Melihat Kesehjatraan Atlet di Indonesia

KESEHJATRAAN ATLET DI INDONESIA
DOSEN : Drs. AHMAD MUHAIMIN, M.Pd
MATA KULIAH : OLAHRAGA

Disusun Oleh :
Muhamad Faisol

( G.231.14.0031 )

JURUSAN TEKNIK INFORMATIIKA
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
2014

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan bimbingan-Nya kami dapat menyelesaikan menyusun makalah ini.
Makalah ini merupakan panduan bagi mahasiswa dalam melaksanakan proses
pembelajaran. Selain itu, makalah ini juga sebagai salah satu tugas dari mata kuliah

OLAHRAGA serta dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan
proses belajar mandiri, agar aktivitas dan penguasaan materi dapat optimal sesuai
dengan yang diharapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa. Kritik dan
saran tetap kami harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Semarang, 01 November 2014
Muhamad Faisol

Kesehjatraan Atlet di Indonesia
1. PENDAHULUAN
Sejenak yang terlintas dipikiran kita saat kita mendengar kata ‘olahraga’ adalah atlet. Atlet
yang profesional dalam suatu cabang olahraga tentunya harus rela mengorbankan waktunya demi
membela Negara dan bangsanya.
Untuk menjadi seorang atlet tidaklah mudah, harus mempunyai bakat dan minat dalam
sebuah bidang olahraga tentunya harus memiliki latar belakang pendidikan yang baik yang bisa
mendukung ia dalam membentuk sebuah prestasi dalam bidang olahraga tersebut. Tetapi banyak
juga atlet yang tidak memiliki latar pendidikan yang baik, namun mempunyai bakat yang sangat
bagus.
Sebagai warga Negara Indonesia, kita patut berbangga akan prestasi-prestasi yang telah

dicapai oleh para atlet di Negara ini yang telah mempertaruhkan hidupnya untuk membela dan
mengharumkan nama Negara ini. Tetapi sayang masih banyak para mantan atlet Indonesia yang
tidak memeliki kehidupan yang sejahtera setelah pensiun, yang pada kenyataannya bisa
ditemukan dilingkungan sekitar. Sebagai manusia para mantan atlet juga membutuhkan hak
untuk hidup yang sejahtera dimana termasuk dalam Hak Asasi Manusia sebagaimana terdapat
dalam pasal 28 ayat 1.
Prestasi Olahraga Indonesia sekarang juga sudah mulai merosot di mata dunia, jika hal ini
dibiarkan tanpa ada tindakan dari berbagai pihak yang terkait, termasuk masyarakat Indonesia
olahraga di Indonesia akan mengalami kemunduran dan hanya dipandang sebelah mata oleh
Negara-negara lain. Hal ini dikarenakan timbulnya berbagai masalah termasuk masalah yang
berhubungan dengan atlet yang dimiliki Negara ini.

2. PEMBAHASAN
Berbicara mengenai atlet, masih banyak para pensiunan atlet yang hidupnya kurang
mendapat perhatian dari pemerintah dengan kata lain hidup mereka tidak sejahtera. Jika diingatingat mereka telah berjuang demi bangsa dan Negara ini, namun apa balasan dari pemerintah
atas pengorbanan mereka?
Di Tahun 2011, Indonesia kehilangan bekas petinju terbaik tingkat amatir dan
profesional, Rachman Kilikili. Rachman ditemukan tewas gantung diri lantaran stres tak kunjung
beroleh pekerjaan. Tragedi Rachman hanya potret kecil naasnya nasib atlet selepas masa jaya
mereka.

Betapa malangnya nasib dari atlet petinju, Rachman Kilikili. Dari kasus di atas Rachman
menjadi stres lantaran tidak mendapatkan perkerjaan sehingga ia nekat untuk gantung diri,
padahal kalau dilihat dari prestasinya, ia adalah seorang petinju yang professional dan memiliki
banyak penghargaan dimana dia bertarung untuk mengharumkan nama Negara dan bangsa
Indonesia. Masalah dan kasus yang dialami oleh Rachman bukanlah yang pertama kali, masih
banyak yang lebih tragis dari dari masalah ini.
Dari kasus tersebut bisa kita lihat kelalaian dari pemerintah dalam mensejahterakan
kehidupan para mantan atlet berprestasi. Banyak pertanyaan yang timbul dari masyarakat apabila
mereka mendegar masalah di atas, mengapa hal seperti itu terjadi? Dimana peran pemerintah
untuk mengatasi masalah tersebut? Kita sebagai warga Negara Indonesia juga harus bertindak
untuk mengatasi masalah tersebut, entah bagaimana caranya. Kita juga tidak boleh sepenuhnya
menyalahkan pemerintah, kita hanya butuh introspeksi diri masing-masing dan berpikir lebih
terang dan bijaksana bagaimana menyelesaikan masalah tersebut.
"Mereka hanya perhatikan atlet yang lagi dipakai. atlet yang sebelumnya mereka ga
pernah care ga pernah perduli. istilahnya yang mewakili sebelum tim itu ada mereka sudah ga
ingat lagi. Kadang kita juga merasa sakit." Begitulah salah satu pendapat masyarakat tentang
para mantan atlet yang tidak dipedulikan lagi oleh permerintah.
Namun pemerintah tetap bersikeras bahwa mereka telah melakukan hal yang bisa
mensejahterakan hidup para pensiunan atlet seperti yang dikatakan Menteri Pemuda dan
Olahraga Adhyaksa Dault mengatakan, untuk kesejahteraan atlet, pemerintah akan

