu

Umar

berkata:

“Umar menyedekahkannya (hasil

pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba
sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang
mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya)

atau memberi

makan

orang


lain

dengan

tidak

bermaksud menumpuk harta.” (HR. Muslim)
Setelah

Umar

Bin

Khattab

melaksanakan

syariat

tentang

pewakafan, kemudian wakaf juga dilaksanakan oleh Abu Thalhah yang
mewakafkan

kebun

Bairaha miliknya yang merupakan kebun

kesayangannya, Selanjutnya pewakafan dilakukan oleh sahabat Nabi
SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di
Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke
Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib
mewakafkan tanahnya yang subur. Setelah itu dilanjutkan oleh Mu’adz bin
Jabal yang dimana ia mewakafkan rumahnya yang dikenal dengan “Dar
al- Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik,
Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan ‘Aisyah Istri Rasulullah
SAW.11

11 Ibid

5

2. Masa Dinasti-Dinasti Islam
Setelah

di

zaman

Rasulullah

pelaksanaan

wakaf

semakin

berkembang luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah,
semua orang telah berlomba-lomba untuk melaksanakan wakaf, wakaf
dimanfaatkan tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin , tetapi
juga wakaf menjadi

modal

untuk

membangun untuk kepentingan

bersama yaitu seperti pembangunan lembaga pendidikan, membangun
perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji

para

guru

dan

beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Pelaksanaan wakaf yang
dilakukan masyarakat ini

menjadi suatu keinginaan untuk

pelaksanaan dalam pengelolaan
membangun

solidaritas

wakaf

sosial

dan

sebagai
ekonomi

mengatur

suatu usaha untuk
masyarakat

untuk

kesejahteraan negara.
Pelaksanaan wakaf awalnya hanyalah untuk keinginan seseorang
yang dengan kekayaan yang dimilikinya untuk berbuat baik secara
individu untuk dapat mengelolanya dan dikelola secara individu tanpa
ada aturan yang pasti. Setelah masyarakat Islam dapat merasakan
banyak manfaatnya lembaga wakaf, maka mulailah timbul keinginan
untuk pelaksanaan pengaturan

perwakafan dengan baik dan kemudian

akan mulai dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola,
memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti
masjid atau secara individu atau keluarga.
Dalam pengembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah ada
hakim Mesir yang bernama Taubah bin Ghar al-Hadhramiy yang ada pada
masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Beliau begitu perhatian dan
telah tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga
wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan
hakim. Di Mesir inilah lembaga wakaf terjadi pertama kali untuk
pelaksanaan dalam administrasi bahkan ini terjadi di seluruh negara Islam.
Dan saat itu juga Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah.
Sejak

itulah pengelolaan

lembaga

6

wakaf

di

bawah

Departemen

Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada
yang berhak dan yang membutuhkan.12
Lembaga wakaf Shadr al-Wuquuf” yang ada pada masa dinasti
Abbasiyah
memilih

yang
staf

akan mengatur dan mengelola administrasi
pengelola

lembaga

dan

wakaf. Beitu juga dalam

perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf
berkembang searah dengan pengaturan administrasinya. Pada
dinasti

Ayyubiyah

menggembirakan,

di

di

Mesir

mana

perkembangan wakaf

hampir

semua tanah-tanah

masa
cukup

pertanian

menjadi harta wakaf dan semuanya dikelola oleh negara dan menjadi
milik negara (baitul mal).
Saat dalam pemerintahan Mesir Shalahuddin Al-Ayyuby, ia
bertujuan untuk mewakafkan

tanah-tanah

milik

negara yang akan

diserahkannya kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial yang
dimana telah
meskipun

dilakukan

secara

oleh

dinasti

Fathimiyyah sebelumnya,

hukum fiqih mewakafkan

harta

baitulmal ada

perbedaan pendapat para ulama. Untuk mewakafkan tanah milik negara
(baitul mal) orang harus mewakafkanya terlebih dahulu kepada yayasan
keagamaan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Syahid dengan
ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah
Ibnu ‘Ishrun dan didukung oleh para ulama lainnya bahwa mewakafkan
harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi
(dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Oleh karena itu harta
yang menjadi milik negera pada hukumnya tidak boleh diwakafkan
Shalahuddin al-Ayyuby banyak mewakafkan lahan milik negara untuk
kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah)
untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah alMalikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui
model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan

