Deteksi Mycobacterium leprae dengan teknik Polymerase Chain Reaction dari Saliva Penderita Kusta

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kusta
2.1.1 Definisi
Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronik pada manusia yang
disebabkan oleh M. leprae.20 Penyakit ini mula – mula menyerang saraf tepi dan
kulit, selanjutnya dapat mengenai organ atau sistem lain seperti mata, mukosa
mulut, saluran pernapasan, sistem retikuloendotelial, otot, tulang dan testis,
kecuali susunan saraf pusat.21
Penyakit ini dikenal juga dengan istilah leprae, morbus Hansen, graecorum,
lionthiasis, zaarath dan kustha.20 Berbagai tempat istilah kusta juga berbeda –
beda misalnya Jerman dengan aussatz, Perancis dengan lepre, Rusia dengan
prokaza, Cina dengan mafung, Jepang dengan raibyo, Arab dengan judham dan
Makassar dengan kandala.21
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda
– beda, banyak ditemukan di daerah tropik dan subtropik. Lebih dari 60 %
berada di Asia dan lebih dari 30 % di Afrika.3 WHO mencatat masih ada 15

negara yang melaporkan 1000 atau lebih penderita baru selama tahun 2006.
Indonesia menempati urutan ketiga setelah India, dan Brazil.22

Universitas Sumatera Utara

7

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan
pola penyebaran yang tidak merata. Meskipun pada pertengahan tahun 2000
Indonesia secara nasional sudah mencapai eliminasi kusta namun pada tahun
2002 sampai 2006 terjadi peningkatan penderita kusta baru. Pada tahun 2006
jumlah penderita kusta baru di Indonesia sebanyak 17.921 orang. Propinsi
terbanyak melaporkan penderita kusta baru adalah Maluku, Papua, Sulawesi
Utara dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih dari 20 per 100.000
penduduk.3
2.1.3 Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh
Gerhard Henrik Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun
1873.11 Secara morfologi kuman ini berbentuk pleomorf lurus dengan kedua
ujung bulat dan ukurannya 1 – 8 µ dan lebar 0,2 – 0,5 µ, bersifat tahan asam,

berbentuk batang dan gram positif.23 Biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu – satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin
seperti kulit, mukosa hidung, saraf tepi (terutama sel Schwann) dan tidak dapat
dikultur dalam media buatan.20 Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada
tikus pada suhu 27 – 30 0C.24
Masa inkubasi kusta yang lama yaitu sekitar 2 – 5 tahun, berkaitan dengan
pembelahan sel yang lama, yaitu antara 2 – 3 minggu dan di luar tubuh manusia
kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari.21

Universitas Sumatera Utara

8

Berdasarkan gambaran mikroskopik elektron secara ultrastruktur, M.
leprae terdiri atas:12,20
a. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular dan secara struktur khas bentuk dari M. leprae. Zona ini
terdiri dari 2 lipid, yaitu phthiocerol dimycoserosate yang dianggap memegang
peranan protektif pasif dan phenolic glycolipid yang terdiri dari 3 molekul gula

hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak (phthiocerol).
Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik
terhadap M. leprae.
b. Dinding sel
Berfungsi untuk memberikan bentuk pada sel dan pertahanan. Tersusun
secara halus dan terdiri dari pita radier yang tidak khas yang hanya terdapat pada
M. leprae melalui mikroskop elektron. Dinding sel ini tampak terdiri dari 2
lapisan. Lapisan

luar

bersifat

transparan

elektron

dan

mengandung


lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang
diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang ditemukan
pada mycobacterium lainnya. Lapisan dalam terdiri dari peptidoglycan, yaitu
suatu karbohidrat yang dihubungkan melalui peptida – peptida yang memiliki
rangkaian asam amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida
ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.

