Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Peternak Sapi Potong Berbasis Tanaman Pangan Dan Kelapa Sawit Di Kabupaten Langkat
TINJAUAN PUSTAKA
Integrasi Antara Peternakan dengan Tanaman Pangan dan Kelapa Sawit
Tujuan pembangunan peternakan adalah meningkatkan produksi ternak
guna memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang terjangkau masyarakat.
Peternak diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan
pendapatannya. Diharapkan dengan menerapkan pengembangan kawasan
peternakan berbasis peternakan rakyat dapat meningkatkan pendapatan peternak
sehingga dapat memberi kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD),
menyerap tenaga kerja dan memeratakan pendapatan, dan mengaplikasikan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas (Suyitman et al., 2009).
Terkait
dengan
pengembangan
pakan
ternak,
diarahkan
untuk
mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku pakan lokal untuk mengurangi
ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan. Secara umum untuk
pengembangan pakan memiliki permasalahanpermasalahan, antara lain: (a)
kebutuhan bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih
mengandalkan impor, (b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara
optimal, (c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinyu dan kurang berkualitas, (d)
penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal, (e)
pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah, (f) penerapan teknologi
hijauan pakan masih rendah, (g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi
data yang kurang tepat, serta (h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan (Syamsu
dan Abdullah, 2009).
Limbah pertanian pun tidak semuanya dimanfaatkan oleh petani,
penyebabnya adalah : a) umumnya petani membakar limbah tanaman pangan
karena secepatnya akan dilakukan pengolahan tanah, b) limbah tanaman pangan
bersifat kamba sehingga menyulitkan peternak untuk mengangkut dalam jumlah
banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya lahan pertanian jauh dari
pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam pengangkutan, c) tidak
tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman pangan, dan peternak tidak
bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar rumah/kolong rumah karena
takut akan bahaya kebakaran, d) peternak menganggap bahwa ketersediaan
hijauan di lahan pekarangan, kebun, sawah masih mencukupi sebagai pakan
ternak (Liana dan Febriana, 2011).
Lahan pertanian yang makin berkurang akibat beralih fungsi menjadi
pemukiman, misalnya, menyebabkan petani-peternak harus mempunyai alternatif
usaha untuk meningkatkan pendapatan, antara lain dengan mengatur pola tanam
secara bergantian maupun campuran. Alternatif lain adalah meningkatkan usaha
ternak sapi melalui integrasi sapi-tanaman pangan atau tanaman perkebunan
(kelapa). Imam dalam Suryana (2009) mengemukakan bahwa pengembangan
peternakan dapat melalui diversifikasi ternak sapi dengan lahan persawahan,
perkebunan, dan tambak. Suwandi dalam Suryana (2009) yang meneliti penerapan
pola usaha tani padi sawah sapi potong melaporkan sistem ini dapat meningkatkan
produksi dan keuntungan petani berlahan sempit. Pengembangan sistem integrasi
tanaman ternak (sapi) bertujuan untuk: 1) mendukung upaya peningkatan
kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang
memadai, 2) mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, 3)
mendukung upaya peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, dan 4)
meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian. Melalui kegiatan ini,
produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik sehingga akan
meningkatkan pendapatan petani-peternak (Suryana, 2009).
Sistem integrasi tanaman ternak adalah suatu sistem pertanian yang
dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam
suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut
merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan
petani dan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak
dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun
dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas (Handaka et al., 2009).
Integrasi tanaman-ternak dapat dilakukan dalam satu rumah tangga petani
atau dilakukan antara beberapa rumah tangga usahatani. Pilihan pengusahaan
usahatani terpadu pada kedua skala tersebut sangat bergantung pada pengetahuan
petani, motivasi, dan ketersediaan sumberdaya. Perpaduan antara tanaman-ternak
dapat meningkatkan keuntungan dan keberlanjutan kegiatan usahatani. Integrasi
ternak ke dalam suatu usahatani tanaman menjadi sangat penting pada saat
pengusahaan tanaman secara organik (Russelle et al., 2006).
Menurut Chaniago (2009), tujuan integrasi tanaman dengan ternak adalah
untuk mendapatkan produk tambahan yang bernilai ekonomis, peningkatan
efisiensi usaha, peningkatan kualitas penggunaan lahan, peningkatan kelenturan
usaha menghadapi persaingan global, dan menghasilkan lingkungan yang bersih
dan nyaman. Pengalokasian sumberdaya yang efisien, pemanfaatan keunggulan
komparatif dan pola tanam akan menghasilkan hubungan yang sinergistik antara
cabang usahatani. Disamping itu, pola sistem usahatani terintegrasi ini
mempunyai beberapa keuntungan baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Aspek lingkungan yaitu adanya upaya dalam hal pemanfaatan limbah, efisiensi
lahan dan minimalisasi limbah.
Menurut Ilham (1998) pendekatan sistem integrasi usahatani melalui
pengembangan pola usahatani yang berwawasan lingkungan ditujukan untuk
meningkatkan produksi dan mutu hasil, juga untuk peningkatan pendapatan petani
dan menjaga kelestarian sumberdaya alam (Gambar 1).
ON FARM
PEMASARAN
PEMASARAN
SAPRONAK
SAPROTAN
HASIL PADI
HASIL
TERNAK
PAKAN TERNAK
KOMPOS
USAHATANI
TANAMAN
USAHA
TERNAK
PUPUK ORGANIK
BIOGAS
Gambar 1. Model integrasi usahatani tanaman dan ternak (Basuni, 2012)
Sebagai pelaku ekonomi, seorang petani senantiasa berupaya untuk
meningkatkan pendapatan usahataninya. Upaya yang dapat dilakukan petani untuk
meningkatkan pendapatannya adalah dengan cara meningkatkan produksi dan
melakukan
penghematan
terhadap
biaya-biaya
usahatani.
Melalui
penyelenggaraan pertanian terpadu, khususnya usahatani tanaman-hewan ternak
terpadu, petani sekaligus dapat meningkatkan produksi (jumlah maupun jenis
produk) dan melakukan penghematan biaya usahatani. Penghematan terhadap
biaya pupuk dan pakan ternak menjadi hal yang sangat penting karena kedua
komponen biaya tersebut merupakan salah satu komponen biaya terbesar.
Hanifah (2008), membuktikan bahwa dengan adanya penerapan pertanian
terpadu di Pondok Pesantren Al Ittifaq, Kampung Ciburial, Desa Alam Endah,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, dapat menghemat biaya pakan ternak
dan biaya pupuk yakni masing-masing sampai dengan 36,2 % dan 24,5 %.
Terjadinya penghematan akibat penyelenggaraan pertanian secara terpadu
dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa dan Pasandaran (2005)
pada beberapa lokasi integrasi usahtani tanaman-ternak yakni padi dan sapi di
Jawa Tengah. Penggunaan pupuk kandang pada usahatani terintegrasi tanaman
ternak dapat menghemat pengeluaran biaya pupuk sekitar 18,14%-19,48% atau
8,8% dari total biaya. Pada kondisi usahaternak maupun usahatani tanaman yang
dilakukan secara tidak terintegrasi, komponen biaya pakan ternak rata-rata dapat
mencapai 48,77 % (Agustina 2007; Febriliany 2008; Widagdho 2008; Stani 2009)
sedangkan biaya pupuk rata-rata dapat mencapai 22 % dari total pengeluaran
yakni komponen biaya terbesar kedua setelah biaya tenaga kerja (Wahyuni 2007;
Maimun 2009; Surbakti 2009).
