Televisi sebagai Ruang Publik dalam Poli

Televisi sebagai Ruang Publik dalam
Politik Demokrasi di Indonesia: Mungkinkah?

Salvatore Simarmata
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

“At the heart of democracy is talk,” demikian Barber (1990: 174).
Demokrasi pada hakekatnya adalah perbincangan politik yang
didasarkan pada dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Bukan
sekadar kesepakatan tanpa dasar, tetapi kesepakatan yang berlandaskan
kepentingan bersama. Bagi para pengagas demokrasi deliberatif yang
melihat partisipasi warga negara sebagai tulang punggung demokrasi,
political talk merupakan sebuah keharusan (Barber, 1990; Bohman, 1996),
agar tercapai kesepahaman (consensus) terkait model dan cara apa yang
terbaik dalam mewujudkan kepentingan bersama (Habermas, 1974).
Dalam demokrasi langsung pada zaman Yunani kuno, proses deliberasi
diperankan langsung oleh tiap-tiap warga Athena di polis tanpa perlu
mewakilkannya pada lembaga tertentu. Proses tersebut sangat berbeda
dalam demokrasi modern. Pada demokrasi sekarang, proses kesepakatan
politik bukan hanya diwakilkan, tetapi terjadi secara termediasi. Media
massa, khususnya televisi adalah yang utama dalam memerankan proses

mediasi tersebut. Televisi bahkan tampil sebagai aktor politik baru dalam
demokrasi liberal dewasa ini.
Masalah kemudian muncul ketika media pada hakekatnya tidak
dibentuk atas dan untuk mencapai kesepakatan bersama. Media terlebih
televisi pada dasarnya didirikan untuk kepentingan privat individu, yaitu:
mengejar profit. Televisi dengan sistem dual market-nya (McQuail, 2000),
berusaha untuk melipatgandakan kapital pemiliknya. Selain menjual
produk media dalam bentuk materi maupun jasa, televisi bertujuan untuk
menjual para penontonnya. Pembelinya adalah agen iklan dan perusahan
tertentu yang membutuhkan publikasi. Angka-angka hasil surve rating
menjadi ukuran bagi kesuksesan ‘pasar ganda’ televisi ini.
Di sisi lain, televisi seperti juga radio berbeda secara struktural dengan
media lain. Televisi beroperasi dengan menggunakan frekuensi gelombang
125

Quo Vadis Televisi?

radio yang merupakan sumber daya yang terbatas, sehingga
penggunaannya perlu diatur. Berbeda dengan televisi, surat kabar dan
majalah seperti sekarang ini di Indonesia, tidak perlu diatur secara ketat

sebab siapa saja yang punya modal bisa mendirikan media tersebut.
Artinya, televisi menjadi lebih rawan terhadap represi kekuasaan lewat
intervensi kekuasaan baik dalam bentuk undang-undang, pencabutan izin,
maupun tindakan kekesaran, khususnya pada rezim otoritarian.
Tetapi, rezim otoritarian di Indonesia sudah lengser. Lalu, apakah
media televisi telah memberi kontribusi yang substantif bagi konsolidasi
demokrasi? Apakah dengan tumbangnya rezim otoritarian, media televisi
bisa menjadi ruang publik di Indonesia? Dengan sistem demokrasi
perwakilan, mungkinkah secara struktural televisi menfasilitasi demokrasi
deliberatif di era pemilihan langsung sekarang ini?
Menelisik peran televisi dalam konteks dinamika politik Indonesia
merupakan bagian dari upaya konsolidasi demokrasi itu sendiri. Sebab,
pertama, demokrasi tidak mungkin hidup tanpa media yang demokratis,
otonom, dan plural. Kedua, munculnya gejala industrialisasi politik
(Kompas, 15/06/2010). Dewasa ini politik bukan lagi persoalan politik
semata. Politik telah menjadi sebuah korporat yang ditandai dengan
munculnya kecenderungan industrialisasi politik. Proses pemilihan politik
(nasional dan lokal) telah sepenuhnya melibatkan banyak pihak dan
kepentingan, seperti konsultan politik, lembaga survei, dan sponsor, di
mana citra menjadi yang utama daripada program dan ideologi kandidat.

Sejak pemilu langsung tahun 2004, serangan imaji-imaji iklan lebih
mendominasi layar kaca ketimbang diskusi hangat tentang rencana
strategi implementasi agenda politik yang feasible. Gejala ini menempatkan televisi sebagai alat politik sempurna untuk membangun citra, dan
hubungan simbiosis mutualistik antara keduanya pun terbentuk.
Ketika citra menjadi tumpuan, rasionalitas menjadi tidak penting.
Banalitas politik demokrasi tergerus oleh permainan citra-citra yang
membentuk realitas palsu, sebuah simulakra, kata Jean Baudrillard (1992).
Sebagai alasan ketiga, sebaliknya pada saat yang sama masyarakat
membutuhkan informasi yang beragam dan relevan dengan kehidupan
dan kepentingan sehari-hari mereka. Informasi diperlukan oleh
masyarakat untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan
sehingga mereka dapat mengambil sikap politik yang pada akhirnya
menguatkan sistem demokrasi yang substantif, bukan sekedar demokrasi
prosedural-makanistis. Alasan terakhir, mencuatnya kecenderungan elit
126

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

partai sebagai pemilik televisi tertentu, sebuah paralelisme politik yang
bisa berbahaya bagi demokrasi.

Sesungguhnya, bukan hanya rakyat biasa, para elit politik juga sangat
tergantung pada informasi yang disediakan oleh media lewat
pemberitaanya. Hanya dengan informasi yang cukup, deliberasi politik
baik oleh para politisi, pengamat, akademisi, dan rakyat biasa dapat
terwujud secara berkualitas. Sejalan dengan itu, televisi sebenarnya
menggunakan fasilitas publik, yaitu gelombang frekuensi yang dikelola
oleh negara. Maka bentuk pertanggung-jawaban publik tersebut
hendaknya dapat diwujudkan lewat pelayanan televisi dalam
menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk
membangun komunitasnya, memperbaiki kehidupannya, serta terdorong
untuk membela nilai-nilai demokrasi demi kemajuan bangsanya.
Media dan Demokrasi
Posisi media dalam demokrasi telah lama dikaji dalam konteks
komunikasi politik, khususnya yang berkaitan dengan media effect (a.l.
Lasswell, et al., 1980; McNair, 2003, Crigler, 1999). Di sisi lain teori-teori
klasik telah dikembangkan untuk melihat bagaimana media menjadi
variabel dependen atas sistem politik, khususnya di negara-negara otoriter
(Siebert, et. al., 1963; Hachten, 1989; McQuil, 2000). Dalam negara otoriter
misalnya, media ditempatkan sangat lemah dan menjadi bagian dari alat
propaganda negara. Tidak ada tanda-tanda perbincangan politik secara