Universitas Sumatera Utara

9

c. Membran
Tepat di bawah dinding sel, melekat suatu membran yang khusus untuk
transport molekul – molekul ke dalam dan ke luar organisme. Membran terdiri
dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan secara teori
merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini

juga dapat


membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M.
leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
d. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul – granul penyimpanan, material
genetik DNA dan ribosom yang merupakan protein yang penting dalam translasi
dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai
M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadilo liar, dan ini
menunjukkan bahwa M. leprae walaupun berbeda secara genetik, terkait erat
dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.
2.1.4 Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang
lain dengan cara penularan langsung.1,3,20,21 Cara penularan yang pasti belum
diketahui, bisa melalui sekresi (air mani, saliva, keringat atau air mata),24 tetapi
sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan
melalui saluran pernafasan bagian atas dan kontak kulit yang tidak utuh.20

Universitas Sumatera Utara

10


Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan penderita.3,21 Mukosa hidung merupakan tempat terjadi infeksi primer
oleh M. leprae, sebagai suatu penyakit yang ditularkan lewat udara (airborne
disease).10,25,26
2.1.5 Diagnosis
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak
penyakit lain. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis
penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan penyakit lain agar tidak
membuat kesalahan yang dapat merugikan penderita.1 Diagnosis kusta dapat
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis ditambah pemeriksaan kerokan lesi
kulit.20
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda – tanda
utama atau tanda kardinal, yaitu:
a. Anastesi, terdistribusi menurut lesi kulit yang terlibat mulai dari permukaan
ekstensor dari lengan atas sampai kaki.
b. Penebalan saraf tepi, sesuai tempat predileksinya.
c. Lesi kulit, berupa bercak keputihan (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritematosa).
d. Adanya BTA dari kerokan lesi kulit pada lesi kusta lepromatosa dan
borderline.


Universitas Sumatera Utara

11

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit ditemukan 2
dari 3 tanda kardinal yang pertama atau hanya tanda keempat saja.20
2.1.6 Klasifikasi kusta
Penyakit kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis, hasil
pemeriksaan bakteriologi, histopatologi dan imunologi.27 Terdapat banyak jenis
klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi Madrid, klasifikasi
Ridley – Jopling dan klasifikasi menurut WHO.3,20
a. Klasifikasi internasional: klasifikasi Madrid (1953).
Pada klasifikasi kusta ini penderita kusta ditempatkan pada dua kutub, satu
kutub terdapat kusta tipe tuberkuloid (T) dan kutub lain tipe lepromatosa (L).
Diantara kedua tipe ini ada tipe tengah yaitu tipe borderline (B). Di samping itu
ada tipe yang menjembatani yaitu disebut tipe indeterminate borderline (I).3,21,27
b. Klasifikasi Ridley – Jopling (1962).
Berdasarkan gambaran imunologis, Ridley dan Jopling membagi tipe kusta
menjadi 5 kelas yaitu: tuberculoid (TT), borderline tuberculoid (BT), mid –

borderline (BB), borderline lepromatous (BL) dan lepromatous (LL).27
c. Klasifikasi menurut WHO
Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil pemeriksaan
BTA melalui kerokan kulit. Pada pertengahan tahun 1997 WHO Expert
Committee menganjurkan klasifikasi kusta menjadi PB lesi tunggal, PB lesi 2 – 5

Universitas Sumatera Utara

12

dan MB. Sekarang untuk pengobatan PB lesi tunggal disamakan dengan PB lesi
2 – 5.3,21,27
Tabel 2.1 Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta
menurut WHO (1982)
Tanda utama

PB

MB


Bercak kusta

Jumlah 1 s/d 5

Jumlah > 5

Penebalan saraf tepi yang
disertai dengan gangguan fungsi
(gangguan fungsi bisa berupa
kurang/mati rasa atau
kelemahan otot yang dipersarafi
oleh saraf yang bersangkutan)

Hanya satu saraf

Lebih dari satu saraf

Sediaan apusan

BTA negatif


BTA positif

*) Dikutip sesuai kepustakaan no. 3
Tabel 2.2 Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
menurut WHO (1982) pada penderita kusta
Kelainan kulit dan hasil
pemeriksaan
1. Bercak (makula) mati rasa
a. Ukuran
b. Distribusi
c. Konsistensi
d. Batas
e. Kehilangan rasa pada
bercak
f. Kehilangan
kemampuan
berkeringat, rambut
rontok pada bercak
2. Infiltrat

a. Kulit

PB

MB

Kecil dan besar
Unilateral atau
bilateral asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan tegas