mengupayakan dana jaminan hidup bagi mereka. "Kan ada undang-undangnya tinggal
diterjemahkan dalam bentuk anggaran kemudian diajukan ke DPR kita sekarang sedang mau
melihat dan menata atlet-atlet yang berprestasi, nanti bentuknya adalah jaminan hidup."
Hal yang disampaikan oleh Adhyaksa Dault terbukti bahwa pemerintah hanya
memperhatikan atlet yang lagi dipakai saja. Lalu upaya apa saja yang sudah dilakukan
pemerintah untuk mengatasi para mantan atlet yang hidupnya terombang-ambing karena tidak
mendapatkan pekerjaan? Sejauh ini belum terlihat upaya tersebut, pemerintah hanya bejanji dan
berjanji namun tidak ada satu upaya pun yang dilakukan.

Peran pemerintah sangat sedikit dan hampir tidak terlihat sama sekali, justru dari pihakpihak swasta yang lebih menonjol upayanya dalam memperhatikan para mantan atlet yang
hidupnya kurang beruntung seperti Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI). pihak-pihak seperti
inilah yang akan memberikan perhatian lebih untuk membantu kehidupan mantan olahragawan
yang memprihatinkan di masa tuanya.
Untuk itu kita perlu mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh yayasan-yayasan yang
sangat peduli terhadap mantan atlet yang terlantar hidupnya. Sebenarnya para mantan atlet yang
kehidupan masa pensiunnya memprihatinkan pun perlu diberdayakan untuk kemajuan olahraga
di Indonesia. Mereka dapat menjadi pelatih, sehingga dapat menurunkan apa yang didapat dari
pengalaman berkarir di dunia olahraga, dan di lain sisi mereka juga dapat diberikan pembinaan
dan kesempatan untuk sukses di bidang lain. Kita cuma bisa berharap agar pemerintah bisa lebih
peduli terhadap para mantan atlet dan melakukan upaya-upaya yang bisa mensejahterakan hidup

mereka.
Selain kasus Rachman Kilikili Ada lagi Banyak kasus terlantarnya mantan atlet di
Indonesia. Di kutip dari Kompasiana.com “Mantan Atlet jadi Seorang Satpam, Tukang Becak
dan Supir Taksi”
“Ellyas Pical, Soeharto, dan Marina”, tak banyak anak muda Indonesia zaman sekarang yang
mengenal ketiga pahlawan olahraga Indonesia tersebut.
Ellyas Pical “The Exocet”, Soeharto “Si Otot Penggayuh”, dan Marina “Sang Wanita
Penendang” adalah para mantan atlet Indonesia yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di dunia
olahraga internasional. Hanya orang-orang yang hidup di jamannya saja yang mengenal mereka bertiga
sebagai legenda olahraga Indonesia. Meskipun nama mereka tak setenar Maradona, Evander Holyfield,
dan Mike Tyson, tetapi mereka mengusung satu visi dan misi yang sama dengan bintang olahraga
dunia tersebut, yaitu mengharumkan nama bangsanya.
Coba saja tengok Soeharto “Si Otot Penggayuh”, mantan atlet balap sepeda ini telah
menyumbang 2 perak bagi Indonesia pada SEA Games tahun 1977 di Thailand dari nomor jalan raya
beregu dan perorangan. Tak cukup dengan medali perak, rasa cintanya pada Indonesia dan dunia balap
sepeda ia buktikan dengan meraih medali emas pada dua tahun berikutnya yaitu pada SEA Games
1979 di Malaysia untuk nomor Team Time Trial jarak 100 kilometer dimana ia berhasil mengalahkan
lawannya dari Malaysia dan Thailand demi berkibarnya bendera merah putih pada tiang tertinggi.
Serupa tapi tak sama, Ellyas Pical dan Marina juga tak kalah berprestasinya dengan Soeharto
dalam mengharumkan nama Indonesia di dunia olahraga. Dengan pukulan hook dan uppercut kirinya