12 Ibid

7

madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’i dengan
cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mengembangkan para ulama dan kepentingan misi
mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178
M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk
berdagang

wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan

diwakafkan kepada para ahli

yurisprudensi

(fuqahaa’)

dan

para

keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk
kepentingan politiknya dan misi alirannya, ialah mazhab Sunni dan
mempertahankan kekuasaannya. Harta milik negara yang menjadi
pemasukkan untuk diwakafkan untuk pelaksanaan pengembangan mazhab
Sunni dan untuk menggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti
sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.13
Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan
beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya
boleh diwakafkan. Aka tetapi yang paling banyak diwakafkan pada saat
itu ialah tanah pertanian dan bangunan, bangunan yang di wakafkan
seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa
Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang diwa kafkan untuk
merawat lembaga-lembaga agama. Seperti mewakafkan budak untuk
memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh
penguasa dinasti Utsmani ketika menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya
yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.
Manfaat

wakaf

pada

masa

dinasti

Mamluk

digunakan

sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan
keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat
untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan
miskin. Yang sangat membawa
digunakkan untuk

sarana

syi’ar

Islam

adalah

wakaf

yang

di Haramain, ialah Mekkah dan Madinah,

seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan
oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu
13 Ibid

8

diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan
mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun
sekali.
Perkembangan selanjutnya telah banyak manfaat dari pelaksanaan
wakaf yang akhirnya menjadi sarana untuk membantu dalam roda
ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada
masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya
undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan

berkas

yang

terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk
dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M./658676 H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir
memilih hakim dari masing-masing

empat mazhab Sunni. dimasa al-

Dzahir Bibers perwakafan dibagi menjadi tiga : yang pertama ialah
pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada
orang-orang yang dianggap

berjasa, dan yang kedua wakaf untuk

membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan yang ketiga
kepentingan masyarakat umum.14
Sejak

abad

lima

belas,

kerajaan

Turki

Utsmani

dapat

memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai
sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih
oleh

dinasti

Utsmani

secara

otomatis mempermudah

untuk

menerapkan Syari’at Islam, di antaranya ialah peraturan tentang
perwakafan. Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada masa
dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf,
yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhirtahun 1280 Hijriyah.
Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi
wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan
melembagakan

wakaf

dalam

upaya

realisasi

wakaf

dari

sisi

administratif dan perundang-undangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani
14 Ibid

9

dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi
undang-undangtersebut di negera-negara Arab masih banyak tanah
yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang.
Pada masa perkembangan sejarahnya yang dimulai pada masa
Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai
sekarang , pelaksanaan wakaf masih d lakukan dari waktu ke waktu di
seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Kenyataan ini dapat
terlihat bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini
telah bisa diterima menjadi hukum adat bagi bangsa Indonesia sendiri.
Yang telah banyak diketahui dari kenyataan pula bahwa di Indonesia
terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak
bergerak.
Dapat kita amati bahwa di negara-negara muslim lainnya, wakaf
mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial
yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak. Dalam
perkembangan sejarah wakaf yang akan terus semakin berkembang
dengan perkembangan perubahan jaman dengan berbagai memberikan
inovasi dalam pembentukkan wakaf, seperti wakaf tunai, wakaf HAKI
dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf mendapat perhatian
yang cukup serius dengan (akan) dikeluarkannya Undang-undang
Wakaf sebagai upaya pengintegrasian terhadap beberapa peraturan
perundangundangan wakaf yang terpisah-pisah.15
C. Landasan Hukum Wakaf
Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah yang nilainya lebih dominan
pada

ibadah sosial. Hal ini berarti juga merupakan salah satu jenis dari

beberapa jenis ibadah serupa, seperti amal shaleh, sedekah, infak dan lainnya,
yang kesemuanya itu merupakan bentuk charity (charitable endowmens).16
Pada dasarnya Al-Qur’an tidak pernah menyebut secara jelas tentang wakaf.
Namun demikian ada beberapa ayat yang biasanya dijadikan landasan hukum
15 Ibid
16 A.Qodri Azizi, Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek
Berkembangnya Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004), h.122

10

wakaf oleh para ulama17. Diantaranya adalah dalam surah al-Hajj ayat 77,
Allah berfirman :





  

Artinya : “Berbuatlah kamu akan kebaikkan agar kamu mendapatkan
kemenangan.”
Dalam ayat lain yaitu surah Ali Imran ayat 92 Allah juga berfirman :

     
....  
Artinya : “ Kamu akan mencapai kebaikkan bila kamu menyedekahkan
apa yang kamu cintai.”
Sedangkan dalam hadis yang menunjukkan landasan wakaf, seperti
sabda nabi yang artinya :