Studi literatur yang dilakukan oleh Kusnadi (2008), terhadap berbagai
penelitian di agroekosistem lahan kering dataran tinggi, lahan kering dataran
rendah, lahan sawah, lahan pasang surut, lahan perkebunan, dan lahan kering
beriklim kering menunjukkan bahwa adanya perbedaan jenis komoditas yang
diintegrasikan, perbedaan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas, dan
dampak ekonomi yang dihasilkan. Misalnya pengembangan pertanian terpadu di
daerah dataran tinggi, tepatnya di hulu sungai yang harus memperhatikan
kemiringan lahan, kedalaman tanah, erodibilitas, persepsi petani, dan permintaan
pasar. Jumlah ternak yang dipelihara sebaiknya berjumlah 11-12 ekor domba atau
2 ekor sapi yakni sesuai dengan kapasitas lahan teras bangku. Pemeliharaan ternak
domba sebanyak 11-12 ekor atau dua ekor sapi mampu menyumbang 36 %
kebutuhan pupuk kandang dalam setahun. Pengintegrasian aktivitas usahatani
yang kurang tepat dapat berdampak pada kerugian di tingkat petani dan kegagalan
program pertanian terpadu di daerah tersebut.
Pengertian Usaha Tani
Menurut Rahim dan Diah (2008), usahatani adalah ilmu yang mempelajari
tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi (tanah, tenaga
kerja, modal, teknologi, pupuk, benih, dan pestisida) dengan efektif, efisien, dan
kontinyu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan
usahataninya meningkat. Sistem usahatani merupakan sistem terbuka, dimana
berbagai input (unsur hara, air, informasi, dan sebagainya) diterima dari luar dan
sebagian dari output meninggalkan sistem untuk dikonsumsi maupun dijual.
Usaha tani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di
tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tubuh tanah dan air,
perbaikan-perbaikan yang dilakukan di atas tanah itu, sinar matahari, bangunanbangunan yang didirikan di atas tanah tersebut dan sebagainya. Usaha tani dapat
berupa bercocok tanam atau memelihara ternak. Usahatani adalah kegiatan
mengorganisasikan atau mengelola aset dan cara dalam pertanian. Usahatani juga
dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengorganisasi sarana produksi
pertanian dan teknologi dalam suatu usaha yang menyangkut bidang pertanian
(.Mosher, 1968; Moehar, 2001).
Dari beberapa definisi dtersebut dapat disarikan bahwa yang dimaksud
dengan usahatani adalah usaha yang dilakukan patani dalam memperoleh
pendapatan dengan jalan memanfaatkan sumber daya alam, tenaga kerja dan
modal yang mana sebagian dari pendapatan yang diterima digunakan untuk
membiayai pengeluaran yang berhubungan dengan usahatani.
Menurut Soeharto (1990) dalam Surayatiyah (2009), usaha ternak dapat
digolongkan dalam 4 jenis:
1.
Usaha yang bersifat tradisional yaitu petani/peternak kecil yang mempunyai
1-2 ekor ternak ternak ruminansia besar, kecil bahkan ayam kampung.
Usaha ini hanya bersifat sambilan dan untuk saving saja.
2.
Usaha backyard, yaitu petani/peternakan ayam ras, sapi perah, ikan. Tujuan
usaha selain memenuhi kebutuhan juga untuk dijual oleh karena itu
memakai input teknologi, manajemen, dan pakan yang rasional, dalam
perkembangannya ditunjang dengan sistim PIR
3.
Usaha komersial, yaitu petani/peternak yang telah benar-benar menerapkan
prinsip-prinsip ekonomi, profit oriented, dan efesiensi. Usaha ini meliputi
usaha pembibitan, usaha pakan ternak, usaha penggemukan dan lain-lain.
Secara garis besar ada dua bentuk usahatani yang telah dikenal yaitu
usahatani keluarga (family farming) dan perusahaan pertanian (plantation, estate,
enterprise). Pada umumnya yang dimaksud usahatani adalah usaha keluarga
sedangkan yang lain adalah perusahaan pertanian.
Konsep Pendapatan Usahatani
Pada analisis usahatani, data mengenai penerimaan, biaya, dan pendapatan
usahatani perlu diketahui. Cara analisis terhadap tiga variabel ini sering disebut
dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) (Soekartawi 1995).
Adapun penjelasan ketiga variabel tersebut adalah sebagai berikut:
Struktur Penerimaan Usahatani
Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual (Soekartawi 1995). Istilah lain untuk penerimaan usahatani
adalah pendapatan kotor usahatani (gross farm income) yang didefinisikan sebagai
nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun
tidak dijual. Pendapatan kotor ini mencakup semua produk yang dijual,
dikonsumsi rumah tangga petani, bibit atau makanan ternak, digunakan untuk
pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun (Soekartawi,
1986).
Struktur Biaya Usahatani
Biaya adalah sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan
jasa bagi kegiatan usahatani (Soekartawi 1995). Menurut Hernanto (1989), biaya
dikelompokan dalam empat kategori, yaitu:
a)
Biaya tetap (fixed costs); dimaksudkan biaya yang penggunaannya tidak
habis dalam satu masa produksi.
b)
Biaya variabel (variable costs), dimana besar kecilnya dipengaruhi oleh
biaya skala produksi.
c)
Biaya tunai; dimaksudkan biaya yang dikeluarkan dalam bentuk uang.
d)
Biaya diperhitungkan, dimaksudkan biaya yang dikeluarkan petani bukan
dalam bentuk uang tunai, tetapi diperhitungkan dalam perhitungan
usahatani.
Struktur Pendapatan Usahatani
Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai dan
pengeluaran tunai dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk
menghasilkan uang tunai (Soekartawi 1986). Faktor yang mempengaruhi
pendapatan usahatani menurut Hernanto (1989) yaitu, luas usaha, tingkat
produksi, pilihan dan kombinasi cabang usaha, intensitas pengusahaan
pertanaman, dan efisiensi tenaga kerja. Analisis pendapatan usahatani ini
bertujuan mengetahui besar keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan
(Soekartawi 1995).
Analisis R/C
Analisis R/C (return cost ratio) merupakan perbandingan (ratio atau nisbah)
antara penerimaan dengan biaya dalam satu kali periode produksi usahatani. R/C
menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat dari setiap
rupiah yang dikeluarkan, semakin tinggi nilai R/C maka semakin menguntungkan
usahatani tersebut dilakukan. Analisis R/C ini dibagi dua, yaitu (a) menggunakan
data pengeluaran (biaya produksi) tunai dan (b) menghitung juga atas biaya yang
tidak diperhitungkan, dengan kata lain perhitungan total biaya produksi
(Soekartawi, 1995).