terbuka di sana.
Dari kedua tinjauan tersebut dapat ditarik benang merah hubungan
antara media dan demokrasi merupakan sebuah hubungan timbal-balik.
Resiprokalitas hubungan tersebut dikembangkan oleh Mughan dan
Gunther (2000) untuk mengkaji media dalam demokrasi lewat pendekatan
mikro dan makro. Setelah melihat kajian yang sudah disebutkan
sebelumnya, pendekatan ini bukanlah sesuatu yang baru, tetapi integratif.
Sebuah pendekatan integratif tentu akan mampu membaca fenomena
secara mendalam dan komprehensif. Di samping itu, diperlukan konsepkonsep kekinian untuk mengambarkan dinamika terbaru atas hubungan
media dan politik dalam konteks demokrasi liberal dewasa ini.
Pendekatan makro diterapkan dengan mengkaji struktur sistem media
dan bagaimana sistem tersebut memengaruhi politik. Pada umumnya,
karakter sistemik yang dibahas adalah pola peraturan pemerintah, pola
kepemilikan media, pola program acara, struktur audiens, dan tingkat
127

Quo Vadis Televisi?

penonton (viewership). Sementara pendekatan mikro lebih fokus pada
investigasi efek komunikasi politik pada level individual, biasanya pada

musim kampanye menjelang pemilu (Mughan dan Gunther, 2000). Tetapi
dalam level makro, Gunther dan Mughan (2000) juga melihat munculnya
faktor ekonomi yang mempengaruhi posisi media dalam demokrasi
dalam bentuk liberalisasi ekonomi dan liberalisasi media.
Pendekatan filosofis dalam mengembangkan teori pers oleh Siebert,
et al. (1963), teoritisasi dinamis dari Hachten (1989), dan kategorisasi
model dari Hallin dan Mancini (2005) merupakan kajian level makro.
Berikut digambarkan pemodelan teoritis tersebut:
Tabel 1: Faktor Pengaruh Level Makro pada Media1
(Diolah dari: Sibert et al, 1963; Hallin & Mancini, 2005; dan Hachten, 1989)
No
1
2

3

Tokoh

Faktor Makro


Siebert, et al.
(1963)
Hachten
(1989)

Social and political structures
Philosophical rationales
Political system and
historical traditions

Hallin & Mancini
(2005)

Media sirculation
Political parallelism
Professionalism
State intervention

Model Sistem Media
Demokratis

Non-Demokratis
Libertarian
Authoritarian
Social responsibility
Soviet communist
Western concept
Authoritarian
Communist
Developmental
Revolutionary
Polarized pluralist
Democratic corporatist
Liberal model

Persamaan di antara model di atas adalah: politik merupakan variabel
pengaruh bagi keberadaan media. Konsep Hachten (1989) tidak jauh
berbeda dengan pemikiran klasik dari Siebert et al. (1963). Kebaruan
pada Hachten adalah munculnya model baru yang dipengaruhi oleh
pemanfaatan media sesuai dinamika masyarakatnya, seperti model
pembangunan. Pada kesempatan kali ini, kita akan menfokuskan

pembahasan pada model tipe demokratis. Tujuan dari internalisasi model
ini adalah untuk melihat faktor-faktor makro yang masih relevan dalam
melihat bagaimana media di Indonesia berperan/tidak berperan bagi
pengembangan demokrasi sebagaimana mestinya. Dari model-model di
atas, pemikiran Hallin dan Mancini (2005) akan dijadikan sebagai dasar
teoritis.
128

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

Hallin dan Mancini (2005) mengusulkan tiga model media dalam
demokrasi dengan berpijak pada empat indikator empiris, yaitu: (1)
Pertumbuhan pasar media dilihat dari tingkat sirkulasi media; (2) Political
Parallelism dimana antara media dan partai politik memiliki kemiripan.
secara ideologis; (3) Profesionalisme wartawan dan kinerja jurnalistiknya;
dan (4) Tingkat intervensi negara terhadap media. Berdasarkan empat
kriteria tersebut, Hallin dan Mancini menemukan tiga bentuk model
media, seperti terlihat pada tabel di atas.
Jika kita korelasikan antara keempat indikator ini dengan sistem media
ideal, maka akan terbentuk empat hipotesis berikut: pertama, semakin

tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, maka makin independenlah
media tersebut terhadap pengaruh dari luar khususnya negara. Media
yang sukses secara ekonomi akan lebih bebas dari intervensi politik,
ketimbang media yang kurang sehat secara bisnis. Media yang independen
adalah pilar penting bagi demokrasi. Kedua, keragaman ideologi politik
di masyarakat akan lebih baik jika juga terrepresentasi dalam media.
Walaupun indikator ini mengandung paradoks tersendiri yang nanti akan
dijelaskan. Dalam konteks ini, sejauh keragaman tersebut masih dalam
batas nilai-nilai demokrasi dan koridor hukum. Ketiga, semakin tinggi
profesionalisme wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut.
Profesionalisme ini biasanya ditandai oleh kode etik, organisasi jurnalis,
perlindungan terhadap jurnalis, prinsip jurnalisme seperti objektivitas,
dan lain-lain. Dan keempat, makin rendah intervensi negara terhadap
media, makin bagus bagi peran media dalam demokrasi. Keempat
proposisi tersebut menjadi pintu masuk untuk melihat bagaimana peran
media dalam demokrasi, termasuk di Indonesia.
Politik demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat
mengesankan. Banyak pujian datang dari negara lain dan lembaga
internasional atas kesuksesan Indonesia melakukan konsolidasi demokrasi
(The Jakarta Post, 28/06/2010). Tetapi banyak ahli menilai bahwa demokrasi

yang dinilai sebagai kesuksesan tersebut masih sebatas demokrasi
minimalis, sekadar pelaksaan pemilu yang demokratis. Demokrasi secara
substansial masih jauh dari kenyataan, atau oleh Boni Hargens disebut
sebagai demokrasi permukaan (Kompas, 27/01/2009). Demokrasi
substansial terwujud ketika kesejahteraan masyarakat menjadi fokus
utama dalam usaha-usaha politik secara nyata, di mana hasil
pembangunan dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk kemerdakaan
yang hakiki. Terbebas tidak hanya dari aspek fisik, seperti makanan,
129

Quo Vadis Televisi?

