Pemanfaatan Adsorben Dari Biji Asam Jawa (Tamarindus Indica) Untuk Menurunkan Kandungan Asam Lemak Bebas Dan Bilangan Peroksida Pada Cpo (Crude Palm Oil)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

BIJI ASAM JAWA SEBAGAI ADSORBEN
Proses adsorpsi menunjukkan kemampuan adsorbat untuk menempel pada

bahan penjerap. Proses ini dapat diterapkan pada pemisahan polutan terlarut atau
untuk mengambil kembali bahan yang bernilai tinggi tapi berjumlah sedikit pada
suatu campuran [31]. Berdasarkan gaya yang bekerja, proses adsorpsi dibagi
menjadi dua, yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Pada adsorpsi fisika, gaya
utama bekerja adalah gaya gaya Van der Waals. Gaya ini relatif lemah dengan
energi yang terlibat sekitar 5 kkal/mol. Sementara pada adsorpsi kimia, terdapat
proses perpindahan elektron yang sama dengan pembentukan ikatan kimia antara
permukaan padatan dengan zat terjerap. Adsorpsi kimia biasanya terjadi pada
proses-proses katalitik heterogen. Aktivasi kimia pada adsorben pada umumnya
digunakan industri yang umumnya lebih efisien dalam penghilangan impurities
(kotoran) [16].
Penggunaan bahan-bahan biologis sebagai adsorben disebut sebagai
biosorpsi. Biosorpsi menunjukkan kemampuan biomassa untuk mengikat logam
berat dari dalam larutan melalui langkah-langkah metabolisme atau kimia-fisika

[32], dan termasuk penghilangan racun dari bahan-bahan yang berbahaya [31].
Proses pengolahan ini dapat dilakukan di tempat, sehingga tidak diperlukan proses
pemindahan bahan yang akan diolah. Keuntungan lain dalam pemakaian
biosorben adalah bahan baku yang melimpah, murah, proses pengolahan yang
efisien, minimalisasi lumpur yang terbentuk, serta tidak adanya nutrisi tambahan
dan proses regenerasi [32].
Untuk biosorben yang berasal dari hasil samping produk pertanian, ada dua
model penjerapan, yaitu adsorpsi intrinsik dan interaksi kolombik. Pada proses
adsorpsi intrinsik yang menjadi faktor utama adalah luas area. Hal ini dapat
diketahui dengan mengamati efek ukuran adsorben terhadap kemampuan adsorpsi.
Sedangkan pada interaksi kolombik dihasilkan energi elektrostatik dari interaksi
adsorben dan adsorbat. Intensitas interaksi ini akan sangat tergantung pada

8
Universitas Sumatera Utara

kekuatan muatan kedua bahan. Interaksi kolombik dapat diamati dari adsorpsi
bahan kationik dan anionik adsorben.
Lebih lanjut Igwe dan Abia [31] menyebutkan bahwa pada biosorben
umumnya mengandung β-D-glukosa berulang sebagai komponen utama dinding

sel. Gugus hidroksil polar selulosa inilah yang berperan dalam reaksi kimia dan
mengikat adsorbat dari larutan. Modifikasi gugus fungsional dapat mengubah
sifat-sifat permukaan yang pada akhirnya akan mempengaruh kemampuan
adsorpsi bahan. Untuk meningkatkan kemampuan adsorpsinya, biosorben dapat
diaktivasi dengan metode aktivasi kimia (menggunakan asam atau basa) atau
aktivasi termal (dengan pemanasan) [24]. Faktor-faktor yang mempengaruhi
adsorpsi adalah distribusi ukuran partikel, sifat adsorben dan adsorbat, luas
permukaan adsorben, pH, suhu, konsentrasi awal, waktu kontak, dosis adsorben,
dan lain-lain [22].
Parameter yang dapat menunjukkan kualitas adsorben adalah daya adsorpsi
adsorben terhadap larutan Iodin. Daya adsorpsi adsorben terhadap iodin memiliki
korelasi dengan luas permukaan adsorben. Dimana semakin besar angka iodin
maka semakin besar kemampuan dalam mengadsorpsi adsorbat atau zat terlarut.
Salah satu metode yang digunakan dalam analisis daya adsorpsi adsorben
terhadap iodin adalah dengan metode titrasi iodometri. Kereaktifan dari arang
aktif dapat dilihat dari kemampuannya mengadsorpsi substrat. Daya adsorpsi
tersebut dapat ditunjukkan dengan besarnya angka iodin (iodine number) yaitu
angka yang menunjukkan seberapa besar adsorben dapat mengadsorpsi iodin.
Semakin besar nilai angka iodin maka semakin besar pula daya adsorpsi dari
adsorben. Daya serap adsorben terbagi 2 yaitu :

a. Daya serap fisika (adsorbsi fisika)
Biasanya melibatkan perubahan energi yang lebih kecil (ikatan lemah)
Contoh : adsorbsi N2 pada karbon melepas ± 5000 kal/mol
b. Daya serap kimia (adsorbsi kimia)
Pada suhu tinggi atom C bergabung dengan O2 membentuk CO dan CO2.
Asam Jawa (Tamarindus indica) termasuk ke dalam suku Fabaceae
(Leguminosae). Spesies ini adalah satu-satunya anggota marga Tamarindus.
Beberapa bagian tumbuhan asam jawa telah dimanfaatkan untuk keperluan

9
Universitas Sumatera Utara

pangan dan medis. Daging buah asam jawa digunakan sebagai bahan baku
pembuatan obat-obatan herbal, sedangkan bunga dan daun asam jawa biasa
dikonsumsi sebagai sayuran [33].
Adsorben atau biosorben juga dapat dibuat dari biji-bijian tanaman tertentu
seperti asam jawa. Bagian biji asam jawa biasanya tidak dimanfaatkan dan
dibuang sebagai limbah. Pemanfaatan biji asam jawa telah diteliti untuk
digunakan sebagai koagulan dalam pengolahan limbah cair [15] dan sebagai
adsorben untuk zat warna serta logam berat.


Gambar 2.1 Biji Asam Jawa [34]
Adapun komposisi kimia dari biji asam jawa diberikan pada Tabel 2.1
berikut.
Tabel 2.1 Komposisi Biji Asam Jawa, Kernel, dan Testa (%) [35, 36, 37, 38]
Konstituen
Moisture
Protein
Lemak/Minyak
Crude Fibre
Karbohidrat
Total Ash
Ekstrak Bebas
Nitrogen
Yield TKP
Kalori/100 g
Total Gula
Gula Tereduksi
Starch
Tannin