yang terkenal cepat dan keras itu, The Exocet berhasil menjadi petinju Indonesia pertama yang meraih
gelar internasional di luar negeri, tak heran namanya begitu melambung ketika berhasil mendapat gelar
OPBF (Orient and Pacific Boxing Federation). Sepanjang karier profesionalnya dalam tinju
internasional, rekor yand berhasil diraihnya adalah 20 kemenangan (11 KO), 1 seri, dan 5 kekalahan
yang menjadikannya petinju legendaris Indonesia hingga saat ini. Tak jauh berbeda dengan “Sang
Wanita Penendang”, demikian julukan penulis bagi Marina. Marina juga telah membuat harum nama
Indonesia di dunia olahraga pencak silat. Hal tersebut dibuktikannya dengan berhasil memperoleh
gelar juara pencak silat Asia yang saat itu diselenggarakan di Singapura.
Semua fakta tentang keberhasilan para legenda olahraga Indonesia dalam mengharumkan nama
bangsa, seakan tak cukup untuk membuat mereka mendapatkan kehidupan yang layak di hari tuanya.

“Seperti kacang lupa kulitnya”, begitulah bangsa ini memperlakukan para mantan atlet Indonesia di
hari tuanya yang hidup terlantar dan serba kekurangan. Soeharto misalnya, nasibnya saat ini benarbenar berbeda 180 derajat pada saat masa kejayaannya. Saat ini, pria berumur 59 tahun ini, mengayuh
becak tiap harinya untuk mencari sesuap nasi dan menghidupi istri dan ketiga anaknya yang saat ini
tinggal di sebuah kamar kostan berukuran 2×3 meter di kawasan Kebon Dalem VII yang sudah
ditempati lebih dari 15 tahun. Kondisi kesehatannya yang semakin buruk dengan penyakit Hermia
yang diidapnya, membuatnya harus mengikat perutnya dengan bekas ban dalam sepeda untuk
mengurangi rasa sakitnya. Rasa sakit yang ditimbulkan penyakitnya tersebutlah yang membuat ia
memberanikan diri untuk meminta bantuan ke KONI Surabaya. Dhimam Abror Djuraid yang pada saat
itu menjabat sebagai Ketua Harian KONI Jatim sangat terkejut dan trenyuh mengetahui kondisi

mantan atlet balap sepeda nasional itu. Berkat bantuan biaya dari KONI Jawa Timur, operasi
pengangkatan hermia diperut Soeharto pun dilakukan. Dan sekarang, Soeharto belum bisa mengayuh
becaknya karena butuh waktu 3 bulan untuk pemuliahan operasinya.
Nasib yang miris juga dialami oleh Ellyas Pical dan Marina. Setelah berhenti dari dunia tinju,
Ellyas Pical sempat bekerja sebagai satpam sebuah diskotik di Jakarta. Tak jauh berbeda dengan Ellyas
Pical, Marina sejak mengakhiri karirnya di dunia pencak silat dan kemudian ditinggal cerai oleh sang
suami, setiap hari wanita ini harus membanting tulang sebagai supir taksi untuk menghidupi kedua
anaknya.
Cerminan tentang kehidupan mantan atlet di Indonesia sungguh memprihatinkan. Pemerintah
seakan-akan tak tahu atau tak mau tahu akan kesejahteraan mantan atlet Indonesia, terutama mantan
atlet yang telah berjasa mengharumkan nama Indonesia di kejuaraan Internasional. Tak ada jaminan
yang jelas dan pasti dari pemerintahlah yang banyak dikeluhkan oleh para mantan atlet Indonesia di
hari tuanya sehingga seringkali mereka justru mengundurkan diri dari dunia olahraga dan lebih
memilih pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Hal tersebutlah yang dialami oleh Soeharto. Ia
memutuskan berhenti dari dunia balap pada tahun 1981 karena tuntutan ekonomi. Menurut wawancara
yang dilakukannya dengan salah satu majalah lokal, pada saat itu tidak ada janji apa-apa dari
pemerintah untuk diberikan pekerjaan. Amat disayangkan memang, Indonesia Tanah Airku, “tanah
bayar, air juga bayar”.
Mungkin ketidakjelasan jaminan dari pemerintah untuk atlet di masa tuanyalah yang menjadi salah
satu faktor hanya sedikit dari sekian juta orang di Indonesia yang tertarik untuk menjadi atlet. Padahal