pakaian, kesehatan, tetapi juga dari aspek kebebasan untuk berkarya,
berkumpul, dan mengembangkan kesejahteraan masyarakatnya.
Realitasnya, politik Indonesia masih jauh dari cita-cita tersebut. Krisis
demokrasi perwakilan sebagaimana disinggung oleh Barber (1990)
menguap di tengah disorientasi lembaga-lembaga politik di tanah air.
Ketika realitas politik menunjukkan gambar yang buram, media menjadi
bagian dari struktur yang tidak mencerdaskan tersebut. Apa yang kita
saksikan di televisi akhir-akhir ini lebih banyak berita bersifat elitis. Mulai
dari pergantian sekretaris jenderal partai, krisis koalisi, hingga konflik
legislatif-eksekutif. Ketika hari berganti, muncul berita tentang kasus
korupsi para pejabat negara yang makin melukai rasa keadilan. Di tengah
kesulitan ekonomi masyarakat, televisi menyajikan tontonan yang
membuat masyarakat semakin merasa dipinggirkan. Krisis demokrasi
perwakilan karena ulah para elit ini membuat masyarakat makin apatis
terhadap politik. Konsekuensinya, warga negara semakin jauh dari
keterlibatan politik. Di satu sisi karena ulah elit politik, di sisi lain media
tidak memberikan informasi yang substantif berkaitan dengan
kepentingan mereka. Pada akhirnya, rendahnya partisipasi politik
berdampak buruk pada kualitas demokrasi.
Dalam tataran inilah televisi semakin mendesak untuk direvitalisasi,
demi menegakkan demokrasi. Media televisi mestinya dapat lebih
berperan tidak hanya sebatas pengawas (watch dog), tetapi sebagai ruang
publik ideal. Dengan kata lain televisi mestinya tidak hanya sebatas sarana,
melainkan juga sebagai ruang untuk deliberasi demokratis. Dalam ruang
publik perlu ditegakkan pluralitas pikiran dan partisipannya, sehingga
media televisi tidak berubah menjadi alat propaganda elitis yang pervasif.
Alih-alih mencerdaskan, televisi bisa terjerumus menjadi aktor hegemoni
kultural. Paletz dan Etnman (1981: 194) menyatakan bahwa: By granting
the elites substantial control over the content, emphases, and flow of public opinion,
media practices diminish the public’s power. Eliminasi atas publik ini bisa
disengaja oleh media, bisa juga tidak disadari.
Di tengah proses deliberasi yang termediasi sekarang ini, kredibilitas
media menjadi penentu keberhasilan deliberasi publik, sehingga dapat
mewujudkan apa yang disebut Gamson (2001): collective action frames.
Kerangka tindakan kolektif, menurut Gamson adalah: some sense of collective
efficacy and deny the immutability of some undesirable situation. They empower
people by defining them as potential agents of their own history (Gamson, 2001:
59). Peran media ini membutuhkan komunikator professional, orang130

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

orang yang tidak hanya membantu para ahli untuk saling berkomunikasi,
tetapi juga mengumpulkan, menjelaskan, memperdebatkan, dan
menyebarluaskan informasi dan ide-ide terbaik tentang kebijakan publik
sehingga dapat ditangkap oleh warga masyarakat biasa (Page, 1996: 5).
Warga negara yang well-informed akan membuat rational political choices.
Pilihan politik rasional penting bagi demokrasi, bukan hanya karena
landasan pembuatan keputusannya tetapi juga karena dengan demikian
masyarakat terdorong untuk berpartisipasi. Partisipasi politik yang tinggi
niscaya menciptakan budaya politik yang kuat. Barber (1990)
menyebutnya: strong democracy. Sebagai antithesis terhadap thin democracy,
Barber menegaskan: Strong democracy is defined by politics in the participatory
mode: literally it is self-government by citizens rather than representative
government in the name of citizens. Active citizens govern themselves directly
here, not necessarily at every level and in every instance, but frequently enough
and in particular when basic policies are being decided and when significant power
is deployed. Self-government is carried on through institutions designed to
facilitate ongoing civic participation in agenda-setting, deliberation, legislation,
and policy implementation (in the form of ‘common work’” (Barber, 1984: 151).
Televisi menjadi salah satu dari berbagai institusi yang berfungsi untuk
menfasilitasi partisipasi warga dalam pembentukan agenda politik,
deliberasi, legislasi, dan implementasi kebijakan politik. Pekerjaan ini
ditempatkan sebagai common work, sebagai dasar terbentuknya apa yang
disebut Gamson sebagai collective action frames. Pusat dari demokrasi
partisipatif adalah warga negara (the citizens). Maka demokrasi deliberatif
yang menempatkan partisipasi warga negara sebagai pilar utama dalam
sistem politik sangat relevan dengan kehadiran teknologi media baru.
Demokrasi deliberatif, menurut Bohman (1996) secara teoritis memiliki
empat ciri, yaitu: (1) menekankan pentingnya deliberasi untuk mencapai
keputusan politik; (2) menolak reduksi politik dan pengambilan keputusan
pada rasionalitas instrumental-strategis; (3) bersifat proseduralis; dan (4)
menjungjung universalitas.
Dalam demokrasi deliberatif terdapat kekuatan tindakan komunikatif
dalam forum publik. Proses deliberasi dalam forum terbuka tersebut
adalah: sebuah proses di mana warga negara berusaha untuk meyakinkan
warga lainnya untuk menerima kebijakan yang diusulkan dengan
berlandasan penggunaan reason di hadapan publik (public use of reason)
lewat proses dialog deliberatif yang take and give (Bohman, 1996: 15).
Demokrasi yang dibangun secara diskursif lewat ruang publik tersebut
131

Quo Vadis Televisi?

merupakan “rumah” bagi konstestasi berbagai wacana, di mana pada
proses komunikasi tersebut harus dipenuhi tiga syarat, yaitu: mampu
merangsang pemikiran reflektif, non-koersif, dan mampu menghubungkan pengalaman individual/kelompok dengan sebuah prinsip yang lebih
umum (Dryzek, 2003: 9-10).
Sejalan dengan itu, Bohman (1996) menyebutkan bahwa proses
deliberasi dapat berhasil jika dipenuhi tiga syarat, yaitu: (1) tidak ada
dominasi dalam proses deliberasi di mana ada seseorang atau kelompok
yang memaksakan kekuasaannya untuk kepentingan tertentu; (2) adanya
kesetaraan di mana setiap warga negara memiliki akses yang sama
terhadap proses pengambilan keputusan; dan (3) deliberasi akan bersifat
demokratis ketika dilakukan secara publik.
Media televisi memiliki kualitas yang sangat tepat mengembangkan
model demokrasi deliberaif ini. Dua bentuk genre berita televisi yang
paling tepat untuk demokrasi delibertif adalah television debate dan current
affairs, karena dimungkinkannya terjadi dialog. Sifat mediumnya yang
mampu menghadirkan pesan audio-visual menjadi kekuatan tersendiri
ketika ditayangkan secara live untuk sebuah acara dialog. Diskusi
“interaktif” yang menghadirkan berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, warga masyarakat, akademisi, LSM, dan lain-lain, akan menciptakan
kesepahaman (mutual understanding) yang lebih komprehensif. Secara
struktural, pada Bagan 1 digambarkan proses interaksi tersebut
Ruang publik (public sphere) merupakan sebuah ruang yang bebas dari
tekanan kekuasaan negara dan ekonomi, di mana warga negara
melakukan pembicaraan politik atau deliberasi guna mewujudkan suatu
kesepahaman bersama terkait dengan kepentingan umum yang lebih luas.
Konsep dasar ruang publik ini umumnya didasarkan pada pemikiran
Jurgen Habermas. Habermas mengungkapkan beberapa defenisi tentang
ruang publik tersebut sebagai berikut: “The public sphere is a realm of our
social life in which something approaching public opinion can be formed
(Habermas 1974: 49); private persons making public use of their reason
(Habermas 1989: 27); populated by private people gathered together as a public
and articulating the needs of society with the state (hal.176).”
Setidaknya ada empat “elemen” penting dalam ruang publik, yaitu:
private persons, use of reason, needs articulation, dan public opinion. Jadi, debat
politik dalam acara televisi (TV debates) maupun pada program dialog
pada program current affairs merupakan upaya untuk merealisasikan
elemen-elemen penting tersebut.
132