Seed Kernel
(Kotiledo
n)
11,4-22,7
15,0-20,9
3,9-16,2
2,5-8,2
65,1-72,2
2,4-4,2

Whole Seed
9,4-11,3
13,3-26,9
4,5-16,2
7,4-8,8
50,0-57,0
1,60-4,20
59,0


Testa (Seed Coat)
11,0

21,6
7,4

50,0-60,0
340,3
11,3-25,3
7,4
33,1
20,2

10
Universitas Sumatera Utara

Dari Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa biji asam jawa memiliki kandungan
tannin sebesar 20,2% yang terdapat pada kulit biji (seed coat) dan kandungan pati
(starch) dalam daging biji cukup besar sekitar 33,1% [35]. Berdasarkan
pengamatan Nilanjana [39] tannin yang dikandung dalam tanaman merupakan zat

aktif yang menyebabkan proses koagulasi, sedangkan polimer alami seperti pati
berfungsi sebagai flokulan. Imbabi et al. [40] mempelajari bahwa ekstrak biji
asam jawa mempunyai kemampuan dalam melawan bakteri E.coli yang dihasilkan
oleh zat tamarindineal (5-hydroxy-2-oxo-hexa-3,5-dineal).
Ekstrak biji asam Jawa mengandung polisakarida alami yang tersusun atas
D-galaktosa, D-glukosa dan D-xylosa yang merupakan flokulan alami. Flokulan
alami terutama polisakarida, lebih ramah lingkungan bila dibandingkan dengan
koagulan organik dan anorganik [41]. Bagian testa pada biji mengandung 40%
karbohidrat dan pektin yang larut dalam air serta 60% tannin dan bahan pewarna
[42]. Struktur testa dianggap sama dengan flavonoid dan proantosianidin yang
terkondensasi, sehingga testa mudah teroksidasi dan mengalami polimerisasi yang
progresif pada kondisi asam. Menurut Vazquez et al [43], beberapa kelompok
tannin yang berada pada testa adalah zat aktif untuk proses adsorpsi. Sifat fisikakimia dari biji asam jawa diberikan pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Kimia Biji Asam Jawa [24]
Parameter
Luas permukaan, m2/g (metode
adsorpsi nitrogen BET)
Kandungan air mekanis, % (b/b)
Kapasitas pertukaran ion, meq/g


Nilai
0,99
10,00
2,76

Biji asam jawa mengandung polisakarida yang memiliki gugus –OH
sehingga dapat digunakan sebagai adsorben. Karbohidrat adalah senyawa organik
yang termasuk dalam golongan senyawa polimer. Senyawa polimer ini terdiri dari
monomer berupa D-glukosa yang berikatan dengan glukosa membentuk 1,4’-β-Dglukosa. Molekul-molekul selulosa seluruhnya membentuk linear dan mempunyai
kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intramolekul dan
intermolekul. Ikatan hidrogen intramolekul terbentuk antara gugus-gugus –OH
dari unit-unit glukosa yang berdekatan dalam molekul selulosa yang sama. Ikatan
hidrogen antarmolekul terbentuk dari gugus –OH dari molekul selulosa yang

11
Universitas Sumatera Utara

berdampingan. Berdasarkan struktur, biji asam jawa yang mengandung selulosa
mempunyai potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai adsorben karena
mengandung gugus hidroksil (–OH) yang dapat berinteraksi dengan komponen

adsorbat [44].

2.2

MINYAK KELAPA SAWIT (CRUDE PALM OIL)
Pada tahun 1434, seorang pelaut dari Portugis, Gil Eannes pertama kali

memberitahukan mengenai tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) [45]. Saat
ini, tanaman kelapa sawit telah berkembang kebanyakan di bagian barat benua
Afrika, Indonesia, Malaysia, dan akhir-akhir ini berkembang di Brazil dan
Kolombia. Pohon kelapa sawit dapat tumbuh hingga 20 meter tingginya dan
temperatur yang baik untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 24-27oC. Pohon
kelapa sawit membutuhkan iklim yang lembab dan minyaknya dapat diolah dari
buahnya pada saat pohon berumur 4 tahun dan dapat dipanen selama 40-50 tahun
[5].
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) dapat menghasilkan dua jenis minyak,
yaitu minyak kelapa sawit yang berasal dari daging buah (mesocarp) dan minyak
biji kelapa sawit (kernel palm oil) dari biji buah kelapa sawit. Minyak kelapa
sawit memiliki titik leleh pada suhu 21-27oC yang dapat dikristalisasi menjadi
fraksi padat (palm stearin, 25-35%, mencair pada suhu antara 48 dan 50oC) dan

fraksi cair (palm olein, 65-70%, mencair pada suhu antara 18 dan 20oC), dengan
demikian dapat memperluas jangkauan yang bermanfaat dari minyak kelapa sawit
[46].

Gambar 2.2 Penampang Melintang Buah Kelapa Sawit [5]

12
Universitas Sumatera Utara

CPO (crude palm oil) merupakan minyak kasar yang diperoleh dengan cara
ekstraksi daging buah sawit dan biasanya masih mengandung kotoran terlarut dan
tidak terlarut dalam minyak. Pengotor yang dikenal dengan sebutan gum atau
getah ini terdiri dari fosfatida, protein, hidrokarbon, karbohidrat, air, logam berat,
resin, asam lemak bebas (FFA), tokoferol, pigmen dan senyawa lainnya [47].
Komposisi umum dari CPO diberikan pada Tabel 2.3 di bawah ini.

Tabel 2.3 Komposisi Umum Minyak Sawit Kasar (CPO) [48]
Kelompok
Minyak


Komponen dalam Kelompok
- Trigliserida, Digliserida, Monogliserida
- Fosfolipida, Glikolipida, Lipoprotein
- Asam Lemak Bebas
Produk Teroksidasi
- Peroksida, Aldehida, Keton, Furfural (dari
gula)
Non-Minyak (namun larut dalam - Karoten
minyak)
- Tokoferol
- Squalane
- Sterol
Pengotor
- Partikel Logam
- Ion Logam
- Kompleks Logam
Bahan yang Larut dalam Air
- Air (moisture)
- Gliserol
- Pigmen Klorofil
- Fenol
- Gula (karbohidrat yang dapat larut)
Adanya

pengotor

pada

minyak

akan

menurunkan

kualitas

dan

mempengaruhi penampilan fisik, rasa, bau dan waktu simpan dari minyak,
sehingga harus dihilangkan melalui proses pemisahan secara fisika maupun secara
kimia [47]. Sementara komposisi dari konstituen utama minyak sawit kasar
diberikan pada Tabel 2.4 di bawah ini.
Tabel 2.4 Komposisi dari Konstituen Utama Minyak Sawit Kasar (CPO) [5]
Crude Palm Oil

Konstituen
Trigliserida, %
Asam Lemak Bebas (FFA), %
Red Color (5 ¼ “ Lovibond Cell)
Moisture & Impurities, %
Bilangan Peroksida, (meq/kg)
Bilangan Anisidine, AV

95
2-5
Orange Red
0,15-3,0
1-5,0
2-6

13
Universitas Sumatera Utara

β – karoten, ppm
Fosfor, ppm
Besi, ppm
Tokoferol, ppm
Digliserida, %

500-700
10-20
4-10
600-1000
2-6

CPO berbentuk semi padat pada suhu ruang. CPO berwarna jingga karena
mengandung sekitar 500 – 700 ppm β - karoten dan merupakan bahan pangan
dengan sumber karoten alami terbesar. CPO juga mengandung sedikit air serta
serat halus yang berwarna kuning sampai merah yang menyebabkan CPO tidak
dapat dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan maupun non pangan.
CPO terdiri atas berbagai trigliserida dengan rantai asam lemak yang
berbeda-beda, antara 14 – 20 atom karbon. Dalam proses pembentukannya,
trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul gliserol dengan tiga
molekul asam-asam lemak yang membentuk satu molekul trigliserida dan tiga
molekul air [49].
O
||
H2C – OH
|
HC – OH
|
H2C – OH
Gliserol

H2C – O – C – R1

HOOCR1
|
+

HOOCR2

|


|

O

HC – O – C – R2
|

+ 3H2O

O

H2C – O – C – R1

HOOCR3
Asam Lemak

Trigliserida

Air

Minyak yang mula – mula terbentuk dalam buah adalah trigliserida yang
mengandung asam lemak bebas jenuh, dan setelah mendekati masa pematangan
buah terjadi pembentukan trigliserida yang mengandung asam lemak tidak jenuh.
Asam lemak adalah asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisis suatu lemak
atau minyak, yang umumnya mempunyai rantai hidrokarbon panjang dan tidak
bercabang. Asam lemak terbagi atas dua macam, yaitu :

14
Universitas Sumatera Utara

1.