Kriteria keputusan dari nilai R/C yaitu, jika R/C > 1 maka kegiatan
usahatani yang dilakukan dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari
pada pengeluarannya. Nilai R/C < 1 menunjukkan maka kegiatan usahatani yang
dilakukan tidak dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari pada
pengeluarannya. Nilai R/C = 1, maka kegiatan usahatani yang dilakukan dapat
dikatakan tidak memberikan keuntungan maupun kerugian (impas) karena
penerimaan yang diterima oleh petani akan sama dengan pengeluaran yang
dikeluarkan oleh petani (Soekartawi, 1995).
Studi Literatur Untuk Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang terkait dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan peneliti lainnya. Hasil-hasil penelitian terdahulu tentu
sangat relevan sebagai referensi ataupun pembanding, karena terdapat beberapa
kesamaan prinsip, walaupun dalam beberapa hal terdapat perbedaan. Penggunaan
hasil-hasil penelitian sebelumnya dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang
lebih jelas dalam kerangka dan kajian penelitian ini yang dilakukan oleh :
1.
Surya Amri Siregar (2009) dengan judul “Analisis Pendapatan
Peternak Sapi Potong Di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh skala usaha (jumlah
ternak sapi), umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah
tanggungan keluarga, motivasi beternak, dan jumlah tenaga kerja terhadap
pendapatan peternak sapi potong di kecamatan stabat kabupaten langkat.
Persyaratan responden adalah para peternak sapi potong di kecamatan stabat
kabupaten langkat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey
dengan unit analisis keluarga yang memelihara ternak sapi potong. Metode
penarikan responden yang digunakan adalah sebagai berikut : - pada tahap
pertama pemilihan 3 buah desa dari beberapa desa yang ada di kecamatan stabat
dengan metode penarikan responden secara Proportional Stratified Random
sampling (Soekartawi, 1995), yaitu desa yang populasi ternak sapinya tinggi Desa
Banyumas, sedang Desa Perdamean dan jarang Desa Kwala Begumit. Dimana
penentuan populasi ternak sapi yang tingi, sedang dan jarang tersebut ditentukan
dengan melihat data dari Badan Statistis Kabupaten Langkat dalam angka 2007.
Pada tahap kedua pemilihan responden secara acak sederhana, diambil
masing-masing 30% dari seluruh peternak dari setiap desa sampel. Wirartha
(2006) menyatakan bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan data statistik
ukuran sampel paling kecil 30% sudah dapat mewakili populasi. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian daftar kuesioner. Sedangkan
data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait. Data yang diperoleh dari
hasil wawancara responden di lapangan diolah dan ditabulasi. Kemudian data
dianalisis dengan menggunakan metode analisis pendapatan dan diolah dengan
model pendekatan ekonometri dan dijelaskan secara metode deskriptif.
Dari penelitian ini didapatkan hasil yaitu skala usaha (jumlah ternak sapi)
merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan pendapatan
peternak sapi potong di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat. Hasil selanjutnya
yaitu bahwa umur peternak, motivasi beternak, tingkat pendidikan peternak,
pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga dan jumlah tenaga kerja
peternak tidak berpengaruh terhadap pendapatan peternak sapi potong di
Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat.
2. Muhammad Samin (2012) dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pendapatan Petani Peternak Sapi Potong Intensif dan
Tradisional di Kecamatan Pantai Cermin dan Kecamatan Serba Jadi”.
Tujuan penelitian dilakukan untuk menganalisis perbedaan pendapatan petani
peternak sapi potong secara intensif dan secara tradisional; dan menganalisis
pengaruh bibit, pakan dan tenaga kerja terhadap pendapatan petani peternak sapi
potong di Kecamatan Pantai Cermin dan Serba Jadi Kabupaten Serdang Bedagai.
Metode penelitian dengan menggunakan analisis uji beda rata-rata.dan
analisis regresi berganda. Variabel indenpenden yang diteliti biaya bibit, biaya
pakan, dan biaya tenaga kerja. Variabel dependent adalah pendapatan peternak
sapi potong. Sampel renponden yang digunakan sebanyak 60 orang yang terdiri
dari 30 orang peternak sapi potong secara intensif dan 30 orang peternak sapi
potong secara tradisional.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pendapatan petani peternak sapi
potong secara intensif lebih tinggi dari pada petani peternak sapi potong secara
tradisional. Dari hasil analisis regresi, dapat diketahui bahwa secara simultan
faktor biaya bibit, biaya pakan, dan biaya tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap
pendapatan petani peternak sapi potong. Secara parsial factor biaya bibit dan
biaya pakan yang berpengaruh nyata sedangkan biaya tenaga kerja tidak
berpengaruh nyata. Faktor yang memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap
pendapatan petani peternak sapi potong tradisional adalah faktor biaya bibit
sedangkan peternak sapi potong secara intensif adalah faktor biaya pakan.
3. Setyawan (2014) dengan judul “Konstribusi Pendapatan Usahaternak Sapi
Potong Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petenak
(Studi Kasus Di
Desasukolilo Kecamatan Jabung Kabupaten Malang)”. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Sukolilo Kecamatan Jabung Kabupaten Malang pada bulan
Januari tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya
pendapatan rumahtangga peternak sapi potong; kontribusi pendapatan dari
usahaternak sapi potong terhadap pendapatan peternak dan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pendapatan peternak sapi potong. 36 peternak terseleksi
dengan metode purposive sampling.
Survey menggunakan kuisioner terstruktur dengan mewawancarai
responden untuk memperoleh data primer. Data sekunder diperoleh dari laporan
ilmiah, catatan atau dokumen dari instansi terkait maupun literatur atau referensi
yang relevan. Analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda digunakan
untuk analisis data. Hasil meliputi bahwa pertama, pendapatan rumah tangga di
Sukolilo adalah Rp 19.401.055 /tahun atau Rp. 53.154/hari yang melibatkan Rp.
18.074.074/tahun atau Rp. 49.518 /hari pada pendapatan non sapi potong dan Rp.
1.326.981/AU/tahun atau Rp. 3.636/AU/hari pada pendapatan sapi potong.
Usahaternak sapi potong skala kecil memberikan kontribusi sekitar 6,8% terhadap
total pendapatan rumah tangga. Peningkatan jumlah sapi potong, pengalaman
dalam memelihara ternak sapi, pendapatan sapi potong, pendapatan non sapi
potong akan meningkatkan pendapatan sapi potong. Sedangkan, pendapatan sapi
potong akan berkurang karena peningkatan anggota keluarga.
4. Eniza Saleh (2004) yang berjudul “Analisis Pendapatan Peternak Sapi
Potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian
ini dilaksanakan di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pendapatan
peternak sapi potong di kecamatan hamparan perak, kabupaten deli serdang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan unit analisis
keluarga yang memelihara ternak sapi potong.
Metode penarikan sampel yang digunakan adalah propotional stratified
random sampling yaitu dengan cara memilih 3 buah desa berdasarkan populasi
ternak sapinya, yaitu desa Buluh Cina (populasi tertinggi), desa Tandam Hilir I
(populasi sedang), dan desa Hamparan Perak (populasi rendah). Sampel dalam
penelitian ini berjumlah 49 keluarga peternak sapi potong yang didapat dari 30%
peternak, masing-masing dari desa Buluh Cina (31 peternak), desa Tandam Hilir I
(16 peternak), dan desa Hamparan Perak (2 peternak).