‫إذا مات النسان انقطع عملها ال من ثلثة أشياء صدقة‬
(‫جارية او علم ينفع به أو ولد صالح يدعوله ) رواه مسلم‬
"Jika manusia mati maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga:
sedekah jariah (yang terus meneruskan), ilmu yang bermanfaat dan anak
sholeh yang mendoakan kepadanya”. (HR. Muslim).
Hadis yang lain yang juga sangat populer digunakan adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibn Umar : “Umar mempunyai
tanah di Khaibar, kemudian dia datang kepada Rasulullah aku memiliki
sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya,
bagaimana aku harus berbuat untuk itu?” Nabi Bersabda: Jika kamu
menginginkannya tahanlah itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut
tidak boleh dijual atau diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan. Umar
menshadaqahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat dan ibn sabil.”
Dari dalil - dalil diatas tersebut dapat kita pahami menurut para ahli
hadis dan ahli-ahli fiqh mengidentikkan wakaf sama dengan shadaqah jariyah
sebagimana yang telah disebutkan dalam ayat dan hadis diatas. Hal ini
dikarenakan shadaqah jariyah adalah amalan yang pahalanya terus mengalir
sehingga dipersamakan dengan amal wakaf. Yang dimana wakaf disini
17 Asnil Aidah Ritonga, Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah,),... h.33

11

mempunyai banyak manfaat untuk banyak orang. Adapun status hukum wakaf
itu dalam agama adalah tidak wajib tetapi mandub atau sunnah.
D. Macam – Macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu,
maka wakaf dapat dibagi beberapa macam, yaitu:
1. Wakaf Ahli
Wakaf Ahli adalah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang
tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf
seperti ini juga disebut wakaf Dzurri. Ketika ada seseorang yang ingin
mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya,
wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka
yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf
ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf 'alal aulad, yaitu
wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam
lingkungan

keluarga, lingkungan kerabat sendiri.18 Wakaf jenis ini

berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah
kepada kaum kerabatnya. Di ujung Hadits tersebut dinyatakan sebagai
berikut :“Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya
berpendapat

sebaiknya

kamu

memberikannya

kepada

keluarga

terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan
anak-anak pamannya”.
Dibeberapa

Negara

Timur

Tengah

wakaf

semacam

ini

menimbulkan banyak masalah terutama jika wakaf tersebut berupa tanah
pertanian sering kali terjadi penyalahgunaan seperti : (a) menjadikan
wakaf keluarga ini sebagai alat untuk menghidari pembagian harta
kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif
meninggal dunia. (b) wakaf keluarga ini dijadikan alat untuk mengelak
dari tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang,
sebelum ia mewakafkan tanahnya itu. Karena banyaknya masalah yang
18 Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, (Lebanon : Dar al-'Arabi), 1971), h. 378

12

ditimbulkan karena wakaf ini ada beberapa Negara wakaf keluarga ini
dihapuskan seperti di Mesir tahun 1952 wakaf ini dihapuskan karena
praktek-praktek penyimpangan yang tidak sesuai ajaran Islam. Selain itu
di Indonesia harta pusaka suku Minangkabau memiliki ciri-ciri seperti
wakaf keluarga, harta pusaka tersebut dipertahankan tidak dibagi-bagi atau
diwariskan kepada keturunan secara individual, karena diperuntukkan bagi
kepentingan keluarga”.19 Jadi wakaf ahli merupakan pemberikan wakaf
untuk ahli waris si pewakif yang dipercayai untuk mengelola wakaf yang
akan diberikannya.
2. Wakaf Khairi
Selain wakaf ahli, ada juga wakaf khairi yaitu wakaf yang secara
tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan
(kebajikan umum).20 Wakaf Khairi ini bukan untuk kepentingan keluarga
melainkan untuk kepentingan atau kemaslahatan umum, yang sifatnya
sebagai lembaga kaegamaan dan lembaga sosial dalam bentuk masjid,
madrasah, pesantren, rumah sakit, dll. Karena bersifat umumlah wakaf
ini yang paling sesuuai dengan ajaran Islam dan sangat dianjurkan karena
bagi yang menjalankannya akan memperoleh pahala yang terus
mengalir.21 Jadi wakaf khairi merupakkan wakaf untuk kepentingan sosial
dalam keagamaan yang dapat dimanfaatkan untuk banyak orang.
E. Rukun Dan Syarat Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.
Rukun wakaf ada empat, yaitu :22
1. Wakif (orang yang mewakafkan harta);
Syarat wakif (orang yang mewakafkan) adalah cakap hukum, yakni
dewasa, sehat akal pikiran (baligh berakal), merdeka, dan cerdas. Oleh
karena itu tidak sah melakukan wakaf bagi anak – anak, orang gila, dan