Asam Lemak Jenuh
Asam lemak jenuh adalah asam lemak yang tidak mengandung ikatan

rangkap antara atom – atom karbon pada rantainya, dan pada umumnya
mempunyai titik lebur yang tinggi.
2.

Asam Lemak Tak Jenuh
Asam lemak tak jenuh adalah asam lemak yang memiliki satu atau lebih

ikatan rangkap di antara atom – atom karbonnya, dan pada umumnya mempunyai
titik lebur yang rendah.
Komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh pada CPO
diberikan pada Tabel 2.5 dan 2.6 di bawah ini.
Tabel 2.5 Asam – Asam Lemak Jenuh pada Minyak Kelapa Sawit [49]
Jumlah
Atom
Karbon
14
16
18

Asam Lemak
Jenuh
Asam Miristat
Asam Palmitat
Asam Stearat

Rumus Struktur
CH3(CH2)12COOH
CH3(CH2)14COOH
CH3(CH2)16COOH

Titik
Lebur
(oC)
54,4
62,9
69,6

Jumlah
(%)
1,1 – 2,5
40 – 46
3,6 – 4,7

Tabel 2.6 Asam – Asam Lemak Tak Jenuh pada Minyak Kelapa Sawit [49]
Asam
Lemak
Tak Jenuh
Asam Oleat
Asam
Linoleat

Jumlah
Atom
Karbon
18
18

Rumus Struktur
CH3(CH2)7CH=(CH2)7COOH
CH3(CH2)7CH=CHCHCH2=(CH)2CO
OH

Titik
Lebur
(oC)
14
-5

Jumla
h (%)
42,7
10,3

Asam lemak bebas diperoleh dari proses hidrolisa, yaitu dari penguraian
lemak atau trigliserida oleh molekul air yang menghasilkan gliserol dan asam
lemak bebas. Kerusakan minyak atau lemak dapat juga diakibatkan oleh proses
oksidasi, yaitu terjadinya kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau
lemak, yang biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida.
Selanjutnya terurailah asam lemak disertai dengan hidroperoksida menjadi aldehid
dan keton serta asam-asam lemak bebas [49].
Selain trigliserida masih terdapat senyawa non trigliserida dalam jumlah
kecil. Yang termasuk senyawa non trigliserida ini antara lain diglisrida, fosfatida,

15
Universitas Sumatera Utara

karbohidrat, turunan karbohidrat, protein, dan bahan-bahan berlendir atau getah
(gum) serta zat-zat berwarna yang memberikan warna serta rasa dan bau yang
tidak diinginkan. Dalam proses pemurnian dengan penambahan alkali (biasanya
disebut dengan proses penyabunan) beberapa senyawa non trigliserida ini dapat
dihilangkan, kecuali beberapa senyawa yang disebut dengan senyawa yang tak
tersabunkan [50]. Menurut Formo et al. [51], tingginya kandungan air pada
minyak kelapa sawit disebabkan oleh aktivitas enzim, oleh karena itu kandungan
air harus diturunkan untuk menjaga kandungan asam lemak bebas tetap minimum.
Kandungan minor dalam minyak sawit berjumlah kurang lebih 1 %, antara
lain terdiri dari karoten, tokoferol, sterol, alkohol, triterpen, dan fosfolipida.
Meskipun berada dalam jumlah kecil, kandungan minor ini dapat mempengaruhi
kemampuan pemucatan, stabilitas, dan nilai nutrisi minyak sawit. Fosfolipida,
yang merupakan ester kompleks yang sebagian besar terdiri dari fosfor, dan
sebagian kecil nitrogen, gula, dan

asam lemak rantai panjang, merupakan

konstituen utama yang harus dihilangkan selama degumming dengan cara
koagulasi kandungan fosfatida menggunakan asam fosfat atau asam sitrat.
Fosfolipida dalam minyak kelapa sawit berada pada jumlah yang relatif kecil,
yaitu sekitar 5 – 130 ppm dibandingkan dengan minyak nabati lainnya [5].
Sambanthamurthi et al. [52] menyebutkan bahwa minyak mesokarp yang
diekstraksi dengan pelarut biasanya mengandung 100 – 200 ppm fosfolipida,
namun pada minyak kelapa sawit biasanya hanya sekitar 20 – 80 ppm.
2.3

PEMURNIAN CPO
Proses pemurnian merupakan tahap yang diperlukan dalam produksi minyak

dan lemak nabati. Tujuan dari proses ini adalah untuk menghilangkan pengotor
serta komponen lain yang dapat mempengaruhi kualitas akhir produk. Kualitas
akhir produk yang perlu dipantau adalah rasa, stabilitas penyimpanan, dan warna
[53].
Dalam industri, tujuan utama pemurnian adalah untuk mengubah minyak
sawit kasar menjadi minyak goreng berkualitas melalui penghilangan kotoran
yang tidak diperlukan ke batas yang diinginkan dengan perlakuan yang paling

16
Universitas Sumatera Utara

efisien. Kehilangan (loss) komponen yang diinginkan dijaga seminimum mungkin
dengan biaya produksi yang efektif [54].
Sangat penting memilih proses pemurnian yang sesuai untuk memproduksi
produk akhir dengan kualitas tinggi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Ada
dua jenis proses pemurnian yang umum dalam teknologi pengolahan minyak
kelapa sawit, yaitu pemurnian secara kimia (alkali) dan pemurnian secara fisika.
Perbedaan dasar keduanya adalah pada bahan kimia yang digunakan serta cara
penghilangan FFA (Free Fatty Acid).
Pemurnian secara fisika muncul pertama kali untuk menggantikan
penggunaan bahan kimia (alkali) dalam pemurnian minyak yang disebabkan oleh
tingginya kandungan FFA pada minyak yang dimurnikan secara kimia. Tahap
proses deasidifikasi (deodorisasi) pada pemurnian secara fisika dapat mengatasi
masalah tersebut. Selain itu, menurut literatur, metode pemurnian secara fisika
lebih disukai karena dianggap lebih cocok untuk minyak nabati dengan
kandungan fosfatida rendah, seperti minyak kelapa sawit. Dengan demikian,
pemurnian secara fisika terbukti memiliki efisiensi yang lebih tinggi, kerugian
yang lebih sedikit (faktor pemurnian (RF) < 1,3), dan biaya operasi yang lebih
rendah [55]. Faktor pemurnian (RF) adalah parameter yang digunakan untuk
menilai efisiensi dari setiap tahap proses pemurnian. Faktor ini tergantung pada
yield produk dan kualitas bahan yang digunakan [53]. Faktor ini dihitung sebagai
berikut :
RF =