Parameter yang diamati meliputi: pendapatan, skala usaha (jumlah ternak),
umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman peternak, jumlah tanggungan
keluarga, motivasi beternak, dan jumlah tenaga kerja yang mempengaruhi
pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Hamparan PeraK, Kabupaten Deli
Serdang. Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa skala usaha (jumlah ternak
sapi), motivasi beternak berpengaruh sangat nyata (P0,05) terhadap pendapatan peternak sapi potong.
Penerapan Peternakan Berbasis Limbah Tanaman Pangan & Limbah
Kelapa Sawit di Kabupaten Langkat
Pembangunan peternakan berwawasan lingkungan khususnya peternakan
sapi di Kabupaten Langkat dengan pemanfaatan limbah perkebunan (sawit, karet
dan coklat) dan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit sebagai pakan ternak sapi,
limbah pertanian tanaman pangan serta limbah kotoran ternak diolah menjadi
biogas dan pupuk kompos (memberi keuntungan ganda) tidak menimbulkan
dampak negatif bagi kehidupan masyarakat di kawasan tersebut dan wilayah
sekitarnya. Selain faktor pendukung tersebut diatas, Kabupaten Langkat
merupakan daerah yang memiliki potensi besar untuk dapat dijadikan sebagai
lokasi pengembangan usaha peternakan sapi terutama sapi potong, dikarenakan
agroklimat, sumberdaya alam dan budaya masyarakatnya mendukung bagi
kegiatan peternakan tersebut, disamping itu letak geografisnya juga sangat
strategis dan dekat dengan pelabuhan Belawan untuk eksport. Jarak tempuh
sekitar 1-2 jam ke Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara, yang dapat menjadi
salah satu lokasi pemasaran hasil peternakan. Potensi ini merupakan peluang besar
bagi para investor untuk menanamkan investasi dalam bidang penggemukan dan
pengembangbiakan sapi di Kabupaten Langkat.
Kondisi lapangan menunjukkan bahwa sekitar 90 % usaha budidaya ternak
dikelola oleh peternakan rakyat (ternak ruminansia) dengan cara tradisional dan
belum memperhatikan skala usaha yang efisien. Oleh karena itu pengembangan
usaha peternakan ke arah yang lebih efisien dan menguntungkan merupakan
upaya yang perlu terus ditingkatkan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat
dengan melibatkan masyarakat peternak dan lembaga yang mempunyai potensi
dalam pengembangan usaha agribisnis peternakan.
Porsi terbesar pakan yaitu hijauan yang dapat berasal dari rumput, legume,
dan limbah tanaman pangan seperti jerami dan lainnya. Sumber hijauan utama
dapat berasal dari lahan perkebunan dan juga dari lahan pertanian milik peternak.
Konsep integrasi ternak dengan perkebunan menjadi hal yang penting untuk
diterapkan disini dengan input teknologi berupa pastura yang baik dan tahan
terhadap naungan.
Fasilitas pendukung utama dalam pengembangan integrasi ini ialah seperti
Kantor Dinas Peternakan beserta staf dan karyawannya, rumah potong hewan
(RPH), pasar hewan, Unit Inseminasi Buatan (IB) beserta petugas dan fasilitas IB,
hasil samping industri pertanian sebagai bahan baku pakan konsentrat serta
kelembagaan peternak (kelompok tani).
Usaha ternak sapi di Kabupaten Langkat sebagian besar dipelihara peternak
sebagai usaha sambilan, sehingga fokus kegiatan peternak lebih besar untuk sektor
lainnya seperti menjadi pekerja kebun (buruh lepas), petani tanaman pangan,
pedagang dan lain-lain. Kondisi tersebut mengakibatkan usaha peternak untuk
melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi menjadi kurang fokus. Sampai
sekarang tipe peternakan sapi yang di usahakan masih bersifat tradisional, artinya
peternak umumnya mengembalakan ternak sapi pada siang hari sampai sore hari
pada lahan perkebunan dan setelah itu dikandangkan pada lahan di sekitar rumah,
sehingga ada anggapan dari sektor perkebunan sampai sekarang ini masih
menganggap ternak sebagai hama untuk tanaman perkebunan (Badan Penelitian
Dan Pengembangan Propinsi Sumatera Utara 2009).
Kerangka Pemikiran
Analisis faktor yang mempengaruhi pendapatan peternak berbasis limbah
tanaman pangan dan berbasis limbah kelapa sawit dilakukan dengan terlebih
dahulu menganalisis indikator-indikator keberhasilan usaha tersebut, yaitu berupa
rasio pendapatan dan biaya total atau rasio R/C. Pendapatan masing- masing
peternak berbasis limbah tanaman pangan dan peternak berbasis limbah kelapa
sawit dianalisa lalu dibandingkan dengan menggunakan analisis komparasi.
Selanjutnya di lakukan pendugaan terhahadap faktor-faktor yang dianggap
mempengaruhi pendapatan peternak tersebut, kemudian dilakukan analisis regresi
linier berganda untuk kemudian dapat diketahui faktor mana yang berpengaruh
secara nyata terhadap pendapatan peternak baik berbasis limbah tanaman pangan
maupun berbasis limbah kelapa sawit di Kabupaten Langkat. Selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 2.
Petani/Peternak
Berbasis Limbah Tanaman Pangan
-
Berbasis Limbah Kelapa Sawit
Biaya Tetap
Biaya Variabel
Penerimaan
Harga bibit
Jumlah sapi (ST)
Upah tenaga kerja
Harga jual sapi
Umur peternak
Tingkat pendidikan
peternak
Lama beternak
-
• Pendapatan
• R/C
• Calf Crop
Biaya Tetap
Biaya Variabel
Penerimaan
Harga bibit
Jumlah sapi (ST)
Upah tenaga kerja
Harga jual sapi
Umur peternak
Tingkat pendidikan
peternak
Lama beternak
• Pendapatan
• R/C
• Calf Crop
Analisis
Komparasi
PENDAPATAN
Skala
Pemeliharaan
Biaya
Bibit
Calf Crop
Gambar 2. Diagram Kerangka Pikir Penelitian
Harga Jual
Sapi
Hipotesis Penelitian
H0 = Secara serempak dan parsial faktor skala pemeliharaan, biaya bibit, nilai
calf crop dan harga jual sapi berpengaruh terhadap pendapatan peternak
sapi potong berbasis limbah tanaman pangan dan limbah kelapa sawit.
H1 = Secara serempak dan parsial faktor skala pemeliharaan, biaya bibit, nilai
calf crop dan harga jual sapi tidak berpengaruh terhadap pendapatan
peternak sapi potong berbasis limbah tanaman pangan dan limbah kelapa
sawit.
Integrasi Antara Peternakan dengan Tanaman Pangan dan Kelapa Sawit
Tujuan pembangunan peternakan adalah meningkatkan produksi ternak
guna memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang terjangkau masyarakat.
Peternak diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan
pendapatannya. Diharapkan dengan menerapkan pengembangan kawasan
peternakan berbasis peternakan rakyat dapat meningkatkan pendapatan peternak
sehingga dapat memberi kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD),
menyerap tenaga kerja dan memeratakan pendapatan, dan mengaplikasikan
teknologi untuk meningkatkan produktivitas (Suyitman et al., 2009).