Kecil – kecil
Bilateral simetris

Selalu ada dan jelas

Tidak ada

Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas,
jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut
Biasanya tidak jelas,
jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut

Ada, kadang – kadang
tidak ada

Universitas Sumatera Utara

13

b. Membran mukosa
c. Ciri-ciri

Tidak pernah ada
Central healing

d. Nodulus
e. Deformitas

Tidak ada
Terjadi dini

Ada, kadang – kadang
tidak ada
- Punched out lesion
- Madarosis
- Ginekomastia
- Hidung pelana
- Suara sengau
Kadang – kadang ada
Biasanya asimetris

*) Dikutip sesuai kepustakaan no. 3
2.1.7 Imunologi
Respon imun secara umum merupakan rangkaian proses yang dipicu oleh
rangsangan antigen atau imunogen yang bertujuan memusnahkan pemicu
rangsangan tersebut. Terdapat 2 tingkat sistem kekebalan dalam menghadapi
rangsangan dari luar tubuh yakni innate immunity dan adaptive immunity.28,29
Pada penderita kusta terdapat defek imunologis yang bersifat spesifik, yang
menunjukkan

bahwa

gangguan

yang

terjadi

adalah

pada

tingkat

adaptive/acquired immunity dan bukan pada tingkat innate immunity. Dengan
demikian gangguan dapat terjadi karena sel panyaji antigen yang abnormal,
adanya gangguan primer pada sel T, adanya aktivitas supresor yang meningkat,
atau adanya gangguan primer pada makrofag.30,31
Respon imunologi dari pejamu menghasilkan fenotip klinis pada seorang
penderita kusta dengan berbagai spektrum klinis. Kusta merupakan suatu
paradigma imunologis, pada tipe tuberkuloid dimana imunitas selular sangat
berperan penting yang ditandai oleh respon imunitas Th1. Sedangkan kusta tipe

Universitas Sumatera Utara

14

lepromatosa ditandai oleh rendahnya imunitas selular dan respon imunitas
humoral Th2 yang berperan.31
Kusta tipe tuberkuloid mensekresi INF–γ, IL–2 dan limfotoksin–α pada lesi
dan menghasilkan besarnya aktifitas fagosit. Makrofag di bawah pengaruh
sitokin, terutama TNF bersama dengan limfosit membentuk granuloma. Sel – sel
CD4+ ditemukan terutama dalam granuloma dan sel – sel CD8+ terdapat pada
lapisan yang mengelilingi granuloma. Sel T pada granuloma tuberkuloid
menghasilkan antimikroba protein granulisin. Sedangkan pada tipe lepromatosa
ditandai oleh kurangnya pembentukan granuloma. Produksi mRNA terutama
untuk sitokin IL–4, IL–5 dan IL–10. Pada tipe ini IL–4 menunjukkan kurangnya
pengaturan TLR2 pada monosit dan IL–10 menekan produksi IL–12. Hal ini
berhubungan dengan pengaruh yang lebih besar dari limfosit CD8+ dalam lesi
lepromatosa. Sedangkan tipe borderline memiliki spektrum imunologis yang
dinamis dan dapat bergeser kesalah satu spektrum.31,32

2.2 Manifestasi Oral
Sebagian besar ahli kusta menerima pernyataan teori suhu bahwa basil kusta
sangat bergantung pada tinggi rendahnya suhu untuk menghasilkan lesi terutama pada
bagian – bagian tubuh yang lebih dingin yang disukai M. leprae untuk
bermultiplikasi.10,33