% oil loss

(2.1)

% FFA

Proses pemurnian minyak nabati pada umumnya terdiri dari 4 tahap, yaitu:
a) proses pemisahan gum (degumming), b) proses pemisahan asam lemak bebas
(netralisasi) dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau
pereaksi lainnya sehingga terbentuk sabun, c) proses pemucatan (bleaching) yang
merupakan proses penghilangan komponen warna coklat seperti karotenoid &
tokoferol, dan d) proses penghilangan bau (deodorisasi) yang merupakan proses
penghilangan asam lemak bebas dan komponen penyebab bau tidak sedap seperti
peroksida, keton dan senyawa hasil oksidasi lemak lainnya [56].

17
Universitas Sumatera Utara

Adapun kualitas yang hendak dicapai dari pemurnian CPO menjadi RBDP
Olein (Refined Bleached Deodorized Palm Olein) atau minyak goreng sawit
menurut Standar Nasional Indonesia diberikan pada Tabel 2.7 berikut.

Tabel 2.7 Standar Mutu CPO dan RBDP Olein menurut SNI [57, 58]
Parameter
CPO
RBDP Olein
Warna (Lovibond 5 ¼ “ cell)
Jingga kemerah - merahan Maks. 5,0/50
Kadar Air dan Kotoran (M&I), % Maks. 0,5
Maks. 0,1
Asam Lemak Bebas (sebagai Maks 0,5
Maks. 0,3
asam palmitat), %
Sedangkan standar mutu yang umum digunakan pada skala internasional
untuk minyak kelapa sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil), yang telah
dihilangkan getah dan warnanya atau DBPO (Degummed Bleached Palm Oil),
serta yang telah dimurnikan seluruhnya atau RBDPO (Refined Bleached
Deodorized Palm Oil) diberikan pada Tabel 2.8 di bawah ini.

Tabel 2.8 Standar Mutu Umum dari CPO, DBPO, dan RBDPO [59]
Parameter
FFA (sebagai palmitat), %
M&I, %
Warna (5 ¼ Lovibond Cell)
Fosfatida, ppm
β – karoten, ppm
DOBI
PV, meq/kg
Besi (Fe), ppm
Tembaga (Cu), ppm
AV

CPO
2–5
0,15 – 3,0
10 – 18
500 – 600
2 – 3,5
1,5 – 5,0
4 – 10
~ 0,05
2–6

DBPO
3–5
~ 0,2
~4
Nil
~ 0,15
~ 0,05
2-6

RBDPO
~ 0,05
~ 0,02
Merah 2,0
~3
Nil
~ 0,15
~ 0,05
~ 2,0

2.3.1 Degumming CPO
Perlakuan pendahuluan yang umum dilakukan terhadap minyak yang akan
dimurnikan dikenal dengan proses pemisahan gum (degumming). Adanya gum
dalam minyak akan mengurangi keefektifan adsorben untuk menyerap warna, dan
pada proses netralisasi akan mengurangi rendemen trigliserida karena gum akan
menambah partikel emulsi dalam minyak. Dengan semakin baik perlakuan pada
proses degumming diharapkan dapat meningkatkan kualitas minyak yang

18
Universitas Sumatera Utara

dihasilkan dan dapat menekan kerusakan minyak lebih lanjut, terutama komponen
nutrisi yang berharga dari minyak yaitu β – karoten yang merupakan sumber
provitamin A [11].
Secara konvensional degumming adalah proses pembentukan flok-flok dari
zat-zat yang bersifat koloidal dalam minyak mentah. Cara yang sering dilakukan
adalah dengan menambahkan H3PO4, C6H8O7, H2SO4 atau HCl. Pengaruh yang
ditimbulkan oleh asam adalah menggumpalkan dan mengendapkan zat-zat seperti
protein, fosfatida dan resin yang terdapat dalam minyak mentah. Pada proses
degumming dengan kaustik alkali, partikel – partikel sabun yang terbentuk akan
menyerap zat-zat lendir dan sebagian pigmen, tetapi proses ini mempunyai
kelemahan yaitu adanya kecenderungan untuk membentuk emulsi dari sabun yang
terjadi sehingga semakin banyak minyak yang hilang [60].
Proses degumming dibedakan menjadi water degumming, dry degumming,
enzymatic degumming, membrane degumming, dan acid degumming [61, 47].
Penelitian ini mempelajari acid degumming CPO dengan asam fosfat. Acid
degumming CPO dengan asam fosfat dimaksudkan untuk memisahkan fosfatida
yang merupakan sumber rasa dan warna yang tidak diinginkan [5]. Senyawa
fosfatida dalam minyak terdiri dari dua macam yaitu fosfatida hydratable dan
fosfatida non hydratable. Fosfatida hydratable mudah dipisahkan dengan
penambahan air pada suhu rendah sekitar 400

o

C. Penambahan air ini

mengakibatkan fosfolipid akan kehilangan sifat lipofiliknya dan berubah sifat
menjadi lipofobik sehingga mudah dipisahkan dari minyak [61]. Fosfatida non
hydratable harus dikonversi terlebih dahulu menjadi fosfatida hydratable dengan
penambahan larutan asam dan dilanjutkan dengan proses netralisasi. Asam yang
biasa digunakan pada proses degumming adalah asam fosfat dan asam sitrat [62].

2.3.2 Bleaching CPO
Proses pemucatan (bleaching) dimaksudkan untuk mengurangi atau
menghilangkan zat-zat warna (pigmen) dalam minyak mentah, baik yang terlarut
ataupun yang terdispersi. Warna minyak mentah dapat berasal dari warna bawaan
minyak ataupun warna yang timbul pada proses pengolahan. biasa terdapat di
dalam minyak mentah ialah karotenoid yang berwarna merah atau kuning, klorofil

19
Universitas Sumatera Utara

dan turunannya yang berwarna hijau. Jenis pemucatan yang biasanya digunakan
adalah proses bleaching dengan adsorpsi. Proses ini menggunakan zat penyerap
(adsorben) yang memiliki aktivitas permukaan yang tinggi untuk menyerap zat
warna yang terdapat dalam minyak mentah. Di samping menyerap zat warna,
adsorben juga dapat menyerap zat yang memiliki sifat koloidal lainnya seperti
gum dan resin. Adsorben yang paling banyak digunakan dalam proses pemucatan
minyak dan lemak adalah tanah pemucat (bleaching earth) dan arang (carbon).
Arang sangat efektif dalam menghilangkan pigmen warna merah, hijau dan biru,
tetapi karena harganya terlalu mahal, dalam pemakaiannya biasa dicampur dengan
tanah pemucat dengan jumlah yang disesuaikan dengan jenis minyak mentah yang
akan dipucatkan [63].
Dari penelitian Emma [64] mengenai manfaat dari beberapa jenis bleaching
earth terhadap warna CPO diperoleh hasil bahwa di antara simnit (sejenis tanah
lempung), bentonit, dan karbon aktif, simnit merupakan jenis bleaching earth
yang paling baik karena simnit mempunyai luas permukaan yang lebih besar atau
partikelnya sangat halus, dan dengan penambahan asam fosfat sebagai
pengaktifkan menyebabkan penyerapan terhadap warna (karoten) dan pengotorpengotor yang terdapat pada minyak mentah itu lebih optimum.