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
The State/Government/Political Establisement
Trade Unions

Public opinion

Editorials

Pressure
groups

Features

Media

News

TV
debates

Political Parties

Business

Current
Affair

Public organizations

Terrorist organizations

Citizens

Bagan 1. Televisi sebagai Ruang Publik
(Dikutip dari: McNair, 2003, hal. 20).

3. Media Televisi: Kapital vs Publik
Pada penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa faktor makro
politik lebih dominan dalam menentukan ruang gerak media. Faktor
struktural tersebut terdiri dari peraturan pemerintah dan intervensi negara
terhadap media. Pengekangan terhadap media akibat struktur politik ini
umumnya terjadi di negara-negara otoriter, di mana kebebasan menjadi
barang langka.
Namun ketika kebebasan diraih, apakah media menjadi sejalan dengan
prinsip-prinsip demokrasi? Sayangnya jawabannya: tidak! Mughan dan
Gunther (2000) menengarai bahwa liberalisasi yang pada awalnya
meruntuhkan rezim otoriter, kemudian menumbuhkan liberalisasi media,
pada akhirnya media tidak serta-merta menunjukkan prinsip-prinsip
133

Quo Vadis Televisi?

demokrasi. Media dalam era kebebasan (demokrasi) disandera oleh
kekuatan yang dulu membebaskannya, yaitu kekuatan liberalisasi
ekonomi. Kapitalisme sebagai dasar liberalisasi mengeser media tidak
lebih dari sekadar pelipatgandaan modal.
Dalam prinsip pasar bebas, sebagai mesin penggerak kapitalisme,
media tidak lagi berupaya untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh
‘publik’. Upaya-upaya yang dilakukan oleh media mulai dari
komodifikasi, spasialisasi, hingga strukturasi, dimaksudkan untuk
mengejar keuntungan belaka (Mosco, 1996). Media lebih terdorong untuk
menyediakan informasi yang paling banyak dicari, lepas dari diperlukan
atau tidak oleh masyarakat. Media lebih berorientasi mempertahankan
eksistensinya sebagai lembaga ekonomi. Profit menjadi prioritas utama
dibandingkan fungsi normatif yang harusnya dipengang oleh media. Pada
saat yang sama akses masyarakat terhadap media rendah terlebih untuk
menyuarakan aspirasi mereka.
Masyarakat juga kurang bisa memilih informasi yang lebih sesuai
dengan kepentingannya, karena patokan utama yang dipegang oleh media
adalah melayani kebutuhan mayoritas jenis informasi yang diinginkan
dalam kebijakan free-market information. Jenis informasi yang tersedia
(supplied) pada akhirnya adalah informasi yang paling banyak dicari
(demanded), lepas dari bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Akibatnya,
deliberasi demokratis lewat media lama niscaya terkikis oleh dorongan
kepentingan ekonomi media. Dalam situasi ini, Jurgen Habermas (1989)
pernah membongkar bahwa media yang mestinya berperan sebagai ruang
publik, telah ‘mengidap penyakit’ refeodalisasi ruang publik.2 Ruang
partisipasi politik lewat media akhirnya tertutup rapat. Penjajahan ruang
publik membuat oleh kukuatan luar yang menjadi pengerak nafas ruang
publik tersebut, membuat sesuatu yang publik (masalah politik misalnya)
menjadi tunguk pada logika yang ‘privat’. Colonization in this sense thus
means the almost unconditional surrender of politics … to the logic of the media
system (Meyer & Hinchman, 2002: 57).
Sebagian kalangan berpendapat, tidak salah jika media televisi menjadi
lembaga bisnis, dan beroperasi demi kepentingan bisnis. Apakah ada yang
salah dengan itu? Tentu tidak ada yang salah. Tetapi eksistensi media
pada dasarnya ditopang oleh kepercayaan masyarakat. Kepercayaan ini
yang melahirkan hubungan mutualisme yang baik. Kepercayaan tersebut
perlu dipelihara lewat kinerja media yang dapat memberi kontribusi bagi
kebaikan masyarakat. Maka sangat tepat McQuail (2000) menyebut media
134

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

sebagai “institusi sosial”, bukan media corporation misalnya. Institusi sosial
mengindikasikan adanya dimensi sosiologis atas keberadaan media
tersebut. Tanpa interaksi yang produktif antara media dan masyarakat,
maka media tersebut tidak akan eksis. Di samping alasan sosiologis ini,
ada alasan legal-politis yang lebih tegas untuk mendorong agar media
televisi menjungjung kepentingan publik.
Televisi di mana pun, termasuk di Indonesia menggunakan fasilitas
publik, yaitu gelombang siaran yang terbatas. Sumber daya tersebut
diserahkan kepada negara untuk dikelola demi kesejahteraan masyarakat.
Pada butir (b) bagian pertimbangan UU No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, dituliskan: bahwa spektrum frekuensi radio merupakan
sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus
dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945 (penekanan oleh penulis).
Sayangnya, kinerja media televisi di Indonesia terlebih 10 tahun
terakhir sangat dikendalikan oleh keseragaman, eksploitasi sisi human
interest, irrasionalistas, dan tubuh yang seksi. Semuanya demi
meningkatkan tingkat viewership. Singkat kata, the economy reigns! Dalam
situasi seperti itu, pemerintah sebenarnya harus turun tangan.
Negara sebagai bentuk kristalisasi kepentingan publik harus menjamin
terwujudnya prinsip kepublikan tersebut.3 Bentuk yang paling lazim
adalah penegasan fungsi pengawasan, serta menjalankan pengaturan
pemakaian gelombang sebagaimana telah diatur Undang-Undang. Fungsi
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mewakili
kepentingan publik perlu mengandung sifat mengikat, bukan hanya fungsi
pengawasan normatif saja. Kemudian, evaluasi penggunaan gelombang
siaran pasti efektif untuk ‘meluruskan’ kepentingan publik dalam televisi.
Pasal 34 ayat 1 butir b, UU No. 32 Tahun 20002 Tentang Penyiaran berbunyi
demikian: “Izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk
jangka waktu 10 tahun”; ayat 6, berbunyi: “Izin penyelenggaraan
penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan tidak
diperpanjang kembali”. Apakah mekanisme kontrol ini sudah dijalankan,
tampaknya kita masih harus menunggu political guts dari KPI.
Persoalan terbesar muncul ketika di era neoliberal ini, kehadiran negara
tidak hanya samar-samar, tetapi menjadi bagian dari kekuatan ekonomi
yang menggerogoti eksistensi ruang publik televisi di Indonesia.
Kedekatan antara penguasaha media televisi dengan pemerintah, bahkan
135