Terkait
dengan
pengembangan
pakan
ternak,
diarahkan
untuk
mengoptimalkan pemanfaatan bahan baku pakan lokal untuk mengurangi
ketergantungan terhadap impor bahan baku pakan. Secara umum untuk
pengembangan pakan memiliki permasalahanpermasalahan, antara lain: (a)
kebutuhan bahan baku pakan tidak seluruhnya dipenuhi dari lokal sehingga masih
mengandalkan impor, (b) bahan baku pakan lokal belum dimanfaatkan secara
optimal, (c) ketersediaan pakan lokal tidak kontinyu dan kurang berkualitas, (d)
penggunaan tanaman legum sebagai sumber pakan belum optimal, (e)
pemanfaatan lahan tidur dan lahan integrasi masih rendah, (f) penerapan teknologi
hijauan pakan masih rendah, (g) produksi pakan nasional tidak pasti akibat akurasi
data yang kurang tepat, serta (h) penelitian dan aplikasinya tidak sejalan (Syamsu
dan Abdullah, 2009).
Limbah pertanian pun tidak semuanya dimanfaatkan oleh petani,
penyebabnya adalah : a) umumnya petani membakar limbah tanaman pangan
karena secepatnya akan dilakukan pengolahan tanah, b) limbah tanaman pangan
bersifat kamba sehingga menyulitkan peternak untuk mengangkut dalam jumlah
banyak untuk diberikan kepada ternak, dan umumnya lahan pertanian jauh dari
pemukiman peternak sehingga membutuhkan biaya dalam pengangkutan, c) tidak
tersedianya tempat penyimpanan limbah tanaman pangan, dan peternak tidak
bersedia menyimpan/menumpuk limbah di sekitar rumah/kolong rumah karena
takut akan bahaya kebakaran, d) peternak menganggap bahwa ketersediaan
hijauan di lahan pekarangan, kebun, sawah masih mencukupi sebagai pakan
ternak (Liana dan Febriana, 2011).
Lahan pertanian yang makin berkurang akibat beralih fungsi menjadi
pemukiman, misalnya, menyebabkan petani-peternak harus mempunyai alternatif
usaha untuk meningkatkan pendapatan, antara lain dengan mengatur pola tanam
secara bergantian maupun campuran. Alternatif lain adalah meningkatkan usaha
ternak sapi melalui integrasi sapi-tanaman pangan atau tanaman perkebunan
(kelapa). Imam dalam Suryana (2009) mengemukakan bahwa pengembangan
peternakan dapat melalui diversifikasi ternak sapi dengan lahan persawahan,
perkebunan, dan tambak. Suwandi dalam Suryana (2009) yang meneliti penerapan
pola usaha tani padi sawah sapi potong melaporkan sistem ini dapat meningkatkan
produksi dan keuntungan petani berlahan sempit. Pengembangan sistem integrasi
tanaman ternak (sapi) bertujuan untuk: 1) mendukung upaya peningkatan
kandungan bahan organik lahan pertanian melalui penyediaan pupuk organik yang
memadai, 2) mendukung upaya peningkatan produktivitas tanaman, 3)
mendukung upaya peningkatan produksi daging dan populasi ternak sapi, dan 4)
meningkatkan pendapatan petani atau pelaku pertanian. Melalui kegiatan ini,
produktivitas tanaman maupun ternak menjadi lebih baik sehingga akan
meningkatkan pendapatan petani-peternak (Suryana, 2009).
Sistem integrasi tanaman ternak adalah suatu sistem pertanian yang
dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam
suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut
merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan
petani dan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak
dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun
dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas (Handaka et al., 2009).
Integrasi tanaman-ternak dapat dilakukan dalam satu rumah tangga petani
atau dilakukan antara beberapa rumah tangga usahatani. Pilihan pengusahaan
usahatani terpadu pada kedua skala tersebut sangat bergantung pada pengetahuan
petani, motivasi, dan ketersediaan sumberdaya. Perpaduan antara tanaman-ternak
dapat meningkatkan keuntungan dan keberlanjutan kegiatan usahatani. Integrasi
ternak ke dalam suatu usahatani tanaman menjadi sangat penting pada saat
pengusahaan tanaman secara organik (Russelle et al., 2006).
Menurut Chaniago (2009), tujuan integrasi tanaman dengan ternak adalah
untuk mendapatkan produk tambahan yang bernilai ekonomis, peningkatan
efisiensi usaha, peningkatan kualitas penggunaan lahan, peningkatan kelenturan
usaha menghadapi persaingan global, dan menghasilkan lingkungan yang bersih
dan nyaman. Pengalokasian sumberdaya yang efisien, pemanfaatan keunggulan
komparatif dan pola tanam akan menghasilkan hubungan yang sinergistik antara
cabang usahatani. Disamping itu, pola sistem usahatani terintegrasi ini
mempunyai beberapa keuntungan baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Aspek lingkungan yaitu adanya upaya dalam hal pemanfaatan limbah, efisiensi
lahan dan minimalisasi limbah.
Menurut Ilham (1998) pendekatan sistem integrasi usahatani melalui
pengembangan pola usahatani yang berwawasan lingkungan ditujukan untuk
meningkatkan produksi dan mutu hasil, juga untuk peningkatan pendapatan petani
dan menjaga kelestarian sumberdaya alam (Gambar 1).
ON FARM
PEMASARAN
PEMASARAN
SAPRONAK
SAPROTAN
HASIL PADI
HASIL
TERNAK
PAKAN TERNAK
KOMPOS
USAHATANI
TANAMAN
USAHA
TERNAK
PUPUK ORGANIK
BIOGAS
Gambar 1. Model integrasi usahatani tanaman dan ternak (Basuni, 2012)
Sebagai pelaku ekonomi, seorang petani senantiasa berupaya untuk
meningkatkan pendapatan usahataninya. Upaya yang dapat dilakukan petani untuk
meningkatkan pendapatannya adalah dengan cara meningkatkan produksi dan
melakukan
penghematan
terhadap
biaya-biaya
usahatani.
Melalui
penyelenggaraan pertanian terpadu, khususnya usahatani tanaman-hewan ternak
terpadu, petani sekaligus dapat meningkatkan produksi (jumlah maupun jenis
produk) dan melakukan penghematan biaya usahatani. Penghematan terhadap
biaya pupuk dan pakan ternak menjadi hal yang sangat penting karena kedua
komponen biaya tersebut merupakan salah satu komponen biaya terbesar.
Hanifah (2008), membuktikan bahwa dengan adanya penerapan pertanian
terpadu di Pondok Pesantren Al Ittifaq, Kampung Ciburial, Desa Alam Endah,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, dapat menghemat biaya pakan ternak
dan biaya pupuk yakni masing-masing sampai dengan 36,2 % dan 24,5 %.