2.3.3 Pemucatan dengan Menggunakan Adsorben
Pemucatan dengan menggunakan tanah pemucat prinsipnya adalah
pemucatan dengan adsorpsi. Adsorpsi merupakan peristiwa penyerapan pada
lapisan permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu materi terkumpul
pada bahan pengadsorpsi atau adsorben. Ditinjau dari bahan yang teradsorpsi dan
bahan pengadsorben adalah dua fasa yang berbeda, oleb sebab itu dalam peristiwa
adsorpsi, meteri teradsorpsi akan terkumpul antar muka kedua fasa tersebut.
Peristiwa adsorpsi pada prinsipnya adalah netralisasi gaya tarik yang keluar
dari suatu permukaan. Gaya tarik enter molekul pada permukaan dan dengan yang
berada pada bahagian dalam suatu material adalah tidak sama. Molekul pada
permukaan cenderung menarik molekul disekitarnya, maka molekul pada
permukaan akan saling terikat lebih kuat satu sama lain, dan dapat menekan

20
Universitas Sumatera Utara

molekul

dibawah

permukaan,

sehingga

muncullah

pengertian

tegangan

permukaan.
Pendapat tentang mekanisme adsorpsi zat warna pada proses pemucatan
minyak kelapa sawit masih terdapat kesimpang siuran, sebagian pendapat bahwa
gejala tersebut adalah peristiwa kimia dan yang lain menyatakan hal itu adalah
peristiwa fisika, akan tetapi disimpulkan sebagai affinitas/permukaan terhadap
substrat. Pada adsorpsi fisika terjadi proses cepat dan setimbang (reversibel)
sedangkan adsorpsi kimia berlangsung lambat tetapi ireversibel. Perbedaan antara
adsorpsi kimia dengan adsorpsi fisika kadang-kadang tidak jelas dan banyak
prinsip-prinsip adsorpsi fisika berlaku juga pada adsorpsi kimia. Gaya-gaya yang
terlibat pada proses adsorpsi antara lain gaya tarik Van der Walls yang non polar,
pembentukan ion hidrogen, gaya penukaran ion dan pembentukan ikatan kovalen.
Freundlich mengusulkan persamaan matematika yang meninjau hubungan
antara zat yang diadsorpsi dengan konsentragi zat pengadsorpsi yang dinyatakan
sebagai berikut:
X
M

= k.Cf 1/n

(2.2)

Dimana :
X

= Co – Cf

Co

= konsentrasi awal

Cf

= konsentrasi setelah adsorpsi

M

= berat adsorben

k dan n = konstanta Freundlich
Persamaan ini dapat juga ditulis sebagai berikut:
Log(Co – Cf) – log M = log k + 1/n log Cf

(2.3)

Persamaan ini merupakan persamaan linear, dengan memplotkan log x/M
dan log Cf, dimana k adalah intersept, dan 1/n merupakan slope. Harga k
merupakan indikasi untuk menyatakan kapasitas adsorpsi dari, tanah pemucat,
sedangkan 1/n menunjukkan pengaruh kapasitas adsorpsi. Ada dua bentuk
adsorpsi yaitu:

21
Universitas Sumatera Utara

1.

Adsorpsi positif, yaitu penyerapan substart yang tidak diinginkan sehingga
bahan relatif tidak mengandung substart tersebut.

2.

Adsorpsi negatif, yaitu proses penyerapan pelarut dari substart yang tidak
diinginkan Dalam hal ini pelarutannya yang dipisahkan dari substart yang
tidak diinginkan cara ini jarang dilakukan karena dianggap tidak efektif.
Pemucatan minyak kelapa sawit dengan menggunakan adsorben berbentuk

adsorpsi

positif.

Bahan

pemucat

umum

digunakan

adalah

tanah

list

montmorillonit yang diaktifkan [65].

2.4

ASAM LEMAK
Asam lemak adalah asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisis ester

terutama gliserol dan kolesterol. Asam lemak yang terdapat di alam biasanya
mengandung atom karbon genap dan merupakan derivat berantai lurus. Rantai
dapat jenuh (tidak mengandung ikatan rangkap) atau tidak jenuh (mengandung
satu atau lebih ikatan rangkap) [66].
Rantai panjang atau jumlah atom karbon pada asam lemak juga mempunyai
pengaruh besar pada bentuk lemak tersebut. Lemak yang mengandung asam
lemak rantai panjang (14 – 22 atom karbon) pada umumnya berbentuk padat pada
suhu kamar. Sedangkan lemak yang mengandung asam lemak yang berantai
pendek (4 – 12 atom karbon) pada umumnya berbentuk cair pada suhu kamar
[67].
Asam lemak yang ditemukan di alam, biasanya merupakan asam-asam
monokarboksilat dengan rantai yang tidak bercabang dan mempunyai jumlah
atom genap. Asam-asam lemak yang ditemukan dapat dibagi menjadi dua
golongan, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam-asam lemak
tidak jenuh berada dalam jumlah dan posisi ikatan rangkapnya, dan berbeda
dengan asam lemak jenuh dalam bentuk molekul keseluruhannya. Adanya ikatan
rangkap pada asam lemak tidak jenuh menimbulkan kemungkinan terjadinya
isomer yang terjadi pada posisi ikatan rangkap. Asam lemak dapat digolongkan
berdasarkan berat molekul dan derajat ketidakjenuhannya. Keduanya akan
mempengaruhi sifat-sifat larutannya dalam air, dan kelarutan garam-garamnya
dalam alkohol dan air.