Quo Vadis Televisi?

menjadi bagian dari incumbent sangat berbahaya terhadap terwujudnya
televisi sebagai ruang publik. Tanda-tanda buruk lainnya adalah ketika
kekuatan politik dan kekuatan ekonomi, menyatu di dalam kepemilikan
media televisi seperti sekarang ini. Sehingga acap kali televisi tidak lebih
dari sekadar alat personal marketing kalau bukan corong propaganda
pemiliknya.
Politik dan Televisi di Indonesia
Sebelumnya saya telah menegaskan ada empat pintu masuk untuk
mengukur televisi sebagai ruang publik dalam demokrasi, yaitu: pertama,
semakin tinggi tingkat pertumbuhan pasar media, makin independenlah
media tersebut terhadap pengaruh dari luar. Kedua, keragaman, atau saya
menyebut: pluralitas ideologi politik di masyarakat akan lebih baik jika
juga terrepresentasi dalam media. Ketiga, semakin tinggi profesionalisme
wartawan maka semakin bagus kinerja media tersebut. Dan keempat, makin
rendah intervensi negara terhadap media, makin bagus bagi peran media
dalam demokrasi.
Indonesia sendiri tidak punya pengalaman yang ‘sehat’ tentang televisi
dalam demokrasi. Artinya belum ada sebuah periode di mana politik dan
media saling bekerja sama secara sinergis untuk memajukan nilai-nilai
demokrasi itu sendiri, walaupun awalnya televisi merupakan hasil pilihan
politik dari pemerintah. Televisi pertama Indonesia, TVRI yang didirikan
oleh Soekarno tahun 24 Agustus 1962 yang awalnya ditujukan untuk
‘mempromosikan’ kemampuan Indonesia di dunia internasional, ‘diubah’
menjadi alat politik negara selama kurang lebih 32 tahun. Bukan hanya
tidak boleh memberitakan informasi yang berbeda dari penguasa, TVRI
juga menjadi badan tersendiri untuk mengekang informasi yang
diberitakan oleh televisi swasta yang muncul awalnya tahun 1987. Setelah
mendominasi ruang keluarga selama 32 tahun lebih, TVRI akhirnya harus
bersaing dengan televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan
Indosiar. State intervention pada masa itu juga tidak sekuat era sebelumnya.
Tetapi, sepak terjang televisi swasta ini selain tidak pernah menikmati
kebebasan yang sesungguhnya, pada dasarnya punya orientasi yang sama.
D’Haenens, et al. (2000) menemukan bahwa:
Generally, it can be said that the commercial stations are beginning to look
like because the fierce competition between them. Although RCTI, for
example, focuses a little more on the Indonesian society’s upper social and
economic echelons and TPI more on the lower ones, actual differences are
136

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

minimal. All commercial stations share the same aim: maximizing profits
(hal. 218).
Sejak reformasi media televisi mengalami perubahan yang besar, baik
dari segi struktur maupun fungsinya. Perubahan struktur disebabkan
karena munculnya stasiun televisi swasta baru sehingga tercipta kompetesi
di antara mereka. Perubahan fungsi tersebut juga dipengaruhi oleh
menjamurnya produksi budaya yang mengubah pola perilaku masyarakat.
Lengsernya Orde Baru, menempatkan media sebagai sumber informasi
yang penting dan dipercaya oleh masyarakat. Media televisi tidak hanya
banyak, tetapi mulai muncul perhatian serius pada aspek berita seperti
SCTV dan MetroTV, dan terakhir TVone. Pada era ini state intervention
murni sudah sangat longgar. Walaupun muncul wujud baru dari intervensi
ini ketika pemilik media memanfaatkan kekuasaan untuk menjamin
kebebasan sistem kapitalisme media. Alih-alih negara mengontrol dengan
sistem sensor yang represif, negara lebih menjadi alat kelas tertentu sebagai
warranty body atas kepentingan pengelola media.
Dalam bidang politik, perubahan fungsi ini makin signifikan ketika
televisi tidak lagi sebatas media publikasi. Media televisi tidak lagi
dipandang sebatas kerja jurnalistik yang akan meliput perhelatan politik
para aktor-aktor politik. Kini, televisi telah menjadi kekuatan politik
tersendiri bagi para aktor-aktor dan partai politik. Perubahan fungsi politik
media televisi ini dimobilisasi oleh semakin canggihnya strategi
komunikasi politik aktor dan partai politik dengan melibatkan para
professional seperti konsultan politik dan lembaga survei. Pada saat yang
sama para aktor politik menyadari rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap politik dan lembaga-lembaga politik, sehingga
televisi dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menggeser citra tersebut.
Apa yang ditakutkan kemudian adalah munculnya television politics, yang
nota bene berbeda dengan the real politics.
Media televisi di Indonesia menikmati kebebasan yang sangat besar,
sejak dihapuskannya Departemen Penerangan pada era pemerintahan
Abdurrahman Wahid. Tekanan negara terhadap media televisi juga makin
menurun termasuk dari pihak militer. Pada saat yang sama bermunculan
stasiun-stasiun televisi baru. Dunia jurnalistik juga mulai dibenahi dengan
membentuk berbagai lembaga organisasi keprofesian seperti Dewan Pers,
Ikatan Jurnalis Televisi (JTV), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan
berbagai organisasi media wacth. Di tengah itu semua, Indonesia memasuki
era konsolidasi demokrasi sambil berusaha keluar dari keterpurukan
137

Quo Vadis Televisi?