Universitas Sumatera Utara

15

Sebuah studi klinis oleh Hastings dkk. (1968) memperkuat argumen yang
mendukung teori suhu dengan menemukan kepadatan bakteri yang lebih tinggi pada
kulit dengan rata – rata suhu permukaan 32,05 °C dibandingkan dengan kulit di
bagian lain dengan rata – rata suhu permukaan 33,46 °C. Shepard menemukan M.
leprae berkembang biak dengan cepat pada telapak kaki mencit dengan suhu jaringan
27 – 30 °C.10
Sejak diperkenalkannya MDT, sangat sedikit penelitian yang mengevaluasi
gangguan sensitivitas oral pada panderita kusta. Pada tahap awal penyakit ini
mungkin menunjukkan penurunan dari mukosa oral tanpa lesi yang jelas. Lesi oral
pada kusta berkembang secara sembunyi dan asimtomatik akibat gangguan dari
mukosa hidung.8 Lesi pada mukosa oral umumnya terjadi pada palatum, uvula, lidah
dan gusi pada maksilaris anterior.34
Hanya sedikit perhatian diberikan pada lesi oral dari kusta. Ketertarikan dimulai
pada tahun 1930 oleh Pavloff mengenai lesi pada hidung dan mulut. Studi pada tahun
1939 dari pemeriksaan bakteri positif pada mukosa oral yang nampaknya sehat
meneliti 456 pasien lepromatosa dan bentuk gejala klinis lainnya, dan didapatkan
frekuensi keseluruhan pada lepromatosa, yaitu 19.1 % lesi pada kavitas oral, 2.09 %
pada bibir, 1.4 % pada lidah, 11.7 % pada palatum durum, 5.9 % palatum mole dan
3.2 % pada uvula.35
Hubungan antara infeksi dari mukosa oral dan beberapa penemuan patologis
serta peran respon imun lokal dalam perlindungan terhadap penyakit adalah topik

Universitas Sumatera Utara

16

yang masih diteliti dan belum sepenuhnya dimengerti. Identifikasi lesi spesifik pada
kavitas oral menjadi penting, terkait dari studi immunopatologi dan kelangkaan
subjek dalam literatur.35

2.3 Pemeriksaan Penunjang untuk Kusta
2.3.1 Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan ini pada penyakit kusta merupakan hal yang mutlak
dilakukan, karena berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta,
penunjang penentuan klasifikasi atau tipe penyakit kusta, memberi petunjuk
potensi penularan dari penderita dan evaluasi pengobatan.21
a. Apusan sayatan kulit
Untuk keseragaman, pemilihan lokasi pengambilan bahan pemeriksaan
sebagai berikut: (1) cuping telinga kiri, (2) cuping telinga kanan, (3) salah satu
makula atau lesi kulit, (4) daerah kulit yang lainnya, bila perlu.12
Untuk menentukan adanya BTA, apusan sayatan kulit dilakukan dengan
penorehan jaringan kulit yang sebelumnya dijepit kuat dengan jari, hasil kerokan
dari torehan diwarnai dengan metode ZN. Basil pada apusan hanya terlihat bila
jumlah basil lebih dari 104 per gram jaringan. Apusan yang negatif tidak
menyingkirkan kemungkinan bukan kusta.12,21

Universitas Sumatera Utara

17

b. Indeks bakteriologi (IB)
IB merupakan ukuran semi kuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan
apusan tanpa membedakan solid dan non solid. Berguna untuk membantu
menentukan tipe kusta dan menilai hasil pengobatan. IB ini disajikan menurut
skala logaritma Ridley, sebagai berikut:12,20,21
0

: 0 BTA dalam 100 lapangan pandang

1+ : 1 – 10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2+ : 1 – 10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3+ : 1 – 10 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang
5+ : 101 – 1000 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang
6+ : > 1000 BTA rata-rata dalam 1 lapangan pandang
c. Indeks morfologi (IM)
IM ini merupakan teknik standar yang dipakai memperkirakan proporsi
kuman yang hidup (solid) diantara seluruh kuman. IM berguna untuk mengetahui
daya penularan kuman, menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan
adanya resistensi terhadap obat.12,20,21
IM = Jumlah basil solid X 100%
Jumlah seluruh basil
2.3.2 Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan

histopatologi

pada

kusta

biasanya

dilakukan

untuk

memastikan gambaran klinik, misalnya kusta indeterminate atau penentuan

Universitas Sumatera Utara

18

klasifikasi kusta serta kusta pada anak – anak. Disini umumnya dilakukan
pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan pengecatan tahan asam untuk mencari
BTA.18
2.3.3 Pemeriksaan mouse foot pads (MFP) atau inokulasi pada binatang
percobaan
Uji MFP masih merupakan baku emas untuk kerentanan pengobatan pada
kusta. Sebuah suspensi basil disiapkan dari sampel lesi biopsi yang mengandung
basil. Mencit diinokulasi dengan 5000-10000 basil ke telapak kaki belakang dan
jumlah basil mencapai 105 hingga 106 setelah inokulasi 25 hingga 30 minggu.
Sementara teknik ini telah menunjukkan penerapan yang luas untuk skrining
obat, namun penggunaannya untuk pengujian kerentanan obat pada kusta
dibatasi oleh ketentuan dari banyaknya jumlah basil hidup (≥107) dari setiap
pasien.36,37
2.3.4 Pemeriksaan serologis
Beberapa pemeriksaan serologi telah dikembangkan untuk mendiagnosis
kusta, dengan pembentukan antibodi berdasarkan pengukuran serologis
menggunakan M. leprae, dalam upaya untuk menentukan kegunaannya dalam
diagnosis penyakit kusta dan kemungkinannya dalam menentukan infeksi
subklinis dengan menekankan deteksi pada kasus multibasiler di masa
mendatang.11

Universitas Sumatera Utara

19

Dua pemeriksaan serologi, satu berdasarkan respon antibodi terhadap
phenolic glycolipid-1/natural disacharide (PGL1) BSA conjugated (PGL1-OBSA) antigen, dan satu lagi berdasarkan respon terhadap antigen 35 kDa,
dikatakan sebagai tes yang spesifik dan dapat dipertanggung jawabkan di
beberapa laboratorium di dunia. Akhir-akhir ini, pemeriksaan serologi
berkembang pada sistem ELISA agar lebih cepat pengerjaanya daripada
menggunakan seluruh M.leprae sebagai antigen.38
2.3.5 Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)
Metode terbaru dari biomolekuler telah berkembang sebagai alat diagnostik
yang sensitif dan akurat dalam mengidentifikasi patogen dari beberapa penyakit.
Amplifikasi DNA M. leprae dengan PCR banyak digunakan untuk deteksi dan
diagnosis kusta karena sangat sensitif, spesifik dan deteksi cepat dari spesimen
klnis.39
PCR merupakan teknik yang pertama kali ditemukan oleh Mullin pada
tahun 1985 adalah suatu teknik amplifikasi asam nukleat secara in vitro dengan
menggunakan enzim DNA polimerase dan primer nukleotida. Teknik PCR dapat
digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya
dalam beberapa jam. PCR merupakan suatu teknik yang melibatkan beberapa
tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah
target DNA double stranded.16

Universitas Sumatera Utara

20

a. Komponen PCR
Komponen – komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah cetakan
DNA; sepasang primer yaitu suatu oligonukleotida pendek (potongan pendek)
yang mempunyai urutan nukleotida yang sesuai dengan urutan nukleotida DNA
cetakan; deoxynucleotide triphosphates (dNTPs); buffer PCR; magnesium
klorida (MgCl2) dan enzim DNA polymerase.16,17
Untuk pemeriksaan ini diperlukan adanya mesin PCR dan reagensia khusus
untuk amplifikasi DNA, serta elektroforesa untuk melihat adanya pita dari
protein tertentu. Prinsip kerja yaitu menggandakan suatu potongan rantai DNA
tertentu dari DNA basil sehingga dapat dilihat pada gel elektroforesa. Untuk
menggandakan rantai DNA tersebut diperlukan suatu zat yang disebut primer
(suatu oligonukleotida buatan yang telah diketahui urutannya) yang akan
dicampur dengan enzim polimerase serta beberapa zat tertentu. Setelah
dimasukkan ke dalam mesin PCR dan dijalankan untuk satu siklus maka
dihasilkan duplikat dari rantai DNA tadi. Bila mesin PCR terus dijalankan maka
penggandaan ini terus berlangsung dan jumlah yang banyak ini terlihat pada
medan elektroforesa. Urutan kerjanya secara garis besar dimulai dengan
pembuatan cetakan DNA dari bahan yang diperiksa, dengan memberikan zat
pemecah inti dan primer beserta reagensia lainnya dimasukkan ke dalam tabung
khusus dan mesin PCR dijalankan hingga beberapa siklus tertentu. Pita dari