22
Universitas Sumatera Utara

Asam lemak dengan atom C lebih dari duabelas tidak larut dalam air dingin
maupun air panas, asam lemak dari C4, C6, C8, dan C10 dapat menguap dan asam
lemak C12 dan C14 sedikit menguap. Garam-garam dari asam lemak yang
mempunyai berat molekul rendah dan tidak jenuh lebih mudah larut dalam
alkohol daripada garam-garam dari asam lemak yang mempunyai berat molekul
tinggi dan jenuh.
Asam-asam lemak dengan jumlah atom C genap mempunyai nama umum
sebagai berikut:
C4 = Asam butirat (asam butanoat)
C6 = Asam kaproad (asam heksanoat)
C8 = Asam kapirat (asam oktanoat)
C10 = Asam kaprat (asam dekanoat)
C12 = Asam laurat (asam dodekanoat)
C14 = Asam miristat ( asam tetradekanoat)
C16 = Asam plamitat (asam hesadekanoat)
C18 = Asam stearat
C24 = Asam lignoserat
C18:1 = Asam oleat (asam 9-oktadekanoat)
C18:2 = Asam linoleat (asam 9, 12, 15-oktadekatrionat)
C20:4 = Asam arakidonat (asam 5, 8, 11, 14-eikosatetraenoat)
[68]

2.4.1 Asam Lemak Bebas
Asam lemak bebas dalam konsentrasi tinggi ikut dalam minyak sawit sangat
merugikan. Tingginya asam lemak bebas mengakibatkan rendemen minyak turun,
untuk itulah perlu dilakukan usaha pencegahan terbentuknya asam lemak bebas
dalam minyak sawit. Kenaikan asam lemak bebas ditentukan mulai dari saat buah
dipanen sampai diolah di pabrik. Kenaikan asam lemak bebas ini disebabkan
adanya reaksi hidrolisa pada minyak. Hasil reaksi hidrolisa minyak sawit adalah
gliserol dan asam lemak bebas. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya faktorfaktor panas, air, keasaman, dan katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini
berlangsung, maka akan semakin banyak asam lemak bebas yang terbentuk.

23
Universitas Sumatera Utara

Pemanenan pada waktu yang tepat merupakan salah satu usaha untuk
menekan terjadinya asam lemak bebas dalam minyak kelapa sawit. Sedangkan
pemetikan setelah batas panen yang ditandai dengan buah yang berjatuhan dan
menyebabkan kelukaan pada buah yang lainnya akan menstimulir penguraian
enzim pada buah, sehingga menghasilkan asam lemak bebas dan akhirnya
terjangkit pada buah sawit yang masih utuh, sehingga kadar asam lemak bebas
meningkat. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar
asam lemak bebas yang relatif tinggi dalam minyak kelapa sawit antara lain :
pemanenan buah kelapa sawit yang tidak tepat waktu, keterlambatan dalam proses
pengumpulan dan pengangkutan buah, penumpukan buah terlalu lama, dan proses
hidrolisa selama pemerosesan di dalam pabrik.
O
||
H2C – O – C – R1
|

HOOCR1

O

HC – O – C – R2
|

H2C – OH
+ 3H2O



HC – OH

+

HOOCR2

O

H2C – O – C – R1
Trigliserida

Air

H2C – OH

HOOCR3

Gliserol

Asam Lemak Bebas

Apabila trigliserida (minyak) bereaksi dengan air maka menghasilkan
gliserol dengan asam lemak bebas. Sebagian asam lemak tidak bergabung dengan
molekul gliserol pada minyak atau lemak yang dikenal dengan Asam Lemak
Bebas (FFA). Crude palm oil mengandung 3 – 5 % asam lemak bebas. Lemak dan
minyak yang telah dimurnikan yang siap untuk dikonsumsi memiliki asam lemak
bebas < 0,05 % [67].
Asam lemak bebas merupakan kandungan dari lemak yang menjadi salah
satu indikator kualitas lemak. Asam lemak bebas mampu menggambarkan proses
deodorasi. Jika minyak yang dihasilkan tidak memiliki mutu yang baik, hal ini
dapat disebabkan oleh kebocoran pada pipa udara ketika proses deodorasi. Asam
lemak bebas merupakan hasil hidrolisa air dan lemak. Proses hidrolisa akan
meningkat dengan adanya enzim lipase. Enzim lipase akan terbentuk pada buah
saat buah mulai berkecambah. Pada saat ini buah mengeluarkan enzim lipase yang

24
Universitas Sumatera Utara

merupakan katalisator hidrolisis pada kelapa sawit. Karena alasan ini buah dari
kelapa sawit diproses secepat mungkin setelah buah dipetik untuk mengurangi
penurunan kualitas minyak [69].

2.4.2 Pengaruh Asam Lemak Bebas pada Mutu Minyak Kelapa Sawit
Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh proses hidrolisa dan oksidasi
biasanya bergabung dengan lemak netral dan pada konsentrasi hingga 15%.
Lemak dengan kadar asam lemak bebas lebih dari 1%, jika dicicipi akan terasa
membentuk film pada permukaan lidah dan tidak berbau tengik, namun
intensitasnya tidak bertambah dengan bertambahnya jumlah asam lemak bebas.
Asam lemak bebas, walaupun berada dalam jumlah kecil mengakibatkan rasa
tidak lezat lagi. Hal ini berlaku pada lemak yang mengandung asam lemak tidak
dapat menguap dengan jumlah atom lebih besar dari 14. Asam lemak bebas yang
dapat menguap, dengan jumlah atom karbon C4, C6, C8 dan C10, menghasilkan bau
tengik dan rasa tidak enak dalam bahan pangan berlemak. Asam lemak ini
umumnya terdapat dalam minyak nabati seperti minyak kelapa sawit [70].

2.5

PEROKSIDA
Bilangan peroksida adalah banyaknya miliekuivalen peroksida dalam 1000

gram lemak. Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat
oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida ini
dapat ditentukan dengan metode iodometri [70].
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi
dan hidrolitik, baik enzimatik maupun nonenzimatik. Di antara kerusakan minyak
yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena autooksidasi yang paling besar
pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain
peroksida, asam lemak, aldehid, dan keton. Bau tengik atau rancid terutama
disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak
dapat dinyatakan sebagai angka peroksida atau angka asam thiobarbiturat (TBA)
[71].

25
Universitas Sumatera Utara

Secara umum, reaksi pembentukan peroksida dapat digambarkan sebagai
berikut :
O
R – CH – CH – R’
O

R – CH – CH – R’
O

O

R–C

O
+ R’ – C

H

H

O
Monoksida

Peroksida

Aldehid

Bilangan peroksida biasanya pengukuran secara volumetri dengan metode
yang telah dikembangkan oleh Lea. Hal ini bergantung pada reaksi kalium iodida
dalam suasana asam dengan mengikat oksigen diikuti dengan titrasi dari
pembebasan iodine dengan natrium tiosulfat. Kloroform adalah pelarut yang
biasanya digunakan [72].
Hasil oksidasi berpengaruh dan dapat mempersingkat periode induktif dari
lemak segar, dan dapat merusak zat inhibitor. Konstituen yang aktif dari hasil
oksidasi lemak, berupa peroksida lemak atau penambahan peroksida selain yang
dihasilkan pada proses oksidasi lemak, misalnya hidrogen peroksida dan asam
peroksida dapat mempercepat proses oksidasi. Usaha penambahan anti-oksidan
hanya dapat mengurangi peroksida dalam jumlah kecil, namun fungsi anti-oksidan
akan rusak dalam lemak yang mengandung peroksida dalam jumlah besar [70].