19 Ali, M. D, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf.( Jakarta: UI-Press, 1988), h. 90
20 Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah,...h.378
21 Ali, M. D, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,...h.90-91
22 Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah,t.t), h. 377 lihat juga di
Rozalinda, Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), h. 314-318

13

orang yang berada dibawah pengampunan. Disamping itu, disyaratkan
wakif merupakan pemilik sah dari harta yang diwakafkan.
2. Mauquf (barang atau harta yang diwakafkan);
Para ulama menentukan persyaratan benda yang diwakafkan yakni
benda yang diwakafkan haruslah benda yang boleh dimanfaatkan
menurut syariat (mal mutaqawwim), jelas diketahui bendanya, dan
merupakan milik sempurna wakif. Jadi benda wakaf harus tampak
bendanya.
3. Mauquf 'Alaih (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf);
Syarat menjadi Mauquf ‘Alaih adalah untuk kebaikkan, taqarub ila
Allah atau untuk keluarga. Wakif dalam mewakafkan hartanya harus
menentukkan tujuan wakaf baik untuk kepentingan khusus seperti
menolong keluarganya sendiri, fakir miskin, sabilillah, dan ibn sabil,
ataupun untuk kepentingan umum, seperti untuk ibadah, pendidikan dan
sosial lainnya.
4. Shighat Wakaf (Ikrar Wakaf/Perjanjian Wakaf)
Ikrar wakaf merupakan persyaratan dari wakif untuk mewakafkan
tanah benda miliknya. Syarat – syarat shighat wakaf adalah:
a. Shighat wakaf harus bersifat ta’bid (untuk selama – lamanya).
b. Shighat bersifat tanjiz. Artinya wakaf tidak diiringi dengan syarat
tertentu atau masa yang akan datang.
c. Iltizam, wakaf itu menurut jumhur ulama bersifat mengikat. Wakif
tidak dapat menarik kembali benda yang diwakafkannya.
d. Shight tidak diiringi dengan syarat yang batal, syarat yang
bertentangan dengan tabiat wakaf.
e. Menyebutkan mauquf alaih secara jelas dalam shighat wakaf.
Maksudnya memberi tahu benda yang akan diwakafkan dalam
pelaksanaan ikrar wakaf.
f. Shighat dinyatakan dengan lafal sharih (jelas).
Unsur-unsur wakaf pada benda yang akan diwakafkan harus
memenuhi syaratnya masing-masing, sebagaimana pada wakaf tanah.
Sedangkan yang menjadi syarat umum sahnya wakaf uang adalah sebagai

14

berikut (a) Wakaf harus kekal (abadi) dan terus menerus. (b) wakaf harus
dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan pada terjadinya suatu
peristiwa di masa yang akan datang. Karena persyaratan wakaf berakibat
pada lepasnya hak milik seketika setelah wakif menyatakan berwakaf. (c)
tujuan wakaf harus jelas, maksudnya adalah hendaknya wakaf itu
disebutkan dengan terang dan jelas kepada siapa harta tersebut
diwakafkan. (d) wakaf merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa
syarat boleh khiyar. Ini artinya tidak boleh membatalkan atau
melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan, sebab pernyataan wakaf
telah berlaku tunai untuk selamanya.23
F. Nadzir (Orang Yang di Beri Amanat Untuk Memelihara Wakaf)
Setelah adanya wakif, wakif sangat memerlukan yang namanya Nadzir
yaitu seseorang atau badan yang memegang amanat untuk memelihra dan
mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya.
Jika Nadzir itu adalah perorangan, para ahli menentukan beberapa syarat yaitu
: (1) telah dewasa, (2) berakal sehat, (3) dapat dipercaya, (4) mampu
menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan harta wakaf. Selain
syarat ada juga hak–hak yang harus diterima seorang wakaf yaitu : (1)nadzir
wakaf berhak melakukan hal yang mendatangkan kebaikan bagi wakaf yang
bersangkutan, namun tidak berhak menggadaikan harta wakaf dan
menjadikannya sebagai jaminan hutang.(2) nadzir wakaf berhak mendapatkan
upah atas jerih payahnya mengurus harta wakaf, selama melaksanakan
tugasnya dengan baik. Besarnya upah ditentukan oleh wakif biasanya
sepersepuluh atau seperdelapan dari hasil tanah atau harta yang diwakafkan.
Yang berhak menetukan nadzir wakaf adalah wakif.24 Jadi nadzir disini adalah
orang yang dipercayai oleh si wakif untuk memegang amanah yang akan dia
berikan.
Nadzir hendaknya orang mempunyai sumber daya yang berkualitas, sebab
dengan sumber daya manusia yang berkualitas yang baik merupakan potensi,
setidaknya memiliki dua hal potensi utama, yaitu (1) gagasan-gasagan, kreasi
23 Nina Indah Febriana,AHKAM Jurnal Hukum Islam - Pengelolaan Wakaf Tunai dan
Peran Lembaga Keuangan Syariah, (Tulungagung: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).
2013), h. 150
24 Ali, M. D, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,...h.92