Terjadinya penghematan akibat penyelenggaraan pertanian secara terpadu
dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kariyasa dan Pasandaran (2005)
pada beberapa lokasi integrasi usahtani tanaman-ternak yakni padi dan sapi di
Jawa Tengah. Penggunaan pupuk kandang pada usahatani terintegrasi tanaman
ternak dapat menghemat pengeluaran biaya pupuk sekitar 18,14%-19,48% atau
8,8% dari total biaya. Pada kondisi usahaternak maupun usahatani tanaman yang
dilakukan secara tidak terintegrasi, komponen biaya pakan ternak rata-rata dapat
mencapai 48,77 % (Agustina 2007; Febriliany 2008; Widagdho 2008; Stani 2009)
sedangkan biaya pupuk rata-rata dapat mencapai 22 % dari total pengeluaran
yakni komponen biaya terbesar kedua setelah biaya tenaga kerja (Wahyuni 2007;
Maimun 2009; Surbakti 2009).
Studi literatur yang dilakukan oleh Kusnadi (2008), terhadap berbagai
penelitian di agroekosistem lahan kering dataran tinggi, lahan kering dataran
rendah, lahan sawah, lahan pasang surut, lahan perkebunan, dan lahan kering
beriklim kering menunjukkan bahwa adanya perbedaan jenis komoditas yang
diintegrasikan, perbedaan jumlah pengusahaan masing-masing aktivitas, dan
dampak ekonomi yang dihasilkan. Misalnya pengembangan pertanian terpadu di
daerah dataran tinggi, tepatnya di hulu sungai yang harus memperhatikan
kemiringan lahan, kedalaman tanah, erodibilitas, persepsi petani, dan permintaan
pasar. Jumlah ternak yang dipelihara sebaiknya berjumlah 11-12 ekor domba atau
2 ekor sapi yakni sesuai dengan kapasitas lahan teras bangku. Pemeliharaan ternak
domba sebanyak 11-12 ekor atau dua ekor sapi mampu menyumbang 36 %
kebutuhan pupuk kandang dalam setahun. Pengintegrasian aktivitas usahatani
yang kurang tepat dapat berdampak pada kerugian di tingkat petani dan kegagalan
program pertanian terpadu di daerah tersebut.
Pengertian Usaha Tani
Menurut Rahim dan Diah (2008), usahatani adalah ilmu yang mempelajari
tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi (tanah, tenaga
kerja, modal, teknologi, pupuk, benih, dan pestisida) dengan efektif, efisien, dan
kontinyu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan
usahataninya meningkat. Sistem usahatani merupakan sistem terbuka, dimana
berbagai input (unsur hara, air, informasi, dan sebagainya) diterima dari luar dan
sebagian dari output meninggalkan sistem untuk dikonsumsi maupun dijual.
Usaha tani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di
tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tubuh tanah dan air,
perbaikan-perbaikan yang dilakukan di atas tanah itu, sinar matahari, bangunanbangunan yang didirikan di atas tanah tersebut dan sebagainya. Usaha tani dapat
berupa bercocok tanam atau memelihara ternak. Usahatani adalah kegiatan
mengorganisasikan atau mengelola aset dan cara dalam pertanian. Usahatani juga
dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengorganisasi sarana produksi
pertanian dan teknologi dalam suatu usaha yang menyangkut bidang pertanian
(.Mosher, 1968; Moehar, 2001).
Dari beberapa definisi dtersebut dapat disarikan bahwa yang dimaksud
dengan usahatani adalah usaha yang dilakukan patani dalam memperoleh
pendapatan dengan jalan memanfaatkan sumber daya alam, tenaga kerja dan
modal yang mana sebagian dari pendapatan yang diterima digunakan untuk
membiayai pengeluaran yang berhubungan dengan usahatani.
Menurut Soeharto (1990) dalam Surayatiyah (2009), usaha ternak dapat
digolongkan dalam 4 jenis:
1.
Usaha yang bersifat tradisional yaitu petani/peternak kecil yang mempunyai
1-2 ekor ternak ternak ruminansia besar, kecil bahkan ayam kampung.
Usaha ini hanya bersifat sambilan dan untuk saving saja.
2.
Usaha backyard, yaitu petani/peternakan ayam ras, sapi perah, ikan. Tujuan
usaha selain memenuhi kebutuhan juga untuk dijual oleh karena itu
memakai input teknologi, manajemen, dan pakan yang rasional, dalam
perkembangannya ditunjang dengan sistim PIR
3.
Usaha komersial, yaitu petani/peternak yang telah benar-benar menerapkan
prinsip-prinsip ekonomi, profit oriented, dan efesiensi. Usaha ini meliputi
usaha pembibitan, usaha pakan ternak, usaha penggemukan dan lain-lain.
Secara garis besar ada dua bentuk usahatani yang telah dikenal yaitu
usahatani keluarga (family farming) dan perusahaan pertanian (plantation, estate,
enterprise). Pada umumnya yang dimaksud usahatani adalah usaha keluarga
sedangkan yang lain adalah perusahaan pertanian.
Konsep Pendapatan Usahatani
Pada analisis usahatani, data mengenai penerimaan, biaya, dan pendapatan
usahatani perlu diketahui. Cara analisis terhadap tiga variabel ini sering disebut
dengan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) (Soekartawi 1995).
Adapun penjelasan ketiga variabel tersebut adalah sebagai berikut:
Struktur Penerimaan Usahatani
Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual (Soekartawi 1995). Istilah lain untuk penerimaan usahatani
adalah pendapatan kotor usahatani (gross farm income) yang didefinisikan sebagai
nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun
tidak dijual. Pendapatan kotor ini mencakup semua produk yang dijual,
dikonsumsi rumah tangga petani, bibit atau makanan ternak, digunakan untuk
pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun (Soekartawi,
1986).
Struktur Biaya Usahatani
Biaya adalah sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan
jasa bagi kegiatan usahatani (Soekartawi 1995). Menurut Hernanto (1989), biaya
dikelompokan dalam empat kategori, yaitu:
a)
Biaya tetap (fixed costs); dimaksudkan biaya yang penggunaannya tidak
habis dalam satu masa produksi.
b)
Biaya variabel (variable costs), dimana besar kecilnya dipengaruhi oleh
biaya skala produksi.
c)
Biaya tunai; dimaksudkan biaya yang dikeluarkan dalam bentuk uang.
d)
Biaya diperhitungkan, dimaksudkan biaya yang dikeluarkan petani bukan
dalam bentuk uang tunai, tetapi diperhitungkan dalam perhitungan
usahatani.
Struktur Pendapatan Usahatani
Pendapatan tunai usahatani adalah selisih antara penerimaan tunai dan
pengeluaran tunai dan merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk
menghasilkan uang tunai (Soekartawi 1986). Faktor yang mempengaruhi
pendapatan usahatani menurut Hernanto (1989) yaitu, luas usaha, tingkat
produksi, pilihan dan kombinasi cabang usaha, intensitas pengusahaan
pertanaman, dan efisiensi tenaga kerja. Analisis pendapatan usahatani ini
bertujuan mengetahui besar keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dilakukan
(Soekartawi 1995).
Analisis R/C
Analisis R/C (return cost ratio) merupakan perbandingan (ratio atau nisbah)
antara penerimaan dengan biaya dalam satu kali periode produksi usahatani. R/C
menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat dari setiap
rupiah yang dikeluarkan, semakin tinggi nilai R/C maka semakin menguntungkan
usahatani tersebut dilakukan. Analisis R/C ini dibagi dua, yaitu (a) menggunakan
data pengeluaran (biaya produksi) tunai dan (b) menghitung juga atas biaya yang
tidak diperhitungkan, dengan kata lain perhitungan total biaya produksi
(Soekartawi, 1995).