26
Universitas Sumatera Utara

2.6

PEMILIHAN PROSES PEMBUATAN ADSORBEN DARI BIJI ASAM JAWA UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN ASAM
LEMAK BEBAS DAN BILANGAN PEROKSIDA PADA PEMURNIAN CPO

Tabel 2.9 Daftar Nama, Tahun, Kajian, Aktivasi Kimia yang Dilakukan, Ukuran dan Dosis yang Digunakan, Serta Hasil yang Diperoleh pada
Penelitian Mengenai Daya Adsorpsi Biji Asam Jawa
Nama, Tahun

Kajian

Aktivasi Kimia

Ukuran & Dosis

Hasil

Gupta dan Babu
[20]

Adsorpsi Cr (VI)

Adsorben : Asam sulfat
98% (1:1)

4 – 24 g/L untuk
konsentrasi Cr (VI) 50
g/L pada larutan

Daya adsorpsi 11,088 mg/g

-

50, 100, 140 mesh
1000, 2000, 3000,
4000, 5000 mg/L
limbah cair

Pada ukuran partikel 140
mesh penyisihaan
turbiditas 91,64%, TSS
86,50% dan COD 20%.

Enrico [17]

Penjernihan limbah cair industri tahu

Pawening [18]

Biji asam jawa netral dan diaktivasi
untuk adsorpsi Cr (III)

-

-

Luas permukaan: netral
28,3602 m2/g, aktif 59,5345
m2/g
Daya adsorpsi: 1,1874mg Cr
(III)

Suguna, et al. [73]

Biji asam jawa netral dan diaktivasi
dengan asam untuk adsorpsi Mn (II)

HCl 1 N : biji (100 ml :
10 g)

60 – 80 mesh
100 mg/100 mL larutan
logam

Daya adsorpsi: netral 122
mg/g, aktif 182.mg/g

27
Universitas Sumatera Utara

Rajeshkannan, et
al. [24]

Penghilangan warna malachite geen

-

Munusamy, et al.
[21]

Penyisihan metana

Biji asam jawa : KOH
p.a (1:4)

Wuntu dan Kamu
[15]

Adsorpsi aseton

NaCl 50%

Shanthi dan
Mahalakshmi [22]

Penyisihan warna malachite geen dan
metilen biru

Gayathri, et al.
[25]

Adsorpsi Cr (VI)

Kumar, et al. [19]

Biji asam jawa murni dan
dimodifikasi untuk dsorpsi warna
metilen biru

85 mesh (0,17 mm)
2,85 g/L

Daya adsorpsi 54,95 mg/g

30 mesh

Daya adsorpsi 32 cm3/g, dan
180 cm3/g pada 35 bar

10 g adsorben untuk 0,2
mL aseton

Daya adsorpsi
6.85x10-2 cm3/g

Adsorben : Asam
nitrat 4 N (1:2),
pemanasan suhu 80
o
C

6 g/L

Daya adsorpsi: malachite
geen 93,45%, metilen biru
96,25%

Adsorben : Asam sulfat
98% (1:1)

0,3 mm
2 g/L – 10 g/L untuk
konsentrasi Cr (VI) 200
mg/L dalam larutan

Pada dosis 10 g/L daya
adsorpsi 29,41 mg/g

-

Daya adsorpsi : murni
16,611mg/g, dimodifikasi
34,483 mg/g

-

28
Universitas Sumatera Utara

Mancy, et al. [23]

Perbandingan biosorben biji asam
jawa, biji kelor, biji mimba, dan biji
nirmali untuk adsorpsi Cr (VI) dan
Fe(III)

-

Ukuran biji asli

Untuk adsorpsi Cr (VI) : biji
asam jawa (32,8%); adsorpsi
Fe (III) : biji kelor (37,8%)

Tabel 2.10 Daftar Nama, Tahun, Kajian, Agen, Dosis Agen, Kondisi Proses, Serta Hasil yang Diperoleh pada Penelitian Pemurnian Minyak
Menggunakan Adsorben
Nama, Tahun

Kajian

Agen

Dosis Agen

Kondisi Proses

Hasil

Nasution [64]

Pengaruh dosis
beberapa BE terhadap
daya adsorpsi warna

Asam fosfat 85%
Simnit, karbon
aktif, bentonit

1:100 (asam fosfat :
CPO) 0,8; 1,0; 1,2%
dari CPO

80 oC,
110 oC, 1 jam

Dosis BE 1,2%
Daya serap simnit 36,36%,
karbon aktif 19,54%,
bentonit 22,72%

Wei, et al. [9]

Jenis & dosis clay

Asam fosfat 85%
neutral clay, acid
activated clay

0,06% dari CPO
0,1 – 1,0% dari CPO

90 – 100 oC, 900
rpm, 10 menit
110 – 120 oC, 30
menit

Acid activated clay, dosis
>0,5% dari CPO

Morad, et al. [5]

Dosis asam fosfat &
clay

Asam fosfat 85%
acid – activated
clay

0,0 – 1,0% dari CPO
0,0 – 2,0% dari CPO

100 oC, vakum
(~50 torr), 30
menit

Dosis asam fosfat 0,5 – 1,0%
dari CPO, dosis clay 1,0 –
2,0% dari CPO

Widayat, et al. [29]

Penggunaan adsorben
untuk menurunkan
FFA minyak jelantah

Adsorben zeolit
alam diameter
1,69 mm

19,07 g

1 atm
60 oC
15 menit
Pengadukan skala
4

Bilangan asam sebesar 1,71

29
Universitas Sumatera Utara

0,06% dari CPO
1% dari CPO (1:0,
1:10, 1:15, 1:20, 0:1

70 oC, 900 rpm,
10 menit
40-50, 60-70C,
80-90, 100110 oC, 1; 1,5; 2;
2,5 3 jam

Abdullah, et al. [26]

Perbandingan dosis
adsorben & kondisi
operasi pada bleaching

Asam fosfat 85%,
bentonit : arang
aktif

Aisyah, et al. [27]

Penggunaan adsorben
untuk menurunkan PV
& FFA minyak
jelantah

Karbon aktif
polong buah kelor
ukuran 120 – 250
mesh

75 mg adsorben
untuk 250 g minyak

Yustinah dan
Hartini [74]

Penggunaan adsorben
untuk menurunkan PV
& warna minyak
jelantah

Arang aktif dari
sabut kelapa

2, 4, 6, 8, 10, 12 gam
adsorben untuk 200
ml minyak

100 oC, 1000
rpm, 60 menit

Dosis 10 gam
PV 1,99 meq/kg 0,244 abs
Warna 0,96 abs

Wannahari dan
Nordin [28]

Penggunaan adsorben
untuk menurunkan PV
minyak jelantah

5 – 10 g adsorben
untuk 150 ml minyak

110 oC
500 rpm
10 – 60 menit

Penurunan PV 26,67% pada
10 menit, dosis adsorben 7,5
g

Pakpahan, et al.
[75]

Penggunaan adsorben
untuk menurunkan
FFA & warna minyak
jelantah

1 atm, 80 – 90oC
10-90 menit

Adsorben jerami padi 100
mesh,
Warna 3,1 merah dan 20
kuning
FFA 0,449% untuk 40 menit

Adsorben dari
ampas tebu
(bagas) ukuran
partikel 750 mg/g [18],
sedangkan standar bilangan iodin dari adsorben yang dibuat dari biomassa tanpa
proses pengarangan tidak tersedia.
Berdasarkan pemilihan proses adsorpsi kandungan asam lemak bebas dan
bilangan peroksida pada CPO pada Tabel 2.10, maka dipilih adsorpsi pada
tekanan operasi 1 atm, kecepatan pengadukan dari magnetic stirrer sebesar 1000
rpm, dan suhu reaksi yang dijaga pada rentang 100 – 110 oC yang diadopsi dari
penelitian Abdullah et al. [26]. Waktu operasi dilakukan pada variasi waktu 25,
35, dan 45 menit, dengan variasi dosis penambahan adsorben sebesar 0,5, 1,0, dan
1,5 % dari berat CPO yang digunakan dalam reaksi. Variasi dosis dan waktu