15

dan konsepsi, (2) kemampuan dan keterampilan mewujudkan gagasangagasan tersebut dengan cara yang produktif.
Ada 3 dimensi yang harus diperhatikan dalam usaha menentukan nadzir
wakaf agar lebih berkualitas sehingga wakaf yang menjadi tanggung jawabnya
terkelola dengan baik dan produktif. Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1.

Dimensi Kepribadian, nadzir wakaf haruslah memiliki

kepribadian

muslim yang beriman dan beranmal soleh, berkemampuan untuk
mengembangkan dan menjaga integritas, sikap dan tingkah laku, etika dan
moralitas sesuai dengan pandangan masyarakat umum, lebih konkrit lagi
2.

menjadi nazir hendaknya ikhlas karena ibadah karean Allah.
Dimensi produktifitas, menyangkut apa yang dihasilkan oleh manusia
(nazir) wakaf dalam hal jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih

3.

baik.
Dimensi kreatifitas, dimensi ini melihat kekampuan seseorang untuk
berfikir dan berbuat kreatif, menciptakan sesuatu yang berguna bagi diri
dan masyarakat.
Dalam menentukan nadzir yang produktif dan berkualitas sumber daya

manusia yang baik perlu diperhatikan ciri-ciri individunya, seperti (1) berhasrat
ingin mengetahui dan mengembangkan pengetahuan, (2) bersikap terbuka
terhadap pengalaman baru, (3) cerdik, (4) berkeinginan untuk menemukan dan
memeliti, (5) cenderung lebih suka melakukan tugas yang berat dan sulit, (6)
berpikir flesibel dan mempunyai banyak alternatif, (7) bergairah, aktif dan
berdedikasi tinggi dalam melakukan tugasnya, (8) ikhlas menjalankan tugas.
Untuk lebih utamanya, seorang nadzir wakaf selain memiliki kualitas
individu juga memiliki kualitas lain seperti (1) kualitas priritual (habiminAllah)
beribadah dengan baik, (2) kualitas bermasyarakat dan berbangsa, menyangkut
keserasian hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan
lingkungan sosial (habiminannas), (3) kualitas kesadaran lingkungan hidup dan
keadaran membentuk hubungan yang serasi serta saling mendukung antara
manusia dan sesamanya, juga manusia dan lingkungan sekitar.
Usaha peningkatan kualitas diri dapat dilakukan melalui pendidikan,
latihan dan lain-lain. Sementara peningkatan kualitas non fisik nazir menjadi
lebih terbuka dan pending dilakukan untuk membuka peluang bagi para nazir

16

dalam berkarya dan berkreasi lebih banyak sehingga kerja mereka akan lebih
bermutu dan berkualitas.25
G. Wakaf Sebagai Pendukung Finansial Pendidikan Islam Klasik
Pada masa klasik wakaf memiliki hubungan yang erat terhadap sistem
pendidikan Islam. Adanya lembaga wakaf ini membantu dalam pengelolaan
dana keuangan bagi kegiatan pendidikan Islam sehingga pendidikan Islam
dapat berlangsung dengan baik dan lancar.26 Dalam bukunya Ahmad Syalabi ia
mengatakan

bahwa khalifah al-Ma’mun adalah orang pertama kali

mengemukakan

pendapat

tentang

pembentukan

bandan

wakaf.