ekonomi akibat krisis ekonomi. Pantaslah kita berharap bahwa media
televisi akan semakin bergerak mendekati bentuk idealnya dalam
demokrasi.
Secara struktural media televisi di Indonesia telah memenuhi
indikator-indikator dasar dengan mana dia dapat memperjuangkan apa
yang menjadi kepentingan publik. Banyaknya stasiun televisi nasional
mestinya menjamin keragaman informasi politik yang disebarluaskan.
Dengan alasan itu pula berarti bisnis televisi (media economy) mengalami
kemajuan sehingga dia tidak tergantung pada sumbangan pemerintah
seperti terjadi pada masa orde baru. Kemudian makin ada kesadaran
tentang bagaimana para pekerja media televisi mestinya dapat
menegakkan profesionalisme mereka. Selain dibuatnya kode etik jurnalis,
lembaga-lembaga independen juga banyak dibentuk sebagai wujud
kepedulian pada jurnalisme yang professional. Dengan jurnalisme
professional, media televisi dapat terhindar dari pemberitaan yang
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Tetapi pendekatan di atas bisa jadi masih politically one sided. Analisis
tersebut kurang memperhatikan kekuatan ekonomi yang bahkan jauh
lebih dominan dalam media televisi. Media televisi sangat tergantung
dengan iklan. Hal ini berbeda dengan media cetak seperti surat kabar
dan majalah, atau film. Media televisi memiliki sumber revenue utamnya
dari iklan, sementara surat kabar bisa dari iklan dan juga hasil penjualan
oplah. Sehingga media televisi secara politik sangat tergantung pada
kekuatan iklan. Pada saat yang sama kandidat pejabat publik dan partai
politik secara lihai telah melihat kelemahan televisi ini. Bersedia tidaknya
sebuah stasiun televisi untuk menyiarkan materi iklan politik tertentu tidak
ditentukan apakah isi iklan tersebut layak atau tidak dikonsumsi oleh
publik, apakah iklan tersebut mencerdaskan pemilih atau tidak, tetapi
lebih ditentukan oleh apakah partai politik sanggup membayar biaya
tayang iklan tersebut.
Ketika uang yang menjadi penentu kesediaan televisi untuk
menayangkan iklan politik partai-partai dan aktor politik, maka hukum
klasik pasar berlaku. Kandidat dan partai politik dalam pemilu yang tidak
kaya misalnya sulit untuk punya akses terhadap media televisi. Dengan
demikian ‘partai-partai besar’ saja yang akan menguasai jagat ruang publik
tersebut. Kompetisi politik dalam kontes pesta demokrasi berubah menjadi
persaingan bisnis. Masalahnya spirit bisnis, sangat jauh berbeda dengan
138

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

spirit demokrasi. Maka pada situasi seperti ini, semua indikator politik
makro yang disebutkan sebelumnya menjadi tidak relevan.
Kecenderungan akomodasi media televisi ini juga berdampak pada
corak pemberitaan yang elitis. Pemberitaan yang tidak jauh dari seputar
kekuasaan, di mana masyarakat tidak mengalami fenomena sosial politik
yang ditampilkan di ruang publik. Makna ‘publik tidak lagi berkorelasi
dengan res public, tetapi seperti kembali ke abad 16 dan 17, di mana ‘publik’
atau ‘kepublikan’ sendiri hanya muncul dalam konteks ‘perwakilan’, atau
representation lewat kehadiran ‘lembaga publik’, ‘pejabat publik’
(Habermas, 1991: 5). Muncul keseragaman corak dan wacana pemberitaan
media televisi oleh karena memiliki kerangka kerja yang sama. Karakter
buruk ini tidak sehat bagi demokrasi, sebab “publik” mestinya hadir
sebagai aktor politik yang memiliki kemampuan untuk secara bersamasama ‘melampaui perbedaan di antara mereka’, mencapai suatu
kesepakatan bersama. Kualitas deliberasi ini ditentukan oleh kekayaan
akan perbedaan informasi yang dipertukarkan.
Jurgen Habermas (1984) menyatakan untuk mencapai ruang publik
ideal, deliberasi publik mestinya didasarkan pada kualitas-kualitas
berikut: comprehensibility, truth, truthfulness, rightness. Sementara Steven
Schneider (1997), dengan mengembangkan konsep teori demokrasi
Habermas menemukan empat kriteria ruang publik ideal: kesetaraan
(equality), keragaman (diversity), saling berbalasan (reciprocity), dan kualitas
(quality). Kelengkapan berarti informasi yang dipertukarkan secara
menyentuh seluruh aspek isu yang dibahas, ada keragaman wacana di
dalamnya. Setiap informasi yang dipertukarkan oleh pihak-pihak terlibat
harus didasarkan pada kebenaran. Kebenaran tersebut diharapkan akan
memberi nilai kebaikan bagi masing-masing pihak. Jadi deliberasi dalam
televisi itu bukan merupakan alat politik untuk mempertahankan citra,
melainkan proses untuk memecahkan suatu persoalan secara bersamasama dengan bertumpu pada reasoned arguments.
Tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah setiap pihak diperlakukan
secara sama, walaupun pada diri mereka terdapat keberagaman. Ukuran
kualitas keberagaman informasi tersebut tidak dilihat dari sisi perbedaannya, tetapi alasan rasional yang mendukungnya. Dengan demikian
ketidaksetujuan bukan merupakan hal yang janggal dalam proses
deliberasi di ruang publik, tetapi sebagai proses pemurnian pemikiran
secara dialektis ketahap yang paling sempurna. Televisi khususnya lewat
139

Quo Vadis Televisi?

dua format programnya, yaitu: debat langsung dan current affairs atau
dialog sangat ideal untuk menerapkan paradigma ruang publik ideal ini.
Sayangnya, yang sering terjadi di Indonesia adalah informasi (berita
khususnya) yang bias kepentingan pemilik media. Di dalam televisi juga
lebih dominan eksploitasi sisi-sisi emosional lewat dramatisasi, rekayasa,
dan sensasionalisasi. Akibatnya, ‘informasi’ yang disampaikan menjadi
hilang substansi. Gejala ini seolah menegaskan bahwa praktek komunikatif
televisi tidak lebih dari sekadar kelatahan, sehingga cara
menyampaikannya dipandang menjadi lebih pentingan dari apa yang
disampikannya itu sendiri. Sehingga, wujud persaingan televisi di
Indonesia tidak lagi terletak pada televisi mana yang paling berkualitas
informasinya, melainkan cara menyampaikan seperti apa yang paling
sensasional dan dramatis.
Apa yang utama dalam wacana media televisi sering kali menjadi
wacana dominan dalam masyarakat. Pola konsumsi media televisi di
Indonesia tampaknya masih mengikuti doktrin tradisional dari agenda
setting theory. Televisi mungkin tidak berhasil mengubah cara pandang
masyarakat, tetapi bombardir informasi dengan sudut pandang tertentu
akan menentukan apa yang diperbincangkan di masyarakat. Penting atau
tidak penting bukan merupakan suatu pertimbangan di sini. Dalam realitas
politik seperti muncul sebuah kecenderungan bangkitnya elit politik
sebagai pemilik televisi: sebuah paralelisme yang menyimpan toksit bagi
demokrasi. Meleburnya elit partai sebagai pemilik televisi bisa menjadi
televisi tersebut sebagai alat politik penyeragaman wacana, tentu sesuai
dengan kepentingan pemiliknya. Pluralitas ideologi dan nilai-nilai politik
dalam masyarakat tidak diakomodir di sini.
Informasi Politik dan Perilaku Pemilih
Peran televisi yang paling utama dalam demokrasi adalah bagaimana
masyarakat dapat memperoleh informasi yang beragam, substantif, dan
relevan dengan kepentingan mereka. Sehingga, masyarakat dapat menilai
dan menentukan pilihan politiknya.
Sepuluh tahun terakhir boleh dikatakan perilaku politik di Indonesia
sudah mulai bergeser ke arah politik rasional. Keyakinan ini didukung
oleh beberapa faktor. Pertama, semakin besarnya kuantitas masyarakat
kelas menengah ke atas dengan tingkat pendidikan yang memadai. Kedua,
semakin terbukanya sumber-sumber informasi yang beragam berkat