Universitas Sumatera Utara

21

amplifikasi DNA spesifik dicocokkan dengan pita dari kontrol positif yang telah
diketahui sebelumnya.18
b. Proses amplifikasi PCR
Dalam mesin PCR terjadi sintesis dan amplifikasi berupa 3 tahap yaitu (1)
denaturasi DNA; (2) penempelan primer pada cetakan (annealing) dan (3)
pemanjangan primer (extention). Tahap ini merupakan tahap berulang (siklus),
dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA.16,17
Pada fase denaturation, DNA cetakan akan mengalami denaturasi pada
suhu tinggi (94 oC selama 1 menit), fase annealing kedua primer akan menempel
pada pita komplemen pada suhu rendah (54 oC selama 45 detik) dan selanjutnya
fase extension mengalami perbanyakan pada suhu sedang (72 oC selama 2
menit).40
Satu tahap denaturation, annealing dan extension disebut 1 siklus. Primer
akan melekat pada DNA lalu diperbanyak. Selanjutnya terhibridisasi pada pita
yang berlawanan dari DNA pada posisi ujung 3’ yang saling berhadapan, dengan
demikian sintesa DNA oleh enzim polimerase akan berlangsung sepanjang
daerah antara 2 primer.40 Untuk penggandaan, suatu potongan primer (dalam
penelitian ini LP1,2,3,4) dicampur dengan enzim polimerase serta beberapa zat
(aqua distilata, Premix G). Dalam mesin PCR setelah satu siklus akan dihasilkan
duplikat rantai DNA.16

Universitas Sumatera Utara

22

Satu siklus PCR akan menghasilkan DNA anak yang sama dengan DNA
induk dengan jumlah ganda. Hasil perbanyakan DNA spesifik yang menjadi
target hingga mencapai jutaan dalam beberapa jam. Pada akhirnya akan diperoleh
produk PCR, berupa sekuen DNA yang diinginkan dalam jumlah yang berlipat
ganda, yakni sebanyak 2n (n = banyaknya siklus PCR yang digunakan).40
Gambar 2.1 Tahapan kerja PCR

*) Dikutip sesuai kepustakaan no. 40
Gambar 2.2 Proses amplifkasi pada PCR

*) Dikutip sesuai kepustakaan no. 40

Universitas Sumatera Utara

23

Dengan demikian, metode PCR untuk identifikasi DNA, yang mengkode
protein M. leprae 65 kDa, 18 kDa dan sekuens berulang dari M. leprae
diperkenalkan sebagai metode khusus yang lebih sensitif dari pemeriksaan BTA.
Dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa PCR sangat berguna untuk
mendeteksi infeksi subklinis dari patogen ini.41,42

Universitas Sumatera Utara

24

2.4 Kerangka Teori

Cardinal sign:
Memenuhi 2 diantara 4
-

Anastesi
Penebalan saraf tepi
Lesi kulit berupa hipopigmentasi atau eritematosa
Adanya BTA di dalam kerokan lesi kulit

Diagnosis kusta

Pemeriksaan Tambahan

Histopatologi

Inokulasi pada
bianatang
percobaan

Serologi

PCR

Deteksi M. leprae
• darah
• kulit
• urin
• apusan hidung
• saliva

Gambar 2.3 Kerangka teori penelitian

Universitas Sumatera Utara

25

2.5 Kerangka Konsep

Saliva

Hasil pemeriksaan
PCR

Gambar 2.4 Kerangka konsep penelitian

Universitas Sumatera Utara