Dia

berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan tidak tergantung kepada subsidi
negara dan kedermawanan penguasa-penguasa, tetapi juga membutuhkan
kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menanggung biaya pelaksanaan
pendidikan.27
Pada masa klasik dapat dilihat dalam sejarah yang ada tentang peranan
wakaf, hal ini terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa wakaf dalam
mendukung

pelaksanaan

pendidikan

dalam

Islam

dari

beberapa

perkembangan bangunan madrasah (jamiah) yang telah didirikan dan
dipertahankan dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya atau penguasa
politik muslim.28Setiap sekolah mempunyai penghasilan sendiri yaitu berasal
dari harta wakaf yang diperuntukan untuk membiayai mahasiswa maupun
gurunya. Wakaf yang telah banyak membantu dalam pembangunan sekolah
dibeberapa sekolah yang telah dibiayai oleh dana wakaf memperhatikan
pengajaran agama Islam, fiqh menurut mazhab yang empat, bahasa,
pengetahuan umum sambil memperkuat mazhab ahli sunah dan menentang
ahli syiah. Bangunan yang telah dibiayai wakaf yaitu seperti sekolah-sekolah
tinggi yang sangat penting yaitu diantaranya:
1. Madrasah Nizamiyah di Baghdad,
25 Hafsah. MIQOT - Wakaf Jurnal Ilmu – Ilmu Keislaman- Produktif Dalam Hukum
Islam Indonesia, (Medan: IAIN Press. 2013), h. 92-94
26 Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999), h.90
27 Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Mukhtar Yahya dan sanusi latif,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 374
28 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru,
(Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 10

17

2. Madrasah al Muntasiriyah di Baghdad,
3. Madrasah an Nasiriyyah di Kairo, dan
4. Madrasah Annuriah di Damaskus.29
Menurut Hasan Asari madrasah Nizamiyah mempunyai dukungan
finansial yang sangat baik. Nidham al-Mulk mengalokasikan sejumlah besar
aset yang diwakafkan untuk kepentingan madrasah. Disamping itu wakaf
yang diberikan adalah aseet produktif yang dapat menjamin kelangsungan
pembiayaan madrasah.30 Banyaknya biaya yang telah dikeluarkan untuk
membantu kepentingan operasi sekolah yang dikeluarkan oleh Nidham alMulk dalam satu tahun saja mencapai 600.000 dinar. Sedangkan uang masuk
yang dapat dihasilkan oleh wakaf-wakaf yang diperuntukan bagi sekolah
Nidham al-Mulk sebesar 15.000 dinar setiap tahun. Dari hasil dana wakaf
yang dihasilkan ini telah cukup untuk memenuhi apa saja kebutuhan untuk
para guru dan pelajar, termasuk biaya makan, pakaian, alat-alat tidur dan
kendaraan mereka serta kebutuhan lainnya.31
Madrasah Annuriah juga mendapatkan bantuan berupa wakaf dari
Nuruddin orang-orang Magribi yang terdapat di Mesjid Jamik diantara yang
diwakafkan itu adalah dua buah gilingan gandum, tujuh bidang kebun,
sebidang tanah putih, sebuah tempat mandi, dan dua buah tokoh, di Attharin.32
Al-Magrizy menambahkan bahwa Salahuddin saat membangun
sekolah Nasiriyyah juga telah memberikan wakafnya berupa bentuk tempat
mandi yang terdapat disampingnya, dan dibelakangnya ada beberapa buah
toko dan serta sebuah pulau yang bernama “Pulau Gajah “ yang terletak di
sungai Nil diluar kota Kairo.33
H. Wakaf Dan Kebebasan Akademik
Lembaga Wakaf yang banyak dikenal dan dilindungi oleh Syari’ah
untuk kepentingan ummat. Pemberian dana wakaf

kepada setiap madrasah

29 M .Athiyah Al Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintangm, 1970), h. 80
30 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Citapustaka Media,
2007), h.93
31 Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam,..h 376
32 Ibid ,h. 377
33Ibid, h.179