140

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

perkembagan teknologi informasi, sehingga mengubah cara pandang
masyarakat tentang dirinya dan dunia luar, termasuk atas politik.
Berikutnya yang ketiga, ditandai oleh tetap eksisnya partai-partai
nasional, sementara pada saat yang sama banyak partai-partai berbasis
agama yang menurun popularitasnya atau bubar. Keempat, seiring dengan
itu mulai menarik dirinya para tokoh-tokoh agama dari panggung politik.
Kelima, mekanisme pemilihan langsung mau tidak mau mendorong setiap
orang untuk berusaha mengenali siapa tokoh yang akan dipilihnya.
Pencarian informasi merupakan modal awal untuk menentukan pilihan
politik yang lebih rasional. Keenam, pada saat yang sama terjadi migrasi
pemilih dari satu partai ke partai lain yang tidak lagi didasarkan pada
faktor identitas keagamaan tertentu.
Saiful Mujani dan William Liddle (2010) menegaskan tren yang sama.
Kedua ahli politik tersebut menyimpulkan bahwa: “As in 1999 and 2004,
however, we found little evidence that voters were influenced by their religious,
ethnic, regional, or social-class identities. […]. Indonesian voters have become
increasingly rational—setting standards, identifying goals, and choosing leaders
based on those standards and goals. Their preference for secular national parties
reduces the likelihood of ethnic or religious conflict.” (hal. 48)
Dinamika politik nasional sebenarnya memberi sinyal makin
dibutuhkannya informasi politik yang substantif oleh pemilih. Setelah
masyarakat sebagai pemilih (voters), terlepas dari kungkungan ikatanikatan tradisional dalam mengambil keputusan, maka diperlukan
landasan yang lebih kokoh dan rasional untuk mengiring perubahan
perilaku politik tersebut. Dalam situasi seperti ini media sangat
diharapkan dapat mengisi posisi itu. Sayang sekali, yang terjadi adalah
sebaliknya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa informasi di
media televisi kita cenderung elitis. Oleh karena itu pula, menjadi sangat
top down. Informasi politik yang menggambarkan hiruk-pikuk struktur
politik tidaklah salah. Tetapi, pendekatan tersebut harus disandingkan
dengan informasi dari bawah, dari masyarakat. Dengan pola top-down,
maka: “Political opinions flow downward. They originate among elites, are picked
up and propagated among attentive, then reach and shape the thinking of the
mass citizenry. Apoliticals are uninvolved, attracted only bey a major controversy
and dramatic event. The prestige and popular media are the prime conveyor belts.”
(Paletz dan Etnman, 1981: 186).

141

Quo Vadis Televisi?

Akibat terparah dari informasi politik yang elitis adalah selain
cenderung bias kepentingan, juga membuat masyarakat menjadi
cenderung penerima pasif atas informasi. Bahkan bisa jadi apolitis.
Padahal, dalam demokrasi, pilihan politik yang rasional mesti didorong
oleh keinginan aktif. Bahkan bentuk partisipasi ini perlu mencapai ranah
deliberasi secara diskursif di ruang publik. Dalam konteks ini, seperti
ditegaskan juga oleh Hardiman (2010: 1) ruang publik mendorong
partisipasi seluruh warga negara untuk mengubah praktik sosio-politis
mereka lewat reformasi hukum dan politik secara komunikatif. Media
televisi harus tampil sebagai ruang yang mendorong deliberasi publik.
Salah satu upaya untuk mewujudkannya peran tersebut adalah
pertama-tama menyelamatkan ruang publik itu sendiri. Herry-Priyono
(2010) mengaskan bahwa ada tiga upaya yang dapat dilakukan untuk
menyelamatkan ruang publik, yaitu: lewat rute kebijakan publik, rute reedukasi selera pasar, dan rute re-edukasi aktor.
Ditegaskan bahwa ‘ruang publik’ selalu mengisyaratkan ‘kebijakan
publik’. Oleh karena itu, kebijakan publik dapat diarahkan untuk
menyelamatkan ruang publik walaupun lembaga yang menjalankannya
tidak selalu yang namanya pemerintah. JIka kita kaitkan dengan media
televisi di tanah air, maka ranah kebijakannya tampaknya berada di tangan
pemegang kekuasaan. Kebijakan publik terkait dengan media televisi,
mungkin bisa dimulai dari reorganisasi televisi pertama kita, TVRI. Citacita menjadikan TVRI sebagai TV publik tampaknya masih sebatas citacita, belum pada tingkat praktek. Persoalan di tubuh TVRI boleh jadi lebih
dari sekadar ‘kebijakan publik’. Pelaksana ‘kebijakan publik’ dalam
konteks ini bisa juga KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tetapi KPI juga
mungkin membutuhkan ‘kebijakan’ sendiri yang lebih memihak kepada
public. Atau terkait dengan lembaga tersebut, perlu disusun ulang sebuah
‘kebijakan publik’ (lihat: Sudibyo, 2009).
Rute berikutnya adalah reedukasi selera pasar, baik dalam ranah
produsen maupun konsumen. Kasus televisi di Indonesia merupakan
contoh yang sangat tepat untuk ini. Selain perubahan mindset dan
paradigma para produser dan pekerja media lainnya, masyarakat juga
perlu disadarkan dari mimpi-mimpi semu yang mengelabui ketika mereka
mengkonsumsi media televisi. Literasi media yang mendorong, bermedia
secara cerdas merupakan salah satu pilihan praktis.
Serta, re-edukasi aktor sosial yang menjadi pelaku-pelaku utama dalam
ruang publik. Contoh yang sangat sederhana adalah bagaimana
142