31
Universitas Sumatera Utara

kontak adsorben ini diadopsi dan dimodifikasi dari penelitian Morad et al. [5],
dimana variabel – variabel tersebut merupakan kondisi optimum pada operasi
adsorpsi pada CPO.
Adsorben yang digunakan dalam proses adsorpsi akan dianalisa gugus –
gugus fungsinya dengan menggunakan spektrofotometri FTIR. Begitu pula
dengan adsorben bekas reaksi atau spent adsorbent juga dianalisa gugus fungsinya
dengan metode spektrofotmetri FTIR. Sehingga dengan analisa tersebut dapat
dilihat gugus – gugus fungsi pada adsorben sebelum dan sesudah proses adsorpsi,
untuk kemudian dikaji sebagai kemampuan adsorpsi adsorben terhadap penurunan
kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida pada CPO. Selain itu, dilakukan
pula uji kadar asam lemak bebas sebelum dan sesudah proses adsorpsi, serta
bilangan peroksida sebelum dan sesudah proses adsorpsi, untuk melihat sejauh
mana kemampuan adsorben dari biji asam jawa yang diaktivasi ini untuk
menurunkan kadar asam lemak bebas dan bilangan peroksida pada CPO.

2.8

ANALISA EKONOMI
Produksi adsorben dari biji asam jawa untuk pemurnian CPO akan

meningkat seiring dengan meningkatnya produksi CPO dan produk turunannya.
Biji asam jawa sebagai limbah industri pangan ini tidak dapat langsung dibuang
ke lingkungan karena kandungan bahan organiknya yang tinggi. Selain itu biji
asam jawa ini memiliki nilai ekonomis yang rendah karena tidak dapat digunakan
lagi dalam industri pengolahan makanan. Salah satu solusi untuk menangani
produksi biji asam jawa yang terus meningkat adalah mengubahnya menjadi suatu
produk yang lebih berharga dengan proses yang efektif dan efisien.
Salah satu produk dengan nilai tambah tinggi yang dapat dengan mudah
dibuat dari biji asam jawa adalah dengan membuat adsorben dari biji asam jawa.
Adsorben dari biji asam jawa banyak digunakan untuk pengolahan limbah cair.
Produksi adsorben dari biji asam jawa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1.

Memperkecil biji asam jawa dengan ukuran 140 mesh

2.

Aktivasi biji asam jawa dengan asam nitrat (HNO3) 4 N dengan rasio
perbandingan 1 : 2 (b:v) pada suhu 80 oC selama 2 jam

3.

Pencucian

32
Universitas Sumatera Utara

4.

Pemanasan dalam oven pada suhu 130 oC selama 2 jam

Berikut merupakan rincian biaya pembuatan adsorben dari biji asam jawa
dengan aktivasi menggunakan asam nitrat (HNO3) dengan rasio 1 : 2 yang telah
dilakukan selama penelitian dengan basis bahan baku biji asam jawa 1 ton.
Bahan baku utama dalam pembuatan adsorben adalah biji asam jawa dan
asam nitrat (HNO3) 4 N, biji asam jawa diperoleh dari pabrik pengolahan buah
asam jawa dan sebaiknya lokasi pembuatan adsorben dari biji asam jawa berada
dekat dengan pabrik pengolahan buah asam jawa sehingga proses pengangkutan
akan lebih ekonomis. Dari 1 ton biji asam jawa yang sudah dihaluskan dengan
rasio asam nitrat 4 N (b:v) 1:2, maka asam nitrat 4 N yang dibutuhkan adalah
sebanyak 2.000 liter. Aktivator yang digunakan adalah asam nitrat industrial
grade dengan kemurnian 70%, densitas 1,413 gram/cm3, dengan konsentrasi 15,7
N, sehingga untuk asam nitrat dengan 4 N sebanyak 2000 liter, dibutuhkan asam
nitrat 70% sebanyak:
V1.N1

=

V2.N2

V1

=

(V2.N2)/N1

V1

=

(2000 liter.4N)/15,7N

V1

=

509,55 liter

Untuk pembuatan adsorben dari biji asam jawa sebanyak 1 ton dengan
aktivator asam nitrat 4N diperlukan asam nitrat 70% sebanyak 509,55 liter yang
dilarutkan dengan aquadest hingga 2000 liter.
Biaya bahan baku dan proses pembuatan adsorben yaitu dengan biaya
proses pengumpulan biji asam jawa sebesar Rp 500.000,00/Ton, biaya aktivator
asam nitrat 4 N yang dibutuhkan sebanyak 509,55 liter yang kemudian dilarutkan
dengan aquadest hingga 2.000 liter sebesar Rp 2.422.920,00 dengan biaya lainlain (proses aktivasi, utilitas, analisa) Rp 500.000,00 untuk pembuatan 1 ton
adsorben. Maka adsorben dari biji asam jawa diharapkan dapat dijual dengan
harga Rp 4.000.000,00/Ton atau Rp 4.000,00/kg. Untuk proses adsorpsi CPO
dibutuhkan dosis adsorben dari biji asam jawa sebesar 1%. Sehingga untuk 1 kg
adsorben dari biji asam jawa dapat digunakan untuk proses degumming dan
bleaching CPO sebanyak 100 kg.

33
Universitas Sumatera Utara

Pada proses degumming dan bleaching CPO konvensional, degumming
agent yang digunakan adalah asam fosfat (H3PO4) 85% dengan harga pasaran Rp
10.000,00/Kg dengan dosis 0,1% dari berat CPO. Bleaching earth yang umumnya
digunakan adalah Tonsil dengan harga pasaran Rp 4.200,00/Kg, Taiko dengan
harga pasaran Rp 3.600,00/Kg, dan Bentonit dengan harga pasaran Rp
5.640,00/Kg dengan dosis 1% dari berat CPO [5].
Setelah dilihat harga dari degumming agent dan bleaching earth
konvensional dengan analisa biaya bahan baku adsorben biji asam jawa, maka
pembuatan adsorben dari biji asam jawa yang diaktivasi dengan menggunakan
asam nitrat 4 N dengan rasio 1 : 2 untuk proses degumming dan bleaching CPO
yang lebih ekonomis layak untuk dipertimbangkan.
Adapun keuntungan penggunaan adsorben dari biji asam jawa dalam proses
degumming dan bleaching CPO antara lain:
1. Mengurangi pencemaran terhadap lingkungan.
2. Proses degumming dan bleaching CPO dapat dilakukan dalam 1 tahap
pemurnian sehingga proses lebih ekonomis.
3. Dapat mencegah kerusakan minyak (meningkatnya FFA, peroksida) dan
menjaga kandungan karotenoid yang merupakan sumber nutrisi yang
penting dalam minyak.

34
Universitas Sumatera Utara