jaminan kehidupan pada para atlet yang telah mendapatkan banyak penghargaan tersebut dijamin
dalam Undang-Undang No 3 tahun 2004 pasal 86 ayat 1 dan 3 Bab XIX tentang Penghargaan yang
berbunyi :
(1) Setiap pelaku olahraga, organisasi olahraga, lembaga pemerintah/swasta, dan perseorangan yang
berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga diberi penghargaan,
(3) Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan
pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga kehormatan, jaminan hari tua,
kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima penghargaan.
Ketentuan Undang-Undang tersebut sangatlah berpengaruh bagi kehidupan atlet di hari tuanya,
mengingat profesi atlet sangatlah berbeda dengan pekerjaan seorang karyawan pada umumnya, dimana
umur seringkali menjadi patokan produktivitas seorang atlet. Lihat saja sekarang, jarang sekali atlet
Indonesia berumur diatas 40 tahun yang masih diikutsertakan dalam kejuaraan karena pada kebanyakan

cabang olahraga, kebugaran fisik sangatlah menentukan dimana kebugaran fisik sering diidentikkan
dengan umur muda. Tidak bijaksananya Pemerintah dalam menerapkan UU no 3 tahun 2004 terutama
dalam hal jaminan bagi kehidupan atlet di hari tuanya telah membuat kebanyakan masyarakat enggan
untuk menjadi atlet. Maka tak heran, dunia olahraga Indonesia kurang berkembang dibandingkan
dengan negara-negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin sedikitnya prestasi olahraga
Indonesia di tingkat internasional.
Kurang pedulinya pemerintah Indonesia terhadap jaminan hari tua bagi para atlet sangat berbanding

terbalik dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura dimana pemerintahnya sangat
memperhatikan kemakmuran para atlet, sehingga atlet pun dapat fokus untuk berlatih demi mencapai
prestasi tanpa memikirkan ketidakjelasan nasib di hari tua. Hal tersebutlah yang mengakibatkan negara
tersebut semakin berkembang dalam dunia olahraga tingkat internasional. Seringkali orang mencibir
para mantan atlet yang sekarang hidup susah karena dianggap tidak bisa memanfaatkan jerih payah
atau gaji dan bonus yang mereka dapat ketika memenangkan kejuaraan untuk jaminan di hari tua. Akan
tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan wawancaranya dengan sebuah majalah lokal,
Soeharto mengatakan bahwa ketika berhasil merebut medali di ajang SEA Games, dia dan temantemannya tidak pernah memperoleh bonus uang dari pemerintah, seperti yang diterima atlet-atlet
nasional saat ini. Dia hanya mendapatkan semacam piagam penghargaan yang diserahkan Gubernur
Jatim di Gedung Negara Grahadi Surabaya dan hanya diajak makan-makan, tanpa diberi uang saku atau
bonus. Seperti itulah resiko yang harus ditanggung para mantan atlet yang dulu telah mengharumkan
nama Indonesia, dimana tak ada bonus dan jaminan kesejahteraan di hari tua yang jelas. Tak berbeda
jauh dengan Soeharto, Ellyas Pical juga mengalami nasib yang sama. Karena tuntutan ekonomi, ia
sempat terjerat kasus narkoba dan dihukum penjara 7 bulan. Penangkapannya sempat menuai kritikan
dari berbagai pihak yang menyoroti tiadanya jaminan hidup yang diberikan pemerintah kepada atlet
yang telah mengharumkan nama Negara. Beruntung setelah keluar dari penjara, Ellyas Pical diterima
bekerja di KONI namun hanya digaji sebesar 700 ribu Rupiah. Begitu pula dengan Marina, tak sedikit
halangan yang ia dapati untuk kemudian akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang supir taksi.
Larangan dari kedua anaknya dan faktor gender yang masih tertanam di masyarakat membuatnya ragu
untuk mejadi supir taksi. Namun semua itu sirna, ketika ia pantang menyerah dan hingga kini kedua