18

yang membuatnya maju dimasa lalu dan dengan demikian hal itu membuat
para guru dan murid sanggup menuntut ilmu pengetahuan demi Allah Ta’ala
semata-mata. Karena institusi wakaf ini yang akan memberikan kepada
madrasah presonalitas legal yang pertama sekali dalam sejarah. Dalam hal ini
madrasah yang telah berlandaskan wakaf yang akan ditiru oleh universitasuniversitas yang paling awal di Barat ketika universitas-universitas itu berdiri
delapan abat yang lalu.34
Kebebasan akademik pada pendidikan Islam telah diterapkan dengan
adanya dukungan finansial dari wakaf tersebut. Pelaksanaan wakaf disini yang
merupakan ibadah yang hukumnya sunah dengan tujuan mendekatkan diri
kepada Allah swt. serta untuk memperoleh pahala yang selalu mengalir terus
menerus selama harta wakaf yang telah diberikan masih dimanfaatkan,
walaupun orang yang mewakafkan telah tiada. Secara praktis pewakaf telah
berhenti dalam memegang kepemilikan hartanya, sehingga pewakaf tidak bisa
lagi mengubah dalam segala kebijakan terhadap harta wakaf yang telah
diserahkan kepada wakif. Harta wakaf yang telah diberikan seluruhnya akan
menjadi milik ummat Islam dan akan dipergunakan dengan seutuhnya untuk
kemaslahatan ummat. Perguruan tinggi yang awalnya telah menyatu dengan
surau kini setelah berubah menjadi lembaga sebagai wakaf terbebas dari
kontrol pendirinya atau yang mewakafkan.35
Menurut hukum Islam ada larangan dalam pemanfaatan yayasanyayasan wakaf untuk keuntungan suatu kelompok profesi (atau aliran
pemikiran). Yayasan-yayasan ini, ketika dilembagakan, masih mungkin
dibisniskan asalkan keuntungannya diperuntukkan bagi orang-orang miskin.
Meskipun dibolehkan, hal semacam itu jarang dipraktikkan. Dikarenakan hal
itu kini wakaf yang telah berbentuk bangunan seperti masjid, madrasah, rumah
sakit, atau lembaga publik lainnya dapat dimanfaatkan untuk keuntungan para
profesional yang terlibat di dalamnya, bukan untuk kepentingan suatu
mazhab.36
34 Isma’il Raji al-Faruqi , Islamization of Knowledge, terj.Anas Mahyuddin, Islamisasi
Pengetahuan, (Bandung: Penerbit Pustaka 1982), h. 23-24
35 George A 0-p[Magdisi,The Rise of Humanisme in Classical Islam and The Cristian
West, terj. A Samsu Rizal Dan Nurhidayah, Cita Humanisme Islam (Jakarta:Penerbit Ikrar Mandiri
Abadi,1990), h 58
36 Ibid, h. 55

19

Dengan adanya harta wakaf yang sangat potensial mendukung
kebebasan akademik, sehingga terhindar dari kepentingan

penguasa,

golongan mazhab, ataupun para pemberi wakaf, karena memberikan wakaf
semata mengharapkan pahala serta mendekatkan diri kepada Allah swt.
Walaupun demikian itu tidak bisa dipungkiri dalam sebahagian pewakaf ada
juga tidak mengharapkan pahala saja namun ada keinginan untuk kepentingan
dunia atau suatu kepentingan pribadi atau dalam kepentingan golongan.
I. Prosfek Wakaf Dalam Pendidikan Islam Moderen
Selain pendidikan Islam klasik dana wakaf juga memiliki peran yang
sangat besar dalam menunjang pelaksanaan pendidikan. Pemasukkan dana
wakaf dari ummat Islam jadi mendapatkan kemudahan dalam menuntut ilmu
di karena wakaf pendidikan Islam tidak terlalu banyak menuntut biaya bagi
pelajar-pelajar sehingga bagi mereka akan mendapatkankan kesempatan yang
sama baik miskin atau kaya, bahkan untuk mereka yang khususnya miskin,
akan mendapatkan fasilitas-fasilitas yang luar biasa dan tidak putusputusnya.37
Untuk masa depan pendidikan Islam secara disadari atau tidak, sangat
bergantung pada kekuatan ekonomi karena tidak dapat disangkal bahwa
aktifitas pendidikan tidak lepas dari dukungan dana yang memadai untuk
melakukan pengkajian terhadap ilmu pengetahuan.
Karena dengan lembaga wakaf yang telah terbukti ini ampuh sebagai
pendukung dan penopang perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam di
zaman klasik, bagaimanapun berperan di masa modern. Indonesia misalnya
berpenduduk

mayoritas

beragama

Islam

berpeluang

besar

terhadap

pengumpulan dana-dana zakat, infaq maupun wakaf untuk peningkatan
kualitas pendidikan.38 Hal ini dapat terwujud bila kita mampu mengkondisikan
lembaga-lembaga ini serta mendorong masyarakat khususnya dermawan dan
orang kaya untuk mengeluarkan harta bukan hanya untuk sarana ibadah tapi
juga untuk dana pendidikan. Persoalan yang timbul manakala kredibilitas
pengurus lembaga itu sendiri. Masyarakat yang tidak ingin untuk
37 Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), h.91
38 Didin Hafiduddin, Islam Aplikatif, (Jakarta:Gema Insani Press,2003), h. 90.