Kriteria keputusan dari nilai R/C yaitu, jika R/C > 1 maka kegiatan
usahatani yang dilakukan dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari
pada pengeluarannya. Nilai R/C < 1 menunjukkan maka kegiatan usahatani yang
dilakukan tidak dapat memberikan penerimaan yang lebih besar dari pada
pengeluarannya. Nilai R/C = 1, maka kegiatan usahatani yang dilakukan dapat
dikatakan tidak memberikan keuntungan maupun kerugian (impas) karena
penerimaan yang diterima oleh petani akan sama dengan pengeluaran yang
dikeluarkan oleh petani (Soekartawi, 1995).
Studi Literatur Untuk Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa hal yang terkait dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan peneliti lainnya. Hasil-hasil penelitian terdahulu tentu
sangat relevan sebagai referensi ataupun pembanding, karena terdapat beberapa
kesamaan prinsip, walaupun dalam beberapa hal terdapat perbedaan. Penggunaan
hasil-hasil penelitian sebelumnya dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang
lebih jelas dalam kerangka dan kajian penelitian ini yang dilakukan oleh :
1.
Surya Amri Siregar (2009) dengan judul “Analisis Pendapatan
Peternak Sapi Potong Di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh skala usaha (jumlah
ternak sapi), umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jumlah
tanggungan keluarga, motivasi beternak, dan jumlah tenaga kerja terhadap
pendapatan peternak sapi potong di kecamatan stabat kabupaten langkat.
Persyaratan responden adalah para peternak sapi potong di kecamatan stabat
kabupaten langkat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey
dengan unit analisis keluarga yang memelihara ternak sapi potong. Metode
penarikan responden yang digunakan adalah sebagai berikut : - pada tahap
pertama pemilihan 3 buah desa dari beberapa desa yang ada di kecamatan stabat
dengan metode penarikan responden secara Proportional Stratified Random
sampling (Soekartawi, 1995), yaitu desa yang populasi ternak sapinya tinggi Desa
Banyumas, sedang Desa Perdamean dan jarang Desa Kwala Begumit. Dimana
penentuan populasi ternak sapi yang tingi, sedang dan jarang tersebut ditentukan
dengan melihat data dari Badan Statistis Kabupaten Langkat dalam angka 2007.
Pada tahap kedua pemilihan responden secara acak sederhana, diambil
masing-masing 30% dari seluruh peternak dari setiap desa sampel. Wirartha
(2006) menyatakan bahwa untuk penelitian yang akan menggunakan data statistik
ukuran sampel paling kecil 30% sudah dapat mewakili populasi. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian daftar kuesioner. Sedangkan
data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait. Data yang diperoleh dari
hasil wawancara responden di lapangan diolah dan ditabulasi. Kemudian data
dianalisis dengan menggunakan metode analisis pendapatan dan diolah dengan
model pendekatan ekonometri dan dijelaskan secara metode deskriptif.
Dari penelitian ini didapatkan hasil yaitu skala usaha (jumlah ternak sapi)
merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan pendapatan
peternak sapi potong di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat. Hasil selanjutnya
yaitu bahwa umur peternak, motivasi beternak, tingkat pendidikan peternak,
pengalaman beternak, jumlah tanggungan keluarga dan jumlah tenaga kerja
peternak tidak berpengaruh terhadap pendapatan peternak sapi potong di
Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat.
2. Muhammad Samin (2012) dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pendapatan Petani Peternak Sapi Potong Intensif dan
Tradisional di Kecamatan Pantai Cermin dan Kecamatan Serba Jadi”.
Tujuan penelitian dilakukan untuk menganalisis perbedaan pendapatan petani
peternak sapi potong secara intensif dan secara tradisional; dan menganalisis
pengaruh bibit, pakan dan tenaga kerja terhadap pendapatan petani peternak sapi
potong di Kecamatan Pantai Cermin dan Serba Jadi Kabupaten Serdang Bedagai.
Metode penelitian dengan menggunakan analisis uji beda rata-rata.dan
analisis regresi berganda. Variabel indenpenden yang diteliti biaya bibit, biaya
pakan, dan biaya tenaga kerja. Variabel dependent adalah pendapatan peternak
sapi potong. Sampel renponden yang digunakan sebanyak 60 orang yang terdiri
dari 30 orang peternak sapi potong secara intensif dan 30 orang peternak sapi
potong secara tradisional.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pendapatan petani peternak sapi
potong secara intensif lebih tinggi dari pada petani peternak sapi potong secara
tradisional. Dari hasil analisis regresi, dapat diketahui bahwa secara simultan
faktor biaya bibit, biaya pakan, dan biaya tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap
pendapatan petani peternak sapi potong. Secara parsial factor biaya bibit dan
biaya pakan yang berpengaruh nyata sedangkan biaya tenaga kerja tidak
berpengaruh nyata. Faktor yang memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap
pendapatan petani peternak sapi potong tradisional adalah faktor biaya bibit
sedangkan peternak sapi potong secara intensif adalah faktor biaya pakan.
3. Setyawan (2014) dengan judul “Konstribusi Pendapatan Usahaternak Sapi
Potong Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petenak
(Studi Kasus Di
Desasukolilo Kecamatan Jabung Kabupaten Malang)”. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Sukolilo Kecamatan Jabung Kabupaten Malang pada bulan
Januari tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya
pendapatan rumahtangga peternak sapi potong; kontribusi pendapatan dari
usahaternak sapi potong terhadap pendapatan peternak dan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pendapatan peternak sapi potong. 36 peternak terseleksi
dengan metode purposive sampling.
Survey menggunakan kuisioner terstruktur dengan mewawancarai
responden untuk memperoleh data primer. Data sekunder diperoleh dari laporan
ilmiah, catatan atau dokumen dari instansi terkait maupun literatur atau referensi
yang relevan. Analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda digunakan
untuk analisis data. Hasil meliputi bahwa pertama, pendapatan rumah tangga di
Sukolilo adalah Rp 19.401.055 /tahun atau Rp. 53.154/hari yang melibatkan Rp.
18.074.074/tahun atau Rp. 49.518 /hari pada pendapatan non sapi potong dan Rp.
1.326.981/AU/tahun atau Rp. 3.636/AU/hari pada pendapatan sapi potong.
Usahaternak sapi potong skala kecil memberikan kontribusi sekitar 6,8% terhadap
total pendapatan rumah tangga. Peningkatan jumlah sapi potong, pengalaman
dalam memelihara ternak sapi, pendapatan sapi potong, pendapatan non sapi
potong akan meningkatkan pendapatan sapi potong. Sedangkan, pendapatan sapi
potong akan berkurang karena peningkatan anggota keluarga.
4. Eniza Saleh (2004) yang berjudul “Analisis Pendapatan Peternak Sapi
Potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian
ini dilaksanakan di Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pendapatan
peternak sapi potong di kecamatan hamparan perak, kabupaten deli serdang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan unit analisis
keluarga yang memelihara ternak sapi potong.