anaknya justru bangga melihat perjuangan ibunya untuk menghidupi mereka.
Keprihatinan akan kehidupan para mantan atlet yang miris wajib dirasakan oleh pemerintah dan
seluruh rakyat Indonesia mengingat mereka telah banyak berjasa dalam mengharumkan nama
Indonesia. Pemerintah harus lebih peduli untuk pada para atlet yang nantinya akan pensiun muda.
Banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah, misalnya saja tetap mempekerjakan para
mantan atlet sebagai pelatih ataupun pembimbing para atlet muda untuk memberikan ilmu dan
pengalaman yang mereka miliki. Sebab sejujurnya mereka semua masih terus ingin mengharumkan
nama Indonesia, meskipun hanya di balik lapangan. Seperti keinginan yang pernah diungkapkan oleh
Soeharto dalam sebuah wawancara dengan majalah lokal, “Kalau ada kesempatan dan modal, saya
pingin menjadi pelatih. Jelek-jelek begini, saya pernah mengikuti pelatihan di luar negeri loh,”.
Ellyas Pical, Soeharto, dan Marina hanya segelintir dari para mantan atlet yang sekarang hidup
memprihatinkan. Dengan adanya kisah dari para mantan atlet ini, diharapkan bangsa ini dapat
memunculkan rasa keprihatinan dengan cara memberikan suatu jaminan hidup bagi para atlet secara
jelas sehingga para atlet sekarang dapat lebih lega hati dan fokus sepenuhnya untuk berprestasi dan
mengharumkan nama bangsa. Semoga di kemudian hari tidak ada lagi Soeharto-Soeharto lain, mantan
atlet yang harus mengayuh becak di hari tuanya.

Namun ada kabar baik bagi kalangan atlet. Pemerintah baru Jokowi-JK nanti, bakal
memberi penghargaan bagi mantan atlet nasional berprestasi berupa tunjangan pensiun.
Untuk merealisasi hal tersebut, maka pemerintah Jokowi-JK mendatang akan membentuk

Lembaga Pengelola Dana Pendidikan yang tugasnya antara lain mengelola dana abadi bagi
pendidikan insan olahraga. Demikian dikatakan Nusron Wahid dalam acara diskusi olahraga, di
Jakarta, Senin (6/10/2014).
"Dari besaran dana olahraga yang diturunkan, direncanakan 10 persen tidak dibelanjakan
melainkan digunakan untuk menyokong pendidikan atlet nasional," kata Nusron Wahid yang saat
ini menjabat Ketua Umum II PP PBSI.
"Dana ini juga bisa digunakan untuk memberi semacam pensiun kepada atlet-atlet yang
berprestasi misalnya peraih medali emas Olimpiade, Asian Games atau pun SEA Games," imbuh
Nusron.
Sementara itu secara terpisah, Rita Subowo, Ketua Umum Komite Olahraga Indonesia
(KOI) mengatakan, bahwa di Hungaria penghargaan yang diperuntukkan bagi mantan atlet
berprestasi sudah diterapkan. “Di sana pemerintah memberi penghargaan jaminan hari tua buat
atlet berprestasi, setelah mereka berusia di atas 35 tahun,” ujar Rita.
Rita menegaskankan bahwa program di Hungaria itu bagus, karena para atlet bisa lebih
berkonsentrasi pada upaya meraih prestasi setinggi-tingginya tanpa harus memikirkan nasibnya
kelak ketika tidak lagi berkecimpung di dunia olahraga.

3. PENUTUP
Dari data diatas dapat saya simpulkan bahwa Ketidaksejahtraan Atlet Indonesia
dikarenakan tidak adanya perhatian yang serius dari pemerintah padahal, penghargaan atlet
sudah jelas-jelas terpampang jelas dalam Undang-Undang No 3 tahun 2005 pasal 86 BAB XIX
Tentang Penghargaan yang berbunyi:
(1) Setiap pelaku olahraga, organisasi olahraga, lembaga pemerintah/swasta, dan
perseorangan yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga diberi
penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, organisasi olahraga, organisasi lain, dan/atau perseorangan.
(3) Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan,
kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan, warga kehormatan,
jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi
penerima penghargaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan dan bentuk penghargaan
serta pelaksanaan pemberian penghargaansebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (3) diaturdengan Peraturan Presiden.
Di Ayat (3) disitu dijelaskan Penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan,
beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan,
warga kehormatan, jaminan hari tua, kesejahteraan, atau bentuk penghargaan lain yang
bermanfaat bagi penerima penghargaan.
Dan Jika ada Mantan Atlet Indonesia yang sulit mencari pekerjaan atau mengalami
kesulitan dihari tua, itu merupakan GAGALNYA Pemerintah dalam merealisasikan UndangUndang No 3 tahun 2005 Tersebut.
Namun kabar baik bagi kalangan atlet. Pemerintah baru Jokowi-JK nanti, bakal memberi
penghargaan bagi mantan atlet nasional berprestasi berupa tunjangan pensiun. Semoga saja.