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia

membudayakan nilai-nilai civility dalam hidup keseharian, mulai dari
budaya antri yang tertib hingga bertoleransi secara menghargai. Upaya
penyelamatan ini memang sudah melebar. Tidak hanya dari segi struktur
televisi sebagai ruang publik, tetapi masyarakat atau agency juga ikut
mempengaruhi perubahan struktur media televisi. Dari segi struktur,
pemberitaan media televisi perlu memegang teguh prinsip impartiality
khususnya atas pendapat dan informasi yang saling bertentangan
(competing views). Dua hal penting yang harus ditegakkan untuk
mencapainya adalah media pluralism dan nonpartisan news coverage of politics
(Gunther dan Mughan, 2000: 422).
Penutup
Televisi sebagai ruang publik di Indonesia tampaknya masih
menggambarkan panggang jauh dari api. Realitas televisi kurang
mencerminkan kualitas ruang publik sebagaimana diharapkan dalam
konteks berdemokrasi. Kekuatan struktural yang menggerogoti fungsi
kepublikan televisi tersebut adalah kepentingan kapitalis media, dan
kepentingan politis pemilik medianya sendiri. Sejalan dengan itu, struktur
kekuasaan yang hadir dalam bentuk birokrasi negara (pembuat kebijakan)
telah dimanfaatkan oleh media sebagai penjamin kepentingan media
sendiri. Artinya, represi kekuasaan atas ruang publik yang dihadirkan
televisi tidak termanifestasi secara langsung dan eksplisit. Tren ini seolah
menggambarkan merajainya semangat neoliberalisme yang ingin
mengangkangi negara demi kepentingan pasar. Para elit politik juga lebih
melihat televisi sebagai alat untuk pembentukan citra. Bibit industrialisasi
politik khususnya menjelang pemilu makin menggeser fungsi deliberatif
televisi sebagai ruang publik. Di tengah semua fenomena itu televisi di
Indonesia masih sulit untuk hadir sebagai ruang publik.
Hal paling pokok adalah krisis ruang publik adalah krisis demokrasi.
Sebab, mustahil lahir demokrasi yang benar-benar demokrasi secara
substantif, bukan sekadar prosedur-mekanistis, tanpa hadirnya ruang
publik. Saya sangat sepakat dengan pemikiran Thomas Meyer berikut: In
a democracy a public sphere is and will always remain the sine qua non of politics,
for even when high levels of participation are not expected or encouraged, elections
still have to be held. Legitimacy, the lifeblood of democratic politics, can be acquired
only through citizen’s consent to what they perceive as the decisions made by
political elites. (Meyer & Hinchman, 2002: 52).

143

Quo Vadis Televisi?

Ruang publik adalah elemen konstitutif demokrasi. Televisi secara
struktural merupakan ruang publik yang ideal. Untuk mewujudkan peran
tersebut diperlukan upaya pemerintah untuk menegakkan terjaminnya
hak-hak publik dalam televisi. Di sisi lain, TV publik sudah waktunya
ditransformasi secara total untuk memperjuangkan kepentingan publik
di tengah degradasi fungsi televisi komersil untuk demokrasi. Televisi
mestinya menjadi ruang publik strategis di tengah konsolidasi demokrasi
di Indonesia sekarang ini.
Daftar Pustaka
Barber, Benjamin. 1990. Strong Democracy: Participatory Politics for a New Age.
Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.
Baudrillard, Jean. 1992. Jean Baudrillard, Selected Writings (edited by Mark Poster).
Cambridge: Polity Press.
Bohman, James. 1996. Public Deliberation: Pluralism, Complexity and Democracy.
Cambridge, MA: MIT Press.
Crigler, Ann N (Ed). 1999. The Psychology of Political Communication. Ann Arbor:
The University of Michigan Press.
d’Haenens, L., Verelst, C., & Gazali, E. 2000. “In search of Quality Measures for
Indonesian Television News”. Dalam French David & Michael Richards (Eds),
Television in Contemporary Asia. New Delhi: Sage Publication, hal. 179-232.
Dryzek, John S. 2003. “Deliberative Democracy in Divided Societies: Alternatives
to Agonism and Analgesia.” Research School of Social Science, Australian
National University. Diakses dari: http://socpol.anu.edu.au/pdf-files/
Dryzek_divided.pdf, pada 25 Juni 2010.
Gamson, William. 2001. Promoting Political Engagement. Dalam W. Lance Bennett
& Robert M. Entman (Eds), Mediated Politics, Communication in the Future of
Democracy. United Kigndom: Cambridge University Press, hal. 56-74.
Gunther, Richard & Mughan, Anthony. 2000. The Political Impact of the Media: A
Reassesment. Dalam Richard Gunther & Anthony Mughan (Eds), Democracy
and the Media, A Comparative Perspective. United Kingdom: Cambridge
University Press, hal. 402-448.
Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere, An Inquiry
into a Category of Bourgeois Society. Cambridge: Polity Press.
Habermas, Jurgen. 1974. “The Public Sphere: An Encyclopaedia Article.” New
German Critique 3, Autum, hal. 49-55.
Hachten, William A. 1981. The World News Prism: Changing Media, Clashing Ideologies,
2nd edition. United State of America: Iowa State University Press.
Hallin and Mancini. 2005. Comparing Media System, Three Models of Media and Politics.
Cambridge: Cambridge University Press.

144

Televisi sebagai Ruang Publik dalam Politik Demokrasi di Indonesia
Hardiman, F. B. 2010. Pendahuluan. Dalam F. B. Hardiman (Ed), Ruang Publik.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 1-20.
Herry-Priyono, B. 2010. Menyelamatkan Ruang Publik. Dalam F. B. Hardiman
(Ed), Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hal. 369-398.
Lasswell, Harold, Lerner D., & Speir Hans. 1980. Propaganda and Communication in
World History. Honolulu: University of Hawaii Press.
McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, Third edition.
London & New York: Routledge.
McQuail, Denis. 2000. McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage
Publication.
Meyer, Thomas & Hinchman, Lew. Media Democracy, How the Media Colonize Politics.
Great Britain: Polity Press.
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication: Renewal and
Rethinking. London: Sage Publication.
Mughan, Anthony & Gunther, Richard. 2000. The Media in Democratic and
Nondemocratic Regimes: A Multilevel Perspective. Dalam Richard Gunther &
Anthony Mughan (Eds), Democracy and the Media, A Comparative Perspective.
United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 1-27.
Mujani, S & Liddle, W. 2010. Personalities, Parties, and Voters. Journal of Democracy
Volume 21, Number 2 April 2010, hal. 35-49.
Page, Benjamin I. 1996. Who Deliberates? Mass Media in Moder