Metode penarikan sampel yang digunakan adalah propotional stratified
random sampling yaitu dengan cara memilih 3 buah desa berdasarkan populasi
ternak sapinya, yaitu desa Buluh Cina (populasi tertinggi), desa Tandam Hilir I
(populasi sedang), dan desa Hamparan Perak (populasi rendah). Sampel dalam
penelitian ini berjumlah 49 keluarga peternak sapi potong yang didapat dari 30%
peternak, masing-masing dari desa Buluh Cina (31 peternak), desa Tandam Hilir I
(16 peternak), dan desa Hamparan Perak (2 peternak).
Parameter yang diamati meliputi: pendapatan, skala usaha (jumlah ternak),
umur peternak, tingkat pendidikan, pengalaman peternak, jumlah tanggungan
keluarga, motivasi beternak, dan jumlah tenaga kerja yang mempengaruhi
pendapatan peternak sapi potong di Kecamatan Hamparan PeraK, Kabupaten Deli
Serdang. Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa skala usaha (jumlah ternak
sapi), motivasi beternak berpengaruh sangat nyata (P0,05) terhadap pendapatan peternak sapi potong.
Penerapan Peternakan Berbasis Limbah Tanaman Pangan & Limbah
Kelapa Sawit di Kabupaten Langkat
Pembangunan peternakan berwawasan lingkungan khususnya peternakan
sapi di Kabupaten Langkat dengan pemanfaatan limbah perkebunan (sawit, karet
dan coklat) dan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit sebagai pakan ternak sapi,
limbah pertanian tanaman pangan serta limbah kotoran ternak diolah menjadi
biogas dan pupuk kompos (memberi keuntungan ganda) tidak menimbulkan
dampak negatif bagi kehidupan masyarakat di kawasan tersebut dan wilayah
sekitarnya. Selain faktor pendukung tersebut diatas, Kabupaten Langkat
merupakan daerah yang memiliki potensi besar untuk dapat dijadikan sebagai
lokasi pengembangan usaha peternakan sapi terutama sapi potong, dikarenakan
agroklimat, sumberdaya alam dan budaya masyarakatnya mendukung bagi
kegiatan peternakan tersebut, disamping itu letak geografisnya juga sangat
strategis dan dekat dengan pelabuhan Belawan untuk eksport. Jarak tempuh
sekitar 1-2 jam ke Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara, yang dapat menjadi
salah satu lokasi pemasaran hasil peternakan. Potensi ini merupakan peluang besar
bagi para investor untuk menanamkan investasi dalam bidang penggemukan dan
pengembangbiakan sapi di Kabupaten Langkat.
Kondisi lapangan menunjukkan bahwa sekitar 90 % usaha budidaya ternak
dikelola oleh peternakan rakyat (ternak ruminansia) dengan cara tradisional dan
belum memperhatikan skala usaha yang efisien. Oleh karena itu pengembangan
usaha peternakan ke arah yang lebih efisien dan menguntungkan merupakan
upaya yang perlu terus ditingkatkan dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat
dengan melibatkan masyarakat peternak dan lembaga yang mempunyai potensi
dalam pengembangan usaha agribisnis peternakan.
Porsi terbesar pakan yaitu hijauan yang dapat berasal dari rumput, legume,
dan limbah tanaman pangan seperti jerami dan lainnya. Sumber hijauan utama
dapat berasal dari lahan perkebunan dan juga dari lahan pertanian milik peternak.
Konsep integrasi ternak dengan perkebunan menjadi hal yang penting untuk
diterapkan disini dengan input teknologi berupa pastura yang baik dan tahan
terhadap naungan.
Fasilitas pendukung utama dalam pengembangan integrasi ini ialah seperti
Kantor Dinas Peternakan beserta staf dan karyawannya, rumah potong hewan
(RPH), pasar hewan, Unit Inseminasi Buatan (IB) beserta petugas dan fasilitas IB,
hasil samping industri pertanian sebagai bahan baku pakan konsentrat serta
kelembagaan peternak (kelompok tani).
Usaha ternak sapi di Kabupaten Langkat sebagian besar dipelihara peternak
sebagai usaha sambilan, sehingga fokus kegiatan peternak lebih besar untuk sektor
lainnya seperti menjadi pekerja kebun (buruh lepas), petani tanaman pangan,
pedagang dan lain-lain. Kondisi tersebut mengakibatkan usaha peternak untuk
melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi menjadi kurang fokus. Sampai
sekarang tipe peternakan sapi yang di usahakan masih bersifat tradisional, artinya
peternak umumnya mengembalakan ternak sapi pada siang hari sampai sore hari
pada lahan perkebunan dan setelah itu dikandangkan pada lahan di sekitar rumah,
sehingga ada anggapan dari sektor perkebunan sampai sekarang ini masih
menganggap ternak sebagai hama untuk tanaman perkebunan (Badan Penelitian
Dan Pengembangan Propinsi Sumatera Utara 2009).
Kerangka Pemikiran
Analisis faktor yang mempengaruhi pendapatan peternak berbasis limbah
tanaman pangan dan berbasis limbah kelapa sawit dilakukan dengan terlebih
dahulu menganalisis indikator-indikator keberhasilan usaha tersebut, yaitu berupa
rasio pendapatan dan biaya total atau rasio R/C. Pendapatan masing- masing
peternak berbasis limbah tanaman pangan dan peternak berbasis limbah kelapa
sawit dianalisa lalu dibandingkan dengan menggunakan analisis komparasi.
Selanjutnya di lakukan pendugaan terhahadap faktor-faktor yang dianggap
mempengaruhi pendapatan peternak tersebut, kemudian dilakukan analisis regresi
linier berganda untuk kemudian dapat diketahui faktor mana yang berpengaruh
secara nyata terhadap pendapatan peternak baik berbasis limbah tanaman pangan
maupun berbasis limbah kelapa sawit di Kabupaten Langkat. Selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 2.
Petani/Peternak
Berbasis Limbah Tanaman Pangan
-
Berbasis Limbah Kelapa Sawit
Biaya Tetap
Biaya Variabel
Penerimaan
Harga bibit
Jumlah sapi (ST)
Upah tenaga kerja
Harga jual sapi
Umur peternak
Tingkat pendidikan
peternak
Lama beternak
-
• Pendapatan
• R/C
• Calf Crop
Biaya Tetap
Biaya Variabel
Penerimaan
Harga bibit
Jumlah sapi (ST)
Upah tenaga kerja
Harga jual sapi
Umur peternak
Tingkat pendidikan
peternak
Lama beternak
• Pendapatan
• R/C
• Calf Crop
Analisis
Komparasi
PENDAPATAN
Skala
Pemeliharaan
Biaya
Bibit
Calf Crop
Gambar 2. Diagram Kerangka Pikir Penelitian
Harga Jual
Sapi
Hipotesis Penelitian
H0 = Secara serempak dan parsial faktor skala pemeliharaan, biaya bibit, nilai
calf crop dan harga jual sapi berpengaruh terhadap pendapatan peternak
sapi potong berbasis limbah tanaman pangan dan limbah kelapa sawit.
H1 = Secara serempak dan parsial faktor skala pemeliharaan, biaya bibit, nilai
calf crop dan harga jual sapi tidak berpengaruh terhadap pendapatan
peternak sapi potong berbasis limbah tanaman pangan dan limbah kelapa
sawit.