20

mengeluarkan zakat dan wakafnya karena khawatir tentang pengelolaannya
yang kurang transparan dan kurang profesional.
Tidak hanya itu ada persoalan lain, yang masyarakat pahami bahwa
wakaf hanya sebatas pemberian harta untuk kepentingan-kepentingan
peribadatan dan fasilitas-fasilitas sosial saja. Oleh sebab itu mereka hanya
puas dan merasa lebih berpahala jika memberikan wakaf untuk kepentingan
mesjid dan pembangunannya, tidak untuk sekolah dan institusi pendidikan.
Dengan demikian yang harus dilakukan adalah bagaimana mengubah
persepsi

masyarakat

tentang

fungsi

wakaf

itu

sendiri

dan

mensosialisasikannya kepada masyarakat tentang pentingnya wakaf sebagai
sarana pendukung pendidikan Islam. Karena wakaf mempunyai kegunaan
yang positif, apabila dikelola dengan baik untuk peningkatan kualitas dan
kemajuan pendidikan Islam di masa depan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan dalam beberapa hal, yaitu:

21

1. wakaf adalah suatu tindakan menyerahkan aset dan menahan diri
memanfaatkannya, untuk dapat dikelola dengan menahan pokoknya, dan
hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagai wujud dari
kepatuhan terhadap agama pada jalan yang diridhai Allah Swt.
2. Sejarah wakaf dimulai dari masa rasulullah yang dimana rasulullah
sendiri yang mewakafkan tanah miliknya untuk membangun mesjid dan
beberapa kebun yang ia miliki.
3. Hukum wakaf berlandasan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang dimana
hukum wakaf senidri tidaklah wajib melainkan sunnah.
4. Ada dua macam wakaf yaitu wakaf ahli yang merupakan wakaf yang
diberikan untuk ahli waris keluarga dan wakaf khairi yaitu yang diberikan
untuk kepentingan umum.
5. Ada empat rukun wakaf, yaitu wakif, mauquf, mauquf ‘alaih,dan shighat
wakaf.
6. Nadzir adalah orang yang diberi amanat untuk memeilhara wakaf
7. Wakaf sebagai pendukung finansial pendidikan klasik untuk mengelola
dana wakaf untuk pembangunan madrasah.
8. Wakaf dan kebebasan akademik bukan hanya untuk pembangunan
madrasah melainkan juga untuk kesejahteraan guru dan murid
9. Prosfek wakaf dalam pendidikan modren ini tidak hanya untuk bangunan
madrasah melainkan untuk bangunan – bangunan yang membantu
pendidikan Islam dimasa depan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Mukhtar Yahya dan sanusi latif,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Ali, M. D, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, 1988
22

Asnil Aidah Ritonga, Pendidikan Islam dalam Buaian Arus Sejarah, Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2008
A.Qodri Azizi, Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek
Berkembangnya Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium
Baru, Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 1999
Dapertemen Agama RI, Fiqih Wakaf, Jakarta: Ditbinperta Islam, 2007
Dapertemen Agama RI, Ilmu Fiqh, Jakarta: Ditbinperta Islam, 1999
Didin Hafiduddin, Islam Aplikatif, Jakarta:Gema Insani Press,2003
George A Magdisi,The Rise of Humanisme in Classical Islam and The Cristian
West, terj. A Samsu Rizal Dan Nurhidayah, Cita Humanisme Islam Jakarta:
Penerbit Ikrar Mandiri Abadi, 1990
Hafsah. MIQOT - Wakaf Jurnal Ilmu – Ilmu Keislaman- Produktif Dalam Hukum
Islam Indonsia, Medan: IAIN Press. 2013
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Citapustaka Media,
2007
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999
Juhaya S.Praja, Perwakafan di Indonesia, Bandung: Yayasan Piara, 1993
M. Al-Syarbini al-Khatib, Al-Iqna fi Al-Hall Al-Alfadz Abi Syuza’, Indonesia: Dar
al-Ihya al-Kutub, tt
M.A Manan, Sertifikat Wakaf Tunai, Jakarta: CiBER Bekerja Sama Dengan
PKTII-UI, 2005
Muhammad al-Khathib, al-Iqna', Bairut: Darul Ma'rifah,1995
M .Athiyah Al Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintangm, 1970
Nawawi, Ar-Raudhah, Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah,t.t
Nina Indah Febriana, AHKAM Jurnal Hukum Islam - Pengelolaan Wakaf Tunai
dan Peran Lembaga Keuangan Syariah, (Tulungagung: Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN). 2013
Rozalinda, Fiqih Ekonomi Syariah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016
Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Lebanon : Dar al-'Arabi, 1971
Wahbah Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam wa 'Adillatuhu, Beirut: : Dar al-Fikr,1997

23

24